Anda di halaman 1dari 55

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker leher rahim adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus (leher

rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk

ke arah rahim yang terletak antara rahim dan liang sanggama (vagina). Kanker

serviks disebut juga kanker leher rahim (Sukaca, 2012). Penyebab kanker

serviks belum diketahui dengan pasti, namun diduga penyebabnya Human

Papilloma Virus (HPV).Infeksi virus papilloma terdapat pada wanita aktif secara

seksual.Dari beberapa pemeriksaan laboratorium terbukti bahwa lebih dari 90%

semua neoplasia intraepitel serviks dan kanker serviks mengandung DNA

HPV.Human Papilloma Virus (HPV) ini dapat menyerang alat kelamin bagian

luar vagina, leher rahim dan di sekitar anus (Aziz M.F.2007)

Berdasarkan data Globocan, International Agency for Research on Cancer

(IARC) tahun 2008, terdapat 530.000 kasus baru kanker serviks. Negara-negara

dengan kasus kanker serviks tertinggi adalah Afrika Barat (ASR lebih dari 30,0

per 100.000), Afrika selatan (26,8 per 100.000), Asia tengah (24,6 per 100.000),

Amerika Selatan dan Afrika (masing-masing 23,9 dan 23,0 per 100.000). Negara

dengan kasus kanker serviks terendah adalah Asia Barat, Amerika Utara dan

Australia dengan ASR kurang dari 6 per 100.000. Secara keseluruhan angka

kematian yang disebabkan oleh kanker serviks mencapai 275.000 (52%) dan

88% diantaranya terjadi di Negara berkembang yaitu 53.000 di Afrika, 31.700 di

Amerika Latin dan Karibia, dan 159.800 terjadi di Asia.


2

IVA (Inspeksi Visual dengan pulasan Asam asetat) merupakan metode

untuk mendeteksi dini kanker serviks yang murah meriah menggunakan asam

asetat 3-5%, dan tergolong sederhana dan memiliki keakuratan 90%.

World Health Organization (WHO) mencatat penyakit kanker serviks

menempati peringkat teratas diantara berbagai jenis kanker penyebab kematian

pada perempuan di dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000

kasus kanker serviks. Sekitar 8000 kasus di antaranya berakhir dengan kematian.

Menurut data WHO Indonesia merupakan Negara dengan jumlah penderita

kanker serviks tertinggi di dunia. Musababnya, kanker serviks muncul seperti

musuh seperti musuh dalam selimut.Sulit sekali dideteksi hingga penyakit telah

mencapai stadium lanjut (Saifullah, 2012).

Menurut data dari Yayasan Kanker Indonesia (2010) menyebutkan setiap

tahunnya sekitar 500.000 wanita didiagnosa menderita kanker serviks dan

lebih dari 250.000 meninggal dunia. Dari kenyataan tersebut sangat dibutuhkan

suatu penanganan yang komprehensif untuk menanggulangi kanker termasuk

pencegahan dan deteksi dini harus dilaksanakan dengan baik (Female Cancer

Programme, et.al, 2007).

Di Sumatera Utara diperoleh dari data Dinkes Provinsi, penderita kanker

serviks pada tahun 2000 pada tahun 2010 tercatat 475 kasus, di tahun 2011

sebanyak 548 kasus, tahun 2012 sebanyak 681 kasus dan tahun 2014 meningkat

menjadi 786 kasus. Masih tingginya angka penderita kanker serviks disebabkan

karena penyakit ini tidak menimbulkan gejala sehingga ibu cenderung tidak

memeriksakan diri atau melakukan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)
3

(Septiyaningsih, 2010).

Menurut (Novel S Sinta,dkk,2010).Kanker dapat disembuhkan jika di

deteksi dan ditanggulangi sejak dini, namun dikarenakan minimnya gejala yang

ditimbulkan oleh kanker serviks maka penanganan terhadap penyakit ini sering

kali terlambat yang menyebabkan kematian. Penanganan kanker sering terlambat

akibat minimnya gejala yang ditimbulkannya, sehingga terjadi peningkatan kasus

dari tahun ke tahun bahkan cenderung mengalami pergeseran ke arah usia yang

lebih muda.

Deteksi dini kanker serviks adalah upaya yang di lakukan untuk

memeriksa keadaan leher rahim sedini mungkin sehingga keadaan serviks dapat

diketahui lebih awal dan apabila terdapat kelainan maka dapat teratasi.

Pemeriksaan yang paling utama dalam deteksi dini kanker serviks adalah

pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) khususnya perempuan yang

sudah aktif melakukan hubungan seks (Wijaya Delia, 2010). Test IVA (Inspeksi

Visual Asam Asetat)merupakan suatu metode pemeriksaan leher rahim (serviks)

dengan cara melihat langsung (dengan mata telanjang) leher rahim setelah

memulas leher rahim dengan larutan asam asetat 3%-5%. Perubahan leher rahim

yang terdeteksi secara dini akan memungkinkan tindakan pengobatan diambil

sebelum sel-sel tersebut dapat berkembang menjadi sel kanker. Hasil test IVA

(Inspeksi Visual Asam Asetat)dikatakan abnormal jika terdapat perubahan warna

pada serviks (Nugroho, 2010).

Cara inspeksi visual setelah meneteskan asam cuka atau asam acetat 3%-

5% yang dikenal dengan IVA (Inspeksi Visual dengan asam acetat atau VIA
4

(Visual Inspection with Acetat Acid). Metode ini sangat cocok di Indonesia

karena tehniknya mudah/sederhana, biaya rendah/murah dan tingkat

sensifitasnya tinggi, cepat dan cukup adekuat untuk menemukan kelainan pada

tahap kelainan sel (displasia) atau sebelum pra kanker. Untuk itu dianjurkan tes

IVA bagi semua perempuan yang sudah melakukan hubungan ( Depkes RI,

2010)

Deteksi dini yang diikuti pengobatan yang adekuat merupakan kunci

keberhasilan dalam pengendalian kanker leher rahim. Hal ini berdasarkan fakta

lebih dari 50% perempuan yang terdiagnosa kanker tidak pernah melakukan

pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)atau Pap Smearsebelumnya

(Depkes RI, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Setrayini (2009) di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo menunjukkan bahwa sekitar 69,4% dari perempuan yang

terdiagnosa kanker tidak pernah melakukan penapisan, sehingga pada saat kanker

diketahui, kanker telah ditemukan pada stadium lanjut dan pengobatan sudah

sangat terlambat.

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Dori Handayani, HS di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tentang karakteristik penderita kanker

serviks rawat inap dari tahun 2005-2008, dalam penelitiannya tentang pengaruh

karakteristik ibu terhadap deteksi dini kanker serviks juga mengatakan bahwa

ada pengaruh karakteristik ibu terhadap deteksi dini kanker serviks meliputi

umur (p value = 0,03 1), pendidikan (p value 0,039), pekerjaan (p value =

0,022), ekonomi (p value = 0,022), ekonomi (p value =0,028 dan paritas (p value
5

=0,035).

Menurut Yatim (2005), di RSCM kanker serviks terjadi pada usia 25-34

tahun dan umur 35-54 tahun. Kejadian kanker diusia muda disebabkan karena

melakukan aktivitas seksual pada usia muda. Menurut Price (2014), puncak

karsinoma adalah usia 20-30 tahun. Semakin muda wanita melakukan hubungan

seksual semakin besar risiko mendapatkan karsinoma serviks uteri dan menikah

pada usia 20 tahun dianggap usia muda.

Menurut Teheru (1998) dan Hidayati (2009) mengatakan bahwa terdapat

hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan, dimana wanita pekerja kasar,

seperti buruh, petani memperlihatkan 4 kali lebih mungkin terkena kanker

serviks dibandingkan wanita pekerja ringan atau bekerja dikantor. Dua kejadian

yang terpisah memperlihatkan adanya hubungan antara kanker serviks dengan

pekerjaan. Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks

dibandingkan para istri pekerja kantor atau pekerja ringan.

Penelitian yang dilakukan oleh Surbakti (2009) pendidikan juga

mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian kanker serviks OR= 2,012

dengan kata lain penderita kanker serviks yang berpendidikan rendah merupakan

faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks. Berdasarkan

penelitian Verralls (2013) juga mengatakan bahwa ada pengaruh ekonomi

terhadap deteksi dini kanker serviks dimana nilai p value sebesar 0,023.

Penelitian Darnindra dkk (2011) mengatakan bahwa rendahnya tingkat

pendapatan perkapita masyarakat menjadikan kebutuhan akan pemeriksaan

kesehatan secara berkala belum menjadi kebutuhan primer. Kanker serviks


6

banyak ditemukan pada paritas tinggi tetapi tidak jelas bagaimana hubungan

jumlah persalinan dengan kejadian kanker serviks karena pada wanita yang

melahirkan juga dapat terjadi kanker serviks (Yakub, 1993.)

Berdasarkan penelitian (Nurhasanah, 2008), di RSU ZA Banda Aceh

tahun 2008, bahwa pengetahuan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

perilaku pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) (p value sebesar

0,004). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki pengaruh besar

terhadap kesehatan. Untuk berperilaku sehat misalnya dalam upaya deteksi dini

kanker serviks, diperlukan pengetahuan, sumber informasi dan kesadaran

individu untuk melakukan pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).

Rendahnya pengetahuan masyarakat ini disebabkan oleh kurangnya informasi

yang didapat dari petugas kesehatan. Jadi sangat penting meningkatkan

pengetahuan masyarakat tentang test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) untuk

memperoleh peningkatan pengetahuan wanita dalam melakukan deteksi dini

kanker serviks (pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)) dengan cara

memberikan informasi kepada wanita PUS (Pasangan Usia Subur) sebanyak-

banyaknya. Sumber informasi disini bisa juga dari teman sebaya, teman kerja,

media cetak dan media elektronika.

Penelitian Ompusunggu, Bukit (2012), menunjukkan bahwa dari faktor

sumber informasi mayoritas responden menyatakan tidak pernah menerima

informasi tentang test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) dari petugas kesehatan

atau orang lain, media cetak dan media elektronik. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa sumber informasi berperan dalam mempengaruhi keputusan untuk


7

melakukan pemeriksaan organ reproduksi serviks, dimana seseorang yang

terpapar media massa akan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan

dengan orang yang tidak pernah terpapar media massa, hal ini menunjukkan

bahwa informasi yang kurang menjadi alasan tidak melakukan pemeriksaan test

IVA.

Selain itu, banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks

pada ibu, sebagaimana menurut teori Green (1980) bahwa perilaku kesehatan

seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan, keyakinan,

nilai, sikap dan variabel demografik tertentu seperti umur, pendidikan, pekerjaan

dan lain-lain), kemudian faktor pendukung adalah ketersediaan sumber daya

kesehatan, keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen

masyarakat/ pemerintah, keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan), serta

faktor pendorong adalah keluarga, teman sebaya, petugas kesehatan, dapat

mempengaruhi perilaku kesehatan.

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di wilayah

Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, WUS yang yang

melakukan pemeriksaan IVA, periode Januari – Agustus 2013 sebanyak 125

orang dan 11 orang diantaranya didapati positif.Dari data yang didapat dari

petugas puskesmas, bahwasanya jika diadakan pemeriksaan gratis, maka banyak

masyarakat yang tidak ikut periksa IVA. Dari 10 orang wanita usia subur yang

diwawancarai oleh penulis terdapat 7 orang wanita usia subur yang belum

melakukan deteksi dini kanker serviks, hal ini terjadi karena kurangnya informasi

tentang deteksi dini kanker serviks. Menurut mereka, belum pernah petugas
8

kesehatan secara khusus melakukan penyuluhan tentang kanker servix. Target

deteksi dini kanker serviks menurut Nafsiah (2013) adalah 80% perempuan usia

30-50 tahun melakukan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)setiap 5 tahun

sedangkan targetcakupanwilayahKerja Puskesmas Pancur Batu sebesar 80%

namun cangkupan untuk tahun 2016 hanya sebesar 12% dari target usia 30-50

tahun.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti

tentang pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap tindakan wanita usia

subur dalam deteksi dini kanker serviks di Wilayah Desa Baru Kecamatan

Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2017.

1.2. Rumusan Masalah


Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh faktor

internal dan eksternal terhadap tindakan wanita usia subur dalam deteksi dini

kanker serviks melalui pemeriksaaan test IVAdi Wilayah Desa Baru Kecamatan

Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2018?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap tindakan wanita usia

subur dalam deteksi dini kanker serviks melalui pemeriksaaan test IVAdi

Wilayah Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

Tahun 2018
9

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh faktor internal(umur, pendidikan,

pekerjaan, ekonomi, paritas) terhadap tindakan wanita usia subur

dalam deteksi dini kanker serviks melalui pemeriksaaan test IVAdi

Wilayah Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

Tahun 2018.

2. Untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal (pengetahuan, sumber

informasi) terhadap tindakan wanita usia subur dalam deteksi dini

kanker serviks melalui pemeriksaaan test IVAdi Wilayah Desa Baru

Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2018.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Sebagai bahan masukan bagi Desa Baru untuk meningkatkan sosialisasi pada

wanita usia subur untuk melakukan deteksi dini terhadap kanker serviks.

2. Untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan wanita usia subur tentang

deteksi dini kanker serviks.

3. Sebagai bahan referensi dalam penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini dilakukan di wilayah Desa Baru

Kecamatan Pancur Batu, waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Januari

hingga April 2018 dan difouskan kepada wanita usia subur.


10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kanker Serviks


Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh pada serviks yang

merupakan pintu masuk ke arah rahim (uterus) yang terletak antara rahim dan

liang senggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang telah

berumur diatas 30 tahun, tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker

serviks juga dapat terjadi pada wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun

(Diananda, 2011).

Sebagaimana kanker umumnya maka kanker serviks akan menimbulkan

masalah-masalah berupa kesakitan (morbiditas), penderitaan dan akibat serius

dari penyakit ini adalah kematian. Namun menurut para ahli kanker, kanker

serviks adalah salah satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan paling

dapat disembuhkan dari semua kasus kanker (Diananda, 2009).

2.1.1. Epidemiologi Kanker Serviks

Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan

menjadi penyebab lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005.Kurang lebih

80% kematian tersebut terjadi di negara berkembang.Kanker serviks

disebabkan oleh infeksi yang terus menerus dari Human Papiloma Virus

(HPV).Penularan penyakit kanker ini dapat melalui hubungan seksual,

ditemukan lebih tinggi pada perempuan yang mulai berhubungan seksual

sebelum usia 16 tahun (Bustan, 2014). Kanker serviks merupakan penyebab


11

kematian utama kanker pada wanita di negara berkembang.Setiap tahun

diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks baru diseluruh dunia, 77%

berada dinegara berkembang (Syamsudin, 2011).

Angka prevalensi didunia mengenai kanker serviks adalah 99,7%, tanpa

penatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian akibat kanker serviks

akan meningkat 25% dalam 10 tahun mendatang (Rasyidi, 2007).

Di Indonesia diperkirakan sekitar 90-100 kanker baru diantara 100.000

penduduk pertahunnya, atau sekitar 180.000 kasus baru pertahunnya, dengan

kanker serviks menempati urutan pertama diantara kanker pada wanita

(Mustari, 2006).

Penyebab utama tingginya angka kejadian kanker serviks di negara

berkembang karena tidak adanya program skrining (deteksi dini) yang efektif

bagi wanita dengan sosial ekonomi rendah. Di Indonesia hambatan test skrining

cukup besar, terutama karena belum menjadi program wajib pelayanan

kesehatan (Emilia, 2010).

Secara umum diseluruh dunia, baik insiden dan mortalitas kanker serviks

berada pada urutan kedua setelah kanker payudara, sedangkan pada negara

berkembang kanker serviks masih menempati urutan pertama sebagai penyebab

kematian pada wanita (Sarjadi, 1995). Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Pirngadi Medan, angka prevalensi kanker serviks pada tahun 2010 adalah 40

kasus, 60% berusia antara 25-45 tahun.


12

2.1.2. Penyebab dan Gejala Kanker Serviks

Penyebab kanker serviks belum diketahui, tetapi penelitian akhir di luar

negeri mengatakan bahwa virus HPV (Human Papilloma Virus) menyebabkan

faktor risiko seorang wanita untuk terkena kanker serviks meningkat

tajam.Sekitar 90-99 persen jenis kanker serviks disebabkan oleh human

papilloma virus (HPV).Virus ini bisa ditransfer melalui hubungan seksual dan

bisa hadir dalam berbagai variasi.Ada beberapa kasus virus HPV yang reda

dengan sendirinya, dan ada yang berlanjut menjadi kanker serviks, sehingga

cukup mengancam kesehatan anatomi wanita yang satu ini.Salah satu problema

yang timbul akibat infeksi HPV ini seringkali tidak ada gejala atau tanda yang

tampak mata.Menurut hasil studi National Institute of Allergy and Infectious

Diseases, hampir separuh wanita yang terinfeksi dengan HPV tidak memiliki

gejala-gejala yang jelas.Dan lebih-lebih lagi, orang yang terinfeksi juga tidak

tahu bahwa mereka bisa menularkan HPV ke orang sehat lainnya (Depkes RI,

2010).

Gejalanya tidak terlalu kelihatan pada stadium dini, menurut hasil studi

National Institute of Allergy and Infectious Diseases, pada tahap pra kanker

atau displasia sampai stadium I, praktis tidak ada keluhan yang dirasakan. Baru

menginjak stadium 1A-3B terdapat keluhan.Namun beberapa gejala bisa

diamati meski tidak selalu memberi petunjuk infeksi HPV, keputihan atau

mengeluarkan sedikit darah setelah melakukan hubungan intim (Diananda,

2009).
13

Adanya cairan kekuningan yang berbau di area genital juga bisa menjadi

petunjuk infeksi HPV (Human Papillo Virus). Virus ini dapat menular dari

seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang tersebut. Penularan

dapat terjadi karena kontak langsung dan karena hubungan seks. Jika ditemukan

keputihan kemungkinan kanker serviks perlu diwaspadai walaupun gejala

tersebut bukanlah gejala khas dari kanker serviks dan pada keadaan lanjut dapat

ditemukan perdarahan pasca senggama, jika lebih berat lagi dapat terjadi

perdarahan yang tidak teratur (methorhagia) serta pengeluaran cairan

kekuningan kadang-kadang bercampur darah dan berbau busuk dari liang

senggama. Muka penderita nampak pucat karena terjadi perdarahan dalam

waktu yang lama.Anemia yang sering ditemukan akibat perdarahan pervagina

dan akibat penyakit, berat badan baru menurun biasanya pada stadium klinik

III.Rasa nyeri di daerah bagian pinggul atau di ulu hati dapat disebabkan oleh

tumor yang terinfeksi atau radang panggul.Rasa nyeri di daerah pinggang dan

punggung dapat terjadi karena terbendungnya saluran kemih sehingga ginjal

jadi membengkak (hidronefrosis) atau karena penyebaran tumor kelenjar getah

bening di sepanjang tulang belakang.Juga pada stadium lanjut dapat timbul rasa

nyeri di daerah panggul, disebabkan penyebaran tumor ke kelenjar getah bening

dinding panggul.

Timbulnya perdarahan dari saluran kemih dan perdarahan dari dubur

dapat disebabkan oleh penyebaran tumor ke kandung kemih dan ke rektum.

Semakin lanjut dan bertambah parahnya penyakit, penderita kanker serviks


14

akan menjadi kurus, anemia, malaise, nafsu makan hilang (anoreksia), gejala

uremia, syok dan dapat sampai meninggal dunia (Rasyidi, 2011).

2.1.3. Stadium Klinik dan Prognosis Kanker Serviks

1. Stadium klinik

Tujuan penentuan stadium klinik adalah untuk dapat merumuskan

prognosis, menentukan jenis pembatasan cacat, dan agar hasil penanganan

dari berbagai stadium dapat dibandingkan. Stadium klinik yang sering

digunakan ad dianjurkan oleh Federation International of Gynecology and

Obtetricts (FIGO), yaitu sebagai berikut :

1) Stadium 0, stadium ini disebut juga karsinoma insitu ( CIS). Tumor

masihdangkal, hanya tumbuh dilapisan sel serviks.

2) Stadium I, kanker telah tumbuh dalam serviks, namun belum menyebar

kemanapun, stadium ini dibedakan menjadi:

a. Stadium IA1, dokter tidak dapat melihat kenker tanpa mikroskop,

kedalamannya kurang dari 3 mm dan besarnya kurang dari 7 mm.

b. Stadium IA2, dokter tidak dapat melihat kanker tanpa mikroskop,

kedalamannya antara 3-5 mm dan besarnya kurang dari 7 mm.

c. Stadium IB1, dokter dapat melihat kanker dengan mata telanjang.

Ukuran tidak lebih besar dari 4 cm.

d. Stadium IB2, dokter dapat melihat kanker dengan mata telanjang.

Ukuran lebih besar dari 4 cm.


15

3) Stadium II, kanker berada di bagian dekat serviks tapi bukan di luar

panggul. Stadium II dibagi menjadi :

a. Stadium IIA, kanker meluas sampai ke atas vagina, tapi belum

menyebar ke jaringan yang lebih dalam dari vagina.

b. Stadium IIB, kanker telah menyebar ke jaringan sekitar vagina dan

serviks, namun belum sampai ke dinding panggul.

4) Stadium III, kanker telah menyebar ke jaringan lunak sekitar vagina dan

serviks sepanjang dinding panggul. Mungkin dapat menghambat aliran

urine ke kandung kemih.

5) Stadium IV, pada stadium ini, kanker telah menyebar ke bagian lain

tubuh, seperti kandung kemih, rektum, dan paru-paru. Stadium IV

dibagi menjadi:

a. Stadium IVA, kanker telah menyebar ke organ terdekat, seperti

kandung kemih dan rektum.

b. Stadium IVB, kanker telah menyebar ke organ yang lebih jauh seperti

paru-paru.

2. Prognosis Kanker Servis

Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya 5-

years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-

80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%.

a. Stadium 0, 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.

b. Stadium 1
16

Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi 2, IA dan IB. dari semua

wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate

sebesar 95%.Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai

90%.Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka.

c. Stadium 2

Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B.dari semua

wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival

rate sebesar 70 - 90%.Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60

sampai 65%.

d. Stadium 3

Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%

e. Stadium 4

Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%

Makin tinggi stadium klinik kanker serviks maka prognosisnya

semakin buruk. Untuk itu program pencegahan kanker tingkat I dan II harus

ditingkatkan. Program pencegahan tingkat I yaitu penerangan kepada

masyarakat. Sedangkan tingkat II yaitu pemeriksaan kolposkopi (Nugroho,

2010).

2.1.4. Pencegahan Kanker Serviks

Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kanker serviks perlu upaya-

upaya pencegahan. Pencegahan terdiri dari beberapa tahap yaitu:


17

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah pencegahan awal kanker yang utama.Hal ini

untuk menghindari faktor risiko yang dapat dikontrol. Cara-cara

pencegahan primer adalah sebagai berikut (Dalimartha, 2014) :

a. Tundalah berhubungan seksual sampai batas usia di atas remaja

Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang perempuan benar-

benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari ia sudah

menstruasi atau belum, tetapi juga tergantung pada kematangan sel-sel

mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh.

Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah perempuan berusia 20

tahun ke atas.Terutama untuk perempuan yang masih di bawah 16

tahun memiliki risiko yang sangat tinggi terkena kanker serviks bila

telah melakukan hubungan seks.

b. Batasi jumlah pasangan

Risiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang

berganti-ganti pasangan seks daripada dengan yang tidak.Hal ini terkait

dengan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, salah satunya

Human Papiloma Virus (HPV).

c. Melakukan vaksinasi HPV

Vaksinasi dapat dilakukan sebelum remaja. Bisa diberikan pada wanita

usia 12-14 tahun, melalui suntikan sebanyak tiga kali berturut-turut tiap

2 bulan sekali dan dilakukan pengulangan satu kali lagi pada sepuluh

tahun kemudian. Hal ini dilakukan agar terhindar dari kanker yang
18

mematikan ini.Untuk itu telah dikembangkan vaksin HPV yang dapat

memberikan manfaat yang besar dalam pencegahan penyakit ini.

d. Hindarilah rokok

Zat yang terkandung dalam nikotin yang ada pada rokok akan

mempermudah selaput sel lendir tubuh bereaksi. Sedangkan isi daerah

serviks adalah lendir. Dengan begitu risiko untuk berkembangnya sel

yang abnormal akan semakin mudah. Wanita perokok berisiko 2 kali

lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang

bukan perokok.

e. Makanlah makanan yang mengandung vitamin C, Beta Karoten dan

Asam Folat Vitamin C, beta karoten dan asam folat dapat memperbaiki

atau memperkuat mukosa serviks. Kekurangan vitamin C, beta karoten

dan asam folat bisa menyebabkan timbulnya kanker serviks.

f. Penggunaan kondom

Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka

punya bukti pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi risiko

penularan virus penyebab kutil kelamin (genital warts) dan banyak

kasus kanker serviks. Hasil pengkajian atas 82 orang yang

dipublikasikan di New England Journal of Medicine memperlihatkan

bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu menggunakan

kondom saat berhubungan seksual kemungkinannya 70 persen lebih

kecil untuk terkena infeksi human papillomavirus (HPV) dibanding

wanita yang pasangannya sangat jarang (tak sampai 5 persen dari


19

seluruh jumlah hubungan seks) menggunakan kondom. Hasil penelitian

memperlihatkan efektivitas penggunaan kondom di Indonesia masih

tergolong rendah. Dari survei Demografi Kesehatan Indonesia pada

2003 (BPS-BKKBN) diketahui bahwa ternyata penggunaan kondom

pada wanita usia subur di negara ini masih sekitar 0,9 persen.

g. Sirkumsisi pada pria

Sebuah studi menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria berhubungan

dengan penurunan risiko infeksi HPV pada penis dan pada kasus

seorang pria dengan riwayat multiple sexual partners, terjadi penurunan

risiko kanker serviks pada pasangan wanita mereka yang sekarang.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan

kasus-kasus dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan,

termasuk deteksi dini dan pengobatan.Deteksi dini kanker serviks dapat

memperoleh keuntungan yaitu, memperbaiki prognosis pada sebagian

penderita sehingga terhindar dari kematian akibat kanker, tidak diperlukan

pengobatan radikal untuk mencapai kesembuhan, adanya perasaan tentram

bagi mereka yang menunjukkan hasil negatif dan penghematan biaya

karena pengobatan yang relatif mahal.

3. Pencegahan Tertier

Pengobatan untuk mencegah komplikasi klinik dan kematian awal dengan

cara :
20

a. Operasi sederhana dilakukan pada stadium awal (stadium 0 hingga

1A), dan pada stadium 1B sampai 2B dilakukan histrektomi, seluruh

rahim diangkat berikut sepertiga vagina.

b. Pengobatan dengan cara radiasi atau penyinaran dengan sinar x

dilakukan pada stadium 2B keatas (stadium lanjut).

c. Pengobatan dengan cara kemoterapi karena radiasi sudah tidak

memungkinkan lagi.

2.2. Deteksi Dini Kanker Serviks

Cakupan deteksi dini terhadap kanker serviks baru dibawah 5%

mengakibatkan banyak kasus ini ditemukan sudah pada stadium lanjut yang

sering kali mengakibatkan kematian. Deteksi dini dilakukan untuk melacak

adanya perubahan sel kearah keganasan secara dini

Kanker serviks sering terjadi pada usia diatas 25 tahun. Oleh karena itu,

pada tempat dengan sumber daya terbatas, deteksi dini semestinya difokuskan

pada perempuan usia 25-49 tahun. Dianjurkan sekali setahun secara teratur

seumur hidup. Bila pemeriksaan tahunan 3x berturut – turut hasilnya normal,

pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan setiap 3 tahun (Widyastuti, 2010).

Bila hasil pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)ditemukan

adanya sel-sel epithel serviks yang bentuknya abnormal (displasia), harus

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada wanita dengan risiko tinggi,

pemeriksaan harus dilakukan sekali setahun atau sesuai petunjuk dokter

( Widyastuti, 2010).
21

Ada beberapa metode untuk deteksi dini terhadap infeksi HPV (Human

Pappiloma Virus) dan kanker serviks seperti berikut:

2.2.1. IVA (Inspeksi Visual dengan Asam asetat)

Metode pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan

asam asetat, kemudian diamati apakah ada kelainan seperti area berwarna

putih.Jika tidak ada perubahan warna, maka dapat dianggap tidak ada infeksi

pada serviks.IVAadalah Tes visual menggunakan larutan asam cuka (asam

asetat 3-5%) dan larutan iosium lugol pada serviks dan melihat perubahan

warna yang terjadi setelah alah klasifikasi yang dilakukan olesan.Tujuannya

untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia sebagai salah satu metode

skrining kanker mulut rahim (Rasjidi, 2011).IVA (Inspeksi Visual dengan

pulasan Asam asetat) merupakan metode untuk mendeteksi dini kanker

serviks yang murah meriah menggunakan asam asetat 3-5%, dan tergolong

sederhana dan memiliki keakuratan 90%.

Pemeriksaan serviks secara visual menggunakan asam cuka (IVA) berarti

melihat serviks dengan mata telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah

pengolesan asam asetat atau cuka (3-5%). Daerah yang tidak normal akan

berubah warna dengan batas yang tegas menjadi putih (aceto white) yang

mengindikasikan bahwa serviks mungkin memiliki lesi pra kanker.

1. Kelebihan Metode Skrining IVA

IVA adalah praktik yang dianjurkan untuk fasilitas dengan sumber daya

sederhana dibandingkan dengan jenis penapisan lain karena :

a. Aman, tidak mahal dan mudah dilakukan


22

b. Akurasi tes tersebut sama dengan tes-tes lain yang digunakan untuk

penapisan kanker serviks

c. Dapat dipelajari dan dilakukan oleh hampir semua tenaga kesehatan di

semua jenjang sistem kesehatan

d. Memberikan hasil segera sehingga dapat segera diambil keputusan

mengenai penatalaksanaannya (pengobatan atau rujukan)

e. Suplai sebagian besar peralatan dan bahan untuk pelayanan ini mudah

tersedia

f. Pengobatan langsung dengan krioterapi berkaitan dengan penapisan

yang tidak bersifat invasif dan dengan efektif dapat mengidentifikasi

berbagai lesi prakanker.

2. Kelompok Sasaran Skrining (Penapisan) IVA

Melihat dari perjalanan penyakit kanker serviks, kelompok sasaran

skrining kanker serviks adalah :

a. Perempuan berusia 25-49 tahun dan sudah menikah

b. Perempuan yang menjadi klien pada klinik Infeksi Menular Seksual

dan discharge (keluar cairan) dari vagina yang abnormal atau nyeri

pada abdomen bawah (bahkan jika di luar kelompok usia tersebut)

c. Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin,

perempuan yang sedang hamil dapat menjalani skrining dengan aman,

tetapi tidak boleh menjalani pengobatan dengan krioterapi) oleh karena

itu IVA belum dapat dimasukkan pelayanan rutin pada klinik antenatal
23

d. Perempuan yang mendatangi Puskesmas, Klinik IMS dan Klinik KB

yang secara khusus meminta skrining kanker serviks.

3. Syarat pemeriksaan IVA

a. Wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seksual

b. Wanita yang sudah menikah

c. Tidak koitus selama 24 jam

d. Tidak menggunakan obat per vaginal selama dua hari

e. Tidak hamil

f. Tidak menstruasi

4. Cara Pemeriksaan IVA

a. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat serviks yang telah

diberi asam asetat 3-5% secara inspekulo. Pada lesi prakanker akan

menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white epithelium.

Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat disimpulkan bahwa

tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Zat ini

akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler epitel abnormal.

Cairan ekstraseluler hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler

sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel semakin dekat.

Akibatnya jika permukaan epitel disinari maka sinar tersebut tidak

akan diteruskan ke stroma namun akan dipantulkan dan permukaan

epitel abnormal akan berwarna putih.


24

b. Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan juga akan

berwarna putih setelah pengusapan asam asetat tetapi dengan intensitas

yang kurang dan cepat hilang, ini yang membedakannya dengan proses

pra kanker di mana epitel putih lebih tajam dan lebih lama hilang

karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi

protein yang lebih banyak.

c. Makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan

histologiknya. Demikian pula makin makin tajam batasnya, makin

tinggi derajat jaringannya; sehingga dengan pemberian asam asetat

akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah

homogen) dan bercak putih (displasia). Dibutuhkan satu sampai dua

menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Serviks

yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat daripada

larutan 3%. Efek akan hilang setelah sekitar 50-60 detik. Lesi yang

tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel

putih namun dikatakan suatu leukoplasia. Dari beberapa penelitian

didapatkan sensitifitas 65-96% dan spesifisitas 64-98%. Sedangkan

penelitian efektivitas IVA oleh bidan di Jakarta mendapatkan

sensitifitas 90% dan spesifisitas 99,8% dengan nilai duga positif

83,3%.
25

2.3. Faktor Internal

Karakteristik adalah ciri-ciri atau sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu

(Daryanto, 1997).Faktor yang termasuk ke dalam faktor internal adalah umur,

pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, paritas dan pengetahuan.

a. Umur

Umur adalah lamanya hidup yang telah dilalui, umur reproduksi sehat adalah

20-35 tahun, Menurut Veiralls (2003) wanita umur 25-49 tahun mempunyai

risiko tinggi dan untuk timbulnya kanker senviks, tetapi sekarang telah

terjadi peningkatan jumlah wanita muda yang sel-sel abnormalnya, bahkan

dapat didiagnosis pada sitologis serviks.

Umur individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih matang dalam berpikir dan bekerja (Huclok, 1998 dalam Wawan

2010). Kanker leher rahim dapat terjadi pada usia mulai 18 tahun

(Baughman, Hackley, 2000). Pemeriksaan deteksi dini kanker leher rahim di

Indonesia dianjurkan bagi semua perempuan berusia 30 tahun sampai 50

tahun. Kasus kejadian kanker leher rahim paling tinggi terjadi pada usia 40

tahun dan 50 tahun, sehingga tes harus dilakukan pada usia dimana lesi pra

kanker lebih mungkin terdeteksi, yaitu biasanya 10 tahun sampai 20 tahun

lebih awal (Depkes RI, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukanti, Anggiasih tahun 2007


26

bahwa ibu yang melakukan pemeriksaan papsmear sebanyak 78,5% berusia

>35 tahun. Hal ini sesuai dengan anjuran Depkes RI, 2009, bahwa deteksi

dini kanker leher rahim dianjurkan pada perempuan usia 30-50 tahun, karena

lesi pra kanker lebih mungkin terdeteksi.

Menurut Yatim (2005), di RSCM kanker serviks terjadi pada usia 25-34

tahun dan umur 35-54 tahun. Secara umum stadium IA lebih sering

ditemukan pada kelompok umur 40-49 tahun, sedangkan stadium IB dan II

sering ditemukan pada kelompok umur 40-49 tahun, stadium III dan IV

sering ditemukan pada kelompok umur 60-69. Di RSCM ditemukan pada

stadium IB, dan IIA sering terdapat pada kelompok umur 35-44 tahun,

sedangkan stadium IIB sering pada kelompok umur 45-54 tahun.

Kejadian kanker diusia muda disebabkan karena melakukan aktivitas seksual

pada usia muda, menurut Price (2006), puncak insiden karsinoma adalah

usia 20-30 tahun. Pemeriksaan pelvis dan penapisan pulasan test IVA

(Inspeksi Visual Asam Asetat) setiap tahun bagi wanita yang telah aktif

melakukan hubungan seksual. Semakin muda wanita melakukan hubungan

seksual semakin besar risiko mendapatkan karsinoma serviks uteri dan

menikah pada usia 20 tahun dianggap usia muda.

Kanker serviks sering ditemukan antara umur 30 – 60 tahun dimana insiden

terbanyak pada umur 40 – 50 tahun, dan akan menurun drastis sesudah

berumur 60 tahun (Parson). Sedangkan menurut Bendson, penderita kanker


27

serviks rata-rata dijumpai pada umur 45 tahun.Menurut Davis dan banyak

peneliti lainnya mengemukakan dalam 1000 per 100.000 dari kanker intra

epitalia dijumpai pada wanita 30 – 45 tahun (Yakub, 1993).

Periode laten dan fase pra invasif untuk menjadi invasif memakan waktu

sekitar 10 tahun. Hanya 9 % dari wanita berusia < 35 tahun menunjukkan

kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosa sedangkan 35 % dari

kanker serviks terdapat pada wanita di bawah usia 35 tahun. Menurut Aziz

(2002), umumnya insidens kanker serviks sangat rendah di bawah umur 20

tahun dan sesudahnya naik dengan cepat dan menetap pada usia 50 tahun.

Sementara kanker serviks mulai naik pada umur lebih awal, dan puncaknya

pada umur 30 – 34 tahun, dan mencapai puncak menetap pada usia 35 – 55

tahun dan terus menurun sesudah usia tersebut.

Menurut Riono (1999), kanker serviks biasanya terjadi pada wanita yang

berumur tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker serviks dapat juga

menyerang wanita yang berumur antara 20 – 30 tahun.

Kawin muda berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks. Penelitian

Sandra Van Loon di RSHS (1996), wanita penderita kanker serviks kawin

pertama kali antara umur 15 – 19 tahun. Beberapa sarjana melihat adanya

hubungan erat antara kanker serviks dengan kawin muda. Wanita yang

kawin muda atau pertama kali koitus pada umur 15- 20 tahun lebih sering

terkena kanker serviks (Lussat ).


28

Umur pertama kali hubungan seksual merupakan salah satu faktor yang

cukup penting. Dimana makin muda seorang perempuan melakukan

hubungan seksual semakin besar risiko yang harus ditanggungnya, karena

terjadinya kanker serviks dengan masa laten kanker serviks memerlukan

waktu 30 tahun sejak melakukan hubungan seksual pertama, sehingga

hubungan seksual pertama dianggap awal dari mula proses munculnya

kanker serviks pada wanita (Yakub,1993).

Menurut Riono (1999) dalam Aziz ( 2010) wanita menikah di bawah usia 16

tahun biasanya 10 – 12 kali lebih besar kemungkinan terjadi kanker serviks

daripada mereka yang menikah setelah berusia 20 tahun ke atas. Pada usia

tersebut kondisi rahim seorang remaja putri sangat sensitive. Serviks remaja

lebih rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses

metaplasia skuomosa yang aktif, yang terjadi selama periode

perkembangan.

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Dori Handayani, HS di

Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan tentang karakteristik penderita kanker

serviks rawat inap dari tahun 2005-2008 dengan besar sampel 69 pasien

menyatakan bahwa proporsi sosio demografi tertinggi berturut-turut yakni:

umur 45-55 tahun 58,0%; suku batak 66,7%; ibu rumah tangga 61,0%; status

kawin 97,2%; dan daerah tempat tinggal kota Medan 53,6%. Umur rata-rata

adalah 49 tahun. Proporsi riwayat keluhan perdarahan pervaginam 84,1%.

Case Fatality Rate (CFR) tertinggi tahun 2008 20,0% dan tidak ada
29

perbedaan umur penderita kanker serviks berdasarkan stadium klinik. Dalam

penelitiannya tentang pengaruh karakteristik ibu terhadap deteksi dini kanker

serviks juga mengatakan bahwa ada pengaruh karakteristik ibu terhadap

deteksi dini kanker serviks meliputi umur (p value = 0,031), pendidikan (p

value = 0,039), pekerjaan (p value = 0,022), ekonomi (p value = 0,028) dan

paritas (p value = 0,035).

2. Pendidikan

Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian dan

mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohaniah

yang berlangsung seumur hidup, baik didalam maupun diluar sekolah dalam

rangka peningkatan persatuan Indonesia dan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila.

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek

sekalian objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Menurut Mj.

Langveld, pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan

bantuan yang diberikan kepada anak yang tertujukan pada kedewasaan.

Sedangkan pendidikan dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian

materi guna mencapai perubahan dan tingkah laku (Notoadmotjo, 2012).

Menurut Daryanto (2012), pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia

muda. Peningkatan manusia ketaraf insani itulah yang disebut mendidik,

sedangkan mentumt Dictionary of Education tahun (1984), pendidikan


30

adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap, dan

bentuk tingkah laku lainnya didalam lingkungan masyarakat.

Menurut Notoadmotjo (2012), konsep dasar dari pendidikan adalah suatu

proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses

pertumbuhan, perkembangan perubahan kearah yang lebih baik, lebih

dewasa dan lebih matang sehingga dapat menghasilkan perubahan

perubahan perilaku pada diri individu, kelompok atau masyarakat.

Koentjoroningrat (2010), mengatakan pendidikan adalah kemahiran

menyerap pengetahuan akan meningkat sesuai dengan pendidikan seseorang

dan kemampuan ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap

pengetahuan yang diserapnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin

mudah untuk dapat menyerap pengetahuan.

Penelitian Harahap 1983 di RSCM antara tingkat pendidikan dengan

kejadian kanker serviks terdapat hubungan yang kuat, dimana kanker serviks

cenderung lebih banyak terjadi pada wanita yang berpendidikan rendah

dibanding wanita yang berpendidikan tinggi (88,9%). Tinggi rendahnya

pendidikan berkaitan dengan tingkat sosio ekonomi, kehidupan seks dan

kebersihan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Surbakti (2004)

pendidikan mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian kanker serviks

OR= 2,012 dengan kata lain penderita kanker serviksyang berpendidikan

rendah merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kanker


31

serviks.

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah aktivitas rutin yang dilakukan subjek penelitian diluar

maupun di dalam rumah yang menghasilkan imbalan materi maupun uang

(Daryanto,1997). Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan

keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko

menurut sifat pekerjaan juga akan mempengaruhi pada lingkungan kerja dan

sifat sosial ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu, (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Teheru (1998) dan Hidayati (1999) terdapat hubungan antara

kanker serviks dengan pekerjaan, dimana wanita pekerja kasar, seperti

buruh, petani memperlihatkan 2 kali lebih mungkin terkena kanker serviks

dibandingkan wanita pekerja ringan atau bekerja di kantor. Dua kejadian

yang terpisah memperlihatkan adanya hubungan antara kanker serviks

dengan pekerjaan. Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin terkena

kanker serviks dibandingkan para istri pekerja kantor atau pekerja ringan,

kebanyakan dari kelompok petani ini dapat diklasifikasikan ke dalam

kelompok sosial ekonomi rendah, mungkin standard kebersihan yang tidak

baik pada umumnya faktor sosial ekonomi rendah cenderung memulai

seksual pada usia lebih muda.

4. Sosial ekonomi

Status sosiol ekonomi adalah tingkat pendapatan penduduk, semakin tinggi


32

pendapatan penduduk semakin tinggi pula pengeluaran yang dibelanjakan

untuk barang makanan, semakin tinggi pendapatan keluarga semakin baik

juga status gizi masyarakat (BPS, 2012).

Tingkat ekonomi yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk

memperoleh kebutuhan yang lebih misalnya di bidang pendidikan,

kesehatan, pengembangan karir dan sebagainya.Demikian juga sebaliknya

jika ekonomi lemah maka menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan tersebut.Keadaan sosial ekonomi (kemiskinan, orang tua yang

bekerja atau penghasilan rendah) yang memegang peranan penting dalam

meningkatkan status kesehatan keluarga. Jenis pekerjaan orangtua erat

kaitannya dengan tingkat penghasilan dan lingkungan kerja, dimana bila

penghasilan tinggi maka pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pencegahan

penyakit juga meningkat, dibandingkan dengan penghasilan rendah akan

berdampak pada kurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam hal

pemeliharaan kesehatan karena daya beli obat maupun biaya transportasi

dalam mengunjungi pusat pelayanan kesehatan (Zacler, dalamNotoatmodjo,

2012).

Pendapatan merupakan ukuran yang sering digunakan untuk melihat kondisi

status sosial ekonomipada suatu kelompok masyarakat.Semakin baik kondisi

ekonomi masyarakat semakin tinggi persentase yang menggunakan jasa

kesehatan.Data Survey Kesehatan Nasional tahun (1992), memperlihatkan

rata-rata penggunaan pelayanan kesehatan berhubungan dengan


33

meningkatnya pendapatan, baik pada pria maupun wanita, oleh karena itu

status sosial ekonomi berhubungan dengan kondisi seseorang, keluarga dan

masyarakat Depkes RI (2000).

Menurut Verralls (2003) wanita pada kelompok sosial ekonomi rendah

cenderung memulai aktivitas seksualnya pada umur yang lebih muda.

Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah yang

berkaitan dengan gizi dan imunitas, pada sosial ekonomi rendah umumnya

kualitas makanan kurang. Hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.

Berdasarkan penelitian Verralls (2003) juga mengatakan bahwa ada

pengaruh ekonomi terhadap deteksi dini kanker serviks dimana nilai p value

sebesar 0,023; OR = 3,72)

Wanita dengan sosiol ekonomi tinggi sebagai kelompok risiko rendah, dan

wanita dengan status sosial ekonomi yang rendah sebagai wanita yang

berisiko tinggi terhadap terjadinya kanker serviks, biasanya dikaitkan dengan

hygiene sanitasi dan pemeliharaan kesehatan masih kurang. Pendidikan

rendah, kawin usia muda, jumlah anak yang tinggi, pekerjaan dan

penghasilan tidak tetap, serta faktor gizi yang kurang akan memudahkan

terjadinya infeksi yang menyebabkan daya imunitas tubuh menurun

sehingga menimbulkan risiko terjadinya kanker serviks (Teheru,1998.

Hidayati,1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hibridawati

(2011) ditemukan proporsi terbesar penderita kanker serviks adalah

pekerjaan Ibu rumah tangga sebesar 73.7 %.


34

5. Paritas

Kanker serviks dijumpai pada wanita yang sering partus atau melahirkan.

Kategori partus sering belum ada keseragaman akan tetapi menurut

beberapa pakar berkisar 3–5 kali melahirkan. (Tamunan 1996

Harjono.1996).

Green menemukan penderita kanker serviks 7.9% adalah multi para dan

51% pada Nulli para. Dimana bila persalinan pervaginaan banyak maka

kanker serviks cenderung akan timbul.

Kanker serviks banyak ditemukan pada paritas tinggi tetapi tidak jelas

bagaimana hubungan jumlah persalinan dengan kejadian kanker serviks

karena pada wanita yang tidak melahirkan juga dapat terjadi kanker serviks

(Yakub, 2013)

2.4. Faktor Eksternal

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata

dan telinga (Notoatmodjo, 2007)

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6


35

tingkatan, yakni :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.Yang termasuk mengingat kembali tahap suatu yang

spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan.Jadi

tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Pengetahuan

wanita yang diteliti tentang Test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)pada

tingkat tahu bermaksud mereka dapat mengingat hal yang penting

berkaitan dengan pemeriksaan Test IVA (Inspeksi Visual Asam

Asetat)seperti ingat apa tujuan pemeriksaan ini.

b. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan tentang hal yang

berkaitan dengan pemeriksaan Test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi di artikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah di pelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi


36

disini dapat di artikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,

rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang

lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti

menggambarkan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya

tentang hal-hal yang penting berkaitan pemeriksaan test IVA (Inspeksi

Visual Asam Asetat).

e. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam bentuk suatu keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penelitian

terhadap suatu materi atau objek.Pengukuran pengetahuan wanita

tentang pemeriksaan Test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)dapat


37

dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang

materi yang ingin diukur melalui kuesioner yang diberikan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada

orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa

makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka

untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula

pengetahuan yang mereka miliki.

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh

pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak

langsung.

c. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek

fisik dan psikologis (mental), dimana aspek psikologis ini taraf berpikir

seseorang semakin matang dan dewasa.

d. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

terhadap sesuatu.Minat menjadikan sesorang untuk mencoba menekuni

suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih

mendalam.
38

e. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu

baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya.Pada dasarnya

pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi

individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara

subjektif.

2. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

(Notoadmotjo, 2012).

Berdasarkan penelitian (Nurhasanah, 2008), di RSU ZA Banda Aceh tahun

2008, bahwa pengetahuan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

perilaku pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)(p value sebesar

0,004). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki pengaruh besar

terhadap kesehatan. Untuk berperilaku sehat misalnya dalam upaya deteksi

dini kanker serviks, diperlukan pengetahuan dan kesadaran individu untuk

melakukan pemeriksaan test IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).

Informasi adalah data yang sudah dibentuk ke dalam sebuah formulir bentuk

yang bermanfaat dan dapat digunakan untuk manusia.Informasi terdiri atas

data yang telah didapatkan, diolah/diproses, atau sebaliknya yang digunakan


39

untuk tujuan penjelasan/penerangan, uraian, atau sebagai sebuah dasar untuk

pembuatan ramalan atau pembuat keputusan.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh W.J.S. Poerwadarminta

sumber adalah asal.Berdasarkan pengertian itu dapat disimpulkan bahwa

sumber informasi adalah asal dari informasi.Dalam penelitian ini sumber

informasi adalah sumber atau asal responden memperoleh keterangan

tentang papsmear baik dari media cetak, media elektronik, dan kelompok

referensi.

Sumber-sumberinformasi adlah sebagai berikut :

a. Media

Media komunikasi adalah alat yang digunakan untuk memindahkan

pesan dari sumber kepada penerima pesan.Media yang dapat menjadi

sumber informasi adalah media elektronik.

Media ini menggunakan perangkat elektronik untuk alat penyampaian

pesan dari sumber kepada massa. Pesan dapat dilihat, didengarkan,

dibaca oleh khalayak karena bentuknya lebih kompleks dari sekedar

media cetak. Contohnya: TV, radio, film, video recording, computer,

elektronik board, audio cassette, internet dan sebagainya.

Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk

menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh


40

komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronika dan media luar

ruang, sehingga sasaran dapatmeningkat pengetahuannya yang akhirnya

dapat berubah perilaku kearah positif terhadap kesehatan (Notoadmotjo,

2012).

Tujuan penggunaan media adalah :

1. Mempermudah penyampaian informasi

2. Informasi lebih mudah diingat

3. Media dapat menghindari kesalahan persepsi

4. Media dapat mempermudah pengertian

5. Membangkitkan minat

6. Memperbaiki komunikasi

7. Dapat menampilkan objek yang tidak bisa ditangkap dengan mata.

Salah satu metode untuk menyebarluaskan informasi tentang deteksi

dini adalah dengan melakukan promosi kesehatan.Promosi kesehatan

dengan metode ceramah interaktif merupakan upaya yang dapat

digunakan agar lebih dapat menjamin peningkatan pengetahuan, sikap

dan perubahan perilaku (Tjahjowati et.al.1997). Metode diskusi

interaktif akan lebih efektif jika didukung dengan alat bantu berupa

media. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu diucapkan oleh

pemberi informasi, baik melalui kata-kata atau kalimat tertentu, bahkan

keabstrakan bahan dapat dikonkritkan dengan kehadiran media. Salah

satu media visual untuk mengkonkritkan materi promosi kesehatan


41

adalah media Audio Visual Aids (AVA) dalam bentuk tayangan film

pendek (short film). Film yang berisi gambar gerak dan unsur suara

dapat ditayangkan melalui media video compactdisc (VCD). Video dan

VCD dapat digunakan sebagai media untuk mempelajari obyek dan

mekanisme kerja dalam topik tertentu (Santyasa, 2010).

b. Petugas Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui

pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Undang-Undang RI No.

36 Tahun 2009 tentang kesehatan).

Pergeseran paradigma tentang hubungan tenaga kesehatan dengan

pasien tidak lepas dari dampak dari kemajuan teknologi, keterbukaan

informasi dan perubahan sosio-ekonomi masyarakat.Pola hubungan

tenaga kesehatan dan pasien pun telah bergeser menjadi hubungan yang

berimbang berupa suatu kemitraan.Begitu pentingnya penguasaan

komunikasi bagi seorang komunikator dalam menyampaikan pesan-

pesan kepada komunikannya.

Definisi konseling sendiri menurut ASCA (American School Counselor

Association) yang dikutip Syamsu Yusuf, L.N dalam buku Landasan

Bimbingan Dan Konselingmengemukakan bahwa :

“Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh

dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor


42

kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilan

untuk membantu kliennya mengatasi masalah-masalahnya”.

Komunikasi yang efektif antara petugas kesehatan dan masyarakat

merupakan komponen yang sangat penting agar dapat menumbuhkan

kepercayaan masyarakat.Komunikasi yang efektif dapat mengurangi

keraguan masyarakat, menambah kunjungan ke fasilitas kesehatan,

meningkatkan loyalitas masyarakat dan tumbuhnya praktek layanan

tenaga kesehatan.Pasien dan penyedia layanan kesehatan sama-sama

memperoleh manfaat dari saling berbagi dalam hubungan yang

erat.Setiap pihak merasa dimengerti.

Berkaitan dengan hubungan interpersonal, menurut Joseph (2014),

dalam komunikasi antarpersonal hubungan yang terjadi antara

komunikan dan komunikator terdapat beberapa elemen yaitu : sumber-

penerima, konteks, efek, umpan balik dan ruang lingkup pengalaman.

Sumber-penerima sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk

menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi adalah

sumber (pembicara) sekaligus penerima (pendengar). Untuk itu, dalam

prakteknya seorang bidan sebagai sumber atau komunikator harus

mempunyai kredibilitas sehingga dapat memperoleh kepercayaan dari

pasien karena seseorang yang berkualitas adalah yang mempunyai

kredibilitas dimata orang lain. Pengertian dari kredibilitas sendiri

menurut Joseph (2014), adalah seperangkat persepsi komunikasi tentang

sifat – sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal: (1)
43

kredibilitas adalah persepsi komunikate; jadi tidak intern dalam diri

komunikator; (2) kredibilitas berkenaan dengan sifat –sifat komunikator,

yang selanjutnya akan kita sebut sebagai komponen – komponen

kredibilitas.

Komunikasi efektif antara petugas kesehatan dan pasien (masyarakat)

tidak terlepas dari faktor-faktor personal dan situasional.Konseling

merupakan kegiatan komunikasi langsung secara tatap muka yang

bersifat dialogis. Konseling adalah salah satu bentuk hubungan yang

bersifat membantu dalam upaya untuk membantu orang lain (pasien atau

masyarakat) agar mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya sendiri,

mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu

menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya.

Penelitian Irmina (2008), mengatakan bahwa ada pengaruh sumber

informasi terhadap deteksi dini kanker serviks (p value 0,028). Dalam

penelitian ini dikatakan bahwa sumber informasi yang kurang baik

memiliki peluang berisiko tidak melakukan deteksi dini kanker serviks

3,59 lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memperoleh

informasi yang baik.

2.4. Teori Perubahan Perilaku

Menurut L.W.Green, faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor perilaku

dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan

dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu :


44

1. Faktor-faktor Predisposisi ( Predisposing Faktors)

Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan

juga variasi demografi, seperti : status ekonomi, umur, jenis kelamin dan

susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut.

2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Faktors)

Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk

di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misal : dana,

transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.

3. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Faktors)

Adalah faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh

masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas

kesehatan, undang-undang peraturan-peraturan baik dari pusat maupun

pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.


45

2.5. Kerangka Teori

Faktor Internal : Faktor Predisposisi


1. Umur 1. Pengetahuan
2. Pendidikan 2. Keyakinan, nilai,
3. Pekerjaan sikap
4. Ekonomi
5. Paritas Faktor Pendukung
1. Ketersediaan sumber
daya kesehatan
2. Keterjangkauan
Faktor Eksternal : Perubahan perilaku sumber daya
1. Pengetahuan kesehatan kesehatan
a. Pendidikan 3. Prioritas dan
b. Pekerjaan komitmen
c. Umur masyarakat/pemerint
d. Minat ah
e. pengalaman 4. Keterampilan yang
berkaitan dengan
2. Sumber kesehatan
Informasi Faktor Pendorong
a. Media 1. Keluarga
b. Tenaga 2. Teman sebaya
3. Petugas kesehatan

Tindakan wanita usia subur dalam


deteksi dini kanker serviks melalui
pemeriksaan Test IVA

Gambar 2.1 Kerangka Teori Lawrence Green (1980), Daryanto (1997),Yakub

(1993), Notoatmojo (2010)


46

2.6. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Independent Variabel Dependent

Faktor Internal :
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
4. Ekonomi Tindakan wanita usia subur dalam
5. Paritas deteksi dini kanker serviks melalui
pemeriksaan Test IVA

Faktor Eksternal :
1. Pengetahuan
2. Sumber Informasi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.7. Hipotesis

1. Ada pengaruh faktor internal (umur, pendidikan, pekerjaan, ekonomi,

paritas) terhadap tindakan wanita usia subur dalam deteksi dini kanker

serviks di Wilayah Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli

Serdang Tahun 2017.

2. Ada pengaruh faktor eksternal (pengetahuan, sumber informasi) terhadap

tindakan wanita usia subur dalam deteksi dini kanker serviks di Wilayah

Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2017.
47

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis kuantitatif dengan desain penelitian dilakukan

secara survey analitik yaitu survey atau penelitian yang mencoba menggali

bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Dengan pendekatan

cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi

antara faktor-faktor resiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmojo, 2012).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Baru Kec. Pancur Batu Kabupaten Deli

Serdang Tahun 2018. Lokasi ini dipilih oleh peneliti karena belum

pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh faktor internal dan

eksternal terhadap tindakan wanita usia subur dalam deteksi dini kanker

serviks di wilayah Desa Baru Kec.Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang

Tahun 2018.

1.2.2. Waktu Penelitian


Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Januari-April 2018.
48

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur yang

berusia 18 – 49 tahun yang berada di Desa Baru Kec. Pancur Batu

Kabupaten Deli Serdang sebanyak 1019 orang wanita usia subur.

3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian yang dapat mewakili populasi untuk dijadikan

sebagai objek dari penelitian (Sani, 2016).

Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka

sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria inklusi

dan eksklusi (Notoatmodjo, 2012).

Kriteria inklusi :

Bersedia menjadi responden penelitian

Kriteria eksklusi :

Wanita usia 18-49 yang sudah menikah

Dan untuk menetukan besar sampel dalam penelitian digunakan tehnik

proporsional random sampling yaitu peneliti mengambil sampel secara

random/acak.

n
{
n= Z 1
2
√P0¿¿
(Pa – P0)2
49

Keterangan :

n = Besar sampel

Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

Z1-β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu

P0 = proporsi di populasi

Pa = perkiraan proporsi di populasi

Pa – P0 = perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi

dipopulasi

Dengan persen kepercayaan yang diinginkan 95%; Z1-α/2 =1.96; α

=90% (0.90). persen kekuatan uji power 95%; Z1− β = 1.28, β =

5%(0,05).Proporsi kejadian berdasarkan survei pendahuluan (P0)

0,1019; Pa 10% (0,10) lebih besar dari Pa 0,329; maka diperoleh besar

sampel:

=¿

(0.329 – 0.1019)2
= 14,2652
0,05157

= 99, 661 = 100

3.4. Metode Pengumpulan Data


50

3.4.1. Data Primer


Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dalam

penelitian ini diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang diberikan

kepada responden.

3.4.2. Data Sekunder


Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui laporan maupun

dokumen dari kantor kepala Desa Baru.

3.5. Defenisi Operasional


Tabel 3.1 Defenisi Operasional

N Variabel Skala Cara


Defenisi Operasional Hasil Ukur
o Independen Ukur Ukur
1. Faktor Internal Adalah identitas diri yang 1.

mempengaruhi tindakan

wanita usia subur dalam

deteksi dini kanker serviks


a.Umur Usia yang dihitung berdas Ordin Kuesi2. 1. 18-35

arkan tanggal dan tahun al oner tahun

kelahiran wanita usia 2. >35 tahun

subursampai dengan tangg    

al dan

tahun pada saat diwawanca

rai.
b.Pendidikan Sekolah formal yang Ordin Kuesi3. 1. Rendah
51

pernah dilalui dan al oner (SD,SMP)

diselesaikan oleh wanita 4. 2. Sedang

usia subur. (SMA/SMK)

5. 3. Tinggi

(Akademik/

PT)
c. Pekerjaan Suatu kegiatan yang Ordin Kuesi6. 1.Bekerja

dilakukan oleh wanita usia al oner7. 2.Tidak

subur dalam memenuhi bekerja

kebutuhan hidup sehari-

hari.
d.Ekonomi Jumlah penghasilan wanita Ordin Kuesi 1.Rendah

usia subur yang di al oner ≤1.650.000

dapatkan dalam satu bulan 2.Tinggi

yang disesuaikan dengan >1.650.000

UMR Kota Medan.


e.Paritas Jumlah anak yang dimiliki Ordin Kuesi1. 1. Primipara

oleh wanita usia subur al oner 2. 2. Multipara


Faktor 3.

Eksternal
a.Pengetahuan Hal –hal yang diketahui Ordin Kuesi 1.Baik

wanita usia subur tentang al oner 2.Kurang

deteksi dini kanker serviks Baik

(meliputi pengertian,

penyebab, gejala dan


52

pencegahan)
b. Sumber Merupakan suatu keadaan Ordin Kuesi 1.Petugas

Informasi yang dapat dijadikan alat al oner kesehatan

untuk memperoleh 2.Media

informasi tentang deteksi

dini kanker serviks


Variabel

Dependen
2 Tindakan Upaya yang dilakukan Ordin Kuesi 1.Dilakukan

wanita usia oleh wanita usia subur al oner, 2.Tidak

subur dalam untuk mencegah kanker dilakukan

deteksi dini serviks dengan cara

kanker serviks melakukan pemeriksaan

test IVA (Inspeksi Visual

Asam Asetat) dan IVA.

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Variabel Independen

1. Pengetahuan wanita usia subur

Untuk mengukur pengetahuan wanita usia subur di beri 15

pertanyaan. Setiap jawaban benar di beri skor 1 dan jawaban yang

salah di beri skor 0. Sehingga skor tertinggi 15 dan skor terendah 0.

Kategori pengetahuan dibuat dengan rumus (Sudjana, 2005) :


53

Ren tan g
p=
Banyak Kelas
15−0
p=
2 = 7,5

Maka kategorinya adalah :

a. Pengetahuan baik jika skor : 8 – 15

b. Pengetahuan kurang baik jika skor : 0 –7

3.6.2. Variabel Dependen

Untuk mengukur tindakan wanita usia subur dalam deteksi dini kanker

serviks didasarkan pada jawaban yang diberikan atas pernyataan yaitu :

dilakukan dan tidak dilakukan.

3.7. Teknik Pengolahan Data


Beberapa langkah yang harus dilakukan terhadap data:

1. Editing

Dilakukan dengan pengecekan ulang pada data yang telah terkumpul, bila

terdapat kesalahan dan kekurangan dalam pengumpulan data akan

diperbaiki dengan memeriksanya dan dilakukan dengan cara pendataan

ulang.
54

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik terhadap data yang

terdiri atas beberapa kategori. Variabel yang dikoding adalah umur yaitu

1 = 18-35 tahun, 2 = >35 tahun. Pendidikan 1 = Rendah (SD, SMP).

Pekerjaan 1 = bekerja, 2 = tidak bekerja. Penghasilan 1 = rendah

≤Rp.1.650.000, tinggi = >Rp.1.650.000. Jumlah anak 1 = Primipara, 2 =

Multipara. Pengetahuan 1 = baik, 2 = kurang baik. Sumber informasi 1 =

petugas kesehatan, 2= media. Tindakan wanita usia subur dalam deteksi

dini kanker serviks 1 = dilakukan, 2 = tidak dilakukan.

3. Tabulating

Tabulating digunakan untuk mempermudah analisa, pengolahan data dan

pengambilan kesimpulan. Maka hasil pengumpulan data dimasukkan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

3.8. Analisa Data


3.8.1. Analisis Univariat

Bentuk analisis univariat dilakukan unuk mendapatkan data tentang

distribusi frekuensi dan persen dari masing-masing variabel, kemudian

data tersebut di sajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

(Notoatmojo, 2012).Analisis univariat yaitu melakukan analisis pada

setiap variable hasil penelitian dengan tujuan untuk mengetahui distribusi

pada setiap variabel penelitian.


55

3.8.2. AnalisisBivariat

Analisa Bivariat dilakukan dua variabel yaitu variabel dependen dan

variabel independen yang diduga berhubungan atau berkolerasi

(Notoatmodjo, 2010). Dalam perhitungan chi-square Bila p  0,05 maka

ada hubungan antara kedua variabel dan Bila p > 0,05 maka tidak ada

hubungan antara kedua variabel.Analisis bivariat dilakukan untuk melihat

pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent dengan

menggunakan uji Chi Square.

Anda mungkin juga menyukai