Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTENSI

Oleh :

HAIFAH MAULIDA

NIM : 1932000007

PRODI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON – PROBOLINGGO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


KELUARGA DENGAN HIPERTENSI

Oleh :

Haifah Maulida

NIM : 1932000007006

Pembimbing Akademis

Ns. S.Tauriana, S.Kep


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistol sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolic sedikitnya 90 mmHg (Nurarif & Kusuma, 2015).
Hipertensi juga sering diartikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan
darah sistole lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastole 80 (Ardiansyah,
2012).
Hipertensi merupakan suatu keadaan yang menyebabkan tekanan darah
tinggi secara terus-menerus dimana tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg,
tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih. Hipertensi atau penyakit darah tinggi
merupakan suatu keadaan peredaran darah meningkat secara kronis. Hal ini
terjadi karena jantung bekerja lebih cepat memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dan nutrisi di dalam tubuh (Irianto, 2014).
B. Klasifikasi
Klasifikasi Tekanan Darah The Joint National Committee on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure VII / JNC-VII

Sumber : (JNC7, 2003) (Kementrian Kesehatan RI, 2018).


Besarnya tekanan darah selalu dinyatakan dengan dua angka. Angka yang
pertama menyatakan tekanan sistolik, yaitu tekanan yang dialami dinding
pembuluh darah ketika darah mengalir saat jantung memompa darah keluar
dari jantung. Angka yang kedua di sebut diastolic yaitu angka yang
menunjukkan besarnya tekanan yang dialami dinding pembuluh darah ketika
darah mengalir masuk kembali ke dalam jantung (Endang Triyanto,2014).
Tekanan sistolik diukur ketika jantung berkontraksi, sedangkan tekanan
diastolic diukur ketika jantung mengendur (relaksasi). Kedua angka ini sama
pentingnya dalam mengindikasikan kesehatan kita, namun dalam prakteknya,
terutama buat orang yang sudah memasuki usia di atas 40 tahun, yang lebih
resiko adalah jika angka diastoliknya tinggi yaitu diatas 90 mmHg (Adib,
2010).
C. Etiologi
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi yaitu dengan
penyebab yang tidak diketahui (hipertensi esensial/primer/idiopatik) atau
diketahui (hipertensi sekunder) yaitu : (Endang Triyanto,2014).
1. Hipertensi primer
Hipertensi esensial atau hipertensi yang 90% tidak diketahui penyebabnya.
Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi
esensial di antaranya:
a. Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi, berisiko lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit ini
ketimbang mereka yang tidak.
b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca
menopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi.
c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak, secara
langsung berkaitan dengan berkembangnya penyakit hipertensi.
d. Obesitas: (25% lebih berat di atas berat badan deal) juga sering di
kaitkan dengan berkembangnya hipertensi.
e. Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan
tekanan darah (bila gaya hidup yang tidak sehat tersebut tetap
diterapkan )
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang penyebabnya di
ketahui. Beberapa gejala atau penyakit yang menyebabkan hipertensi jenis
ini antara lain:
a. Coarctationaorta, yaitu penyempitan aortacongetal yang (mungkin)
terjadi pada beberapa tingkat aorta torasik atau aorta abdominal.
Penyempitan ini menghambat aliran darah melalui lengkung aorta dan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah di atas area konstriksi.
b. Penyakit parenkim dan vaskuler ginjal. Penyakit ini merupakan
penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskuler
berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih arteri besar, yang
secara langsung membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri
renal pada pasien dengan hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis
atau fibrous dysplasia (pertumbuhan abnormal jaringan fibrous).
Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamsi, serta
perubahan struktur serta fungsi ginjal.
c. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen) Oral kontrasepsi yang
berisi estrogen dapat menyebabkan Hipertensi melalui mekanisme
renin-aldosteron-mediate volume expansion. Dengan penghentian oral
kontrasepsi, tekanan darah kembali normal setalah beberapa bulan.
d. Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal
dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenalin-mediate
hypertension disebabkan kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan
katekolamin. Pada aldosteron primer. Kelebihan aldosteron
menyebabkan hepertensi dan hipokalemia. Aldosteonisme primer
biasanya timbul dari adenoma korteks adrenal yang benign (jinak).
Pheochomocytomas pada medulla adrenal yang paling umum dan
meningkatkan sekresi katekolamin yang berlebihan. Pada sindrom
chusing, terjadi kelebihan glukokorttiroid yang di ekskresi dari korteks
adrenal. sindrom chusing mungkin disebabkan oleh hiperplasi
adrenokortikal atau adenoma adrenokortikal.
D. Manifestasi Klinis
Pada tahap awal, klien dengan hipertensi tidak menunjukkan gejala
apapun. Sebagian manifestasi klinis timbul setelah penderita mengalami
hipertensi selama beberapa tahun (Ardiansyah, 2012).
1. Nyeri kepala, terkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial
2. Penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai
dampak dari hipertensi
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena terjadi kerusakan
susunan saraf pusat
4. Nokturia (sering berkemih di malam hari) karena adanya
peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan
tekanan kapiler (Ardiansyah, 2012).
Kejadian hipertensi biasanya tidak memiliki tanda dan gejala. Gejala yang
sering muncul adalah sakit kepala, rasa panas di tengkuk, kepala berat,
perdarahan dari hidung, wajah kemerahan dan kelelahan (Prasetyaningrum, yunita
indah. (2014). Hipertensi Bukan untuk Ditakuti. Jakarta Selatan: FMedia). Namun, gejala
tersebut tidak bisa dijadikan patokan ada-tidaknya hipertensi pada diri
seseorang, karena gejala tersebut bisa saja terjadi baik pada penderita
hipertensi maupun pada seseoarang dengan tekanan darah yang normal Satu-
satunya cara untu mengetahui adalah dengan melakukan pengecekan tekanan
darah (Utaminingsih, 2015).
E. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah
jantung) dengan total tahan perifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh
dari perkalian antara strok volume dengan heart rate (denyut jantung).
Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan
sirkulasi hormon di dalam tubuh. Empat sistem kontrol yang berperan dalam
mempertahankan tekanan darah, antara lain sistem baroreseptor arteri,
pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin, dan autoregulasi
vaskuler (Ardiansyah, 2012).
Baroreseptor arteri terutama ditemukan di sinus carotid, tapi juga dalam
aorta dan dinding venttrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan
arteri melalui mekanisme perlambatan jantung oleh reseptor vagal (stimulasi
parasimpatis) dan vasodilattasi dengan penurunan tonus simpatis. Oleh karena
itu, reflek kontrol sirkulasi meningkatkan tekanan arteri sistemik bila tekanan
bareseptor turun dan menurunkan tekanan arteri sistemik bila tekanan
baroreseptor meningkat. Alasan pasti mengapa kontrol ini gagal pada
hipertensi belum diketahui. Hal ini ditujukan untuk kenaikan re-setting
sensitivitas baroreseptor sehingga tekanan meningkat secara tidak adekuat,
sekalipun penurunan tekanan tidak ada.
Perubahan volume cairan memengaruhi tekanan arteri sistemik. Bila tubuh
mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui
mekanisme fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung
dan meningkatkan curah jantung. Bila ginjal berfungsi secara adekuat,
peningkatan tekanan arteri mengakibatkan diuresis dan penurunan tekanan
darah. Kondisi patologis yang mengubah ambang tekanan pada ginjal dalam
mengekresikan garam dan air akan meningkatkan tekanan arteri sistemik.
Renin dan angiotensin memegang peranan dalam pengaturan tekanan
darah. Ginjal memperoduksi renin yaitu suatu enzim yang bertindak pada
substart protein plasma untuk memisahkan angiotensin 1, yang kemudian
diubah oleh converttingenzym dalam paru menjadi bentuk angiotensin II
kemudian menjadi angiotensin III. Angiotensin II dan III mempunyai aksi
vasokintriktor yang kuat pada pembuluh darah dan merupakan mekanisme
kontrol terhadap pelepasan aldosteron. Aldosteron sangat bermakna dalam
hipertensi terutama pada aldoteronisme primer. Melalui peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatik, angiotensin II dan III juga mempunyai efek inhibitting
atau penghambatan pada ekresi garam (natrium) dengan akibat peningkatan
tekanan darah (Udjianti, 2010).
Sekresi renin yang tidak tepat diduga sebagai penyebab meningkatnya
tahanan perifer vaskular pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi,
kadar renin harus diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal
mungkin menghambat sekresi renin. Namun demikian, sebagian besar orang
dengan hipertensi esensial mempunyai kadar renin normal.
Peningkatan tekanan darah terus-menerus pada klien hipertensi esensial
akan mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada organ-organ vital.
Hipertensi esensial mengakibatkan hyperplasia medial (penebalan) arteriole-
arteriole. Karena pembuluh darah menebal, maka perfusi jaringan menurun
dan mengakibatakan kerusakan organ tubuh. Hal ini menyebabkan infark
miokard, strok, gagal jantung, dan gagal ginjal (Muttaqin, 2009).
Autoregulasi vaskular merupakan mekanisme lain yang terlibat dalam
hipertensi. Autoregulasi vaskular adalah suatu proses yang mempertahankan
perfusi jaringan dalam tubuh relatif konstan. Jika aliran berubah, proses-
proses autoregulasi akan menurunkan tahanan vaskular dan mengakibatkan
pengurangan aliran, sebaliknya akan meningkatkan tahanan vaskular sebagai
akibat dari peningkatan aliran. Autoregulasi vaskular nampak menjadi
mekanisme penting dalam menimbulkan hipertensi berkaitan dengan overload
garam dan air (Udjianti, 2010).
F. Pathway

Faktor predisposisi: usia,jenis kelamin, merokok, stress, kurang oah raga, geneic, alcohol,
Aliran konsentrasi
darah
Beban makin
kerja garam,
cepat keseluruh
jantung obesitas tubuh sedangkan nutrisi dalam

Kerusakan vaskuler HIPERTENSI Tekanan sisemik darah


pembuuh darah

Metode koping
Perubahan struktur Perubahan situasi Krisis situasiona
tidak efektif

Penyumbatan Informasi yang Defisiensi pengetahuan


ansietas Ketidakefetifan
pembuuh darah minim
koping

Resistensi pembuluh
Vasokontriksi Nyeri kepala
darah otak
Resiko
Gangguan sirkulasi Suplai O2 ke ketidakefektifan
Otak
otak perfusi jaringan otak

Ginjal Retina Pembuluh darah

Vasokontriksi Spasme arterior


Sistemik koroner
pembuluh darah
ginjal
Resiko cedera
Vasokontriksi Iskemia miokard

Blood flow
darah
Penurunan curah Afterload Nyeri
jantung

Respon RAA
Fatigue

Merangsang
Intoleransi aktivitas
aldosteron

Kelebihan volume
Retensi Na Edema
cairan
Sumber: Nanda NIC-NOC, 2015
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin / hematokrit : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel
terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor
resiko seperti : hipokoagulabilitas, anemia.
b. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi
ginjal.
c. Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
d. Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan
ada DM.
2. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
3. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
4. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,
perbaikan ginjal.
5. Foto thorak: menunjukkan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung (Nurarif & Kusuma, 2015).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi dapat dibagi dua, yaitu farmakologi dan non-
farmakologi
1. Farmakologi
Terapi obat pada penderita hipertensi dimulai dengan salah satu obat
berikut: (Ardiansyah, 2012).
a. Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg per hari dengan dosis tunggal
pada pagi hari (pada hipertensi dalam kehamilan, hanya digunakan bila
disertai hemokonsentrasi/udem paru).
b. Reserpin 0,1-0,25 mg sehari sebagai dosis tunggal
c. Propanolol mulai dari 10 mg dua kali sehari yang dapat dinaikkan 20
mg dua kali sehari (kontraindikasi untuk penderita asma)
d. Kaptopril 12,5-25 mg sebanyak dua sampai tiga kali sehari
(kontraindikasi pada kehamilan selama janin hidup dan penderita
asma)
e. Nifedipin mulai dari 5 mg dua kali sehari, bisa dinaikkan 10 mg dua
kali sehari.
Obat-obatan antihipertensi dapat dipakai sebagai obat tunggal atau di
campur dengan obat lain, yaitu: (Ardiansyah, 2012).
a. Diuretik : Hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering
dieresepkan untuk mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotiazid dapat
diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi ringan atau klien yang
baru. Banyak obat antihipertensi menyebabkan retensi cairan; karena
itu, sering kali diuretik diberi bersama antihipertensi
b. Simpatolik : penghambat (adrenergik bekerja disentral simpatolitik),
penghambat adrenergik alfa, dan penghambat neuron adrenergik
diklasifikasikan sebagai penekan simpatetik, atau simpatolitik.
Penghambat adrenergik beta, dibahas sebelumnya, juga di anggap
sebagai simpatolitik dan menghambat reseptor beta
c. Penghambat Adrenergik-Alfa : golongan obat ini memblok reseptor
adrenergik alfa 1, menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan
darah. Penghambat beta juga menurunkan lipoprotein berdensitas
sangat rendah (very low-density lipoprotein-VLDL) dan lipoprotein
berdensitas rendah very low-density lipoprotein-LDL) yang
bertanggung jawab dalam penimbunan lemak diarteri (arteriosklerosis)
d. Penghambat Neuron Adrenergik (Simpatolik yang Bekerja Perifer) :
penghambat neuron adrenergik merupakan obat antihipertensi yang
kuat yang menghambat norepinefrin dari ujung saraf simpatis,
sehingga pelepasan norepinefrin menjadi berkurang dan ini
menyebabkan baik curah jantung maupun tahanan vaskular perifer
menurun. Reserpin dan guanetidin (dua obat yang paling kuat) dipakai
untuk mengendalikan hipertensi berat.
e. Vasodilator Arteriol yang Bekerja Langsung : adalah obat tahap III
yang bekerja dengan merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah,
terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya
vasodilatasi, tekana darah akan turun dan natrium serta air tertahan,
sehinga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama
dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema.
Refleks takikardi disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya
tekanan darah.
f. Antagonis Angiotensin (ACE Inhibitor) : obat dalam golongan ini
menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), yang nantinya akan
menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan
menghambat pelepasan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi
natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosteron dihambat, natrium
dieksresikan bersama-sama dengan air. Kaptopril, enalapril, dan
lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini dipakai
pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi.
Sekarang banyak jenis obat antihipertensi yang membantu penderita
hipertensi untuk mengendalikan tekanan darahnya dalam keadaan normal.
Ada beberapa jenis obat antihipertensi yang beredar di pasaran dengan
mekanismme yang berlainan dalam menurunkan tekanan darah yaitu:
(Yunita Indah, 2014).
a. Diuretik : obat antihipertensi jenis ini menurunkan tekanan darah
dengan mengeluarkan kelebihan air dan garam dari dalam tubuh
melalui ginjal
b. Beta Blockers : obat ini membantu organ jantung memperlambat
detaknya sehingga darah yang dipompa jantung lebih sedikit
dibandingkan pembuluh darah sehingga tekanan darah menurun
c. ACE Inhibitor : obat jenis ini mencegah tubuh membentuk hormon
angiotensin II yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah.
Alhasil, tekanan darah segera menurun
d. Angiotensin II Reseptor Blockers : obat jenis ini memberikan
perlindungan terhadap pembuluh dari hormon angiotensin II dan
mengakibatkan pembuluh darah rileks serta melebar. Akhirnya
tekanan darah bisa turun.
e. Kalsium Channel Blocker : obat jenis ini bertugas mengatur kalsium
agar masuk ke dalam sel otot jantung dan pembuluh darah sehingga
pembuluh darah menjadi rileks dan tekanan darah menurun
f. Alpha Blocker : obat antihipertensi ini bertugas mengurangi implus
saraf yang mengakibatkan pembuluh darah mengencang sehingga
aliran darah lancar dan tekanan darah dapat turun.
g. Inhibitor Sistem Saraf : obat jenis bertugas meningkatkan implus saraf
dari otak untuk bersantai dan memperlebar pembuluh darah sehingga
tekanan darah dapat turun.
h. Vasodilatator : obat antihipertensi jenis ini berfungsi untuk
mengendurkan otot-otot dinding pembuluh darah sehingga tekana
darah menurun.
2. Nonfarmakologi

Terapi non farmakologis hipertensi menurut: (Ardiansyah, 2012).


a. Menurunkan berat badan sampai batas ideal

b. Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan, atau kadar

kolesterol darah tinggi

c. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium

atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan

kalsium, magnesium, dan kalium yang cukup)

d. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol

e. Terapi musik

f. Terapi relaksasi progresif

g. Senam aerobik dan yoga yang tidak terlalu berat (penderita hipertensi

esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya

terkendali).

Pendekatan non farmakologi yang dapat mengurangi hipertensi adalah

sebagai berikut: (Triyanto, 2014).

a. Teknik-teknik mengurangi stress

b. Penurunan berat badan

c. Pembatasan alkohol, natrium, dan tembakau

d. Olahraga atau latihan


I. Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulakan kerusakan organ tubuh lainnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung (Ardiansyah, 2012). Adapun
kerusakan yang sering dijumpai pada penderita hipertensi adalah sebagai
berikut:
a. Penyakit jantung koroner
Penyakit ini sering dialami penderita hipertensi sebagai akibat
terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah jantung. Penyempitan
lubang pembuluh darah jantung menyebabkan berkurangnya aliran darah
pada beberapa bagian otot jantung. Hal ini menyebabkan rasa nyeri di
dada dan dapat berakibat gangguan pada otot jantung. Bahkan dapat
menyebabkan timbulnya serangan jantung.
b. Gagal jantung
Tekanan darah yang tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat
untuk memompa darah. Kondisi itu berakibat otot jantung akan menebal
dan meregang sehingga daya pompa otot menurun. Pada akhirnya, dapat
terjadi kegagalan kerja jantung secara umum. Tanda-anda adanya
komplikasi yaitu sesak napas, napas putus-putus (pensek), dan terjadi
pembengkakan pada tungkai bawah serta kaki.
c. Stroke
Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan tinggi di otak
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah otak. Strok dapat
terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah
yang diperdarahinya menjadi berkurang. Arteri-arteri otak yang
mengalami arterosklerosis dapat melemah, sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisme.
d. Gagal ginjal
Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kapiler glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus,
darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, neuron akan terganggu,
dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya
membran glomerolus, protein akan keluar melalui urine, sehingga tekanan
osmitik koloid plasma berkurang. Hal ini menyebabkan edema yang sering
dijumpai pada hipertensi kronik.
e. Infark Miokardium
Dapat juga terjadi infark miokardium apabila arteri koroner yang
mengalami aterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang dapat menghambat
aliran darah melalui pembuluh tersebut. Karena terjadi hipertensi kronik
dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
Demikian juga, hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-
perubahan waktu hantaran listrik saat melintas ventrikel, sehingga terjadi
distritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan
darah.
f. Kerusakan pembuluh darah dan otak (ensefalopati)
Hipertensi menjadi penyebab utama pada kerusakan pembuluh darah
dan rusaknya dinding pembuluh darah. Ada dua jenis kerusakan yang
ditimbulkan yaitu pecahnya pembuluh darah dan rusaknya dinding
pembuluh darah. Dampak akhirnya, seseorang bisa mengalami stroke dan
kematian. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada
hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat)
J. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Faktor resiko hipertensi antara lain: tekanan darah diatas rata-rata,
adanya hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro), tachycardi,
obesitas dan konsumsi garam yang berlebihan dianjurkan untuk:
a. Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga agar
tidak terjadi hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dsb.
b. Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
c. Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah garam.
d. Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.  
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui
menderita hipertensi berupa:
a. Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat
maupun dengan tindakan-tindakan seperti pada pencegahan primer.
b. Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol secara
normal dan stabil mungkin.
c. Faktor-faktor resiko penyakit jantung ischemik yang lain harus dikontrol.
d. Batasi aktivitas.
3. Konsultasikan dengan petugas kesehatan jika menggunakan obat untuk
penyakit lain karena ada obat yang dapat meningkatkan memperburuk
hipertensi. Mengetahui tentang hipertensi dan cara merawat bukanlah
kunci utama kesembuhan, kunci utamanya adalah :
a. Keaktifan penderita dalam pengendalian tekanan darah.
b. Penderita berusaha, petugas petugas kesehatan membantu.
c. Hubungan baik dan kerjasama penderita dan petugas kesehatan (Yunita
Indah, 2014).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian secara Umum
1. Identitas Pasien
Hal-hal yang perlu dikaji pada bagian ini yaitu antara lain: Nama, Umur,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Agama, Status Mental, Suku,
Keluarga/orang terdekat, alamat, nomor registrasi.
2. Riwayat atau adanya factor resiko
a. Riwayat garis keluarga tentang hipertensi
b. Penggunaan obat yang memicu hipertensi
3. Aktivitas / istirahat
a. Kelemahan, letih, napas pendek, gaya hidup monoton.
b. Frekuensi jantung meningkat
c. Perubahan irama jantung
d. Takipnea
4. Integritas ego
a. Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria atau marah
kronik.
b. Faktor faktor stress multiple (hubungan, keuangan yang berkaitan
dengan pekerjaan).
5. Makanan dan cairan
a. Makanan yang disukai, dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi
lemak, tinggi kolesterol (seperti makanan yang
digoreng,keju,telur)gula-gula yang berwarna hitam, kandungan tinggi
kalori.
b. Mual, muntah.
c. Perubahan berat badan akhir-akhir ini (meningkat atau menurun).
6. Nyeri atau ketidak nyamanan
a. Angina (penyakit arteri koroner /keterlibatan jantung)
b. Nyeri hilang timbul pada tungkai.
c. Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
d. Nyeri abdomen.
Pengkajian Persistem
1. Sirkulasi
a. Riwayat hipertensi, ateroskleorosis, penyakit jantung koroner atau
katup dan penyakit cerebro vaskuler.
b. Episode palpitasi,perspirasi.
2. Eliminasi
Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu seperti infeksi atau obtruksi atau
riwayat penyakit ginjal masa lalu.
3. Neurosensori
a. Keluhan pusing.
b. Berdenyut, sakit kepala subokspital (terjadi saat bangun dan
menghilang secara spontan setelah beberapa jam).
4. Pernapasan
a. Dispnea yang berkaitan dengan aktifitas/kerja
b. Takipnea, ortopnea, dispnea noroktunal paroksimal.
c. Batuk dengan/tanpa pembentukan sputum.
d. Riwayat merokok
B. Diagnosa keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d peningkatan afterload, vasokonstriksi,
hipertrofi/rigiditas ventrikuler, iskemia miokard
2. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen
3. Nyeri (sakit kepala) b.d peningkatan tekanan vaskuler serebral
4. Kelebihan volume cairan
5. Ketidakefektifan koping
6. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
7. Ansietas
8. Resiko cedera
9. Defisiensi pengetahuan (Nurarif & Kusuma, 2015).
C. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d peningkatan afterload,
vasokonstriksi, hipertrofi/rigiditas ventrikuler, iskemia
miokard.
Tujuan: Afterload tidak meningkat, tidak terjadi vasokonstriksi, tidak
terjadi iskemia miokard.
Kriteria Hasil: tanda vital dalam rentang normal (TD,HR,RR, suhu), dapat
mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan, tidak ada edem paru, perifer
tidak ada ansietas, tidak ada penurunan kesadaran.
Intervensi:
a. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
b. Catat adannya fluktasi tekanan darah
c. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
d. Monitor TTV sebelum dan setelah aktivitas
e. Monitor frekusensi dan irama pernapasan
f. Monitor sianosi perifer
g. Monitor toleransi aktivitas pasien atur periode latihan dan istirahat
untuk menghindari kelelahan
h. Monitor adanya perubahan tekanan darah (Nurarif & Kusuma, 2015).
2. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan: aktivitas pasien terpenuhi
Kriteria hasil: Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan /
diperlukan,melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat
diukur, mampu berpindah dengan atau tanpa bantuuan alat, tanda vital
normal, sirkulasi status baik.
Intervensi:
a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan
program terapi yang tepat
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
c. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
d. Monitor respon fisik , emosi, sosial dan spiritual (Nurarif & Kusuma,
2013).
3. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Tujuan: status sirkulasi
Kriteria Hasil: mendemostrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan
tekanan systol dan diastol dalam rentang yang diharapkan, tidak ada
ortostatikhipertensi, tidak ada tanda peningktan TIK, berkomunikasi
dengan jelas dan sesuai dengan kempuan, memproseas informasi,
emnunjukkan funsi sensori motorik cranial yang utuh.
Intervensi:
a. Batasi gerakan pada kepala ,leher dan punggung
b. Diskusiakan mengenai penyebab perubahan sensasi
c. Pertahankan tirah baring
d. Ukur masukan dan pengeluaran
e. Pantau elektrolit, BUN, Kreatinin sesuai pesanan
f. Kolaborasi pemberian analgetik (Nurarif & Kusuma, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. (2010). Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung


dan Stroke. Edisi I. Yogyakarta: CV. Dianloka.
Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta: DIVA
Press.

Endang Triyanto.2014.Pelayanan Keperawaytan bagi Penderita Hipertensi Secara


Terpadu. GrahaIlmu.Yogyakarta

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosis Medis & NANDA- NIC- NOC Ed. Revisi jilid 2. Yogyakarta:
Mediaction.

Muttaqin, A. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Kardiovaskular. (E. Nurachmach, Ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Irianto, Koes. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular,


Panduan Klinis. Bandung: Alfa Beta.

Kementrian Kesehatan RI. (2018). Hipertensi Si Pembunuh Senyap. Infodatin


Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 1–5.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodati
n-hipertensi-si-pembunuh-senyap.pdf

Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara


Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Udjianti, W. J. (2010). Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.

Utaminingsih, W. R. (2015). Mengenal dan mencegah penyakit Diabetes,


Hipertensi, Jantung dan Stroke Untuk Hidup Lebih Berkualitas (1st ed.).
Yogyakarta: Media Ilmu.

Prasetyaningrum, Yunita Indah. (2014). Hipertensi Bukan untuk Ditakuti. Jakarta


Selatan: FMedia.

Anda mungkin juga menyukai