Anda di halaman 1dari 2

Teman Tiga Bulan

Batch 1 #Punten Teteh


“Hai!!! Dia Ara, teman sekaligus partnerku belajar disini” kataku pada seorang perempuan berjilbab orange itu.
Ara adalah malaikatku tiga bulan silam. Terkesan alay bukan? Ya, tapi memang itulah kenyataannya bagiku. Dia
anak dari seorang yang berada dan terpandang. Katanya, dia perempuan nakal dan agak tidak waras. Mungkin
aku memang sudah buta melihatnya, sehingga aku tak meragukan apapun darinya. Dia berasal dari galaksi
Jakarta, tepatnya di planet kampung Sunda yang seperti kota. Dia seperguruan tinggi layaknya diriku namun,
aku berbeda fakultas dengannya. Orang-orang kerab memanggilnya dengan sebutan si cantik. Mungkin terlihat
dari wajahnya yang nampak anggun dan mempesona. Berbanding terbalik denganku 1800 yang kusut ini. Maaf
kalau aku menceritakan aibnya terlebih dahulu sebelum kuperkenalkan alkisahku. Tapi, pasti kalian akan takjub
jika melihatnya layaknya diriku.
Lanjut, dia jauh-jauh merantau ke Semarang, kota singgahanku sekarang ini. Alasannya, dia lebih memilih
bekerja di pengobatan medis daripada harus menjadi seorang psikolog lulusan universitas negeri ternama.
Sontak aku kaget. Tapi aku biarkan angin berlalu begitu saja, sampai dia menceritakannya semua kepadaku
tanpa harus kupinta. Dia memang tipe orang yang agak suka bercerita singkat dan misterius, memang sengaja
membuatku ingin tahu. Sebenarnya aku malas membujuknya agar aku tahu tentangnya, tapi suara hatiku terlalu
lemah untuk itu. Dia berkawan denganku semenjak aku dan dia mengikuti kegiatan ospek, dia juga satu kos
denganku. Tiga bulan berada di sebuah kos-kosan dengannya, membuatku mengenalnya seperti sudah beribu-
ribu tahun lalu. Pertama aku memang tak ingin mengenal dia, bahkan ketika dia bersikap tak acuh padaku saat
aku melewati kamarnya dan dia melihatku.
Kedua, dia sangat santun dengan ibuku. Bahkan dia sangat akrab dengan ibuku, ketika ibuku menginap empat
hari di kosku. “Legaaa..” pikirku, entahlah, hari itu aku ingin berfikir bodoh bahwa dia orang baik. Hari semakin
berlalu, aku dengannya semakin akrab layaknya manusia biasa. Memang aku tinggal berdua dan sekamar
dengan teman yang sefakultas denganku, namun dia sangat brutal. Oleh karena itu, aku tak pernah menyeloteh
ya. Terkesan kejam bukan? Sifat aroganku memang tergaris semenjak delapan belas tahun lalu dan susah
dihilangkan sampai saat ini. Namanya Anda, aku terpaksa sekamar dengannya karena ayahku memelas padaku
hari itu. Saat itu aku sangat senang, ayahku sudah mencarikanku kos yang nyaman dan cocok untukku, namun
patokan harga kamarnya cukup membuatku tercengang yaitu lima ratus ribu per kamarnya.
Sungguh bagai petir yang menghambar-hambar ketika ayahku mengucapkan bahwa aku harus mencari teman
sekamar dalam waktu tiga hari atau ayahku akan membayar kamar itu dengan bandrolan yang cukup mahal.
Pilihan itu sangat sulit kuterima, namun aku harus bagaimana lagi? Bukankah aku tak bisa mencari uang
sendiri? Aku memang lemah, aku terlalu penurut, aku sangat kikuk waktu itu. Segera aku menuruti kata ayahku
meskipun kata hati berteriak jangan. “Kepiye iki buk, mosok aku sekamar karo wong sing gak tak kenal watake,
kepiye nek aku mengko tukaran buk???” Tanyaku pada wanita suci yang mulai beruban itu. “ Sabar yo nduk,
nurut bapak wae. Sing triman dadi wong kui” Ibuku menjawab sambil mengelus-elus pundakku. Aku hanya
terdiam, termenung mengiyakan kata wanita surgaku itu. Satu bulan terlalu lama bagiku dengannya, dia cukup
membuatku muak. Bagaimana tidak? Barangku selalu rusak dipakainya.
Sungguh aku telah muak menceritakannya, jadi balik lagi ke si Ara. Ketiga, aku bukan siapa-siapanya, tapi dia
memberiku makan ketika aku sangat lapar sekali. Itulah hal pertama kali yang mengetuk pintu besi hatiku
sampai saat ini. Aku tak bisa menolak ajakannya kala itu bahkan apapun keinginannya sampai saat ini. Mungkin
kebanyakan orang berfikir bahwa aku hanya ingin mencari perhatian dan berteman dengan orang cantik.
Namun, aku tak pernah menghiraukannya, karena prinsipku sebagai teman, jika dia baik maka aku akan baik.
Semenjak SMA, banyak teman-teman yang cantik ingin menjadi temanku. Aku tak pernah membedakan mereka
yang jelek. Aku sadar bahwa aku juga termasuk kaum yang jelek. Jadi, tak mungkin aku membedakan mereka,
karena sama saja aku menghina diriku sendiri. Kutegaskan sekali lagi, bahwasanya ini juga bukan cerita tentang
lesbian. Aku hanya ingin bercerita tentang persahabatan tersingkat yang pernah kualami. Memang aku tak
pernah pacaran, karena kedua orang tuaku tak akan pernah menyetujuinya, jadi aku hanya punya teman laki-laki
yang kadang datang dan pergi. Terkadang aku iri dengan temanku, namun aku percaya bahwa ibu dan ayahku
hanya ingin yang terbaik untukku.

15/92
Hari senin, hari kelima belas aku memulai kuliah pertamaku di sebuah politeknik yang agak ternama di
Semarang. Sebenarnya aku malas menjalani takdir yang tak tentu ini, karena aku berpikir biaya kuliah ini terlalu
mahal bagi seorang anak buruh lepas sepertiku. Sehingga muncul pikiran tuk berpaling dari dongeng ini dan
berlari ke sebuah universitas negeri yang pernah kudambakan percuma. “Kenapaa Dhaaa...?” Sahut Ara yang
melihat ke arahku yang tersendu-sendu sambil memainkan gawainya. Aku tak peduli meskipun aku tak
mengenalnya terlalu jauh, dan memang waktu itu aku menangis didepannya. Kuperjelaskan semua keluhan
sepele yang terjadi antara aku dan anda didalam kamar kos. Mulai dari aku yang tak betah sekamar dengannya,
rebut-rebutan tempat, dan pergaulan. Sekilas aku berpikir bahwa aku memang egois, tak bisa humoris, terlalu
realistis. Aku terlalu berpikir jauh tentang anda, sehingga yang terbenak dalam hatiku hanya kata benci, benci,
dan benci. “Kalo lu emang tegas, bilang ke orangnya! Jangan ke gua,,gua Cuma bisa kasih saran..toh kalo lu
dengerin..kurang-kurangin sifat jelek kamu! Jadi orang yang tegas dikit biar ga dibegoin! ” Ucapannya selalu
berdenging di kedua telingaku. Aku hanya terpejam dan membisu, tapi memang benar yang dikatakan oleh Ara.
Aku berpikir seminggu lamanya akan ucapan-ucapan Ara. Aku memang agak payah dalam masalah pertemanan
dan percintaan. Bahkan, aku pernah tak punya teman sekelas dan memutus hubungan dengan seorang pria
yang sangat dekat denganku hanya karena aku ingin fokus belajar dan membahagiakan kedua orang tuaku.
Mungkin hal ini banyak dialami oleh banyak orang, tapi mungkin diriku lebih akut daripada mereka. Hari minggu,
hari ke-21 itu aku mencoba berbicara pada anda, namun usahaku ternyata tak dihiraukannya dan justru dia
semakin berani kepadaku. Ara pun sempat kecewa akan sikapku yang lembek ini, namun aku biarkan semua
terjadi dan berharap jalan terbaik dari Allah saja. Ada sebuah hadist yang mengatakan jika kita berniat untuk
berbuat baik pasti Allah akan memberikan jalan. Pikirku hanya sederhana, kalau aku bosan, aku akan pergi ke
kamar si Ara. Awalnya aku agak kaku dan sungkan untuk bertemu lagi dengan Ara karena masalah kemarin,
namun aku tak bisa berbuat banyak. “Ah,,paling kalau dia tak mau diganggu pasti langsung bilang ke aku”
Pikirku sambil mengetuk pintu kamarnya. “Buka ajaaa..ngga dikunci” Teriaknya dari dalam. Main handphone dan
handphone adalah kebiasaannya Ara. “Ada apa mil? Sok sini masuk aja” Katanya sambil merobohkan
handphonenya. “Engga kok, boleh numpang belajar disini ngga ra? Lagi bosen belajar di kamar sama si dia :v”
balasku padanya.
Itulah hal yang mengawali pertemanan antara aku dengannya.

Anda mungkin juga menyukai