Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN
Membahas masalah etika profesi dan hukum kebidanan sangat penting bagi
mahasiswa kebidanan untuk mengetahui tentang apa itu etika, apa itu moral dan
bagaimana menerapkannya dalam praktik kebidanan. Sehingga dengan hal tersebut
seorang bidan akan terlindung dari kegiatan pelanggaran etik/moral ataupun
pelanggaran dalam hukum yang sedang berkembang di hadapan publik dan erat
kaitannya dengan pelayanan kebidanan sehingga seorang bidan sebagai provider
kesehatan harus kompeten dalam menyikapi dan mengambil keputusan yang tepat
untuk bahan tindakan selanjutnya sesuai standar asuhan dan kewenangan bidan.
Etika juga sering dinamakan filsafat moral yaitu cabang filsafat sistematis yang
membahas dan mengkaji nilai baik buruknya tindakan manusia yang dilaksanakan
dengan sadar serta menyoroti kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh
manusia. Perbuatan yang dilakukan sesuai dengan norma moral maka akan
memperoleh pujian sebagai rewardnya, namun perbuatan yang melanggar norma
moral, maka si pelaku akan memperoleh celaan sebagai punishmentnya.
Istilah etik yang kita gunakan sehari-hari pada hakikatnya berkaitan dengan falsafah
moral yaitu mengenai apa yang dianggap baik atau buruk di masyarakat dalam
kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan/perkembangan norma/nilai. Pada
zaman sekarang ini etik perlu dipertahankan karena tanpa etik dan tanpa diperkuat
oleh hukum, manusia yang satu dapat dianggap sebagai saingan oleh sesama yang
lain. Saingan yang dalam arti lain harus dihilangkan sebagai akibat timbulnya nafsu
keserakahan manusia.
Kalau tidak ada etik yang mengekang maka pihak yang satu bisa tidak segan¬segan
untuk melawannya dengan segala cara. Segala cara akan ditempuh untuk
menjatuhkan dan mengalahkan lawannya sekadar dapat tercapai tujuan.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PENGERTIAN ETIKA (KODE ETIK)
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia
dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya
baik atau tidak.
Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup
manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan
didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan”.

Etik ialah suatu cabang ilmu filsafat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik
adalah disiplin yang mempelajari tentang baik atau buruk sikap tindakan manusia.
Menurut bahasa, Etik diartikan sebagai: dalam bahasa Yunani yaitu Ethos,
kebiasaan atau tingkah laku, sedangkan dalam bahsa Inggris berarti Ethis, tingkah
laku/prilaku manusia yg baik – tindakan yg harus dilaksanakan manusia sesuai
dengan moral pada umumnya.

Selain itu etik juga merupakan aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap
kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar &
konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta
menekankan nilai-nilai mereka.

Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari
lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga
kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan
terhormat.

II.2. Sistematika Etika


Sebagai suatu ilmu maka etika terdiri atas berbagai macam jenis dan ragamnya
antara lain:

1. Etika deskriptif, yaitu memberikan gambaran atau ilustrasi tentang tingkah


laku manusia ditinjau dari nilai baik/buruk serta hal-hal yangboleh  dilakukan
sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
2. Etika Normatif, yaitu membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan
manusia, etika normatif juga dikelompokkan menjadi beberapa kelompok ,
sbb:
a. Etika umum, yaitu membahas hal-hal yang berhubungan dengan
kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan
berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.

b. Etika khusus; yaitu terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika
Terapan.

3. Etika sosial menekankan tanggung jawab sosial dan hubungan antar sesama
manusia dalam aktivitasnya.

4. Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai


pribadi.

5. Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi.

Pada tahun 2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-


RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan bangsa
bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yaitu
Pancasila.
Etika kehidupan berbangsa antara lain meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik
dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakkan Hukum yang
Berkeadilan, Etika Keilmuan, Etika Lingkungan, Etika Kedokteran dan Etika
Kebidanan.

II.3. Kode Etik Profesi


Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya
dan dalam hidupnya di masyarakat. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau
merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan
kepentingan organisasi.
Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut:

 Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi Dalam hal ini yang dijaga
adalah image dad pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar
memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode
etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau
kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di
dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan.

 Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggota Yang dimaksud


kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam
hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan
larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang
merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan
yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak
jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota
profesi.

 Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi Dalam hal ini kode etik
juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi
dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian
profesinya. Oleh karena itu kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang
perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.

 Untuk meningkatkan mutu profesi. Kode etik juga memuat tentang norma-
norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu
profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga
mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi
profesi.

II.4. ETIKA (KODE ETIK) PROFESI KEBIDANAN


Kode etik profesi merupakan “suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang
memberikan tuntunan bagi angotanya untuk melaksanakan praktik dalam bidang
profesinya baik yang berhubungan dengan klien /pasien, keluarga, masyarakat,
teman sejawat, profesi dan dirinya sendin”.

II. 5. Fungsi Etika dan Moralitas Dalam Pelayanan

1. Menjaga otonomi dari setiap individu khususnya Bidan dan Klien

2. Menjaga kita untuk melakukan tindakan kebaikan dan mencegah tindakan yg


merugikan/membahayakan orang lain.
3. Menjaga privacy setiap individu

4. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan porsinya

5. Dengan etik kita mengatahui apakah suatu tindakan itu dapat diterima dan
apa alasannya

6. Mengarahkan pola pikir seseorang dalam bertindak atau dalam menganalisis


suatu masalah

7. Menghasilkan tindakan yg benar

8. Mendapatkan informasi tenfang hal yg sebenarnya

9. Memberikan petunjuk terhadap tingkah laku/perilaku manusia antara baik,


buruk, benar atau salah sesuai dengan moral yg berlaku pada umumnya

10. Berhubungan dengans pengaturan hal-hal yg bersifat abstrak

11. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etik serta mengatur hal-hal yang
bersifat praktik

12. Mengatur tata cara pergaulan baik di dalam tata tertib masyarakat maupun
tata cara di dalam organisasi profesi

13. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas profesinya yg
biasa disebut kode etik profesi.

II.6. Hak Kewajiban dan Tanggungjawab Kebidanan


Hak dan kewajiban adalah hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial sehari-
hari. Pasien memiliki hak terhadap bidan atas pelayanan yang diterimanya. Hak
pasti berhubungan dengan individu, yaitu pasien.

Sedangkan bidan mempunyai kewajiban/keharusan untuk pasien, jadi hak adalah


sesuatu yang diterima oleh pasien. Sedang kewajiban adalah suatu yang diberikan
oleh bidan. Seharusnya juga ada hak yang harus diterima oleh bidan dan kewajiban
yang harus diberikan oleh pasien.
II.7. Hak Pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien/klien,
seperti:

1. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan


yang berlaku di rumah sakit atau instusi pelayanan kesehatan.

2. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.

3. Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi


bidan tanpa diskriminasi.

4. Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan


keinginannya.

5. Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan, persalinan,


nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.

6. Pasien berhak mendapat pendampingan suami atau keluarga selama proses


persalinan berlangsung.

7. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan seuai dengan


keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

8. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat
kritis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

9. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah
sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya,
sepengatahuan dokter yang merawat.

10. Pasien berhak meminta atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.

11. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:

a. Penyakit yang diderita


b. Tindakan kebidanan yang akan dilakukan
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosisnya
e. Perkiraan biaya pengobatan
12. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
13. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggungjawab sendiri sesudah
memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
14. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
15. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
16. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit.
17. Pasien berhak menerima/menolak bimbingan moril maupun spiritual.
18. Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus
mal¬praktek.
II. 7. Kewajiban Pasien
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan
tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

2. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan, perawat


yang merawatnya.

3. Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan


atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter,
bidan dan perawat.

4. Pasien dan atau penangggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang


selalu disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.

II. 8. Hak Bidan


1. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya.

2. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat
jenjang pelayanan kesehatan.
3. Bidan berhak menolak keinginan pasien/klien dan keluarga yang
bertentangan dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi.

4. Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan
baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.

5. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan diri baik melalui


pendidikan maupun pelatihan.

6. Bidan berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir dan


jabatan yang sesuai.

7. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.

II.9. Kewajiban Bidan


1. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum
antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan
tempat dia bekerja.

2. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan


standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.

3. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter yang mempunyai
kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.

4. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi suami


atau keluarga.

5. Bidan wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan


ibadah sesuai dengan keyakinannya.

6. Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang


pasien.
7) Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan
dilakukan serta risiko yang mungkiri dapat timbul.

7. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informed consent) atas tindakan


yang akan dilakukan.
8. Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.

9. Bidan wajib mengikuti perkembangan IPTEK dan menambah ilmu


pengetahuannya melalui pendidikan formal atau non formal.

10. Bidan wajib bekerja sama dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara
timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.

II.10. KODE ETIK HUKUM KEBIDANAN


Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah”, sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi
kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang
salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang
lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek
sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut
pandang hukum disebut yuridical malpractice.

Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika
dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif
yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice
dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice
merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice
pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

II.12. Malpraktek Dibidang Hukum.


Untuk malpraktek hukum (yuridical malpractice) dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice. Criminal malpractice adalah seseorang yang
melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik pidana yaitu seperti positive act / negative act yang merupakan
perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
1. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional).
a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan,
yang berbunyi:
1. Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang,
maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian
bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2. Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan
itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus.
c) Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
d) Pasal 348 KUHP menyatakan:
a. Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
b. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
e) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
f) Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan), yang berbunyi:
1) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
4) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

b. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)

Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan


tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

a) Pasal 347 KUHP menyatakan:

1) Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan


kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.

2) Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan
pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

c. Criminal malpractice yang bersifat kealpaan/lalai (negligence) misalnya


kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.

1) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai


menyebabkan mati atau luka-luka berat.

2) Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa


karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
3) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.

4) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati
atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.

5) Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana
ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.

d. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah


bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

II.13. Civil Malpractice.


Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang
telah disepakati (ingkar janji). Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi


terlambat melakukannya.

c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak


sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi
dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.
Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung
gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan
tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

II.14. Administrative Malpractice


Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas
kewenangan serta kewajiban bidan.

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

II.16. Landasan Hukum Wewenang Bidan


Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan
ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan
kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan
diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.

Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh


karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya
dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan
ilmiah lainnya.

II. 18. Syarat Praktik Profesional Bidan


a. Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik
pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
b. Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi
tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan
kelengkapan administrasi.

c. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan


yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan
standar profesi.

d. Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien,


memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani,
meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical
record dengan baik.

e. Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan


dan pelaporan.

1. Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya


Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan
Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang
registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:

1).  Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan


pelayanan yang meliputi : (a). Pelayanan kebidanan, (b). Pelayanan keluarga
berencana, dan (c). Pelayanan kesehatan masyarakat.

2).  Pasal 15 :

a).  Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan


kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak.

b).  Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil,
masa bersalin, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval).

c).  Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa
bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
3).  Pasal 16 :

a).  Pelayanan kebidanan kepada meliputi :

 Penyuluhan dan konseling


 Pemeriksaan fisik
 Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
 Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan
abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan
anemia ringan.
 Pertolongan persalinan normal
 Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus
macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi,
perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri
primer, post aterm dan preterm.
 Pelayanan ibu nifas normal
 Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan
infeksi ringan
 Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi
keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
b). Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:

– Pemeriksaan bayi baru lahir

– Perawatan tali pusat

– Perawatan bayi

– Resusitasi pada bayi baru lahir

– Pemantauan tumbuh kembang anak

– Pemberian imunisasi

– Pemberian penyuluhan

4).  Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam


pasal 16,berwenang untuk :
– Memberikan imunisasi

– Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas

– Mengeluarkan plasenta secara secara manual

– Bimbingan senam hamil

– Pengeluaran sisa jaringan konsepsi

– Episiotomi

– Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2

– Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm

– Pemberian infuse

– Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika

– Kompresi bimanual

– Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya

– Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul

– Pengendalian anemi

– Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu

– Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia

– Penanganan hipotermi

– Pemberian minum dengan sonde/pipet

– Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai


dengan formulir IV terlampir
– Pemberian surat kelahiran dan kematian.

1. Standar Kompetensi Kebidanan


Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi
diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Th 1992, yaitu sbb:

1)   Pasal 15

 Ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan


jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
 Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat dilakukan :
1. a) berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut;
2. b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
3. c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
4. d) pada sarana kesehatan tertentu.
2)   Pasal 80

 Ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu
terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan
apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni:
apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga


mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan
sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung, kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :


2. Duty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan
haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan


melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya,
maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
2. Direct Causation (penyebab langsung)
3. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan
dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin
res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:

1. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai


2. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
3. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak
ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien
baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin
dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut
merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk
selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut
merupakan akibat kelalaian bidan.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1).  Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.

2). Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien
yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.

3). Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum


(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan
yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau
berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap
orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

3. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan


Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya
mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak
hati-hati, yakni:
1).  Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).

2).  Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.

3).  Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

4).  Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

5).  Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala


kebutuhannya.

6).  Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

4. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan
pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.

Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat
melakukan :

1)   Informal defence

Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang


diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan
risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik
yang dituduhkan.

2)   Formal/legal defence

Yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-


doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-
unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat


hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada
perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan
dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita
(damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak


diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-
orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya: Jakarta.
Dahlan, S. 2002. Hukum Kesehatan: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang.
Guwandi, J. 1993. Malpraktek Medik: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

MAKALAH KONSEP 
Pendahuluan
Negara hukum (rechtstaat), mengandung sekurang-kurangnya 2 (dua) makna.
Pertama, adalah pengaturan mengenai batasan-batasan peranan negara atau
pemerintahan dalam mencampuri kehidupan dan pergaulan masyarakat. Kedua,
jaminan-jaminan hukum akan hak-hak, baik sipil atau hak-hak pribadi (individual
rights), hak-hak politik (political rights), maupun hak-hak sebagai sebuah kelompok
atau hak-hak sosial sebagai hak asasi yang melekat  Tulisan ini merupakan bagian
dari penelitian dengan judul yang sama, dilakukan dengan biaya mandiri pada tahun
2012 secara alamiah pada setiap insan, baik secara pribadi atau kelompok.1 Peran
masyarakat guna membangun kesehatan sangatlah penting, dengan pembangunan
adanya masyarakat yang sehat dan kuat maka kesejahteraan dan peningkatan
derajat kesehatan juga meningkat dalam hal ini membutuhkan tenaga kesehatan
yang profesional. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, banyak hal yang
perlu diperhatikan. Salah satu diantaranya yang dipandang memiliki peranan cukup
penting adalah penyelenggaraan pelayanan keseha- 1 Bagir Manan, 2003, Teori
Politik dan Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII Press, hlm. 24 218 Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 tan untuk memberikan upaya pelayanan
kesehatan. Undang-undang No 36 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU No. 36
Tahun 2009) menyebutkan upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau
serangkaian yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehata masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/masyarakat. Pembangunan kesehatan pada
hakekatnya diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemampuan dan kemauan
hidup sehat bagi setiap orang, menyangkut fisik,mental, maupun sosial budaya dan
ekonomi. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dilakukan berbagai upaya
pelayanan kesehatan yang menyeluruh, terarah dan berkesinambungan. Masalah
reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi. Pertama, yang laten yaitu:
kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi akibat berbagai faktor termasuk
pelayanan kesehatan yang relatif kurang baik. Kedua, timbulnya penyakit
degeneratif yaitu menepouse dan kanker. Hak atas pelayanan dan perlindungan
kesehatan bagi ibu dan anak merupakan hak dasar sebagaimana termaktub dalam
Undang–undang Dasar 1945. Pasal 28 H UUD 1945 menentukan bahwa setiap
orang hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapat lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34
ayat (3) UUD 1945 menentukan bawha negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan tersebut, tidak lain bertujuan
untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental seperti tertuang dalam
Declaration of Human Right 1948, bahwa health is a fundamental human right.
Selain itu terdapat juga serangkaian konvensi internasional yang ditandatangani oleh
pemerintah Indonesia yaitu UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, kesepakatan konvensi
internasional tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Adapun mengenai
pembangunan kesehatan nasional yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009. 2
Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani Deklarasi Millennium
Development Goals (MDGs), Indonesia mempunyai komitmen menjadikan program-
program MDGs sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari program pembangunan
nasional baik dari jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang. Termasuk
dalam hal ini poin ke empat dan kelima dimana menurunkan angka kematian anak
dan meningkatkan kesehatan maternal.3 Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan
kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan. Bidan merupakan salah
satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam
penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kesakitan serta angka kematian
bayi (AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan
paripurna, berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan
kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan
lainnya untuk senantiasa melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan
dimanapun ia berada. Untuk menjaga kualitas tersebut diperlukan suatu standar
profesi sebagai acuan untuk melakukan segala tindakan dan sesuatu yang diberikan
dalam seluruh aspek pengabdian profesinya kepada individu, keluarga dan
masyarakat baik dari aspek input, proses dan output. Sebagai seorang tenaga
kesehatan yang langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara etis, serta
harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan filosofi
profesi dan masyarakat. Selain itu 2 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, “Hak Atas
Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di
Kabupaten Banyumas)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 Mei 2012,
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 261-262 3
Emmy Latifah, “Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Yang
Berorientasi Pada Millennium Development Goals”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11
No. 3 2011, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 403
Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan Praktik
Mandiri di Kabupaten Banyumas 219 bidan juga berperan dalam memberikan
persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan mempunyai
pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman dan
bersih.4 Seorang bidan harus melakukan tindakan dalam praktik kebidanan secara
etis serta harus memiliki etika kebidanan yang sesuai dengan nilai-nilai keyakinan
filosofi profesi dan masyarakat. Selain itu bidan juga berperan memberikan
pelayanan yang maksimal dan profesional, memberika pelayanan yang aman dan
nyaman. Disinilah kita harus memastikan bahwa semua peNolong persalinan
mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang
aman dan bersih. Adanya etika pelayanan bisa memberikan kepedulian, kewajiban
dan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh bidan tentang hidup dan makna
kesehatan selama daur kehidupan. Ketika kebutuhan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan meningkat, terutama pelayanan bidan, tidak diimbangi oleh
keahlian dan keterampilan bidan untuk membentuk suatu mekanisme kerja
pelayanan yang baik. Masih sering dijumpai pelayanan bidan tidak sesuai dengan
wewenangnya dan juga kurangnya perlindungan hukum terhadap bidan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan
hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten
Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu
bersalin) yang diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal
maternal dan perinatal di Kabupaten Banyumas. Kejadian tersebut sebagian bukan
wewenang bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat
yang lebih tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya
atau tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pentingnya penelitian ini adalah dapat
ditegakannya penegakan hukum terhadap pelanggaran bidan dan akibat hukumnya,
karena seorang bi- 4 Yanti dan W E Nurul, 2010, Etika Profesi Dan Hukum
Kebidanan, Yogyakarta: Pustaka Rihama, hlm. 85 dan sudah mempunyai wewenang
dan standar praktik bidan dalam hal ini guna membatasi wewenang sesuai dengan
peraturan yang verlaku. bidan mengetahui dan dapat mengimplementasikan
tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan yang ada tanpa melampaui wewenang
sesuai dengan kompetensinya, sehingga mortalitas dan morbiditas pasien
khususnya ibu dan anak akan lebih terhindar. Permasalahan Kedudukan dari bidan
mandiri, khususnya dalam melaksanakan praktik mandiri merupakan hal yang
menarik untuk dikaji. Permasalahan yang dikaji pada artikel ini adalah berkaitan
dengan masalah konsepsi perbuatan melawan hukum terhadap wewenang
pelayanan bidan praktik mandiri di Kabupaten Banyumas. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis Normatif, mempunyai spesifikasi secara
preskriptif. Metode penelitian digunakan studi kasus (case study), dengan lokasi
penelitian di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas pada tahun 2010-2011.
Data yang diperoleh, disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara
sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan masalah dan tujuan utama
penelitian, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan menggunakan
metode analisis kualitatif, yaitu: data yang diperoleh dengan menggabungkan antara
permasalahan dan data yang diperoleh untuk dicapai pada kesimpulan tertentu
sehingga diperoleh hasil yang signifikan dan ilmiah. Pembahasan Analisis
Pelanggaran Wewenang Bidan Praktik Mandiri yang Berkenaan dengan Unsur-
unsur Perbuatan Melawan Hukum Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang 220 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei
2013 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam
rangka mencapai cita-cita bangsa tersebut diselenggarakan pembangunan nasional
di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan
kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Berbicara
mengenai hukum dibidang kesehatan (kebidanan), apabila yang dimaksud dengan
hukum itu dalam arti sebagai struktur dan aturan-aturan, maka pernyataan ini
merupakan salah satu dari 3 (tiga) macam pedoman yang ada. Pertama, hukum
dalam arti bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial (dan hukum) yang dalam beberapa
hal dirasakan sebagai suatu keharusan atau wajib, sehingga dalam hal demikian itu
terbentuk hukum; kedua, baru pada hukumnya sendiri yang berupa struktur dan
aturan yang dalam kenyataannya juga disebutkan sebagai hukum positif; dan ketiga,
hukum terhadap pelaku dalam kenyataannya. Berdasarkan pembagian di atas,
hukum kesehatan (kebidanan) masuk pada kategori yang kedua, yaitu struktur dan
aturan-aturan sebagai satu keseluruhan yang secara utuh berhubungan dengan
sistem hukum tertentu, yaitu sistem yang dianut dalam masyarakat dan negara
Republik Indonesia, hukum kesehatan (kebidanan dalam hal ini) meliputi peraturan
hukum tertulis, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin/ajaran ilmu pengetahuan,
sedangkan objek hukum kesehatan (kebidanan) adalah perawatan kesehatan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
dalam kurun waktu tahun 2010-2011 diperoleh fakta seputar perbuatan melawan
hukum terhadap wewenang pelayanan Bidan Praktik Mandiri (BPM) di Kabupaten
Banyumas. Ada 13 kamatian perinatal (bayi baru lahir) dan 6 kematian materal (ibu
bersalin) yang diperoleh dari data daftar tilik pelacakan kematian dan otopsi verbal
maternal dan perinatal kabupaten Banyumas. Sebagian kasus bukan wewenang
bidan dalam melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih
tinggi untuk memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau
tanggung jawabnya. Saat ini masih cenderung terjadi penyimpangan dalam
pelayanan kebidanan. Penyimpangan disini diartikan sebagai pelayanan kebidanan
yang tidak sesuai dengan Kode Etik Bidan, standar profesi dan hukum, meskipun
para bidan praktisi di lapangan sudah berusaha menjalankan pelayanan sesuai
standar yang ada. Sehingga dapat disebutkan sebagai dugaan perbuatan melawan
hukum. Kemudian terkait dengan kerugian yang ditimbulkan akibat penyimpangan
tersebut, angka kesakitan dan kematian baik ibu dan bayi masih menjadi fokus
utama di Banyumas. Angka kematian ibu dan bayi masih cenderung tinggi dan
belum dapat diturunkan secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian di wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, diperoleh 3 kasus yang diduga
melakukan pelanggaran hukum medik bidan dalam kurun waktu tahun 2010
diperoleh fakta-fakta seputar penegakan hukum medik bidan di Kabupaten
Banyumas. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi hasil penelitian dan
pembahasan yaitu difokuskan pada proses penegakan hukum perdata terhadap
pelanggaran hukum perdata medik bidan yang merupakan perbuatan melanggar
hukum, ketiga kasus tersebut dijabarkan sebagai berikut. Kasus I diperoleh data dari
daftar tilik pelacakan kematian bayi/perinatal Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas; adanya riwayat kehamilan pernah melahirkan 3 kali, jarak kehamilan 5
tahun, jumlah periksa 7 kali, tempat pemeriksaan rumah bidan R dan rumah bidan
SR, status imunisasi 2 kali waktu hamil terdahulu, imunisasi TT sudah 5 kali selama
hidup, pemberian tablet besi ya dengan jumlah 110 tablet dan diminum sesuai
petunjuk, komplikasi kehamilan ada yaitu pernah presentasi lintang pada saat usia
kehamilan 28 minggu. Riwayat persalinan; tanggal kelahiran 14-2-2010, lahir hidup,
jenis kelamin laki-laki, kelahiran tunggal, presentasi bokong, menangis rintih, berat
lahir Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang Pelayanan Bidan
Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 221 3000 gr, panjang badan 48 cm, lingkar
lengan kiri 10 cm, lingkar dada 32 cm, lingkar kepala 32 cm. Umur kehamilan 38
minggu lebih 1 hari, dengan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) tanggal 20-5-2009
HPL(Hari Perkiraan Lahir) 27- 2-2010, penolong persalinan bidan R, tempat
persalinan rumah bidan (praktik swasta), jarak ke tempat persalinan
Pasien harus mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian yang secara tidak
sengaja telah tersepakati, pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan
yang menyangkut keselamatan dirinya. Pasien berhak mengetahui segala sesuatu
yang berkaian dengan pelayanan medis yang diberikan oleh tenaga medis. Jika
pelayanan bidan diberikan kepada pasien sesuai dengan standar operasional
prosedur, berkualitas dan bermartabat, maka pelayanan itu akan terhindar dari
bayangan-bayangan tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi. Permasalahan
Angka Kematian Ibu (AKI) yang terdeteksi masih sangat tinggi ini setidaknya karena
beberapa penyebab baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu pemasok
terbesar penyebab langsung perdarahan, pre eklamsi, baik dalam kehamilan, saat
bersalin dan setelah bersalin. Sedangkan yang menjadikan penyebab tidak langsung
karena keterlambatan membawa ke tempat rujukan, terlambat mencari pertolongan
dan terlambat memberi pertolongan di tempat rujukan. Memberikan pelayanan
kesehatan kepada ibu hamil bersalin, nifas dan neonatal haruslah sesuai denga
ketentuan yang ditetapkan serta berdasarkan pada kode etik profesi sehingga
meningkatkan kuwalitas diri perlu selalu dipelihara. Teamwork yang baik dalam
pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan wewenang dan fungsinya.
Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang disebutkan sebelumnya, maka
konsekwensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan kewenangan atau
karena kelalaian. Mengenai kasus di atas, seorang bidan tidak memberikan
informasi tentang keadaan pasiennya serta bidan tidak merujuk pasien yang bukan
wewenangnya atau kompetensinya. Penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan
tertentu ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan melalui pelaksanaan masa bakti
terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat potensial di dalam kebutuhan
penyelenggaraan upaya kesehatan. Disamping itu tenaga kesehatan tertentu yang
bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang
sesuai dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat
dengan hak dan kewajibannya. Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukan
kemampuan profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga
kesehatan tersebut. Menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan, disebutkan bahwa bidan termasuk dalam kelompok tenaga
keperawatan. Sehubungan dengan hal tersebut, bidan juga memiliki hubungan
dengan pasien, khususnya dalam praktik seperti halnya dengan tenaga kesehatan
lainnya. Dalam pemberi pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dokter, bidan dan
perawat merupakan tenaga kesehatan yang memegang peran penting. Perawat
(bidan) melakukan tindakan medik tertentu berdasakan ilmunya. Selanjutnya pasien
tidak dirujuk oleh bidan dalam kasus diatas, dijelaskan di UU No. 44 Tahun 2009
Pasal 41 ayat (1) pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam
rangka peningkatan pelayanan kesehatan dan ayat (2) jejaring sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan,
penyediaan alat dan pendidikan tenaga. Pasal 42 ayat (1) sistem rujukan merupakan
penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab
secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan
fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan
kesehatan. Pasal 42 ayat (2) menentukan bahwa setiap rumah sakit berkewajiban
merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan Rumah
Sakit. Upaya peningkatan derajat kesehatan semata-mata tidak hanya dilakukan
oleh tenaga kesehatan (bidan) tetapi peran serta aktif masyarakat termasuk swasta
perlu diarahkan, dibina dan dikembangkan sehingga dapat melakukan fungsi dan
tanggung jawab sosialnya sebagai mitra pemerintah. Peran pemerintah lebih dititik
beratkan pada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan untuk terciptanya
pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang serasi dan
seimbang antara upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan
masyarakat termasuk swasta. Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan
peningkatan pela- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap Wewenang
Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 225 yanan kesehatan
bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Keberhasilan pembangunan diberbagai bidang dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekNologi telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan
hidup sehat. Hal Ini mempengaruhi meningkatnya kebutuhan pelayanan dan
pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun
mutu. Oleh karena itu diperlukan pengaturan untuk melindungi pemberi dan
penerima jasa pelayanan kesehatan. Bidan sebagai pendukung upaya kesehatan
dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu
tanggap terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya,
sedangkan pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan
tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kebijaksanaan peraturan
perundangundangan dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap penyimpangan
pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam
bentuk sanksi. Telah ditentukan secara jelas bahwasannya tugas atau wewenang
bidan sudah diatur oleh pemerintah sebagai berikut: pemberian kewenangan lebih
luas kepada bidan dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kegawatdaruratan
obstetri dan neonatal kepada setiap ibu hamil/bersalin, nifas dan bayi baru lahir (0-
28 hai) agar penanganan dini atau pertolongan pertama sebelum rujukan dapat
dilakukan secara cepat dan tepat waktu. Dalam menjalankan kewenangan yang
diberikan bidan harus; melaksanakan tugas kewenangannya sesuai dengan standar
profesi, memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk tindakan yang dilakukannya,
mematuhi dan melaksanakan protap yang berlaku diwilayahnya, bertanggung jawab
atas pelayanan yang diberikan dan berupaya secara optimal dalam mengutamakan
keselamatan ibu calon bayi atau janin. Perhatian khusus yang diberikan pada masa
sekitar persalinan karena kebanyakan kematian ibu dan bayi dalam masa tersebut.
Pelayanan kesehatan pada anak diberikan kepada bayi(khususnya bayi baru lahir),
balita dan anak pra sekolah. Pelayanan dan pengobatan genekologi yang dapat
dilakukan oleh bidan adalah kelainan genekologi ringan seperti keputihan dan
penundaan haid. Pengobatan ginekologik yang diberikan tersebut pada dasarnya
bersifat pertolongan sementara sebelum dirujuk ke dokter atau tindak lanjut
pengobatan sesuai advis dokter. Pelayanan neonatal esensial dan tata laksana
neonatal sakit diluar rumah sakit meliputi; pertolongan persalinan traumatik, bersih
dan aman;menjaga tubuh bayi tetap hangan dengan kontak dini; membersihkan
jalan nafas, mempertahankan bayi bernafas spontan; pemberian ASI dini dalam 30
menit setelah melahirkan; mencegah infeksi pada bayi baru lahir antara lain melalui
perawatan tali pusat secara higenis, pemberian imunisasi dan pemberian ASI
eksklusif; pemeriksaan dan perawatan bayi baru lahir dilaksanakan pada bayi 0-28
hari. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1464/ MenKes/per/X/2010 tentang Izin dan
Penyelanggaraan Praktik Bidan Indonesia pada BAB III Penyelanggaraan Praktik
Pasal 9 menentukan bahwa bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan kesehatan ibu; pelayanan
kesehatan anak; dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa pelayanan kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra hamil,
kehamilan masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua
kehamilan. Pasal 13 ayat (1) selain wewenang bidan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi
pelayanan konseling pada masa pra hamil; pelayanan antenatal pada kehamilan
Normal; pelayanan persalinan normal; pelayanan ibu nifas normal; pelayanan ibu
menyusui; dan pelayanan konseling pada masyarakat kedua kehamilan; Pasal 13
ayat (3) menentukan bahwa bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk episiotomi; penjahitan luka jalan lahir
tingkat I 226 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 dan II penanganan
kegawatdaruratan dilanjutkan perujukan; pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; fasilitas atau bimbingan inisiasi
menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif; pemberian uterotonika pada
menejemen aktif kala III dan postpartum; penyuluhan dan konseling; bimbingan
pada kelompok ibu hamil; pemberian surat keteranagan kematian; dan emberian
surat keterangan cuti bersalin. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), selain kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, bidan yang
menjalankan program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan
meliputi: butir g melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan
terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit
lainnya. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi
beberapa unsur. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Kedua,
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri (kewajiban hukum si pelaku).
Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan baik. Keempat, bertentangan dengan
keharusan yang diindahkan dalam pergaulan. Berdasarkan data di atas, beberapa
unsur terpenuhi. Pertama, bertentangan dengan hak orang lain. Maksud
bertentangan dengan hak orang lain adalah bertentangan dengan hak subjektif
(subjektiferecht) orang lain. Hak-hak pribadi (Persoonlijkheidsrechten) seperti hak
atas keutuhan badan, kebebasan, hak atas kehormatan dan nama baik. Keluarga
pasien dalam hal ini adalah suami tidak diberikan informasi sesuai dengan keadaan
istri dan janinnya. Kedua, bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
(kewajiban hukum si pelaku). Suatu perbuatan adalah melawan hukum apabila
perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan kewajiban hukum (rechtsplicht) si
pelaku. Rechtsplicht adalah kewajiban yang berdasar atas hukum. Menurut
pendapat umum dewasa ini, maka hukum, mencakup keseluruhan Norma-norma,
baik tertulis maupun tidak tertulis. Pada kasus I, bidan melanggar KepMenkes No.
1464/MenKes/per/X/2010. Bidan melanggar wewenangnya dimana menolong
persalinan dengan kondisi janin premature dengan keadaan presentasi bokong,
sedangkan dalam peraturan KepMenKes ataupun wewenang bidan diatas sudah
jelas bahwasannya bidan hanya menolong kehamilan, persalinan fisiologis dan
mendeteksi dini komplikasi persalinan serta dilanjutkan rujukan. Setelah melakukan
diagnosa kebidanan bahwa usia kehamilan masih tergolong premature bidan
tersebut tidak melakukan rujukan hal ini selain diatur dalam KepMenKes diatas dan
wewenang bidan dijelaskan juga pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 41 dan Pasal
42. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan. Keempat, bertentangan dengan
keharusan yang diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau
benda milik orang lain. Unsur ketiga dan empat ini tidak terpenuhi dalam kasus
diatas. Jadi kesimpulan sementara pada kasus di atas, bidan tersebut memenuhi
unsur pertama dan kedua. Simpulan itu dapat diketahui dari KepMenkes No
1464/MenKes/per/X/2010. Pasal 23 ayat (1) menentukan bahwa dalam rangka
pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri,
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat
memberian tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini. Ayat (2) dari pasal
tersebut menentukan bahwa tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan SIKB/SIPB
untuk sementara paling lama 1 tahun; atau pencabutan SIKB/SIPB selamanya. Dari
sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggung jawaban
berdasarkan hukum perdata,hukum pidana maupun hukum administrasi.
Tanggungjawab dibidang hukum perdata dapat ditemukan disetiap pelayanan
kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap pelayanan kesehatan selalu
terjadi hubungan antara kedua belah pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-
masing pihak memiliki kewajiban dan haknya yang sama. Maksud kedua belah pihak
ini adalah dokter dan pasien. Hubu- Kajian Perbuatan Melawan Hukum terhadap
Wewenang Pelayanan Bidan Praktik Mandiri di Kabupaten Banyumas 227 ngan
atara dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus
terpenuhi secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Apabila
seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum tahu betul suatu
perbuatannya akan berakibat suatu keadaan yag merugikan orang lain pada
umumnya perbuatan orang tersebut dapat dikatakan bisa dipertanggugjawabkan.
Pasal 1365 KUHPer yang menentukan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUHPer yang menentukan
bahwa seiap orang yang bertanggung jawab tidak saja untuk kergian yang
disebabkan karena perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kekurang hati-hatiannya. Pasal 1367 KUHPer yang menentukan
bahwa seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri tetapi juga kerugian yang disebabkan oleh orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang dibawah
pengawasannya. Pasal 1370 KUHPer yang menentukan dalam halnya suatu
kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seseorang maka istri
yang ditinggalkan, anak atau orang tua sikorban yang lazim mendapatkan nafkah
dari pekerjaan korban mempunyai hak menuntut ganti rugi, yang dinilai menurut
kedudukan dan kekayaan dari kedua belah pihak.9 Pasal 58 ayat (1) UU No 36
Tahun 2009 menentukan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian atau kesalahan akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayaan kesehatan yang diterimanya. 10 Sedangkan aspek perdata lainnya adalah
tuntutan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum, ukuran yang
digunakan adalah kesesuaian dengan standar profesi medik serta kerugian yang
ditimbulkan. Pengertian diatas menunjukan bahwa se- 9 Bambang Heryanto,
“Malpratik Dokter dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2
Mei 2010, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 184
10 Tedi Sudrajat dan Agus Mardiyanto, op.cit, hlm.268 kalipun hubungan hukum
antara tenaga kesehatan (bidan) dengan pasien adalah ”upaya secara maksimal”,
akan tetapi tidak tertutup kemungkinan timbulnya tuntutan ganti rugi yang
didasarkan pada perbuatan melanggar hukum yang tenaga kesehatan harus
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dari segi hukum perdata.11 Kerugian
– pada gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum - juga meliputi kerugian
materi dan imateriil sebagaimana yang berlaku dalam gugatan berdasarkan
wanprestasi. Apabila ketentuan di atas dibandingkan, maka gugatan perbuatan
melawan hukum memiliki pengertian jauh lebih luas dibandingkan dengan
wanprestasi karena beberapa hal. Pertama, gugatan wan prestasi dasarnya adalah
perjanjian yang dalam hal ini adalah kontrak teraupetik (penyembuhan) antara
tenaga kesehatan dalam hal ini adalah pasien. Dengan berlakunya azas kepribadian
dalam transaksi teraupetik maka pihak yang terkait adalah pasien dan tenaga
kesehatan atau rumah sakit. Oleh karena itu jika transaksi teraupetik tidak tercapai
tujuannya karena wanprestasi, maka gugatan hanya ditujukan kepada bidan atau
rimah sakit, sedangkan pihak lain yang membantu tidak dapat digugat berdasarkan
wanprestasi. Kedua, sebaliknya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum,
gugatan tidak dapat ditujukan perbuatan melawan hukum, gugatan tidak hanya
ditunjukan pada terhadap pelaku perbuatan itu saja, melainkan juga terhadap orang-
orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang
yang ada di bawah tanggung jawabnya. Rumah sakit dapat digugat untuk
bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang bekerja dirumah sakit tersebut atau dapat digugat untuk perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh laboran atau perawat yang bekerja
diperintahnya. 11 Hargianti Dini Iswandari, “Aspek Hukum Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang No.9/2004 Tentang
Praktik Kedokteran”, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol 09 No 2 Juni
2006, Universitas Gadjah Mada, UGM Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan,
hlm. 56 228 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 2 Mei 2013 Ketiga, gugatan
berdasarkan wanprestasi dasarnya adalah perjanjian, jadi gugatan hanya diajukan
bila bidan melakukan perbuatan melawan hukum lebih luas karena dapat bertujuan
yang masuk kategori perbuatan melawan hukum yang menimbulkan pada pihak
lain.12 Penutup Simpulan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
bidan dalam kasus yang diambil sebagai data dalam penelitian ini memberikan
pelayanan kepada pasien tetapi dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum karena pelayanan bidan tersebut memenuhi dua unsur yaitu unsur
bertentangan dengan hak subjektif orang lain dan bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, tidak memberikan informasi secara lengkap dan memberikan
pelayanan yang melebihi wewenangnya yaitu meNolong persalinan dengan keadaan
janin premature. Dalam hal ini bidan bertentangan dengan PerMenKes No 1464
tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, Undang-undang
Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009 dan Kode Etik serta wewenang bidan. Kedua hal
tersebut secara teori termasuk perbuatan melawan hukum dalam arti sempit.
DAFTAR PUSTAKA Heryanto, Bambang. “Malpratik Dokter dalam Perspektif
Hukum”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No 2 Mei 2010, Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Iswandari, Dini Hargianti. “Aspek Hukum
Penyelenggaran Praktik Kedokteran: Suatu Tinjauan Berdasarkan Undang-Undang
No.9/2004 Tentang Praktik Kedokteran”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,
12 R.A. Antari Inaka Turingsih, “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan Dalam
Pelayanan Kesehatan”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 268-274 Vol 09 No 2 Juni 2006.
Universitas Gadjah Mada Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan; Latifah, Emmy.
“Harmonisasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia yang berorientasi
pada Millennium Development Goals”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3
September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Manan, Bagir. 2003. Teori Politik dan Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press; Rozah,
Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medis”. Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Vol 33 No 3 2004. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP;
Sudrajat,Tedi dan Agus Mardiyanto. “ Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan
Kesehatan Ibu dan Anak (Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)”. Jurnal
Dinamika Hukum, Vol 12 No 2 Mei 2012. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman; Taufiq, Muhammad. ”Perspektif Yuridis Tanggung Jawab
Dokter terhadap Rahasia Medis Pasien HIV/AIDS (Studi di Rumah Sakit Umum
Daerah Banyumas)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011.
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; Turingsih, Inaka
Antari R.A. “Tanggung Jawab Keperdataan Bidan dalam Pelayanan Kesehatan”.
Jurnal Mimbar Hukum, Vol 24 No 2 Juni 2012. Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada; Wahyudi, Setya. ”Tanggung Jawab Rumah Sakit
Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Keshatan dan Implikasinya”. Jurnal
Dinamika Hukum, Vol 11 No 3 September 2011. Purwokerto: Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman; Yanti dan W.E. Nurul. 2010. Etika Profesi Dan
Hukum Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Riham

PENDAHULUAN Kesehatan merupakan modal utama manusia dalam menjalankan


aktifitas seharihari.2 Keberhasilan upaya kesehatan salah satunya tergantung pada
ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga kesehatan3 . Pada
awalnya profesi di dunia kesehatan yang diakui oleh masyarakat adalah profesi
kedokteran. Namun belakangan pekerjaan keperawatan dan kebidanan mulai
dikembangkan secara sungguh-sungguh sebagai profesi sendiri dengan body of
know ledge dan bentuk pelayanan tersendiri pula.4 Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyebutkan yang dimaksud dengan Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan. Ketersediaan tenaga kesehatan harus diikuti dengan
profesionalitas kerja agar pelayanan kesehatan mempunyai mutu 2 Safitri Hariyani.
2005. Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan
Pasien. Jakarta: Diadit Media. Hal 1. 3 Sri Praptianingsih.2006. Kedudukan Hukum
Perawat dalam Upaya Kesehatan di Rumah Sakit. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Hal. 3. 4 Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan Rambu-rambu Profesi Dokter.
Semarang: Universitas Diponegoro. Hal-21. yang bagus dan sesuai dengan standar.
Adapun yang dimaksud Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar
profesi, dan standar operasional prosedur (Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/PER/2010). Ditinjau dari sudut pandang
hukum kesehatan, standar pelayanan medis mempunyai dua tujuan yaitu Pertama,
untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai standar profesi.
Kedua, melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar5 .
Penentuan dari indikasi dan pelaksanaan dari tindakan medis itu haruslah dilakukan
sesuai dengan standar medis yang berlaku.6 Oleh karena itu setiap tenaga
kesehatan harus memperhatikan standar yang berlaku di profesinya termasuk bidan,
selain itu bidan juga harus patuh pada Kode Etik Kebidanan. Kode etik Kebidanan
merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan tuntunan bagi
bidan untuk melaksanakan praktek kebidanan baik yang berhubungan dengan 5
Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban. Jakarta:
Rineka Cipta. Hal. 43. 6 H. J. J. Lenan dan P. A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan
Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka
Cipta. Hal 34. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah
Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 kesejahteraan
keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya. 7 Supaya sesuai standar
dan kode etik, seorang bidan dalam menjalankan profesinya harus memperhatikan
norma dan aturan yang berlaku. Norma adalah suatu ukuran atau patokan bagi
seseorang dalam bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat, intinya norma
adalah segala aturan yang harus dipatuhi8 . Norma merupakan aturan atau kaidah
yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu. Ada tiga macam norma yang
dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu:
1. Etika atau Norma kesopanan 2. Norma Hukum 3. Norma moral atau etika.9
Norma hukum merupakan peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang
mengikat semua orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara
sehingga kaidah hukum dapat selalu dipertahankan berlakunya.10 Bidan sebagai
salah satu Profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat. Dalam 7 Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan.
Jakarta: PP IBI. Hal-76 8 Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006. Ilmu Perundang-
undangan dasar-dasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. Hal-6. 9
Anny.Isfandyarie. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana.
Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal-3. 10 Anny Isfandyarie. Ibid. hal- 3 menjalankan
profesinya harus mematuhi norma hukum yang berlaku bagi tenaga kesehatan pada
umumnya dan khususnya bagi bidan. Norma hukum yang dimaksud dalam hal ini
salah satunya adalah peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang
mengatur penyelenggaraan praktek bidan. Penyelenggaraan praktek Bidan diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010. Adanya
peraturan ini menjadikan dua peraturan sebelumnya tidak berlaku, Sebagaimana
yang tercantum dalam Ketentuan Penutup Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/ MENKES/ KES/ PER/2010 yaitu pasal 29, peraturan ini sejak ditetapkannya
mencabut dua aturan yang berlaku sebelumnya yaitu: a. Menteri Kesehatan Nomor
900/MENKES/SK/VII/2002 dan b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.
02.02/Menkes/149/I/2010 Tugas dan Kewenangan bidan dalam peraturan ini diatur
dengan jelas, namun ada pro dan kontra terhadap peraturan ini karena banyak
perbedaan dari peraturan semula yaitu Keputusa menteri Kesehatan Nomor 900/
MENKES/ SK/VII/2002 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02.02/
Menkes/ 149/I/2010. Peraturan menteri Kesehatan Nomor 1464/ MENKES/ KES/
PER/2010 banyak yang menganggap Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH”
AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November
2014 mempersempit ruang gerak bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Ada juga yang berpendapat hal tersebut wajar saja karena
disamping bidan ada dokter dan dokter specialis Kandungan yang juga mempunyai
tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sesuai dengan
wewenangnya. Hasil penelitian tahun 2012 yang dilakukan oleh Fitriani Nur
Damayanti11 di Semarang, menyebutkan ada beberapa Bidan yang melakukan
Praktek Mandiri Masih menggunakan atau menerapkan Kepmenkes Nomor 900/
MENKES/ SK/ VII/2002, meski sudah ada Permenkes 1464 alasan mereka sebagian
karena tidak mengetahui Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010
sehingga tidak mengetahui perbedaan kewenangan bidan setelah keluarnya
permenkes nomor 1464 tahun 2010. Permasalahan ketidaktahuan bidan akan
peraturan yang baru (permenkes nomor 1464 tahun 2010) mengenai kewenangan
bidan adalah fakta dilapangan, dan hal itu dimungkinkan bukan hanya di 11
http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur Damayanti. Perbandingan antara Kepemilikan
Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam Pelayanan
Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no.
900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes
no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. Semarang saja bahkan di daerah-
daerah lain apalagi di daerah terpencil yang minim akses informasi. Selain itu
banyak bidan yang pro dan kontra terhadap adanya peraturan bidan yang baru
tersebut. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas Tinjauan Yuridis
kewenangan bidan berdasarkan Permenkes Nomor 1464/MENKES/KES/ PER/2010.
Pembahasan ini menjadi penting karena semua orang yang ada di Indonesia
dianggap tahu hukum tidak terkecuali bidan, sehingga alasan ketidaktahuan mereka
akan peraturan baru tidak berlaku di depan hukum, selain itu pembahasan ini
diharapkan memudahkan bidan dalam memahami kewenangannya sesuai peraturan
yang berlaku saat ini, sehingga mereka dapat menjalankan tugas dan wewenangnya
sesuai standart dan ketentuan yang berlaku. (asas) Dari latar belakang di atas
tulisan ini akan menjawab beberapa persoalan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
dasar hukum kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan? 2. Apa
sajakah wewenang bidan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010? Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID
Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014
PEMBAHASAN Tinjauan Yuridis Kewenanan Bidan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Penyelenggaraan
dan Praktek Bidan A. Dasar Kewenangan Bidan dalam memberikan pelayanan
kesehatan Menurut Wila Chandrawila Supriadi seorang tenaga kesehatan yang
melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat dianggap melanggar salah satu
standar profesi tenaga kesehatan12 . Wewenang menurut S.F. Marbun ialah
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undangundang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.13 Kata dasar kewenangan adalah
wenang atau wewenang. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, wewenang adalah hak
dan kekuasaan untuk bertindak atau menentukan sesuatu. Menurut kamus hukum,
wenang adalah 12 Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung:
Mandar Maju. Hal-140. 13Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Hal-50. hak untuk melaksanakan
sesuatu, berarti secara harafiah kewenangan adalah dasar hak atau dasar
kekuasaan.14 Hak ialah Kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau
tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperolah sesuatu.15 Kewenangan
menurut P.Nicolai adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
(yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbulnya dan lenyapnya akibat tertentu. Kewenangan berisi
hak dan kewajiban tertentu, hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain melakukan tindakan tertentu,
sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu.16 Senada dengan pendapat P. Nicolai, Bagir Manan juga
berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten), berbeda dengan kekuasaan 14Soerjono Soekanto & R. Otje
Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Jakarta: Rajawali Pers. Hal-16. 15
Mariana Amiruddin. 2003. Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan Panduan
untuk Jurnalis, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan the Japan
Foundation. hal-10. 16 Ridwan HR. 2003. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:
UII Press. Hal 71-72. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-
Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 (macht) yang
hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat.17 Dari beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan ialah kemampuan atau hak
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disertai dengan kewajiban
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Kewenangan bidan berarti
kemampuan atau hak bidan untuk memberikan pelayaan kesehatan yang mana
bidan juga mempunyai kewajiban tertentu. Sesuai dengan dengan UndangUndang
Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (1 dan 2) Tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, adapun pelayanan kesehatan yang
dimaksud harus sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu dalam ayat
(3) juga disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Tenaga kesehatan yang dimaksud
meliputi : 1. Tenaga medis; 2. Tenaga keperawatan dan bidan; 3. Tenaga
kefarmasian; 17 Ridwan HR. Ibid. Hal-72. 4. tenaga kesehatan masyarakat; 5.
tenaga gizi; 6. tenaga keterapian fisik; dan 7. tenaga keteknisian medis. Dari
penjelasan di atas bidan masuk dalam salah satu tenaga kesehatan, yang mana
untuk memperoleh kewenangan bidan juga harus mematuhi ketentuan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23 ayat (3) yaitu memiliki izin. Bidan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan baik secara mandiri maupun di fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah
diwakili oleh Departemen Kesehatan, Pemberian kewenangan kepada bidan yang
sudah memenuhi syarat tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran
Praktik Bidan. Syarat-syarat bidan agar mendapat kewenangan memberikan
pelayanan kesehatan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 ialah: 1. Sudah memiliki STR (Surat Tanda Regristrasi )18;
18 Apabila belum terbentuk Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) Majelis
Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat
dilaksanakan, maka surat Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-
Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2. Minimal
Lulusan D III bagi bidan yang Praktek Mandiri; 3. Memiliki SIPB bagi bidan yang
praktek mandiri; 4. Memiliki SIKB bagi bidan yang praktek di fasilitas pelayanan
kesehatan. 5. SIKB atau SIPB berlaku hanya untu satu tempat. (pasal 3) Bagi bidan
yang sudah di berikan izin oleh pemerintah harus menjalankan kewenangannya
untuk melaksanakan pekerjaannya secara professional, sebab seorang tenaga
kesehatan dalam melakukan pekerjaannya, selalu dituntut untuk sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur tindakan medik19 Oleh karena itu bagi profesi
kesehatan khususnya Bidan harus memahami norma dan aturan yang berlaku di
profesinya. Dasar kewenangan bidan sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya
telah didelegasikan melalui pasal 23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada
peraturan menteri dan dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR (pasal 4 ayat (3)
Permenkes Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010). 19Wila Chandrawila Supriadi. 2001.
Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju. 42-43 1464/Menkes/Per/X/2010
tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1464/MENKES/KES/PER/2010, ini mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat profesi bidan karena peraturan ini melaksanakan ketentuan undangundang
yaitu pasal 23 ayat (5) Undangundang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
yang ber bunyi : Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)20 diatur dalam Peraturan Menteri. Oleh karena itu agar tidak melanggar atau
melampaui kewenangannya bidan harus mematuhi peraturan ini, karena mempunyai
kekuatan hukum mengikat profesi bidan, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan
peraturan perundangundangan yang menyebutkan bahwa Jenis dan hierarkhi
peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat
sebagai berikut : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
20 Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID
Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 2.
Undang-undang atau Peraturan pengganti Undang-undang; 3. Peraturan
pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah; 6. Peraturan perundang-
undangan lain yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Permenkes Nomor 1464/ Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaran Praktik Bidan termasuk Peraturan perundang-undangan lain yang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini
diperintahkan pasal 3 ayat (5) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan. Oleh karena itu semua bidan di Indonesia baik yang menyelenggarakan
praktek mandiri maupun yang di fasilitas pelayanan kesehatan harus melaksanakan
kewenangannya sesuai Peraturan Menteri Kesehatan tersebut. B. Kewenangan
Bidan Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 Kewenangan bidan baik di fasilitas pelayanan kesehatan
maupun yang praktek mandiri berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran
Praktik Bidan, sebagai berikut: 1) Kewenangan Bidan secara umum 2) Kewenangan
Dalam Menjalankan Program Pemerintah 3) Kewenangan bidan yang menjalankan
praktik di daerah yang tidak memiliki dokter. Adapun Rincian Tiga (3) kewenangan
Bidan di atas sebagai berikut: 1. Kewenangan Bidan Secara Umum Kewenangan
bidan secara umum maksudnya berlaku untuk semua bidan baik di fasilitas
kesehatan maupun yang praktek mandiri meliputi: A. Pelayanan kesehatan ibu
Pelayanan kesehatan ibu diberikan pada masa pra hamil, kehamilan, masa
persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan.(pasal 10
ayat 1) Adapun ruang lingkup pelayanan kesehatan ibu meluputi: a. Pelayanan
konseling pada masa pra hamil b. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal c.
Pelayanan persalinan normal d. Pelayanan ibu nifas normal e. Pelayanan ibu
menyusui dan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah
Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 f. Pelayanan konseling
pada masa antara dua kehamilan. (pasal 10 ayat 1) Pelayanan-pelayanan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat 2 di atas, bidan berwenang
memberikan pelayanan untuk: a. Episiotomi; b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I
dan II; c. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d.
Pemberian tablet Fe pada ibu hamil; e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu
nifas; f. Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu
(ASI) eksklusif; g. Pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan
postpartum; h. Penyuluhan dan konseling; i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; j.
Pemberian surat keterangan kematian; k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin.
Ruang lingkup pelayan kebidanan kepada ibu dalam permenkes Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010, ada perbedaan dengan Keputusan Menteri Kesehatan
nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 dimana perbedaan itu terletak pada
dihapuskannya beberapa kewenangan bidan yang semula ada dalam Keputusan
Menteri Kesehatan nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 yaitu: 1. Pemeriksaan fisik 2.
Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus
iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I, preeklamasi ringan dan anemi ringan; 3.
Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus
macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan
post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan
pre term; 4. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,
renjatan dan infeksi ringan; 5. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi
yang Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara
ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 meliputi keputihan, perdarahan
tidak teratur dan penundaan Haid. B. Pelayanan kesehatan anak Diberikan kepada
bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah. Kewenangan bidan dalam
pelayanan kesehatan kepada anak meliputi: 1. Melakukan asuhan bayi baru lahir
normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini (IMD),
injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan
perawatan tali pusat 2. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera
merujuk 3. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan 4.
Pemberian imunisasi rutin sesuai program Pemerintah 5. Pemantauan tumbuh
kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah 6. Pemberian konseling dan
penyuluhan 7. Pemberian surat keterangan kelahiran 8. Pemberian surat keterangan
kematian. (Pasal 10 ayat 3) C. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana, dengan kewenangan: 1. Memberikan penyuluhan dan konseling
kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana 2. Memberikan alat
kontrasepsi oral dan kondom Kewenangan bidan secara umum atau yang berlaku
untuk semua bidan baik yang di fasilitas kesehatan maupun yang praktek mandiri,
dibatasi hanya untuk kesehatan ibu dan anak sementara pelayanan kesehatan
masyarakat yang dulu tercantum dalam kepmenkes nomor 900 tahun 2002
ditiadakan. 2. Kewenangan Dalam Menjalankan Program Pemerintah Selain
kewenangan umum di atas, khusus bagi bidan yang menjalankan program
Pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam pasal pasal 13 ayat 1, bidan
mendapat kewenangan tambahan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang
meliputi: Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara
ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 a. Pemberian alat kontrasepsi
suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi
bawah kulit; b. Asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit
kronis tertentu (dilakukan di bawah supervisi dokter); c. Penanganan bayi dan anak
balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan; d. Melakukan pembinaan peran serta
masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan
penyehatan lingkungan; e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak
pra sekolah dan anak sekolah; f. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; g.
Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi
Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya; h.
Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) melalui informasi dan edukasi; i. Pelayanan kesehatan lain yang
merupakan program Pemerintah. Dalam pasal 13 ayat 2 disebutkan Khusus untuk
pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan
bayi dan anak balita sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan
penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta
pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk
pelayanan tersebut. 3. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang
tidak memiliki dokter Khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang
belum ada dokter, bidan juga diberikan kewenangan sementara untuk memberikan
pelayanan kesehatan di luar kewenangannya dalam pasal 9 (kewenangan secara
umum), dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Kewenangan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan Umum tersebut berakhir dan tidak berlaku lagi jika di daerah tersebut
sudah terdapat tenaga dokter (pasal 14). Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH”
AKBID Islam Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November
2014 Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk: 1) Menghormati hak
pasien 2) Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu. 3)
Menyimpan rahasia kedokteran21 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; 4) Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan; 5) Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan
dilakukan; 6) Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis; 7)
Mematuhi standar; dan 8) Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan
termasuk pelaporan kelahirana dan kematian. 9) Senantiasa meningkatkan mutu
pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. 10)
Membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
(Pasal 18) 21 Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran merupakan kesejajaran
dengan hak pasien untuk disimpan rahasianya oleh dokter (tenaga medis).
(Crisdiono, 2007: 11). Hak dan kewajiban selalu beriringan oleh karena itu selain
mempunyai kewajiban di atas bidan mempunyai hak22 : 1. Memperoleh perlindngan
hukum23 dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar; 2.
Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarga; 3.
Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; dan 4. Menerima
imbalan jasa profesi. (pasal 19) SIMPULAN DAN SARAN Kewenangan Bidan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/ Menkes/ Per/
X/2010 dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: 22 Hak adalah
kepentingan yang dilindungi hukum (Sudikno, 2005:43). 23 Menurut Koerniatmanto
soetoprawiro perlindungan hukum itu pada hakekatnya adalah suatu upaya dari
pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian
rupa sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat
mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan tenang dan
tertib. Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam Al-Hikmah Jepara
ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 1. Dasar kewenangan bidan
sangat tegas dan kuat karena telah diatur oleh Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 Pasal 23, dan untuk pelaksanaan teknisnya telah didelegasikan melalui pasal
23 ayat (5) undang-undang tersebut kepada peraturan menteri dan dalam hal ini
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/
Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan. 2. Ruang
lingkup kewenangan bidan yaitu: a. Kewenangan Bidan secara umum Kewenangan
bidan secara umum atau yang berlaku untuk semua bidan baik yang di fasilitas
kesehatan maupun yang praktek mandiri, dibatasi hanya untuk kesehatan ibu dan
anak sementara pelayanan kesehatan masyarakat yang dulu tercantum dalam
kepmenkes nomor 900 tahun 2002 ditiadakan. b. Kewenangan Dalam Menjalankan
Program Pemerintah c. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah
yang tidak memiliki dokter. DAFTAR PUSTAKA 1. Anny.Isfandyarie. 2005.
Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi
Pustaka. 2. Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban.
Jakarta: Rineka Cipta. 3. Chrisdiono M. Achadiat. 2007. Dinamika Etika dan Hukum
kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktera EGC. Hal-11. 4. H. J. J. Lenan dan P.
A. F. Lamintang. 1991. Pelayanan Kesehatan dan Hukum : suatu studi Tentang
Hukum Kesehatan. Bandung: Rineka Cipta. 5. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2006.
Ilmu Perundang-undangan dasardasar dan pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.
6. Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi.
Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 7. Safitri Hariyani. 2005. Sengketa Medik :
Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dengan Pasien. Jakarta: Diadit
Media. 8. Soerjono Soekanto & R. Otje Salman. 1996. Disiplin Hukum dan Disiplin
Sosial Jakarta: Rajawali Pers. 9. Sofyawan Dahlan. 1999. Hukum Kesehatan
Rambu-rambu Profesi Dokter. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
10. Sofyan, Mustika,dkk. 2007. Bidan Menyongsong Masa Depan. Jakarta: PP IBI.
11. Sri Praptianingsih.2006. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Kesehatan di
Rumah Sakit. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 12. Wila Chandrawila Supriadi. 2001.
Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju.http://jurnal.unimus.ac.id. Fitriani Nur
Damayanti. Perbandingan Jurnal Kesehatan dan Budaya “ HIKMAH” AKBID Islam
Al-Hikmah Jepara ISSN: 1907-1396 Vol.07 No.02 Edisi November 2014 antara
Kepemilikan Kompetensi Bidan Dengan Pelaksanaan Kewenangan bidan dalam
Pelayanan Kebidanan pada Bidan Praktik Mandiri menurut kepmenkes no.
900/menkes/sk/vii/2002, permenkes no. Hk.02.02/menkes/149/2010 dan permenkes
no. 1464/menkes/per/x/2010 di Kota Semarang. 13. Undang-Undang No.36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. 14. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang
Tenaga Kesehatan. 15. Kepmenkes RI No.900/ Menkes/ SK/VII/2002 Tentang
Registrasi dan Praktik Bidan. 16. Kepmenkes RI No. 369/MENKES/SK/III/2007
Tentang Standar Profesi Bidan. 17. Permenkes RI No. HK.02.02/Menkes/149/I/2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 18. Permenkes No. 1464/
Menkes/ Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sejarah menunjukkan bahwa bidan adalah salah satu profesi tertua di dunia
sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan muncul sebagai wanita terpercaya
dalam mendampingi dan menolong ibu yang melahirkan. Peran dan posisi bidan
dimasyarakat sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya yang sangat mulia,
memberi semangat, membesarkan hati, mendampingi, serta menolong ibu yang
melahirkan sampai ibu dapat merawat bayinya dengan baik.
Sejak zaman pra sejarah, dalam naskah kuno sudah tercatat bidan dari Mesir
yang berani ambil resiko membela keselamatan bayi-bayi laki-laki bangsa Yahudi
yang diperintahkan oleh Firaun untuk di bunuh. Mereka sudah menunjukkan sikap
etika moral yang tinggi dan takwa kepada Tuhan dalam membela orang-orang yang
berada dalam posisi yang lemah, yang pada zaman modern ini, kita sebut peran
advokasi. Bidan sebagai pekerja profesional dalam menjalankan tugas dan
prakteknya, bekerja berdasarkan pandangan filosofis yang dianut, keilmuan, metode
kerja, standar praktik pelayanan serta kode etik yang dimilikinya
Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah
adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang
membutuhkannya. Pada tahun 1993 WHO merekomendasikan agar bidan di bekali
pengetahuan dan ketrampilan penanganan kegawatdaruratan kebidanan yang
relevan. Untuk itu pada tahun 1996 Depkes telah menerbitkan Permenkes
No.572/PER/Menkes/VI/96 yang memberikan wewenang dan perlindungan bagi
bidan dalam melaksanakan tindakan penyelamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir.
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood dari negara-negara di
wilayah Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas pelayanan
kebidanan diupayakan agar dapat memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif.
Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar Pelayanan
Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia,
khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat
masyarakat.
Dengan adanya standar pelayanan, masyarakat akan memiliki rasa
kepercayaan yang lebih baik terhadap pelaksana pelayanan. Suatu standar akan
lebih efektif apabila dapat diobservasi dan diukur, realistis, mudah dilakukan dan
dibutuhkan. Pelayanan kebidanan merupakan pelayanan profesional yang menjadi
bagian integral dari pelayanan kesehatan sehingga standar pelayanan kebidanan
dapat pula digunakan untuk menentukan

1.2    Ruang Lingkup Masalah


Ruang lingkup pembahasan yang akan dibahas yaitu mengenai Spek hukum
dalam praktek kebidanan

1.3    Tujuan dan Maksud Penulisan


1.    Mahasiswa mampu mempelajari dan melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi
lahir dengan trauma lahir.
2.    Untuk mengingatkan kita kembali, untuk semaksimal mungkin melakukan
penatalaksanaan perioperatif pada obstuksi usus untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada bayi dan anak

1.4    Metodologi Penulisan
Metodologi penulisan merupakan cara untuk memperoleh kebenaran ilmu
pengetahuan atau pemecahan suatu masalah yang pada dasarnya menggunakan
metode ilmiah, dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan metode studi
pustaka melalui referensi-referensi yang ada di perpustakaan kampus
maupun internet.

1.5    Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Ruang Lingkup Masalah
1.3  Tujuan dan Maksud Penulisan
1.4  Metodologi Penulisan
1.5  Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN 
2.1 Pengertian Bidan
2.2 Standar Asuhan Kebidanan
2.3 Registrasi Praktik Bidan
2.4 Kewenangan Bidan di Komunitas
2.5 Aspek Hukum Perdata memiliki 2 bentuk pertanggung jawaban hokum
Sanksi dari timbulnya gugatan adanya Wanprestasi maupun adanya PMH, secara
hukum perdata, dapat kita teliti pasal –pasal
BAB III PENUTUP 
3.1 Kesimpulan
        3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Bidan
Dalam bahasa inggris, kata Midwife (Bidan) berarti “with woman”(bersama
wanita, mid = together, wife = a woman. Dalam bahasa Perancis,
sage femme (Bidan) berarti “wanita bijaksana”,sedangkan dalam bahasa latin, cum-
mater (Bidan) bearti ”berkaitan dengan wanita”.
Menurut churchill, bidan adalah ” a health worker who may or may not formally
trained and is a physician, that delivers babies and provides associated maternal
care” (seorang petugas kesehatan yang terlatih secara formal ataupun tidak dan
bukan seorang dokter, yang membantu pelahiran bayi serta memberi perawatan
maternal terkait).
Definisi Bidan (ICM): bidan adalah seorang yang telah
menjalani programpendidikan bidan yang diakui oleh negara tempat ia tinggal, dan
telah berhasil menyelesaikan studi terkait serta memenuhi persyaratan untuk
terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk praktek bidan. Bidan merupakan salah
satu profesi tertua didunia sejak adanya peradaban umat manusia.
Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan, yang
terakreditasi, memenuhi kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah
mendapat lisensi untuk praktek kebidanan. Yang diakui sebagai seorang profesional
yang bertanggungjawab, bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan,
asuhan dan nasehat yang diperlukan selama kehamilan, persalinan dan nifas,
memfasilitasi kelahiran atas tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan
kepada bayi baru lahir dan anak.
KEPMENKES NOMOR 900/ MENKES/SK/ VII/2002 bab I pasal 1:
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan bidan
dan lulus ujian sesuai persyaratan yang berlaku
Menurut WHO bidan adalah seseorang yang telah diakui secara regular
dalamprogram pendidikan kebidanan sebagaimana yang telah diakui skala yuridis,
dimana ia ditempatkan dan telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan
memperoleh izin melaksanakan praktek kebidanan.
2.2  Standar Asuhan Kebidanan
Standar asuhan kebidanan sangat penting di dalam menentukan apakah
seorang bidan telah melanggar kewajibannya dalam menjalankan tugas profesinya.
Adapun standar asuhan kebidanan terdiri dari :
Standar I : Metode Asuhan
Merupakan asuhan kebidanan yang dilaksanakan dengan metode
manajemen kebidanan dengan tujuh langkah, yaitu : pengumpulan data, analisa
data, penentuan diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.
Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data mengenai status kesehatan klien yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis.
Standar III : Diagnosa Kebidanan
Diagnosa Kebidanan dirumuskan dengan padat, jelas dan sistematis mengarah
pada asuhan kebidanan yang diperlukan oleh klien sesuai dengan wewenang bidan
berdasarkan analisa data yang telah dikumpulkan.
Standar IV : Rencana Asuhan
Rencana asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan.
Standar V : Tindakan
Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan
keadaan klien dan dilanjutkan dengan evaluasi keadaan klien.
Standar VI : Partisipasi klien
Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/pertisipasi klien dan keluarga
dalam rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan.
Standar VII : Pengawasan
Monitoring atau pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus menerus
dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.

Standar VIII : Evaluasi


Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan secara terus menerus seiring dengan
tindakan kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang telah
dirumuskan.
Standar IX : Dokumentasi
Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan
kebidanan yang diberikan.

2.3  Registrasi Praktik Bidan


Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun intenasional
oleh International Confederation of Midwives (ICM). Dalam menjalankan tugasnya,
seorang bidan harus memiliki kualifiksi agar mendapatkan lisensi untuk praktek.
Praktek pelayanan bidan perorangan (swasta), merupakan penyedia layanan
kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan,
khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Supaya masyarakat
pengguna jasa layanan bidan memperoleh akses pelayanan yang bermutu dari
pelayanan bidan, perlu adanya regulasi pelayanan praktek bidan secara jelas,
persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan praktek, seperti perizinan,
tempat, ruangan, peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus
sesuai dengan standar
Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan peraturan mengenai registrasi
dan praktik bidan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
900/MENKES/SK/VII/2002 (Revisi dari Permenkes No.572/MENKES/PER/VI/1996).
Registrasi adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan
terhadap bidan, setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar
tampilan minimal yang ditetapkan. Bidan yang baru lulus dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh SIB dengan mengirimkan kelengkapan registrasi
kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dimana institusi pendidikan berada
selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima ijazah bidan. Kelengkapan
registrasi meliputi :
-          Fotokopi ijazah bidan.
-          Fotokopi transkrip nilai akademik.
-          Surat keterangan sehat dari dokter.
-          Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar.
Bidan yang menjalankan praktek pada sarana kesehatan atau dan
perorangan harus memiliki SIPB dengan mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, dengan melampirkan persyaratan yang
meliputi :
-          Fotokopi SIB yang masih berlaku.
-          Fotokopi ijazah bidan.
            Surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai
pegawai negeri atau pegawai pada sarana kesehatan.
-          Surat keterangan sehat dari dokter.
-          Rekomendasi dari organisasi profesi.
-          Pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar.
-          SIPB berlaku sepanjang SIB belum habis masa berlakunya dan dapat
diperbaharui kembali.

2.4  Kewenangan Bidan Di Komunitas
Bidan dalam menjalankan praktiknya di komunitas berwenang untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan kompetensi 8 yaitu bidan memberikan
asuhan yang bermutu tinggi dan komprehensif pada keluarga, kelompok dan
masyarakat sesuai dengan budaya setempat, yang meliputi :
1.      Pengetahuan dasar
-        Konsep dasar dan sasaran kebidanan komunitas.
-        Masalah kebidanan komunitas.
-        Pendekatan asuhan kebidanan komunitas pada keluarga, kelompok dan
masyarakat.
-        Strategi pelayanan kebidanan komunitas.
-        Upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak dalam keluarga
dan masyarakat.
-        Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu dan anak.
-        Sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak.
2.      Pengetahuan tambahan
-        Kepemimpinan untuk semua (Kesuma)
-        Pemasaran social
-        Peran serta masyarakat
-        Audit maternal perinatal
-        Perilaku kesehatan masyarakat
-        Program – program pemerintah yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak
(Safe Mother Hood dan Gerakan Sa g. Paradigma sehat tahun 2010.
3.      Keterampilan dasar
-        Melakukan pengelolaan pelayanan ibu hamil, nifas laktasi, bayi, balita dan KB di
masyarakat.
-        Mengidentifikasi status kesehatan ibu dan anak.
-        Melakukan pertolongan persalinan dirumah dan polindes.
-        Melaksanakan penggerakan dan pembinaan peran serta masyarakat untuk
mendukung upaya kesehatan ibu dan anak.
-        Melaksanakan penyuluhan dan konseling kesehatan.
-        Melakukan pencatatan dan pelaporan
4.      Keterampilan tambahan
-        Melakukan pemantauan KIA dengan menggunakan PWS KIA.
-        Melaksanakan pelatihan dan pembinaan dukun bayi.
-        Mengelola dan memberikan obat – obatan sesuai dengan kewenangannya.
-        Menggunakan tehnologi tepat guna.
-        Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi
profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang
profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan,
militer, dan teknik.

Bidan Sebagai Profesi


Sebagai anggota profesi, bidan mempunyai ciri khas yang khusus. Sebagaii
pelayan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.
Bidan mempunyai tugas yang sangat unik, yaitu:
-          Selalu mengedepankan fungsi ibu sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
-          Memiliki kode etik dengan serangkaian pengetahuan ilmiah yang didapat melalui
proses pendidikan dan jenjang tertentu
-          Keberadaan bidan diakui memiliki organisasi profesi yang bertugas
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat,
-          Anggotanya menerima jasa atas pelayanan yang dilakukan dengan tetap
memegang teguh kode etik profesi.
Perilaku Profesional Bidan
1. Bertindak sesuai keahliannya
2. Mempunyai moral yang tinggi
3. Bersifat jujur
4. Tidak melakukan coba-coba
5. Tidak memberikan janji yang berlebihan
6. Mengembangkan kemitraan
7. Terampil berkomunikasi
8. Mengenal batas kemampuan
9. Mengadvokasi pilihan ibu
2.5  Aspek Hukum Perdata memiliki 2 bentuk pertanggung jawaban hukum yaitu :
1. Wanprestasi, yaitu pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang
disebabkannya,hasil tidak sesuai
2. Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yaitu pertanggungjawaban atas
kerugian yang disebabkan perbuatanya, sehingga menimbulkan kerugian.baik
moril atau materil bagi keluarga ps/ps;
Prinsip pertanggungjawaban dalam hukum perdata/BW :
1. Setiap tindakan yg menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti
orang yg melakukanya harus membayar kompensasi kerugian(pasal 1365
BW ).
2.  Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yg
dilakukanya dengan sengaja , tetapi juga karena kelalaian atau kurang
berhati-hati (pasal 366 BW)3. Seseorang harus memberikan
pertanggungjawabaan tidak hanya karena kerugian atas tindakan
pelayanannya akan tetapi juga bertanggung jawab atas kelalaian orang lain
dibawah pengawasanya.(pasal 1367 KUHPerdata).
3. Tuntutan perdata pada dasarnya bertujuan utuk memperoleh
kompensasi atas kerugian yg diderita , oleh karena itu sebagai dasar dalam
menuntut seorang tenaga kesehatan termasuk bidan dalam menjalankan
profesinya adalah adanya wanprestasi atau adanya perbuatan melawan
hukum, seperti terurai diatas.
4. Dalam aspek hukum, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana
seseorang tidak memenuhi kewajibanya yang didasarkan adanya perikatan
atau perjannjian/kontrak kerja,

2.6  Sanksi dari timbulnya gugatan adanya Wanprestasi maupun adanya PMH,


secara hukum perdata, dapat kita teliti pasal –pasal berikut ini :
1.    Pasal 1354 KUH Perdata:
“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu,
mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia
secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan
tersebut, hingga orang yang diwakili kepentinganya dapat mengerjakan sendiri
urusan itu. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia
kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas “
Contoh kasus seorang tenaga kesehatan memberikan pertolongan
pernafasan/Resusitasi pada ps, hrs dilakukan sp selesai jangan ditinggal begitu saja.
Atau sampai ps mampu untuk meneruskan atau keluarganya. Jika terjadi
“penanganan “resusitasi ditinggalkan ,maka ia akan dituntut sesuai pasal 1354
KUHPerdata, kepengadilan.  

2.    Dalam UU No.8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


Sebagai konsumen dalam pelayanan kesehatan, pasien dapat dikatagorikan
sebagai konsumen akhir, karena ps bukan produksi. Keadaan ini telah merubah
paradigma, yang mengatakan pelayanan kesehatan adlah sosial , sekarang beralih
kekomersial, dimana setiap tempat pelayanan kesehatan Rumah Sakit, Klinik, RB,
akhirnya pasien harus mengeluarkan biaya cukup tinggi dalam hak dan kewajiban
sebagai seorang pasien.
•         Analog ini tertuang dalam UU Konsumen No.8/1999:
•         Pasal 19 ayat (1): Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, akibat mengkonsumsi barang atau/ jasa/ barang/obat yang
diperdagangkan.
•         Ganti rugi yg dimaksud dalam ayat (1) adalah dapat berupa pengembalian
uang/barang yang setara nilainya/perawatan kesehatan yang sesuai dg ketentuan
perundang-undangan.
3.    Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
     Pemberian ganti rugi kepada pasien , tetap dapat memberi peluang jika pasien
tidak puas dengan yang digantikannya, bahkan dapat meningkat dari tuntutan
perdata menjadi tuntutan pidana, seperti tercantum dalam pasal 19 ayat (4).
     Hal-hal yang dapat merubah tuntutan:
     Jika terbukti dalam pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
     Atau tuntutan menjadi tidak berlaku, apabila pelaku usaha kesehatan dapat
membuktikan bahwa kesalahan ada pada konsumen atau ps.
PERUNDANG_UNDANGAN KESEHATAN
1.      Ilmu Hukum, mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan
hukum. Demikian luasnya masalah –masalah yang dicakup oleh ilmu hukum,
sehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwa hukum batas-batasnya tidak
jelas, yang salah bisa benar, yang benar bisa salah. Seorang Pakar hukum
menyebut ilmu hukum adalah “ Jurisprudence”.
2.      Karena luasnya Ilmu hukum, maka kita batasi dengan bidang kesehatan, apa-apa
yang menjadi daftar masalah/isu yang berkembang, sehingga ilmu hukum masuk
kedalam bidang kesehatan yang kita pelajari sekarang tentang Hukum
Kesehatan/Perundang-undangan kesehatan.

Daftar Masalah Aspek hukum kesehatan :


1.      Mempelajari asas-asas hukum pokok
2.      Mempelajari arti dan fungsi hukum dalam masyarakat
3.      Mempelajari kepentingan apa yang dapat dilindungi untuk masyarakat oleh
peraturan hukum
4.      Mempelajari apakah keadilan dimata hukum umum, bidang sosial, bidang
kesehatan
5.      Mempelajari bagaimana sesungguhnya hukum kedudukan hukum itu dalam
masyarakat, bagaimana hubungan atas perikatan/perjanjian yang berkaitan dengan
pelaksanaan pelayanan kesehatan.
6.      Kepastian hukum, melalui perundang-undangan yang berlaku, menjadi tujuan dari
resiko pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Tatanan dalam konsep hukum
1.      Kalau kita mendengar kata Tatanan , yang ada dalam pemahaman kita adalah
suatu keadaan dalam masyarakat , yang dapat menciptakan suasana, hubungan,
yang tetap, teratur, antara anggota masyarakat pada umumnya.
2.      Termasuk dalam tatanan masyarakat adalah :
      Kebiasaan, hukum, dan kesusilaan.
      Kebiasaan adalah tatanan yang terdiri dari norma-norma yang dekat sekali
dengan kenyataan, yang normal/normatif. Normatif terkandung arti apa yang harus
kita lakukan.
Hukum; adalah peraturan-peraturan tertulis dan tidak tertulis, yang dibuat oleh
lembaga tertentu, dengan tujuan tercipta ketertiban, keadilan dalam
masyarakat. Menurut Fuller ada prinsip legal dari hukum yaitu :
1.      suatu sistim hukum harus mengandung peraturan-peraturan.
2.      Peraturan-peraturan yang di buat harus diumumkan
3.      Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yg demikian itu
tidak bisa dipakai dgn untuk menjadi pedoman tingkah laku.
4.      Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang harus mudah dimengerti
5.      Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu
sama lain
6.      Tidak boleh ada kebiasaan  yang sering ingin mengubah peraturan-peraturan
yang berlaku
7.      Harus ada kecoccokan dariperaturan dg pelaksanaan sehari2. 
Kehadiran Hukum, dalam masyarakat dan tenaga kesehatan, dapat
melindungi keApeAntingan denAgan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dlm rangka kepentingan itu. Kekuasaan mengandung
arti hak seseorang, penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang
dengan sesuatu yang berada dalam kekeuasaanya, pada keadaan ini ia tidak perlu
legitimasi, karena sesuatu ada pada kekeuasaanya.
Ini berkaitan dengan tingkat kemampuan/kompetensi seorang tenaga
kesehatan, apabila dalam keadaan tertentu seorang bidan meninggalkan saat
pertolongan persalinan kepada asistenya, jika terjadi sesuatu atas tindakan yang
dilakukan asistenya maka, tanggungjawab resiko terdapat pada bidan tersebut,
karena ia meninggalkan waktu pertolongan persalinan padahal secara legitimasi
bahwa kewenangan untuk menolong persalinan tersebut ada pada nya.
Penguasaan kebijikan melekat pada bidan tersebut, sehingga apapun
alasanya tidak menutup kemungkinan bidan akan kena sanksi hukum, yaitu dengan
sengaja melalaikan pekerjaanya.
Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis.
a.       Hukum tertulis lebih dikenal dengan sebutan Perundang-undangan
b.      Hukum tertulis lebih menjadi ciri dari hukum modern, lebih dapat diterima dalam
kehidupan modern masa kini, dimana kehidupan semakin kompleks, serta
masyarakat yang lebih tersusun secara organisatori, dan hubungan antar manusia
yang dinamis dan kompleks ini sudah tidak bisa lagi mengatur dengan tradisi,
kebiasaan, kepercayaan, tahayul, atau budaya semata.
c.       Kelebihan hukum tertulis dibanding tidak tertulis adalah apa yang diatur dengan
mudah dapat diketahui orang/masyarakat
d.      Pengetahuan tentang hukum mulai meningkat di masyarakat, dengan adanya
tulisan/cetakan perundang-undangan mulai UU Kesehatan, UU konsumen, UU
Praktik Kedokteran, UU Politik dsb.
e.       Memungkinkan untuk merevisi UU yang sdh ada dgn yang baru.
f.       Hukum sebagai pijakan keadilan dalam masyarakatMembicarakan hukum adalah
membicarakan antar hidup manusia, membicarakan antar hidup manusia adalah
membicarakan keadilan.
g.      Sehingga kalau berbicara hukum kita akan berbicara keadilan
h.      Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam masyarakat, dalam pembukaan
UUD 45 jelas tertuang bahwa keadilan adalah hak setiap warga negara.
i.        Agar keadilan dapat seiring dengan keteraturan dan ketaatan dalam dinamika
kehidupan dan seluruh bidang termasuk bidang kesehatan, maka perlu kelengkapan
dari beberapa step berikut yaitu :stabilitas, maka kehadiran hukum sangat dituntut
untuk dapat tercipta keadilan dan stabilitas kehidupan.
               Tahap terbentuknya hukum tertulis: Pembuatan hukum atau pembuatan
Perundang-undangan dilakukan oleh lembaga yang membidangi dan juga pendapat
para ahli serta publik atau masyarakat dapat memberikan saran atau masukan
melalui instansi yang berwenang.
Bahan Hukum :
Bahan pembuatan hukum dimulai dari gagasan atau ide yang kemudian
diproses lebih lanjut sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi bahan yang siap
dipakai untuk dijadikan sanksi hukum.
contoh: gagasan ini muncul dari masyarakat dalam bentuk ada permasalahan
pelayanan kesehatan yang harus diatur oleh hukum, misal masyarakat menganggap
belakangan ini telah ada tindakan-tindakan tenaga kesehatan yang berakibat
merugikan masyarakat.
Ciri-ciri Hukum Modern.
1. Mempunyai bentuk tertulis dalam bentuk Perundang-undangan
2. Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara, meskipun sampai kini
masih ada diskriminasi antar penduduk, antar kekuasaan dan antar bangsa
3. Hukum adalah sebagai instrumen yang dapat dipakai secara sadar
untuk mewujudkan keputusan-keputusan masyarakatnya.
Fungsi Hadirnya Hukum Kebidanan :
a.    Adanya kebutuhan tenagakesehatan akan perlindungan hukum
b.   Adanya kebutuhan pasien akan perlindungan hukum
c.    Adanya pihak ketiga akan perlindungan hukum
d.   Adanya kebutuhan dan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan
kepentinganya serta identifikasi kewajiban dari pemerintah
e.    Adanya kebutuhan akan keterarahan
f.    Adanya kebutuhan tingkat kwalitas pelayanan kesehatan
g.   Adanya kebutuhan akan pengendalian biaya kesehatan
h.   Adanya kebutuhan pengaturan biaya jasa pelayanan kesehatan dan keahlian
Tujuan adanya Hukum Kebidanan
a.       Dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara tenaga kesehatan terhadap
pasien atau keluarga pasien sebagai pihak ketiga, sebagaimana kita ketahui akhir-
akhir ini banyak tuduhan terhadap para tenakes dalam melaksanakan profesinya,
kadang hanya masalah sepele dapat diangkat kemeja hijau.
b.      Dalam situasi seperti ini Hukum Kesehatan sangat diperlukan, sebagai acuan bagi
penyelesaian sengketa yang terjadi, lebih-lebih kita Negara Indonesia mengaut asas
Legalitas, karena sebagai Negara Hukum
c.       Dapat menjaga ketertiban dalam masyarakat
d.      Dapat membantu merekayasa masyarakat, dalam hal pandangan bahwa
sebenarnya tenakes juga adalah manusia biasa dan meluruskan pandangan serta
sikap bagi para tenakes yang kerap merasa kebal hukum, dan tidak dapat disentuh
pengadilan. Jaman ini tidak ada lagi.
PERUNDANG_UNDANGAN YANG MELANDASI BIDANG KEBIDANAN
a.       Dalam upaya melaksanakan pelayanan kesehatan/kebidanan, perlu peran dari
masyarakat itu sendiri untuk dapat membantu terciptanya suatu masyarakat yang
memiliki kesadaran akan hukum, berkemauan untuk hidup sehat dan kemampuan
untuk dapat membantu agar terciptanya kondisi masyarakat yang memiliki derajat
kesehatan yang optimal, sejahtera.
b.      Pemerintah dalam hal ini lebih berperan untuk memusatkan perhatian ,
pengawasan, , upaya pembinaan, , serta pengaturan, agar tercipta pemerataan
pelayanan kesehatan serta tercipta suatu kondisi yang serasi, seimbang , adil,
harmonis antara sesama pelayan kesehatan, sehingga tidak ragu dalam
melaksanakan profesi karena akan terlindung dari sanksi hukum.
AZAS-AZAS UU KEBIDANAN NOMOR.23 TAHUN 1992
Azaz perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
dimana dalam melaksanakan kegiatan kita tidak membeda-bedakan golongan,
kepentingan, agama dan bangsa
1.      Azas manfaat, harus dapat memberikan manfaat yang sebenarnya sesuai dengan
tujuan kita menolong adalah ikhtiar, tidak untuk menipu atau menggandakan tujuan
bagi masyarakat
2.      Azaz usaha bersama dan kekeluargaan
3.      Azas adil dan merata
4.      Azas perikemenusiaan dalam keseimbangan
5.      Azas kepercayaan dan kemempuan diri sendiri, menguatkan potensi diri maupun
potensi nasional.
Syarat syah Pelayanan Kesehatan, sesuai UU. No 23 Tentang Kesehatan :
Setiap orang yang meminta pertolongan pada umunya berada dalam posisi
ketergantungan, artinya ada tujuan tertentu.
-          Misal jika sakit datang ke tenakes
-          Melakukan tuntutan hukum datang ke Advokat
-          Membuat wasiat/surat tanah datang kenotaris
-          Setiap orang yang meminta pertolongan pada seorang profesi kesehatan,
bersifat rahasia, termasuk hubungan antara pasien dengan tenakesnya
-          Setiap orang yg menjalani profesi kesehatan bersifat rahasia,, bebas, dan
otonomi profesi.
-          Sifat pekerjaan kesehatan bukan harga mati, tapi berupa ikhtiar, harus melalukan
yang terbaik, sesuai kompetensi, dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum
kesehatan.
LANDASAN HUKUM KEBIDANAN
a.     Dari sudut pandang hukum perdata, hubungan antara health care provider dan
health care receiver , merupakan hubungan perikatan /kontraktual, diantara kedua
belah pihak, sehingga dari masing-masing pihak akan muncul antara hak dan
kewajiban.
b.    Health care provider, wajib memberikan prestasinya dalam bentuk layanan medik
yang layak berdasarkan keilmuan yang telah teruji.Dalam rangka memberikan
pelayanan kesehatan wajib memperhatikan hak-hak lain dari pasien, baik yang
timbul dari perundang-undangan yang berlaku maupun dari kebiasaan dan
kepatutan.
Pasal 1 ayat (3) UU Kesehatan No.23/92, tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan atau ketrampilan melalui pendidikan yang untuk
 Bidang tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan.
Yang termasuk Tenakes sesuai UU 23/92 dan PP 32/96 adalah :
a.       Tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan
masyarakat, tenaga gizi, tenaga terapi fisik, tenaga teknis medis.
b.      Pasal 53 UU 23/92, tentang hak-hak pasien, diantaranya adalah hak atas
informasi dan hak untuk mendapatkan persetujuan tindakan medik yang akan
dilakukan terhadapnya, persetujuan selanjutnya di sebut Informent concern.
c.       Jika tindakan medik tanpa persetujuan, termasuk pelanggaran hukum, berikutnya
dapat digugat bahkan sampai pengadilan.
d.      Pasal 1239 KUHPerdata, jika seseorang tidak dapat melakukan dan tidak dapat
memenuhi kewajibanya yang didasari adanya perjanjian (perikatan antara tenakes
dengan pasien, dan perikatan ini terikat dengan asas iktiar ), jika tidak terpenuhi ini
dianggap tindakan wanprestasi( ingkar janji) dan ini termasuk perbuatan melawan
hukum (PMH), apabila kemudian menimbulkan kerugian baik materl maupun moril
selanjutnya dapat digugat sebagai tindakan malpraktek.
e.       Pasal 1365 ayat (1) KUHP tiap perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian, maka wajib bertanggung jawab mengganti kerugian/timbulnya gugutan.
f.       Ayat (3), begitu pula jika kerugian pasien yang dilakukan oleh tenakes dibawah
pengawasanya, perawat, asisten bidan , bidan, dalam hal ini tenakes yang memiliki
kewenangan kompetensi yang bertanggung jawab.
Syarat syah suatu Kesepakatan/Perjanjian hukum :
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah jika
terpenuhi hal –hal berikut ini :
-          Adanya kesepakatan
-          Adanya kecakapan, dewasa, tidak gila, tdk dalam pengampuan(anak-anak),
wanita dalam keadaan inpartu.    
Legal, artinya yang tidak bertentangan dengan UU dan hukum, dengan
ketertiban umum, dengan publik/masyarakat, dan tidak bertentangan dengan norma
kesusilaan yag berlaku di masyarakat.
Jika tidak sesuai dengan kreteria di atas apalagi dengan norma-norma, maka
akan mengarah kepada penyimpangan prilaku, ada perbuatan yang tidak sesuai,
tidak menyenangkan, Undang-undang Nomor 13.Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan,
al 81 ayat(1) , masa haid bagi wanita tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua.
ayat (2), pelaksanaan diatur dengan perjanjian
al 82 ayat(1). Buruh wanita berhak dapat cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan
sesudah melahirkan.
ayat (2) , yang mengalami keguguran berhak mendapat cuti 1,5 bulan atau sesuai dengan
surat sakit dari dokter.
al 84 , setiap pekerja berhak mendapatkan upah/gaji yang sesuai atau dengan kesepakatan,  
KESEHATAN ( HEALTH )
a.       Menurut Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ), dulu batasan tentang keadaan
sehat hanya mencakup kondisi tidak sakit, tetapi sekarang telah mencakup
beberapa aspek.
b.      Menurut UU Nomor 23/1992, ada 4 aspek yang termasuk kedalam kesehatan
yaitu :  
-          Fisik
-          Mental
-          Sosial * Ekonomi.
c.       Kesehatan Menurut Teori BLUM ( 1974 ), bahwa kesehatan sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu :
-          Lingkungan, lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi
-          Perilaku, Pelayanan kesehatan dan keturunan/genetik.
           
HAK DAN KEWAJIBAN PROFESI
a.       Setiap undang-undang selalu mengatur hak dan ewajiban, baik pemerintah
maupun warga masyarakatnya, demikian dalam UU 23/92 tentang kesehatan.
b.      Hak dan kewajiban berdasarkan pasal 4 dan 5 UU kesehatan mengatakan bahwa:
setiap orang mempunyai hak yg sama dalam memperoleh derajat kesehatan yg
optimal, setiap orang berkewajiban ikut serta dalam pemeliharaan kes perorang,
keluarga juga masyarakat.
ASPEK HUKUM DAN KETERKAITANNYA DG PRAKTEK BIDAN
a.       Praktek bidan selain bertujuan menjalani profesi sebagai bidan, namun
senantiasa wajib merahasiakan keadaan penyakit klien yang ditangani, bukan saja
sebagai kewajiban moral akan tetapi melekat sebagai kewajiban hukum.
b.      Perlu diketahui dan diingat bahwa klien yang datang ke praktek bidan , itu karena
ia sangat membutuhkan pertolongan, siapapun keadaan klien kita tidak boleh
meremehkan dan lupa akan norma kesusilaan yang berlaku pada saat tersebut di
masyarakat, atas dasar tersebut norma susila yang telah ada lebih dikuatkan
dengan undang-undang, yang mana apabila apa yang telah dilakukan bidan diduga
ada kesalahan atau mengakibatkan cacat , maka terkena sanksi hukum baik perdata
maupun pidana.
c.       Di Indonesia telah dikeluarkan mengenai Peraturan Pemerintah, dan Undang-
undang Kesehatan.
d.      Pasal 53 UU Kesehatan 1992, beserta penjelasanya menyatakan dengan tegas
bahwa rahasia pasien merupakan hak yang perlu dihormati, selain sanksi moral
tentunya ada sanksi hukum yang dapat diterapkan jika bidan melanggar ketentuan
yang berlaku.
e.       Sanksi pidana pada pasal 322 KUHP, berbunyi :
f.       “Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpanya oleh
karena jabatan atau pekerjaanya, baik sekarang maupun dulu, dihukum dg hukuman
penjara selama-selamanya 6 bulan atau denda 600 jt rupiah”
SELAIN BIDAN , TENAKES LAIN YG HARUS MERAHASIAKAN PS :
1. Semua tenaga kesehatan
2. Semua mahasiswa pendidikan kesehatan
3. Orang-orang yang ditetapkan oleh peraturan Menteri Kesehatan,
misalnya tata usaha pegawai laboratorium yang mengurus/pegawai  rekam
medik.
Bidan tidak terkena sanksi hukum dalam pembocoran kerahasiaan , jika
pasien telah memberi ijin kepada bidan , apabila suatu keadaan ada yang bertanya
tentang keadaanya.
Bukan merupakan informed concern, manakala bidan diluar ruang praktek
sedang membicarakan akibat pemerkosaan,abortus.
HAK- HAK KLIEN, PERSETUJUAN UNTUK BIDAN BERTINDAK
a.       Perlu diketehui bahwa pasien/klien mempunyai hak untuk menyampaikan
persetujuan/ informed concern, terhadap setiap tindakan yang akan dilakukan oleh
bidan.
b.      Secara hukum hak persetujuan tersebut, tertuang pada penjabaran dari hak asasi
manusia, dan dijamin oleh undang-undang kesehatan no. 23/92.
c.       Akan tetapi dalam keadaan gawat darurat atau kritis, seorang yang berpacu
dengan nyawa, seorang tenaga kesehatan tidak ada waktu untuk menjelaskan
kepada keluarga klien, maka dibenarkan untuk melakukan sesuatu demi keselaman
yang mendasar dari klien tersebut.
KONTRASEPSI
a.    Setiap tindakan medik, termasuk kontrasepsi, memerlukan persetujuan dalam
pelasanaanya.
b.    Sebaiknya sebelum bidan menawarkan kontrasepsi kepada klien, dimintakan dulu
persetujuan dari suami klien , kecuali untuk kontrasepsi yang tidak
menetap/reversible seperti :
c.    Pil, suntik, tissue, kondom, implant/susuk kontraseosi ini diperbolehkan tidak ada
persetujuan dari suami.
d.   Sedangkan kontrasepsi yang tetap/irreversible, seperti IUD, Steril, MOP, harus ada
persetujuan kedua belah pihak.
e.    Ingat selain persetujuan pasien, juga informasi yang benar, termasuk informasi lain
yang memungkinkan harus menjadi bagian wajib bidan kepada klien.

TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT BIDAN DALAM PRAKTEK


a.    Kurang kehati-hatian atau kesalahan dalam melaksanakan tindakan medik yang
terjadi, menunjukan adanya perilaku tenaga kesahatan yang tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah di atur dalam perundang-undangan.
b.    Kesalahan tersebut diatas dapat dianggap sebagai PMH( perbuatan melawan
hukum ), dan ini yang dapat dijadikan bahan gugatan oleh keluarga klien atau pihak
lain.
c.    Syarat adanya dugaan kesalahan tindakan apabila :
-          Ada kerugian
-          Ada sebab akibat dari apa yang dilaksanakan
-          Masih dalam hubungan perikatan antara bidan dan klien tsb.
TANGGUNG GUGAT
a.       Dalam pasal 1367 ayat(3) KUHPerdata, seorang tenaga kesehatan harus
memberikan pertanggung jawaban tidak hanya atas kerugian ang ditimbulkan dari
tindakan diri sendiri , akan tetapi juga apabila terjadi kesalahan yang dilakukan oleh
bawahannya, atau perawat, bidan yang diberi delegasi, melakukanya, sementara ia
masih dibawah pengawasanya, dan apabila keadaan tersebut dijadikan suatu
gugatan maka selain bidan/tenaga kesehatan yang pertama melakukan tindakan,
kemudian ada perawat yang juga melakukan perawatan, ini akan terkena sanksi
hukum tangung renteng, tanggung gugat.
b.      Begitu juga apabila bidan mempunyai Klinik Bersalin, dimana sebagai
penanggung jawab adalah seorang dokter kandungan, akan tetapi ia tidak sebagai
dokter tetap,
STANDAR PRAKTEK BIDAN
a.       Pengertian profesi memiliki arti sebagai ukuran, dan untuk profesi medik , bidan,
dan profesi lain diluar medik misal, advokat, guru, jurnalis, hakim dan jaksa juga
memiliki status profesi, akan tetapi dalam hal profesi medik, didalam pekerjaanya
senantiasa bersinggungan dengan nyawa/jiwa manusia, sehingga diperlukan kehati-
hatian yang tinggi , dan bersifat mandiri, meskipun memiliki kemandiririan tetap ,
teliti, penuh kehati-hatian dan harus ingat perundang-undangan, yang kini sebagai
payung hukum tenaga kesehatan adalah hukum kesehatan.
b.      Pasal 53 ayat(2) UU No.23/92 Tentang Kesehatan, menjelaskan bahwa standar
profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesinya dengan baik dan benar.
PERATURAN PERUNDANG_UNDANGAN YG MELANDASI PRAKTIK BIDAN
a.       Peraturan perundang-undangan yang melandasi bidan, berupa hubungan
“keterikatan” antara klien dan bidan, secara hukum kesehatan keterikatan adalah
mengabdung pengertian hak dan kewajiban.
b.      Tindakan bidan adalah sebagai subjek hukum, jika dilakukan berkaitan dengan
profesi bidan, apabila bukan menyandang profesi bidan maka tidak termasuk
perikatan secara hukum.
c.       Perundang-undangan sbg landasan praktik bidan :
Kep. MenKes No.43/MenKes/SK/X/1983 tentang KODEKI, memuat segala
sesuatu tanggung jawab terhadap ketentuan profesi. UU.No.23 /1992 Tentang
Kesehatan  dan UUPK No.29/2004 Tentang Praktik Kedokteran, memuat ketentuan
perdata dan pidana.
PERMENKES TENTANG REGISTRASI
a.       Seperti tercantum dalam UU. No 23/92 Tentang Kesehatan dan adanya UUPK
No29/2004 Tentang Praktik Kedokteran, ini menjadi bagian tanggung jawab tenaga
kesehatan, dan adalah kewajiban Bidan untuk melaksanakan nya antara lain:
1.      Mengikuti pendidikan dan pelatihan, ini tercantum dalam pasal 28 ayat (1) dan
pasal 52 e, yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang
terakreditasi.
2.      Kewajiban mengurus STR dan SIB  ( Surat izin Bidan ), dengan mengisi formulir
permohonan , diajukan ke kepala dinas kesehatan kesehatan provinsi untuk
diterbitkannya SIB.
SYARAT-SYARAT REGISTRASI
a.       Memiliki ijasah
b.      Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji
c.       Memiliki surat keterangan fisik sehat dan mental sehat
d.      Memiliki sertifikat kompetensi ( surat ini dikeluarkan oleh kolegium yang
bersangkutan )
e.       Membuat pernyataan akan memenuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi
            Masa berlaku surat tanda Registrasi adalah maksimal 5 tahun dan kemudian
di ulanh tiap 5 tahun berikut, pada saat membuat registrasi ulang , seorang bidan
harus menyertakan surat sehat jasmani dan mental ( surat keterangan tsb harus
ditandatangi oleh dokter yang memiliki SIP ).
SURAT IZIN PRAKTIK BIDAN
a.       Merupakan bukti tertulis yang wajib dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan yang
berprofesi
b.      yang berhak mengeluarkan adalah pejabat yang berwenang di Provinsi dimana
seseai tempat praktik bidan (SIPB )
c.       Praktik bidan juga telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No.900/MenKes/SK/VII/2002, yang merupakan revisi dari Permenkes
No.572/MenKes/per/VI/1996.
Dan dapat dikaji dalam melaksanakan praktik bidan sesuai :
-          KepMenkes 900/MenKes/SK/VII/2002 tentang registrasi  praktik  bidan standar
pelayanan kebidanan
-          UU Kesehatan 23/92
-          PP 32/1996 Tentang otonomi Daerah, UU 13/2003 Ketenagakerjaan
-          UU Aborsi, Adopsi, bayi tabung dan transplantasi.

Sebaliknya bagi bidan lulus pendidikan dan merencanakan menjadi


pegawai tetap baik negeri atau swasta, wajib mengurus STR, SIPB dan
berkewajiban meningkatkan keilmuan dan/atau ketrampilanya melalui pendidikan
formal dan pelatihan.
BENTUK PELAYANAN PRAKTIK BIDAN
1.      Pelayanan kebidanan , terhadap ibu dan anak
Pelayanan ibu: pada masa pranikah, prahamil,masa kehamilan, masa nifas, masa
menyusui dapat eksklusif sampai 6 bulan.
2.      Untuk anak, masa baru lahir, masa bayi, masa balita dan masa prasekolah.
Pasal 17, dalam praktik bidan, perlu diwaspai apabila dalam keadaan pelayanan
kadang klien ingin langsung dengan pengobatan, akan tetapi sebagai tenaga
kesehatan profesional, sebaiknya pemberian obat-obatan dapat diberikan oleh yang
memiliki kewenangan ( dalam hal penulisan resep, maupun pemberian obat, ada
tenaga medis/dokter/dokter spesialis, ) kecuali diwilayah tersebut tidak ada dokter.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
a.       Organisasi profesi bidan, menetapkan kepada seluruh anggotanya untuk
mengumpulkan angka kredit selama pelayanan kebidanan, yang dikumpulkan
melalui pendidikan, kegiatan ilmiah, pengabdian kepada masyarakat.
b.      Organisasi profesi berkewajiban membibing dan mendorong para anggotanya
untuk dapat mencapai jumlah anggka kredit yang telah ditentukan.( selama praktek
bidan wajib mentaati aturan perundang-undangan yg berlaku ).
c.       Pimpinan sarana kesehatan wajib elaporkan bidan yang praktek maupun sudah
tidak praktek kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dengan surat tembusan
kepada ketua organisasi profesi setempat.
SANKSI HUKUM BAGI BIDAN
a.       Sanksi Hukum Perdata :
-          Berupa Wanprestasi ( pasal 1239 KUHP ), jika melakukan :
-          Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
-          Terlambat melakukan apa yang dijanjikan
-          Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai hasil yang dijanjikan,
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh bidan misal
melakukan tindakan curretge pada kasus abortus ( kewenangan mutlak ada pada
dokter spesialis ).
b.      Contoh kasus atas gugatan wanprestasi :
Pada papan nama bidan, mencantumkan praktik dari jam 17 wib-19 wib, akan tetapi
setiap datang bidan tersebut jam 18 wib, ini pelanggaran krn tidak sesuai dg apa yg
dijanjikan.
Sanksi hukum Pidana atas PMH
1.      Bentuk Perbuatan Melawan Hukum oleh bidan adalah :
Akibat asuhan kebidanan yang dilakukan menimbulkan cacat tubuh, luka berat,
adanya kerugian materi yang berlebih, timbul rasa sakit yang terus menerus, sampai
tidak dapat melakukan aktfitas klien sebagai ibu rt atau tidak dapat bekerja, merusak
kepercayaan dan keagamaan , bahkan sampai klien meninggal dunia.
2.      Dalam buku KUHPidana , pasal 183,184, hakim harus memiliki alat bukti yang
syah dari gugatan pidana dengan syarat bahwa alat bukti tersebut terpenuhi :
adanya keterangan saksi, keterangan ahli, surat yg dibuat menurut ketentuan
perundang-undangan oleh pejabat, untuk pembuktian dari suatu keadaan, adanya
petunjuk sesuai kebijakan hakim, keterangan terdakwa dapat menerangkan akan
Rekam medik ( sebagai alat bukti di persidangan ).
KETENTUAN PERALIHAN
1.      Dengan telah terbitnya ketentuan Registrasi dan Surat izin Bidan , diatur
melalui Keputusan MenKes Nomor.900/MenKes/SK/VII/2002, maka Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 572/MenKes/VI/1996, tentang registrasi dan praktek
bidan sudah tidak berlaku lagi.
2.      Surat Izin Bidan dan Surat Izin Praktik Bidan berlaku selama 5 tahun dan apabila
telah habis masa berlakunya dapat diperbaharui sesuai ketentuan yang berlaku.
3.      Pengambilan tindakan atas sanksi hukum terhadap bidan yang diduga telah
melakukan kesalahan ,baik suatu wanprestasi, maupun perbuatan melawan hukum,
dapat teguran lisan, tertulis, denda, maupun penjara sesuai ketentuan perundangan
yg berlaku.

KOMITE PENGAWASAN,PIMBINAAN KODE ETIK MEDIK


a.       SULITNYA MEMBUKTIKAN ADANYA DUGAAN MALPRAKTIK:
Didalamnya melaksanakan pelayanan kesehatan, mulai diagnostik,
anamnestik,analitik sampai melakukan tindakan tertentu kepada klien, harus
melakukannya secara “LEGE ARTIS”.
Tindakan harus mengacu kepada prosedur operasional, yang telah ditetapkan oleh
ikatan profesinya. Niat seorang medik menolong klien ,adalah dengan itikad baik,
namun hasilnya terkadang tidak sesuai dengan persetujuan, bahkan bisa terjadi
cacat, sampai meningal dunia. Oleh pihak lain ini serin dianggap adanya dugaan
malpraktik,
 padahal tenakes juga manusia. Dugaan dpt dibuktikan dg pengaduan keaparat
hukum.
ADA DUA TANGGUNG JAWAB HUKUM TERHADAP DUGAAN MALPRAKTIK
1.      Tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan profesional yaitu : KODEKI,
pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh MPKETM (Majelis Pengawasan Kode
Etik Tenaga Medik )
2.      Tanggung jawab hukum terhadap ketentuan-ketentuan hukum yg berlaku di
Indonesia, melalui bidang hukum Administrasi, Perdata,Pidana. Termasuk tanggung
jawab lain diluar hukum.
KUHP, pasal 359 .360, mengatakan unsur yg menyebabkan cacat,mati:
a.       Adanya kelalaian
b.      Adanya wujud perbuatan
c.       Adanya luka berat,cacat
d.      Adanya hubungan kausal antara kelalaian dg wujud perbt sp terjadi kematian
orang/klien.
TIGA PRINSIP UMUM DLM MELAKUKAN PROFESI TENAKES:
a.       Kewenangan, ( Registrasi, SIB.SIPB)
b.      Kemampuan Rata-rata (Bidan yang baru lulus beda dengan senior)
c.       Ketelitian yang umum (berkaitan dg knowledge, skill,profesional attitude/prilaku
baik).
Dalam rangka terselenggaranya praktik medik yang sesuai dg peraturan,
maka perlu pengawasan dilakukan oleh organisasi profesi keehatan,pembinaan
dilakukan oleh Konsil pusat bekerja sama dengan organisasi profesi di tempat
bertugas.
MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN PROFESI
a.       Merupakan lembaga otonom dari KKI ( Konsil Kedokteran Indonesia).
b.      Bersifat independen
c.       Majelis kehormatan tingkat kab/kota dibentuk oleh KKI pusat &Prov
d.      Keanggotaan majelis kehormatan tdd: satu orang ketua, satu orang wakil ketua,
satu orang sekretaris, keanggotaan harus ada dokter, dokter gigi, profesi kesehatan
lain, dan sarjana hukum kesehatan, sarjana hukum (diusakan 3 orang tiap disiplin)
e.       Syarat menjadi anggota MKDP: warga negara ina,sehat,berkelakuan baik,usia
minimal 40 tahun maksimal 65 thn, pengalaman dibidangnya 10 tahun, memiliki
STR, tidak cacat hukum, dedikasi tinggi, jujur, dan baik.
f.       Masa bakti 5 thn dan dapat diangkat 1 kali pemilihan MKDP.
KETUA MKDP dapat menerima Aduan:
a.       Syarat pengaduan dugaan malpraktik harus memuat :
Identitas pengadu/penggugat, nama dan alamat praktik tergugat,dan waktu
kejadian,alasan pengaduan, Gugatan dapat juga dikirimkan ke polisi, untuk
menempuh jalur pengadilan dan ada proses hukum baik perdata, pidana.
b.      Pengaduan ke MKDP dapat dilanjutkan kepada organisasi profesi, untuk
menjatuhkan keputusan :
Dapat dinyatakan tidak bersalah atau ada kesalahn etik sehingga terkena sanksi
Disiplin: peringatan tertulis, pencabutan SIPB, wajib mengikuti pendidikan .
FUNGSI MKDP :
         Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
         Melindungi masyarakat atas tindakan medik
         Memberikan kepastian hu

BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Bidan adalah seorang yang telah menjalani program pendidikan bidan yang
diakui oleh negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait
serta memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk
praktek bidan.Sebagai anggota profesi, bidan mempunyai ciri khas yangkhusus.
Sebagai pelayan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan.
Kebidanan sebagai profesi merupakan komponen yang paling penting dalam
meningkatkan kesehatan perempuan.

3.2.Saran
Agar pemerintah terus berupaya mendukung profesi bidan dengan cara
meningkatkan kwalitas SDM bidan melalui penyediaan fasilitas pendidikan bagi
bidan.
Bagi organisasi diharapkan agar terus berupaya mengembangkan pelayanan
dan pengetahuan bagi semua bidan secara adil dan merata.
Bidan sebagai tenaga profesional diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif
dalam organisasi dan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai
dengan etika profesi
Dari ciri-ciri tsb dapat disimpulkan pelayanan kesehatan memberikan
pelayanan, dengan sifat ikhtiar, pasien/klien dengan penuh kepercayaan dan
keyakinan, pasrah akan penderitaanya. Dan itu adalah syarat mutlak untuk
memperoleh hasil yang terbaik. Jujur profesi medis penuh dengan resiko, dalam
berikhtiar dapat timbul kelalaian/kesalahan menimbulkan cacat, kerugian, bahkan
kematian. Resiko ini oleh orang-orang/pihak-pihak lain diartikan sebagai kesalahan
profesi dan tudingan adl: MALPRAKTIK.

DAFTAR PUSTAKA

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.


Behrman. Kliegman. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of Pediatrics).
EGC. Jakarta.
Depkes RI, (2006) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit, Direktorat Bina Kesehatan Anak,
Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
Depkes RI. (2006). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak
(PWS-KIA). Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan
Masyarakat, Jakarta.
Depkes RI. (2006). Manajemen BBLR untuk Bidan. Depkes. Jakarta.
Depkes RI. (2003). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.
Depkes RI. (2002). Standar Profesi Kebidanan. Jakarta.
Depkes RI. (2002). Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta.
Depkes RI. (2002). Kompetensi Bidan Indonesia. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai