Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIK KLINIK KMB 1

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN


NUTRISI DAN CAIRAN
AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

Di susun oleh :
EGI YADI RURI BAMA
1814401015
Tingkat 2 Reguler 1

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2019/2020
LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN
NUTRISI DAN CAIRAN
AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN

Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume


cairan ekstraseluler (CES), dan dapat terjadi karena kehilangan cairan
melalui kulit, ginjal, gastrointestinal, perdarahan sehingga dapat
menimbulkan syok hipovolemia (Tarwoto & Wartonah, 2015).
Hipovolemia merupakan penurunan volume cairan intravaskular,
interstisial, dan/ atau intraselular (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

A.2. PENYEBAB
1. Kehilangan cairan aktif
2. Kegagalan mekanisme regulasi
3. Peningkatan permeabilitas kapiler
4. Kekurangan intake cairan
5. Evaporasi

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR

Subjektif:

(Tidak Tersedia)

Objektif:

1. Frekuensi nadi meningkat 3. Tekanan darah menurun


2. Nadi teraba lemah 4. Tekanan nadi menyempit
5. Turgor kulit menurun 7. Volume urin menurun
6. Membran mukosa kering 8. Hematokrit meningkat

GEJALA DAN TANDA MINOR

Subjektif: Objektif

1. Merasa lemah 1. Pengisian vena menurun


2. Mengeluh haus 2. Status mental berubah
3. Suhu tubuh meningkat
4. Konsentrasi urin meningkat
5. Berat badan turun tiba – tiba

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait,
boleh ditambahkan barisnya)

1. Diare

Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah


gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga
usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu
menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin didinding usus,
sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi
diare. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan
hiperperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air
dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia),
gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan
gangguan sirkulasi darah (Zein dkk, 2004).
Mekanisme terjadinya diare dan termaksut juga
peningkatan sekresi atau penurunan absorbsi cairan dan elektrolit
dari sel mukosa intestinal dan eksudat yang berasal dari inflamasi
mukosa intestinal (Wiffen et al, 2014). Infeksi diare akut
diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
noninflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan
invasi bakteri dan sitoksin di kolon dengan manifestasi sindrom
disentri dengan diare disertai lendir dan darah.

2. Luka Bakar

Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi


panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat
menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna,
kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat
kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan
struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar
dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan
tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif
dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh,
penimbunan jaringan masif di intersitial menyebabakan kondisi
hipovolemik. Volume cairan iuntravaskuler mengalami defisit,
timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi
ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).

Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang


disebabkan oleh kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi
kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang
mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan
ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga
mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler
menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat
mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi yang
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila
sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan
mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi
orang organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar,
traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan
kegagalan organ multi sistem.

3. AIDS

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3


bulan. Seiring pertambahan replikasi virus dan perjalanan
penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun.
Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis
pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat
memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri
kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam
kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang
asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel
limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi
klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik).
Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi
autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita
Selekta, 2014).

Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel


imun) adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum
tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun
seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi
sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong
(Susanto & Made Ari, 2013).

Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus


(HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik)
selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah
infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi
(herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari,
2013).

4. Penyakit Addison

Penyakit addison atau insufiensi adrenokortikal, terjadi bila fungsi


korteks adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan
hormon-hormon korteks adrenal. Atrofi autoimun atau idiopatik pada
kelenjar adrenal merupakan penyebab pada 75% kasus penyakit
addison (Stern & Tuck, 1994). Penyebab lainnya mencakup operasi
peningkatan kelenjar adrenal atau infeksi yang paling sering di
temukan dan menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar tersebut.
Tuberkulosis (TB) dan histoplasmosis merupakan infeksi yang paling
sering ditemukan dan menyebabkan kerusakan pada kedua kelenjar
adrenal. Meskipun kerusakan adrenal akibat proses autoimun telah
menggantikan tuberkulosis sebagai penyebab penyakit addison,
namun penigkatan tuberkulosis yang terjadi akhir-akhir ini harus
mempertimbangkan pencantuman penyakit infeksi kedalam daftar
diagnosis. Sekresi ACTH ynag tidak adekuat dari kelenjar hipofisis
juga akan menimbulkan insufisiensi adrenal akibat penurunan
stimulasi korteks adrenal.
Kerusakan pada korteks adrenal mempengaruhi insufisiensi kortisol
yang menyebabkan hilangnya glukoneogenesis, glikogen hati
menurun yang mengakibatkan hipoglikemia, insufisiensi kortisol
mengakibatkan ACTH dan sehingga merangsang sekresi melanin
meningkat sehingga timbul MSH hiperpigmentasi. Defisiensi
aldosteron dimanifestasikan dengan peningkatan kehilangan natrium
melalui ginjal dan peningkatan reabsorpsi kalium oleh ginjal
kekurangan garam dapat dikaitkan dengan kekurangan air dan
volume. Penurunan volume plasma yang bersirkulasi akan dikaitkan
dengan kekurangan air dan volume mengakibatkan hipotensi.

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


1. Diare

Prinsip tatalaksana diare di Indonesia telah ditetapkan oleh


Kementerian Kesehatan yaitu Lima Langkah Tuntaskan Diare
(Lintas Diare) yaitu: rehidrasi menggunakan oralit osmolaritas
rendah, pemberian Zinc selama 10 hari berturutturut, teruskan
pemberian ASI dan makanan, antibiotik selektif, nasihat kepada
orangtua/pengasuh (KEMENKES RI, 2011). Penatalaksanaan diare
akut pada orang dewasa antara lain meliputi:

1) Rehidrasi sebagai perioritas utama pengobatan, empat hal


yang perlu diperhatikan adalah
a. Jenis cairan, pada diare akut yang ringan dapat diberikan
oralit, cairan Ringer Laktat, bila tidak tersedia dapat
diberikan NaCl isotonik ditambah satu ampul Na
bikarbonat 7,5% 50 ml.
b. Jumlah cairan, jumlah cairan yang diberikan idealnya
sesuai dengan cairan yang dikeluarkan.
c. Jalan masuk, rute pemberian cairan pada oarang dewasa
dapat dipilih oral atau IV.
d. Jadwal pemberian cairan, rehidrasi diharapkan
terpenuhi lengakap pada akhir jam ke-3 setelah awal
pemberian.
2) Terapi simptomatik, obat antidiare bersifat simptomatik dan
diberikan sangat hati-hati atas pertimbangan yang rasional.
Beberapa golongan antidiare: Antimotilitas dan sekresi usus,
turunan opiat, Difenoksilat, Loperamid, Kodein HCl,
Antiemetik: Metoklopramid, Domperidon.
3) Terapi definitif, edukasi yang jelas sangat penting dalam
upaya pencegahan, higienitas, sanitasi lingkungan (Mansjoer
dkk, 2009).
2. Luka Bakar
Pertolongan pertama pada pasien luka bakar:
1) Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh,
misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang
terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen pada api
yang menyala
2) Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang
membuat efek Torniket, karena jaringan yang terkena luka
bakar akan segera menjadi oedem.
3) Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka
bakar dalam air atau menyiramnya dengan air mengalir
selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Proses
koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi
berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga
destruksi tetap meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan
mendinginkan daerah yang terbakar dan mempertahankan
suhu dingin ini pada jam pertama sehingga kerusakan lebih
dangkal dan diperkecil.
4) Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar
yang lebih luas karena bahaya terjadinya hipotermi. Es
tidak seharusnya diberikan langsung pada luka bakar
apapun.
3. AIDS
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus
beberapa obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi
oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan
untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat
perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk
antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat
infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit
yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh.
Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan
obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll
(Hasdianah dkk, 2014).
4. Penyakit Addison

Pengobatan penyakit Addison akan melibatkan


penggantian hormon-hormon yang tidak bisa diproduksi oleh
kelenjar adrenal. Kortisol dapat diganti secara oral dengan tablet
hidrokortison, glukokortikoid sintetis. Jika juga ditemukan
kurangnya kadar aldosteron, dapat diganti dengan dosis oral dari
mineralokortikoid, yang disebut fludrocortisone acetate (Florinef).

Pengidap yang menerima terapi penggantian aldosteron


biasanya disarankan oleh dokter untuk meningkatkan asupan
garam. Karena pengidap dengan insufisiensi adrenal sekunder
biasanya mempertahankan produksi aldosteron, maka tidak
diperlukan terapi penggantian aldosteron. Dosis masing-masing
obat ini disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing
pasien.

Selama krisis Addisonian, tekanan darah rendah, gula


darah rendah, dan tingkat natrium yang tinggi dapat mengancam
nyawa. Terapi standar meliputi suntikan intravena hidrokortison,
cairan garam dan dekstrosa (gula). Perawatan ini biasanya
menghasilkan perbaikan yang cepat. Ketika pengidap dapat
menerima cairan dan obat melalui mulut, jumlah hidrokortison
harus diturunkan sampai dosis pemeliharaan tercapai. Jika
pengidap juga mengalami kekurangan aldosteron, terapi rumatan
juga harus meliputi dosis oral fludrocortisone asetat.

B. RENCANA KEPERAWATAN (LIHAT SLKI DAN SIKI)


Diagnosa
Hipovolemia
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status cairan klien
dapat kembali normal
Kriteria hasil
1. Turgor kulit meningkat
2. Output urine meningkat
3. Kekuatan nadi meningkat
4. Frekuensi nadi membaik
5. Tekanan darah membaik
6. Tekanan nadi membaik
7. Membrane mukosa membaik
8. Kadar hematokrit membaik
Intervensi
1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia
Rasional: Identifikasi dini hipovolemia
2. Monitor intake output cairan
Rasional: Memastikan intake dan output cairan pasien seimbang
3. Beri asupan cairan oral
Rasional: Memastikan jumlah cairan yang masuk ke tubuh pasien
4. Hitung kebutuhan cairan
Rasional: Memastikan asupan cairan klien cukup
5. Anjurkan memperbanyak cairan oral
Rasional: Membantu meningkatkan jumlah cairan di dalam tubuh pasien
6. Kolaborasi pemberian cairan intravena ( cairan istonis, hipnotis, dan
koloid)
Rasional: Memenuhi kebutuhan asupan cairan klien melalui IV sehingga
kebutuhan lebih cepat terpenuhi
DAFTAR PUSTAKA

1. PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta


2. PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta
3. PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Jakarta
4. Carpenito, L. J., & Moyet. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Ed 13
(13th ed). Jakarta: Salemba Medika.
5. Purwanto, Hadi. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Keperawatan
Medikal Bedah II. Jakarta Selatan. Pusdik SDM Kesehatan.
6. Bachruddin, dkk. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Keperawatan
Medikal Bedah I. Jakarta Selatan. Pusdik SDM Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai