Ia bisa melihat benda-benda yang dekat di depan matanya,
namun kurang jelas melihat benda-benda yang agak jauh di depan matanya. Secara ilmilah, penyakit ini dimanakan mata miopi.
Rupanya, di dunia marketing, istilah ini ada lho.
Namanya marketing myopia.
Menurut Theodore Levitt pada tahun 1960, marketing
myopia adalah ketika perusahaan terlalu fokus memproduksi produk dan jasa, ketimbang melihat big picture dari apa yang masyarakat inginkan.
Levitt memberi ilustrasi sebagai berikut: “Konsumen
bukan butuh mur yang lebih besar, melainkan butuh melubangkan sesuatu lebih besar.”
Beberapa contoh dari marketing myopia,
sebenarnya simple banget sih. Seperti:
1. Perusahaan taksi yang dominasinya mulai digeser
oleh fenomena angkutan online. Kebutuhan manusia bukanlah ‘ingin taksi-nya’, melainkan transportasi yang mudah diakses dengan harga terjangkau 2. Industri movie hollywood, yang dulu terancam dengan keberadaan TV. Sekarang TV terancam dengan keberadaan youtube. Bukan nonton bioskop, nonton tv, atau nonton youtube-nya yang diinginkan; tapi cara lebih mudah untuk mendapatkan kesenangan.
Begitu deh. Huehe.
Bagaimana cara menyembuhkan penyakit marketing myopia ini? Levitt menyarankan bos-bos perusahaan menanyakan kepada mereka sendiri:
What business are we really in?
Perusahaan sukses selalu memperhitungkan apa
yang benar-benar dibutuhkan konsumen. Tidak sekadar produk dan jasa mereka, yang sebenarnya bisa gampang didepak oleh alternatif produk yang lain.***