ABSTRAK
Permasalahan dalam penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata
pelajaran matematika materi pecahan. Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil
belajar siswa dapat dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran Two Stay Two
Stray (TSTS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas
guru, siswa dan hasil belajar siswa pada materi lingkaran. Penelitian ini merupakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Subjek penelitian
adalah 12 siswa kelas V SDN 3 Labunganak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
aktivitas guru dari siklus I ke siklus II sudah mencapai indikator keberhasilan terlihat
dari langkah-langkah model pembelajaran yang digunakan sudah terlaksana dengan
maksimal. Pada aktivitas siswa juga ada peningkatan pada siklus I mencapai kriteria
aktif (67,5%) meningkat pada siklus II mencapai kriteria sangat aktif (90,83).
Ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal meningkat, pada siklus I dari 58,08%
menjadi 77,50% pada siklus II memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan 75%
memperoleh nilai di atas 65. Dengan demikian, disarankan kepada pihak yang terkait
untuk menggunakannya sebagai salah satu alternatif untuk perbaikan kualitas
pembelajaran dan hasil belajar siswa.
PENDAHULUAN
Pengajaran matematika di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1973 ketika
pemerintah mengganti pengajaran berhitung di sekolah dasar dengan matematika. Sejak
saat itu matematika menjadi materi pelajaran wajib di sekolah dasar, juga sekolah
menengah pertama dan menengah atas (Hadi, 2005).
Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada
peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik
memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari ( Muhsetyo,
2008:26). Matematika yang dipelajari oleh siswa SD dapat digunakan oleh siswa SD
untuk kepentingan hidupnya sehari-hari dalam kepentingan lingkungannya, untuk
membentuk pola pikir yang logis, sistimatis, kritis dan cermat dan akhirnya dapat
digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain.
Matematika dalam perkembangannya tidak hanya diajarkan pada jenjang
pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas saja,
tapi juga diajarkan pada mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di perguruan
tinggi. Karena matematika diajarkan di setiap jenjang pendidikan, diharapkan
matematika bisa menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, menantang dan
memotivasi siswa agar siswa dapat terlibat secara aktif di dalam proses pembelajaran.
Tingkat keberhasilan belajar matematika siswa diukur dengan menggunakan
standar yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Secara individual siswa dikatakan
berhasil dalam belajarnya jika memperoleh nilai di atas 65 dan secara klasikal suatu
kelas dikatakan berhasil jika 75 % dari jumlah siswa yang mengikuti proses belajar
mengajar dapat menguasai minimal 65 % dari bahan pelajaran yang diberikan atau
memperoleh nilai di atas 65.
Berdasarkan hasil analisis ulangan harian kelas V tahun pelajaran 2018/2019,
siswa pada umumnya mengalami kesulitan pada materi pecahan. Hal itu terlihat pada
hasil belajar siswa yang masih di bawah kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan
sekolah. Data pada tahun 2018/2019 terdapat 72,22% siswa belum mencapai ketuntasan
secara klasikal sebelum diberi remedial.
Rendahnya hasil belajar siswa diperkirakan penyebabnya adalah model
pembelajaran konvensional yang selama ini diterapkan tidak memotivasi siswa untuk
dapat lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran,
siswa diharapkan turut berpartisiasi secara aktif dengan harapan siswa dapat
memperoleh pengalaman belajar secara maksimal.
Melihat fenomena ini, guru hendaknya dapat memilih model pembelajaran yang
dapat melibatkan siswa secara lebih aktif dalam proses belajar sehingga hasil belajar
siswapun dapat meningkat. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat
digunakan adalah model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning).
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan
kerjasama diantara siswa dalam mempelajari materi pelajaran. Siswa diharapkan dapat
saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah
pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman
masing-masing (Slavin, 2010).
Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah two stay two stray
(TSTS), yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai dua tinggal dua tamu.
Pembelajaran kooperatif tipe TSTS dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992
(Isjoni, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan Aprialisa (2009), menyimpulkan bahwa
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, hasil belajar siswa
kelas IV IPA meningkat hingga mencapai indikator ketuntasan belajar. Hal ini dapat
dilihat dari dari aspek kognitif dimana taraf penguasaan siswa melebihi 75% materi
yang diajarkan. Rata-rata hasil belajar siswa meningkat dari 19,89% pada pretes
menjadi 65,33% pada siklus pertama dan menjadi 83,31% pada siklus kedua. Selain itu,
menurut Kusnandar (2010), dari hasil penelitian yang dilakukannya, menyimpulkan
bahwa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pada materi
keliling dan luas segiempat dan segitiga, hasil belajar siswa meningkat hingga mencapai
indikator ketuntasan belajar. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan proporsi jawaban
benar siswa yang mencapai 25% pada siklus pertama dan menjadi 85% pada siklus
kedua. Dari kedua hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah dengan cara siswa
berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Sintaknya adalah kerja
kelompok, dua siswa bertamu ke kelompok lain dan dua siswa lainnya tetap di
kelompoknya untuk menerima dua orang dari kelompok lain, kerja kelompok, kembali
ke kelompok asal, kerja kelompok, dan laporan kelompok (Suyatno, 2009).
Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS diawali dengan pembagian kelompok
setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan
yang harus mereka diskusikan jawabannya. Setelah diskusi intrakelompok usai, dua
orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu
kepada kelompok lain. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai duta
(tamu) mempunyai kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka
adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang yang
bertugas sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada kelompok lain. Jika mereka telah
usai menunaikan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah
kembali ke kelompok asal, baik siswa yang bertugas bertamu maupun mereka yang
bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang telah mereka
tunaikan (Suprijono, 2010).
Kelebihan model ini adalah bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan
tingkat usia siswa, model ini tidak hanya berkerja sama dengan anggota sekelompok
tetapi bisa berkerjasama dengan kelompok lain. Ciri khas model ini adalah kelompok
yang beranggotakan 4-5 orang diberi kesempatan untuk membahas materi atau LKS
yang diberikan oleh guru, 2-3 orang anggota kelompok bertamu ke kelompok lain
untuk mencatat, membandingkan hasil kerja kelompok, setelah itu kembali ke kelompok
asal dengan membawa hasil kunjungan serta membahasnya dalam kelompok (Lie,
2010). Penggunaan model pembelajaran kooperatif TSTS ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berbagi informasi dengan kelompok lain, sehingga diharapkan
adanya peningkatan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung di kelas.
Pembelajaran menggunakan TSTS mengkondisikan siswa untuk aktif
mempelajari bahan diskusi atau hal yang akan dilaporkan, karena setiap siswa memiliki
peran dan tanggung jawab untuk mempelajari bahan tersebut bersama kelompok ketika
menjadi tamu maupun tuan rumah. Dengan demikian, pengetahuan dan wawasan siswa
berkembang, siswapun dapat lebih menguasai materi yang didiskusikan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk mengetahui aktivitas guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika
pada materi pecahan melalui model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray
di kelas V SDN 3 Labunganak tahun pelajaran 2019/2020.
(2) Untuk mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika pada materi
pecahan melalui model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray di kelas V
SDN 3 Labunganak tahun pelajaran 2019/2020.
(3) Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dalam pelajaran matematika
materi pecahan melalui model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray di
kelas V SDN 3 Labunganak tahun pelajaran 2019/2020.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dirancang dan dilaksanakan dengan menggunakan penelitian
tindakan kelas (PTK). Mc.Niff mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas pada
hakekatnya merupakan suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh pendidik sendiri yang
hasilnya dapat memperbaiki dan meningkatkan praktek-praktek di kelas secara lebih
profesional (Muslikah, 2010). Menurut Iskandar (2009) secara umum penelitian
tindakan kelas dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang, empat bagian utama yang
ada dalam setiap siklus adalah perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
Model siklus penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Identifikasi Masalah
Perencanaan
Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan
Pengamatan
Perbaikan
Perencanaan
Pengamatan
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SDN 3 Labunganak tahun
pelajaran 2019/2020 sebanyak 12 siswa. Objek penelitian adalah hasil belajar dan
aktivitas siswa kelas V SDN 3 Labunganak tahun pelajaran 2019/2020 pada materi
pecahan.
Data yang diperoleh berdasarkan hasil observasi aktivitas guru, aktivitas siswa
dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran model
pembelajaran kooperatif tipe TSTS yang kemudian akan disajikan dalam bentuk tabel
persentase.
Menurut Djamarah dan Zain (2006), yang menjadi petunjuk bahwa suatu proses
belajar mengajar dianggap berhasil adalah daya serap terhadap bahan pelajaran yang
diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok. Dalam
penelitian ini yang akan menjadi indikator keberhasilan adalah:
a. Aktivitas guru dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe TSTS dinyatakan berhasil apabila memperoleh skor 81-100 dalam kategori
sangat baik.
b. Aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS dinyatakan berhasil apabila memperoleh persentase minimal
81% - 100% dalam kategori sangat aktif.
c. Ketuntasan individual yang dilihat dari hasil belajar siswa kelas V SDN 3
Labunganak semester 1 pada materi pecahan mendapatkan nilai minimal 65 sesuai
KKM yang telah ditentukan dan ketuntasan klasikal mencapai ≥ 75% dari seluruh
siswa memperoleh nilai ≥ 65.
Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap pendahuluan guru memeriksa kehadiran siswa, menanyakan
mengenai kesiapan siswa untuk belajar, menyampaikan tujuan pembelajaran kepada
siswa, memberikan informasi kepada siswa tentang model pembelajaran kooperatif tipe
TSTS, memberikan motivasi kepada siswa agar siswa aktif dalam kegiatan
pembelajaran, menyampaikan apersepsi sebagai penunjang materi yang akan dipelajari
dengan menggunakan metode tanya jawab.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan pada kegiatan inti adalah sebagai berikut:
(1) Guru menjelaskan materi pelajaran secara singkat.
(2) Siswa di kelas dibagi menjadi 3 kelompok belajar dengan kemampuan
akademik yang heterogen. Setiap kelompok terdiri dari 4 siswa.
(3) Siswa mendiskusikan LKS tersebut.
(4) Guru memantau kerja setiap kelompok dan membimbing apabila ada yang
mengalami kesulitan.
(5) Dua siswa dari tiap kelompok berkunjung ke kelompok lain untuk
mendiskusikan hasil pembahasan LKS dari kelompok lain, sedangkan dua orang
lainnya tetap tinggal di kelompoknya untuk menerima tamu yang akan bertamu ke
kelompoknya.
(6) Siswa yang bertamu ke kelompok lain kembali ke kelompoknya masing-masing
dan menyampaikan hasil kunjungannya kepada anggota kelompok yang tinggal.
Hasil kunjungannya didiskusikan dengan anggota kelompoknya dan dicatat.
(7) Siswa mengumpulkan LKS yang telah dikerjakan.
(8) Salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya, sedangkan
kelompok lain memperhatikan dan memberikan tanggapan.
(9) Guru memberikan tanggapan atas jawaban yang telah dipresentasikan oleh salah
satu kelompok tadi.
(10) Siswa diberi kesempatan untuk menanyakan mengenai hal yang kurang
dimengerti.
(11) Siswa diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada soal individu yang kurang
dimengerti.
(12) Siswa untuk mengumpulkan jawaban dari soal individu mereka.
Pada kegiatan penutup siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan materi
yang telah dipelajari. Guru meminta siswa untuk mempelajari materi yang akan
dipelajari pada pertemuan selanjutnya. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk
dikerjakan di rumah. Selain itu, guru memberikan pujian kepada siswa atas keaktifan
dan kesungguhan selama mengikuti proses pembelajaran dan memberikan penghargaan
kelompok.
pertemuan 1
pertemuan 2
Hasil belajar siswa pada siklus pertama belum memenuhi indikator keberhasilan
penelitian yang telah ditetapkan. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal hanya 58,34%
atau hanya sebanyak 7 siswa dari jumlah siswa yang dapat memperoleh nilai di atas 65,
sedangkan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada evaluasi siklus pertama ini adalah
68,08. Hal ini menunjukkan bahwa secara klasikal siswa kelas V SDN 3 Labunganak
dinyatakan belum tuntas, karena siswa yang memperoleh nilai di atas 65 belum
mencapai 75% dari jumlah siswa secara keseluruhan.
Refleksi
Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh selama pelaksanaan tindakan dan
evaluasi dari siklus pertama, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dan
diperbaiki. Ada beberapa kekurangan dalam proses pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe TSTS. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain. (1) Siswa masih belum terbiasa dengan pembelajaran kooperatif sehingga ada
beberapa siswa yang tidak aktif saat guru menyajikan materi, mendiskusikan LKS,
mendiskusikan hasil kunjungan, bertanya serta kurangnya perhatian siswa saat
presentasi kelompok berlangsung. (2) Saat kunjungan berlangsung, masih ada tuan
rumah yang tidak melaksanakan tugasnya untuk menjelaskan hasil diskusi kelompoknya
ke kelompok yang berkunjung ke kelompok mereka. Bahkan ada kelompok yang
bertugas sebagai tamu yang memulai menjelaskan hasil diskusi kelompok mereka
kepada kelompok yang bertindak sebagai tuan rumah. Selain itu ada pula kelompok
kunjungan yang pasif, baik itu tuan rumah maupun tamunya, sehingga tidak terjadi
penyampaian informasi seperti yang diharapkan. (3) Siswa mengalami kesulitan saat
mengerjakan soal yang berhubungan dengan materi apersepsi. (4) Pengelolaan waktu
pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih dirasakan masih kurang efektif. (5)
Perhatian yang diberikan guru kepada setiap kelompok belum merata sehingga ada
beberapa kelompok merasa tidak diperhatikan sehingga terjadi keributan. Hal ini terlihat
pada saat siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS dan bertanya kepada
guru.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada siklus pertama diatasi dengan
melakukan diskusi serta saling memberi masukan agar pada siklus berikutnya proses
pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat
berlangsung lebih baik lagi. Hasil diskusi yang diperoleh antara guru, observer dan
peneliti antara lain. (1) Pemberian motivasi belajar pada saat kegiatan pendahuluan
harus lebih ditingkatkan agar siswa dapat lebih aktif lagi dalam kegiatan pembelajaran.
(2) Guru memberikan penjelasan pada saat apersepsi secara lebih rinci dengan
memberikan beberapa contoh agar siswa tidak mengalami kesulitan lagi saat
mengerjakan soal yang berhubungan dengan materi apersepsi. (3) Guru memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan
pembagian tugas antara siswa yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang berkunjung.
(4) Pengelolaan waktu pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan rencana yang telah
dibuat. (5) Bimbingan guru harus menyeluruh pada semua kelompok terutama pada saat
siswa bertanya karena mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS sehingga tidak ada
lagi kelompok yang merasa tidak diperhatikan dengan harapan semua siswa terlibat
aktif dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa, serta hasil belajar yang diperoleh
siswa menunjukkan ketuntasan belajar siswa secara klasikal pada siklus pertama hanya
mencapai 52,18% dengan nilai rata-rata hasil belajar hanya 63,91, maka penelitian
dilanjutkan ke siklus kedua.
Siklus Kedua
Rencana Tindakan
Rencana tindakan yang dilakukan pada siklus pertama ialah Menganalisis
kurikulum untuk mengetahui standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan
diterapkan kepada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Membagi siswa di
kelas menjadi 3 kelompok dengan kemampuan akademik yang heterogen dengan acuan
nilai hasil ulangan tengah semester. Peneliti membuat rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa (LKS), dan menyiapkan instrumen penelitian.
Tindakan
Pada tahap ini guru kembali melakukan kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS sesuai dengan rencana yang
telah dibuat. Pada siklus kedua prosedur pelaksanaannya sama seperti siklus pertama.
Observasi
Hasil observasi aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar siklus kedua
dilihat pada tabel dan berikut.
120
100
80
60
40
20
0
n S n a k
ska n
LK n ga any po
a t m pertemuan 1
jel ika un
ju
be
r lo
en kus k e ke pertemuan 2
m is sil
ru as
u end i ha e nt
g m us es
n pr
tika d isk t
a a
rh sa
pe an
em tik
m r ha
pe
em
m
Gambar 3 Diagram aktivitas siswa pada siklus kedua
Refleksi
Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh selama pelaksanaan tindakan dan
evaluasi dari siklus kedua, diketahui bahwa guru telah berhasil menerapkan
pembelajaran kooperatif tipe TSTS dalam kegiatan pembelajaran. Pengamatan dan
penilaian terhadap aktivitas siswa yang dilakukan oleh pengamat diperoleh data bahwa
aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS mengalami peningkatan.
Pembahasan
Peningkatan aktivitas siswa yang diperoleh pada siklus pertama dan siklus kedua
dapat dilihat pada gambar berikut.
120
100
80
60
40
20
0
Siklus I
Siklus II
Gambar 4 Diagram aktivitas siswa pada siklus pertama dan siklus kedua
Dari penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil ketuntasan belajar siswa
secara klasikal dan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus kedua meningkat dari
siklus pertama, dengan peningkatan sebesar 33,33% untuk ketuntasan klasikal dan 9,42
untuk nilai rata-rata hasil belajar siswa. Peningkatan nilai rata-rata siswa yang diperoleh
pada siklus pertama dan siklus kedua dapat dilihat pada gambar berikut.
Nilai Rata-rata
78
74 Nilai Rata-rata
70
66
62
Siklus I Siklus II
Gambar 6 Diagram nilai rata-rata siswa pada siklus pertama dan siklus kedua
Selain itu, kekurangan yang terdapat pada siklus pertama sedikit demi sedikit
dapat diperbaiki pada saat siklus kedua ini. Pemberian apersepsi, pengelolaan waktu,
dan bimbingan kelompok oleh guru sudah menjadi lebih baik. Ketuntasan belajar siswa
pada siklus kedua sudah memenuhi indikator keberhasilan penelitian, maka tim peneliti
sepakat untuk menghentikan penelitian dan tidak melanjutkan ke siklus berikutnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut maka hipotesis tindakan yang
dirumuskan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa kelas V SDN
3 Labunganak tahun pelajaran 2019/2020.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada siswa kelas V SDN 3 Labunganak tahun
pelajaran 2019/2020 maka diperoleh beberapa kesimpulan berikut : (1) Aktivitas guru
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray (TSTS)
pada mata pelajaran matematika materi lingkaran sudah sesuai dengan langkah-langkah
model pebelajaran yang digunakan dan semua aspek pada aktivitas guru sudah
terlaksana dengan maksimal dan mampu mencapai indikator keberhasilan yang
ditetapkan. (2) Aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika tentang lingkaran
mampu mengalami peningkatan aktivitas dari siklus I dengan kategori aktif (67,5%)
menjadi siklus II dengan kategori sangat aktif (90,83%). (3) Pembelajaran matematika
dengan menggunakan model kooperatif tipe two stay two stray (TSTS) pada materi
pecahan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V di SDN 3 Labunganak, pada
siklus I ketuntasan klasikal mencapai 58,08% meningkat pada siklus II menjadi 77,50%
memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan 75% memperoleh nilai di atas 65.
DAFTAR PUSTAKA
Aprialisa, M. (2009). Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 5
Banjarmasin Tahun Pelajaran 2008/2009 Pada Materi Termokimia Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray. Skripsi Strata-1
FKIP UNLAM. Banjarmasin. (tidak dipublikasikan).
Arikunto, S. (2010). Penelitian Tindakan Kelas.
Djamarah, S.B., & Zain, A. (2006). Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta,
Jakarta.
Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematik Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin:
Tulip,.
Isjoni. (2010). Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar
Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iskandar
Junaidi, W. (2010). Pembelajaran Matematika. (online). Tersedia di http://wawan-
junaidi.blogspot.com/2016/06/pembelajaran-matematika.html. (di akses 3
Agustus 2018)
Lie, A. (2010). Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia.
Muslikah. (2010). Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta:
Interprebook,.
Slavin, R.E. (2010). Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa
Media.
Suprijono, A. (2010). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
Suyatno. (2009). Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana
Pustaka.