Anda di halaman 1dari 10

RENTENIR DI ERA FINTECH

Cindi Amilatul Fasekhah

cindiamilatulfaseha@gmail.com, Manajemen

ABSTRAK

Kemajuan teknologi digital tampaknya telah memudahkan kita berutang.


sejauh ini, ratusan lembaga pinjaman berbasis teknologi atau financial technology
(fintech) peer-to-peer (P2P) lending menawarkan pinjaman secara online dengan
prosedur mudah dan cepat. Tak perlu ribet dan repot, cukup dengan modal KTP
dan tanpa agunan apa pun, kucuran dana segar dapat segera kita peroleh.
Namun, di balik segala kemudahan serta kecepatan yang diberikan jasa
layanan dari lembaga pinjaman fintech, tidak menutup kemungkinan ada hal-hal
yang justru di kemudian hari bisa sangat memberatkan para nasabah. Di sinilah
perlunya kehati-hatian kita sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa
perusahaan fintech.
Sampai dengan awal 2019, jumlah fintech ilegal yang berhasil
diidentifikasi oleh Satgas Waspada Investasi mencapai lebih dari 803 fintech.
Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah fintech P2P berizin
yang hanya sebanyak 99 fintech.
Tren meningkatnya jumlah fintech ilegal di dalam negeri ternyata linear
dengan temuan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh para "rentenir daring"
ini. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, selama periode 2018-
2019 sudah lebih dari 3.000 aduan nasabah yang mereka terima mulai dari praktik
penagihan dengan kekerasan, pembocoran dan penyalahgunaan data pribadi,
hingga ancaman psikis dan berbagai pelecehan.
Dengan iming-iming berbagai kemudahan dari mulai proses pengajuan
sampai dengan penyaluran pinjaman yang bisa cair dalam hitungan menit, para
fintech ilegal ini menjebak konsumen dengan bunga kredit harian yang mencekik.
Pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya antisipatif dalam
menyikapi permasalahan yang timbul. Melalui Kementerian Komunikasi dan
Informatika, blokir terhadap aplikasi dan website fintech ilegal terus dilakukan.
Hanya saja hal tersebut dianggap belum cukup.

Kata kunci: Fintech ilegal, Rentenir daring


DAFTAR ISI

ABSTRAK...............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................2

C. Tujuan .....................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

1Definisi Fintech. .......................................................................................3

2. Kondisi Bisnis Keuangan Digital Saat Ini..............................................4

3. Faktor Pemicu.........................................................................................5

4. Membatasi Ruang Gerak Rentenir Daring..............................................6

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..............................................................................................8

Saran........................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................8
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini finansial adalah salah satu bidang yang mendukung
kekuatan perekonomian suatu negara. Sektor keuangan memegang
peranan yang sangat signifikan dalam memicu pertumbuhan ekonomi
suatu negara.Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil
via kumulasi kapital dan inovasi teknologi. Baru-baru ini telah muncul
inovasi terbaru dalam bidang keuangan yang sering disebut financial
technology (FinTech). Fintech telah membawa warna baru dalam dunia
finansial. Dengan kemajuan teknologi dan keinginan pemenuhan
kebutuhan nasabah atau masyarakat mendorong terciptanya sebuah
terobosan baru yang memudahkan dan mempercepat semua transaksi
pinjam meminjam, kredit, pembelian atau yang berhubungan dengan
transaksi keuangan. Namun dengan kemajuan fintech saat ini banyak
fintech yang illegal dan bodong. Menurut hasil pendataan dari OJK, saat
ini ada 63 fintech P2PL yang legal, sementara ditemukan pula sebanyak
227 penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi tidak terdaftar di regulator dan tidak berijin usaha atau ilegal.
Bagian perlindungan konsumen dari OJK telah melakukan tindakan nyata
untuk fintech yang ilegal. Karena banyaknya keluhan nasabah terhadap
pelayanan fintech ilegal, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
membuka posko pengaduan terkait kasus pinjaman online yang menjerat
ratusan nasabah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah di atas maka permasalahan
yang hendak dikaji adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan fintech?
2. Bagaimana kondisi bisnis keuangan digital saat ini ?
3. Apakah faktor pemicu dari adanya fintech ilegal?
4. Bagaimana membatasi ruang gerak rentenir daring?

C. Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui dan memahami:
1. Pengertian fintech.
2. Kondisi bisnis keuangan digital saat ini.
3. Faktor pemicu dari adanya fintech ilegal.
4. Cara membatasi ruang gerak rentenir daring.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi FinTech
Menurut definisi yang dijabarkan oleh National Digital Research
Centre (NDRC), FinTech adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
suatu inovasi di bidang jasa finansial. Kata FinTech sendiri berasal dari
kata financial dan technology yang mengacu pada inovasi finansial dengan
sentuhan teknologi modern.
Walaupun belum memiliki definisi baku, pada dasarnya fintech
adalah sebuah segmen dari dunia startup yang memiliki fokus untuk
memaksimalkan penggunaan teknologi guna mengubah, mempercepat atau
mempertajam berbagai aspek dari layanan keuangan yang tersedia saat ini.
Mulai dari metode pembayaran, transfer dana, pinjaman, pengumpulan
dana, hingga pengelolaan aset.
Layanan yang diberikan oleh startup fintech pastinya berkaitan
dengan finansial.Namun, setiap startup fintech memiliki fokus yang
berbeda-beda.Ada startup yang fokus terhadap bisnis mikro, dengan
menyediakan penjualan pulsa, pembayaran tagihan, dan layanan
keuangan.Kemudian ada juga startup yang fokus menyediakan payment
gateway untuk memudahkan berbagai macam urusan pembayaran. Ada
juga startup fintech yang fokus menyediakan produk finansial, seperti
kartu kredit, asuransi, dan investasi.

B. Kondisi Bisnis Keuangan Digital Saat Ini


Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta kepada seluruh masyarakat
untuk lebih jauh memahami perusahaan Fintech (Financial
Technology/Teknologi Finansial). OJK memastikan Fintech bukanlah
lembaga jasa keuangan sehingga jika ada perusahaan Fintech yang
bangkrut, maka tidak tahu siapa yang menjamin dananya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menegaskan OJK
masuk dan mengawasi perusahaan Fintech semata-mata demi
perlindungan konsumen. "Edukasi masyarakat juga dilakukan. Agar tidak
ada yang dirugikan dan tertipu. Fintech ini tidak bisa dibendung dan tidak
bisa kita larang. Yang paling penting bagaimana masyarakat bisa
terlindungi kepentingannya. Konteksnya, OJK punya tugas edukasi dan
perlindungan konsumen," ungkap Wimboh saat ditemui di Bandung, Sabtu
(3/2/2018).
Dijelaskan Wimboh lebih jauh, bunga yang ditawarkan melalui
Fintech ini cukup besar. Baik dari bunga pinjaman maupun bunga
simpanannya. Hal ini perlu diwaspadai, karena menurut Wimboh bunga
tinggi khusus pinjaman ini mencekik.
"Fintech bunganya sampai di atas 18%. Coba itu mencekik sekali.
Ini harus transparan agar masyarakat tidak dibohongi. Bagaimana fee-nya,
pricing-nya, siapa yang punya Fintech tersebut," papar Wimboh.
Fintech, lanjut Wimboh memang mirip dengan renternir (lintah
darat) yang memberikan bunga tak jauh berbeda. Untuk itu, Wimboh
menegaskan sudah seharusnya masyarakat meminjam di lembaga
keuangan yang sudah berdiri dan diawasi bahkan dijaminkan dananya
secara undang-undang.
"Perlu hati-hati karena bunga tinggi itu risiko default juga tinggi.
Khususnya bagi peminjam di Fintech yang khusus P2P (peer to peer)
lending," tuturnya.
"Suku bunganya itu sampai 19%. Which is cukup mahal. Kalau bunga
mahal, apa bukan renternir?"
"Dalam rangka kita ini tugas kita dalam edukasi dan perlindungan
konsumen agar produk Fintech ini fairness tidak mencekik. Risiko jika
terjadi default ditanggung pemberi pinjaman bukan OJK yang
bertanggungjawab. OJK tidak bertanggungjawab bahkan kalau bangkrut,"
jelas Mantan Komisaris Bank Mandiri ini.

C. Faktor Pemicu
Menjamurnya fintech ilegal di Indonesia pada saat ini dipicu oleh
dua faktor yang fundamental. Pertama, erat kaitannya dengan rendahnya
porsi kredit UMKM pada perbankan yang ada di Tanah Air. Meskipun
Bank Indonesia (BI) selaku regulator telah mewajibkan setiap bank untuk
memenuhi 20% porsi kredit UMKM pada akhir 2018, kenyataannya
sampai dengan saat ini masih banyak bank yang kesulitan memenuhi
ketentuan yang diatur. Salah satu penyebabnya karena profil sebagian
besar UMKM kita justru berasal dari golongan ultra mikro (sangat kecil)
yang dianggap tidak dapat memenuhi syarat perbankan (unbankable).
Data Kementerian Keuangan menyebutkan dari sekitar 60 juta
UMKM yang ada, 44 juta atau sekitar 73 persen di antaranya belum
mendapatkan akses terhadap pembiayaan kredit, meskipun banyak di
antara mereka yang memiliki prospek usaha yang layak (feasible).
Kebanyakan pelaku UMKM yang feasible tetapi unbankable ini adalah
para pelaku usaha mikro yang berada pada lapisan terbawah seperti
penjual di pasar tradisional, pemilik bengkel motor, penjahit, pedagang
kaki lima, pemilik warung dan lain sebagainya. Ceruk inilah yang
dijadikan sasaran empuk oleh pelaku fintech ilegal asing yang sedang
marak.
Faktor yang juga patut disorot sebagai pemicu adalah masih
rendahnya indeks literasi keuangan masyarakat dewasa di Tanah Air.
Meskipun tingkat inklusi keuangan nasional sudah mencapai 67,8%,
tingkat literasi keuangan masih berada pada level 29-30%. Hal ini berarti
70% lebih masyarakat dewasa kita masih dikategorikan financially
illeterate atau belum melem keuangan.
Lebih parahnya lagi masih banyak masyarakat yang sudah
tersentuh inklusi keuangan, tetapi tidak memiliki pemahaman yang baik
tentang produk atau akses keuangan yang dimiliki. Masyarakat yang
masuk pada golongan ini sangatlah rentan terhadap berbagai praktik
penipuan. Maka tak heran jika pelaku fintech ilegal asing melihat
Indonesia sebagai target pasar yang ideal.

D. Membatasi Ruang Gerak Rentenir Daring


Untuk membatasi ruang gerak para rentenir daring, setidaknya ada
dua hal yang patut diprioritaskan. Pertama, pemerintah diharapkan untuk
tetap fokus mengakselerasi dan memperluas jangkauan kredit ultra mikro
(UMi). Produk pembiayaan ini sebenarnya sudah diluncurkan sejak 2017,
hanya saja tingkat penetrasi kreditnya ke end user-nya masih rendah. Saat
ini kredit UMi baru disalurkan ke sekitar 760 ribu usaha mikro dengan
total penyaluran kredit mencapai Rp 2,1 triliun.
Berbeda dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan oleh
perbankan, pembiayaan Umi disalurkan oleh Lembaga Keuangan Bukan
Bank (LKBB) yang dikoordinasikan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP)
Kementerian Keuangan. Dengan menggunakan penyalur non-bank, maka
para pelaku usaha mikro yang feasible tetapi unbankable juga dapat
tersentuh akses pembiayaan kredit. Saat ini baru terdapat 3 perusahaan plat
mereah (PT Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani, dan PT Bahana
Artha Ventura) yang bertindak sebagai penyalur Umi. Jumlah ini tentu
masih sangat sedikit untuk menjangkau jutaan usaha mikro yang saat ini
masih belum tersentuh kredit perbankan.
Untuk lebih memperluas jangkauan, pemerintah perlu
menggandeng lebih banyak LKBB sebagai pihak penyalur.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan nomor 95/PMK.05/2018
tentang Pembiayaan Ultra Mikro juga memberikan alternatif bagi
pemerintahan untuk mengakselerasi pembiayaan ini. Pemerintah dapat
mendorong LKBB existing agar menggandeng lebih banyak koperasi
sebagai penyalur tidak langsung (linkage), mengingat jumlah koperasi
yang sehat menurut data Kementerian Koperasi dan UKM saat ini sudah
menyentuh angka 80 ribu.
Lagi pula, dalam berbagai kesempatan Menteri Keuangan Sri
Mulyani selalu menekankan bahwa koperasi yang sehat seharusnya dapat
menjadi ujung tombak penyaluran kredit UMi. Selain itu, pemerintah juga
perlu mengkaji kemungkinan bergabungnya fintech P2P lending berizin
sebagai alternatif lembaga linkage pembiayaan UMi selain koperasi.
Selain karena pasar fintech yang terus berkembang, fintech P2P lending
dikenal memiliki jangkauan yang luas dengan penetrasi yang sangat cepat
ke sektor pembiayaan kredit. Apalagi didukung dengan perkembangan
teknologi informasi saat ini di mana masyarakat Indonesia justru semakin
gemar melakukan transaksi keuangan secara digital.
Peningkatan indeks literasi dan inklusi keuangan menjadi hal besar
kedua yang perlu dikedepankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah
meluncurkan blueprint Strategi Nasional Keuangan Indonesia (SNLKI)
pada 2013. Bahkan dilakukan revisi atau penyempurnaan pada 2017.
Tetapi yang perlu dipahami adalah peningkatan inklusi dan literasi
keuangan harus menjadi PR besar bersama. Sekat-sekat birokrasi dan
egosentris organisasi wajib dibongkar dengan ditanggalkan karena
kontraproduktif dengan tujuan utama cetak biru yang sudah dirumuskan
ini.
Implementasi SNLKI harus diwujudkan secara konkret yang
dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan. Kuncinya adalah
bagaimana pemerintah, BI, OJK, Industri Jasa Keuangan, LSM, dan
seluruh unsur masyarakat dapat memperkuat sinergi dan koordinasi
sehingga setiap kegiatan edukasi maupun sosialisasi dapat dilakukan
secara komprehensif dan holistik. Masyarakat yang sudah melek keuangan
akan dapat membedakan dengan sendirinya mana yang baik mana yang
buruk, mana yang legal mana yang tidak. Pada akhirnya, literasi yang
baiklah yang akan menjadi benteng utama penghambat gerak "sang
rentenir digital".
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Makalah ini menjelaskan tentang rentenir di era fintech yang tidak
memenuhi aturan BI/OJK dengan beberapa faktor pemicunya. Serta
bagaimana cara untuk membatasi ruang gerak rentenir daring.

B. Saran
OJK hendaknya lebih berperan untuk mengawasi, mengatur
industri fintech, dan melindungi nasabah dengan mengeluarkan aturan
yang lebih ketat sehingga tidak ada lagi fintech ilegal yang bebas
bergerak di masyarakat. Masyarakat pun hendaknya lebih berhati-hati
sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa perusahaan fintech
atau dalam menentukan jenis fintech yang akan membantunya untuk
melakukan pinjaman.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.wartaekonomi.co.id/read185261/mencegah-fintech-jadi-rentenir-digital

https://news.detik.com/kolom/d-4496464/menangkal-jebakan-rentenir-digital

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181108114808-78-344927/1001-masalah-
di-balik-rentenir-era-digital

https://www.ayobandung.com/read/2019/04/12/49515/mewaspadai-rentenir-digital

http://widyakirana09.blogspot.com/2018/01/tugas-akhir-semester-6-makalah-
tentang.html

https://business-law.binus.ac.id/2019/03/19/sekilas-perkembangan-fintech-di-
indonesia/

https://www.academia.edu/38428877/Illegal_Financial_Technology_dan_Regulasi_yang
_mengaturnya_dalam_Industri_Perbankan_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai