Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL REVIEW

(TINJAUAN PUSTAKA)

Dosen Pembimbing : Zulfiana Dewi,SKM.,Mp

Disusun Oleh :

MUSLIHAH P07131218070

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANJARMASIN

PRODI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA 2020


HUBUNGAN ASUPAN NATRIUM, ASUPAN KALIUM DENGAN
TEKANAN DARAH PADA LANSIA HIPERTENSI

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tekanan Darah

1. Definisi

Tekanan darah didefinisikan sebagai tekanan yang dihasilkan oleh darah di


pembuluh darah (Ronny dkk, 2009). Menurut Corwin (2009) tekanan darah bergantung
pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup, dan Total Resistance Peripheral
(TPR ). Darah dipompa oleh jantung. Darah yang dipompa oleh jantung akan mengalir
ke dalam pembuluh darah arteri. Pada saat darah mengalir ke dalam arteri, arteri
meregang namun karena sifatnya yang elastis arteri akan kembali ukuran semula dan
dengan demikian darah akan mengalir ke daerah yang lebih distal (Ronny dkk, 2009).
Perhitungan tekanan darah ditentukan oleh curah jantung atau cardiac output (CO)
dikali TPR. Tekanan darah di tubuh dibedakan menjadi 2 yaitu tekanan darah sistole
dan tekanan darah diastole.

2. Jenis Tekanan Darah

Menurut Ronny dkk (2009), tekanan darah ditubuh dibedakan menjadi 2 yaitu
tekanan darah sistole dan tekanan darah diastole.

a. Tekanan Darah Sistole

Tekanan darah sistole merupakan tekanan darah yang terukur pada saat ventrikel
kiri jantung berkontraksi (sistole). Darah mengalir dari jantung ke pembuluh darah
sehingga pembuluh dasar sehingga pembuluh darah teregang maksimal. Pada
pemeriksaan fisik, bunyi “lup” pertama yang terdengar adalah tekanan darah
sistolik. Tekanan darah sistolik pada orang normal rata-rata 120 mmHg.

b. Tekanan Darah Diastole

Tekanan diastole merupakan tekanan darah yang terukur yang terjadi pada saat
jantung berelaksasi (diastole). Pada saat diastole, tidak ada darah mengalir dari
jantung ke pembuluh sehingga pembuluh darah dapat kembali ke ukuran
normalnya sementara darah didorong ke bagian arteri yang lebih distal. Pada
pemeriksaan fisik, tekanan darah diastole dapat ditentukan melalui bunyi “dup”
terakhir yang terdengar. Pada orang normal, rata-rata diastole adalah 80 mmHg.
3. Mekanisme Tekanan Darah

Menurut Corwin (2009) mekanisme pengaturan tekanan darah normal


berdasarkan lamanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu pengaturan tekanan darah jangka
pendek dan pengaturan tekanan darah jangka panjang. Pengaturan tekanan darah jangka
pendek melibatkan refleks neuronal susunan saraf pusat dan regulasi curah jantung.
Pengaturan tekanan darah jangka panjang mengatur homeostatis sirkulasi melalui
sistem hormonal endokrin sebagai organ pengatur utama distribusi cairan ekstraseluler.
Mekanisme pengaturan tekanan darah jangka panjang melibatkan sistem renin-
angiotensin-aldosteron.

Pengendalian tekanan darah bergantung pada sensor yang secara terus-menerus


mengukur tekanan darah dan mengirim informasinya ke otak (Corwin, 2009). Tekanan
darah secara terus-menerus dipantau oleh sensor yang disebut baroreseptor (reseptor
tekanan). Terdapat baroreseptor di lengkung arteri karotis (di leher) dan di lengkung
aorta tempat aorta keluar dari jantung; sensor-sensor ini disebut baroreseptor karotis
dan aorta, secara berurutan. Baroreseptor juga dijumpai di arteriol yang memperdarahi
nefron di ginjal. Semua baroreseptor bekerja sebagai reseptor regang yang berespons
terhadap perubahan tekanan darah.

Baroreseptor bekerja untuk selalu memantau tekanan darah agar selalu normal.
Secara normal apabila tekanan darah turun, maka baroreseptor dalam tubuh akan
mengirim informasi ke pusat kardiovaskular di otak. Hal ini menyebabkan
perangsangan simpatis ke jantung dan Total Peripheral Resistance (TPR). Stimulasi
parasimpatis berkurang demikian juga kecepaan denyut jantung. Pelepasan renin
meningkat, menyebabkan peningkatan pengeluaran angiotensin II yang pada gilirannya
secara langsung meningkatkan TPR dan sistesis aldosteron. Peningkatan aldosteron
meningkatkan reabsorpsi natrium dan dengan adanya Anti Diuretic Hormon (ADH),
reabsorpsi air juga meningkat. Terjadi peningkatan volume darah, volume sekuncup,
dan curah jantung.
Sebaliknya, apabila tekanan darah meningkat, baroreseptor berespons dengan
menyebabkan penurunan rangsangan simpatis ke jantung dan otot polos vaskular
sehingga kecepatan denyut jantung dan TPR menurun. Peningkatan rangsangan
parasimpatis ke jantung ikut berperan menurunkan kecepatan denyut jantung. Terjadi
penurunan pelepasan renin dan ADH sehingga TPR dan volume plasma menurun.
Pelepasan Hormon Trial Natriuretic Peptide (hormon yang berfungsi untuk mengurangi
volume darah dan tekanan darah) meningkat. Semua respons tersebut berfungsi untuk
menurunkan tekanan darah ke normal.
B. Hipertensi
1. Definisi
Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah salah satu
sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskular yang progresif sebagai akibat dari
kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan,Joint National Comitie (JNC VII)
berpendapat hipertensi adalah peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg, hipertensi
juga diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya ≥140/90
mmHg. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik yang persisten ≥140 mmHg sebagai akibat dari
kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan (Natalia et al., 2015).
Berdasarkan data WHO menunjukkan, diseluruh dunia sekitar 972 juta orang atau
26,4% penghuni dunia mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan
26,1% wanita. Angka ini kemungkinan meningkat menjadi 29,2% ditahun 2025. Dari
972 juta pengidap hipertensi, 333 berada di negara maju dan 639 sisanya berada di
negara berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi membunuh hampir 8 juta orang
setiap tahunnya, hampir 1,5 juta adalah penduduk Asia Tenggara menderita hipertensi.
Hipertensi identik dengan peningkatan tekanan darah melebihi batas normal
(Sunardi,2012). Hipertensi dapat berlanjut pada kerusakan lebih berat seperti stroke,
penyakit jan-tung koroner serta penyempitan ventrikel kiri atau bilik kiri. Ada beberapa
faktor risikoyang mempengaruhi kenaikan tekanan darah. Faktor risiko tersebut
diklasifikasikan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasidan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasidiantaranya adalah
genetik, usia, jenis kelamin. Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasimeliputi
merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang, penggunaan alkohol,stres, asupan
makronutrien dan mikronutrien
2. Klasifikasi Hipertensi

Adapun klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik


menurut JNC VII tahun 2004 dapat dilihat pada tabel 2.1.

TABEL 2. 1 KLASIFIKASI HIPERTENSI

Sumber: Joint National Commitee on Prevention, Detection, and Evaluation, and


Treatment of High Blood Pressure: Seventh Report (JNC VII)
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut.
a. Hipertensi primer / hipertensi esensial
Pada sekitar 90% kasus hipertensi, tidak diketahui penyeybabnya (Hipertensi
primer atau esensial) (Mitchell dkk, 2008). Ada banyak faktor yang mempengaruhi
hipertensi primer salah satunya adalah faktor genetik atau keturunan. Hipertensi
esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara faktor genetik dan lingkungan
yang dihubungkan oleh pejamu mediator neuro-hormonal. Gen yang berpengaruh pada
hipertensi primer (faktor herediter diperkirakan meliputi 30% sampai 40% hipertensi
primer) meliputi reseptor angiotensin II, gen angiotensin dan renin, gen kalsium
transpor dan natrium hidrogen antiporter (memengaruhi sensitivitas garam); dan gen
yang berhubungan dengan hipertensi sebagai kelompok bawaan (Brashers, 2008).
b. Hipertensi sekunder
Sekitar 10% dari kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder karena penyakit renal atau
(yang lebih jarang) karena stenosis arteri renalis (hipertensi renovaskuler), kelainan
endokrin, malformasi vaskuler, hipertensi karena kehamilan, atau karena kelainan
neurogenik (Mitchell dkk, 2008).
1) Renal artery stenosis yaitu penyempitanarteri yang menyuplai darah ke ginjal (Casey
dan Benson, 2012). Kondisi ini terjadi karena adanya plak pada dinding arteri. Kasus
ini juga dapat terjadi pada wanita muda, umumnya karena pertumbuhan berlebihan dari
jaringan otot di dinding arteri (fibromuscular dysplasia).
2) Hyperaldosteronism adalah produksi berlebihan dari aldosteron (Tambayong, 2000).
Kondisi ini disebut hyperaldosteronism yang menyebabkan tubuh menahan kelebihan
sodium dankehilangan potasium yang memicu hipertensi, penambahan berat badan,
lemah otot, dan retensi cairan. Peningkatan sekresi aldosteron dapat terjadi akibat tumor
adrenal.
3) Hyperthyroidism adalah kondisi di mana kelenjar tiroid hiperaktif yakni memproduksi
hormon berlebih yang memicu perubahan denyut jantung dan tekanan darah, serta
perubahan berat badan, pencernaan, dan fungsi otot (Casey dan Benson, 2012).
4) Pheochromocytoma yaitu tumor medula adrenal yang berakibat peningkatan sekresi
katekolamin adrenal (Tambayong, 2000).
5) Hipertensi gestasional yaitu hipertensi yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu
pada wanita nonhipertensi sebelumnya, dan membaik dalam 12 minggu pascapartum.
Hipertensigestasional tampaknya terjadi akibat kombinasi daripeningkatan curah
jantung dan peningkatan TPR (Corwin, 2009).
6) Kelainan neurogenik meliputi psikogenik, peningkatan tekanan intrakranial, sleep
apnea, dan stres akut termasuk pembedahan (Mitchell dkk, 2008).
3. Patofiisiologi
Patofisiologi hipertensi dapat disebabkan karena masalah dalam regulasi tekanan
darah. Regulasi tekanan darah dalam tubuh bergantung pada kecepatan denyut jantung,
volume sekuncup, dan TPR. Peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak
dikompensasi tersebut dapat menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).
Peningkatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan saraf simpatis atau
hormonal yang abnormal. Peningkatan denyut jantung yang kronis seringkali menyertai
kondisi hipertiroidisme (Corwin, 2009). Kondisi ini menyebabkan tubuh menahan
kelebihan sodium dan kehilangan potasium yang memicu hipertensi, penambahan berat
badan, lemah otot, dan retensi cairan. Peningkatan sekresi aldosteron dapat terjadi
akibat tumor adrenal (Tambayong, 2000).
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi akibat
gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam berlebihan
(Corwin, 2009). Ginjal mengatur tekanan darah dengan mengontrol volume cairan
ekstraseluler dan mensekresikan renin, yang mana selanjutnya akan mengaktifkan
sistem renin-angiotensin. Saat mekanisme regulator tersebut terganggu, terjadilah
hipertensi (Krummel, 2004). Hal ini disebabkan hipertensi distimulasi oleh sistem
renin-angiotensin, rendahnya diet kalium, dan penggunaan obat cyclosporine. Semua
ini menyebabkan vasokonstriksi, yang mana dapat mengakibatkan iskemia atau
perubahan arterial (Krummel, 2004). Selain peningkatan asupan diet garam,
peningkatan abnormal kadar renin dan aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal
juga dapat mengganggu pengendalian garam dan air (Corwin, 2009). Peningkatan TPR
yang kronis dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf simpatis atau hormon pada
arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal.
Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa lebih kuat, dan dengan demikian
menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi pembuluh
darah, sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi (Corwin, 2009).
4. Manifestasi Klinis

Menurut Corwin (2009), hipertensi menimbulkan gejala apabila penyakit ini


sudah tahap lanjut. Manifestasi klinis hipertensi adalah sebagai berikut.

a. Sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan
tekanan darah intrakranium.

b. Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.

c. Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.

d. Nokturia (buang air kecil yang luar biasa sering di malam hari) yang disebabkan
peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
e. Edema (pembengkakan) dependen n akibat peningkatan tekanan kapiler.
5. Gejala Hipertensi

Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak begitu bermakna. Umumnya gejala


hipertensi dapat berupa sakit kepala, epistaksis, jantung berdebar, sulit bernafas setelah
bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, gampang marah, telinga
berdengung, pusing, tinitus dan pingsan, yang hampir sama dengan kebanyakan orang
normotensi. Gejala-gejala tersebut biasanya hanya terjadi pada hipertensi berat atau
progresif (Sapitri et al., 2016).

6. Diagnosis Hipertensi

Seseorang dikatakan hipertensi jika hasil pengukuran tekanan darah sistoliknya


>140 mmHg dan diastoliknya >90 mmHg (Hartono, 2013).
7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi
Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu faktor
yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah.
a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah
1) Umur
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia hingga
dewasa. Pada lansia, arterinya lebih keras dan kurang fleksibel terhadap tekanan darah.
Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat
karena dinding pembuluh darah tidak lagi retraksi secara fleksibel (Berman dkk, 2009).
Tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnyausia. Kelompok usia 25-34
tahun memiliki risiko hipertensi 1,56 kali lebih besar dibandingkan usia 18-24 tahun
(Depkes, 2009). Tekanan darah meningkat sesuai umur, dimulai dari sejak umur 40
tahun (Bustan, 2007). Seiring bertambahnya usia pembuluh darah akan lebih kaku
sehingga kehilangan kelenturannya (Tamher dan Noorkasiani, 2009).
2) Genetis
Beberapa faktor risiko hipertensi di antaranya adalah genetik (Nadar dan Lip,
2009). Studi epidemiologi menyebutkan 20-60% hipertensi esensial adalah diturunkan.
Hal ini berkaitan dengan kelainan gen produksi angiotensinogen. Kemungkinan yang
jauh lebih besar adalah bahwa hipertensi esensial merupakan kelainan yang bersifat
heterogen dan multifaktor (Corwin, 2009). Hal ini dapat terjadi dikarenakan kombinasi
efek mutasi atau polimorfisme pada beberapa lokus gen.
3) Jenis Kelamin
Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada
pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di
65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000). Wanita umumnya
memiliki tekanan darah lebih rendah daripada pria yang berusia sama, hal ini lebih
cenderung akibat variasi hormon. Setelah menopouse, wanita umumnya memiliki
tekanan darah yang lebih tinggi (Berman dkk, 2009).
4) Ras
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih (Corwin, 2009). Akibat penyakit ini umumnya lebih berat pada ras kulit hitam.
Misalnya mortalitas pasien pria hitam dengan diastole 115 atau lebih 3,3 kali lebih
tinggi daripada pria berkulit putih, dan 5,6 kali wanita putih.
b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah
1) Merokok
Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, peningkatan
tekanan darah dan denyut nadi,peningkatan penggumpalan darah, dan kerusakan
endotel pembuluh darah (KEPMENKES, 2009). Asap rokok menginduksi kekakuan
arterial, dan memiliki kemungkinan besar untuk memicu hipertensi. Efek merugikan
dari merokok disebabkan karena kehadiran beberapa senyawa dalam tembakau
termasuk nikotin. Tekanan sistolik meningkat pada orang-orang yang merokok setelah
merokok 1 batang, yang rata-rata peningkatan tekanan sistoliknya hingga mencapai 6
mmHg (Lerma dan Rosner, 2012).
2) Obesitas
Obesitas adalah faktor risiko untuk peningkatan tekanan darah dan profil lipid yang
tidak menguntungkan (penurunan kadar HDL-kolesterol dan peningkatan kadar LDL-
kolesterol serta trigliserida) yang selanjutnya merupakan faktor risiko untuk penyakit
kardiovaskular (Gibney dkk, 2008).
3) Alkohol
Dasar mekanisme patofisiolgi hubungan antara konsumsi alkohol dengan
hipertensi adalah alkohol mampu menstimulasi sistem saraf simpatetik dan sistem
renin-angiotensin-aldosteron (Lerma dan Rosner, 2012).
4) Asupan natrium
Asupan natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan, yang
mengakibatkan peningkatan volume darah (Muliyati dkk, 2011). Hal ini disebabkan
peningkatan asupan natrium mempengaruhi keaktifan mekanisme hormon renin-
angiotensin sehingga produksinya menjadi berlebih yang selanjutnya menaikkan
volume darah (Krummel, 2004).Peningkatan volume darah akan menyebabkan tekanan
darah naik. Menurut WHO (2013) anjuran asupan natrium dalam makanan sehari-hari
adalah ≤ 2000 mg.
5) Asupan kalium
Kalium menjaga keseimbangan antara konsentrasi cairan intraseluler dengan
ekstraseluler. Asupan tinggi kalium membantu untuk menjaga keseimbangan cairan dan
menurunkan tekanan darah (Escott-Stump, 2008). Efek asupan kalium pada tekanan
darah termasuk menurunkan tahanan periferal, peningkatan ekskresi air dan natrium
dari tubuh, serta menekan sekresi renin dan angiotensin (Krummel, 2004). Menurut
WHO (2013) anjuran asupan kalium dalam makanan sehari-hari adalah ≥ 3510 mg.
6) Latihan Fisik
Latihan fisik menguntungkan untuk regulasi tekanan darah. Latihan fisik akan
memperbaiki sistem kerja jantung, mengurangi keluhan nyeri dada/angina pektoris,
melebarkan pembuluh darah, dan mencegah timbulnya penggumpalan darah
(KEPMENKES, 2009). Latihan fisik, terutama bila disertai penurunan berat badan,
menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kecepatan denyut jantung istirahat dan
mungkin Total Perpheral Resistance/TPR (Corwin, 2009). Latihan fisik yang
dianjurkan adalah 30 menit selama 3-4 hari dalam seminggu (KEPMENKES, 2009).
7) Stress
Stimulasi sistem saraf simpatis meningkatkan curah jantung dan vasokonstriksi
arteriol, sehingga meningkatkan tekanan darah (Berman dkk, 2009).
C. Lansia
1. Definisi
Lanjut usia merupakan proses mengalami perubahan anatomi, fisiologis dan
biokimia pada jaringan atau organ yang dapat mempengaruhi keadaan fungsi dan
kemampuan tubuhsecara keseluruhan(Fatmah, 2010). Pada lansia kondisi fisik telah
mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan yaitu perubahan
pada sel dan bermacam-macam sistem yang terdapat dalam tubuh diantaranya
persyarafan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,
genitourinaria, endokrin dan kulit (Fitrina, 2014). Bertambahnya usia mengakibatkan
tekanan darah meningkat, karena dinding arteri pada lansia akan mengalami penebalan
yang mengakibatkan penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh
darah akan berangsur-angsur menyempitdan menjadi kaku (Anggraini, 2009).
2. Hipertensi pada Lansia
Hipertensi pada lansia diakibatkan karena penurunan fungsi tubuh yang
disebabkanoleh proses penuaan pada penduduk lansia secara alami salah satunya adalah
terjadinya labilitas tekanan darah. Seiring bertambahnya usia, risiko terkena hipertensi
menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karenausia merupakan salah satu faktoryang
mempengaruhi tekanan darah.
Hipertensi menjadi masalah kesehatan yang risikonya linear dengan pertambahan
usia. Kenaikan tekanan pada dinding arteri hingga nilai ekstrim berpotensi memicu
berbagai komplikasi kardiovaskular. Laki-laki atau perempuan sama-sama memiliki
kemungkinan beresiko hipertensi. Namun, laki-laki lebih beresiko mengalami
hipertensi dibandingkan perempuan saat usia <45 tahun tetapi saat usia > 65 tahun
perempuan lebih beresiko mengalami hipertensi (Prasetyaningrum, 2014).
Pola makan yang salah merupakan salah satu faktor resiko yang meningkatkan
penyakit hipertensi. Faktor makanan modern sebagai penyumbang utama terjadinya
hipertensi (AS, 2010).
D. Fungsi Natrium dan Kalium
Natrium berfungsi menjaga keseimbangan air, keseimbangan asam basa di dalam
tubuh dengan mengimbangi zat – zat yang membentuk asam. Natrium berperan dalam
transmisi saraf dan kontraksi otot. Natrium berperan pula dalam absorpsi glukosa dan
sebagai alat angkut zat – zat gizi lain melalui membran, terutama melalui dinding usus
(Schlenker, 2007 dalam Adhyanti, 2013).
Fungsi kalium adalah melengkapi fungsi natrium.Kalium memegang peranan
dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam dan basa
(Almatsier, 2004).Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Arlita(2014)
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asupan kalium dengan tekanan darah
pada lansia.
E. Pola Konsumsi Natrium dan Kalium
Tingkat konsumsi natrium dan kalium menunjukkan asosiasi yang cukup berarti
dengan kejadian hipertensi. Keduanya menunjukkan efek antagonis dalam menentukan
kekuatan dinding arteri menahan laju aliran darah. Asupan makanan dengan kandungan
natrium yang tinggi dapat memengaruhi peningkatan tekanan darah dalam tubuh yang
berimbas pada terjadinya hipertensi. Sebaliknya, asupan kalium yang meningkat pada
beberapa kasus tertentu dapat memediasi penurunan tekanan darah.
Perilaku konsumsi makanan asin diyakini mempengaruhi kejadian penyakit
hipertensi.Hasil penelitian Sugihartono menyatakan bahwa seseorang yang terbiasa
mengonsumsi makanan asin berisiko terkena hipertensi 3,95 kali lebih besar dibandingkan
orang yang tidak terbiasa mengonsumsi makanan asin.Asupan kalium yang tinggi mampu
mengatasi terjadinya retensi antara cairan intraseluler dengan ekstraseluler.
1. Efek Kelebihan
Asupan natrium yang berlebih dapat mempengaruhi dalam peningkatan tekanan
darah. Asupan natrium yang meningkat menyebabkan volume cairan ekstraseluler
meningkat. Asupan natrium yang meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan,
yang meningkatkan volume darah. Jantung harus memompa keras untuk mendorong
volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit yang akibatnya
adalah hipertensi (Mulyati, Syam, dan Sirajuddin, 2011).Asupan makanan dengan
kandungan natrium yang tinggi dapat mempegaruhi peningkatan tekanan darah dalam
tubuh yang berimbas pada terjadinya hipertensi. Sebaliknya, asupan kalium yang
meningkat pada beberapa kasus tertentu dapat memediasi penurunan tekanan darah.
Peningkatan kalium plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung,
konsentrasi yang lebih tinggi lagi dapat menimbulkan henti jantung atau fibrilasi
jantung (Yaswir R 2012).
2. Efek Kekurangan
Kurangnya mengkonsumsi sumber makanan yang mengandung kalium
mengakibatkan jumlah natrium menumpuk dan akan meningkatkan resiko hipertensi
(Junaedi dkk. 2013).
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah Kaliumakan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang
mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal. Kekurangan natrium
menyebabkan kejang, apatis, dan kehilangan nafsu makan. Kekurangan natrium dapat
terjadi sesudah muntah, diare, keringat berlebihan (Almatsier, 2001).
F. Pencegahan
Veronique dan Robert (2005) dalam penelitiannya di Belgia menyimpulkan
bahwa latihan aerobik dapat diterapkan sebagai manajemen hipertensi bukan hanya untuk
pencegahan.
Dengan aktivitas olahraga dan pengontrolan nafsu makan maka akan berdampak
kestabilan cairan pada tubuh kita sehingga kerja pompa jantung stabil. Karena seiringnya
bertambah usia kerja organ dalam tubuh kita semakin menurun.
G. Hubungan antara Asupan Natrium dengan Tekanan Darah
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler (Almatsier, 2009).
Sebagai kation utama dalam cairan ekstraseluler, natrium menjaga keseimbangan cairan
dalam kompartemen tersebut. Penyerapan natrium yang meningkat (dikarenakan asupan
berlebihan) menyebabkan volume cairan ekstraseluler meningkat yang kemudian akan
meningkatkan reabsorpsi air (Corwin, 2009). Hal ini akan menyebabkan tubuh meretensi
cairan dan meningkatkan volume darah (Muliyati, 2011). Natrium diretensi oleh ginjal, hal
ini dapat disebabkan oleh pengaruh renin-angiotensin-aldosteron yang kemudian dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah (Mustamin, 2010).
Mikronutrient yang paling berperan dominan dalam patogenesa hipertensi
esensial adalah natrium (Andarini dkk, 2012). Kelebihan asupan natrium dapat
menimbulkan hipertensi (Almatsier, 2009). Studi cross sectional yang dilakukan oleh
Muliyati dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola
diet Natrium (p < α) dengan insiden hipertensi. Hasil penelitian Anggara dan Nanang
(2013) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara asupan Natrium dengan tekanan
darah dengan nilai p < α. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh
Ariwidyaningsih (2013) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara asupan natrium dengan tekanan darah sistolik (p < α) dan tekanan darah diastolik (p
< α). Penelitian yang dilakukan oleh Farid (2010) menunjukkan adanya hubungan antara
asupan natrium dengan tekanan darah sistolik (p < α) dan tekanan darah diastolik (p < α).
H. Hubungan antara Asupan Kalium dengan Tekanan Darah
Kalium adalah kation intraseluller utama (95%). Kalium penting dalam
metabolisme seluler. Kadar kalium darah dikendalikan oleh aldosteron. Hormon lain yang
menstimulasi asupan selular terhadap kalium adalah insulin dan epinefrin (Sloane,
2004).Menurut Almatsier (2009), secara normal tubuh dapat menjaga keseimbangan
antara natrium di luar sel dan Kalium di dalam sel. Kalium terdapat di dalam semua
makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sumber utama adalah makanan
mentah/segar, terutama buah, sayuran, dan kacang-kacangan. Asupan kalium yang
inadekuat dapat meningkatkan tekanan darah. Diet tinggi Kalium dapat melindungi dari
hipertensi, dan defisiensi kalium dapat meningkatkan tekanan darah, dan menginduksi
ektopi ventrikular (Gulledge dan Beard, 1999).
Diet tinggi kalium memiliki efektifitas dalam penurunan tekanan darah pada
penderita hipertensi. Asupan tinggi Kalium membantu untuk menjaga keseimbangan
cairan, menurunkan tekanan darah (Escott-Stump, 2008). Dalam studi populasi, diet
Kalium dan tekanan darah memiliki hubungan yang berkebalikan, yaitu asupan tinggi
Kalium berhubungan dengan penurunan tekanan darah (Krummel, 2004). Peningkatan
asupan kalium adalah beberapa strategi yang paling efektif untuk menurunkan tekanan
darah (Appel et al, 2006). Efek asupan kalium pada tekanan darah termasuk menurunkan
tahanan periferal, peningkatan ekskresi air dan natrium dari tubuh, serta menekan sekresi
renin dan angiotensin (Krummel, 2004).
Studi cross sectional yang dilakukan Muliyati dkk (2011) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pola diet rendah kalium (p < α) dengan kejadian
hipertensi. Studi cross sectionalyang dilakukan oleh Kiptiyah (2007) menunjukkan ada
hubungan antara asupan Kalium dengan tekanan darah sistolik (p < α). Penelitian yang
dilakukan oleh Farid (2010) menunjukkan adanya hubungan antara asupan kalium dengan
tekanan darah sistolik (p < α) dan tekanan darah diastolik (p < α). Penelitian yang
dilakukan oleh Anggara dan Nanang (2013) juga menunjukkan adanya hubungan antara
asupan kalium dengan tekanan darah dengan (p < α).
I. Kerangka Teori

Faktor yang tidak dapat di


kontrol :

Usia

Jenis Kelamin

Riwayat Kleuarga

Tekanan Darah
Faktor yang dapat di kontrol :

Konsumsi Natrium

Konsumsi Kalium

Obesitas

Aktivitas Fisik

Merokok

alkohol

Stress

Latihan fisik
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Almatsier, S, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Appel, Lawrence J. et al. 2006. Dietary Approaches to Prevent and Treat Hypertension: A
Scientific Statement From The American Heart Association. In Journal of American Heart
Association.

Andarini, Sri dkk. 2012. Hubungan Asupan Makromineral (Natrium dan Kalium) dengan
Tekanan Darah pada Usia 18-44 tahun di Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Dalam
Jurnal Universitas Brawijaya.

Anggraini, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi Pada
Pasien yang berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari 2009

Anggara, Febby Haendra D. dan Nanang Prayitno. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan
degan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni Cikarang Barat Tahun 2012. Dalam Jurnal
Ilmiah Kesehatan. Vol. 5 No. 1.

Ariwidyaningsih, Eka Puji. 2013. Hubungan antara Asupan : Natrium, Kalium, Kalsium,
Magnesium, dan Tekanan Darah pada Staf PUSSENIF KODIKLAT TNI-AD BANDUNG.
Karya Tulis Ilmiah Pada Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.

Berman, Audrey dkk. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb
(diterjemahkan oleh Eny Meiliya dkk). Jakarta: EGC.

Brashers, Valentina L.. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen
(diterjemahkan oleh H. Y. Kuncara). Jakarta: EGC

Bustan, M. N.. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta.

Casey, Aggie dan Benson, Hebert. 2012. Panduan Harvard Medical School: Menurunkan
Tekanan Darah (diterjemahkan oleh: Nirmala Devi). Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi (diterjemahkan oleh Nikhe Budhi
Subekti). Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya
di Indonesia. Dalam Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 59 No. 12.

Escott-Stump, Sylvia. 2008. Nutrition and Diagnosis-Related Care Sixth Edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.

Farid, Dyni Acmalya. 2010. Hubungan antara Asupan Natrium, Kalium, Kalsium,
Magnesium, dan Serat dengan Tekanan Darah pada Remaja. Dalam Artikel Penelitian
Universitas Diponegoro.

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Erlangga : Jakarta

Gulledge, Jo and Shawn Beard. 1999. Hypertension Management Clinical Pathways,


Guidelines, and Patient Education. USA: Aspen.

Gibney, Michael J. dkk 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat (diterjemahkan oleh Andry
Hartono). Jakarta: EGC.

Hartono, A 2013, Edisi 2 terapi gizi dan diet rumah sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Kementerian Kesehatan RI. 2009. Keputusan Menkes RI Tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.

Krummel, D. 2004. Medical Nutrition Therapy in Cardiovascular Disease. Dalam :


L.Kathleen Mahan dan Sylvia Escott Stump, Krause’s.Food Nutrition and Diet Therapy. WB
Saunders Company. USA.

Lerma, Edgar V. and Mitchell Rosner. 2013. Clinical Decisions in Nephrology, Hypertension
and KidneyTransplantation. New York: Springer.

Mulyati H, Syam A, dan Sirajuddin S. 2011. Hubungan Pola Konsumsi Natrium dan Kalium
serta Aktivitas Fisik denganKejadian Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Artikel Penelitian. Makasaar: Universitas Hasanuddin.

Muliyati, Hepti dkk. 2011. Hubungan Pola Konsumsi Natrium dan Kalium serta Aktifitas
Fisik dengan Kejadian Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Dalam Media Gizi Masyarakat Indonesia. Vol.1 No. 1 : 46-51.
Mitchell, dkk. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran (diterjemahkan
oleh Andry Hartono). Jakarta: EGC.

Nadar, Sunil and Gregory Lip. 2009. Hypertension. Oxford: Oxford Uviversity Press.

Natalia, D., Hasibuan, P., Hendro, H., 2015. Hubungan Obesitas Dengan Hipertensi Pada
Penduduk Kecamatan Sintang, Kalimantan Barat. Ejournal Kedokteran. Indonesia.

Prasetyaningrum, Yunita Indah. (2014). Hipertensi Bukan untuk Ditakuti. Jakarta: Fmedia.

Ronny, dkk. 2009. Fisiologi Kardiovaskular Berbasis Masalah Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sapitri, N., Butar-Butar, W.R., Others, 2016. Analisis Faktor Risiko Kejadian Hipertensi
Pada Masyarakat Di Pesisir Sungai Siak Kecamatan Rumbai Kota Pekanbaru. Jurnal. Online
Mhs. Jom Bid. Kedokteran. 3, 1–15.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula (diterjemahkan oleh Palupi
Widyastuti). Jakarta: 2004.

Sunardi, dkk, 2012,Fisika Berbasis Pendidikan Karakter Bangsa,Bandung,Penerbit:PT


Srikandi Empat Widya Utama.

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Tamher dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Veronique A. C., Robert H. F. (2005). Effects of endurance training on blood pressure, Blood
pressure-regulating mechanisms, and cardiovascular risk factors. AHA

WHO. 2013. WHO Issues New Guidance on Dietary Salt and Potassium.Dikutip dari
http://www.who.int/mediacentre/news/notes/2013/salt_potassium_20130131/en/
(31/01/2013)

Yaswir, R., Ira Ferawati.2012.Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium dan
Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium.Jurnal Kesehatan Andalas 2012;1(2) FK-Unand.

Anda mungkin juga menyukai