Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah :
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
Kelas B
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, akan tetapi
Islam juga mengatur masalah muamalah, baik yang berhubungan dengan
masalah sosial, budaya maupun ekonomi. Adapun Islam mengatur hukum
ekonomi itu sendiri mempunyai tujuan-tuhjuan tertentu, dan salah satunya
agar orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis dimana mereka sebagai
pelaku ekonomi, mempunyai etika ekonomi yang Islami atau etika yang
sesuai dengan hukum Islam.
Dalam mengatur kehidupan Islam selalu memperhatikan berbagai
bentuk maslahat yaitu segala sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli
dengan berbagai aturan yang melindungi hak-hak pelaku bisnis, dan
memberikan suatu kemudahan dalam berbagai pelaksanaannya, juga
menghilangkan bentuk mudharatnya. Jual beli merupakan kegiatan yang
bermasyarakat dikalangan masyarakat, dalam jual beli faktor kejujuran
sangatlah penting, sebagai sifat yang akan menolong manusia dari jurang
kerusakan.
Jual beli yang dilarang hukum Islam diantaranya adalah jual beli
yang mendatangkan kemudharatan, seperti tipu muslihat (gharar) yaitu
dengan cara mengurangi timbangan atau takaran dan mencampuri barang
yang berkualitas tingggi dengan yang berkualitas rendah. Padahal sudah
jelas, bahwa Allah melarang bagi seseorang untuk mendapatkan harta
dengan cara yang tidak baik. Dengan itu, dalam suatu kegiatan jual beli
adanya rukun sesuai dengan syariat islam yang harus terpenuhi.
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
B. Pengembangan Teori
1. Pengertian Jual Beli
Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku yaitu “jual
dan beli”. Sebenarnya kata jual dan beli mempunyai arti satu sama lain
lainnya bertolak belakang. Kata jual berarti menunjukkan bahwa
adanya perbuatan menjual barang atau jasa, sedangkan beli adalah
adalah suatu perbuatan dalam membeli barang atau jasa. Dengan kata
lain jaul-beli adalah tukar-menukar suatu barang dengan barang yang
lain dengan adanya suatu akad.1
Jual beli merupakan tindakan atau transaksi yang telah
disyariatkan atau telah ada hukumnya yang jelas dalam Islam,
hukumnya adalah boleh atau mubah. Hikmah dari diperbolehkannya
jual beli adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 2009), 70.
bermuamalah terhadap hartanya. Seperti firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 275 :
4
5) Keadaan barang haruslah dapat diserah terimakan, apabila
barang yang diperjual belikan tidak dapat diserah terimakan
kemungkinan akan terjadi penipuan atau dapat menimbulkan
kekecewaan pada salah satu pihak.
b. Penjual dan Pembeli, syaratnya adalah :
1) Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. Akad bataljika
yang melakukan anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak
boleh menjual harta sekalipun miliknya.
2) Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan) dalam membeli
barang.
3) Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya
tidak mubazir adalah para pihak yang meningkatkan diri dalam
perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros
(mubazir).
c. Akad (ijab qabul), ijab dalah perkataan penjual, misal “saya jual
barang ini dengan harga sekian”. Sedangkan kabul adalah
perkataan si pembeli, seperti “saya terima (beli) dengan harga
sekian”. Keterangannya yaitu lafad yang mengatakan bahwa jual
beli itu suka sama suka (ridha satu sama lain).2
3. Konsep Jual Beli Gharar
Secara bahasa gharar berarti jual beli yang mengandung
kesamaran. Menurut terminologi atau istilah fiqihnya, gharar
diartikan oleh para ulama’ ahli fiqih yaitu seputar hal ketidaktahuan
terhadap akibat suatu transaksi atau ketidakjelasan antara baik dan
buruknya suatu barang. Dengan begitu gharar adalah jual beli yang
mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena
barang yang diperjual belikan tidak dapat dipastikan adanya.3
Hukum jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan Al-
qur’an dan hadist. Larangan jual beli gharar didasarkan pada ayat-ayat
2
Nazar Bakry, Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 60.
3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 72.
5
Al-qur’an yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil,
sebagai mana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 29 :
6
8) Jual beli musalamah apabila mengusap baju atau kain maka
wajib membelinya.
b. Jual beli gharar yang diperbolehkan
1) Yang disepakati larangannya dalam jual beli, seperti jual beli
yang belum ada wujud nya (ma’dum).
2) Yang disepakati kebolehannya, seperti jual beli rumah dengan
pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya
tidak diketahui. Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan dan
merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
3) Gharar yang masih diperselisihkan, misalnya ada keinginan
menjual sesuatu yang terpendam ditanah seperti wortel, kacang
tanah, bawang, dan lain-lainnya.4
5. Objek jual beli gharar khususnya hasil pertanian
a. Menjual buah-buahan sebelum masak, para ulama sepakat
melarangnya karena termasuk dalam larangan menjual sesuatu
yang belum jadi.
b. Menjual buah-buahan sesudah masak, walaupun masih berada di
pohonya atau belum dipetik. Menjual buah yang sudah matang,
para ulama sepakat bahwa menjual seperti itu diperbolehkan.
Tetapi dengan syarat, buah harus dipetik dahulu dari pohonnya.
c. Menjual buah pada tangkainya, maksudnya buah yang belum
dikeluarkarkan dari tangkainya. Seperti gandum, jenis kacang-
kacangan atau buncis dan padi. dalam hal ini imam syafii
berpendapat, bahwa menjual tangkai itu sendiri itu tidak boleh,
meski sudah keras, karena penjualan tersebut masuk dalam gharar
dan dikiaskan pada menjual biji yang dicampurkan dengan jerami
setelah digiling.5
4
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang : PT. Pustaka
Putra, 2007), 29.
5
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2010), 28.
7
C. Studi Kasus
Banyak kasus mengenai jual beli dengan tidak ada unsur kejelasan
(gharar). Seperti contoh jual beli buah-buahan yang masih belum masuk
waktu panen, jual beli tersebut tentu sangat merugikan karena kita masih
belum tahu apakah buah tersebut nantinya akan seusai dengan yang kita
inginkan atau bisa jadi buah tersebut setelah panen hanya berbuah sedikit
dan banyak yang busuk. Adapun contohnya seperti, jual beli anak hewan
yang masih dalam kandungan, hal tersebut juga bersifat gharar karena
belum pasti apakah nantinya anak hewan tersebut akan lahir atau mati
didalam kandungan.
Kasus jual beli gharar dialami oleh seorang pemilik tanah yang
menanam buah mangga di lahannya. Pemilik tanah akan menanam,
mengairi dan memupuk tanaman tersebut untuk memaksimalkan hasil
panennya. Ketika sudah berbuah dipohon, buah itu ingin dibeli oleh
seorang penjual buah di pasar. Pembeli tersebut mengatakan, “Saya ingin
membeli buah dari pohon mangga ini, selama musim buah mangga. Saya
akan makan dan menjual di pasar nantinya.” Kemudian oleh pemilik lahan
tersebut disetujui dengan harga yang sudah ditetapkan. Akhirnya, mereka
berdua sepakat atas transaksi jual beli tersebut.
Pada saat penjual buah akan memanen buah mangga dari pohon si
pemilik lahan, ternyata buah mangga itu tidak seperti apa yang
diharapkannya. Buah mangga yang sudah dibeli pada saat belum masak
dipohon tersebut mengahasilkan buah yang rasanya kecut, dan
dikarenakan musim hujan banyak dari buah mangga itu yang busuk. Dari
kasus ini, si pembeli merasa dikecewakan karena pemilik lahan yang
memiliki kewajiban merawat pohon mangga supaya mengahasilkan buah
yang baik, tetapi malah mendapat hasil seperti itu.
8
D. Analisa Kasus
Kasus diatas merupakan jual beli tanpa adanya barang atau
termasuk jual beli gharar al-ma’dum. Hal tersebut dikatakan termasuk
kasus jual beli gharar karena, seorang pembeli membeli buah mangga yang
belum jelas dari pohon mangga yang dimiliki oleh seorang pemilik lahan.
Mereka juga telah melakukan akad jual beli yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.
Pada dasarnya kegiatan jual beli itu harus bersifat menguntungkan
bagi kedua belah pihak. Namun kenyataannya, dalam kasus tersebut jual
beli gharar hanya menguntungkan salah satu pihak, sedangkan pihak yang
lainnya merasa dirugikan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam secara
tegas menolak transaksi dengan unsur gharar, selain karena merugikan
salah satu pihak transaksi seperti itu juga akan berdampak pada
perekonomian negara menjadi sulit berkembang.
Salah satu bentuk peringatan Nabi dalam melarang adanya jual beli
dengan unsur gharar adalah pada hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan Bukhari, dalam kitabnya :
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jual beli merupakan tindakan atau transaksi yang telah disyariatkan
atau telah ada hukumnya yang jelas dalam Islam, hukumnya adalah boleh
atau mubah. Agar jual beli itu berlangsung secara sah, transaksi harus
dilakukan sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan. Adapun
syarat dalam jual beli adalah, barang yang diperjualbelikan bersifat halal,
merupakan barang sendiri, memiliki manfaat, dan barang bersifat jelas
secara kuantitatif dan kualitatif.
Jual beli yang tidak diperbolehkan adalah jual beli gharar yang
mengandung tipu daya yang merugikan salah satu pihak karena barang
yang diperjualbelikan tidak dapat dipastikan adanya. Ada dua macam
bentuk jual beli gharar, yaitu jual beli gharar yang dilarang dan
diperbolehkan. Jual beli gharar yang dilarang seperti tidak ada kepastian
dalam jenis pembayaran, harga, dan waktu pemberian objek akad.
Sedangkan, jual beli gharar yang diperbolehkan adalah yang disepakati
kebolehannya, seperti jual beli rumah dengan pondasinya.
10
Daftar Pustaka
Bakry, Nazar. 2000 Pelaksanaan Fiqh Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
11