Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Irigasi


Arti irigasi pada umumnya adalah usaha mendatangkan air dengan
membuat banguna-bangunan dan saluran-saluran untuk mengalirkan air guna
kepentingan keperluan pertanian, membagi-bagikan air ke sawah-sawah atau
ladang-ladang dengan cara yang teratur dan membuang air yang tidak
diperlukannya lagi, setelah air itu dipergunakan sebaik-baiknya.
Penyaluran dan pembuangan air kedua-duanya harus mendapat perhatian
yang sama untuk kebaikannya tanah guna segala tanaman.
Walaupun air itu dibutuhkan sekali oleh tanaman dan umumnya oleh
manusia guna kebutuhan hidupnya, akan tetapi jika terlalu banyak, maka air itu
dapat membahayakan sekali bagi tanaman dan bagi manusia umumya. Irigasi
adalah salah satu faktor terpenting dalam pertanian (Gandakoesoemah, 1975: 8).
Maksud irigasi ialah untuk mencukupi kebutuhan air guna pertanian dan
tujuan irigasi tergantung dari kebutuhan untuk apa irigasi itu akan diperlukannya.
Maksud itu dibagi dalam membasahi tanaman, merabuk, mengatur suhu atau
temperatur tanah, menghindarkan gangguan dalam tanah, kolmatase,
membersihkan air kotoran, mempertinggi air tanah (Gandakoesoemah, 1975: 10).

2.2 Pengertian Jaringan Irigasi


Jaringan irigasi adalah sarana untuk mengalirkan air dari suatu sumber air
menuju ke tanaman yang memerlukan air irigasi. Air irigasi diperlukan pula untuk
kepentingan permukiman, peternakan, dan perikanan air tawar (PP. 23 pasal 4 dan
22). Sumber air yang digunakan adalah: sungai, danau, mata air, dan air tanah
(PP. 23 pasal 21 ayat 2). Cara pengambilan air dapat menggunakan bendung,
pompa, dan pengaruh pasang surut, tetapi ada dengan cara pengambilan bebas
atau tanpa bendung (Direktorat Jenderal Pengairan: 2).

1
Jaringan irigasi merupakan saluran dan bangunan yang memiliki satu
kesatuan secara utuh untuk pengaturan air irigasi dalam penyediaan, pembagian,
dan penggunaannya.

2.3 Klasifikasi Jaringan Irigasi


Pada dasarnya di Indonesia ada tiga jenis jaringan irigasi:
2.3.1 Jaringan Irigasi Sederhana atau Non Teknis
Jaringan Irigasi Sederhana adalah jaringan irigasi tanpa alat pengukur dan
pengatur debit. Saluran pembawa dan salung pembuang tidak dipisah. (Direktorat
Jenderal Pengairan: 3).

Gambar 2.1 Jaringan Irigasi Sederhana


(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 7)
2.3.2 Jaringan Irigasi Semiteknis
Jaringan Irigasi Semiteknis adalah jaringan yang mempunyai beberapa
bangunan permanen dan hanya ada satu alat ukur debit, umumnya di pintu
pengambilan utama. (Direktorat Jenderal Pengairan: 3).

2
Gambar 2.2 Jaringan Irigasi Semi Teknis
(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 8)
2.3.3 Jaringan Irigasi Teknis
Jaringan Irigasi Teknis adalah jaringan irigasi dimana aliran air dapat
diukur dan diatur. Dalam sistem ini saluran pembawa dan saluran pembuang
dipisah. Bila jaringan irigasi ini tidak dipelihara dan di eksploitasi dengan baik,
maka pembagian dan pemberian air hanya akan didasarkan pada perhitungan
kasar. Jadi jaringan irigasi teknis ini akan bekerja sebagai jaringan irigasi
semiteknis, sehingga akan banyak kehilangan efektivitasnya. (Direktorat Jenderal
Pengairan: 3).

Gambar 2.3 Jaringan Irigasi Teknis

3
(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 11)
2.4 Petak Ikhtisar
Peta ikhtisar adalah cara penggambaran berbagai macam bagian dari suatu
jaringan irigasi yang saling berhubungan. Peta ikhtisar tersebut dapat dilihat pada
peta tata letak. Peta ikhtisar irigasi tersebut memperlihatkan:
a. Bangunan – bangunan utama
b. Jaringan dan trase saluran irigasi
c. Jaringan dan trase saluran pembuang
d. Petak petak primer, sekunder dan tersier
e. Lokasi bangunan
f. Batas – batas daerah irigasi
g. Jaringan dan trase jalan
h. Daerah – daerah yang tidak diairi (misal Desa – desa)
i. Daerah – daerah yang tidak dapat diairi (terlalu tinggi, tanah jelek).
Peta ikhtisar dibuat berdasarkan peta topografi yang dilengkapi dengan
garis – garis kontur, biasanya peta topografi mempunyai skala
1:25.000. untuk kepentingan perencanaan petak tersier biasanya
digunakan peta skala 1:5.000 atau 1:2.000. (KP-01 SDA Perencanaan
Jaringan irigasi 2013: 13).
2.4.1 Petak Tersier
Perencanaan dasar yang berkenaan dengan unit tanah adalah petak tersier.
Petak ini menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada bangunan sadap (off
take) tersier yang menjadi tanggung jawab Dinas Pengairan. Bangunan sadap
tersier mengalirkan airnya ke saluran tersier.
Di petak tersier pembagian air, operasi, dan pemeliharaan menjadi
tanggung jawab para petani yang bersangkutan, dibawah bimbingan pemerintah.
Ini juga menentukan ukuran petak tersier. Petak yang kelewat besar akan
mengakibatkan pembagian air menjadi tidak efisien. Faktor-faktor penting lainnya
adalah jumlah petani dalam satu petak, jenis tanaman dan topografi. Di daerah-
daerah yang ditanami padi luas petak tersier idealnya maksimum 50 ha, tapi dalam
keadaan tertentu dapat ditolelir sampai seluas 75 ha, disesuaikan dengan kondisi
topografi dan kemudahan eksploitasi dengan tujuan agar pelaksanaan Operasi dan

4
Pemeliharaan lebih mudah. Petak tersier harus mempunyai batas-batas yang jelas
seperti misalnya parit, jalan, batas desa dan batas perubahan bentuk medan
(terrain fault).
Petak tersier dibagi menjadi petak-petak kuarter, masing-masing seluas
kurang lebih 8-15 ha.
Apabila keadaan topografi memungkinkan, bentuk petak tersier sebaiknya
bujur sangkar atau segi empat untuk mempermudah pengaturan tata letak dan
memungkinkan pembagian air secara efisien.
Petak tersier harus terletak langsung berbatasan dengan saluran sekunder
atau saluran primer. Perkecualian jika petak-petak tersier tidak secara langsung
terletak di sepanjang jaringan saluran irigasi utama yang dengan demikian,
memerlukan saluran tersier yang membatasi petak-petak tersier lainnya, hal ini
harus dihindari.
Panjang saluran tersier sebaiknya kurang dari 1.500 m, tetapi dalam
kenyataan kadang-kadang panjang saluran ini mencapai 2.500 m. Panjang saluran
kuarter lebih baik dibawah 500 m, tetapi prakteknya kadang-kadang sampai 800
m. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 14).
2.4.2 Petak Sekunder
Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang kesemuanya
dilayani oleh satu saluran sekunder. Biasanya petak sekunder menerima air dari
bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau sekunder. Batas-batas petak
sekunder pada umumnya berupa tanda-tanda topografi yang jelas, seperti
misalnya saluran pembuang. Luas petak sekunder bisa berbeda-beda, tergantung
pada situasi daerah. Saluran sekunder sering terletak di punggung medan mengairi
kedua sisi saluran hingga saluran pembuang yang membatasinya. Saluran
sekunder dapat direncanakan sebagai saluran garis tinggi yang mengairi lereng-
lereng medan yang lebih rendah. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013:
15).
2.4.3 Petak Primer
Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder, yang mengambil air
langsung dari saluran primer. Petak primer dilayani oleh satu saluran primer yang
mengambil airnya langsung dari sumber air, biasanya sungai. Proyek-proyek

5
irigasi tertentu mempunyai dua saluran primer. Ini menghasilkan dua petak
primer. Daerah di sepanjang saluran primer sering tidak dapat dilayani dengan
mudah dengan cara menyadap air dari saluran sekunder.
(KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 15 ).

2.5 Bangunan Irigasi


2.5.1 Bangunan Utama
Bangunan utama (head works) dapat didefinisikan sebagai kompleks
bangunan yang direncanakan di dan sepanjang sungai atau aliran air untuk
membelokkan air ke dalam jaringan saluran agar dapat dipakai untuk keperluan
irigasi. Bangunan utama bisa mengurangi kandungan sedimen yang berlebihan,
serta mengukur banyaknya air yang masuk.
Bangunan utama terdiri dari bendung dengan peredam energi, satu atau
dua pengambilan utama pintu bilas kolam olak dan (jika diperlukan) kantong
lumpur, tanggul banjir pekerjaan sungai dan bangunan-bangunan pelengkap.
Bangunan utama dapat diklasifikasi ke dalam sejumlah kategori, bergantung
kepada perencanaannya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kategori.
1. Bendung
Bendung (weir) atau bendung gerak (barrage) dipakai untuk meninggikan
muka air di sungai sampai pada ketinggian yang diperlukan agar air dapat
dialirkan ke saluran irigasi dan petak tersier. Ketinggian itu akan menentukan luas
daerah yang diairi (command area). Bendung gerak adalah bangunan yang
dilengkapi dengan pintu yang dapat dibuka untuk mengalirkan air pada waktu
terjadi banjir besar dan ditutup apabila aliran kecil. Di Indonesia, bendung adalah
bangunan yang paling umum dipakai untuk membelokkan air sungai untuk
keperluan irigasi.
2. Pengambilan Bebas
Pengambilan bebas adalah bangunan yang dibuat di tepi sungai yang
mengalirkan air sungai ke dalam jaringan irigasi, tanpa mengatur tinggi muka air
di sungai. Dalam keadaan demikian, jelas bahwa muka air di sungai harus lebih
tinggi dari daerah yang diairi dan jumah air yang dibelokkan harus dapat dijamin
cukup.

6
3 Pengambilan dari Waduk (Reservoir)
Waduk (reservoir) digunakan untuk menampung air irigasi pada waktu
terjadi surplus air di sungai agar dapat dipakai sewaktu-waktu terjadi kekurangan
air. Jadi, fungsi utama waduk adalah untuk mengatur aliran sungai. Waduk yang
berukuran besar sering mempunyai banyak fungsi seperti untuk keperluan irigasi,
tenaga air pembangkit listrik, pengendali banjir, perikanan, dan sebagainya.
Waduk yang berukuran lebih kecil hanya dipakai untuk keperluan irigasi.
4. Stasiun Pompa
Irigasi dengan pompa bisa dipertimbangkan apabila pengambilan secara
gravitasi ternyata tidak layak dilihat dari segi teknis maupun ekonomis. Pada
mulanya irigasi pompa hanya memerlukan modal kecil, tetapi biaya
eksploitasinya mahal. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi: 16-17).
2.5.2 Bangunan Pembawa
Bangunan-bangunan pembawa membawa air dari ruas hulu ke ruas hilir
saluran. Aliran yang melalui bangunan ini bisa superkritis atau subkritis.
1. Bangunan pembawa dengan aliran superkritis
Bangunan pembawa dengan aliran tempat dimana lereng medannya
maksimum saluran. Superkritis diperlukan di tempat lebih curam daripada
kemiringan maksimal saluran. (Jika ditempat dimana kemiringan medannya lebih
curam daripada kemiringan dasar saluran, maka bisa terjadi aliran superkritis yang
akan dapat merusak saluran. Untuk itu diperlukan bangunan peredam).
a. Bangunan Terjun
Dengan bangunan terjun, menurunnya muka air (dan tinggi energi)
dipusatkan di satu tempat bangunan terjun bisa memiliki terjun tegak atau
terjun miring. Jika perbedaan tinggi energi mencapai beberapa meter,
maka konstruksi got miring perlu dipertimbangkan.
b. Got Miring
Daerah got miring dibuat apabila trase saluran melewati ruas
medan dengan kemiringan yang tajam dengan jumlah perbedaan tinggi
energi yang besar. Got miring berupa potongan saluran yang diberi
pasangan (lining) dengan aliran superkritis, dan umumnya mengikuti
kemiringan medan alamiah.

7
2. Bangunan pembawa dengan aliran subkritis (bangunan silang)
a. Gorong-Gorong
Gorong-gorong dipasang di tempat-tempat dimana saluran lewat
dibawah bangunan (jalan, rel kereta api) atau apabila pembuang lewat
dibawah saluran. Aliran didalam gorong-gorong umumnya aliran bebas.
b. Talang
Talang dipakai untuk mengalirkan air irigasi lewat diatas saluran
lainnya, saluran pembuang alamiah atau cekungan dan lembah-lembah.
Aliran didalam talang adalah aliran bebas.
c. Sipon
Sipon dipakai untuk mengalirkan air irigasi dengan menggunakan
gravitasi dibawah saluran pembuang, cekungan, anak sungai atau sungai.
Sipon juga dipakai untuk melewatkan air dibawah jalan, jalan kereta api,
atau bangunan-bangunan yang lain. Sipon merupakan saluran tertutup
yang direncanakan untuk mengalirkan air secara penuh dan sangat
dipengaruhi oleh tinggi tekan.
d. Jembatan Sipon
Jembatan sipon adalah saluran tertutup yang bekerja atas dasar
tinggi tekan dan dipakai untuk mengurangi ketinggian bangunan
pendukung diatas lembah yang dalam.
e. Flum (Flume)
Ada beberapa tipe flum yang dipakai untuk mengalirkan air irigasi
melalui situasisituasi medan tertentu, misalnya:
1) Flum tumpu (bench flume), untuk mengalirkan air disepanjang
lereng bukit yang curam.
2) Flum elevasi (elevated flume), untuk menyeberangkan air
irigasi
lewat diatas saluran pembuang atau jalan air lainnya.
3) flum, dipakai apabila batas pembebasan tanah (right of way)

8
terbatas atau jika bahan tanah tidak cocok untuk membuat
potongan melintang saluran trapesium biasa. Flum mempunyai
potongan melintang berbentuk segi empat atau setengah bulat.
Aliran dalam flum adalah aliran bebas.
f. Saluran Tertutup
Saluran tertutup dibuat apabila trase saluran terbuka melewati
suatu daerah dimana potongan melintang harus dibuat pada galian yang
dalam dengan lereng-lereng tinggi yang tidak stabil. Saluran tertutup juga
dibangun di daerah-daerah permukiman dan di daerah-daerah pinggiran
sungai yang terkena luapan banjir. Bentuk potongan melintang saluran
tertutup atau saluran gali dan timbun adalah segi empat atau bulat.
Biasanya aliran didalam saluran tertutup adalah aliran bebas.
g. Terowongan
Terowongan dibangun apabila keadaan ekonomi atau anggaran
memungkinkan untuk saluran tertutup guna mengalirkan air melewati
bukit-bukit dan medan yang tinggi. Biasanya aliran didalam terowongan
adalah aliran bebas.
(KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 23-25).
2.5.3 Bangunan Bagi dan Sadap
Bangunan bagi dan sadap pada irigasi teknis dilengkapi dengan pintu dan
alat pengukur debit untuk memenuhi kebutuhan air irigasi sesuai dan pada waktu
tertentu.
Namun dalam keadaan tertentu sering dijumpai kesulitan- kesulita dalam
operasi dan pemeliharaan sehingga muncul usulan sistem Proposional. Yaitu
bangunan bagi dan sadap tanpa pintu dan alat ukur tetapi dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Elevasi ambang ke semua arah harus sama.
2. Bentuk ambang harus sama agar koefisien debit sama.
3. Lebar bukaan proposional dengan luas sawah yang diairi.
Tetapi disadari bahwa sistem proposional tidak bisa diterapkan dalam irigasi yang
melayani lebih dari satu jenis tanaman dari penerapan sistem golongan.

9
Maka kriteria tersebut menetapkan agar diterapkan tetap memakai pintu
dan alat ukur debit dengan memenuhi tiga syarat proporsional:
1. Bangunan bagi terletak di saluran primer dan sekunder pada suatu titik
cabang
dan berfungsi untuk membagi aliran antara dua saluran atau lebih.
2. Bangunan sadap tersier mengalirkan air dari saluran primer atau
sekunder ke saluran tersier penerima.
3. Bangunan bagi dan sadap mungkin digabung menjadi satu rangkaian
bangunan.
4. Boks-boks bagi di saluran tersier membagi aliran untuk dua saluran
atau lebih (tersier, subtersier atau kuarter). (KP-01 SDA Perencanaan
Jaringan irigasi 2013: 20-21).
2.5.4 Bangunan Pengukur dan Pengatur
Aliran akan diukur di hulu (udik) saluran primer, di cabang saluran
jaringan primer dan di bangunan sadap sekunder maupun tersier. Bangunan ukur
dapat dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas (free overflow) dan
bangunan ukur aliran bawah (underflow). Beberapa dari bangunan pengukur dapat
juga dipakai untuk mengatur aliran air.
Tabel 2.1 Alat-Alat Ukur
Tipe Mengukur dengan Mengatur
Bangunan ukur ambang lebar Aliran Atas Tidak
Bangunan ukur Parshall Aliran Atas Tidak
Bangunan ukur Cipoletti Aliran Atas Tidak
Bangunan ukur Romijn Aliran Atas Ya
Bangunan ukur Crump-de Gruyter Aliran Bawah Ya
Bangunan sadap pipa sederhana Aliran Bawah Ya
Constant-Head Orifice (CHO) Aliran Bawah Ya
Cut Throat Flume Aliran Atas Ya
(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 21)
Untuk menyederhanakan operasi dan pemeliharaan, bangunan ukur yang
dipakai di sebuah jaringan irigasi hendaknya tidak terlalu banyak, dan diharapkan

10
pula pemakaian alat ukur tersebut bisa benar-benar mengatasi permasalahan yang
dihadapi para petani.
Peralatan berikut dianjurkan pemakaiannya:
1. Di hulu saluran primer
Untuk aliran besar alat ukur ambang lebar dipakai untuk
pengukuran dan pintu sorong atau radial untuk pengatur.
2. Di bangunan bagi bangunan sadap sekunder
Pintu Romijn dan pintu Crump-de Gruyter dipakai untuk mengukur
dan mengatur aliran. Bila debit terlalu besar, maka alat ukur ambang lebar
dengan pintu sorong atau radial bisa dipakai seperti untuk saluran primer.
3. Bangunan sadap tersier
Untuk mengatur dan mengukur aliran dipakai alat ukur Romijn
atau jika fluktuasi di saluran besar dapat dipakai alat ukur Crump-de
Gruyter. Di petak-petak tersier kecil disepanjang saluran primer dengan
tinggi muka air yang bervariasi dapat dipertimbangkan untuk memakai
bangunan sadap pipa sederhana, di lokasi yang petani tidak bisa menerima
bentuk ambang sebaiknya dipasang alat ukur parshall atau cut throat
flume. Alat ukur parshall memerlukan ruangan yang panjang, presisi yang
tinggi dan sulit pembacaannya, alat ukur cut throat flume lebih pendek dan
mudah pembacaannya. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013:
21-22).
2.5.5 Bangunan Pelengkap
Tanggul-tanggul diperlukan untuk melindungi daerah irigasi terhadap
banjir yang berasal dari sungai atau saluran pembuang yang besar. Pada umumnya
tanggul diperlukan disepanjang sungai disebelah hulu bendung atau disepanjang
saluran primer.
Fasilitas-fasilitas operasional diperlukan untuk operasi jaringan irigasi
secara efektif dan aman. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain meliputi antara lain:
kantor-kantor di lapangan, bengkel, perumahan untuk staf irigasi, jaringan
komunikasi, patok hektometer, papan eksploitasi, papan duga, dan sebagainya.
Bangunan-bangunan pelengkap yang dibuat di dan sepanjang saluran
meliputi:

11
a. Pagar, rel pengaman dan sebagainya, guna memberikan pengaman
sewaktu terjadi keadaan-keadaan gawat;
b. Tempat-tempat cuci, tempat mandi ternak dan sebagainya, untuk
memberikan sarana untuk mencapai air di saluran tanpa merusak
lereng;
c. Kisi-kisi penyaring untuk mencegah tersumbatnya bangunan (sipon
dan gorong-gorong panjang) oleh benda-benda yang hanyut;
d. Jembatan-jembatan untuk keperluan penyeberangan bagi penduduk;
e. Sanggar tani sebagai sarana untuk interaksi antar petani, dan antara
petani dan petugas irigasi dalam rangka memudahkan penyelesaian
permasalahan yang terjadi di lapangan. Pembangunannya disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi petani setempat serta letaknya di setiap
bangunan sadap atau off take. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan
irigasi 2013: 27-28).
2.5.6 Bangunan Pengatur Muka Air
Bangunan-bangunan pengatur muka air mengatur/mengontrol muka air di
jaringan irigasi utama sampai batas-batas yang diperlukan untuk dapat
memberikan debit yang konstan kepada bangunan sadap tersier.
Bangunan pengatur mempunyai potongan pengontrol aliran yang dapat
distel atau tetap. Untuk bangunan-bangunan pengatur yang dapat disetel
dianjurkan untuk menggunakan pintu (sorong) radial atau lainnya.
Bangunan-bangunan pengatur diperlukan di tempat-tempat dimana tinggi
muka air di saluran dipengaruhi oleh bangunan terjun atau got miring (chute).
Untuk mencegah meninggi atau menurunnya muka air di saluran dipakai mercu
tetap atau celah kontrol trapesium (trapezoidal notch). (Sumber : KP-01 SDA
Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 22-23).

2.6 Standar Tata Nama


Nama-nama yang diberikan untuk saluran-saluran irigasi dan pembuang,
bangunan-bangunan, dan daerah irigasi harus jelas. Nama yang diberikan harus
pendek dan tidak mempunyai tafsiran ganda (ambigu). Nama-nama harus dipilih
dan dibuat sedemikian sehingga jika dibuat bangunan baru kita tidak perlu

12
mengubah semua nama yang sudah ada. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan
irigasi 2013: 28).
2.6.1 Daerah Irigasi
Daerah irigasi dapat diberi nama sesuai dengan nama daerah setempat,
atau desa penting di daerah itu, yang biasanya terletak dekat dengan jaringan
bangunan utama atau sungai yang airnya diambil untuk keperluan irigasi.
Contohnya adalah Daerah Irigasi Jatiluhur atau Daerah Irigasi Cikoncang. Apabila
ada dua pengambilan atau lebih, maka daerah irigasi tersebut sebaiknya diberi
nama sesuai dengan desa-desa terkenal di daerah-daerah layanan setempat.
Jaringan Irigasi 29 Untuk pemberian nama-nama bangunan utama berlaku
peraturan yang sama seperti untuk daerah irigasi, misalnya bendung Elak
Cikoncang melayani Daerah Irigasi Cikoncang. (KP-01 SDA Perencanaan
Jaringan irigasi 2013: 28).
2.6.2 Jaringan Irigasi Primer
Saluran irigasi primer sebaiknya diberi nama sesuai dengan daerah irigasi
yang dilayani, contoh: Saluran Primer Makawa. Saluran sekunder sering diberi
nama sesuai dengan nama desa yang terletak di petak sekunder. Petak sekunder
akan diberi nama sesuai dengan nama saluran sekundernya. Sebagai contoh
saluran sekunder Sambak mengambil nama desa Sambak yang terletak di petak
sekunder Sambak.

13
Gambar 2.4 Standar Sistem Tata Nama untuk Skema Irigasi
(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 30)

Gambar 2.5 Standar Sistem Tata Nama untuk Bangunan-Bangunan


(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 31)
Saluran dibagi menjadi ruas-ruas yang berkapasitas sama. Misalnya, RS 2
adalah Ruas saluran sekunder Sambak (S) antara bangunan sadap BS 1 dan BS 2
(lihat juga subbab 2.2 dan 2.3).
Bangunan pengelak atau bagi adalah bangunan terakhir di suatu ruas.
Bangunan itu diberi nama sesuai dengan ruas hulu tetapi huruf R (Ruas) diubah
menjadi B (Bangunan). Misalnya BS 2 adalah bangunan pengelak di ujung ruas
RS 2.
Bangunan-bangunan yang ada di antara bangunan-bangunan bagi sadap
(goronggorong, jembatan, talang bangunan terjun, dan sebagainya) diberi nama

14
sesuai dengan nama ruas dimana bangunan tersebut terletak juga mulai dengan
huruf B (Bangunan) lalu diikuti dengan huruf kecil sedemikian sehingga
bangunan yang terletak di ujung hilir mulai dengan "a" dan bangunan-bangunan
yang berada lebih jauh di hilir memakai hurut b, c, dan seterusnya. Sebagai contoh
BS2b adalah bangunan kedua pada ruas RS2 di saluran Sambak terletak antara
bangunan-bangunan bagi BS 1 dan BS 2.
Bagian KP–07 Standar Penggambaran dan BI–01 Tipe Bangunan irigasi
memberikan uraian lebih rinci mengenai sistem tata nama. (KP-01 SDA
Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 29-32).
2.6.3 Jaringan Irigasi Tersier
Petak tersier diberi nama seperti bangunan sadap tersier dari jaringan
utama. Misalnya petak tersier S1 kiri mendapat air dari pintu kiri bangunan bagi
BS 1 yang terletak di saluran Sambak.
1. Ruas-ruas saluran tersier diberi nama sesuai dengan nama boks yang terletak di
antara kedua boks. misalnya (T1 - T2), (T3 - K1), (lihat Gambar 2-4).
2. Boks Tersier diberi kode T, diikuti dengan nomor urut menurut arah jarum jam,
mulai dari boks pertama di hilir bangunan sadap tersier: T1, T2 dan
sebagainya.
3. Petak kuarter diberi nama sesuai dengan petak rotasi, diikuti dengan nomor
urut menurut arah jarum jam. Petak rotasi diberi kode A, B, C dan seterusnya
menurut arah jarum jam.
4. Boks kuarter diberi kode K, diikuti dengan nomor urut menurut arah jarum
jam, mulai dari boks kuarter pertama di hilir boks tersier dengan nomor urut
tertinggi: K1, K2 dan seterusnya.

15
Gambar 2.6 Sistem Tata Nama Petak Rotasi dan Kuarter
(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 33)
5. Saluran irigasi kuarter diberi nama sesuai dengan petak kuarter yang dilayani
tetapi dengan huruf kecil, misalnya a1, a2 dan seterusnya.
6. Saluran pembuang kuarter diberi nama sesuai dengan petak kuarter yang
dibuang airnya, menggunakan huruf kecil diawali dengan dk, misalnya dka1,
dka2, dan seterusnya.
7. Saluran pembuang tersier, diberi kode dt1, dt2 juga menurut arah jarum jam.
(KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 32-33).

2.6.4 Jaringan Pembuang


Setiap pembangunan jaringan irigasi dilengkapi dengan pembangunan
jaringan drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan irigasi yang
bersangkutan (PP 20 pasal 46 ayat 1).
Pada umumnya pembuang primer berupa sungai-sungai alamiah, yang
kesemuanya akan diberi nama. Apabila ada saluran-saluran pembuang primer
baru yang akan dibuat, maka saluran-saluran itu harus diberi nama tersendiri. Jika
saluran pembuang dibagi menjadi ruas-ruas, maka masing-masing ruas akan
diberi nama, mulai dari ujung hilir.
Pembuang sekunder pada umumnya berupa sungai atau anak sungai yang
lebih kecil. Beberapa di antaranya sudah mempunyai nama yang tetap bisa
dipakai, jika tidak sungai/anak sungai tersebut akan ditunjukkan dengan sebuah
huruf bersama-sama dengan nomor seri. Nama-nama ini akan diawali dengan
huruf d (d = drainase).
Pembuang tersier adalah pembuang kategori terkecil dan akan dibagi-bagi
menjadi ruas-ruas dengan debit seragam, masing-masing diberi nomor. Masing-
masing petak tersier akan mempunyai nomor seri sendiri-sendiri. (KP-01 SDA
Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 33-34).

16
Gambar 2.7 Sisten Tata Nama Jaringan Pembuang
(Sumber: KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 34)
2.6.5 Tata Warna Peta
Warna-warna standar akan digunakan untuk menunjukkan berbagai
tampakan irigasi pada peta. Warna-warna yang dipakai adalah:
a. Biru untuk jaringan irigasi, garis penuh untuk jaringan pembawa yang ada dan
garis putus-putus untuk jaringan yang sedang direncanakan;
b. Merah untuk sungai dan jaringan pembuang garis penuh untuk jaringan yang
sudah ada dan garis putus-putus (----- - ----- - -----) untuk jaringan yang sedang
direncanakan;
c. Coklat untuk jaringan jalan;
d. Kuning untuk daerah yang tidak diairi (dataran tinggi, rawa-rawa); - Hijau
untuk perbatasan kabupaten, kecamatan desa dan kampung;
e. Merah untuk tata nama bangunan;
f. Hitam untuk jalan kereta api;
g. Warna bayangan akan dipakai untuk batas-batas petak sekunder, batas-batas
petak tersier akan diarsir dengan warna yang lebih muda dari warna yang sama
(untuk petak sekunder) semua petak tersier yang diberi air langsung dari
saluran primer akan mempunyai warna yang sama. (KP-01 SDA Perencanaan
Jaringan irigasi 2013: 35).

2.7 Analisa Hidrologi


Hidrologi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejadian-kejadian serta penyebaran atau distribusi air secara alami di bumi. Unsur

17
hidrologi yang dominan disuatu wilayah adalah curah hujan, oleh sebab itu data
curah hujan suatu daerah merupakan data utama dalam menentukan besarnya
debit banjir rencana maupun debit andalan yang terjadi pada suatu daerah.
Analisis hidrologi digunakan untuk menentukan

2.8 Kebutuhan Air di Sawah


2.8.1 Curah Hujan
Analisis curah hujan dilakukan dengan maksud untuk menentukan:
a. Curah hujan efektif untuk menghitung kebutuhan irigasi. Curah hujan
efektif atau andalan adalah bagian dari keseluruhan curah hujan yang
secara efektif tersedia untuk kebutuhan air tanaman.
b. Curah hujan lebih (excess rainfall) dipakai untuk menghitung
kebutuhan pembuangan/drainase dan debit (banjir).
Untuk analisis curah hujan efektif, curah hujan di musim kemarau dan
penghujan akan sangat penting artinya. Untuk curah hujan lebih, curah hujan di
musim penghujan (bulan-bulan turun hujan) harus mendapat perhatian tersendiri.
Untuk kedua tujuan tersebut data curah hujan harian akan dianalisis untuk
mendapatkan Data, tingkat ketelitian yang dapat diterima. Data curah hujan harian
yang meliputi periode sedikitnya 10 tahun akan diperlukan. (KP-01 SDA
Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 75)
Untuk irigasi pada curah hujan efektif bulanan diambil 70% dari curah
hujan minimum tengah bulanan dengan periode ulang 5 tahun.
1
𝑅𝑒 = 0,7 * * 𝑅 (𝑠𝑒𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛)
15
Keterangan:
Re = Curah hujan efektif, mm/ hari
R (setengah bulan) 5 = Curah hujan minimum tengah bulanan
dengan periode ulang 5 tahun/ mm
2.8.2 Evapotranspirasi
Analisis mengenai evaporasi diperlukan untuk menentukan besarnya
evapotranspirasi tanaman yang kelak akan dipakai untuk menghitung kebutuhan
air irigasi dan perlu untuk studi neraca air di daerah aliran sungai. Studi ini
mungkin dilakukan bila tidak tersedia data aliran dalam jumlah yang cukup.

18
Data-data iklim yang diperlukan untuk perhitungan ini adalah yang
berkenaan dengan:
a. Temperatur: harian maksimum, minimum dan rata-rata
b. Kelembaban relatif
c. Perencanaan Jaringan Irigasi
d. Sinar matahari: lamanya dalam sehari
e. Angin: kecepatan dan arah
f. Evaporasi: catatan harian
Data-data klimatologi diatas adalah standar bagi stasiun-stasiun agrometerologi.
Jangka waktu pencatatan untuk keperluan analisis yang cukup tepat dan andal
adalah sekitar sepuluh tahun. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 76)
Perhitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan rumus
Penman Modifikasi seperti berikut ini:
ET0 = c * {W * Rn + (1-W) * f(U) * (es – ea)}
Keterangan :
ET0 = Evaporasi harian (mm/hari)
Es = Tekanan uap jenuh (mbar)
es = RH/100 * ea
Ea = Tekanan uap nyata (mbar)
C = Faktor penyesuaian kondisi siang dan malam
W = Faktor yang mempengaruhi penyinaran matahari
f(U) = Fungsi kecepatan angin dalam perbandingan
f(U) = 0.27 * (1 +0.864 * u)
u = Kecepatan angin dalam m/dt
Rn = Radiasi penyinaran matahari dalam perbandingan penguapan
atau
radiasi matahri bersih
Rn = Rns – Rnl
Rnl = f (T) * f (es) * f (n/N)
f(es) = 0.34-0.44*ed^0.5
f(n/N) = 0.1+0.9 (n/N)
Rns = Penyinaran matahari yang diserap oleh bumi (mm / hari)

19
Rnl = Radiasi yang dipancarkan oleh bumi (mm / hari)
f(n/N) = Koreksi rasio penyinaran matahari
n/N = Lama penyinran matahari
2.8.3 Perkolasi
Perkolasi adalah kehilangan air di dalam tanah di masa air meresap ke
dalam tanah sampai melalui batas lapisan tanah jenuh air.
Perkolasi dipengaruhi oleh Permeabilitas tanah, Tekstur tanah (tanah
dengan tekstur halus mempunyai angka perkolasi yang rendah, sedangkan tanah
dengan tekstur yang kasar mempunyai angka perkolasi yang besar), dan tebal
lapisan tanah bagian atas (semakin tipis lapisan tanah bagian atas maka semakin
rendah atau kecil angka perkolasinya).
Tabel 2.2 Daya Perkolasi Berdasarkan Jenis Tanah

No Jenis Tanah Perkolasi (mm/hari)


1 Sandy Loam 3 - 6 mm/hari
2 Loam 2 - 3 mm/hari
Tabel 2.3 Tingkat
3 Perkolasi
Clay 1 -2 mm/hari
Loampada berbagai tekstur tanah
Angka Perkolasi
No Jenis Tanah
Padi (mm/hari) Palawija (mm/hari)
1 Tekstur Berat 1 2
2 Tekstur Sedang 2 4
3 Tekstur Ringan 3 10
Laju perkolasi sangat bergantung kepada sifat-sifat tanah. Pada tanah-
tanah lempung berat dengan karakteristik pengelolahan (puddling) yang baik, laju
perkolasi dapat mencapai 1-3 mm/hari. Pada tanah-tanah yang lebih ringan; laju
perkolasi bisa lebih tinggi.
Dari hasil-hasil penyelidikan tanah pertanian dan penyelidikan kelulusan,
besarnya laju perkolasi serta tingkat kecocokan tanah untuk pengolahan tanah
dapat ditetapkan dan dianjurkan pemakaian nya. Guna menentukan laju perkolasi,
tinggi muka air tanah juga harus diperhitungkan. Perembesan terjadi akibat
meresapnya air melalui tanggul sawah. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi
2013: 168)
2.8.4 Pola Tata Tanam

20
Pola tata tanam adalah salah satu tahapan penting dalam merencanakan
tata tanaman. Kebutuhan air disawah ditentukan berdasarkan pola tata tanam yang
direncanakan pada suatu lahan irigasi. Kombinasi pola tanam merupakan pola
tahunan kombinasi jenis tanaman, yang didasarkan pada beberapa pertimbangan
antara lain:
a. Kebiasaan petani
b. Ketersediaan jenis tanaman
c. Jenis tanah
d. Ketersediaan air irigasi
e. Musim
f. Jumlah petani
g. Komoditi ekonomi yang dibutuhkan
h. Luas dan banyaknya petak sawah
i. Pertimbangan pemutusan siklus hama
(Handout Kuliah Irigasi. Suhardono, 2019)

Tabel 2.4 Pola Tata Tanam untuk Satu Tahun


Ketersediaan Air untuk Irigasi Pola Tata Tanam untuk Satu Tahun
Tersedia air cukup banyak Padi – padi – palawija
Padi – padi – bero
Tersedia air dalam jumlah cukup
Padi – palawija - palawija
Padi – palawija – bero
Daerah yang cenderung kekurangan air
Palawija – padi – bero
(Sumber: Sidharta, 1997: 25)
2.8.5 Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air di sawah untuk padi ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
1. Penyiapan lahan
2. Penggunaan konsumtif
3. Perkolasi dan rembesan
4. Pergantian lapisan air
5. Curah hujan efektif
Kebutuhan total air di sawah (GFR) mencakup faktor 1 sampai 5.
Kebutuhan bersih air di sawah (NFR) juga memperhitungkan curah hujan efektif.

21
Kebutuhan air di sawah dinyatakan dalam mm/hari atau 1/dt/ha tidak disediakan
kelonggaran untuk efisiensi irigasi di jaringan tersier dan utama. Efisiensi juga
dicakup dalam memperhitungkan kebutuhan pengambilan irigasi (m3 / dt).
(KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 161).
Kebutuhan air disawah dihitung dengan persamaan (Standar Perencanaan
Irigasi KP-01 1986) sebagai berikut:
NFR = ETc + P – Re + WLR
Keterangan:
NFR = Kebutuhan bersih air di sawah (Net Field Requirement)
(mm/hari)
ETc = Kebutuhan air konsumtif (Evapotranspiration Crop) (mm/hari)
P = Kehilangan air akibat perkolasi (mm/hari)
Re = Curah hujan efektif (mm/hari)
WLR = Penggantian lapisan genangan air (mm/hari)

2.8.6 Kebutuhan Air Konsumtif


Penggunaan konsumtif adalah jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman
untuk proses evapotranspirasi dari tanaman acuan. Penggunaan konsumtif
dihitung dengan rumus berikut:
ETc = Kc x ETo
Keterangan:
ETc = Evapotranspirasi tanaman, mm/hari
Kc = Koefisien tanaman
ETo = Evapotransirasi tanaman acuan, mm/hari
(KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 165).
2.8.7 Koefisien Tanaman
Koefisien tanaman diberikan untuk menghubungkan evapotranspirasi
(ETo) dengan evapotranspirasi tanaman acuan (ETtanaman) dan dipakai dalam
rumus Penman. Koefisien yang dipakai harus didasarkan pada pengalaman yang
terus menerus proyek irigasi di daerah itu.

22
Tabel 2.5 Harga-Harga Koefisien Tanaman Padi Nedeco dan FAO
Nedeco/ Prosida FAO
Bulan Varietas Varietas Varietas Varietas
Biasa Unggul Biasa Unggul
0,5 1,20 1,20 1,10 1,10
1,0 1,20 1,27 1,10 1,10
1,5 1,32 1,33 1,10 1,05
2,0 1,40 1,30 1,10 1,05
2,5 1,35 1,30 1,10 0,95
3,0 1,24 0 1,05 0
3,5 1,12   0,95  
4,0 0   0  
(Sumber: Dirjen Pengairan, Bina Program PSA. 010, 1985)

Tabel 2.6 Harga Koefisien Tanaman Padi Biasa/Rendeng


Bulan k Jenis Tanaman
Oktober 0,91 Padi Rendeng
November 1,13 Padi Rendeng
Desember 1,25 Padi Rendeng
Januari 1,24 Padi Rendeng
Februari 1,09 Padi Rendeng
Maret 0,70 Padi Rendeng
April 0,91 Padi Kemarau
Mei 1,14 Padi Kemarau
Juni 1,28 Padi Kemarau
Juli 1,19 Padi Kemarau
Agustus 0,66 Padi Kemarau
September - Padi Kemarau
(Sumber: Handout Kuliah Irigasi. Suhardono, 2019)
Umur Tabel 2.7 Harga Koefisien Tanaman Palawija
Dua Minggu Ke-
No Tanaman
(Hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 Padi (NEDECO/PROSIDA)
a. Varietas Unggul 90 1,20 1,27 1,33 1,30 1,30 0,00
b. Varietas Biasa 120 1,20 1,20 1,32 1,40 1,35 1,24 1,12 0,00
Padi (FAO)
a. Varietas Unggul 90 1,10 1,10 1,05 1,05 0,95 0,00
b. Varietas Biasa 120 1,10 1,10 1,10 1,10 1,10 1,05 0,95 0,00
2 Kedelai 85 0,50 0,75 1,00 1,00 23
0,82 0,45
3 Jagung 80 0,50 0,59 0,96 1,05 1,02 0,95
4 Kacang Tanah 130 0,50 0,51 0,66 0,85 0,95 0,95 0,95 0,55
5 Bawang 70 0,50 0,51 0,69 0,90 0,95
6 Buncis 75 0,50 0,64 0,89 0,95 0,88
7 Kapas 195 0,50 0,50 0,58 0,75 0,91 1,04 1,05 1,05 1,05 0,87 0,65 0,65 0,65
(Sumber: Handout Kuliah Irigasi. Suhardono, 2019)
2.8.8 Penyiapan Lahan
Perhitungan kebutuhan irigasi selama penyiapan lahan, digunakan metode
yang dikembangkan oleh Van de Goor dan Zijlstra (KP-01 SDA Perencanaan
Jaringan irigasi 2013: 34) pada tahun 1968. Metode tersebut didasarkan pada laju
air konstan dalam l/dt selama periode penyiapan lahan dan menghasilkan rumus
berikut sebagai berikut:
IR = M . ek / (ek − 1)
Keterangan:
IR = Kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan, mm/hari
M = Kebutuhan air untuk mengganti/mengkompensasi kehilangan air
akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan
M = Eo + P, mm/hari
Eo = Evaporasi air terbuka yang diambil 1,1, ETo selama penyiapan
lahan, mm/hari
P = Perkolasi
k = MT /S
T = Jangka waktu penyiapan lahan, (hari)
S = Kebutuhan air, untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50
mm, yakni 200 + 50 = 250 mm seperti yang sudah diterangkan
diatas
2.8.9 Pergantian Lapisan Air (Water Layer Requirements)
Pergantian lapisan iar adalah penggantian air genangan di sawah dengan
air irigasi yang baru dan segar. Penggantian lapisan air dilakukan setelah
pemupukan. Penggantian lapisan air dilakukan menurut kebutuhan. Penggantian
lapisan air secara umum dilakukan sebanyak dua kali masing-masing 50 mm atau
3,3 mm/ hari selama 1 bulan dan 2 bulan setelah transplantasi.

24
Waktu WLR:
Setelah pemupukan atau 2 kali selama masa tanam padi
a. 1 bulan setelah tanam, selama 15 hari, dan
b. 2 bulan setelah tanam, selama 15 hari
Kebutuhan air WLR adalah 3,333 mm/ hari.
2.8.10 Pembagian Air di Petak Tersier
Sistem pembagian air yang akan diterapkan merupakan masalah
pokoksebelum jaringan tersier dapat direncana. Ada tiga sistem pembagian air,
yaitu:
a. Pengaliran secara terus-menerus
b. Rotasi permanen
c. Kombinasi antara pengaliran secara terus-menerus dan rotasi.
Sistem pengaliran secara terus-menerus memerlukan pembagian air yang
proporsional, jadi besarnya bukaan pada boks harus proporsional atau sebanding
dengan daerah irigasi di sebelah hilir.
Pemberian air irigasi ke petak-petak kuarter di petak tersier berlangsung
secara terus-menerus. Pemberian air ini dialirkan ke tiap blok sawah dipetak
kuarter. Khususnya pada waktu debit kecil, efisiensi penggunaan air sangat rendah
akibat kehilangan air yang relatif tinggi. Agar pemanfaatan air menjadi lebih
efisien, aliran air irigasi dapat dikonsentrasi dan dibagi secara berselang-seling ke
petak-petak kuarter tertentu. Sistem ini disebut rotasi permanen (permanent
rotation). Konsekuensi teknis dan sistem ini adalah kapasitas saluran yang lebih
tinggi, pemberian pintu pada semua boks serta pembagian air yang tidak
proporsional. Jadi sistem ini lebih mahal dan eksploitasinya lebih rumit.
Perencanaan petak tersier harus didasarkan pada sistem pengaliran terus
menerus. Sistem pemberian air secara rotasi dipakai dijaringan irigasi selama
debit rendah untuk mengatasi kehilangan air yang relatif tinggi. Sistem rotasi ini
diterapkan jika debit yang tersedia dibawah 60%– 80% dan debit rencana.
Bila tersedia debit lebih dari itu maka dipakai sistem pengaliran terus-
menerus. Penerapan sistem kombinasi memerlukan boks-boks bagi yang:
a. Memungkinkan pembagian air yang proporsional dan
b. Memungkinkan pembagian air secara rotasi.

25
Pengaturan dan pembagian air yang adil memerlukan pintu yang dapat disetel
sesuai dengan daerah hilir yang akan diberi air karena pembagian air ini bisa
berbeda-beda selama rotasi, maka setelan harus fleksibel. Fluktuasi debit akan
mempengaruhi pembagian air secara proporsional dipakai pintu sorong untuk
mengatur aliran selama pemberian air secara rotasi. (KP-05 SDA Perencanaan
Jaringan irigasi 2013: 23)
2.8.11 Debit Andalan
Debit andalan (dependable flow) adalah besarnya debit yang tersedia
untuk memenuhi kebutuhan air dengan resiko kegagalan yang telah
diperhitungkan. Dalam perencanaan proyek-proyek penyediaan air, terlebih
dahulu harus dicari debit andalannya, dengan tujuan untuk menentukan debit
perencanaan yang diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto, 1987).
Debit andalah adalah debit minimum sungai untuk kemungkinan terpenuhi
yang sudah ditentukan yang dapat dipakai untuk irigasi. Kemungkinan terpenuhi
ditetapkan 80% (kemungkinan bahwa debit sungai lebih rendah dari debit andalan
adalah 20%). Debit andalan ditentukan untuk periode tengah – bulanan. Debit
minimum sungai dianalisis atas dasar data debit harian sungai agar analisisnya
cukup tepat dan andal, catatan data yang diperlukan harus meliputi jangka waktu
paling sedikit 20 tahun. Jika persyaratan ini tidak bisa dipenuhi, maka metode
hidrologi analitis dan empiris bisa dipakai.
Dalam menghitung debit andalan, harus mempertimbangkan air yang
diperlukan dari sungai di hilir pengambilan. Dalam praktek ternyata debit andalan
dari waktu kewaktu mengalami penurunan seiring dengan penurunan fungsi
daerah tangkapan air. Penurunan debit andalan dapat menyebabkan kinerja irigasi
berkurang yang mengakibatkan pengurangan areal persawahan. Antisipasi
keadaan ini perlu dilakukan dengan memasukan faktor koreksi besaran 80% -
90%untuk debit andalan. Faktor koreksi tersebut tergantung pada kondisi
perubahan DAS. (KP-01 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 78).
Untuk menghitung debit andalan tersebut, dihitung 80% dari debit infow
sumber air pada pencatatan debit pada periode tertentu. Dalam menentukan
besarnya debit andalan dengan peluang 80% digunakan probabilitas Metode
Weibull, dengan rumus sebagai berikut:

26
m
P = x 100%
n+1
Keterangan:
P = Peluang (%)
m = Nomor urut data
n = Jumlah data
Metode lainnya yang dapat digunakan untuk meganalisis besarnya debit
andalan selain Metode Weibull, metode tahun atau bulan dasar pernecanaan juga
banyak digunakan untuk menganalisis besarnya Q80, dengan rumus sebagai
berikut:
n
Q80 = +1
5
Keterangan:
Q80 = Urutan data (l/dt atau m3/dt)
n = Jumlah data
2.8.12 Debit Rencana
Debit untuk perencanaan bangunan atau saluran Debit drainase rencana
dan sawah di petak tersier dihitung sebagai berikut:
Qd = f Dm A
Keterangan:
Qd = Debit rencana (lt/dt)
f = Faktor pengurangan (reduksi) daerah yang dibuang airnya, (satu
untuk petak tersier)
Dm = Modulus pembuang (lt/dt ha)
A = Luas daerah yang dibuang airnya (ha)
2.8.13 Efisiensi Irigasi
Efisiensi irigasi adalah persentase jumlah air yang sampai disawah dari
pintu pengambilan. Efisiensi timbul karena kehilangan air yang disebabkan
rembesan, bocoran, eksploitasi, dan lain-lain. Efisiensi merupakan perbandingan
antara jumlah air yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman dengan jumlah air
yang dikeluarkan dari pintu pengambilan. Nilai efisiensi irigasi adalah sebagai
berikut:
a. Di petak tersier (et) : 85 s/d 77,5 %

27
b. Di saluran sekunder (es) : 92,5 s/d 87,5 %
c. Di saluran primer (ep) : 92,5 s/d 87,5 %
d. Efisiensi Total (et x es x ep) : 0,6 s/d 0,73
(Sumber: Handout Kuliah Irigasi. Suhardono, 2019)
2.8.14 Sistem Pembagian Air Irigasi
Cara pembagian air tanaman akan mempengaruhi banyaknya air irigasi
yang diperlukan. Pemberian secara terus-menerus diberikan jika ketersediaan
debit lebih besar atau sama dengan kebutuhan air disawah, sehingga ketersediaan
air irigasi dapat dialirkan ke seluruh petak tersier. Caranya adalah dengan
pemberian air irigasi secara terus-menerus selama periode irigasi. Tetapi jika
ketersediaan air di bangunan utama lebih kecil dari kebutuhan air irigasi, maka
pembagiannya dilakukan dengan cara giliran. Caranya adalah dengan memberikan
air secara bergiliran atau rotasi pada waktu tertentu selama beberapa hari. Rotasi
pemberian air di Petak Tersier dapat dibagi menjadi:
1. Petak Tersier dibagi menjadi 4 kelompok subtersier, yaitu subtersier A,
B, C, D. Cara pemberian airnya dibedakan menjadi:
a. Apabila Qtersedia (75-100)% Qirigasi, maka lama pemberian air
secara terus-menerus selama 24 jam.
b. Apabila Qtersedia (50-75)% Qirigasi, maka lama pemberian air
dibagi menjadi 4 periode dalam 14 hari (336 jam) yaitu:
1) Periode I: Petak subtersier A, B, C diairi dan subtersier D

A +B +C 336
ditutup Lama Pemberian Air = × jam
Σ total 3
2) Periode II: Petak subtersier B, C, D diairi dan subtersier A
ditutup
B+C + D 336
Lama Pemberian Air = × jam
Σ total 3
3) Periode III: Petak subtersier C, D, A diairi dan subtersier B
ditutup
C+ D+ A 336
Lama Pemberian Air = × jam
Σtotal 3
4) Periode IV : Petak subtersier D, A, B diairi dan subtersier C
ditutup

28
D+ A + B 336
Lama Pemberian Air = = × jam
Σ total 3
c. Apabila Qtersedia (25-50)% Qirigasi, maka cara pemberian air
dibagi menjadi 2 periode yaitu:
1) Periode I: Petak subtersier A, B, C diairi dan subtersier D

A+B 336
ditutup Lama Pemberian Air = = × jam
Σ total 2
2) Perode II: Subtersier C, D diairi dan A, B ditutup
B+C 336
Lama Pemberian Air = = × jam
Σ total 2
2. Petak Tersier dibagi menjadi tiga subtersier, yaitu subtersier A, B, dan
subtersier C. Cara pemberian air dibedakan menjadi:
a. Apabila Qtersedia (65-100)% Qirigasi, maka pemberian air
dilakukan secara terus-menerus selama 24 jam.
b. Apabila Qtersedia (30-65)% Qirigasi, maka cara pemberian air
dibagi menjadi 3 periode yaitu:
1) Periode I: Subtersier A dan B diairi dan subtersier C ditutup

A+ B
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B +C
2) Periode II: Subtersier B dan C diairi dan subtersier A ditutup

B+C
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B +C
3) Periode III: Subtersier A dan C diairi dan subtersier B ditutup

A +C
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B +C
c. Apabila Qtersedia < 30% Qirigasi, maka cara pemberian air dibagi
dalam 3 periode dalam 7 hari (168 jam) yaitu:
1) Periode I: Subtersier A diairi dan subtersier B, C ditutup
A
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B +C
2) Periode II: Subtersier B diairi dan subtersier A, C ditutup
B
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B +C

29
3) Periode III: Subtersier C diairi dan subtersier A, B ditutup
C
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B +C
3. Petak Tersier dibagi menjadi dua subtersier, yaitu subtersier A dan B.
Cara pemberian air dibedakan menjadi:
a. Apabila Qtersedia > 50% Qirigasi, maka pemberian air dilakukan
secara terus-menerus selama 24 jam
b. Apabila Qtersedia < 50% Qirigasi, maka cara pemberian air dibagi
menjadi 2 periode dalam 7 hari yaitu:
1) Periode I: Subtersier A diairi dan subtersier B ditutup
A
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B
2) Periode II: Subtersier B diairi dan subtersier A ditutup
B
Lama Pemberian Air = × 168 jam
A +B
(Sumber: Hapsari, 2014)

2.9 Perencanaan Saluran Irigasi


2.9.1 Saluran Pembawa
Saluran pembawa berfungsi membawa air dari sumbernya (sungai, waduk,
mata air) sampai dimanfaatkan oleh tanaman. Pada umumnya saluran pembawa
direncanakan dengan lining (lapisan atau pasangan) untuk mengurangi kehilangan
air akibat rembesan, dimensi semakin kecil dari hulu ke hilir, dan berada dibawah
saluran pembuang jika terletak berdampingan.
Banyak bahan yang dapat dipakai untuk pasangan saluran (FAO Kraatz,
1977). Tetapi pada praktiknya di Indonesia hanya ada empat bahan yang
dianjurkan pemakaiannya yaitu:
1. Pasangan batu;
2. Beton;
3. Tanah;
4. Beton Ferrocement

30
Pembuatan pasangan dari bahan-bahan lain tidak dianjurkan dengan alasan
sulitnya memperoleh persediaan bahan, teknik pelaksanaan yang lebih rumit, dan
kelemahan-kelemahan bahan itu sendiri.
Pasangan batu dan beton lebih cocok untuk semua keperluan, kecuali
untuk perbaikan stabilitas tanggul. Pasangan tanah hanya cocok untuk
pengendalian rembesan dan perbaikan stabilitas tanggul.
Perhitungan dimensi saluran menggunakan rumus Manning yaitu sebagai
berikut:
1
V = ×R2/ 3×S1/2
n
A
R =
P
Q = V ×A
Keterangan:
V = Kecepatan aliran (m/dt)
n = Koefisien kekasaran saluran Manning (m1/3/dt)
R = Radius hidrolis (m)
S = Kemiringan dasar saluran
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah (m)
Q = Debit saluran (m3/dt)

Tabel 2.8 Harga Koefisien Manning, n

31
(Sumber: Handout Kuliah Irigasi. Suhardono, 2019)
2.9.2 Saluran Pembuang
Saluran pembuang berfungsi membuang kelebihan air (setelah dipakai)
dari lahan irigasi menuju ke arah sungai. Pada umumnya direncanakan tanpa
lining agar air kotor dapat meresap ke tanah dan dimensi semakin besar dari hulu
ke hilir. Kelebihan air didalam petak tersier dapat disebabkan oleh:
1. Hujan lebat;
2. Melimpahnya air irgasi atau buangan yang berlebihan dari jaringan
primer atau sekunder ke daerah itu;
3. Rembesan atau limpahan kelebihan air irigasi didalam petak tersier.
Biasanya tanaman padi tumbuh dalam keadaan "tergenang" dan dengan demikian,
dapat saja bertahan dengan sedikit kelebihan air. Untuk varietas unggul, tinggi air
10 cm dianggap cukup dengan tinggi muka air antara 5 sampai 15 cm dapat
diizinkan. Kedalaman air yang lebih dari 15 cm harus dihindari, karena air yang
lebih dalam untuk jangka waktu yang lama akan mengurangi hasil panen varietas

32
lokal unggul dan khususnya varietas biasa (tradisional) kurang sensitif demikian
juga tinggi air yang melebihi 20 cm tetap harus di hindari. Besar kecilnya
penurunan hasil panen yang diakibatkan oleh air berlebihan bergantung kepada:

1. Dalamnya lapisan air yang berlebihan;

2. Berapa lama genangan yang berlebihan itu berlangsung;

3. Tahapan pertumbuhan tanaman, dan

4. Varietas padi
Dalam budidaya padi metode SRI, genangan air pada saat-saat tertentu disarankan
untuk dibuang secepatnya dalam rangka memberi kesempatan aerasi akar
tanaman, tanpa mengakibatkan stress tanaman. Jumlah kelebihan air yang harus
dikeringkan per petak disebut modulus pembuang atau koefisien pembuang dan
ini bergantung pada:
1. Curah hujan selama periode tertentu;
2. Pemberian air irigasi pada waktu itu;
3. Kebutuhan air tanaman Perencanaan;
4. Perkolasi tanah;
5. Tampungan di sawah-sawah selama atau pada akhir periode yang
bersangkutan;
6. Luasnya daerah;
7. Sumber-sumber kelebihan air yang lain.
Pembuang permukaan untuk petak dinyatakan sebagai:
D(n) = R(n)T + n (I – ET – P) –S
Keterangan:
n = Jumlah hari berturut-turut
D(n) = Limpasan pembuang permukaan selama n hari (mm)
R(n)T = Curah bujan dalam n hari berturut-turut dengan periode ulang T
Tahun (mm)
I = Pemberian air irigasi (mm/hari)
ET = Evapotranspirasi (mm/hari)
P = Perkolasi (mm/hari)
S = Tampungan tambahan (mm)

33
Pada perhitungan modulus pembuangan, komponennya dapat diambil sebagai
berikut:
1. Dataran Rendah
a. Pemberian air irigasi I sama dengan nol jika irigasi di hentikan
atau
b. Pemberian air irigasi I sama dengan evapotranspirasi ET jika
irigasi diteruskan
c. Kadang-kadang pemberian air irigasi dihentikan di dalam petak
tersier, tetapi air dari jaringan irigasi utama dialirkan kedalam
jaringan pembuang
d. Tampungan tambahan disawah pada 150 mm lapisan air
maksimum, tampungan tambahan S pada akhir hari-hari
berturutan n diambil maksimum 50 mm
e. Perkolasi P sama dengan nol
2. Daerah Terjal
Seperti untuk kondisi dataran rendah tetapi dengan perkolasi P
sama dengan 3 mm/ hari. Untuk modulus pembuang rencana dipilih curah
hujan 3 hari dengan periode ulang 5 tahun. Kemudian modulus pembuang
tersebut yaitu:
D(3)
Dm =
3 .8,64
Keterangan:
Dm = Modulus pembuang (ltr/dt. Ha)
D(3) = Limpasan pembuang permukaan selama 3 hari (mm)
1 mm/ hari = 1/8,64 ltr/dt.ha
3. Daerah Kering
Pada daerah kering dengan ketersediaan air terbatas maka dapat
diterapkan budaya tanam padi dengan pola intensif atau pola kering yaitu
sistem SRI, dimana tidak dilakukan penggenangan air pada kisaran 5
sampai 15 cm. Hal ini menyebabkan petani akan membuka galengan
selama musim hujan. Oleh sebab itu akan menyebabkan drainage modul
mempunyai nilai lebih besar sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.

34
Dimensi saluran pembuang pada cara ini diduga lebih besar dari pada
dimensi saluran pembuang cara konvensional atau biasa.
(KP-03 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 75-80).
2.9.3 Kecepatan Aliran
a. Kecepatan Maksimum
Kecepatan maksimum yang diizinkan adalah kecepatan aliran
(rata-rata) maksimum yang tidak akan menyebaban erosi di permukaan
saluran. Kecepatan maksimum berkaitan dengan gerusan. Kecepatan
maksimum yang diizinkan:
1. Pasangan batu = 2 m/dt
2. Pasangan beton = 3 m/dt
b. Kecepatan Minimum
Kecepatan minimum yang diizinkan adalah kecepatan terendah
yang tidak akan menyebabkan pengendapan partikel dan tumbuhnya
tanaman air. Kecepatan minimum yang diizinkan adalah 0,61 m/dt s/d
0,91 m/dt
2.9.4 Tinggi Jagaan (Freeboard)
Tinggi jagaan digunakan agar muka air dapat naik di atas muka air maksimum dan
mencegah kerusakan tanggul di saluran. Meningginya muka air sampai diatas
tinggi yang telah direncanakan dapat disebabkan oleh penutupan pintu secara tiba-
tiba disebelah hilir, variasi ini akan bertambah dengan membesarnya debit.
Meningginya muka air dapat pula diakibatkan oleh pengaliran air buangan ke
dalam saluran. (KP-03 SDA Perencanaan Jaringan irigasi 2013: 28).
Tinggi jagaan (w) ditentukan berdasarkan persamaan sebagai berikut:
w = √(0,5 × h)
Keterangan:
w = Tinggi jagaan (m)
h = Tinggi saluran (m)
Pada umumnya semakin besar debit yang diangkut, semakin besar pula
tinggi jagaan yang harus disediakan, sebagaimana yang tertera pada tabel berikut
ini:

35
Tabel 2.9 Tinggi Jagaan untuk Saluran Tanah
Debit (m3/detik) Tanggul (m) Pasangan (m)
< 0,5 0,40 0,20
0,5 – 1,5 0,50 0,20
1,5 – 5,0 0,60 0,25
5,0 – 10,0 0,75 0,30
10,0 – 15,0 0,85 0,40
> 15,0 1,00 0,50
(Sumber: Handout Kuliah Irigasi. Suhardono, 2019)

2.10 Rencana Anggaran Biaya (RAB)


Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan banyaknya biaya yang
diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lainnya yang berhubungan
dengan pelaksaan pembangunan atau proyek tertentu. Pembangunan atau proyek
direncanakan dalam bentuk dan faedah dalam penggunaannya, beserta besar biaya
yang diperlukan dengan susunan-susunan pelaksanaan dalam bidang administrasi
maupun pelaksanaan pekerjaan dalam bidang teknik serta ditambah biaya umum
lainnya. Anggaran biaya adalah harga dari suatu perencanaan pembangunan yang
dihitung dengan teliti, cermat, dan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
(Modul 14 Perhitungan Volume, Analisa Harga Satuan Dan Rab 2017: 4)
2.10.1 Fungsi Rancangan Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya berfungsi untuk mengetahui harga bagian atau
item pekerjaan sebagai pedoman untuk mengeluarkan biaya-biaya dalam masa
pelaksanaan. Selain itu supaya bangunan yang akan didirikan dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien. Rencana anggaran biaya bertujuan sebagai pedoman
pelaksanaan pekerjaan dan alat pengontrol pelaksanaan pekerjaan.
2.10.2 Komponen Rencana Anggaran Biaya
Rencana anggaran biaya memiliki beberapa komponen dalam
perhitungannya yaitu:
1. Uraian pekejaan yang dibagi berdasarkan jenis pekerjaan. Contohnya
yaitu: pekerjaan persiapan, pekerjaan tanah, dan pekerjaan pasangan.

36
2. Volume pekerjaan yang memiliki arti satuan yang digunakan untuk
pengukuran suatu item barang atau objek. Volume pekerjaan
umumnya memiliki satuan m2, m3, unit atau buah. Volume pekerjaan
dapat diperoleh dengan cara melakukan perhitungan dari gambar
rencana yang tersedia atau kebutuhan nyata di lapangan.
3. Harga satuan pekerjaan yang didapatkan dari analisa harga satuan
dengan mempertimbangkan:
a. Bahan atau material
Harga bahan harus sesuai dengan kondisi dilapangan dan turut
memperhitungkan fluktuasi harga serta ketersediaan bahan di pasaran.
Faktor kehilangan material perlu diperhitungkan mengingat akan
berpengaruh cukup besar pada biaya.
b. Biaya peralatan
Biaya peralatan diperhitungkan tidak hanya
mempertimbangkan biaya pembelian alat atau sewa, mobilisasi atau
demobilisasi, dan biaya pengoperasian selama pekerjaan berlangsung,
tetapi memperhitungkan kapasitas produksi pula dari peralatan
tersebut.
c. Upah tenaga kerja
Penetapan biaya tenaga kerja dipengaruhi beberapa hal seperti:
kondisi tempat kerja, durasi waktu kerja, dan keterampilan tenaga
kerja.
d. Biaya lain-lain
Biaya lain-lain seperti: biaya sewa kantor, biaya perjalanan,
dokumentasi, pajak, asusransi, biaya pengujian atau pengetesan, dan
biaya lain yang diperlukan selama pekerjaan berlangsung.
4. Total upah pekerja didapatkan dari volume pekerjaan × harga satuan
pekerjaan.
5. Total material bahan bangunan.
6. Total atau jumlah harga yang didapatkan dari penjumlahan total upah
per-item pekerjaan.
2.10.3 Penyusunan Anggaran dalam Proyek

37
Rencana Anggaran Biaya pelaksanaan proyek dibuat berdasarkan rencana
anggaran penawaran yang digunakan sebagai patokan biaya penyelesaian proyek
yang harus diikuti oleh setiap unit dalam kendali. Kegiatan estimasi dalam proyek
konstruksi dilakukan dengan tujuan tertentu tergantung dari siapa atau pihak yang
membuatnya. untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya tentang biaya yang
harus disediakan untuk merealisasikan proyeknya. Sebagai penetapan harga
dalam suatu pelelangan ada dua estimasi, yaitu:
1. Estimasi perencanaan (Engineer’s Estimate atau EE)
2. Estimasi pemilik (Owner’s Estimate atau OE)
Pihak kontraktor membuat estimasi dengan tujuan untuk kegiatan penawaran
terhadap proyek konstruksi. Tahap-tahap yang dilakukan dalam meyusun
anggaran biaya yaitu:
1. Mempersiapkan gambar kerja. Gambar kerja diperlukan untuk
menentukan berbagai jenis pekerjaan, spesifikasi, dan ukuran material
bangunan.
2. Menghitung volume pekerjaan. Penghitungan ini dilakukan dengan
cara menghitung banyaknya volume pekerjaan dalam satu-satuan,
misalnya m2, m3 atau per-unit.
3. Membuat harga satuan pekerjaan yang dibagi menjadi harga upah dan
harga material. Menganalisa perhitungan dengan menggunakan analisa
yang diyakini baik oleh pembuat anggaran.
4. Melakukan perhitungan harga satuan pekerjaan dengan memanfaatkan
hasil analisis satuan pekerjaan dan daftar kuantitas pekerjaan.
5. Membuat rekapitulasi.
2.10.4 Dasar Perhitungan
Perhitungan RAB pada prinsipnya diperoleh sebagai jumlah keseluruhan
hasil kali volume tiap jenis pekerjaan yang ada dengan harga satuan masing-
masing. Volume pekerjaan dapat diperoleh, membaca, dan menghitung atau
gambar desain (bestek). Telah disinggung dimuka bahwa unsur biaya konstruksi
mencakup harga-harga bahan satuan, upah tenaga dan peralatan yang digunakan.
Menurut J. A. Mukomoko (1985) dalam bukunya “Dasar Penyusunan Anggaran

38
Bangunan”, dalam menyusun rencana anggaran biaya diperlukan data-data
sebagai berikut :

a. Gambar rencana
b. Daftar harga upah
c. Daftar harga bahan (material)
d. Daftar analisa (buku pedoman analisa)
e. Daftar jumlah (volume) tiap jenis pekerjaan
Sebelum menghitung harga satuan pekerjaan, estimator harus mampu
menguasai penggunaan analisa SNI. Analisa SNI merupakan pembaharuan dari
analisa BOW, sehingga terdapat perbedaan nilai indeks baik indeks bahan maupun
indeks tenaga kerja.
2.10.5 Harga Satuan Pekerjaan
Harga satuan pekerjaan adalah jumlah harga bahan dan upah tenaga kerja
berdasarkan perhitungan analisis. Harga bahan didapat dipasaran, dikumpulkan
dalam satu daftar yang dinamakan daftar harga satuan bahan. Upah tenaga kerja
didapatkan dilokasi, dikumpulkan, dan dicatat dalam satu daftar yang dinamakan
daftar harga satuan upah. Harga satuan bahan dan satuan upah tenaga kerja
disetiap daerah berbeda- beda. Jadi dalam menghitung dan menyusun anggaran
biaya suatu bangunan atau proyek, harus berpedoman pada harga harga satuan
bahan dan upah tenaga kerja dipasaran dan lokasi pekerjaan. Analisis harga satuan
pekerjaan terdiri dari:
1. Analisa harga satuan bahan
Analisa bahan suatu pekerjaan adalah menghitung banyaknya atau
volume masing-masing bahan, serta besarnya biaya yang dibutuhkan.
Kebutuhan bahan dapat dicari dengan rumus umum sebagai berikut:
Σ Bahan = Volume pekerjaan x Koefisien analisa bahan
2. Analisa harga satuan upah
Analisa upah suatu pekerjaan adalah menghitung banyaknya tenaga
yang diperlukan, serta besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
pekerjaan tersebut. (Rencana dan Estimate Real of Cost. Bachtiar
Ibrahim, 1993).

39
Secara umum jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk suatu
volume pekerjaan tertentu dapat dicari dengan rumus:
Σ Tenaga Kerja =Volume Pekerjaan x Koefisien analisa tenaga
kerja

3. Analisa harga satuan alat


Keluaran harga satuan dasar alat adalah Harga Satuan Dasar Alat
yang meliputi biaya pasti, biaya operasi, dan pemeliharaan dan biaya
operatornya.

40

Anda mungkin juga menyukai