Anda di halaman 1dari 11

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG QIRA’AT

A. Definisi Qira’at

Menurut bahasa, Qira’āt (‫ )قراءات‬adalah bentuk jamak dari Qira’at


(‫ )قراءة‬yang merupakan isim masdar dari Qara’a (‫)قرأ‬, yang artinya :
bacaan. Pengertian Qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini
disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh
ulama tersebut. Pengertian Qira’at menurut istilah. bagi al-Zarkasyī
merupakan perbedaan lafal-lafal Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-
hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfīf,
tasydīd dan lain-lain.1

Al-Zarqānī memberikan pengertian Qira’at sebagai: Suatu


madzhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam Qurra’ yang
berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’anal-karīm
dengan kesesuaian riwayat dan ṭuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya. Sedangkan al-
Jazarī berpendapat bahwa Qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara
pengucapan kata-kata al-Qur’andan perbedaan-perbedaannya dengan cara
mengistimbatkan kepada penukilnya.

Muhammad Ali al-Ṣabunī menjelaskan Qira’at adalah suatu aliran


di dalam melafalkan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam
Qurra’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan al-Qur’an al-

1
Mannā’ Khalīl al-Qaṭān, “Mabāhis fī Ulum Al-Quran”, diterjemahkan oleh
Mudzakir A.S. dengan judul, “Studi Ilmu-ilmu Al-Quran”, (Cet. VII; Jakarta: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2001), h. 247.

18
19

karim, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung kepada Rasulullah


saw.2

Perbedaan definisi di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang


sama, yaitu ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama
dari sumbernya yaitu Nabi Muhammad saw. Definisi tersebut
mengandung tiga unsur pokok yaitu;
1. Qira’at dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat al-Qur’an,
dimana cara membaca al-Qur’an berbeda antara satu imam dengan
imam Qira’at lainnya.
2. Cara bacaan yang dianut dalam suatu madzhab Qira’at didasarkan
atas riwayat yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw. dan
bukan atas qiyas atau ijtihad.
3. Perbedaan antara Qira’at bisa terjadi dalam pengucapan huruf-
huruf dan pengucapan dalam berbagai keadaan
Pembahasan tentang Qira’at selalu dihubungkan dengan hadits
Nabi SAW yang menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan ke dalam
sab’atu ahrūf (tujuh huruf). Tidak kurang dari dua puluh satu orang
sahabat yang meriwayatkan hal tersebut, diantaranya adalah ’Umar bin
Khaṭāb, ’Ubay bin Ka’āb, Ibnu ’Abbās, Ibnu Mas’ūd, ‘Utsmān bin ’Affān,
dan lain-lain. Salah satu diantaranya yang diriwayatkan oleh Bukhāri dan
Muslim dari Ibnu Abbās adalah : “Rasulullah bersabda: Jibril telah
membacakan al-Qur’an kepadaku satu huruf. Aku membacanya berulang-
ulang. Aku terus menerus memintanya agar ditambah, dan ia
menambahnya hingga tujuh huruf ”.3

2
Rosihan Anwar, “Ulumul Quran”, (Cet. I: Bandung : Pustaka Setia, 2000),
h.147
3
Al-Zarqānī, “Manāhil al-‘Irfān fī Ulum al-Qur’ān”, Juz. I, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1988) h. 140
20

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf


dalam ucapan Nabi saw. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud
sab’at ahrūf ialah tujuh bahasa yang berbeda, tetapi dalam makna yang
sama, seperti aqbil, ta’āl, halummā, ‘ājjil, dan asri’. Kata-kata tersebut,
walaupun berbeda, mempunyai makna yang sama, yakni panggilan untuk
segera datang. Yang menjadi permasalahan ialah ternyata bahasa Arab itu
banyak sehingga termasuk bahasa mana saja yang tujuh itu. Dalam
persoalan ini, mereka berbeda pendapat.

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahrūf


ialah bentuk kalimat yang tujuh, yakni al-amr, al-nahyi, al-wa’d , al-
wa’īd, al-jadāl, al-qaṣaṣ, dan al-amtsāl; atau al-amr, an-nahyi, al-halāl,
al-harām, al-muhkām , al-mutasyābih , dan al-amtsāl.

Pendapat ketiga yang paling populer dan disepakati oleh jumhur


ulama’ adalah pendapat Abu al-Fāḍil al-Rāzī. Menurut al-Rāzī yang
dimaksud dengan sab’at ahrūf ialah segi-segi perbedaan yang tujuh yang
meliputi perbedaan dalam bentuk singural-plural, seperti bacaan li
amānātihim (jamak) dan li amānatihim (tunggal) (Q.S. 23:8). Kemudian
perbedaan dari segi i’rāb, seperti mā hādza basyaran dengan ra’
berharakat fathah atau mā hādza basyarun dengan ra’ berharakat
dlammaḥ (Q.S. 12:31). Perbedaan tashrīf seperti rabbanā bā’id bainā
asfārinā(dalam bentuk permohonan) atau rabbunā ba’id bainā asfarinā
(bentuk kata kerja lampau) (Q.S 34:19). Juga dalam soal mendahulukan
(taqdīm) atau mengakhirkan (ta’khīr), seperti jā’at sakarāt al-haqq bi al-
maūt atau ja’at sakarāt al-maut bi al-haqq (Q.S.50:19). Selanjutnya
perbedaan dari segi al-ibdāl (penggantian), seperti nusyīzuhā atau
nansyūruhā (Q.S.2;259), atau dalam penambahan (al-ziyādah) dan
pengurangan (an-naqsh), seperti wa a’adda lahum jannāt tajrī min
21

tahtiha al-anḥār (dengan min ) dan wa a’adda lahum jannāt tajrī tahtaha
al-anḥār (tanpa min) (Q.S.9:100). Kemudian terakhir perbedaan dalam
dialek (al-lahjat), seperti soal imālah (pengucapan dalam vocal e)
(Q.S.20;9)), antara hal atāka hadītsu musā (dengan a) atau hal atēka
hadītsu musē (dengan e).

Pendapat keempat mengatakan bahwa perkataan sab’ah dalam


ucapan Nabi SAW tidak mengandung makna bilangan yang sebenarnya,
melainkan hanya simbol (rumz) untuk menunjuk pada kesempurnaan.
Adapun pendapat keenam mengatakan bahwa sab’at ahrūf ialah al-
Qirā’ah al-sab’ah (bacaan yang tujuh), yakni tujuh varian atau tujuh
aliran bacaan al-Qur’an yang berasal dari tujuh orang imam. Pendapat
tersebut berasal dari Ibnu Mujāhid (w.324 H/936 M), tokoh al-Qur’an
terkemuka abad ke-3 dengan alasan bahwa Qira’ah sab’ah itulah yang
relevan dan merealisir sab’at ahrūf dalam hadits.4

Namun jumhur ulama, menentang pendapat tersebut. Di antara


alasannya adalah :

1. Istilah Qira’ah sab’ah tidak dikenal pada masa Nabi saw. dan pada
saat para ahli al-Qur’an pertama kali menyusun karya tentang
Qira’ah. Ia muncul pada akhir abad ke-dua (dibukukan pada abad
ke-tiga) Hijriyah sedang sab’at ahruf sudah ada sejak abad
pertama Hijriyah.
2. Hadits Nabi yang mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan
tujuh huruf tidak akan ada artinya jika yang dimaksud adalah

4
Didin Syafruddin, “Ilmu al-Qur’an sebagai Sumber Pemikiran” dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ( Jakarta: PT. Ickhtiar Baru Van Hoeve, tt), iv, h. 45-
47.
22

Qira’ah sab’ah, sebab ahli-ahli Qira’ah tersebut baru lahir pada


abad kedua.5

Namun Qira’ah sab’ah versi Ibnu Mujāhid6 sudah begitu masyhur


karena disangka itulah yang dimaksud sab’at ahruf dalam hadits Nabi
saw. Padahal ada banyak pendapat tentang Qira’ah. Ibnu Jābr al-Makkī
membatasi Qira’ah kepada lima imam karena ‘Utsmān bin ‘Affān sendiri
menyebarkan mushaf terbatas ke lima wilayah.

Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Qira’ah yang memenuhi


syarat bukan tujuh, melainkan sepuluh, bahkan empat belas. Qira’at
berjumlah sepuluh karena memasukkan Ya’qūb (w. 205 H/821 M) dari
Basrah, Khalāf bin Hisyām (w. 229 H/844 M) dari Kufah, serta Abu Ja’fār
(w. 130 H/738 M) dari Madinah. Adapun empat belas karena menyertakan
Qira’ah Hasan al-Basrī (w. 110 H/729 M) dari Basrah, Ibnu Muhaisīn (w.
123 H/741 M) dari Mekkah, Yahyā bin Mubārok al-Yazidī (w. 202 H/818
M) dari Basrah, dan Abī al-Faraj Muhammad bin Ahmād al-Syanbūd (w.
388 H/998 M). Kesemua itu berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.7
5
Abdul Djalāl, “Ulumul Qur’an”, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h. 340
6
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Mūsa ibn al-‘Abbās ibn Mujāhid al-
Tamimī al-Hāfidz al-Ustādz Abu Bakar ibn Mujāhid al-Baghdādī. Dilahirkan di sebuah
daerah yang bernama Sūq al-‘Athāsī tepatnya di kota Baghdād pada tahun 245 H. Beliau
wafat pada hari Rabu tanggal 20 Sya’ban tahun 324 H. seusai melaksanakan shalat
dzuhur. Beliau merupakan salah seorang yang pertama kali memprakarsai pengumpulan
Qira’at dengan menggunakan tujuh imam. beliau memiliki banyak guru. Akan tetapi,
diantara sekian banyak gurunya, Abdur Rahman ibn Abdus merupakan salah satu guru
yang paling diakui ketsiqahan dan kedhabitannya. Abdur Rahmān ibn Abdus merupakan
salah satu murid dari Abū ‘Amr ad-Dūrī. Diantara karya Ibn Mujāhid yang paling
fenomenal dan menjadi pedoman bagi pegiat ilmu Qira’at adalah Kitab al-Sab’ah fi al-
Qira’at. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam pada
masa itu serta mulai menurunnya minat masyarakat pada pendalaman Qira’at. Oleh
karena itu, Ibnu Mujāhid berupaya untuk meningkatkan kembali minat terha
dap Qira’at di kalangan umat Islam dengan mendeklarasikan Qira’at sab’ah. Lihat
Ghāyatun Nihāyah fī Thabaqātil Qurrā’, Karya Syamsuddīn Abi al-Khaīr Muhammad
ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Āli ibn al-Jazārī al-Dimasyqī al-Syāfi’i (Libanon:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 128.
7
Didin Syafruddin, “Ilmu al-Qur’an sebagai Sumber Pemikiran” dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam ( Jakarta: PT Ickhtiar Baru Van Hoeve, tt),iv, h. 47
23

Pendapat al-Rāzī yang didukung jumhur bahwa sab’at ahruf


adalah tujuh aspek menyangkut keragaman lafadz atau kalimat dalam al-
Qur’an nampaknya lebih kuat. Sebab, sesuai dengan fakta yang terdapat
dalam ragam Qira’at serta sesuai dengan konteks hadits. Pendapat ini
juga dapat mengakomodasi seluruh versi Qira’at yang memenuhi syarat-
syarat sebagai Qira’at yang shahih. Membatasi sab’at ahruf hanya
terbatas pada tujuh versi bacaan yang diriwayatkan oleh tujuh orang imam
itu saja berarti menafikan bacaan lain yang mutawatir dan ini jelas tidak
benar.

B. Diseminasi Penyebaran Qira’at

Secara historis, ilmu Qira’at telah ada sejak zaman Rasulullah


meskipun belum dikodifikasikan secara baku seperti pada masa
setelahnya. Al-Qur’an pertama-tama turun di Mekkah yang dihuni oleh
orang-orang Quraisy. Pada periode Mekkah, Qira’at mungkin belum
begitu berkembang dan belum menjadi suatu kebutuhan karena bahasa Al-
Qur’an yang turun telah disesuaikan dengan bahasa mayoritas penduduk
Mekkah yakni Quraīsy. Hal ini lantas berbeda sejak Nabi saw. hijrah ke
Madinah dan ketika itu Islam mulai berkembang. Dalam
perkembangannya itulah, Islam mulai dipeluk dan bersentuhan dengan
berbagai bahasa dari berbagai suku selain Quraīsy. Bagi umat Islam non
Quraīsy mungkin ada beberapa kesulitan ketika melafalkan ayat Al-
Qur’an yang sangat ‘Quraīsy’. Karena itu, muncul berbagai cara
pembacaan terhadap Al-Qur’an yang kemudian disebut dengan Qira’at.

Al-Qur’an dengan beragam Qira’at nya tidak saja yang dibaca


Nabi, tetapi juga yang dibaca sahabat di hadapan Nabi dan Nabi tidak
menyalahkan. Nabi saw. memang memberikan kebebasan untuk membaca
Al-Qur’an kepada para sahabat namun harus tetap mengikuti kaidah yang
24

ditetapkan Nabi saw. Ketika Nabi saw. mendengar bacaan para sahabat
dan beliau tidak menyalahkan artinya bacaan mereka memenuhi kaidah
yang dikehendaki Nabi saw. Kebijaksanaan Nabi saw. ini karena beliau
memahami kondisi dimana pemeluk Islam saat itu tidak hanya dari
kalangan Quraisy saja. Karena itu, muncul pula hadis yang memberi izin
kepada umat Islam untuk membaca yang mudah dari Al-Qur’an.8

Diantara sahabat yang masyhur sebagai ahli Qira’at adalah ’Ubāy


bin Ka’āb (20 H), Ibn Mas’ūd (32 H), ’Utsmān bin ’Affān (35 H) Abū
al-Dardā’ ( 32 H), ’Āli bin Abī Thālib ( 40 H), Abu Mūsa al-Asy’ārī ( 44
H), Zayd bin Tsābit ( 45 H) dan lain-lain. Dari merekalah antara lain para
ahli Qira’at dari kalangan tābi’in di berbagai penjuru kota mempelajari
serta mendalami Qira’at.

Sementara itu, para ahli Qira’at di kalangan sahabat dalam


mempelajari Qira’at al-Qur’an dari Nabi, ada yang hanya mempelajari
dan mendalami satu versi Qira’at, ada yang mendalami dua versi Qira’at,
dan ada pula yang lebih dari itu.9 Pada saat yang sama, mushhaf yang
dikirim ke berbagai daerah oleh ‘Utsmān bin ’Affān juga beragam
disesuaikan dengan versi Qira’at yang dianut oleh kebanyakan penduduk
di daerah setempat.10

Para ahli Qira’at dari kalangan sahabat kemudian berpencar dan


bertempat tinggal di berbagai daerah. Oleh karena mereka masing-masing
memiliki dan menguasai versi Qira’at atau beberapa versi Qira’at yang
8
Yakni hadis dari Umar bin Khaṭāb yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhārī
‫ر منه‬ZZ‫ ان هذا القرأن انزل على سبعة احرف فاقرأوا ما تيس‬Lihat Abū ‘Abdullāh Muhammad
ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Barzibah al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārî, Juz
2, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1403 H), hlm. 181.
9
Al-Zarqani, “Manāhil al-‘Irfān fi Ulum al-Qur’ān”, Juz. I, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1988) h. 406
10
Al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī Ulum al-Qur’ān, Juz. I, (Beirut: Dār al-Fikr,
1988) h. 258
25

berbeda, maka para tābi’in yang mempelajari dan mendalami Qira’at dari
mereka, sudah barang tentu memiliki dan menguasai versi Qira’at yang
berbeda pula. Demikianlah setelah masa sahabat berlalu, para ahli Qira’at
dari kalangan tābi’in mengajarkan al-Qur’an sesuai dengan versi Qira’at
yang mereka kuasai dan mereka terima dari para sahabat.

Selanjutnya ahli-ahli Qira’at di kalangan Tabi’in juga telah


menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli Qira’at yang tinggal di
Madinah antara lain: Ibn al-Musayyāb, ‘Urwah, Sālim, ‘Umar bin Abdul
‘Azīz, Sulaimān dan ’Atā’ (keduanya putra Yasar), Mu’ādz bin Hārits
yang terkenal dengan Mu’ādz al-Qāri’, Abdurrahmān bin Hurmūz al-
A’rāj, Ibn Syihāb al-Zuhrī, Muslim bin Jundāb dan Zaid bin Aslām.
Adapun Tabi’in yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Atā’
bin Abū Rabah, Tawūs, Mujāhid, ‘Ikrimah dan Ibn Abū Mālikah.

Para Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswād,


Marūq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Sūrahbil, al-Hāris bin Qais,’Amr bin Maimūn,
Abu Abdurrahmān al-Sulāmī, Said bin Jābir, al-Nakhā’i dan al-Sya’bi.

Para Tabi’in yang tinggal di Basrah adalah Abu ‘Āliyah, Abu


Rajā’, Nasr bin ‘Āsim, Yahyā bin Ya’mar, al-Hasān, Ibn Sirīn dan
Qatādah.

Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugīrah bin


Abū Syiḥāb al-Makhzumī dan Khālid bin Sa’d. Keadaan ini terus
berlangsung sehingga muncul para imam Qira’at yang termasyhur, yang
mengkhususkan diri dalam Qira’at-Qira’at tertentu dan mengajarkan
Qira’at mereka masing-masing.11

C. Ragam dan Macam-macam Qiro’at


11
Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Cet. I: Bandung : Pustaka Setia, 2000), h.151
26

Dalam perkembangan selanjutnya, pada pertengahan kedua di


abad pertama Hijriah, dan pertengahan awal di abad kedua Hijriah,
muncul beberapa ahli Qira’at terkenal yang berupaya meneliti dan
menyeleksi berbagai versi Qira’at yang ada dan berkembang saat itu.
Dengan upaya tersebut diharapkan dibedakan mana Qira’at yang bisa
dipertanggungjawabkan serta diakui Qur’āniyyāt-nya dan mana yang
tidak. Upaya tersebut dilator belakangi antara lain, oleh suatu kondisi
dimana pada saat itu telah berkembang di kalangan muslimin Qira’at-
Qira’at yang tidak shahih akibat semakin luasnya daerah kekuasaan
Islam, serta semakin banyak pula pemeluk agama Islam dari luar kalangan
bangsa Arab.12 Saat itulah Qira’at menjadi suatu disiplin ilmu
pengetahuan, sebagaimana ilmu-ilmu syari’at yang lain.

Terkenallah di kala itu sejumlah ahli Qira’at yang secara seksama


meneliti dan menyeleksi berbagai Qira’at al-Qur’an yang ada, dan
akhirnya mereka menetapkan versi Qira’at tertentu yang menurut hasil
penelitiannya dapat dipertanggung jawabkan Qur’aniyyat-nya. Mereka
antara lain para imam Qira’at tujuh yang Qira’at mereka dikenal dengan
sebutan Qira’ah sab’ah atau Qira’at tujuh. Masing-masing versi Qira’at
dari Qira’ah sab’ah tersebut akhirnya dinisbatkan kepada para imam
Qira’at yang berjumlah tujuh orang,13 yaitu : Nāfi’,14 ‘Āṣim,15 Hamzah,16

12
Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz. I, (Beirut: Dar al-Fikr,
1988) h. 407
13
Muhammad bin ‘Alwȋ al-Mālikȋ al-Hasanȋ, “Zubdān al-itqān fī Ulum Al-
Qur’ān, dialih bahasakan oleh Rosihan Anwar dengan judul, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-
Qur’an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 47.
14
Nāfi’ bin Abdurrahmān bin Abū Nā’im berasal dari Madinah. Wafat pada
tahun 169 H. Tokoh ini belajar Qira’at pada 70 orang tabi’in.
15
Nama lengkapnya adalah Ibnu Abȋ al-Najūd al-Asadȋ. Wafat tahun 127 H.
Beliau belajar Qira’at kepada Dzār bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ūd.
16
Ibnu Habīb al-Zayyāt atau dikenal dengan Hamzah. Wafat pada tahun 188 H.
Hamzah belajar Qira’at dari Sulaimān bin Mahrām al-Amsȋ, dari Yahyā bin Watstsāb,
dari Dzār bin Hubaisy, dari ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Ali bin Abī Ṭālib dan Ibnu Ma’ūd.
27

Ibn ‘Āmir,17 Ibn Kasīr,18 Abū ‘Amr,19 dan al-Kisā’ī.20 Dengan demikian,
terkenallah kemudian apa yang disebut dengan Qira’at Nāfi’, Qira’at
‘Āṣim, Qira’at Hamzah, Qira’at Ibn ‘Āmir, Qira’at Ibn Katsīr, Qira’at
Abū ‘Amr dan Qira’at al-Kisā’ī.

Orang pertama yang menyusun ilmu Qira’at adalah Abū ‘Ubaid


al-Qāsim bin Sallām (w. 224 H). Pasca Abu ‘Ubaid beberapa ulama’
Qira’at juga telah menyusun beberapa karya tentang Qira’at namun ilmu
Qira’at ini betul-betul menjadi populer di tangan Ibnu Mujāhid ( w.324
H) lewat karya monumentalnya “Kitab al-Sab’āt fi al-Qirā’at”.21

Hasil penelitian Abū Ubaid al-Qāsim menunjukkan terdapat 30


sampai 50 Qira’at yang beredar pada saat itu. Setelah melalui penelitian
dan seleksi yang ketat, Ibnu Mujāhid kemudian berhasil memilih tujuh
orang imam dari lima kota, yakni Madinah, Mekkah, Kufah, Bashrah dan
Syam yang dinilainya telah melakukan penyaringan Qira’at yang benar-
benar ṣahih. Tujuh orang imam tersebut dinilainya paling tsiqāh, cerdas,
serta paling kuat daya ingatannya. Inilah yang kemudian disebut imam
tujuh yang bacaan hasil penelitiannya disebut Qira’at tujuh. Hasil seleksi
Ibn Mujāhid memang menimbulkan kontroversi karena dianggap bahwa ia

17
Abdullāh bin ‘Āmir bin Yazīd bin Tamīm bin Rābi’ah bin ‘Āmir al-Yahṣābȋ.
Wafat pada tahun 128 H di kota Damaskus diusianya yang ke-97 tahun. Belajar kepada
Al-Mughīrah bin Abdullāh bin ‘Umar bin al-Mughīrah al-Makhzūmȋ, al-Makhzūmȋ
belajar kepada ‘Utsmān bin ‘Affān dari Nabi Muhammad Saw.
18
Abdullāh bin Katsīr al-Dār, dari Makkah yang wafat pada tahun 120 H. ia
adalah generasi tabi’in. Qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullāh bin
Jubair.
19
Abū ‘Amar berasal dari Basrah nama lengkap beliau adalah Zabbān bin al-
A’lā bin Ammār, wafat pada tahun 154 H. ia meriwayatkan Qira’at dari Mujāhid bin
Jābr.
20
Abu al-Hasān ‘Ali bin Hamzah bin Abdullāh bin Bahmān bin Fairuz al-Kisa'I,
Wafat di Rāy pada tahun 189 H. Beliau belajar dari Imam Hamzah dan juga dari
Muhammad bin Abī Laila dan ‘Isā bin ‘Umar Al-Hamadzānȋ.
21
‘Abd al-Halīm bin Muhammad al-Hādȋ Qabah, “al-Qira’at al-Qur’aniyyah”.
(Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmȋ, 1999), h. 60-62
28

sengaja membatasinya pada tujuh untuk menyesuaikannya dengan hadits


Nabi yang mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.
Dengan membatasi pada tujuh versi Qira’at imam tujuh, Ibnu Mujāhid
dituduh menafikan Qira’at yang lain.22
Terlepas dari kontroversi seputar hasil seleksinya, yang pasti karya
imam Mujāhid telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
upaya menjaga kemurnian ayat-ayat al-Qur’an dan bisa membedakannya
antara yang shahih dan tidak shahih. Jumhur ulama’ juga telah sepakat
bahwa Qira’at tujuh versi Mujāhid adalah Qira’at yang mutawātir.

Disamping tujuh imam Qira’at tersebut, ada beberapa versi Qira’at


lain yang dipopulerkan oleh tiga orang imam Qira’at. Bersama Qira’at
tujuh imam di atas, Qira’at mereka disebut Qira’at sepuluh (Qira’at
‘asyr). Namun ke-mutawatir-an ketiga Qira’at tersebut masih
diperselisihkan. Sebagian ulama’ menilainya sebagai Qira’at yang
masyhur. Adapun Qira’at lain di luar sepuluh versi Qira’at tersebut,
dinilai oleh jumhur ulama’ sebagai Qira’at yang syādz (tidak memiliki
sanad yang shahih) sehingga tidak boleh dianggap sebagai bacaan al-
Qur’an, baik di dalam maupun di luar sholat.23

22
Syauqȋ Dhif, “Kitab al-Sab’ah fi al-Qirā’at li Ibn Mujāhid”, (Kairo: Dār al-
Ma’ārif, tt), 20-22
23
Ahmad Fathoni dan Ali Zawawi. “Kaidah qiraat tujuh”. Institut Studi Ilmu al-
Quran, 1992. h. 6-12.

Anda mungkin juga menyukai