Anda di halaman 1dari 13

DISKUSI

Pasien perempuan usia 31 tahun datang ke IGD RSUP M. Djamil Padang

pada tanggal 26 maret 2018 dengan keluhan sesak nafas meningkat sejak 1 hari

sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dirasakan tidak menciut, tidak

dipengaruhi cuaca dan makanan. Keluhan sesak nafas dirasakan sejak 1 minggu

yang lalu, dirasakan pasien ketika beraktivitas dan ada keluhan terbangun malam

hari akibat sesak yang dirasakan. Pasien juga mengeluhkan adanya sembab pada

kakinya. Sesak yang dialami pasien harus dibedakan penyebabnya, antara kardiak

atau non kardiak. Sesak yang disebabkan karena penyakit jantung khas yaitu

meningkat dengan aktivitas, serta ada riwayat terbangun malam hari akibat sesak.1

Tabel 1 Memperlihatkan perbandingan antara sesak kardiak dan non kardiak.

Gejala DOE pada pasien ini terjadi akibat congestive heart failure,

ataupun terjadi karena peyakit paru kronis. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea adalah

rasa sesak ketika tidue dan hilang ketika pasien dalam posisi berdiri atau duduk,

biasanya terjadi setelah 1-2 jam setelah tidur. Sensitivitas dan spesifisitas PND

dalam kasus gagal jantung berkisar antara 39-41% dan 80-84%. Keluhan sesak

napas yang dialami pasien lebih mengarah ke jantung.2,3


Pada pemeriksaan fisik pada jantung didapatkan iktus kordis tidak

terlihat, iktus kordis teraba 1 jari LMCS RIC VI, batas jantung atas RIC II, batas

jantung kanan LSD, batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS RIC VI dan pada

auskultasi ditemukan S1-S2 ireguler,gallop(-), dan terdengar murmur di RIC IV.

Pada pemeriksaan EKG didapatkan sinus aritmi, heart rate 130x/menit, axis

normal, P wave normal, PR interval 0,16s, QRS durasi 0,10s, ST-T change (-),

RVH (-), dan LVH (-). Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan CTR 70%,

segmen aorta normal, segmel pulmonal menonjol, pinggang jantung (-), apeks

tertanam, infiltrat (+) dan efusi pleura bilateral (+).

Atrial Fibrilasi (AF) adalah supraventrikular takiaritmia dengan

karakteristik aktvasi atrial yang tidak terkontrol dan menyebabkan kegagalan

fungsi mekanik jantung. AF biasanya berhubungan dengan penyakit struktural

jantung. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli merupakan akibat

dari atrial fibrilasi.4 Mekanisme terjadinya AF disebabkan adanya multiple sirkuit

reentran di atrium, biasanya pada beberapa pasien terjadi perubahan antara atrial

fibrilasi dan atrial flutter.

Atrial Fibrilasi berkaitan dengan beberapa gangguan pada kardiovaskuler

seperti gagal jantung, penyakit katup jantung, hipertensi, obesitas, diabetes

mellitus, ASD dan lain-lain. Pada pasien ini didapatkan penyakit katup jantung

yaitu mitral stenosis dan mitral regurgitasi.5

Pada mitral stenosis, terjadi obstruksi aliran darah dari atrium kiri ke

ventrikel kiri. Perbedaan tekanan akan timbul sehingga meningkatkan volume

sekuncup serta hipertensi atrium kiri. Pada umumnya, atrium kiri akan membesar

dan mengalami hipertrofi. Tekanan vena pulmonalis meningkat dan secara pasif
berhubungan dengan peningkatan tekanan arteri pulmonaris. Pada akhirnya akan

terjadi hipertrofi atrium kanan dan pembesaran ventrikel kanan. Hal ini dapat

menyebabkan trikuspid regurgitasi (TR).6

Gambar 1. Patofisiologi Stenosis Katup Mitral

Derajat berat ringannya MS dapat ditentukan dari gradient transmitral,

luasnya katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan

katup aorta dan kejadian opening snap. Gradien transmitral merupakan ‘hall mark’

mitral stenosis selain luanya katup mitral. Gradien dapat terjadi akibat aliran besar

darah melalui katup normal, atau aliran normal melalui katup sempit. Sebagai

akibatnya kenaikan tekanan atrium kiri akan diteruskan ke vena pulmonalis dan

seterusnya mengakibatkan kongesti paru serta keluhan sesak (exertional

dyspneu).6
Keluhan mitral stenosis (MS) dapat berupa takikardi, dispneu, takipnea

dan ortopnea, dan denyut jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal jantung,

tromboemboli serebral atau perifer dan batuk darah (hemoptisis) akibat pecahnya

vena bronkialis. Jika kontraktilitas ventrikel kanan masih baik, sehingga tekanan

arteri pulmonalis belum tinggi sekali, keluhan lebih mengarah pada akibat

bendungan atrium kiri, vena pulmonal dan interstitial paru. Jika ventrikel kanan

sudah tak mampu mengatasi tekanan tinggi pada arteri pulmonalis, keluhan

beralih ke arah bendungan vena sistemik, terutama jika sudah terjadi insufisiensi

trikuspid dengan atau tanpa fibrilasi atrium. Keluhan berkaitan dengan tingkat

aktifitas fisik, Gejala dini dapat berupa sesak nafas waktu bekerja.7

Jika stenosisnya berat, tekanan darah di dalam atrium kiri dan tekanan

darah di dalam vena paru-paru meningkat, sehingga terjadi gagal jantung, dimana

cairan tertimbun di dalam paru-paru (edema pulmoner). Jika seorang wanita

dengan stenosis katup mitral yang berat hamil, gagal jantung akan berkembang

dengan cepat. Penderita yang mengalami gagal jantung akan mudah merasakan

lelah dan sesak nafas. Pada awalnya, sesak nafas terjadi hanya sewaktu melakukan

aktivitas (exertional dyspnea), tetapi lama-lama sesak juga akan timbul dalam

keadaan istirahat. Sebagian penderita akan merasa lebih nyaman jika berbaring

dengan disangga oleh beberapa buah bantal atau duduk tegak. Warna semu

kemerahan di pipi menunjukkan bahwa seseorang menderita stenosis katup mitral.

Tekanan tinggi pada vena paru-paru dapat menyebabkan vena atau kapiler pecah

dan terjadi perdarahan ringan atau berat ke dalam paru-paru. Pembesaran atrium

kiri bisa mengakibatkan fibrilasi atrium, dimana denyut jantung menjadi cepat dan

tidak teratur.8,9,10
Pada pemeriksaan fisik untuk diagnosis stenosis katup mitral, temuan

klasiknya adalah ‘opening snap’ dan bising diastole kasar (‘diastolic rumble’)

pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit bahkan tidak

ditemukan rumble diastole dengan nada rendah, apalagi bila tidak dilakukan

dengan hati-hati. Di luar negeri kasus stenosis mitral ini jarang yang berat,

sehingga gambaran klasik tidak ditemukan, sedangkan di Indonesia kasus berat

masih banyak. Walaupun demikian pada kasus-kasus ringan harus dicurigai

stenosis mitral ini bila teraba dan terdengar S1 yang keras. S1 mengeras oleh

karena pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan

menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumble diastolik

ini dapat diraba sebagai thrill. Dengan lain perkataan katup mitral ditutup dengan

tekanan yang keras secara mendadak, pada keadaan di mana katup mengalami

kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup mitral tidak menimbulkan bunyi S1

yang keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang mengeras sebagai

petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising diastol pada mitral.11

Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastol antara

lain posisi lateral dekubitus, gerakan atau latihan ringan, menahan napas dan

menggunakan bell dengan meletakkan pada dinding dada tanpa tekanan keras.

Derajat dari bising diastol tidak


Gambar 2. Klasifikasi murmur diastolik

menggambarkan beratnya stenosis tetapi waktu atau lamanya bising dapat

menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis ringan bising halus dan pendek,

sedangkan pada yang berat holodiastol dan aksentuasi presistolik. Waktu dari A2-

OS juga dapat menggambarkan berat ringannya stenosis, bila pendek stenosis

lebih berat.9

Pemeriksaan EKG merupakan standar baku emas dari penegakan

diagnosis atrial fibrillasi. Gambaran EKG yang umumya ditemukan pada atrial

fibrilasi adalah heart rate yang tinggi, irama yang ireguler, tidak ditemukan

gelombang P yang sesungguhnya, dan durasi QRS normal (0,06-0,10 s).


Gambar 3. Atrial Fibrilasi

Pada pasien ini ditemukan gambaran EKG dengan kompleks QRS yang

sempit dan irama yang irregularly irregular, sehingga dapat disimpulkan kesan

dari EKG pasien ini adalah atrial fibrilasi.

Penatalaksanaan dari AF bertujuan untuk mengurangi simtom dan


mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Penatalaksanaan dari Atrial Fibrilasi
(AF) mengarah kepada tiga aspek penatalaksanaan aritmia, yaitu (1) mengontrol
laju ventrikel (2) assasmen terhadap kebutuhan antikoagulan untuk mencegah
tromboemboli dan (3) pertimbangan untuk terapi kontrol irama. 8 Penatalaksanaan
pertama dan kedua serta ditambah dengan terapi adekuat terhadap penyakit
jantung penyerta bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan
mengurangi sebagian simtom, tetapi untuk menghilangkan simtom sepenuhnya
diperlukan terapi kontrol irama.5

Gambar 4. Strategi Manajemen Atrial Fibrilasi


Pasien dengan AF penting untuk dilakukan pencegahan terhadap kejadian
embolisasi sistemik yang nantinya akan menyebabkan stroke, mengingat AF akan
menigkatkan risiko terbentukanya trombus pada atrium kiri yang bisa lepas ke
sirkulasi serebral dan sistemik lainnya.8 Sebelum memberikan antikoagulan, ada
beberapa hal yang perlu di pertimbangkan yaitu stratifikasi risiko stroke dan juga
risiko perdarahan. CHA2DS2-VAS score telah lama digunakan sebagai penilaian
awal terhadap penggunaan antikoagulan pada pasien AF. HAS-BLED dapat
digunakan sebagai skor untuk menilai risiko perdarahan pada pasien dengan
antikoagulan.12

Warfarin dan Vitamin K Antagonis (VKA) lainya merupakan antikoagulan


pertama yang dipilih pada pasien AF dan dinilai sangat efektif dalam mencegah
stroke. Pemberian VKA dapat menurunkan risiko terjadi stroke sebanyak 2/3 dan
mortalitas sebanyak 1/4 jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Keefektifan
penggunaan warfarin dalam pencegahan stroke dinilai dengan INR, dimana target
terapi dicapai jika nilai INR 2-3. Oleh karena itu, sebelum didapatkan dosis yang
tepat, perlu dilakukan pemeriksaan INR secara berkala yang cukup sering.5 Hal ini
merupakan salah satu kelemahan dari penggunaan VKA yaitu interval terapeutik,
membutuhkan monitoring berkala serta dosis yang tepat. VKA saat ini menjadi
satu-satu terapi dengan keamanan yang baik terhadap pasien AF dengan penyakit
katup mitral dan/atau prostesa katup jantung mekanik.12Oleh karena itu, pada
pasien diberikan antikoagulan golongan vitamin K antagonis, yaitu warfarin
sebagai pencegahan terhadap tromboemboli.
Selain pemberian antikoagulan, terapi awal yang diberikan setelah awitan
dari AF adalah mengontrol laju ventrikel. Mengontrol laju ventrikel dapat dicapai
pada keadaan akut dan jangka panjang dengan obat-obatan seperti beta-bloker,
digoxin dan CCB atau terapi kombinasi. Pada keadaan akut, beta bloker dan CCB
lebih disarankan daripada digoxin karena onset kerja yang cepat dan lebih efektif
pada keadaan simpatis yang tinggi. Beta bloker dan CCB bekerja dengan
memblok nodus AV sehingga menurunkan laju dari ventrikel. Digitalis lebih
dipilih pada pasien yang disertai dengan gangguang fungsi kontraksi ventrikel
kiri.12 Pada pasien ini diberikan digoxin sebanyak 1 x 0,125 mg sebagai kontrol
laju ventrikel.
Strategi penatalaksanaan selanjutnya adalah kontrol irama dengan tujuan
merubah irama menjadi sinus. Pendekatan kontrol irama belum menunjukkan
hasil yang lebih baik dalam penurunan mortalitas atau kejadian tromboemboli
dibandingkan dengan pendekatan kontrol laju. Oleh karena itu, kontrol irama
hanya dilakukan apabila pasien masih simtomatik, dimana gejala berupa palpitasi,
fatigue, dan intoleransi terhadap latihan dan gejala gagal jantung. Terapi kontrol
irama dapat dilakukan melalui kardioversi, farmakologi kardioversi dan ablasi.5
Selain melakukan tatalaksana terhadap aritmia, perlu juga dilakukan
penatalaksanaan pada penyakit penyerta. Pasien diketahui memiliki penyakit
katup yaitu mitral stenosis dan mitral regurgitasi. Retriksi garam atau pemberian
diuretic secara intermitten bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti vaskular
paru.8 Pada pasien diberikan drip Lasix 6 mg/jam, karena adanya bukti bendungan
vascular pada pasien berupa, ronki, efusi pleura, dan udem tungkai.
Penyakit dasar dari pasien ini ada stenosis katup mitral sehingga

komplikasi adalah hipertensi pulmonal. Pada awalnya kenaikan tekanan atau

hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri.

Dengan meningkatnya hipertensi pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan

tekanan dan volume akhir diastole, regurgitasi trikiuspid dan pulmonal sekunder,

dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik. Dapat pula

terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan

neurohumoral seperti endotelin atau perubahan anatomik yaitu remodel akibat

hipertrofi tunika media dan penebalan tunika intima.


Atrial fibrilasi merupakan salah satu komplikasi jangka panjang pada

stenosis mitral. Apabila timbul fibrilasi atrium prognosanya kurang baik

dibanding pada kelompok irama sinus, sebab komplikasi dari atrial fibrilasi yang

sering ditemukan terjadinya stroke dan trmboemboli sistemik secara bermakna

yang meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas.9

Komplikasi lain dapat berupa tromboemboli, endokarditis infektif, fibrilasi

atrial atau simptom karena kompresi akibat besarnya atrium kiri seperti disfagi

dan suara serak.9


Daftar Pustaka
1. Coccia CBI, Palkowski GH, Schweitzer B, et al. Dyspnoea:
Pathophysiology and clinical approach.
2. Mukerji V. Clinical Method: The history, physical, and laboratory
examination 3rd edition. Chapter 11 Dyspnea, Orthopnea, and Paroxysmal
Nocturnal Dyspnoea
3. Gopal M, Karnath B. Clinical Diagnosis of Heart Failure. Hospital
Physician. 2009: pp 9-15
4. AHA Pocket Guideline. Management of Patients with Atrial Fibrilation

5. Lily IR. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Edisi 3. Jakarta:


Badan Penerbit FKUI 2015. pp: 529-536
6. Custer, dkk. Hurst the Heart Edisi 13. 2011: 244-245
7. Diakses di http://www.yourarticlelibrary.com/health/approach-to-
management -of-acute-breathlessness/64574 diakses 28 Maret 2018.
8. Lilly LS. Pathophysology of heart disease. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2016.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar
IPD. Jilid II edisi ke-5. Jakarta : Internapublishing; 2009.h.1671-9.
10. Di unduh dari http://circ.ahajournals.org/, Carabello BA. Contemporary
Reviews in Cardiovascular Medicine : Modern Management of Mitral
Stenosis. Vol 112 : 432-7; 2005, pada tanggal 28 Maret 2015.
11. Hasiana LG, Eka AP, dan Ika PW. Kelainan Katup Jantung, dalam Kapita
Selekta Kedokteran Edisi IV jilid 2. 2014:774.
12. European Society of Cardiology. ESC Guideline for the management of
atrial fibrillation developed in collaboration with EACTS. European Heart
Journal (2016) 37, 2893-2962

Anda mungkin juga menyukai