Anda di halaman 1dari 5

Kelompok 4

1. Rizka Dewi Irmawati (P07124119016)


2. Octaviani (P07124119017)
3. Clarisa Diva Isdayanti (P07124119018)
4. Galih Yuliana Putri (P07124119019)
5. Riska Putri Elfariani (P07124119020)
Prodi : DIII Kebidanan Semester 3
ASUHAN KEBIDANAN NIFAS DAN MENYUSUI
MENCARI KASUS PSIKOLOGIS IBU POST PARTUM

Saya Ingin Mengakhiri Hidup Karena Post Partum Depression


Ditulis oleh: Amelia Virginia
Saya ingin berbagi cerita tentang perjalanan menuju depresi yang saya alami setelah
kelahiran anak pertama saya. Namanya Post Partum Depression.

Ada begitu banyak cerita tentang kehamilan, proses melahirkan, dan pengalaman pertama
menjadi Ibu. Namun, jarang saya temukan cerita tentang perjalanan menuju depresi setelah
kelahiran anak pertama. Bukankah, itu semacam tabu—makanya nggak pernah diceritakan?

Kehamilan pertama menjadi memori yang membahagiakan buat saya. Hal yang sama juga
saya rasakan pada saat melahirkan. Percaya atau nggak, buat saya melahirkan itu nggak
sakit. Well, sakit, sih. Tetapi, nggak sesakit yang orang-orang ceritakan, kok!
Sayangnya, begitu mengejan dan si bayi keluar, hidup saya mulai suram. Saya menyebut
masa-masa itu sebagai dark era di dalam kehidupan saya.
Semuanya Suram

Bayi saya hanya ingin didekap sambil digendong. Jika diletakkan di kasur, dia menangis. Jika
berhenti digendong, dia menangis. Hampir setiap saat, dia menangis.

Stres melanda saya. Apalagi, saya nggak pakai pengasuh. Pagi hingga sore hari, saya berdua
bersama si bayi. Menimangnya tanpa henti. Menyusuinya terus plus urusan gumoh dalam
kuantitas sering dan kualitas yang banyak.
Meskipun ada bantuan dari suami dan ibu saya setelah mereka pulang kerja, itu nggak membuat
suram dalam diri saya sirna. Saya tetap merasa suram. Nggak merasa bahagia atas
kehadiran si bayi. Nggak merasa nyaman saat menyusui bayi—bahkan saya tidak suka
menyusui!
Pernah suatu kali, Ibu dan suami saya memohon saya untuk menyusui si bayi. Saya menolak
dengan ketus. Mungkin, Anda nggak mengerti perasaan ini, pun saya. Yang saya paham
adalah saya terlalu lelah menyusui setiap saat.
Di akhir pekan, saya nggak bisa jalan-jalan. Bayi saya menolak berkendara lebih dari lima menit.
Saat masuk ke dalam mall, dia akan menangis, minta digendong dan ditimang atau
menetek. Saya merasa kehidupan saya nggak lagi berwarna. Hidup saya harus
didedikasikan untuk si bayi. Saya nggak bisa menikmati setiap momen keibuan itu.
Rasanya, saya ingin melarikan diri dari tugas keibuan.
Tuhan, boleh saya mati sebentar saja? Begitu batin saya.
Namanya Postpartum Depression

Stres melanda saya. Satu bulan, dua bulan, hingga usia si bayi satu tahun.

Setiap kali saya cerita soal ini kepada orang lain, nasihat yang saya terima selalu seputar,
istirahat, jalan-jalan, dan bersyukur. Bahkan, Ibu saya bilang bahwa saya
mendramatisir. Rasanya saya ingin teriak marah: Kalian nggak merasakan apa yang saya
rasakan!!!
Terlalu sering mendengar nasihat serupa dari teman dan keluarga, saya muak! Saya pun mulai
mencari tahu tentang kondisi yang saya alami. Ternyata, namanya adalah Post Partum
Depression (PPD). Ini bukan Baby Blues. Kondisinya lebih gawat dari baby blues karena
sudah masuk tahap depresi.
Banyak sekali faktor penyebab PPD. Selain kelelahan, kurangnya dukungan untuk ibu
menyusui, faktor hormonal juga menjadi salah satu penyebab.
Di luar negeri, awareness tentang PPD sudah mulai banyak. Sayangnya, di sini ibu yang
mengalami baby blues atau PPD hanya akan diberikan kata mutiara atau dicemooh
karena dianggap ANEH–setidaknya, itu yang saya rasakan. Padahal, kondisi PPD ini
termasuk kondisi gawat darurat karena dapat membahayakan ibu dan bayi.
PPD yang nggak ditangani dengan baik, akan menjadikan si Ibu depresi berkelanjutan,
dan membahayakan si anak karena ibu rentan melakukan kekerasan verbal atau fisik
kepada anaknya.
Pada kasus yang berbeda, Post Partum Psychosis, si Ibu bahkan mengalami halusinasi. Ini
menunjukan bahwa tubuh si ibu nggak lagi sanggup untuk menahan semua hal yang dia
alami, baik fisik dan mental.
Tanda-tanda PPD

Tanda-tanda yang dirasakan bisa berbeda tetapi, berikut tanda-tanda yang pernah saya alami:

• Hilang nafsu makan - Saya lebih memilih menghabiskan waktu bersama gadget dibandingkan
makan. Jarang sekali saya merasa lapar.
• Nggak bisa tidur - Ini yang paling sering terjadi. Selelah apapun, saya nggak bisa tidur. Saya
hanya ingin melakukan hal-hal yang menghibur diri pada saat si bayi tidur. Bahkan, di malam
hari pun saya nggak ngantuk.
• Fatigue - Lelah yang luar biasa. Rasanya, tubuh saya kehabisan energi, tetapi harus tetap
bertahan untuk si bayi. Kadang, saya ingin menyerah saja.
• Kehilangan motivasi - Nah! Ini yang membuat saya selalu murung. Saya nggak punya
motivasi lagi untuk bangun di pagi hari dan menikmati hidup.
• Menangis tanpa sebab - Emosi naik-turun. Saya sering sekali menangis tanpa tahu sebabnya.
Setelah menangis, ada sedikit perasaan lega.
• Nggak bisa berkonsentrasi dan pelupa - Ah! Saya gregetan sekali saat nggak mampu
menjawab pertanyaan dengan cepat. Saat, nggak mampu mengingat sesuatu. Saya merasa bodoh.
• Keinginan bunuh diri - Semua hal yang saya sebut di atas pada akhirnya memupuk perasaan
ingin mengakhiri hidup. Setiap hari, saya ingin mengakhiri hidup saya sebentaaaaarrrrr saja.
Dari situ, saya memutuskan untuk meminta bantuan psikolog.

Pengalaman pertama menjadi Ibu itu bisa menyebabkan kita gagal atau sukses. Tergantung, jalan
mana ylang kita pilih. Saya memilih untuk berhasil melewati ini semua.

Keberhasilan saya memberikan pengetahuan baru soal kesehatan jiwa, pentingnya kebahagiaan
dan mencintai dengan tulus.
Dan, tahukah kamu bahwa orang yang mampu mencintaimu tanpa syarat adalah ibumu dan
bayimu?

Sumber : https://mommiesdaily.com/2016/10/14/saya-ingin-mengakhiri-hidup-karena-
post-partum-depression/

IDENTIFIKASI KASUS

1. Apa yang terjadi pada kasus tersebut?


Kasus tersebut menceritakan tentang seorang ibu yang mengalami depresi post partum atau
PPD yang merasa kehidupan pasca bersalin menjadi suram dan tidak berwarna
2. Siapa agen mengalami gejala depresi post partum?
Yang mengalami gejala depresi post partum adalah Amelia Virginia, seorang ibu yang baru
mengalami kehamilan dan persalinan pertama kali
3. Dimana kasus tersebut berlangsung?
Kasus tersebut terjadi di Indonesia
4. Mengapa kasus tersebut dapat terjadi?
Kasus tersebut dapat terjadi karena ibu kurang pengetahuan tentang dampak psikologi saat
post partum, peran keluarga dan dorongan kasih sayang yang kurang cukup sehingga sang
ibu mengalami kewalahan. Sang ibu juga tidak mendapat bimbingan dan dampingan tentang
cara merawat bayi
5. Bagaimana kronologi kasus tersebut?
Kasus tersebut dimulai dari bayi yang akan menangis jika tidak didekap dan digendong ibu,
kemudian rasa tidak nyaman yang ibu rasakan saat memberikan ASI sehingga ibu sempat
menolak memberikan ASI pada bayi. Sang ibu merasa jengkel karena tidak bisa menikmati
waktu santainya seperti jalan-jalan maupun beristirahat sampai pada akhirnya ibu berniat
untuk melakukan bunuh diri.

Periode Taking In
Bidan melakukan pendekatan empatik kepada ibu. Memberi tahu bahwa pada periode ini ibu
akan merasa lebih lelah karena energi selepas persalinan sudah terkuras
Kehamilan pertama menjadi memori yang membahagiakan. Hal yang sama juga dirasakan
pada saat melahirkan. Percaya atauu tidak melahirkan itu tidak menyakitkan.
Bidan memberikan dukungan psikologi dan emosi karena pada saat ini ibu merasa lebih
sensitive
Memberi tahu ibu bahwa pada periode ini terjadi perubahan hormone yang drastic sehingga
ibu akan merasa lebih labil dan emosional
Ibu akan merasakan banyak sekali tanda-tanda ketergantungan
Taking Hold
Bidan mendampingi ibu tentang cara memberikan ASI yang benar agar ibu lebih merasa
nyaman saat menyusui bayi
Ibu memiliki rasa emosional yang naik turun serta membutuhkan motivasi terhadap orang di
sekelilingnya.
Memuji ibu atas usahanya yang sudah berusaha merawat bayi sebisa mungkin
Memberikan saran kepada ibu untuk mengikuti pola tidur sang anak
Jika bayi menangis saat tidak di gendong atau didekap dan ibu merasa lelah, maka bisa
disarankan untuk menggendong bayi sambil duduk atau bergantian menggendong dengan
suami/ibu mertua
Letting Go
Bidan melakukan pendekatan dengan suami dan keluarganya karena perhatian dari keluarga
sangat berpengaruh terhadap psikologis ibu dalam merawat bayinya. Ibu membutuhkan
perhatian dari pasangan dan juga keluarga.
Ibu mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi seperti menyusui dan mengurusi
gumoh
Ibu merasa beradaptasi terhadap kebutuhan bayi yang menyebabkan berkurangnya hak ibu
dan kebebasan social.

Kesimpulan:
Dukungan positif atas keberhasilannya menjadi orangtua dapat membantu memulihkan
kepercayaan diri terhadap kemampuannya. Dampingan dan dukungan emosional sangat
penting untuk mencapai peran ibu yang baik bagi bayi.

Anda mungkin juga menyukai