Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Praktek korupsi semakin menjamur di Indonesia. Dipandang dari semua sisi
sudah pasti bisa diketahui bahwa korupsi itu sangat dilarang dan sangat berbahaya
karena sangat merugikan rakyat, merugikan perekonomian dan keuangan Negara,
merendahkan martabat manusia dan bangsa di mata Allah maupun bangsa-bangsa lain
di dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka Islam melarang kita untuk
mendekatinya, sebagaimana tindakan preventif ketika Allah melarang kita mendekati
perbuatan zina. Korupsi (uang) yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara,
(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Disamping itu
juga ada korupsi waktu : menggunakan waktu dinas untuk urusan pribadi.
Kejahatan pengambilan kekayaan orang lain secara tidak sah untuk memperkaya
diri sendiri, digunakan terminologi sariqah (pencurian), ikhtithaf (menjambret),
khiyanah (menggelapkan), ikhtilas (mencopet), al-nahb (merampas), ghulul (korupsi)
dan al-ghasb (menggunakan sesuatu tanpa seizin pemiliknya). Dalam Alquran surat Ali
Imran (3):161 dinyatakan ayat yang artinya: "... Barang siapa yang berkhianat (korupsi)
dalam urusan harta rampasan perang maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu..."
B. Topik Bahasan Makalah
Permasalahan-permasalahan yang akan kami bahas yaitu :
1. Pengertian korupsi
2. Hukum korupsi menurut Al Qur’an
3. Hukum korupsi menurut As Sunah
4. Hukum korupsi menurut Ijtihad
C. Tujuan Penyusunan Makalah
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas tentang hukum korupsi ditinjau dari
sisi Al qur’an, As Sunnah, dan Ijtihad serta untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
a. Secara Etimologi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “corrumpere”, “corruptio” ,
“corruptus”. Kemudian diadopsi oleh beberapa bangsa di dunia. Beberapa
bangsa di dunia memiliki istilah tersendiri mengenai korupsi. Istilah “korupsi”
yang dipakai di Indonesia merupakan turunan dari bahasa Belanda yaitu
Corruptie,Korruptie.
b. Secara Terminologi
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak perdana yang
memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian
negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang
memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan
uang negara untuk kepentingannya.
Sementara itu, Syed Hussen Alatas memberi batasan bahwa korupsi
merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian
uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Korupsi dapat berupa penyuapan
(bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme.
Muhammad Zein mengemukakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar
biasa (extraordinary crime) yaitu produk sikap hidup dari sekelompok
masyarakat yang memakai uang sebagai standar kebenarandan kekuasaan
mutlak.
Menurut pendapat Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA, bahwa mengenai kejahatan
pengambilan kekayaan orang lain secara tidak sah untuk memperkaya diri
sendiri, digunakan terminologi sariqah (pencurian). Selain itu, dibahas juga
ikhtilaf (menjambret), khiyanah (menggelapkan), ikhtilas (mencopet), al-nahb
(merampas), dan al-ghasb (menggunakan tanpa seizin).
Secara hukum pengertian korupsi merupakan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi. Pengertian korupsi lebih ditekankan pada
perbuatan yang merugikan kepentingan public atau masyarakat luas untuk
keuntungan pribadi atau golongan.
Ghulul merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh Rasulullah
saw dalam hadis-hadisnya terkait dengan perilaku korupsi atau penggelapan
harta publik. Ghulul adalah isim masdar dari kata ghallaya ghullu ghallan wa
ghullun. Artinya, Akhdzu al-syai wa dassabu fi mata’hi”(mengambil sesuatu dan
menyembunyikannya dalam hartanya). Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan
ghullul dengan “ ma yu’khazu min alghanimati khafiyyatan qabla qismatika (apa
saja yang diambil dari barang rampasan perang secara sembunyi-sembunyi
sebelum pembagian). Ada juga pendapat yang hampir sama bahwa ghulul
dimaknai “akhdzu al syaiwa dassahu fi mata’ibi” (pengkhianatan dalam hal
harta rampasan perang). Semula ghulul merupakan istilah khusus bagi
penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan secara transparan.
Ada beberapa klasifikasi korupsi yaitu : kategori risywah (suap), saraqah
(pencurian), al-gasysy (penipuan), dan khiyânah (pengkhianatan). Namun,
istilah korupsi yang akan dibahas dalam makalah ini lebih ditekankan pada
saraqah (pencurian).

B. Hukum Korupsi Menurut Al Qur’an

ْ ْ ُ ‫ل ومن يغْل‬ َ
ّ ُ ‫مة ِ ث‬
‫م‬ ِ ْ ‫م ال‬
َ ‫قَيا‬ ّ َ‫ما غ‬
َ ْ‫ل ي َو‬ َ ِ‫ت ب‬
ِ ‫ل ي َأ‬ َ َ َ ّ ُ‫ي أن ي َغ‬
ّ ِ ‫ن ل ِن َب‬
َ ‫كا‬ ْ ُ ‫ن لا َ ه‬
َ َ ‫م وَ ت ْب‬ ُ َ ‫ي ُظ ْل‬
َ ‫مو‬
‫ما َو‬ َ ‫س‬ َ َ ‫ما ك‬ ّ ‫س‬ ٍ ‫ف‬ ّ ُ ‫ت ُوَّفى ك‬
ْ َ‫ل ن‬
"Barangsiapa yang berkhianat (korupsi) dalam urusan harta rampasan
perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianati
itu." (Ali Imron 161)
‫ل وَت ُد ُْلوا ْ ب َِها‬ َ ْ َ
ِ ِ ‫كم ِبال َْباط‬ُ َ ‫كم ب َي ْن‬ ُ َ ‫وال‬ َ ‫م‬ ْ ‫س ِبال ِث ْم ِ وَل َ ت َأك ُُلوا ْ أ‬ ِ ‫ل الّنا‬ ِ ‫وا‬
َ ‫م‬
ْ ‫أ‬
َ ْ
‫ن‬َ ‫مو‬ ُ َ ‫م ت َعْل‬ ْ ُ ‫ن وَأنت‬ ْ ‫م‬ّ ‫قا‬ ً ‫ري‬ِ َ‫كام ِ ل ِت َأك ُُلوا ْ ف‬ ُ ْ ‫إ َِلى ال‬
ّ ‫ح‬
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu menyuap dengan
harta itu kepada para hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu
mengetahuinya.” (Al Baqoroh 188)
Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang lain
dengan cara-cara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam pengertian aslinya
bermakna "haram", Dan keharaman ini menjadi lebih jelas, ketika Allah
menggunakan lafadh “bil itsmi” yang artinya "dosa". Dari sini, jelas mengambil
harta yang bukan miliknya termasuk diantaranya korupsi adalah haram
hukumnya, sama haramnya dengan pekerjaan berzina, membunuh dan
semacamnya.
َ َ َ ُ ‫دا َأن ي‬ َ
َ ّ ‫صل ُّبوا ْ أوْ ل ّهَإ ِن‬
‫ما‬ ْ‫قت ُّلوا ْ أو‬
َ ُ‫ي‬ َ َ‫ض ف‬
ً ‫سا‬ ِ ‫ن ِفي الْر‬ َ ْ‫سعَو‬ْ َ ‫ه وَي‬ ُ َ ‫سول‬ُ ‫وََر‬
َ َ
‫ف‬
ٍ ‫خل‬ِ ‫ن‬ ْ ‫م‬ ّ ‫جل ُُهم‬ ُ ‫وَأْر‬
‫م‬ْ ِ‫ديه‬ِ ْ ‫قط ّعَ أي‬ َ ُ ‫خَرةِ ت‬
ِ ‫ن ال ِفي ال‬ َ ‫حارُِبو‬َ ُ‫ن ي‬َ ‫ذي‬ِ ّ ‫جَزاء ال‬ َ
‫م‬
ٌ ‫ظي‬
ِ َ‫ب ع‬
ٌ ‫ذا‬ ْ ُ‫خْزيٌ ِفي الد ّن َْيا وَل َه‬
َ َ‫م ع‬ ِ ‫م‬ْ ُ‫ك ل َه‬
َ ِ ‫ض ذ َل‬ َ
ِ ‫ن الْر‬ َ ‫م‬ِ ْ ‫فوْا‬ َ ‫أ َوْ ُين‬
"Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan
membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat
kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat
mereka mendapat azab yang besar." ( al-Maidah :33)
Ayat ini dengan jelas menyebutkan balasan bagi orang yang memerangi
Alloh dan Rosul-Nya yang berarti juga mengingkari ketentuan dan perintah
Alloh dan Rosul-Nya, dimana diantara ketentuan-Nya adalah seperti yang
termaktub dalam surat al-Baqoroh [2]:188 dan surat al- Maidah [5]:33
dan "membuat kerusakan dan keonaran di muka bumi" yaitu: "dibunuh" atau
"disalib" atau "dipotong tangan dan kakinya secara bersilang" atau "dibuang
dari negerinya", semua itu adalah balasan di dunia, dan ternyata tidak berhenti
disitu, mereka di akherat akan mendapat siksa yang jauh lebih pedih lagi. Empat
balasan tersebut yang pada dasarnya untuk memberikan kejeraan kepada pelaku
korupsi ini tentunya disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan yang
dilakukan. Apabila disamping korupsi ternyata juga membunuh, maka harus
dibunuh dan jika sekedar korupsi paling tidak dipotong tangan kanannya, kalau
melakukan sekali lagi maka dipotong kaki sebelah kiri, begitu seterusnya.
Apabila dia tidak terlalu berat bobot korupsinya, cukup diasingkan.
َ
ِ‫ن الل ّه‬
َ ‫م‬ َ َ ‫سَبا ن‬
ّ ً ‫كال‬ َ َ ‫ما ك‬
َ ِ ‫جَزاء ب‬ َ ُ‫ة َفاقْط َُعوا ْ أي ْدِي َه‬
َ ‫ما‬ ُ َ‫سارِق‬ّ ‫سارِقُ َوال‬ ّ ‫َوال‬
‫م‬
ٌ ‫كي‬
ِ ‫ح‬َ ‫زيٌز‬ ُ ّ ‫َوالل‬
ِ َ‫ه ع‬
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS.
Al Maidah 5:38).
Pelaku korupsi yang nilainya minimal 93,6 gram emas hukumannya potong
tangan. Ini dianalogkan dengan pencurian, meski karakternya agak berbeda.
Korupsi dalam jumlah besar sama dengan perampokan (hirâbah). Hukumannya
minimal potong tangan kanan dan kaki kiri, maksimal hukuman mati dan salib
Solusi ini adalah yang terbaik untuk mencegah atau membersihkan korupsi,
yang apabila ini betul-betul dilaksanakan dengan konsisten, maka paling tidak
korupsi bisa dicegah. Kadang ada yang menganggap hukuman mati atau
hukuman potong tangan itu tidak manusiawi tetapi akibat pelakuan koruptor
justru sangat luar biasa dampaknya, berapa ribu kalau tidak berapa juta manusia
yang pada prinsipnya mereka dibunuh dengan cara-cara yang tidak manusiawi,
dengan diambil hak-haknya dan dipotong bagian-bagian mereka.

C. Hukum Korupsi Menurut As Sunnah

"Maka demi zat yang diri Muhammad di dalam gengamanNya, tidaklah


khianat korupsi salah seorang dari kalian atas sesuatu, kecuali dia akan datang
pada hari kiamat nanti dengan membawa di lehernya. Kalau yang dikorupsi itu
adalah unta, maka ia akan datang dengan melenguh." (Riwayat Bukhari, lihat
juga Riwayat Muslim).
“Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami
tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah
harta ghulul.(korupsi)”. (HR. Abu Daud)
Asy-Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil haramnya bagi
pekerja mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh
orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul
(korupsi).
Dalam hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan bahwa pelaku
ghulûl haram baginya surga, walaupun barang yang dikorup senilai kayu siwâk
(semacam sikat gigi).
Hadits riwayat Muslim yang artinya :
“Rasulullah berjalan melewati sebuah kumpulan, sebuah kedai yang
menjual barang makanan, kemudian Rasulullah memasukkan tangannya ke
dalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan Rasulullah menjadi basah,
kemudian beliau bertanya: "apa ini wahai pemilik makanan ", orang tersebut
menjawab: "kehujanan ya Rasulullah ", kemudian Rasulullah bersabda:.
"tidakkah sebaiknya engkau letakkan di atas tumpukan makanan ini, sehingga
orang bisa rnelihatnya, barangsiapa melakukan tipu daya dan manipulasi maka
mereka bukan termasuk golonganku". HR. Muslim.
Kedua hadits diatas mengindikasikan, bahwa orang yang memanipulasi dan
mengambil hak orang lain, bukan saja berdosa, tetapi lebih dari itu ternyata
dianggap keluar dari komunitas muslim (kafir). .
Rasulullah bersabda: "Janganlah melakukan ghulul, karena sesungguhnya
ghulul adalah api bagi pelakunya di dunia dan di akherat". HR. Ahmad.
"Ghulul" dalam hadits tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi
adalah "khiyanat dalam harta", yang berarti tidak amanat didalam mengemban
tanggungjawab, dan ini identik dengan korupsi. Dan Rosululloh SAW
menjelaskan bahwa orang yang melakukan ghulul walaupun hanya sekedar
mantel dianggap keluar dari koridor iman, tidak berhak masuk sorga justru akan
disiksa di neraka.
Hadits-hadits tersebut di atas dengan jelas dan gamblang menunjukkan
bahwa pelaku korupsi itu bisa mengakibatkan dianggap keluar dari agama, pada
saat yang sama bisa mengantarkan ke dalam neraka. Sementara itu, hadits yang
terakhir menunjukkan bahwa pelakunya itu akan mendapatkan siksaan tidak
hanya di dunia tapi juga di akhirat.

D. Hukum Korupsi Menurut Ijtihad

Ibnu Hajar al-Haytami mengatakan bahwa korupsi itu termasuk dosa besar (min
al-kaba'ir).
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengkategorikan
bahwa jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi
dari tempatnya maka itu dikategorikan sebagai pencurian, jika ia mengambilnya secara
paksa dan terang-terangan, maka dinamakan merampok (muhârabah), jika ia mengambil
tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilâs), dan jika ia mengambil sesuatu yang
dipercayakan padanya, dinamakan khiyânah. Agar memudahkan pembahasan kita
dalam tulisan ini, penulis akan mensistematikakan pembahasan dengan
mengklasifikasikan korupsi dalam kategori risywah (suap), saraqah (pencurian), al-
gasysy (penipuan), dan khiyânah (pengkhianatan).
Imam al-Nawawi dalam kitab Mugnî, menetapkan keharaman risywah, fatwa
yang sama juga diutarakan oleh Ibn Ziyâd. Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidîn, Ibn
Ziyâd menfatwakan bahwa risywah hukumnya haram secara mutlak, baik ia bertujuan
untuk menghasilkan keputusan hukum dengan tidak benar atau menghukum dengan
benar. Pada kasus ini si penyuap mengetahui jika tidak diberikan risywah hakim akan
menghukum dengan tidak benar. Tetapi urutan dosa pada masalah yang kedua
(memberi risywah untuk mendapat putusan hukum yang benar) lebih ringan daripada
dosa pada kasus pertama. Ibn Ziyâd mengutip salah satu sabda Rasulullah;
Artinya: Rasulullah melaknat orang yang menyuap, memberi suap dan perantara
antara keduanya (H.R. at-Tirmidzi)
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah dipotong tangan
keduanya, sebagai balasan bagi pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari
perkejaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah, Allah Maha Perkasa lagi Maha
bijaksana. (Q.S. al-Maidah: 38)
Para ulama menetapkan kewajiban bagi penguasa untuk memotong tangan
pencuri setelah adanya pengaduan dari pemilik harta dan terbukti kasusnya. Yang
dipotong adalah pergelangan tangan kanan si pencuri -baik lelaki atau perempuan yang
mencuri dengan kadar seperempat dinar. Jumlah ini dijadikan standar terhadap benda
lain yang dicurinya, artinya setiap pencurian yang telah sampai kadar seperempat dinar
dikenakan hukum potong tangan. Syarat lainnya adalah, benda yang dicuri berada pada
tempat penyimpanan yang semestinya. Jika kita memperhatikan pendapat para ulama,
mereka sepakat dengan hukuman potong tangan, hanya saja mereka berbeda dalam
menetapkan kadar jumlah nisab yang menjadi ukuran untuk potong tangan.
Imam Asy-Syafi`i pernah ditanyai tentang kasus seseorang yang mengambil
harta pampasan perang (ghanîmah) sebelum dibagikan. Asy-Syâfi`i menjawab, bahwa
orang tersebut tidak dipotong tangannya, tetapi harga barang itu (al-Qimah) menjadi
hutang baginya jika barangnya telah dihabiskan atau rusak sebelum dikembalikan. Jika
orang yang mengambil itu jâhil (tidak tahu keharamannya), maka harus diberitahukan
dan tidak boleh disiksa, kecuali dan baru disiksa jika ia mengulangi kembali
perbuatannya. Imam Syafi’i, Abu Yusuf, Malik, dan Ahmad juga berpendapat pelaku
korupsi harus dijatuhi hukuman dan ganti rugi (mengembalikan uang yang dikorup).
Mengenai hukuman bagi pelaku al-Ghulûl (berkhianat dengan mengambil harta
ghanîmah sebelum dibagikan), Imam asy-Syâfi’î pernah ditanyai, apakah ia disuruh
turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta
bendanya. asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada hartanya,
tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan al-Hudûd pada badan,
demikian pula al-`Uqûbât, adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.
Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah penjara,
pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata
atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat
puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh
menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan
orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup). Prinsipnya hukuman bagi
pelaku korupsi adalah ta’zîr (hukuman setimpal dan menjerakan menurut ijtihâd
hakim.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya. Korupsi menghambat
pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan
menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
Korupsi sama dengan mencuri yaitu mencuri uang rakat, oleh karena itu
hukumannya sama denganorang yang mencuri yaitu dipotong tangannya.
Hukum korupsi yang terdapat dalam Al Qur’an adalah haram dan hukuman bagi
pelakunya adalah dipotong tangan dan kakinya, disalib, dibuang dari negrinya, dan akan
mendapat siksa di akhirat nanti. Semua hukuman itu disesuaikan dengan jumlah yang
dikorupsi.
Hukum korupsi yang terdapatdalam As Sunnah adalah haram dan hukuman bagi
pelakunya adalah dianggap kafir dan keluar dari agama islam, serta akan disiksa di
dunia dan di akhirat.
Hukum korupsi menurut pendapat para ulama adalah haram. Dan hukuman bagi
para pelakunya yaitu penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar,
dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan
hukuman cambuk di bawah empat puluh kali.
REFERENSI

Al Qur’an dan Terjemahnya


http://cicak.or.id/baca/2009/11/10/korupsi-menurut-islam.html

http://www.scribd.com/doc/17090379/Sanksi-Hukum-Korupsi-dalam-Islam-Dr-Afifi

http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg24504.html

http://pesantrenalmuhajir.wordpress.com/2009/01/21/menangkal-korupsi-menurut-
perspektif-al-quran/

http://pakarbisnisonline.blogspot.com/2009/12/pengertian-korupsi-dan-dampak-
negatif.html

http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/08/pengertian-korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai