Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mi merupakan salah satu produk makanan yang sangat dikenal di berbagai
belahan dunia. Di Indonesia saat ini mi telah menjadi salah satu pangan alternatif
utama setelah nasi. Menurut data World Instan Noodles Association (WINA),
penjualan mi instan di Indonesia pada 2013 mencapai 14,9 miliar bungkus. Pada
umumnya bahan baku utama dalam pembuatan berbagai produk mi adalah tepung
terigu. Hal ini menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap tepung terigu sangat
tinggi, padahal Indonesia bukan negara penghasil terigu, sehingga menyebabkan
impor terigu terus meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik impor
terigu pada tahun 2018 telah mencapai 4,59 juta ton (BPS, 2018). Salah satu cara
untuk mengurangi ketergantungan terhadap terigu yaitu dengan mensubstitusi
tepung terigu menggunakan bahan pangan lokal yang kaya karbohidrat. Indonesia
memiliki potensi pangan lokal sumber karbohidrat yang belum dimanfaatkan
secara optimal salah satunya yaitu sukun (Artocarpus altilis). Buah sukun
mengandung karbohidrat cukup tinggi, yaitu 28,2 g tiap 100 g buah yang sudah
tua dan apabila ditepungkan kandungan karbohidratnya meningkat menjadi 78,9
% (FAO, 1972), sehingga buah sukun sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai alternatif bahan baku untuk substitusi tepung terigu pada pembuatan
berbagai jenis mi, diantaranya mi kering.
Tingginya konsumsi tepung terigu juga memberikan dampak yang kurang
baik bagi kesehatan, terutama pada penderita diabetes melittus dan anak autis
karena tepung terigu mengandung gluten yang tidak dapat dicerna dengan baik
oleh penderita diabetes melittus dan penyandang autis. Penyandang autis
mempunyai masalah dalam proses mencerna atau memecah protein gluten. Gluten
dan kasein tidak diperbolehkan terlalu banyak dikonsumsi oleh penyandang autis
karena dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas usus (leaky gut), sehingga
memungkinkan peptide dari kasein dan gluten yang tidak tercerna keluar dari
dinding usus dan masuk ke aliran darah (Ramadayanti, 2012). Penderita diabetes
melitus yang terlalu banyak mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung

1
2

gluten dapat mengakibatkan indeks glikemiknya meningkat sehingga dapat


menaikkan gula darah dalam tubuh.
Tepung terigu memiliki Indeks Glikemik (IG) yang cukup tinggi yaitu
sebesar 96 (Widoyoko, 2010). Semakin tinggi Indeks Glikemik maka semakin
cepat dampaknya terhadap kenaikan gula darah. Sukun mempunyai Indeks
Glikemik yang lebih rendah dari terigu yaitu sekitar 59 (Widoyoko, 2010). Hal ini
menunjukkan tepung sukun aman untuk dikonsumsi. Selain itu, tepung sukun
memiliki kandungan vitamin dan mineral yang lebih tinggi dibandingkan tepung
terigu, sehingga tepung sukun layak digunakan sebagai bahan subtitusi tepung
terigu untuk meningkatkan nilai gizi suatu produk. Tepung sukun pada 100 g
mengandung kadar air antara 2-6%, protein 3,6 g, lemak 0,8 g, dan karbohidrat
78,9 g, vitamin B2 0,17 mg, vitamin B1 0,34 mg, vitamin C 47,6 mg, kalsium
58,8 mg, fosfor 165,2 mg dan zat besi 1,1 mg (Shabella, 2012).
Sukun adalah buah yang berasal dari New Guinea, Pasifik yang menyebar
ke Indonesia melalui Malaysia. Pohon ini dapat tumbuh mencapai sepuluh meter
dan dapat hidup di berbagai tempat mulai daerah pinggiran pantai sampai daerah
dengan ketinggian enam ratus meter diatas permukaan laut dan mulai dari daerah
dengan curah hujan rendah sampai tinggi, pohon ini dapat tumbuh maksimal bila
terkena cukup paparan sinar matahari sehingga pohon ini cocok dikembangkan di
Indonesia. Buah pohon sukun berbentuk bulat seperti melon. Buah ini
mengandung berbagai vitamin dan mineral serta kalori yang cukup sehingga dapat
digunakan sebagai makanan pokok.
Daun katuk (Sauropus Androgynus–(L) Merr) digunakan sebagai pewarna
alami yang dapat memberi warna hijau tanpa menimbulkan residu. Daun tanaman
katuk merupakan daun tunggal, karena hanya merupakan helaian dan tangkai daun
saja, mudah didapat dan sudah digunakan berbagai bahan makanan antara lain
pewarna hijau pada ketan dan lain-lain. Pemanfaatannya dengan diekstraksi atau
ditumbuk dengan menambahkan air, kemudian filtratnya digunakan untuk
pewarna hijau pangan.
3

1.2. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji pengaruh penambahan tepung sukun dan pewarna alami pada
pembuatan mi kering terhadap uji organoleptik, analisa fisik dan analisa
kimia mi kering.
2. Menentukan formulasi terbaik antara tepung sukun dan tepung terigu dalam
pembuatan mi kering.
3. Membandingkan kadar air antara mi kering dengan mi basah.

1.3. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengembangkan inovasi mi kering yang lebih sehat sehingga diminati
di kalangan pasar.
2. Dapat memberikan wawasan dan informasi bagi mahasiswa Teknik Kimia
Politeknik Negeri Sriwijaya dan masyarakat umum tentang pemanfaatan
tepung sukun dan umtuk pembuatan mi kering

1.4. Perumusan Masalah


Pembuatan mi kering dengan penambahan tepung sukun dapat mengurangi
ketergantungan terhadap terigu, namun tepung sukun memiliki tingkat kekenyalan
yang berbeda dari tepung terigu dan sifat dari tepung sukun berbeda dengan
tepung terigu, untuk pengujian komposisi dapat dilakukan guna mengetahui
formulasi terbaik dari mi kering.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sukun
Buah sukun (Artocarpus altilis) merupakan bahan pangan alternatif yang
saat ini sedang dikembangkan. Tanaman sukun mudah pertumbuhannya, tahan
terhadap penyakit dan dapat hidup sampai 75 tahun atau lebih panjang, sehingga
mampu berproduksi secara terus menerus sampai puluhan tahun. Produktivitasnya
cukup tinggi, dalam satu pohon dapat menghasilkan buah sukun 300 – 500
buah/tahun dalam dua kali panen (Koswara, 2006). Prediksi hasil panen sukun
dari bibit sukun yang dibagikan oleh Departemen Kehutanan mulai tahun 2010
hingga 2014 (dengan asumsi pohon sukun berbuah setelah 5 tahun) adalah
22.483.574 ton buah sukun atau setara dengan 5.620.893 ton tepung sukun
(dengan asumsi produksi tepung sukun setara dengan 25 % dari berat panen)
(Ditjen RLPS, 2009). Potensi sukun yang sangat besar tersebut dapat digunakan
sebagai sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku
lokal.

Buah sukun berbentuk hampir bulat atau bulat panjang. Warna kulit buah
hijau muda sampai kuning kecoklatan. Ketebalan kulit berkisar antara 1-2 mm.
Sukun muda memiliki permukaan kulit kasar, bertekstur keras dan rasa agak
manis, namun saat tua akan menjadi halus, bertekstur lunak-masir, rasa manis dan
beraroma khas. Menurut Achmad (1999), pada kulit buah sukun terdapat segmen-
segmen petak berbentuk poligonal yang dapat menentukan tahap kematangan
buah sukun. Daging buah berwarna putih, putih kekuningan dan kuning,
tergantung jenisnya. Ukuran berat buah dapat mencapai 4 kg (Widowati, 2003).
Panen buah umumnya dilakukan ketika buah sukun sudah mencapai warna hijau
kecoklatan dan daging buah masih putih.

Buah sukun mempunyai komposisi gizi yang relatif tinggi. Kandungan zat
gizi pada buah sukun tergantung dari umur buah sukun atau tingkat kematangan
buah sukun. Kandungan gizi buah sukun muda berbeda dengan kandungan gizi
buah sukun yang sudah masak. Sukun memiliki tekstur berserat halus, rasa yang

4
5

agak manis dan memiliki aroma yang spesifik (Pijoto, 1992). Kandungan gizi
buah sukun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Sukun


Unsur Gizi Kadar/ 100 gr Bahan
Energin (Kal) 108,00
Protein (gr) 1,30
Lemak (gr) 0,30
Karbohidrat (gr) 28,20
Serat -
Abu (gr) 0,90
Kalsium (mg) 21,00
Fosfor (mg) 59,00
Besi (mg) 0,40
Vitamin B1 (mg) 0,12
Vitamin B2 (mg) 0,06
Vitamin C (mg) 17,00
Air (%) 69,30
Sumber: Suprapti (2007)

Buah sukun memiliki daging buah yang tebal, rasa yang manis dan
kandungan air yang tinggi (69,3 %), sehingga tidak tahan lama untuk disimpan.
Sekitar 7 hari setelah dipetik, buah menjadi matang dan selanjutnya akan menjadi
rusak karena proses kimiawi. Meskipun buah sukun segar dapat langsung
dimanfaatkan, tetapi supaya dapat disimpan dan digunakan dalam waktu yang
cukup lama buah sukun perlu diproses terlebih dahulu menjadi gaplek sukun,
tepung sukun atau berbagai masakan sukun (Pijoto, 1992).

2.2 Tepung Sukun


Bila dibandingkan dengan beras, sukun memiliki kandungan vitamin dan
mineral yang lebih lengkap (Widowati, 2003), sehingga sangat potensial
dimanfaatkan sebagai pengganti beras. Salah satu bentuk diversifikasi sukun
adalah tepung sukun. Tepung sukun sangat berpotensi untuk dikembangkan
menjadi produk pangan. Tepung sukun merupakan salah satu cara alternatif untuk
memperpanjang masa simpan buah sukun. Dalam tepung sukun, masih terbawa
ampas daging buahnya, sehingga tingkat kehalusan yang dicapai adalah 80 mesh
(Widowati, 2003).
6

Pada umumnya, tepung sukun memiliki cita rasa yang khas dari buah sukun
itu sendiri dan kondisi bentuk keadaan tepung yang lebih baik dibandingkan
tepung tapioka dari segi rasa dan aroma wangi sukun, sehingga tepung sukun
akan dapat menghasilkan aneka produk olahan yang lebih enak. Beberapa jenis
makanan yang dapat dibuat dari tepung sukun antara lain cake, roti, donat,
pudding, kroket, risoles, getuk, klepon, apem, kue lapis, pastel, mi dll (Suprapti,
2007). Selain untuk membuat kue, tepung sukun juga dapat digunakan sebagai
pengganti tepung terigu atau tepung tapioka dengan rasa yang khas. Keunggulan
buah sukun dibuat tepung adalah dapat meningkatkan daya simpan, memudahkan
pengolahan selanjutnya, meningkatkan nilai tambah buah sukun (Budijanto,
2009). Selain itu, kandungan dari tepung sukun tidak kalah dengan tepung terigu.
Adapun perbandingan antara tepung sukun dan tepung terigu dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kandungan Tepung Sukun dan Tepung Terigu (100 gr/bahan)
Unsur Gizi Tepung Sukun Tepung Terigu
Energi (Kal) 302,00 365,00
Protein (gr) 3,60 8,90
Lemak (gr) 0,80 1,30
Karbohidrat (gr) 78,90 77,30
Kalsium (mg) 58,90 16,00
Fosfor (mg) 165,20 1,20
Besi (mg) 1,10 0,12
Vitamin B1 (mg) 0,34 -
Vitamin B2 (mg) 47,60 -
Vitamin C (mg) 0,12 -
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010)

Berdasarkan kandungan gizinya, tepung sukun mempunyai potensi yang


baik untuk dikembangkan sebagai salah satu makanan pokok pendamping
tepung terigu karena mengandung 78,9 % karbohidrat, 3,6 % protein dan 0,8 %
lemak. Berdasarkan Tabel 3, bila dibandingkan dengan tepung ubi kayu, tepung
ubi jalar dan tepung pisang, kandungan protein tepung sukun masih lebih tinggi
(Widowati, 2001).
7

Tabel 3. Komposisi Kimia Aneka Tepung Umbi-umbian

Kadar (%)
Jenis Tepung
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Pisang 10,11 2,66 3,05 0,28 84,01

Sukun 9,09 2,83 3,64 0,41 84,03

Ubikayu 7,80 2,22 1,60 0,51 87,87

Ubijalar 7,80 2,16 2,16 0,83 86,95

Sumber: Widowati, et.al., (2001)

Kendala dalam pembuatan tepung sukun adalah terjadinya warna coklat saat
diproses menjadi tepung, sehingga untuk menghindari adanya pencoklatan,
usahakan sesedikit mungkin terjadinya kontak antara bahan dengan udara yaitu
dengan cara merendam buah sukun yang telah dikupas di dalam air bersih atau
larutan garam 1% dan atau menonaktifkan enzim dengan cara dikukus. Lama
pengukusan tergantung sedikit banyaknya bahan, berkisar antara 10-20 menit.
Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang
dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berrwarna putih
kecoklatan. Semakin tua buahnya, semakin putih warna tepung yang dihasilkan.
Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang
dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati, 2003).

Proses pembuatan tepung sukun diawali dengan pemilihan buah sukun yang
tepat matang, dikupas kulitnya, dihilangkan bagian empelurnya, kemudian
diperkecil ukurannya dengan cara pembelahan buah dan selanjutnya diiris dengan
ketebalan ±0,5 cm dan dikeringkan pada suhu 55-60 oC selama 5-6 jam, atau
dijemur selama 1-2 hari (Widowati, 2003).
8

Buah sukun tua

Pengupasan Kulit dan hati

Air bersih Pencucian

Perendaman dalam air (30-60 menit)

Pengukusan (10-20 menit)

Penyawutan

Pengovenan (5-6 jam, 55-60oC)

Gaple
k

Penggilingan

Tepung sukun

Gambar.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Sukun

2.3 Tepung Terigu


Tepung terigu merupakan tepung yang berasal dari bulir gandum. Tepung
terigu umumnya digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mi dan roti. Kadar
protein tepung terigu berkisar antara 8 – 14%. Dalam pembuatan mi, kadar
protein tepung terigu yang digunakan berkisar antara 11 – 14,5% atau tepung
terigu berprotein tinggi (Gomez, 2007 dalam Lubis, 2013). Gandum yang telah
Diolah menjadi tepung terigu menurut (Rustandi, 2011) dapat digolongkan
9

menjadi 3 tingkatan yang dibedakan berdasarkan kandungan protein yang


dimiliki, yakni :

a. Hard flour (kandungan protein 12% – 14%)


Tepung ini mudah dicampur dan difermentasikan, memiliki daya serap air
tinggi, elastis, serta mudah digiling. Jenis tepung ini cocok untuk membuat roti,
mi, dan pasta.
b. Medium flour (kandungan protein 10,5% – 11,5%)
Tepung ini cocok untuk membuat adonan dengan tingkat fermentasi sedang,
seperti donat, bakso, cake, dan muffin.
c. Soft flour (kandungan protein 8% – 9%)
Tepung ini memiliki daya serap rendah, sukar diuleni, dan daya
pengembangan rendah. Tepung ini cocok untuk membuat kue kering, biskuit,
pastel.

Kandungan protein utama di dalam tepung terigu yang berperan dalam


pembuatan mi adalah gluten. Banyak sedikitnya gluten yang didapat bergantung
pada berapa banyak jumlah protein dalam tepung itu sendiri, makin tinggi
proteinnya maka makin banyak jumlah gluten yang didapat, begitu juga
sebaliknya. Banyaknya kandungan gluten akan berdampak pada keelastisan dan
daya tahan terhadap penarikan dalam proses produksi mi. Mi tanpa suplementasi
tepung konjac memiliki kelentingan atau keelastisan sebesar 72,24 ±17,98 %
lebih tinggi dibandingkan dengan mi yang disuplementasi tepung konjac
sebanyak 15% dengan kelentingan atau keelastisan sebesar 20,84 ±7,24%
(Prasetio, 2006). Tepung konjac adalah tepung yang dibuat dari umbi konjac.
Umbi konjac merupakan salah satu bahan pangan lokal yang dapat digunakan
sebagai pengenyal mi dan meningkatkan kadar serat larut dalam produk mi basah.
Kompinen utama yang terkandung di dalam tepung terigu seperti protein, lemak,
kalsium, fosfor, besi dan vitamin A cukup tinggi. Banyaknya kandungan
komponen utama dapat di lihat pada Tabel 4. Komposisi kimia tepung terigu
10

dalam 100 gram bahan sebagai berikut :

Tabel 4. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 gram Bahan

Komponen Jumlah
Kalori (kal) 332
Protein (g) 9,61
Lemak (g) 1,95
Karbohidrat (g) 74,48
Kalsium (mg) 33
Fosfor (mg) 323
Besi (mg) 3,71
Vitamin A (IU) 9
Vitamin C (mg) 0,0
Air (g) 12,42
Sumber : USDA,2014

Komponen Jumlah Kalori (kal) 332 Protein (g) 9,61 Lemak (g) 1,95
Karbohidrat (g) 74,48 Kalsium (mg) 33 Fosfor (mg) 323 Besi (mg) 3,71 Vitamin
A (IU) 9 Vitamin C (mg) 0,0 Air (g) 12,42 Sumber : USDA, 2014 Syarat mutu
tepung terigu yang telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia sebagai
bahan makanan yang membantu pemerintah dalam mewujudkan peningkatan gizi
masyarakat dengan fortivikasi zat besi, zeng, vitamin B1, vitamin B2 dan asam
folat adalah sebagai berikut :
11

Tabel 5. Syarat Mutu Tepung Gandum sebagai Bahan Pangan


No Jenis uji Satuan Persyaratan
.
1 Keadaan - -
a. Bentuk - Serbuk
b. Bau - Normal (bebas dari
bau asing)
c. Warna - Putih khas terigu
2 Benda asing Tidak boleh ada
3 Serangga dan semua bentuk Tidak boleh ada
stadia dan potongan-potongan
yang tampak
4 Kehalusan lolos ayakan 212 % Min. 95
(mesh No.70) (b/b)
5 Kadar air % Maks. 14,5
6 Kadar abu % Maks. 0,70
7 Protein % Min. 7,0
8 Keasaman Mg KOH/100g Maks. 50
9 Falling number (atas dasar Detik Min. 300
kadar air 14 %)
10 Besi (Fe) mg/kg Min. 50
11 Zeng (Zn) mg/kg Min. 30
12 Vitamin B1 (Thiamin) mg/kg Min. 2,5
13 Vitamin B2 (Riboflavin) mg/kg Min. 4
14 Asam folat mg/kg Min. 2
15 Cemaran logam - -
a. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0
b. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05
c. Cadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,1

16 Cemaran arsen mg/kg Maks. 0,50


17 Cemaran Mikroba - -
a. Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1x106
b. Escherichia coli APM/g Maks. 10
c. Kapang Koloni/g Maks. 1x104
d. Basillus cereus Koloni/g Maks. 1x104

Sumber : SNI 3751:2009


12

2.4 Telur

Telur merupakan bahan pangan yang sempurna karena mengandung zat-zat


gizi yang lengkap bagi pertumbuhan mahluk hidup baru. Protein telur mempunyai
mutu yang tinggi karena memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap,
sehingga dijadikan patokan untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan
yang lain. Sebutir telur terdiri atas kulit telur, lapisan kulit telur (kutikula),
membran kulit telur, putih telur (albumen), kuning telur (yolk), bakal anak ayam
(germ spot) dan kantung udara. Telur terdiri dari tiga komponen utama, yaitu
bagian kulit telur 8 - 11 persen, putih telur (albumen) 57 - 65 persen dan kuning
telur 27 - 32 persen (Koswara, 2009).

Putih telur atau albumen merupakan bagian telur yang berbentuk seperti gel,
mengandung air dan terdiri atas empat fraksi yang berbeda-beda kekentalannya.
Bagian putih telur yang terletak dekat kuning telur lebih kental dan membentuk
lapisan yang disebut kalaza (kalazaferous). Lapisan kalazaferous merupakan
lapisan tipis tapi kuat yang mengelilingi kuning telur dan membentuk cabang
kearah dua sisi yang berlawanan membentuk kalaza. Kalaza ini berbentuk seperti
tali yang bergulung dan yang satu menjulur ke arah ujung tumpul, dan yang lain
kearah ujung lancip dari telur. Dengan adanya kalaza ini, kuning telur pada telur
segar akan berada ditengah-tengah telur. Bila diamati lebih jauh, kuning telur
ternyata terdiri atas lapisan-lapisan gelap dan terang yang berselang-seling
(Koswara, 2009).

Telur merupakan bahan tambahan yang sangat penting dalam pembuatan


mi. Penggunaan telur pada mi bertujuan untuk menambah elastisitas mi,
mempercepat hidrasi air dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak
mudah putus (Astawan, 2001). Menurut Koswara (2009), putih telur akan
menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mi. Lapisan
tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan
kekeruhan saus mi sewaktu pemasakan. Sedangkan pada kuning telur
13

mengandung lesitin yang bersifat sebagai pengemulsi, dapat mempercepat hidrasi


air pada terigu dan bersifat mengembangkan adonan. Selain itu, kuning telur juga
berfungsi sebagai pemberi warna pada mi dan membuat mi terasa lebih gurih
(Wahyudi, 2003).

2.5 Garam
Dalam pembuatan mi, penambahan garam dapur berfungsi memberi rasa,
memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi serta untuk
mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktifitas enzim protease
dan amilase, sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara
berlebihan (Astawan, 2006).

2.6 Soda abu (Natrium karbonat dan kalium karbonat)


Soda abu merupakan campuran dari natrium karbonat dan kalium karbonat
(perbandingan 1:1). Berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten,
meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, meningkatkan kehalusan tekstur dan
meningkatkan sifat kenyal (Astawan 2006).

2.7 Air
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan
mengembang), melarutkan garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang
digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna,
tidak berbau, dan tidak berasa. Jumlah air yang ditambahkan pada umunya sekitar
28-38% dari campuran bahan yang digunakan. Jika lebih dari 38%, adonan akan
menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28% adonan akan menjadi rapuh,
sehingga sulit dicetak (Astawan, 2006). Air berfungsi sebagai media reaksi antara
gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten.
Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang digunakan
sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9, hal ini disebabkan absorpsi air makin
meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang diserap, mi menjadi tidak
mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik. Tahap
pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dengan air berlangsung secara merata
dan menarik serat-serat gluten. Untuk mendapatkan adonan yang baik harus
14

diperhatikan jumlah penambahan air (28 – 38 %), waktu pengadukan (15 – 25


menit), dan suhu adonan (24 – 40C).

2.8 Minyak Goreng

Minyak goreng pada proses pembuataan mi digunakan sebagai media


penghantar panas. Disamping itu penambahan minyak goreng yang memiliki
kandungan  lemak juga berfungsi untuk menambah kolestrol serta memperbaiki
takstur dan cita rasa dari bahan pangan. Lemak hewani mengandung banyak setrol
yang disebut kolestrol, sedangkan lemak hewani mengandung banyak fitosterol
dan mengandung banyak asam lemak tak jenuh sehingga umumya berbentuk cair.
Adanya pigmen menyebabkan minyak berwarna. Warna minyak tergantung dari
warna pigmenya. Adanya karotenoid menyebabkan warna kuning kemerahan.
Karotenoid sangat larut dalam minyak dan merupakan hidro karbon dengan
banyak ikatan tidak jenuh. Bila minyak dihidrogenasi maka akan terjadi
hidrogenasi karotenoid dan warna merah akan berkurang selain itu perlakuan
pemanasan juga akan mengurangi warna pigmen karotenoid tidak stabil pada suhu
tinggi. Pigmen ini mudah teroksidasi sehingga minyak akan mudah tengik
(winarno 2003 ).

2.9 Daun Katuk


Daun katuk dapat mengandung hampir 7% protein dan serat kasar sampai
19%. Daun ini kaya vitamin K, selain pro-vitamin A (beta-karotena), B, dan C.
Mineral yang dikandungnya adalah kalsium (hingga 2,8%), besi, kalium, fosfor,
dan magnesium. Warna daunnya hijau gelap karena kadar klorofil yang tinggi.
Daun katuk dapat diolah seperti kangkung atau daun bayam. Ibu-ibu menyusui
diketahui mengonsumsi daunnya untuk memperlancar keluarnya ASI. Daun katuk
cukup banyak gizinya yang diperlukan oleh tubuh dan selain itu daun katuk juga
dapat menjadi pewarna alami makanan yang akan membuat makanan men jadi
hijau tua.
15

2.5 Pembuatan Mi Kering


a) Pencampuran bahan
Tepung terigu, tepung sukun, NaCl, dan soda abu dicampur semuanya,
terigu disusun menjadi suatu gundukan dengan lubang di tengah-tengah,
kemudian ditambahkan bahan-bahan campuran tersebut diaduk hingga rata
dan ditambah air sampai membentuk adonan yang homogen yaitu
menggumpal bila dikepal dengan tangan. Tepung terigu dan tepung sukun
menggunakan formulasi sebagai berikut.
F0 = 100% tepung terigu : 0% tepung sukun
F1 = 95% tepung terigu : 5% tepung sukun
F2 = 90% tepung teigu : 10% tepung sukun
F3 = 85% tepung terigu : 15% tepung sukun
F4 = 80% tepung terigu : 20% tepung sukun
b) Pengulenan adonan
Adonan yang sudah membentuk gumpalan selanjutnya diuleni,
pengulenan ini dapat menggunakan alat kayu berbentuk selinderpengulenan
dilakukan sekitar 15 menit.
c) Pembentukan lembaran
Adonan yang sudah kalis dimasukkan kedalam mesin pembentuk
lembaran yang diatur ketebalannya secara berulang kali.
d) Pembentukan mi
Proses pembuatan mi ini umumnya sudah dilakukan dengan alat
pencetak mi (roll press). Alat ini mempunyai dua roll, rol pertama berfungsi
sebagai penipis lembaran mi dan rol kedua berfungsi sebagai pencetak mi.
e) Pengukusan
Mi yang telah terbentuk dipanaskan (steaming) dengan cara pemberian
uap selama 12 menit. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati.
Pengukusan yang terlalu lama menyebabkan gelatinisasi berlebihan sehingga
pengeringan terlalu lama. Sedangkan pengukusan yang singkat menyebabkan
tingkat gelatinisasi rendah. tujuan untuk menonaktifkan enzim yang menyebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung.
16

f) Pengeringan
Mi yang telah dikukus kemudian dikeringkan secara sempurna (kadar air
11-12%) agar menjadi produk yang kering dan renyah, serta terbentuk
lapisan protein. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven selama 2,5
jam. Untuk 1,5 jam pertama suhu yang digunakan adalah 600 C dan untuk 1
jam berikutnya dengan suhu 700C. Jenis – jenis pengeringan bahan pangan ada
beberapa macam yaitu:
1. Pengeringan alamiah menggunakan panas matahari
Pengeringan hasil pertanian dengan menggunakan energi matahari biasanya
dilakukan dengan menjemur bahan diatas alas jemuran atau lamporan, yaitu suatu
permukaan yang luasnya dapat dibuat dari berbagai bahan padat. Sesuai dengan
sistem dan peralatannya serta pertimbangan faktor ekonomis, alat jemur dapat
dibuat dari anyaman tikar, anyaman bambu, lembaran seng, lantai batu bata atau
lantai semen. Pengeringan ini adalah pengeringan yang paling sederhana (dengan
cara penjemuran). Penjemuran adalah usaha pembuangan atau penurunan kadar
air suatu bahan untuk memperoleh tingkat kadar air yang cukup aman disimpan,
yaitu yang tingkat kadar airnya seimbang dengan lingkungannya.
2. Pengeringan menggunakan bahan bakar
Bahan bakar sebagai sumber panas (bahan bakar cair, padat,  listrik) misal :
BBM, batu bara, limbah biomasa yaitu arang, kayu, sekam, serbuk gergaji dan
lain sebagainya. Pengeringan ini disebut juga dengan pengeringan mekanis. Jenis-
jenis pengeringan mekanis adalah Tray Dryer,  Rotary Dryer, Spray Dryer,
Freeze Dryer.
(1) Tray dryer (alat pengering berbentuk rak)
 Bentuknya persegi dan didalamnya berisi rak-rak yang digunakan sebagai
tempat  bahan yang akan dikeringkan
 Cocok untuk bahan yang berbentuk padat dan butiran
 Sering digunakan untuk produk yang jumlahnya tidak terlalu besar
 Waktu pengeringan umumnya lama (1-6 jam)
(2) Rotary Dryer (Pengering berputar)
 Pengering kontak langsung yang beroperasi secara kontinyu, terdiri atas
cangkang silinder yang berputarperlahan, biasanya dimiringkan beberapa derajat
17

dari bidang horizontal untuk membantu perpindahan umpan basah yang


dimasukkan pada atas ujung drum.
 Bahan kering dikeluarkan pada ujung bawah
 Waktu pengeringan cepat ( 10 s/d 60 menit).
 Cocok untuk bahan yang berbentuk padat dan butiran

(3) Freeze dryer (Pengering beku)


 cocok untuk padatan yang sangat sensitif panas (bahan bioteknologis
tertentu, bahan farmasi, pangan dengan kandungan flavor tinggi.
 Pengeringan terjadi di bawah titik triple cairan dengan menyublim air beku
menjadi uap, yang kemudian dikeluarkan dari ruang pengering dengan pompa
vakum mekanis
 Menghasilkan produk bermutu tinggi dibandingkan dengan teknik
dehidrasi lain.
(4) Spray dryer (pengering semprot)
 cocok untuk bahan yang berbentuk larutan yang sangat kental serta
berbentuk pasta (susu,zat pewarna, bahan farmasi)
 Kapasitas beberapa kg per jam hingga 50 ton per jam penguapan (20000
pengering semprot)
 Umpan yang diatomisasi dala bentuk percikan disentuhkan dengan udara
panas yang dirancang dengan baik
3. Pengeringan gabungan
Pengeringan gabungan adalah pengeringan dengan menggunakan energi
sinar matahari dan bahan bakar minyak atau biomass yang menggunakan
konveksi paksa (udara panas dikumpulkan dalam kolektor kemudian dihembus ke
komoditi).
18

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Mi Kering

g) Pendinginan
Setelah dikeluarkan dari oven mi didinginkan. Proses pendinginan
bertujuan untuk melepaskan sisa-sisa uap dari produk dan membuat tekstur mi
menjadi lebih keras.
h) Syarat mutu pembuatan mi kering menurut standart SNI
Dalam standar nasional Indonesia terdapat beberapa syarat produksi mi
kering dalam uji Komposisi Sebagai Berikut :

Tabel 6. Syarat Mutu Mi kering menurut SNI 01-2974-1996

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan


1 keadaan
1. bau -
2. Warna - Normal
3. Rasa -
2 Kadar air %b 8-10
3 Abu %b Maks 3
4 Protein %b Min 8
5 Bahan Tambahan Makanan
Borax dan asam borat
Pewarna tekstil Tidak boleh ada
Formalin
6 Cemaran Logam
Timbal(Pb) Mg/kg Maks 1,0
Tembaga(Cu) Mg/kg Maks 10
Seng(Zn) Mg/kg Maks 40,0
Raksa(Hg) Mg/kg Maks 0,05
19

7 Cemaran Arsen(As) Mg/kg Maks 0,5


8 Cemaran Mikroba
1. Angka Lempang Total Koloni/gr Maks 10 x 106
2. E. coli APM/gr Maks 10
3. Kapang Koloni/gr Maks 10 x 104
Sumber : SNI 01-2974-1996

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 1 bulan yaitu April 2019 yang
dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Bioproses Jurusan Teknik Kimia
Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang. .

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat yang digunakan
1. Panci 1 buah
2. Penggiling 1 buah
3. Sendok 5 buah
4. Piring 5 buah
5. Loyang 2 buah
6. Neraca Analitik 1 buah
7. Pisau 1 buahja
8. Baskom 2 buah
9. Gelas Kimia 100 ml 5 buah
10. Labu Ukur 100 ml 5 buah
11. Tabung Reaksi 5 buah
12. Stopwatch 1 buah

3.2.2 Bahan yang digunakan


1. Tepung Terigu %x dalam 100gram
2. Tepung Sukun %y dalam 100gram
3. Telur 20% dalam 100 gram
4. Garam 1,3 gram
20

5. Baking Powder 200 mg


6. Air 14 ml
7. Aquadest 1 liter
8. Daun Katuk 20 gram

19

Gambar.3 Alat Pengering Tray Dryer

3.3 Perlakuan dan Rancangan Penelitian


Adapun perlakuan dan rancangan penelitian pembuatan mi dari tepung sukun
sebagai berikut:

Tabel 7. Perlakuan Mi Basah dengan Variasi Substitusi Tepung Sukun

Perlakuan Tepung Terigu Tepung Sukun Keterangan


(%) (%)

C1 100 - Kontrol
C2 95 5
C3 90 10
C4 85 15

C5 80 20
21

3.4 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

a. Karakteristik organoleptik dengan uji hedonik yaitu meliputi warna,


aroma, rasa dan kesukaan keseluruhan (Meilgaard, 1999).
b. Karakteristik fisik
1) Warna, metode colour reader (Subagio dan Morita, 1997).
2) Daya rehidrasi, metode penimbangan (Ramlah, 1997).
3) Waktu pemasakan (AACC, 1999).
4) Daya Elastisitas, metode pengukuran panjang (Ramlah, 1997)
c. Karakteristik kimia
1) Kadar protein, metode Kjeldhal (Sudarmadji, 1997).
2) Kadar air, metode oven (Sudarmadji, 1997).
3) Kadar abu, metode tanur (AOAC, 2005)
4) Kadar lemak, metode soxhlet (AOAC, 2005)
5) Kadar karbohidrat, metode Carbohyddrate by difference (Sudarmadji,
1997)

3.5 Prosedur Percobaan


Pada penelitian ini terdapat beberapa tahapan penelitian yang diantaranya sebagai
berikut :

3.5.1. Persiapan bahan baku


Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tepung sukun
dan tepung terigu. Setelah Terigu dan Sukun yang berperan penting unutk
menjadikan adonan mi yaitu telur dan sedikit air. Untuk proses penambahan air
sendiri sudah ditentukan dengan kadar yang akurat agar adonan menjadi tidak
22

lengket dan sulit dibentuk. Terigu yang digunakan yaitu tepung terigu segitiga dan
untuk tepung sukun terjual di media online. Untuk pewarna itu sendiri digunakan
Daun Katuk sebagai penambah warna alami.

Blok Diagram Pembuatan Mi Sukun

Tepung terigu,
tepung Sukun
kuning

Pencampuran I

Campuran
Tepung

Pencampuran II
(Pengadonan)

Pemadatan Adonan

Pencetakan Mi

Uap Air Pengukusan t=30 menit, T= 90℃ Uap Air

Pengeringan t= 2 jam, T= 70℃

Analisa kadar air, abu,


Mi sukun kering protein dan organoleptik

Gambar 4. Blok Diagram Pembuatan Mi

3.5.2. Pembuatan pewarna alami


23

Proses yang dilakukan pernama kali yaitu menimbang daun katuk sebanyak
20 gram dan kemudian dimasukan kedalam blender yang sudah terisi air 100ml.
setelah itu menghidupkan blender hingga campuran menjadi halus dan menyatu.
Setelah proses penggilingan daun katuk selesai dilanjutkan dengan penyaringan
campuran tadi sehingga dapat memisahkan antara ampas dan sari-sari daun katuk
yang sudah diblender tadi. Untuk sari-sari daun katuk tadi digunakan sebagai
pewarna alami.

Penimbangan daun
katu

Pencampuran dengan
air

Blender

Penyaringan sari-sari
daun katu

Gambar 5. Blok Diagram Pembuatan Pewarna Katu

3.5.2. Pengadukan bahan baku


Untuk lebih mudah mengatur komposisi bahan baku yang digunakan dapat
mentotalkan tepung yang akan dikombinasikan menjadi 100gram. Untuk proses
pengadukan sendiri dilakukan sekitar 15 menit hingga adonan menjadi kenyal dan
mudah dibentuk. Untuk pengadukan tersebut digunakan air yang sudah tercampur
dengan daun katuk sebagai pewarna alami dari mi tersebut. Untuk pengembang
digunakan Baking powder 200mg untuk pengejal sekaligus menjadikan mi tidak
mudah putus.
24

3.6 Prosedur Analisa

3.6.1 Uji Organoleptik


Uji Organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan
konsumen terhadap mi yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan memberikan
5 sampel mi (satu sebagai kontrol) kepada panelis. Sebelumnya, sampel diberi
kode sampel secara acak untuk menghindari terjadinya bias. Jumlah panelis
minimal untuk uji kesukaan adalah 20 orang dengan skor sebagai berikut:

Tabel 8. Skor Uji Organoleptik

Skala Hedonik Skala Numerik

Tidak suka 1
Kurang suka 2
Suka 3
Sangat suka 4

3.6.2 Sifat Fisik


a. Warna, Metode Color Reader (Subagio dan Morita, 1997)
Penentuan kecerahan dilakukan menggunakan alat color reader. Alat color reader
distandartkan dengan cara mengukur nilai dL, da dan db papan keramik standar
yang telah diketahui nilai L, a dan b. Selanjutnya sejumlah sampel diletakkan
dalam cawan dan diukur nilai dL, da dan db dengan color reader. Pengukuran
nilai dL, da dan db dilakukan pada tiga titik yang berbeda.tingkat kecerahan
warna diperoleh berdasarkan rumus:
L = Standart L + dL
Keterangan :
25

Standart L = 94,35
L = Kecerahan warna, nilai berkisar antara 0-100 yang menunjukkan semakin
besar nilainya, maka kecerahan warna semakin tinggi.

b. Daya Rehidrasi (Ramlah, 1997)


Pengukuran daya rehidrasi dilakukan dengan penimbangan. Daya rehidrasi adalah
kemampuan mi untuk menyerap air setelah gelatinisasi. Pengukuran dilakukan
dengan menimbang 5 g mi mentah sebagai a g, kemudian direbus ± g menit.
Setelah masak, kemudian ditiriskan dan ditimbang seebagai b g.

Daya rehidrasi (%) = (b-a) / a x 100%

c. Waktu Pemasakan (AACC, 1999)


Prinsip dari analisa ini adalah mengukur waktu hingga mi membentuk garis putih
ketika ditekan dengan dua potong kaca. Mi mentah ditimbang sebanyak 5 g,
kemudian air sebanyak 150 ml dididihkan pada beaker glass dan stopwatch
dinyalakan tepat pada saat sampel dimasukkan dalam air yang telah mendidih.
Setiap satu menit dilakukan pengambilan satu untaian mi dan dilakukan
penekanan dengan dua buah kaca. Pemasakan dikatakan optimum apabila sudah
tidak terbentuk garis putih ketika mi ditekan dengan dua potong kaca.

d. Daya Elastisitas, Metode Pengukuran Panjang (Ramlah, 1997)


Pengukuran elastisitas dilakukan dengan menggunakan penggaris. Sampel yang
telah dimasak ditempatkan di atas penggaris dan diukur panjangnya sebagai
panjang awal (P1), kemudian ditarik hingga putus dan diukur panjangnya sebagai
panjang akhir (P2). Elastisitas dihitung dengan persamaan:

Daya elastisitas = x 100%

3.6.3 Sifat Kimia


a. Kadar Protein (Sudarmadji, 1997)
Kadar protein dianalisis menggunakan metode semi kjeldahl. Sampel sebanyak
0,5 g dimasukkan dalam labu kjeldahl dan ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat dan 0,9
26

g campuran Na2SO4-HgO untuk katalisator. Larutan kemudian didestruksi selama


45 menit. Setelah itu, ditambahkan aquadest sebanyak 45 ml. Larutan kemudian
didestilasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi
abu-abu. Total N atau % protein sampel dihitung berdasarkan rumus:

( ml HCL sampel−ml blanko ) x N HCl x 100 x 14,008


%N=
2 a gram sampel x 1000

% Protein = 6,25 x % N

b. Kadar Air (Sudarmadji, 1997)


Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven. Botol timbang yang
telah dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam eksikator
ditimbang sebagai a g. Sampel yang sudah dihaluskan dimasukkan dalam botol
timbang dan ditimbang 2 g sebagai b g, kemudian dimasukkan dalam oven selama
4-6 jam. Botol timbang dipindahkan pada eksikator selama 30 menit dan setelah
dingin ditimbang. Botol timbang kemudian dikeringkan kembali selama 30 menit,
setelah didinginkan dalam eksikator, ditimbang kembali. Kegiatan ini dilakukan
berulang kali sampai diperoleh berat konstan sebagai c g. Selanjutnya dilakukan
perhitungan kadar air dengan rumus :

b−c
Kadar air % ( wb ) = x 100 %
b−a

c. Kadar Abu (AOAC, 2005)


Pengukuran kadar abu dilakukan dengan pembakaran pada tanur pengabuan. Kurs
porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit didingikan dalam eksikator 30
menit dan ditimbang sebagai a g. Sampel yang sudah dihaluskan ditimbang 2 g
sebagai b g dan dimasukkan dalam kurs. Kemudian pijarkan dalam muffle dengan
suhu mencapai 300-600oC sampai diperoleh abu berwarna putih keabu-abuan.
Pendingin dilakukan dengan kurs dan abu disimpan di dalam muffle selama 1
hari. Kemudian dipindahkan ke dalam eksikator 15 menit dan ditimbang
berulang-ulang sampai berat konstan sebagai c g. Selanjutnya dilakukan dengan
perhitungan dengan rumus :
27

c−a
Kadar abu %= x 100 %
b−a

Anda mungkin juga menyukai