SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Program Strata I (S1) Dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
ULIN NUHA
092111074
iv
PERSEMBAHAN
v
vi
ABSTRAK
vii
seorang istri yang ditalak ba‟in, hak untuk mendapatkan nafkah dari
suaminya bisa gugur apabila mantan istri telah melakukan perbuatan
yang dilarang oleh hukum Islam, yaitu apabila mantan istri telah
murtad dari agama Islam dan telah melakukan perbuatan maksiat.
Madzhab Hanafi menggunakan dasar hukum Al-Qur‟an surat
ath-Thalaq ayat 4 dalam menetapakan iddah bagi wanita yang belum
haid, karena madzhab Hanafi memandang surat ath-Thalaq ayat 4 ini
adalah umum untuk semua iddah bagi istri yang belum haid atau yang
sudah berhenti haid (menopause). Dengan menunjukkan lafadz
“ allā‟i lam yakhidzna” merupakan lafadz yang berarti bersifat „am,
karena dalam surat ath-Thalaq ayat 4 ini tidak terdapat lafadz yang
secara khusus menunjukkan bahwa mantan istri yang ditalak oleh
mantan suaminya wajib menjalankan masa iddah.
viii
KATA PENGANTAR
ix
5. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaraku semua atas do‟a restu dan
pengorbanan baik secara moral ataupun material yang tidak
mungkin terbalas.
6. Segenap pihak yang tidak mungkin disebutkan, atas bantuannya
baik moril maupun materiil secara langsung atau tidak dalam
penyelesaian skripsi ini.
Ulin Nuha
NIM. 092111074
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
I. Konsonan Tunggal
Huruf
Nama Huruf Latin Nama
Arab
tidak
ا alif tidak dilambangkan
dilambangkan
ة ba‟ b be
ت ta‟ t te
es (dengan titik di
ث sa‟ ś
atas)
ج jim j je
ha (dengan titik di
ح ha‟
bawah)
خ kha‟ kh ka dan ha
د dal d de
zet (dengan titik di
ذ zāl ż
atas)
ر ra‟ r er
xi
ش sin s es
غ gain g ge
ف fa‟ f ef
ق qaf q qi
ك kaf k ka
ٌ nun n „en
و wawu w W
ِ ha‟ h ha
xii
ً ya‟ y ye
xiii
IV. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Nama Huruf Latin Nama
---َ--- Fathah a a
---َ--- Kasrah i i
---َ--- Dammah u u
V. Vokal Panjang
Fathah + alif ditulis a
1.
جبههية ditulis jāhiliyyah
Fathah + ya‟ mati ditulis ā
2.
تُسي ditulis tansā
Kasrah + yā‟ mati ditulis ī
3.
كريى ditulis kar m
Dammah + wāwu
ditulis ū
4. mati
ditulis urūḍ
فروض
xiv
أعدت ditulis u‟iddat
xv
X. Pengecualian
Sistem transliterasi ini tidak berlaku pada:
a. Kosakata Arab yang lazim dalam Bahasa Indonesia dan
terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, misalnya:
al-Qur‟an, hadis, mazhab, syariat, lafaz.
b. Judul buku yang menggunakan kata Arab, namun sudah
dilatinkan oleh penerbit, seperti judul buku al-Hijab.
c. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab, tetapi
berasal dari negera yang menggunakan huruf latin, misalnya
Quraish Shihab, Ahmad Syukri Soleh.
d. Nama penerbit di Indonesia yang mengguanakan kata Arab,
misalnya Toko Hidayah, Mizan.
xvi
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................... 6
C. Tujuan Penelitian .......................................... 6
D. Manfaat Penelitian ........................................ 7
E. Tinjauan Pustaka ........................................... 7
F. Metodologi Penelitian ................................... 9
G. Sistematika Penulisan .................................... 12
xvii
BAB III PENDAPAT MADZHAB HANAFI
TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG
BELUM HAID
A. Biografi Ibn Mas‟ud Al-Kasani ......................... 34
B. Pendapat Madzhab Hanafi tentang Iddah Bagi
Wanita yang Belum Haid ................................... 38
C. Metode Istinbath Madzhab Hanafi tentang
Wajibnya Iddah Bagi Wanita yang Belum Haid
............................................................................ 43
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................ 64
B. Saran-Saran ......................................................... 65
C. Penutup ............................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Hal ini tak luput dari adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.2
Iddah adalah suatu masa yang mengharuskan
perempuan-perempuan yang telah diceraikan suaminya, baik
cerai mati atau cerai hidup untuk menunggu sehingga dapat
diyakinkan bahwa dalam rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan
menjadi anak, dalam ber-iddah itu akan kelihatan tandanya.
Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang
ditentukan.3
Telah kita pahami bahwa iddah merupakan masa tunggu
bagi mantan istri dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh
syara‟. Secara istilah, iddah bisa diartikan sebagai masa tunggu
yang ditetapkan oleh syara‟ bagi wanita untuk tidak melakukan
akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut,
sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian
dengan suaminya itu, dalam rangka membersihkan diri dari
pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu.
Hitungan iddah itu telah ditentukan sehingga wajib bagi
setiap muslim untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam surat
Al-Baqarah ayat 228:
2
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, h. 71
3
Ibnu Mas‟ud, Zainal Abidin S, b Sy f ’i, buku 2 (Muamalat,
Munakahat, Jinayat), Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, h. 372
4
4
Yayasan Penyelenggara Pentejemah Al-Qur‟an Depag RI, Al-Qur’ n n
Terjemahnya, Semarang: Al-Waah, 1993, h. 345
5
5
Ibid, h. 558
6
Abdul Rahman Al Jaziri, b al-Fiq hib al-Arb ’ , juz. IV,
Darul Kutub Al „Ilmiah, h. 422
6
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendapat Madzhab Hanafi tentang iddah bagi
wanita yang belum haid?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Madzhab Hanafi dalam
penentuan iddah bagi wanita yang belum haid?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui Pendapat Madzhab Hanafi tentang iddah
bagi wanita yang belum haid.
2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Madzhab Hanafi
dalam penentuan iddah bagi wanita yang belum haid.
7
D. Manfaat Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis berharap agar karya ini dapat
memberikan manfaat untuk:
1. Secara teoritis, menambah wawasan keilmuan dan
keagamaan dalam masalah yang berhubungan dengan iddah.
2. Secara praktis, memberikan kontribusi pemikiran sebagai
bahan pelengkap dan penyempurna bagi studi selanjutnya,
khususnya mengenai iddah bagi wanita yang belum haid
ketika menjalani masa iddah.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini dilakukan dengan mengkaji atau
menelaah hasil pemikiran seseorang yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini. Penulis juga
akan menelaah beberapa buku-buku, kitab dan keterangan lain
untuk digunakan dalam referensi, sumber, acuan, dan
perbandingan dalam penulisan skripsi, sehingga akan terlihat
letak perbedaan antara skripsi ini dengan penelitian atau karya
tulis yang ada. Dan berikut ini adalah beberapa hasil pemikiran
yang berhubungan dengan skripsi yang penulis bahas:
Skripsi yang ditulis oleh Ulya Mukhiqqotun Ni‟mah,
berjudul Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi
Wanita Yang Istihadhah. Di sana disebutkan bahwa menurut
Imam Malik iddah bagi wanita yang istihadhah adalah satu tahun.
8
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan
suatu metode guna memperoleh data-data tertentu sebagai suatu
cara pendekatan ilmiah agar diperoleh suatu hasil yang baik,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis
penelitian kualitatif. Yaitu metode penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.7 Jenis
penelitian ini adalah library research, yaitu usaha untuk
memperoleh data dengan menggunakan sumber
8
kepustakaan. Artinya meneliti buku-buku yang ada
relevansinya dengan permasalahan yang sedang dibahas.
2. Sumber Data
Kemudian penulis membagi data-data yang
digunakan ke dalam dua kelompok yaitu:
7
Lexi J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualiatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002, h. 6
8
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004, h. 1-2
10
9
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet
ke-1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h. 140
10
Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997, h. 36
11
11
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004,
h. 165
12
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman
dalam skripsi ini, maka penulis membuat sistematika sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI TENTANG IDDAH DAN
KETENTUANNYA
Membahas mengenai gambaran umum tentang iddah,
yakni terdiri atas pengertian iddah, dasar hukum
iddah, macam-macam iddah, tujuan dan manfaat
iddah, serta hak dan kewajiban wanita ketika
beriddah.
13
A. Pengertian Iddah
Istilah iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman
Jahiliyah. Dimana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah
meninggalkan kebiasaan iddah ini. Ketika Islam datang
kebiasaan ini diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa
kebaikan yang terkandung di dalamnya. Itulah para ulama
sepakat iddah itu wajib hukumnya.1
Ditinjau dari etimologi, kata iddah adalah masdar fi‟il
madhi عدyang artinya “menghitung”.2 Jadi kata iddah artinya
menghitung, hitungan atau sesuatu yang terhitungkan. Dari sudut
bahasa kata iddah merupakan kata yang biasa dipakai untuk
mewujudkan pengertian hari-hari haid dan hari-hari suci pada
seorang perempuan, artinya perempuan atau istri menghitung
hari-hari haid atau hari-hari sucinya.3
Sedangkan secara terminologi, para ulama telah
merumuskan pengertian iddah menjadi beberapa pengertian,
seperti Ash-Shon’ani memberi definisi iddah sebagai berikut:
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 8. terj. Muh. Tholib, Bandung: Al-
Ma’arif, Cet. 2, 1993, h. 139-140
2
Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir , Darul Ma’arif, 1984, h. 969
3
Abdul Rahman Al-Jaziri, it iqih „ala ad hib al-Ar a‟ah, juz. IV,
Darul Kutub Al-Ilmiah, h. 451
14
15
اسم دلدة ترتبص هبا ادلرأة عن التزويج بعد وفاة زوجها وفراقو ذلا إما بالوالدة اَو
األقراء او األشهر
Artinya: ″Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang
wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan
perkawinan setelah kematian suaminya atau
perceraian dengan suaminya itu, baik dengan
melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haid,
atau beberapa bulan tertentu ″.4
فإذا حصلت الفرقة بني الرجل وأىلو التنفصم عرا الزوجية من آل الوجوه مبجرد
وقوع الفرقة بل ترتبص ادلرأة وال تتزوج غريه حىت تنتهي تلك ادلدة الىت قدرىا الشارع
Artinya: ″Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan
istrinya, tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami
istri itu dari segala seginya dengan semata-mata
terjadi perceraian, melainkan istri wajib menunggu,
tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sampai
habisnya masa tertentu yang telah ditentukan oleh
syara ″.6
4
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1984/1985, h. 274
5
Ibid, h. 274
6
Ibid, h. 275
16
مدة ترتبص فيها ادلرأة دلعرفة براءة رمحها او لتعبد او لتفجعها على زوج
Artinya: ″Masa yang harus dilalui oleh istri (yang ditinggal mati
atau dicerai oleh suaminya) untuk mengetahui
kesucian rahimnya, mengabdi atau berbela sungkawa
atas kematian suaminya ″. 7
7
Abdurrahman Al-Jaziri, Op-Cit, h. 517
17
8
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Kudus : Mubarakatan
Thoyyibah, tth, h. 36
9
Ibid, h. 38
18
2. Al-Hadits
Dalam Sunnah Nabi SAW yang dijadikan sebagai
dasar hukum tentang iddah diantaranya:
عن ابن عمر أنو طلق امرأتو وىى حائض ىف عهد رسول اهلل صلى اهلل عليو
فسأل عمر بن اخلطاب رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عن ذلك؟: وسلم
،فقال لو رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم "مره فلرياجعها مث ليرتآىا حىت تطهر
وان شاء طلق قبل ان ميس فتلك. مث تطهر مث إن شاء امسك بعد،مث حتيض
( )رواه مسلم."العدة الىت امر اهلل عز وجل ان يطلق ذلا النساء
10
Ibid, h. 424
19
11
Imam Abi al- Husein Muslim, Shoh h Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiyah, 1992, h. 1093
20
13
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum
Islam, Bandung: Fokus Media, cet. I, 2005, h. 49
22
C. Macam-Macam Iddah
Secara garis besar iddah dibagi menjadi dua:
1. Iddah karena meninggalnya suami.
Iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya ada
dua kemungkinan, yaitu wanita yang dalam keadaan hamil
dan tidak hamil.14 Apabila wanita yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai
melahirkan. Allah SWT berfirman:
14
Sayid Sabiq, Ibid, h. 147
15
Departemen Agama RI, Ibid, h. 558
23
ayat 234.
16
Ibid, h. 38
24
17
Ibid, h. 424
18
Departemen Agama, Op-Cit, h. 275
19
Yaitu thalak dimana suami boleh rujuk (kembali) kepada bekas istrinya
dengan tidak perlu melakukan perkawinan atau akad nikah baru, asalkan istrinya itu
masih dalam masa iddah seperti halnya thalak satu atau thalak dua. Lihat Ustadz
Abdul Muhaimin As’ad, Risalah Nikah, Surabaya : Bintang Terang, cet-I, 1993, h. 91
20
Yaitu Thalak dimana suami tidak boleh merujuk kembali bekas istrinya,
kecuali dengan melakukan akad nikah baru setelah bekas istrinya itu dikawini orang
lain, a‟da dukhul dan diceraikan. Lihat Aqis Bil Qisthi, Pengetahuan Nikah, Talak
dan Rujuk, Surabaya: Putra Jaya, Cet I, 2007, h. 67
26
21
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu
Keperempuanan Dalam Islam, Bandung: Mizan, cet. I, 2001, h. 173
27
ذلا امنا النفقة: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم، عن فاطمة بنت قيس
.والسكىن للمرأة إذا آان لزوجها عليها )الرجعة( رواه امحد والنساء
Artinya: “Rasulullah Saw ersa da: Sesungguhnya nafkah
dan tempat tinggal hak bagi wanita yang
22
Ibid, h. 176
23
Aqis Bil Qitsi, Ibid, h. 74
28
c. Warisan
Hal ini masih dimiliki oleh wanita yang dithalak
raj’i karena pada dasarnya perkawinan dengan suaminya
dianggap masih utuh disaat iddah masih berjalan. Begitu
juga jika yang meninggal itu istri, maka mantan suaminya
juga berhak atas harta peninggalan mantan istrinya. Hal ini
disebabkan karena ikatan perkawinan keduanya dapat
terjalin kembali jika mantan suaminya tersebut
merujuknya.25
2. Istri yang beriddah thalak a‟in
Untuk wanita yang iddah thalak a‟in atau thalak
yang tidak membolehkan ruju’ kembali bagi bekas suaminya
sebelum dinikahi laki-laki lain,26 berhak mendapat:
a. Bagi istri yang tidak hamil
Bagi perempuan yang iddah thalak a‟in, baik
dengan thalak tebus maupun dengan thalak tiga yang tidak
dalam keadaan hamil mereka hanya memperoleh tempat
tinggal. Firman Allah SWT :
24
Imam Abi al- Husein Muslim, Shohih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiyah, 1992, h. 1093
25
Fatkhurrahman, Ilmu Waris, Surabaya: Al-Ikhlas, 1968, h.115
26
Moh.Rifa’i, dkk, if yatul Akhy r Terjemah hul shoh), Semarang:
CV. Toha Putra, 1983, h. 337
29
27
Departemen Agama RI, Ibid, h. 559
28
Departemen Agama RI, Loc.Cit.
30
SAW bersabda:
)رواه." قال" ال نفقة ذلا، ىف احلامل ادلتوىف عنها زوجها،وعن جابر يرفعو
(البيهقى
Artinya: “Dari Jabir RA dan ia menganggapnya hadits
marfu‟ tentang istri hamil yang suaminya
meninggal, ia berkata berkata:“istri itu tidak
mendapatkan nafkah”. (HR. Baihaqi).29
29
Imam Abi al- Husein Muslim, Shohih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiyah, 1992, h. 1093
30
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiyar Baru
Van Hoeve, Cet I, 1997, h. 640
31
31
Departemen Agama RI, h. 38
32
Ibid.
32
Artinya: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
rumah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau
mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang (QS. Ath-Thalak: 1).33
d. Wajib Ihdad
Secara etimologi, kata ihdad berasal dari kata
(had) الحددyang artinya ( الممنوعdicegah).34 Sedangkan
secara terminologi yaitu mencegah diri dari lambang-
lambang perhiasan dan keindahan serta mencegah diri dari
menggunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri
seperti halnya yang digunakan wanita ketika berdandan
untuk suaminya.35
Dalam sebuah Hadits disebutkan:
ال حتد امرأة على ميت:عن ام عطيو ان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال
وال تلبس ثوبا مصبوغا اال. اربعة اشهر وعشرا،اال على زوج. فوق ثالث
نبذة من قسط او،وال تكتحل وال متس طيبا اال اذا طهرت. ثوب عصب
(اظفار)رواه مسلم
33
Ibid, h. 945
34
Ahmad Warson Munawwir, Ibid, h. 262
35
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press,
cet VI, 2000, h. 632
33
36
Imam Abi al- Husein Muslim, Shohih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiyah, 1992, h. 1093
BAB III
PENDAPAT MADZHAB HANAFI TENTANG
IDDAH BAGI WANITA YANG BELUM HAID
1
Ibn Mas‟ud al-Kasani, Bad ‟i al-Shon ‟i fi art i al- ar ‟i,
Bairut: Daar al-Fikr, tth. h. 75
34
35
2
Ibid. h. 76
36
4. Karya-karya al-Kasani
Di antara karya-karya al-Kasani adalah sebagai
berikut:
a. Al-Sulth n al- u n fi sh l ad- n
Mengenai kepandaian al-Kasani, sebagaimana
yang terdapat pada beberapa sya‟irnya, diantaranya :
“Aku mendahului orang-orang yang alim kepada
kedudukannya yang benar dan kemampuan yang tinggi”.
“Demikian kebijakan munculnya cahaya petunjuk pada
malam yang gelap gulita”. “Orang-orang ingkar
mendandankannya, tetapi Allah menghalangi hingga
Allah yang menyempurnakannya”.
b. Bad ‟i al-Shon ‟i fi art i al- ar ‟i.
Kitab Bad ‟i al-Shon ‟i fi art i al- ar ‟i
adalah syarah kitab ukhf h al- uquh karya al-
Samarqondi, akan tetapi kitab ini dalam sistematikanya
menggunakan sistematika fiqih. Menerangkan berbagai
madzhab fiqih dan pentarjihan (penguatan) salah satu
pendapat dengan berbagai alasan. Meskipun seorang
tokoh madzhab Hanafi, al-Kasani tidak menerima begitu
saja pendapat madzhabnya. Banyak pendapat Imam Abu
Hanifah dan pengikutnya yang ditolak.3
3
Ibid. h. 76
37
4
Ibn Mas‟ud al-Kasani, Op. Cit. h. 77
38
5
Thalak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami istri dengan memakai kata-kata tertentu. Lihat: Departemen Agama,
Ilmu Fiqih II, Jakarta: Dirjen Binbaga, 1984/1985, h. 226
6
Fasakh ialah putusnya perkawinan dengan jalan pembatalan ikatan
tali perkawinan (nikah) yang dilakukan oleh hakim, setelah ada usulan dari si
istri. Lihat: Ustad Abdul Muhaimin As‟ad, Risalah Nikah, Surabaya: Bintang
Terang, cet. I, 1993, h. 96
7
Khuluk yaitu thalak (perceraian) yang t imbul atas inisiatif istri
dengan membayar tebusan (iwad) kepada suami. Lihat: Aqis bil Qisthi,
Pengetahuan Nikah, Thalak dan Rujuk, Surabaya: Putra Jaya, 2007, h. 81
39
8
Ibn Mas‟ud al-Kasani, Ibid, h. 418
40
,ص َغ ُش
ِّ ان:س َ َب ِء انثَّ ًَلٛ أَ َد ُذ أاْلَ أش: (ئَبٌ )أَ َد ُذُْ ًَبَٛٔشَشأ طُ ُٔجُٕثَِٓب َش أ
ِ ََش َٔ أان ِكج
.ش ِ صغ ِّ أض أَصأ اًل يع َع َذ ِو ان ِ ٛ أٔ فَ أم ُذ أان َذ,أٔ أان ِكجَ ُش
9
َّ ْٕٔ أانخ أَه َٕحُ ان,ُِ َي أعَُبٙ ان ُّذ ُخٕ ُل أٔ يب ْٕ ف: (َِٙ) َٔانثَّب
ُ َذخٛص ِذ
ِ انُِّ َكٙف
11
.خٛ
ِ ص ِذ َّ بح ان
Artinya: “Dan kedua: telah di dukhul atau apa yang terkandung
didalam artinya, yaitu hubungan yang sah di dalam
pernikahan yang sah juga”.
9
Ibn Mas‟ud al-Kasani, Ibid, h. 418
10
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 559
11
Ibn Mas‟ud al-Kasani, Ibid, h. 418
41
12
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 424
13
Ibnu Rusyd, Bid atul ujtahid a ih yatul Muqtashid, juz I,
Baerut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, t.th, h. 69
42
14
Ibid.
43
15
Ibid., h. 513
44
16
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. Kedua, 2001, h. 86
17
Abdul Wahhab Khallaf, „ lm sh l al-Fiqh, Kuwait: Dar Al-
Qalam, 1978 M/1398 H, h. 23
45
18
Muhammad Abu Zahrah, sh l al-Fiqh, penerjemah Saefullah
Ma‟shum, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, cet. kedua, 1994, h. 99
19
Abdul Wahab Khallaf, lmu sh l Fiqh, Alih bahasa: Muh. Zuhri,
Ahmad Qarib, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 40
46
3. Fatwa Sahabat
Fatwa sahabat menjadi sumber hukum karena para
sahabat merupakan penyampai risalah, menyaksikan masa
turunnya Al-Qur‟an serta mengetahui keserasian antara ayat-
ayat Al-Qur‟an dan Hadits serta pewaris ilmu dari Nabi
SAW untuk generasi berikutnya. Menurut mayoritas ulama,
fatwa sahabat dijadikan sebagai hujjah setelah Al- Qur‟an
dan hadits.22
Madzhab Hanafi ketika tidak menemukan sumber
hukum dalam kitab Allah, maka beliau mengambil fatwa
20
Ibid., h. 46
21
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., h. 36
22
Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit., h. 328
47
4. Qiyas
Qiyas menurut para ulama ushul adalah menyamakan
suatu kejadian yang tidak ada nas hukumnya dengan
kejadian lain yang ada nas hukumnya, lantaran ada
kesamaan di antara dua kejadian itu dalam „illahnya24 (sebab
terjadinya hukum).25
Berbeda dengan madzhab-madzhab lainnya, madzhab
hanafi tidak banyak menggunakan qiyas. Beliau hanya
menggunakannya dalam waktu yang benar-benar darurat.
Namun penggunaan qiyas yang mendapat porsi yang kecil
dalam mazhab Hanafi, tidak menutup kemungkinan bahwa
pada masa-masa mendatang qiyas memegang peranan
penting, apabila bermunculan peristiwa-peristiwa yang tidak
23
Ibid., h. 332
24
Illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai
dengan hukum, sedang menurut ulama ushul illat adalah suatu sifat khas yang
dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum (Ibid, h. 364).
25
Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit., h. 45
48
5. Istihsan
Para ulama ahli ushul mendefinisikan istihsan dengan
pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas j li (nyata)
kepada qiyas kh fi (samar) atau dari hukum kull (umum)
kepada hukum takhs s (khusus) lantaran ada dalil yang
menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan
mementingkan perpindahan hukum tersebut.28
Para ulama Hanafi menggunakan istihsan ini sebagai
dasar istinbat. Mereka mengartikan istihsan dengan
“meninggalkan qiyas karena adanya dalil yang lebih kuat”.
Sebenarnya para ulama mazhab dalam menetapkan hukum
26
M. Ali Hasan, er andingan a h b, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996, h. 231
27
M. Abu Zahrah, Op.Cit. h. 313-314
28
Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., h. 79
49
29
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad as-Syaukani: Relevansinya bagi
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, h. 140
30
Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., h. 56
50
7. ‘Urf
Yang dimaksud dengan „urf adalah segala sesuatu
yang sudah dikenal karena telah menjadi kebiasaan baik
berupa perkataan, perbuatan atau kaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu. „ rf disebut juga sebagai
adat.31
Ulama Hanafi sebagairnana ulama-ulama mazhab
lainnya menggunakan „urf dalam fatwa-fatwa mereka.
Khusus dalam masalah mu‟amalah, mereka lebih luas dalam
menggunakan „urf. Jadi ulama Hanafi menerima „urf sebagai
dasar hukum selama „urf tersebut tidak bertentangan dengan
nash.
31
Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., h. 79
BAB IV
ISTINBATH HUKUM MADZHAB HANAFI TENTANG
IDDAH BAGI WANITA YANG BELUM HAID
51
52
1
Ibn Mas’ud al-Kasani, Bad ’i al-Shon ’i fi art i al- ar ’i, Jilid
4, Beirut: Daar al-Fikr, h. 418
53
,ص َغ ُش
ِّ ان:ث َ أَ َد ُذ ْاْلَ ْشٍَب ِء انثَّ ًَل: (َٔشَشْ طُ ُٔجُٕثَِٓب َش ٍْئَبٌ )أَ َد ُذُْ ًَب
. َش َٔ ْان ِكجَ ِش
2
ِ صغ ِّ ْض أَصْ اًل يغ َػ َذ ِو ان ِ ٍ أٔ فَ ْم ُذ ْان َذ,أٔ ْان ِكجَ ُش
Artinya: “Syarat wajibnya iddah dalam bulan ada dua hal.
Pertama, salah satu dari tiga hal: usia muda, usia
tua, atau tidak menstruasi serta tidak muda atau tua”.
Berdasarkan firman Allah SWT:
2
Ibn Mas’ud al-Kasani, Ibid, h. 418
3
Departemen Agama RI, Op. Cit. h. 559
4
Ibn Mas’ud al-Kasani, Ibid, h. 418
54
5
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 424
55
6
Ibnu Rusyd, op. cit, h. 68-69
56
7
Imam Musbikin a id Al- Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja grafindo
Persada, cet.I, 2001, h. 53
58
8
Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pengantar Ilmu
Fiqih, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, h. 176
9
Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pokok Pokok
Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, h. 186
59
10
Prof. Dr. Abdul wahhab khallaf, Kaidah- Kaidah Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. VIII, 2002, h. 74
61
11
Departemen Agama, Al- ur’an dan erjemahan a, Kudus:
Mubarakatan Thoyyibah, t.th, h. 558
62
12
Abdul Wahhab Khallaf, op. cit.
63
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka
penulis mengambil beberapa kesimpulan:
1. Mengenai iddah bagi wanita yang belum haid, Madzhab
Hanafi berpendapat bahwa iddahnya adalah tiga bulan.
Alasanya wanita tersebut disamakan dengan wanita yang
masih haid. Sedangkan bagi istri yang belum digauli menurut
pendapat ulama tidak ada iddah baginya. Bagi istri yang
sudah pernah berhubungan intim ( u l), terkadang masih
mengalami haid ataupun sebaliknya. Istri yang tidak haid
terkadang masih kecil dan terkadang sudah putus haid. Istri
yang masih haid terkadang sedang hamil, haidnya berjalan
teratur atau terkena pendarahan.
2. Madzhab Hanafi beralasan wanita tersebut harus dapat
membedakan antara dua darah (darah haid dan darah
st dhah). Menurut Imam Hanafi beralasan umumnya
wanita haid adalah tiap bulan mengeluarkan darah, apabila
haidnya menghilang (tidak jelas) sama dengan menghilangnya
haid maka ia beriddah selama 3 bulan. Sedangkan Imam
Syafi’i beralasan bahwa darah merah adalah darah haid dan
darah kuning adalah darah hari-hari suci, maka ia Beriddah
64
65
B. Saran-saran
Setelah menguraikan dan menganalisa permasalahan
mengenai pendapat Madzhab Hanafi tentang iddah bagi wanita
yang belum haid, maka penulis menyampaikan beberapa saran
demi kemaslahatan bersama, yaitu :
1. Hendaknya kita menyadari realitas zaman yang semakin
cepat berubah dan maju serta modern, dimana syari’at Islam
dengan segala aspeknya dihadapkan pada persoalan-
persoalan baru dan semakin modern sedangkan literatur kita
di bidang hukum hampir semuanya adalah hasil karya ulama-
ulama terdahulu yang sudah berbeda jauh kondisinya dengan
keadaan sekarang, oleh karena itu untuk menjawab tantangan
zaman yang berorientasi kekinian diperlukan untuk mengkaji
kembali pendapat ulama-ulama terdahulu yang mungkin
sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang.
2. Dengan mengadakan kajian ilmiah dan berfikir yang kritis
analitis yang menjauhkan kita dari sikap fanatisme madzhab,
akan memberikan wawasan yang luas tentang berbagai
pendapat tentang hukum Islam.
66
C. Penutup
Dengan rasa syukur yang seikhlas-ikhlasnya serta ucapan
Alhamdulillah atas segala petunjuk-Nya dan pertolongan dari
Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
bentuknya sederhana sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Penulis menyadari, sekalipun telah mencurahkan segala usaha
dan kemampuan dalam penyusunan skripsi. Namun, masih
banyak kekurangan di sana-sini, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang positif dari pembaca dari kesempurnaan
skripsi ini, dan atas itikat baik tersebut, penulis menyampaikan
terima kasih.
Semoga skripsi ini dapat diterima untuk memperoleh,
memenuhi dan melengkapi syarat-syarat gelar sarjana Strata 1.
Dan sebagai penutup semoga skripsi ini dapat menambah
khazanah keilmuan dan memberikan manfaat bagi penulis,
masyarakat, bangsa dan negara serta agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Imam Malik bin, Al- Muwatha’, Beirut : Daar Al- Fikr,
t.th.
Riwayat Pendidikan :
1. MI Salafiyah Kenduren lulus tahun 2002
2. Mts NU Salafiyah Kenduren lulus tahun 2005
3. MA NU TBS Kudus lulus tahun 2009
4. UIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Akhwal
Asy- Syakhsiyah masuk tahun 2009
Ulin Nuha
NIM. 092111074