Jadi…
Lebih luas mana Hypnosis atau NLP? Apakah NLP mencakup Hypnosis, atau Hypnosis
mencakup NLP? Lebih hebat mana Hypnosis atau NLP? Lebih sakti mana, Hypnosis
atau NLP? Lebih baik mana, Hypnosis atau NLP? Lebih baik mempelajari yang mana
dulu, Hypnosis atau NLP? Lebih mudah mana, belajar Hypnosis atau NLP?
Pertanyaan ini banyak sekali kita jumpai di mana-mana. Mungkin jadi pengin ikutan
iseng nambahin pertanyaannya: “Lebih banyak mana pertanyaannya, Hypnosis atau
NLP?”
Kalau almarhum Gusdur pada posisi ini, mungkin akan mengatakan “Gitu aja kok
repot!”, dan sungguhpun saya pernah berada dalam jarak demikian dekat dengan
beliau selama jadi Presiden, kali ini saya memilih untuk repot-repot menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas itu deh.
Banyak yang geleng-geleng kepala dan suka berdebat mengenai Gusdur yang
mungkin bagi mereka kontroversial. Dan ngomongin sesuatu yang kontroversial
senantiasa menyenangkan, karena memberi kesempataan bagi kita untuk bisa
ngotot dan berada pada posisi ‘kelihatan lebih pintar’.
Hehehe, saat ini di TV dan Koran pada ngomongin TimNas sepakbola yang juga
kontroversial, dan banyak yang ikut menangguk populer dan menjadi ‘kelihatan lebih
pintar’ saat ikutan berdebat soal kontroversi TimNas.
Kalau skala kita perluas lagi, maka ngomongin Julian Assenge dan Wikileaks nya juga
merupakan topik yang kontroversial, dan menjadi narasumber perdebatan mengenai
Assenge-pun akan memberi kesempatan siapapun untuk menjadi yang‘kelihatan
lebih pintar’.
Kenapa ya, Julian Assenge memiliki penggemar dan penganut yang banyak sekali.
Namun kenapa pula yang gemar mencerca dan membencinyapun tak kalah
jumlahnya juga.
Jadi Julian Assenge sebenarnya siapa, pantaskah ia dipuja sebagai pahlawan ala
Robinhood atau haruskah ia dibenci sebagai pencuri?
Aaaaaaah!
Pasti dengan mudah Anda sudah tahu, jawabannya. Persis seperti soal NLP dan
Hypnosis! Tergantung Anda melihat dari frame yang mana? Apakah Anda melihat
dari Frame yang luas atau yang sempit? Atau melihat dari Frame A, Frame B atau
Frame … Sampai dengan Frame Z. Semua ini soal Frame alias Pemilihan Konteks dan
Pemilihan Makna saja.
Yo’i…
Mari saya undang Anda menjelajahi berbagai varian derivatif dari pertanyaan ini
“Haruskah Julian Assenge dipuja dan haruskah ia dibenci?”, dan sebutlah kita
meminjam salah satu ‘ilmu frame’ dari Robert Dilts, yakni Neurological Level:
Pembaca yang budiman, saya yakin sebagai pemegang kartu kredit anda pasti
pernah mendapat telpon dari salah satu telemarketer perusahaan kartu kredit itu
yang menawarkan anda produk mereka. Biasanya telemarketer ini akan berbicara
dengan cepat dan dialog yang terjadi kurang lebih seperti berikut ini:
“Selamat pagi. Bisa bicara dengan Bapak Budi Jatmiko Siswono?”
“Ya, saya sendiri.”
“Selamat pagi Bapak Bapak Budi Jatmiko Siswono. Bagaimana kabarnya Pak. Baik?”
“Ya, baik.”
“Nama saya Reni dari kartu kredit ABCD Jakarta. Bisa minta waktunya sebentar?”
“Ya, bisa. Ada apa ini?”
“Pak Budi, saat ini Bapak adalah pemegang kartu kredit ABCD dengan nomor kartu
1234567890?”
“Ya, benar.”
“Selamat Pak Budi Jatmiko Siswono. Melihat track record pembayaran kartu kredit
pak Budi selama ini yang cukup baik maka bapak berhak mendapat vouncher yang
berisi 100 poin yang dapat digunakan untuk memenangkan tiga mobil BMW seri 3
yang terbaru dan 6 tiket pesawat ìAngin Ributî rute Jakarta – Singapore pulang pergi.
Voucher ini akan dikirimkan ke alamat Bapak bersama dengan kartu kredit ‘Angin
Ribut-ABCD’ yang belum aktif. Nanti bisa Pak Budi aktivasi dengan menghubungi
nomor telpon yang tertera di kartu kredit. Apakah benar alamat pengiriman Bapak
adalah di Jl. Cinta no 10, RT 5, RW 3, Surabaya?”
“Ya, benar.”
“Terima kasih Pak Budi. Kami akan segera kirimkan kepada Pak Budi voucher undian
yang berisi 100 poin untuk mememangkan hadiah tiga mobil BMW seri 3 yang
terbaru dan 6 tiket pesawat ìAngin Ributî rute Jakarta ñ Singapore pulang pergi
bersama kartu kredit ìAngin Ribut-ABCDî ke alamat Pak Budi di di Jl. Cinta no 10, RT
5, RW 3, Surabaya. Alamat pengirimannya sudah benar ya Pak?”
“Ya, benar.”
“Baik Pak Budi. Terima kasih untuk waktunya. Selamat pagi.”
Di lain kesempatan pernah juga ada telemarketer dari bank GTCD yang menawarkan
upgrade kartu kredit dari Gold ke Platinum. Dialog yang terjadi antara lain sebagai
berikut:
“Selamat pagi. Bisa bicara dengan Ibu Endah Kusmiati Atmaja?”
“Ya, saya sendiri.”
“Selamat pagi Ibu Endah. Bagaimana kabar Ibu pagi ini? Baik, kan?”
“Ya, baik.”
“Saya Rini dari kartu kredit GTCD Jakarta. Bisa minta waktunya sebentar?”
“Ya, bisa.”
“Saya ingin konfirmasi mengenai kartu kredit Platinum Ibu Endah.Melihat track
record pembayaran kartu kredit Gold Ibu sampai saat ini yang sangat bagus Ibu
terpilih untuk bisa meng-upgrade ke kartu Platinum. Kami akan mengirimkan kartu
kredit Platinum ke alamat Ibu. Apakah benar alamat Ibu Endah adalah di Jl. Antah
Berantah no 007, Malang?”
“Benar”
“Baik Ibu Endah. Terima kasih untuk waktunya. Kartu kredit Platinum Ibu Endah akan
segera kami kirim ke alamat Jl. Antah Berantah no 007, Malang. Selamat pagi dan
selamat beraktivitas.”
Membaca apa yang saya tulis di atas tampak tidak ada yang istimewa. Ini adalah
transkrip dialog yang terjadi antara seorang telemarketer dan nasabah kartu kredit.
Namun, tahukah anda bahwa dalam dialog ini sebenarnya telemarketer
menggunakan skrip dengan alur yang sangat jelas, bagi yang memahami hypnotic
language pattern, untuk secara cerdik mempengaruhi nasabah agar bersedia
menerima apa yang ditawarkan.
Mari kita analisa apa yang sebenarnya terjadi, baik pada aspek semantik (pilihan
kata) yang digunakan dalam dialog dan juga proses hipnosis yang terjadi.
Sebelum saya teruskan saya ingin menyegarkan kembali pemahaman anda
mengenai hipnosis. Hipnosis adalah penembusan faktor kritis dari pikiran sadar dan
diikuti dengan diterimanya suatu sugesti atau pemikiran tertentu.
Menembus faktor kritis bisa dilakukan dengan menggunakan otoritas, informasi yang
mengandung muatan emosi yang tinggi, message overload, trance logic, rileksasi
pikiran, identifikasi kelompok, dan imajinasi.
Pada dua contoh transkrip di atas telemarketer berbicara dengan agak cepat dan
antusias. Hal ini bertujuan mengakibatkan terjadinya message overload sebagai
upaya menembus faktor kritis nasabah.
Kasus 1. Dialog dengan Bapak Budi Jatmiko Siswono
“Selamat pagi. Bisa bicara dengan Bapak Budi Jatmiko Siswono?”
“Ya, saya sendiri.”
“Selamat pagi Bapak Bapak Budi Jatmiko Siswono. Bagaimana kabarnya Pak. Baik?”
“Ya, baik.”
“Nama saya Reni dari kartu kredit ABCD Jakarta. Bisa minta waktunya sebentar?”
“Ya, bisa. Ada apa ini?”
“Pak Budi, saat ini Bapak adalah pemegang kartu kredit ABCD dengan nomor kartu
1234567890?”
“Ya, benar.”
Apa yang terjadi pada dialog di atas sebenarnya adalah telemarketer itu memasang
ìYes Setî dengan mengajukan pertanyaan yang selalu dijawab dengan jawaban ìYaî
oleh Pak Budi. ìYes Setî bertujuan untuk menyiapkan, lebih tepatnya mengarahkan,
pikiran klien untuk setuju, beberapa kali, dengan pertanyaan yang ìringanî dan
ìalamiahî dan setelah itu secara tidak sadar pikiran akan setuju dan meng-ìYaî-kan
tawaran yang diajukan.
Cara kerjanya begini. Pikiran manusia cenderung malas untuk berubah. Saat pikiran
berjalan di satu rel tertentu maka pikiran cenderung akan terus berjalan di rel ini,
dengan segala konsekuensinya.
Coba jawab pertanyaan ini dengan cepat. Misalnya ada titik A dan B di tanah lapang.
Jarak antara A dan B adalah 12 meter. Seekor katak kecil melompat dari A menuju ke
B. Satu kali melompat katak kecil ini mampu menempuh jarak 1 meter. Berapa
lompatan katak kecil ini mencapai titik B?
Jawabannya adalah sudah tentu 12 lompatan yang didapat dari 12 dibagi 1.
Seekor katak yang lebih besar melakukan hal yang sama. Ia melompat dari A ke B
yang letaknya di tanah lapang. Setiap kali melompat ia mampu menempuh jarak 2
meter. Berapa lompatan ia mencapai B?
Jawabnya sudah tentu 6 lompatan. Benar, kan? Yaitu 12 dibagi 2 sama dengan 6.
Katak dewasa juga melakukan hal yang sama. Setiap kali melompat katak dewasa
ini, yang kakinya besar, otot-ototnya kuat dan kekar, baru habis makan serangga
yang sangat lezat, mampu menempuh jarak 3 meter. Ia melompat dengan semangat
menggunakan kakinya yang sangat kuat dan berangkat dari A ke B yang letaknya di
seberang kolam air. Berapa lompatan ia mencapai B?
Jawabannya sudah tentu 12 dibagi 3 sama dengan 4 lompatan. Mudah, kan?
Pembaca, apa benar 4 lompatan? Jawaban ini salah. Yang benar adalah hanya 2
lompatan. Mengapa dua? Ya, karena A dan B dipisahkan oleh kolam air. Jadi, si katak
melompat ke dalam kolam, lalu berenang menuju ke B, dan setelah itu melompat
keluar. Jadi hanya butuh 2 lompatan. Namun pikiran yang telah terkunci dengan pola
jarak AB (12 meter) dibagi dengan jarak setiap lompatan katak tidak akan
memperhatikan faktor bahwa pada kondisi ketiga A dan B dipisahkan oleh kolam air.
Dan katak, sesuai dengan karakternya, tidak melompat di dalam kolam air, tapi
berenang. Anda jelas sekarang dengan ìYes Setî?
“Selamat Pak Budi Jatmiko Siswono.”
Telemarketer menggugah pikiran Pak Budi. Kita umumnya senang bila mendapat
ucapan selamat. Apalagi dilakukan dengan nada yang riang, gembira, dan antusias.
Saat mendapat ucapan selamat maka pikiran Pak Budi masuk ke kondisi antisipatif,
ìWah, ini pasti ada sesuatu yang menarik. Saya diberi ucapan selamat. Tapi, selamat
ini untuk apa ya?î
Setelah itu telemarketer langsung menjawab pertanyaan pikiran Pak Budi yang
bertanya-tanya yaitu dengan menyambung dengan kalimat:
“Melihat track record pembayaran kartu kredit pak Budi selama ini yang cukup baik
maka bapak berhak mendapat voucher yang berisi 100 poin yang dapat digunakan
untuk memenangkan tiga mobil BMW seri 3 yang terbaru dan 6 tiket pesawat ìAngin
Ributî rute Jakarta – Singapore pulang pergi.”
Wow! sampai di sini Pak Budi tentunya sangat senang. Ia mendapat pujian sebagai
nasabah yang baik dengan track record yang terpuji karena selalu tepat waktu
membayar tagihan kartu kredit. Dan sebagai apresiasinya Pak Budi mendapat hadiah
voucher yang bisa digunakan untuk mendapatkan hadiah yang luar biasa yaitu mobil
BMW seri 3 yang harganya bisa mencapai 500 juta rupiah dan juga tiket ke luar
negeri gratis.
Telemarketer ini dengan cerdik telah melakukan seeding atau implant ide bahwa Pak
Budi akan memenangkan hadiah yang ditawarkan. Imajinasi ini saja sudah cukup
untuk melemahkan fungsi analitikal pikiran sadar. Dengan demikian sebenarnya
nasabah sudah masuk ke kondisi trance.
Tanpa disadari Pak Budi pikirannya sudah membayangkan bagaimana nikmatnya
naik mobil BMW seri 3. Mungkin juga dia akan jugal mobil ini dan uang tunainya akan
digunakan untuk membeli rumah baru atau untuk keperluan lain. Atau Pak Budi
membayangkan sedang berlibur dengan keluarganya ke Singapore dengan tiket
gratis baik pesawat ‘Angin Ribut’. Ini saja sudah cukup untuk membuat Pak Budi
masuk ke kondisi trance.
“Voucher ini akan dikirimkan ke alamat Bapak bersama dengan kartu kredit ‘Angin
Ribut-ABCD’ yang belum aktif. Nanti bisa Pak Budi aktivasi dengan menghubungi
nomor telpon yang tertera di kartu kredit. Apakah benar alamat pengiriman Bapak
adalah di Jl. Cinta no 10, RT 5, RW 3, Surabaya?”
“Ya, benar.”
Nah, ini yang sebenarnya ingin ditawarkan kepada Pak Budi yaitu kartu kredit baru
yang merupakan kerjasama antara maskapai penerbangan ìAngin Ributî dan kartu
kredit ABCD. Untuk bisa mendapatkan voucher maka Pak Budi harus bersedia
menerima kiriman kartu kredit baru ini. Sungguh satu cara yang sangat cerdik.
Resistensi atau kemungkinan penolakan Pak Budi, terhadap tawaran kartu kredit
baru, diturunkan atau dihilangkan dengan iming-iming dapat voucher berhadiah
mobil BMW dan perjalanan ke luar negeri gratis.
Alamat pengiriman yang sengaja ditanyakan oleh telemarketer bertujuan untuk
secara indirect mendapat persetujuan Pak Budi bahwa ia bersedia menerima kiriman
kartu kredit baru ini. Saat Pak Budi menjawab ìyaî maka diasumsikan persetujuan
telah didapatkan.
Kasus 2. Dialog dengan Ibu Endah Kusmiati Atmaja
“Selamat pagi. Bisa bicara dengan Ibu Endah Kusmiati Atmaja?”
“Ya, saya sendiri.”
“Selamat pagi Ibu Endah. Bagaimana kabar Ibu pagi ini? Baik, kan?”
“Ya, baik”
“Saya Rini dari kartu kredit GTCD Jakarta. Bisa minta waktunya sebentar?”
“Ya, bisa.”
Dialog di atas adalah untuk memasang ìYes Setî.
ìSaya ingin konfirmasi mengenai kartu kredit Platinum Ibu Endah.î
Perhatikan penggunaan kata ìkonfirmasiî pada kalimat di atas. Konfirmasi
mengandung makna bahwa telah terjadi pembicaraan sebelumnya, mengenai kartu
kredit Platinum, antara Ibu Endah dan telemarketer ini. Pembicaraan melalui telpon
kali ini bersifat memastikan atau validasi untuk ìclosingî dari suatu ìopen loopî yaitu
pembicaraan sebelumnya yang belum sampai pada kata akhir.
Apakah Ibu Endah pernah bicara dengan telemarketer ini sebelumnya? Tidak pernah.
Namun dengan adanya kata ìkonfirmasiî pikiran bawah sadar Ibu Endah, tanpa
disadari, menerima ide bahwa ia pernah bicara mengenai hal ini sebelumnya.
Melihat track record pembayaran kartu kredit Gold Ibu sampai saat ini yang sangat
bagus Ibu terpilih untuk bisa meng-upgrade ke kartu Platinum. Kami akan
mengirimkan kartu kredit Platinum ke alamat Ibu. Apakah benar alamat Ibu Endah
adalah di Jl. Antah Berantah no 007, Malang?î
ìBenar.î
Kalimat di atas diawali dengan pujian mengenai track record Ibu Endah. Selanjutnya,
ini yang sebenarnya ingin dijual ke (pikiran bawah sadar) Ibu Endah, telemarketer
menawarkan upgrade kartu kredit dari Gold ke Platinum. Di sini juga digunakan kata
ìterpilihî berarti ini adalah suatu kehormatan, sesuatu yang sangat berharga karena
untuk bisa upgrade harus melalui proses seleksi yang ketat.
Selanjutnya Ibu Endah ditanya mengenai alamatnya. Saat Ibu Endah menjawab ìyaî
maka pada saat ini pula diasumsikan ia setuju dengan tawaran ini.
ìBaik Ibu Endah. Terima kasih untuk waktunya. Kartu kredit Platinum Ibu Endah akan
segera kami kirim ke alamat Jl. Antah Berantah no 007, Malang. Selamat pagi dan
selamat beraktivitas.î
Dengan kalimat ini telemarketer mengakhiri pembicaraannya dan mendapatkan
persetujuan dari nasabahnya.
Pembaca, apakah anda juga pernah mendapat telpon semacam ini? Saya yakin pasti
pernah. Saya juga sangat sering. Kalau mendapat telpon seperti ini apa yang harus
dilakukan agar tidak terjebak dengan hypnotic language pattern yang digunakan
telemarketer?
Saya biasanya melakukan hal berikut untuk ìmengerjaiî si telemarketer:
1. Saya jawab semuanya dengan baik dan sopan mengikuti skenario yang
digunakan oleh telemarketer. Dan di saat akhir pembicaraan, saat ia
menanyakan alamat pengiriman, saya bilang, “Wah! maaf Mbak! saya tidak tahu.
Nanti saya tanya sama Tuan.” Biasanya si telemarketer akan bertanya, “Lho,
anda ini siapa?”. Saya jawab, “Saya sopir.. Bapak lagi main golf sampai sore. HP
saya yang pegang.”
2. Saat ditanya apa kabar saya menjawab dengan nada malas, tidak semangat,
dan terkesan loyo dan lemas. Biasanya telemarketer masih akan berusaha untuk
‘mengangkat’ mood dengan bertanya hal lain dan saya konsisten menjawab
dengan tidak semangat dan loyo. Biasanya saya bisa langsung merasakan
perubahan semangat si telemarketer menawarkan produknya. Dan cara ini sering
sangat berhasil.
3. Dari awal saat ditanya saya menjawab bahwa ia salah sambung. Nama yang
ia tanyaka itu tidak saya kenal.
4. Saya dengan tegas menolak apapun yang ia tawarkan.
5. Telpon tidak saya angkat.
Seorang klien wanita, sebut saja sebagai Ani, usia 23 tahun, datang ke saya diantar
oleh kedua orangtuanya. Keluhannya adalah klien mudah sekali pingsan. Kebiasaan
pingsan telah dialami Ani sejak ia kelas 3 SD. Jadi Ani sudah cukup lama menderita.
Yang sangat membahayakan adalah Ani dapat pingsan kapan saja dan di mana saja
dan ini bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa ada simtom atau indikasi tertentu.
Klien lain, Budi, usia 9 tahun, mengalami ketakutan yang luar biasa setiap kali
melihat gambar Yesus yang memakai mahkota duri. Setiap kali melihat gambar atau
patung yang menggambarkan Yesus dengan mahkota duri Budi pasti berteriak
histeris. Saat ditanya mengapa ia berteriak dan menangis Budi berkata, ìBudi takut.
Kepala Yesus keluar banyak darah. AduhÖ Budi ngeri melihat darah menetes dari
mahkota duri.î Semakin hari ketakutan ini semakin kuat hingga suatu saat Budi
pernah pingsan dan seluruh tubuhnya kaku, sama sekali tidak bisa bergerak.
Awal trauma Budi terjadi saat ia berusia 4,5 tahun. Jadi sudah cukup lama Budi
mengalami masalah ini. Dan semakin lama ketakutannya semakin menjadi-jadi. Budi
mengalami yang disebut dengan sympton proliferation dan symptom mutation yaitu
munculnya simtom-simtom baru dan berubahnya beberapa simtom (mutasi) menjadi
simtom lain.
Ibu Wati, usia 35 tahun, lain lagi kisahnya. Sudah beberapa bulan ini ia sering bicara
sendiri. Ia sering mengaku bernama Dede. Beberapa kali ia mengaku sebagai Anto
dan berbicara dengan suara anak laki. Saat ditanya dengan siapa ia bicara, Ibu Wati,
lebih tepatnya Anto, menjawab, ìItu ada Nonon, Firda, dan Rudi, temanku. Kami
janjian mau ke rumah Bu Tres, belajar bersama.î Ternyata Nonon, Firda, dan Rudi
adalah teman Ibu Wati saat di kelas 2 SD. Lalu, siapakah Anto yang menjawab
pertanyaan? Apakah Anto adalah roh yang merasuki Ibu Wati?
Pembaca, sebagai orang awam, bila anda menjumpai kasus seperti yang saya
jelaskan di atas, apa yang ada di benak anda mengenai orang-orang ini?
Saat bertemu dengan klien-klien ini saya biasanya akan menanyakan apa saja yang
telah mereka lakukan untuk mengatasi masalahnya dan siapa saja yang telah
mereka mintai pertolongan? Jawabannya bisa macam-macam. Ada yang ke orang
pintar, ulama, pendeta, bhante, romo, psikolog, dokter, psikiater, atau pendoa.
Orang pintar membantu pasien mereka dengan cara mereka sendiri. Ulama,
pendeta, romo, pendoa biasanya mendoakan agar klien sembuh. Ada juga yang
melakukan pengusiran roh jahat atau exorcism yang diyakini telah menguasai atau
merasuki klien. Penyembuhan dengan cara ini dikenal dengan nama ìtengkingî atau
ìruqiahî. Bhante biasanya membacakan doa/parita dan memberikan air suci parita
untuk diminum. Psikolog membantu klien dengan pendekatan ilmu psikologi dan
teknik intervensi klinis tertentu. Dokter dan atau psikiater biasanya memberikan
obat.
Dalam artikel ini saya tidak dalam kapasitas untuk menilai atau mengomentari apa
yang dilakukan oleh para beliau yang saya sebutkan di atas. Mereka masing-masing
melakukan upaya membantu umat atau sesama manusia untuk keluar dari masalah
menurut pengetahuan dan kecakapan mereka. Dan ini semuanya benar dalam
pengertian yang mereka lakukan sudah sejalan dengan kepercayaan, keyakinan, dan
disiplin ilmu yang mereka kuasai.
Sebagai seorang hipnoterapis saya ingin memberikan perspektif yang sedikit
berbeda ditinjau dari sudut teknologi pikiran, kondisi kesadaran, dan fenomena
trancelogic.
Untuk memahami apa yang terjadi pada klien-klien yang saya jelaskan di atas maka
kita perlu memahami bahwa trance sebenarnya adalah altered state of
consciousness atau ASD. Ada sangat banyak ASD namun khusus dalam dunia
hipnoterapi para pakar telah menyusun skala kedalaman tertentu sebagai acuan.
Kami di Quantum Hypnosis Indonesia juga punya skala kedalaman trance yang saya
beri nama QHI Hypnotic Depth Scale yang terdiri atas 40 skala kedalaman, lengkap
dengan fenomena yang bisa muncul pada setiap level.
Untuk semua kasus di atas sebelum saya tangani, saya pasti menanyakan riwayat
kesehatan klien untuk memastikan bahwa masalah klien bersifat psychogenic bukan
organic.
Pada kasus pertama, Ani, setelah melakukan intake interview, kalau dalam bahasa
psikologi disebut anamnesis, saya menyimpulkan bahwa Ani sebenarnya bukan
pingsan atau tidak sadar. Yang terjadi adalah Ani masuk ke kedalaman trance yang
sangat dalam sebagai upaya untuk lari dari tekanan mental berlebih (overload) yang
mengguncang dan membahayakan kestabilan sistem psikisnya.
Saat seseorang berhadapan dengan kondisi yang bersifat mengancam
keselamatannya, baik secara fisik maupun psikis, maka respon lawan (fight) atau lari
(flight) secara otomatis bekerja. Jika ancaman bisa diatasi maka respon yang bekerja
adalah lawan. Jika ancaman ini terlalu besar atau kuat untuk diatasi maka yang aktif
adalah respon lari atau flight. Lari, dalam hal ini, bisa lari, secara fisik, menjauhi
ancaman, atau lari ke dalam diri dan masuk ke kondisi trance. Bagi orang awam
kondisi ini disebut dengan pingsan.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Frankel (1976), Trance as a coping mechanism.
Saat berhadapan dengan suatu masalah kita akan masuk ke dalam diri untuk
mencari pertolongan dengan mengakses dan menggunakan sumber daya apapun
yang ada di dalam diri.
Jika asumsi saya benar maka Ani dapat saya buat pingsan dengan sengaja. Dengan
teknik tertentu saya berhasil membuktikan bahwa dugaan saya benar. Ani dengan
cepat masuk ke kondisi pingsan. Jika anda jeli saya tidak mengatakan Ani menjadi
pingsan namun saya menulis Ani masuk ke kondisi pingsan. Setelah berhasil
membuat Ani pingsan dengan sengaja selanjutnya saya membawa Ani keluar dari
kondisi pingsan ini dengan mudah dan cepat.
Sebenarnya yang disebut dengan pingsan, menurut orang awam, kalau dalam dunia
hipnoterapi disebut sebagai kondisi Esdaile. Orang yang masuk ke dalam kondisi ini
akan merasakan perasaan yang begitu menyenangkan, bahagia, damai, dan tidak
ingin keluar. Ia sadar sepenuhnya, bisa mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya,
bisa mendengar orang di sekeliling memanggil-manggil namanya. Namun ia tidak
mau keluar dari kondisi yang begitu menyenangkan. Ia memilih untuk tetap ìpingsanî
sampai puas. Baru setelah itu keluar dari kondisi ini.
Dengan kata lain pingsannya Ani sebenarnya adalah suatu skill atau keterampilan
yang luar biasa. Orang biasa akan sulit bisa masuk ke kondisi Esdaile. Namun Ani
dapat dengan mudah masuk ke kondisi ini saat ia merasakan adanya tekanan mental
sampai pada level intensitas tertentu.
Sayangnya selama ini keterampilan ìpingsanî bekerja secara otomatis, tidak dapat
dikendalikan secara sadar oleh Ani. Melalui edukasi yang cukup dan latihan, tentunya
semua ini dilakukan dalam konteks terapi, saya melatih Ani sehingga mampu
menggunakan keterampilan ini secara sadar, pada waktu dan situasi yang tepat
demi kebaikan dan kemajuan dirinya.
Saya juga pernah ditelpon oleh seorang sahabat yang dengan suara agak panik
mengabarkan bahwa salah satu staffnya, Rina, pingsan dengan mata terbuka. Benar,
anda tidak salah baca. Rina, kebetulan saya kenal baik, pingsan dengan mata
terbuka. Yang lebih luar biasa lagi, sebelum pingsan Rina memilih duduk atau
bersandar di tempat yang aman. Aneh ya, pingsan kok bisa memilih tempat yang
nyaman?
Menggunakan pemahaman yang sama seperti yang telah saya jelaskan di atas, saya
berbicara dengan (pikiran bawah sadar) Rina melalui telpon dan membimbing Rina
keluar dari pingsannya.
Ternyata Rina memang sedang punya banyak masalah di rumah, dan di kantor ia
ditakut-takuti oleh rekan-rekannya yang mengatakan bahwa ada makhluk halus yang
senang dengan dirinya. Karuan saja Rina menjadi semakin cemas dan takut hingga
akhirnya ia ìpingsanî.
Pada prinsipnya ada tiga cara untuk menghasilkan atau memunculkan kondisi
hipnosis atau trance state:
1. Dengan menggunakan emosi takut dan tekanan atau paksaan.
2. Dalam kondisi yang tepat klien dapat dirayu atau dipengaruhi untuk masuk ke
kondisi trance. Rayuan ini bisa bersifat seksual, non-seksual, atau kombinasi
keduanya.
3. Subjek dapat dibimbing, diarahkan, atau diperintahkan untuk masuk ke
kondisi trance dengan menggunakan teknik induksi tertentu.
Pada kasus Ani dan Rina mereka masuk ke kondisi trance karena emosi takut atau
tekanan mental yang berlebih sehingga mengganggu equilibirium sistem psikis.
Dalam konteks terapi, cara ketiga adalah yang paling sesuai untuk membawa klien
masuk kondisi trance.
Kasus Budi lain lagi. Secara umum dikatakan bahwa Budi mengalami halusinasi
visual sehingga melihat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Dalam dunia psikiatri
ini adalah salah satu indikasi schizophrenia. Berhubung saya bukan psikiater atau
dokter jiwa maka saya tidak bisa menggunakan terminologi ini.
Sebagai hipnoterapis saya melihat kasus Budi sebagai fenomena trance yang
dinamakan positive visual hallucination, sesuatu yang tidak ada tampak menjadi ada.
Foto atau patung yang seharusnya tidak ada darah tampak ada darahnya. Munculnya
halusinasi, baik visual maupun auditori, positif maupun negatif, semuanya
bergantung pada kedalaman trance yang berhasil dicapai seseorang.
Saya memilih tidak berdebat dengan orangtua atau lingkungan Budi yang
mengatakan bahwa tidak ada darah di foto atau patung, atau Budi salah lihat, atau
menyalahkan Budi. Saya memilih setuju dan sependapat dengan Budi bahwa
memang ada darah di mahkota duri Yesus yang ia lihat karena memang ini adalah
realita subjektif Budi.
Bagaimana cara menyembuhkan simtom ini? Mudah sekali. Yang saya lakukan
adalah membalik persepsi realita subjektif Budi, dari positive visual hallucination
menjadi negative visual hallucination. Dengan demikian darah yang tadi ada
sekarang menjadi tidak ada lagi. Case closed.
Lalu, bagaimana dengan tubuh Budi yang kaku? Ini adalah kondisi fisik yang disebut
dengan catatonia. Catatonia adalah salah satu fenomena yang muncul saat
seseorang masuk ke kondisi hipnosis yang sangat dalam, lebih dalam dari kondisi
Esdaile. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Catatonia sering dialami orang
sebagai fenomena ìketindihanî yaitu saat setengah sadar, mau tidur, seluruh tubuh
menjadi kaku dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
Bagaimana dengan Ibu Wati? Apakah ia kerasukan? Mengapa ia mengaku bernama
Anto dan suaranya menjadi anak laki?
Yang terjadi pada diri Ibu Wati adalah spontaneous regression atau regresi spontan
ke usia 8 tahun saat ia kelas 2 SD. Dede adalah nama panggilan Ibu Wati saat kecil.
Sedangkan Anto adalah introject dari salah satu sahabat karib Wati kecil. Saat
mengalami spontaneous regression terjadi switching antara Ego State Dede, yang
sebenarnya adalah Wati kecil, dan Introject Anto, sahabat karibnya. Yang
membingungkan orang disekitarnya adalah baik Dede maupun Anto berbicara
melalui Ibu Wati dewasa. Kesannya menjadi seram dan sangat membingungkan
karena suara Ibu Wati berubah mengikuti suara Ego State atau Introject yang aktif
saat itu.
Penanganan kasus ini cukup unik dan membutuhkan kreativitas yang tinggi. Berbekal
pemahaman kedalaman tance dan fenomena yang bisa muncul di setiap level
kedalaman, saya mengembalikan kondisi Ibu Wati, yang mengalami regresi spontan,
dengan melakukan progresi ke masa sekarang.
Regresi spontan dan munculnya sifat, perilaku, kemampuan berpikir yang mirip atau
sama dengan anak-anak sejalan dengan yang ditemukan oleh Gill dan Brenman
(1959) yang berdasar model psikoanalisa Freud sampai pada konsep hipnosis
sebagai regression in the service of the ego.
Perilaku hipnotik spontan yang tidak adaptif, seperti yang dijelaskan di atas,
seringkali salah didiagnosa sebagai gangguan kejiwaan berat. Hal ini mengakibatkan
upaya penanganan untuk membantu klien mengatasi masalahnya menjadi tidak
efektif, membutuhkan waktu yang relatif lama, dan membuat klien semakin
menderita.
Dengan memahami bahwa saat seseorang berhasil masuk ke kondisi deep trance
maka bisa muncul berbagai fenomena yang ìtidak lazimî, yang bila tidak dimengerti
akan dianggap sebagai simtom gangguan mental, dan juga dengan memahami
bahwa simtom yang ditunjukkan klien bisa berupa fenomena trance maka
hipnoterapis dapat melatih klien untuk bisa mengendalikan dan menggunakan skill
ini secara sadar, sesuai kebutuhan.
Namun, hipnoterapis juga perlu sangat hati-hati dalam menyikapi simtom klien. Kita
tidak boleh langsung mengatakan bahwa simtom yang ditunjukkan oleh klien adalah
skill dan atau skill klien yang mengakibatkan munculnya simtom.
Saya biasanya baru berpikir demikian bila klien telah melakukan berbagai upaya
terapi secara formal namun belum bisa mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Keseimbangan antara mental dan fisik perlu dijaga. Bahkan filsul Plato mengatakan
bahwa pendidikan adalah mengharmonikan seluruh potensi diri, spiritual, emosional,
mental (pikiran) dan fisik. Ada baiknya memang di tengah kesibukan kita menyisakan
waktu untuk berolah raga
Dalam NLP dikenal asumsi dasar bahwa ada harmoni antara pikiran dan tubuh.
Pikiran mempengaruhi tubuh dan sebaliknya. Apabila kondisi pikiran seseorang lagi
sedih atau katakanlah sedang mengalami depresi, maka kondisi tubuhnya pun jadi
terlihat tidak semangat, jalan amat pelan, loyo, tidak begairah. Begitu pula bila
kondisi pikiran lagi senang, wajahnya terlihat cerah, berseri-seri, bersemangat,
jalannya pun mantap.
Bukan hanya itu, kondisi pikiran juga sangat berpengaruh kepada perilaku
seseorang. Coba, bila suatu ketika Anda menyetir mobil dan kondisi pikiran lagi tidak
fresh, suntuk, banyak masalah yang harus segera diselesaikan, tiba-tiba ada
motor/mobil di depan Anda jalannya sangat lambat, Anda cenderung mengumpat.
Namun bila kondisi pikiran lagi senang, tidak terburu-buru, Anda cenderung
menikmati bahkan mungkin tanpa disadari Anda ikut melambat sambil menikmati
musik mobil.
Apabila kondisi pikiran dapat mempengaruhi kondisi tubuh dan perilaku/tindakan,
sekarang sebaliknya. Kondisi tubuh atau tepatnya posisi/gerak-gerik tubuh
mempengaruhi kondisi pikiran. Coba saja, lemaskan dan jatuhkan pundak Anda,
rendahkan kepala, tarik nafas dalam-dalam, lantas katakan, “Saya merasa luar
biasa…!” Saya percaya bahwa Anda merasa tidak luar biasa. Atau coba yang satu
ini, bila Anda mau marah, lantas Anda beranikan diri untuk bersujud syukur, maka
saya percaya Anda tidak jadi marah-marah sambil bersujud kehadirat Allah.
Hubungan saling mempengaruhi ini mari kita gunakan untuk membangun imajinasi
dan motivasi diri untuk mewujudkan apa yang kita inginkan (wellformed outcome).
Pagi-pagi, sehabis shalat subuh, kita berolah raga jalan pagi sambil meingkatkan
motivasi diri dan mewujudkan wellformed outcome. Kenapa harus pagi hari? Boleh
saja tidak pagi hari. Tetapi pagi hari adalah waktu yang tepat karena udara masih
segar, dan secara mental pikiran belum dipenuhi masalah-masalah pekerjaan.
Caranya mudah, seperti berikut ini.
Persiapan
1. Iamjinasikan atau visualisasikan apa yang ingin Anda raih wellformed
outcome berupa: cita-cita jangka pendek, menengah atau jangka panjang.
Pastikan bahwa apa yang Anda visualisasikan sudah benar-benar tergambarkan
(kongkrit), terasakan, dan boleh jadi terdengar suara-suara pujian/sanjungan
manakala apa yang Anda visualisasikan terwujud. Akan lebih baik bila
mengimajikannya sehari sebelum jalan pagi.
2. Niatkan kuat-kuat dan mintalah pada pikiran bawah sadar bahwa pagi hari ini
Anda mau olah raga jalan pagi untuk meningkatkan motivasi dan mencapai apa
yang Anda inginkan (wellformed outcome). Bila pikiran bawah sadar setuju,
ucapkanlah terima kasih.
3. Berdo’alah, bukan saja agar olah raga ini mendapat pahala, tetapi untuk
mengakses energi Ilahiyah yang dahsyat. Berdo’alah sepenuh hati agar malaikat
mengamini, alam semesta mencatat dan menjadikan diri Anda merasa lebih
yakin bersama pelukan energi Illahiyah. Merasa yakin adalah junci penting untuk
meraih cita-cita apapun.
4. Pastikan bahwa pakaian atau baju training dan sepatu yang Anda kenakan
terasa nyaman sehingga tidak mengganggu fokus Anda.
Pelaksanaan
1. Berjalanlanlah dengan kecepatan jalan normal, pandangan ke depan, jangan
menunduk. Sebab, jalan sambil menunduk sama dengan sedang “mengundang”
kesedihan. Jalan normal ini hanya untuk pemanasan saja.
2. Setelah berjalan kurang lebih 500 meter atau badan sudah terasa panas dan
keringat sudah mulai keluar, mulailah Anda mengakses, mengaktifkan apa yang
Anda imajinasikan/visualisasikan seperti pada poin 1 (satu) di atas.
3. Begitu Anda sudah dapat mengakses/mengaktifkannya, segera ikuti dengan
langkah kaki yang lebih cepat, kepala lebih didongakkan ke atas (jangan terlalu
tinggi nanti menabarak orang di depan Anda), pandangan mata menyesuaikan.
Pastikan sekali lagi bahwa apa yang Anda visualisasikan ada di depan Anda.
4. Sambil berjalan cepat, sambil memandang ke depan sekaligus
memvisualisasikan apa yang diinginkan, katakan setiap langkahnya: satu…
dua… tiga… yes! Satu… dua… tiga… yes! Satu…. dua.. tiga… yes! Sampai
kurang lebih berjarak 100 meter. Yang saya maksud dengan kata ”yes” di sini
dimaknai: ”Yes I can do it!” Yaitu, saya bisa mengerjakan apa yang
divisualisasikan.
5. Apabila sudah mencapai jarak 100 meter, sudah merasa agak capai, nafas
mulai ngos-ngosan, perlahan langkah dan kembali ke langkah jalan kaki normal.
10. Sambil berjalan normal, rasakan perbedaan antara sebelum dan sesudah jalan
cepat. Apabila Anda merasa lebih yakin, lebih percaya diri untuk meraih apa yang
Anda visualisasikan, ucapkan terima kasih pada pikiran bawah sadar yang sudah
bersedia menerima apa yang ingin Anda capai, dan jangan lupa ucapkan
alhamdulillah, semoga Allah senantiasa membimbing Anda.
Apabila Anda masih merasa perlu untuk memperkuat dan menambah yakin dengan
apa yang ingin Anda capai/visualisasikan, Anda dapat melakukannya lagi untuk jarak
tertentu sesuai kebutuhan. Anda juga dapat melakukannya setiap saat, kapan dan
dimana saja saat berjalan kaki.
Berjalan kaki cepat, sambil menatap ke depan, akan menjadikan lebih optimis dari
pada jalan kaki sambil menundukkan kepala seperti orang sedang depresi. Setahu
saya, di negara maju warganya selalu berjalan lebih cepat dari pada kita. Adakah
hubungan antara jalan cepat dengan kemajuan suatu bangsa? Saya kurang begitu
paham, yang jelas jalan cepat –menurut NLP—dapat merubah submodalitas atau
kondisi pikiran. Jauh lebih optimis dari pada mereka yang berjalan lambat. Bila
sukses adalah permainan pikiran, maka jalan cepat mampu mempermaikan pikiran
yang pesimis menjadi lebih optimis! Selamat mencoba.