Anda di halaman 1dari 2

Sebentar lagi Hari Raya Idul Adha akan tiba.

Suara takbir dan tahmid pun akan terdengar merdu


dan indah dari berbagai pelosok nusantara sampai belahan dunia sebagai pernyataan dan
pengakuan terhadap keagungan Allah SWT. Takbir yang diucapkan bukanlah sekedar gerak bibir
tanpa arti, tetapi merupakan pengakuan dari dalam hati, menyentuh dan menggetarkan relung-
relung jiwa manusia yang beriman. Paginya seluruh Umat Islam di penjuru dunia berbondong-
bondong untuk melaksanakan dua rakaat shalat sunah, yaitu shalat Id. Yang kemudian akan
dilanjutkan dengan acara silaturahim antar sanak-famili dan handai taulan.

Suasana yang dirasakan pada hari raya Idul Adha tentunya berbeda dengan perayaan hari raya
Idul Fitri yang kita rayakan sebelumnya. Perbedaannya itu adalah karena Idul Adha memiliki
nilai historis yang begitu mendalam. Idul Adha atau yang sering kita kenal dengan Idul Kurban,
mengingatkan kepada kita bagaimana proses perjuangan yang dilakukan oleh Nabi Allah
Ibrahim as. Dimana nabi Ibrahim mendapatkan wahyu untuk menyembelih putranya sendiri,
yang bernama Ismail as, putra yang ditunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Di sinilah nabi
Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah
hati yang dicintainya, sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena ketakwaan dan
kecintaan nya kepada sang Kholiq melebihi segalanya, maka perintah tersebut beliau laksanakan
juga, walau pada akhirnya nabi Ismail as digantikan dengan seekor hewan kurban.

Dari sini kita mendapatkan pelajaran yang sangat bermakna bahwa untuk mendapatkan
kebahagiaan dan keberhasilan di dalam kehidupan dunia dan di akhirat nanti kita harus rela
berkorban. Makna berkorban adalah memberikan sesuatu untuk menunjukkan kecintaan kepada
orang lain, meskipun harus menderita. Orang lain itu bisa anak, orang tua, keluarga, saudara
sebangsa dan setanah air. Ada pula pengorbanan yang ditunjukkan kepada agama yang berarti
untuk Allah SWT dan inilah pengorbanan yang tinggi nilainya sebagaimana yang telah
dipraktekkan oleh Nabiyulloh Ibrahim as sehingga beliau mendapatkan predikat Kholilulloh
(kekasih Allah SWT), karena telah mampu mengorbankan sesuatu yang dicintainya yang berupa
anak , demi mencapai kecintaan kepada Allah SWT. Ini sesuai dengan firman Allah SWT :

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran : 92).

Peristiwa di atas adalah menjadi titik awal dianjurkannya perintah untuk berkurban bagi umat
Islam, terutama bagi orang yang mampu. Maka dengan adanya perintah berkurban tersebut, kita
sebagai umat muslim dituntut untuk tidak hanya melaksanakan ritual keagamaan semata, atau
tidak hanya sekedar melaksanakan perintah Tuhan, akan tetapi kita juga diberi kesempatan untuk
memanifestasikan rasa solidaritas kita kepada sesama. Dengan cara membagi-bagikan
daging kurban kepada fakir miskin dan kaum dhuafa di sekitar tempat tinggal kita. Artinya
daging kurban tersebut tidak hanya dinikmati oleh saudara atau orang terdekatnya saja. tetapi
benar-benar dinikmati oleh orang-orang yang membutuhkan. Orang yang sehari-harinya makan
daging adalah makanan yang langka bagi mereka.

Idul Adha yang menjadi momentum sejarah telah mengajak umat Islam kepada pola kehidupan
sosial yang agamis dengan membangun kekuatan spritualitas diri yang tinggi yang terbentuk
dalam bentuk pengabdian yang tulus akan perintah-perintah Allah swt, demi kemaslahatan dan
kebersamaan di antara umat Islam.

Di sisi lain sejarah Hari Raya Kurban juga mengingatkan kepada kita Bahwa kehidupan ini tidak
kekal, dan banyak hal yang terjadi secara tiba-tiba di luar perkiraan kita. Kadang, kita dapatkan
dalam kehidupan dunia ini hal-hal yang kita cintai justru malah cepat pergi dari kita, sebaliknya
hal-hal yang kita benci malah datang terus kepada kita. Maka Allah menyebut kesenangan dunia
ini dengan kesenangan yang menipu ( mata’u al ghurur ), karena akan sirna bahkan berubah
menjadi malapetaka, jika cara mengolahnya tidak sesuai tuntunan Allah swt. Allah swt berfirman
:

“Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat
(nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS Al Hadid: 20)

Tetapi perlu diingat juga bahwa tidak setiap perkara yang kita benci pasti membawa mudharat
bagi kehidupan kita. Terkadang yang terjadi adalah sebaliknya, musibah yang kita anggap akan
mendatangkan malapetaka, ternyata malah membawa kita kepada kesuksesan besar di dalam
hidup ini. Kita lihat umpamanya, yang dialami oleh nabi Ibrahim as, ketika diperintahkan Allah
swt untuk meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di tengah padang pasir, yang tidak
ada tumbuh-tumbuhan dan air. Sebagai manusia, tentunya nabi Ibrahim tidak ingin mengerjakan
hal tersebut kalau bukan karena perintah Allah swt. Sesuatu yang tidak dikehendaki nabi Ibrahim
tersebut, ternyata telah menjelma menjadi sebuah ibadah haji yang di kemudian hari akan diikuti
berjuta –juta manusia, dan dari peristiwa itu juga, keluarlah air zamzam yang dapat menghidupi
jutaan orang dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Begitu juga, ketika nabi Ibrahim as.
diperintahkan untuk menyembelih anaknya Ismail, yang sangat dicintainya. Setiap orang yang
masih mempunyai hati nurani yang sehat, tentu sangat tidak senang jika diperintahkan
menyembelih anaknya sendiri. Tapi apa akibatnya ? Ketika kedua-duanya pasrah, Allah
membatalkan perintah tersebut dan menggantikannya dengan kambing. Dari peristiwa ini,
akhirnya umat Islam diperintahkan untuk berkurban setiap datang hari raya Idul Adha. Memang,
kadang sesuatu yang kita benci, justru adalah kebaikan bagi kita sendiri. Allah berfirman :

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS Al Baqarah : 216)

Oleh karenanya, di dalam menghadapi ujian kehidupan dunia ini, kita haru sabar dan tawakal,
serta menyerahkan diri kepada Allah swt, sebagaimana yang dicontohkan nabi Ibrahim ketika
diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri.

Selamat menyambut Hari Raya Idul Adha Penuh Makna 1432 H.

Anda mungkin juga menyukai