Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang bisa terjadi pada semua orang dan tanpa
mengenal ras,budaya,anak-anak,dewasa miskin ataupun kaya,ganguan jiwa merupakan salah satu
gangguan mental yang di sebabkan oleh beragam faktor yang berasal dari dalam maupun luar.
Gangguan mental ini dapat dikenali dengan perubahan pola pikir, tingkah laku dan emosi yang
berubah secara mendadak tanpa disertai alasan yang jelas. Stres yang menjadi pemicu awal
terjadinya gangguan jiwa akan membuat seseorang tidak mampu beraktivitas secara normal. Jika
stres ini tidak ditangani secara cepat maka akan berlanjut pada gejala gangguan kejiwaan.

Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan
gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan
masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010). Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom
dengan variasi penyebab. Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit
tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya ditandai adanya penyimpangan yang fundamental,
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Maslim,
2002).
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari gangguan jiwa ?

2. Apa definisi dari keperawatan jiwa ?

3. Apa saja faktor penyebab dari gangguan jiwa ?

4. Bagaimana penyebab dari gangguan jiwa ?

5. Bagaimana psikodinamika terjadinya gangguan jiwa ?

1
6. Bagaimanaa klasifikasi pada gangguan jiwa ?

3. Tujuan

1. Mengetahui definisi dari gangguan jiwa.

2. Mengetahui definisi dari keperawatan jiwa.

3. Mengetahui faktor - faktor penyebab dari gangguan jiwa.

4. Mengetahui apa saja penyebab dari gangguan jiwa.

5. Mengetahui psikodinamika terjadinya gangguan jiwa.

6. Mengetahui klasifikasi pada gangguan jiwa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh
seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang
kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa
adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan(volition), emosi(affective), tindakan
(psychomotor) (Yosep, 2007). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi
penderita (dan keluarganya) (Stuart & Sundeen, 1998).

Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam
satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan
gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan
masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010). Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom
dengan variasi penyebab. Banyak yangbelum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit
tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya ditandai adanya penyimpangan yang fundamental,
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Maslim,
2002).

Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang
menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu
dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

2.2 Defenisi Keperawatan Jiwa

Stuart dan Sundeen memberikan batasan tentang keperawatan jiwa, yaitu suatu proses
interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku, yang
mengontribusi pada fungsi yang terintegrasi. Sementara ANA (American Nurses Association)

3
mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan
yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri secara terapeutik
sebagai kiatnya (Stuart, 2007).Dan menurut American Nursing Assosiation (ANA) keperawatan
jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia
sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendir secara terapeutik untuk meningkatkan,
mempertahankan dan memulihkan kesehatan jiwa pada fungsi yang terintegrasi dalam kondisi
sehat dan sakit. Keadaan sehat atau sakit bisa dilihat dari prestasi kerja, hubungan interpersonal,
penggunaanwaktu senggang dan keharmonisan fungsi jiwa.
Berdasarkan dua pengertian di atas, maka setiap perawat jiwa dituntut mampu menguasai
bidangnya dengan menggunakan ilmu perilaku sebagai landasan berpikir dan berupaya
sedemikian rupa sehingga dirinya dapat menjadi alat yang efektif dalam merawat pasien (Depkes
RI, 1998). Penggunaan diri secara terapeutik secara detail sudah dibahas pada mata ajar ilmu
dasar keperawatan pada topik komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu cara
dalam berkomunikasi dengan menekankan pengalaman belajar bersama dengan pasien untuk
memperbaiki emosi pasien. Walaupun perawat atau tenaga kesehatan lain lebih mengerti tentang
masalah kesehatan, seseorang yang lebih mengerti tentang masalah pasien adalah perawat. Oleh
karenanya, perawat harus menciptakan rasa percaya (trust) agar pasien dapat mempercayai
perawat sebagai tempat berkeluh kesah tentang masalah kesehatannya.Perawat mengkaji data
secara verbal dan nonverbal sehingga dapat dirumuskan masalah keperawatan untuk diselesaikan
bersama dengan pasien. Dengan demikian, perawat dapat menggunakan dirinya sebagai seorang
penolong (helper). Ada beberapa pertanyaan yang bisa dijawab untuk mengetahui (introspeksi)
perawat adalah orang yang layak membantu atau “penolong”, antara lain sebagai berikut (Stuart
dan Laraia, 2005).

2.3 Proses Terjadinya Gangguan Jiwa


Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga, secara
somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga unsur ini harus
diperhatikan. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang patologik
dari unsur psike. Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi, yang
sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau
lingkungannya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan

4
konstitusi, umur dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat,
kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian
orang yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar amanusia, dan sebagainya.
Biarpun gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi
penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupun
dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab
sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan,
lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa. Umpamanya seorang dengan depresi, karena
kurang makan dan tidur daya tahan badaniah seorang berkurang sehingga mengalami keradangan
tenggorokan atau seorang dengan mania mendapat kecelakaan.
Sebaliknya seorang dengan penyakit badaniah umpamanya keradangan yang
melemahkan, maka daya tahan psikologiknya pun menurun sehingga ia mungkin mengalami
depresi. Sudah lama diketahui juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan gangguan
jiwa. Contoh lain ialah seorang anak yang mengalami gangguan otak (karena kelahiran,
keradangan dan sebagainya) kemudian menadi hiperkinetik dan sukar diasuh. la mempengaruhi
lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lain serumah. Mereka ini bereaksi terhadapnya
dan mereka saling mempengaruhi.

2.4 Faktor dan Penyebab Gangguan Jiwa

Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga unsur itu
yang terus menerus saling mempengaruhi, yaitu :
1. Faktor-faktor somatik (somatogenik)
a) Neroanatomi
b) Nerofisiologi
c) Nerokimia
d) Tingkat kematangan dan perkembangan organik
e) Faktor-faktor pre dan perinatal
2. Faktor-faktor psikologik (psikogenik)

5
a) Interaksi ibu -anak : normal (rasa percaya dan rasa aman) atau a. abnormal
berdasarkan kekurangan, distorsi dan keadaan yang terputus (perasaan tak percaya
dan kebimbangan)
b) Peranan ayah
c) Persaingan antara saudara kandung
d) Inteligensi
e) Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
f) Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau rasa salah
g) Konsep dini : pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak menentu
h) Keterampilan, bakat dan kreativitas
i) Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
j) Tingkat perkembangan emosi
3. Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
a) Kestabilan keluarga
b) Pola mengasuh anak
c) Tingkat ekonomi
d) Perumahan : perkotaan lawan pedesaan
e) Masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka dan fasilitas kesehatan,
pendidikan dan kesejahteraan yang tidak memadai
f) Pengaruh rasial dan keagamaan
g) Nilai-nilai

Ada beberapa penyebab dari timbulnya gangguan jiwa tersebut, seperti ;


1. Adanya pengalaman traumatis sebelumnya

Sebuah survey yang dilakukanolehWhitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) diSan
Diego, Amerika Serikat selama4 tahun terhadap50,000 pasien psychosis menemukan sebanyak
64% dari respon dan pernah mengalami trauma waktu mereka kecil (sexual abuse,
physicalabuse, emotionalabuse, and substanceabuse). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Hardyetal. (2005) di UK terhadap 75 pasien psychosis menemukan bahwa ada hubungan antara
kejadian halusinasi dengan pengalaman trauma. 30,6% mereka yang mengalami halusinasi
pernah mengalami trauma waktu masa kecil mereka

6
2. Faktor Biologi
 Faktor Genetik

Hingga saat ini belum ditemukan adanya gen tertentu yang menyebabkan terjadinya
gangguan jiwa. Akan tetapi telah ditemukan adanya variasi dari multiple gen yang telah
berkontribusi pada terganggunya fungsi otak (Mohr,2003). Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh National Institute of Health di Amerika Serikat telah menemukan adanya variasi genetik
pada 33000 pasien dengan diagnosa skizofrenia, Autis, ADHD, bipolar disorder danmayor
deppressive disorder. (NIH,USA,2013). Disamping itu juga telah ditemukan bahwa dari orang
tua dan anak dapat menurunkan sebesar10%. Dari keponakan atau cucu sebesar2–4% dan
saudara kembar identik sebesar 48%.

Pada mongoloisme atau sindroma down (suatu macam retardasi mental dengan mata
sipit, muka datar, telinga kecil, jari-jari pendek dan lain-lain) terdapat trisoma (yaitu tiga buah,
bukan dua) pada pasangan Kromosom No. 21.
Sindroma turner (dengan ciri-ciri khas : tubuh pendek, leher melebar, infantilisme sexual)
ternyata berhubungan dengan jumlah kromosima sex yang abnormal. Gangguan yang
berhubungan dengan kromosoma sex dikatakan "terikat pada sex" ("sex linked"), artinya bahwa
efek genetik itu hanya terdapat pada kromosoma sex. Kaum wanita ternyata lebih kurang peka
terhadap gangguan yang terikat pada sex, karena mereka mempunyai dua kromosoma X: bila
satu tidak baik, maka yang lain biasanya akan melakukan pekerjaannya. Akan tetapi seorang pria
hanya mempunyai satu kromosoma X dan satu kromosoma Y, dan bila salah satu tidak baik,
maka terganggulah dia.
Penilitian saudara kembar dan saudara kandung yang salah satunya menderita Skizofrenia
Hubungan dengan pasien Skizofrenia % yang menderita Skizofrenia
Kembar monozigot (satu telur) 86,2%
Kembar heterozigot (dua kembar) 14,5%
Saudara kandung 14,2%
Saudara tiri 7,1%
Masyarakat umum 0,85%

 Gangguan sturktur dan fungsi otak

7
Menurut Frisch & Frisch (2011), Hipoaktifitas lobus frontal telah menyebabkan afek
menjadi tumpul, isolasi social dan apati. Sedangkan gangguan pada lobus temporal telah
ditemukan terkait dengan munculnya waham, halusinasi dan ketidakmampuan mengenal objek
atau wajah.

Gangguan prefrontal pada pasien skizofrenia berhubungan dengan terjadinya gejala


negative seperti apati, afek tumpul serta miskin dan pembicaraan. Sedangkan pada bipolar
disorder, gangguan profrontal telah menyebabkan munculnya episode depresi, perasaan tidak
bertenaga dan sedih serta menurunnya kemampuan kognitif dan konsentrasi. Dsifungsi
sistim limbik berkaitan erat dengan terjadinya waham, halusinasi, serta gangguan emosi dan
perilaku. Penelitian terbaru menemukan penyebab AH adanya perubahan struktur dalam sirkuit
syaraf yaitu adanya kerusakan dalam auditory spatial perception (Hunteretall,2010)

 Neuro transmitter

Menurut Frisch & Frisch (2011), Neuro transmitera dalah senyawa organik endogenus
membawa sinyal diantara neuron. Neurotransmit terterdiri dari:

- Dopamin: berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan


meningkatkan kewaspadaan mental.
- Serotonin : pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan temperatu rtubuh
serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido
- Norepinefrin: Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian
dan orientasi; mengatur“fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory
- Asetilkolin: mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, dan pemusatan perhatian
- Glutamat: pengaturan kemampuan memori dan memelihara fungsi automatic

3. Faktor psiko edukasi

Faktor ini juga tidak kalah pentingnya dalam kontribusinya terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Sebuah penelitian di Jawa yang dilakukan oleh Pebrianti, Wijayanti, dan
Munjiati (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola asuh

8
keluarga dengan kejadian Skizofrenia.Sekitar 69 % dari responden (penderita skizofrenia)
diasuh dengan polaotoriter, dan sekitar 16,7% diasuh dengan pola permissive.

Penelitian lain yang dilakukan olehErlina, Soewadi dan Pramono si Sumatra Barat
tentang determinan faktor timbulnya skizofrenia menemukan bahwa pola asuh keluarga
patogenik mempunyai risiko 4, 5 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan
dengan pola asuh keluarga tidak patogenik. Adapun yang mereka maksud dengan pola asuh
patogenik tersebut antara lain :

1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya


2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap“berkuasa”dan “harustunduk saja”
3. Sikap penolakan terhadap kehadiran si anak (rejected child)
4. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
5. Penanaman disiplin yang terlalu keras
6. Penetapan aturan yang tidak teratur atau yang bertentangan
7. Adanya perselisihan dan pertengkaran antara kedua orangtua
8. Perceraian
9. Persaingan dengan sibling yang tidak sehat
10. Nilai-nilai yang buruk(yang tidak bermoral)
11. Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
12. Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik)

Berkaitan dengan penelantaran anak, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh
Schaferetal (2007) pada 30 pasien wanita dengan skizofrenia, menemukan adanya korelasi yang
bermakna antara anak-anak yang ditelantarkan baik secara fisik maupun mental dengan
gangguan jiwa. Pada analisis multivariabel, Schafer menemukan bahwa merekayang mempunyai
status ekonomi rendah berisiko 7,4 kali untuk menderita ganguan jiwa skizofrenia disbanding
dengan mereka yang mempunyai status ekonomi tinggi .Artinya mereka dari kelompok
ekonomi rendah kemungkinan mempunyai risiko 7,4 kali lebih besar mengalami kejadian
skizofrenia dibandingkan mereka yangdari kelompok ekonomi tinggi.

4. Deprivasi Dini

9
Deprivasi maternal atau kehilangan asuhan ibu di ruman sendiri, terpisah dengan ibu atau
di asrama, dapat menimbulkan perkembangan yang abnormal. Deprivasi rangsangan umum dari
lingkungan, bila sangat berat, ternyata berhubungan dengan retardasi mental. Kekurangan
protein dalam makanan, terutama dalam jangka waktu lama sebelum anak breumur 4 tahun,
dapat mengakibatkan retardasi mental.
Eprivasi atau frustrasi dini dapat menimbulkan "tempat-tempat yang lemah" pada jiwa,
dapat mengakibatkan perkembangan yang salah ataupun perkembangan yang berhenti. Untuk
perkembangan psikologik rupanya ada "masa-masa gawat". Dalam masa ini rangsangan dan
pengalaman belajar yang berhubungan dengannya serta pemuasan berbagai kebutuhan sangat
perlu bagi urut-urutan perkembangan intelektual, emosional dan sosial yang normal.

5. Sebab Sosio Cultural

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku dapat dilihat maupun yang tidak
terlihat. Faktor budaya bukan yang merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan
jiwa, biasanya terbatas menentukan "warna" gejala-gejala. Disamping mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya melalui aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Beberapa faktor-faktor kebudayaan
tersebut :
- Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter, hubungan orang tua anak
menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat
agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang
berlebihan.
- Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang
lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah
kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan dirumah / sekolah dengan
yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.

10
6. Stressor psikososia

Faktor stressor psikososial juga turut berkontribusi terhadap terjadinya gangguan jiwa.
Seberapa berat stressor yang dialami seseorang sangat mempengaruhi respon dan koping
mereka. Seseorang mengalami stressor yang berat seperti kehilangan suami tentunya berbeda
dengan seseorang yang hanya mengalami stressor ringan seperti terkenamacet dijalan.
Banyaknya stressor dan seringnya mengalami sebuah stressor juga mempengaruhi respon dan
koping. Seseorang yang mengalami banyak masalah tentu berbeda dengan seseorang yang tidak
punya banyak masalah.

7. Faktor koping

Menurut Lazarus (2006), Ketika individu mengalami masalah, secara umum ada dua
strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu tersebut yaitu :

- Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari
masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres
- Emotion-focusedcoping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur
emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan timbul akibat
suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan.

Individu yang menggunakan problem–solving focused coping cenderung berorientasi


pada pemecahan masalah yang dialaminya sehingga bisa terhindar dari stres yang
berkepanjangan sebaliknya individu yang senantiasa menggunakan emotion-focused coping
cenderung berfokus pada ego mereka sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah ada
pemecahannya yang membuat mereka mengalami stress yangberkepanjangan bahkan akhirnya
bias jatuh kekeadaan gangguan jiwa berat.

11
8. Penyalah gunaan obat-obatan
Koping yang maladaptif yang digunakan individu untuk menghadapi strsessor melalui
obat-obatan yang memiliki sipat adiksi (efek ketergantungan) seperti cocaine, amphetamine
menyebabkan gangguan persefsi, gangguan proses berfikir, gangguan motorik dan sebagainya.

9. Pemahaman dan keyakinan agama

Pemahaman dan keyakinan agama ternyata juga berkontribusi terhadap kejadian


gangguan jiwa. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan ini. Sebuah penelitian
ethnografi yang dilakukan oleh Saptan dari (2001) di Jawa Tengah melaporkan bahwa lemahnya
iman dan kurangnya ibadah dalam kehidupan sehari– hari berhubungan dengan kejadian
gangguan jiwa. Penelitian saya di tahun2011 juga telah menemukan adanya hubungan antara
kekuatan iman dengan kejadian gangguan jiwa Pada pasien yang mengalami halusinasi
pendengaran, halusinasinya tidak muncul kalau kondisi keimanan mereka kuat (Suryani,2011)

2.5 Psikodinamika Terjadinya Gangguan Jiwa

Proses terjadinya gangguan jiwa dapat dijelaskan secara rinci berdasarkan pada
ModelStres Adaptasi Stuart yang menggambarkan dimensi perilaku klien gangguan jiwa secara
komprehensif. Dimensi tersebut meliputi: faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian
terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005)
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko
yang dapat menyebabkan individu dalam mengatasi stress, baik biologis, psikologis dan sosial
budaya (Stuart & Laraia, 2005). Berikut ini penjelasan faktor predisposisi secara rinci:
a. Faktor biologis
Faktor biologis merupakan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian penting
dalam pengkajian faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Proses

12
terjadinya gangguan perilaku salah satunya gangguan dalam hubungan sosial,
berdasarkan faktor biologis dapat disebabkan oleh adanya kondisi patologis seperti tumor
otak, stroke, infeksi otak, selain itu juga terjadinya ketidakseimbangan dari beberapa
neuro transmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin dan lainnya (Townsend,
2005)
b. Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor penyebab kedua yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan jiwa. Menurut Stuart & Laraia (2005), faktor psikologis meliputi konsep
diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan
komunikasi secara verbal. Faktor psikologis mempengaruhi bagaimana pembentukan harga diri
seseorang dimasa yang akan datang.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yang akan dijelaskan berikut ini merupakan stimulus yang dapat
mengancam integritas individu. Menurut Stuart dan Laraia (2005), faktor presipitasi
terjadinya masalah isolasi sosial dan harga diri rendah yaitu sumber stressor, sifatstressor,
waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor. Berikut ini dijelaskan secararinci mengenai
faktor presipitasi terjadinya isolasi sosial dan harga diri rendah :
- Sifat dari stresor tersebut apakah tergolong komponen biologis, misalnya: penyakit
infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak. Komponen psikologis, misalnya:
stresor terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya abuse dalam
keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup. Selanjutnya komponen sosial
budaya, misalnya: adanya aturan yang sering bertentangan antara individu dan kelompok
masyarakat, tuntutan masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang,
ataupun adanya stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami gangguan
jiwa.
- Asal stresor: internal (dari individu itu sendiri; misalnya terjadinya proses penuaan),
eksternal (dari luar individu; misalnya dari keluarga, kelompok masyarakat, dan
lingkungan sekitar seperti terjadinya bencana alam, konflik antar masyarakat).
- Waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu terkait dengan sejak kapan, sudahberapa lama,
serta berapa kali kejadiannya (frekuensi). Bila baru pertama kali terkena masalah,maka
penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk

13
tindakan pencegahan primer. Dengan kata lain,bahwa semua sumber pendukung yang
dimiliki oleh individu, sebaiknya terlibat secara intensif dalam perawatan.
- Jumlah stresor: berapa kali stresor tersebut pernah dialami oleh individu pada kurun
waktu tertentu, karena semakin sering terpapar dan dalam waktu yangberdekatan, maka
akan semakin buruk akibat yang akan diterima oleh individu.
3. Penilaian terhadap stresor
Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang
dilakukan oleh individu terhadap sumber stres dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan
dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart & Laraia, 2005). Penilaian terhadap stresor meliputi
respon kognitif, afektif, fisiologik, perilaku dan sosial
4. Sumber koping
Sumber koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai
apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Individu dapat mengatasi stress dan
ansietas dengan menggunakan sumber koping yang dimilikinya baik internal atau eksternal.
Sumber koping internal, misalnya motivasi. Motivasi seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai
aspek, yaitu untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi, keinginan mencapai tujuan atau
prestasi, dan adanya imbalan yang diterima atau prestasi yang didapat. Pada klien dengan isolasi
sosial yang terjadi adalah kurangnya motivasi yang timbul dari dalam dirinya. Klien terjadi
penurunan motivasi dan tidak percaya diri sehingga klien mengasingkan diri dari lingkungannya.
Sumber koping eksternal berhubungan dengan adanya dukungan sosial, yang merupakan
modal untuk menyelesaikan masalah. Dukungan sosial yang diterima dapat berupa dukungan
emosional dalam bentuk berbagi perasaan dengan klien, peduli dan menunjukkan kasih sayang,
memberikan umpan balik, menjadi pendengar yang baik dan teman bicara serta ketersediaan
sarana dan prasarana (Stuart & Laraia,2005
5. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah setiap upaya yang diarahkan pada tindakan untuk menghadapi
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah yang secara langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan
respons neurobiologik.Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Rice, 2000), koping
mempunyai dua fungsi utama yaitu mengatasi emosi yang menekan dan mengubah masalah
antara individu dan lingkungan yang menimbulkan tekanan. Jika seorang individu mendapatkan

14
tekanan emosi maka individu tersebut akan berusahan mengubah permasalahan yang dihadapi
atau mengubah lingkungan sekitarnya Freud (1953 dalam Townsend, 2005) menyatakan bahwa
mekanisme koping itu meliputi: kompensasi, denial, displacemet, identifikasi, intelektualisasi,
introyeksi, isolasi, proyeksi, rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, represi, sublimasi, supresi,
undoing.

2.6 Klasifikasi gangguan Jiwa

Klasifikasi diagnosis gangguan jiwa telah mengalami berbagai penyempurnaan.Pada


tahun1960-an, World Health Organization (WHO) memulai menyusun klasifikasi diagnosis
seperti tercantum pada International Classification of Disease (ICD).Klasifikasi ini masih terus
disempurnakan, yang saat ini telah sampai pada edisi ke sepuluh (ICD X).Asosiasi dokter
psikiatri Amerika juga telah mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan diagnosis dan
manual statistik dari gangguan jiwa (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
DSM).Saat ini, klasifikasi DSM telah sampai pada edisi DSM-IV-TR yang diterbit kantahun
2000. Indonesia menggunakan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa(PPDGJ),
yang saat ini telah sampai pada PPDGJ III (Maslim, 2002; Cochran, 2010; Elder,2012; Katona,
2012).Sistem klasifikasi pada ICD dan DSM menggunakan sistem kategori. ICD menggunakan
sistem aksis tunggal (uniaksis), yang mencoba menstandarkan diagnosis menggunakan definisi
deskriptif dari berbagai sindroma, serta memberikan pertimbangan untukdiagnosis banding.
Kriteria diagnosis pada DSM menggunakan sistem multiaksis, yang menggambarkan berbagai
gejala yang harus ada agar diagnosis dapat ditegakkan (Katona,2012). Multiaksis tersebut
meliputi hal sebagai berikut.
1. Aksis 1 : sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatianklinis.
2. Aksis 2 : gangguan kepribadian dan retardasi mental
3. Aksis 3 : kondisi medis secara umum.
4. Aksis 4 : masalah lingkungan dan psikososial.
5. Aksis 5 : penilaian fungsi secara global.
Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ) pada
awalnya disusun berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada PPDGJ III ini
disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III meliputi hal berikut.

15
1. F00 – F09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).
2. F10 – F19 : gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.
3. F20 – F29 : skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham.
4. F30 – F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif ).
5. F40 – F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stres.
6. F50 – F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor
fisik.
7. F60 – F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
8. F70 – F79 : retardasi mental.
9. F80 – F89 : gangguan perkembangan psikologis.
10. F90 – F98 : gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak dan
remaja.
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013
dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok psikosa dan (2) gangguan
jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan,panik,
gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk skizofrenia masuk dalam kelompok gangguan
jiwa berat.
Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien gangguan jiwa dapat ditegakkan dasarkan
kriteria NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (nursing
Intervention Classification) NOC (Nursing Outcame Criteria).Untuk di Indonesia menggunakan
hasil penelitian terhadap berbagai masalah keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit
jiwa. Pada penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh masalah Kerawatan utama yang paling sering
terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:
1. perilaku kekerasan;
2. halusinasi;
3. menarik diri;
4. waham;
5. bunuh diri;
6. defisit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri, makan, aktivitas sehari-
hari,buang air);
7. harga diri rendah.

16
Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh diagnosis keperawatan
terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Perilaku kekerasan.
2. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, verbal).
3. Gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba,
penciuman).
4. Gangguan proses pikir.
5. Kerusakan komunikasi verbal.
6. Risiko bunuh diri.
7. Isolasi sosial.
8. Kerusakan interaksi sosial.
9. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi).
10. Harga diri rendah kronis.
Dari seluruh klasifikasi diagnosis keperawatan yang paling sering ditemukan di rumah
sakit jiwa ini, telah dibuat standar rencana tindakan yang dapat digunakan acuan perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kesehatan jiwa.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh
seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang
kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001). Gangguan jiwa
adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive), kemauan(volition), emosi(affective), tindakan
(psychomotor) (Yosep, 2007). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi
penderita (dan keluarganya) (Stuart&Sundeen, 1998).

Biarpun gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi
penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupun
dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab
sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan,
lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa. Umpamanya seorang dengan depresi, karena
kurang makan dan tidur daya tahan badaniah seorang berkurang sehingga mengalami keradangan
tenggorokan atau seorang dengan mania mendapat kecelakaan.

3.2 Saran

Gangguan jiwa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor resiko. Jika seseorang telah
menunjukan beberapa kelainan pada tingkah laku dan kejiwaannya maka sebaiknya tindakan
keperawatan secepatnya diberikan. Tindakan keperawatan pada pasien jiwa harus diberikan
dengan maksimum agar mendapat hasil yang baik dan penyembuhan yang cepat. Sebagai
perawat harus bisa memahami bagaimana kelainan-kelainan pada perilaku seseorang yang
menandakan orang tersebut terkena gangguan jiwa, agar orang tersebut dapat dilakukan
tindakan keperawatan

18
DAFTAR PUSTAKA

19

Anda mungkin juga menyukai