Anda di halaman 1dari 24

Pertanian Organik Mengembalikan Budaya Bertani

Pertanian organic adalah usaha tani yang memanfaatkan seluruh sumberdaya alam
berbahan organic sebagai unsur nutrisi kabutuhan tumbuh tanaman/ternaknya. Sumber
nutrisi/hara (pupuk) dan pemberantasan hama penyakit menggunakan unsur alami. Saat
ini berkembang pendekatan organic dengan memodifikasi pemberian pupuk melalui
pembatasan/meminimalisir unsur kimia pada aplikasinya. Budaya dalam budidaya
pertanian sejak dulu sudah memanfaatkan sisa-sisa hasil pertanian dicampur dengan
kotoran cair/padat ternak sebagai sumber bahan pemupukan.
Berkembangnya teknologi dan mendesaknya kebutuhan akan ketersediaan bahan
pangan mengakibatkan frame berfikir petani berubah dimana petani berusaha
meningkatkan produksinya dengan penambahan pupuk kimia dan menyegerakan tanam
tanpa memperhatikan akibatnya. Penggunaan pupuk kimia yang lebih praktis dengan
efek yang lebih cepat dibanding menggunakan pupuk organic mengakibatkan petani
lebih suka menggunakannya. Padahal penggunaan pupuk kimia bukan tidak tanpa efek
samping. Efek samping penggunaan pupuk kimia mengakibatkan tanah cenderung
mengeras karena aktivitas mikroorganisme tanah menurun selain residu yang akan
terbawa pada hasil panen. Untuk menyegerakan tanam, lahan sawah tidak mengenal
istirahat lahan tetapi jerami dibakar untuk mempercepat olah lahan. pemberian pupuk
buatan sama saja memberikan makan tanaman, dan pemberian bahan organik ke dalam
tanah sama halnya dengan memberi makan tanah.
Prinsip dalam pertanian organic adalah nutrisi yang berasal dari bahan organic
maka pupuk kompos menjadi satu hal yang penting. Pupuk kompos memiliki kualitas
yang berbeda beda tergantung pada asal bahan dan proses pembuatannya. Penambahan
bahan organic ke dalam tanah merupakan usaha ameliorasi tanah agar pemberian unsur
hara tanaman bisa lebih efektif. Pemberian bahan organic akan memperbaiki sifat-sifat
fisika, kimia, dan biologi tanah. Penambahan bahan organik merupakan suatu tindakan
perbaikan lingkungan tumbuh tanaman yang antara lain dapat meningkatkan efisiensi
pupuk (Adiningsih dan Rochayati, 1988). Hasil penelitian penggunaan bahan organik,
seperti sisa-sisa tanaman yang melapuk, kompos, pupuk kandang atau pupuk organik
cair menunjukkan bahwa pupuk organik dapat meningkatkan produktivitas tanah dan
efisiensi pemupukan serta mengurangi kebutuhan pupuk, terutama pupuk K.
Dalamupayameningkatkanproduktivitas lahan secara berkelanjutan diperlukan
terobosan yang mengarah pada efisiensi usahatani dengan memanfaatkan sumberdaya
lokal. Las et al. (1999) menyatakan bahwa dalam meningkatkan produksi padi perlu
dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan
kandunganbahanorganiktanahdenganmemanfaatkan jerami padi. Hal ini sejalan dengan
Hadiwigeno (1993) dan Zaini et al. (1996), bahwa arah penelitian ke depan adalah
pertanian terlanjutkan dalam
jangka panjang (sustainable agriculture) dengan masukan bahan kimia rendah (low
chemical input) yang dikenal dengan LISA atau LEISA, yaitu suatu bentuk pertanian
yang menggunakan sumberdaya lokal yang tersedia secara optimal dan meminimumkan
penggunaan masukan dari luar.

Produktivitas Pertanian Organik


kecenderungan penambahan pupuk organik yang telah didekomposisi oleh dekomposer
efektif meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi.
gabahtertinggidiperolehpadaperlakuankompos
jeramilebihtinggi800kg/ha(11,11%)dibandingdenganpolapetanidan640kg/ha(8,69%)bila
dibandingdengan perlakuan pupuk kandang. Tingkat keuntungan yang diperoleh pada
perlakuan jerami lebih tinggi Rp.580.600
(7,42%)dibandingdenganperlakuanpetanidanRp.1.582.480(23,19%)dibandingdenganper
lakuanpupukkandang
pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah gabah per malai dengan sedikit hampa
sehingga hasil gabah kering panen pada perlakuan pemupukan dengan kompos jerami
lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tinggi tanaman pada perlakuan pupuk kendang
saja. Namun tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan

Menurut Arifin et al. (1993); Hadiwigeno (1993); pemberian 5 t/ha jerami dapat
menghemat pemakaian pupuk KCl sebesar 100
kg/ha.SedangkanAdiningsih(1984)melaporkan bahwa penggunaan kompos jerami
sebanyak 5 t/ha selama 4 musim tanam dapat menyumbang hara sebesar 170 kg K, 160
kg Mg, dan 200 kg Si.Halinidisebabkankarenasekitar80%kalium yang diserap tanaman
berada dalam jerami (Rochayati et al., 1991), sehingga menurut Sharma dan Mittra
(1991) penggunaan jerami sebagai sumber kalium cenderung lebih efektif. Hal ini
diperkuat oleh Dobermann dan Fairhurst (2000) yang mengemukakan bahwa kandungan
hara tertinggi dalam jerami selain Si (4-7%) adalahkalium,yaitusekitar1,2-
1,7%,sedangkan lainnya adalah N (0,5-0,8%), P (0,07-0,12%), dan S (0,05-0,10%).
Banyak factor yang mempengaruhi kualitas kompos.
Bahan Utama Pengomposan
Bahan utama, proses teknologi, dan penanganan kompos merupakan hal yang
mempengaruhi kualitas kompos. Lama pengomposan kotoran mempengaruhi kandungan
nitrogen dalam kompos. Pengomposan cepat mengurangi jumlah nitrogen yang
menguap ke atmosfer sehingga meningkatkan kadar nitrogen dalam kompos.
Pengomposan menggunakan cacing (vermicomposting) dapat mempercepat
pengomposan dan meningkatkan kualitas kompos (kasting). Selain cacing,
mikroorganisme dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pengomposan.
Bahan kompos dibedakan menjadi kotoran hewan, sampah kotan dan sampah segar.
Unsur hara makro penting dalam bahan dan setiap bahan memiliki unsur yang berbeda
beda. Berdasar G. Djajakirana disampaikan beberapa kandungan N, P, dan K pada tabel
3.
Bahan N P K
% bahan kering
Sisa sayuran 2,0 – 2,9 0,5 – 0,6 0,7 – 1,8
Tulang 1,0 – 4,0 9,0 – 13,0 -
Ampas kopi 4,0 – 10,0 0,14 0,2
Kulit Telur 1,2 0,17 0,1
Rumput 2,0 – 2,4 0,5 1,7
Dedaunan 1,0 – 4,0 0,04 – 0,06 0,3 – 0,6
Jerami Padi 0,3 – 0,5 0,05 0,6
Pupuk Hijau 1,5 – 2,6 0,07 0,3
Batang jagung 0,3 0,05 0,3
Kulit kacang tanah 0,8 0,05 0,5
Eceng gondok 2,2 – 2,5 0,3 4,4
Batang dan daun kentang 0,6 0,05 0,5
Kotoran sapi 0,3 – 1,7 0,08 – 0,5 0,2 – 0,5
Kotoran kerbau 0,3 0,08 01
Kotoran Domba 0,7 – 3,8 0,2 – 0,8 0,2 – 1,0
Kotoran Kuda 0,5 – 2,3 0,1 – 0,6 0,3 – 1,2
Kotoran Ayam 6,3 2,6 2,7
Kotoran burung dara 5,7 2,5 2,7
Kotoran babi 0,6 – 3,8 0,2 – 0,8 0,4 – 1,0

Berdasarkan kandungan tersebut maka dapat dipilih unsur hara mana yang akan
dipergunakan. Penambahan bahan lain untuk tujuan memperkaya kandungan pupuk
yang dihasilkan dapat dilakukan. Penambahan urea untuk meningkatkan kadar N, batuan
fosfat dan tulang untuk menambah unsur P dan penambahan abu untuk meningkatkan
kandung K dalam kompos.
Proses Pengomposan
Proses pengomposan :
1. System terbuka, beresiko terkena hujan yang mengakibatkan unsur hara cepat
hilang.
2. System tertutup, dibagi 2 yaitu tertutup dalam tanah (dikubur) dan dalam wadah.
3. Vermikompos, menggunakan bantuan cacing dalam mengompos
4. Sistem anaerobic, system pengomposan tertutup tidak terkena udara dan bisa
menghasilkan biogas
5. Pengomposan tanah, sampah segar dimasukkan ke tanah sehingga
terdekomposisi langsung menjadi bagian dari tanah.
Lama Pengomposan
Kadar Nitrogen terhadap Lama Pengomposan
Kandungan hara pupuk organik juga mencerminkan kualitas pupuk organik. Saat proses
dekomposisi berlangsung, sebagian unsur hara akan dilepaskan melalui proses
mineralisasi dan ada juga yang diimoblisasi oleh sel mikrob. Komposisi substrat,
kondisi lingkungan, sifat mikroflora maupun fauna akan menentukan kandungan hara
dalam substrat (Allison 1973)
Semakin lama waktu pengomposan kotoran ayam menjadi kompos menurut Suwardi
L.T, Indriyati dan I. Goto, (1997) kadar nitrogen semakin menurun dimana lama
pengomposan kurang dari 1 bulan sebesar 6,53% menurun menjadi 2,31% setelah 2
bulan pengomposan. Hal tersebut karena jasad renik dalam kotoran ternak yang
memproduksi berbagai enzim akan merusak ikatan-ikatan kimia menjadi senyawa yang
lebih sederhana. Jasad renik memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan menyerap
nitrogen sebagai bahan protein. Maka bahan yang akan diurai habis maka jasad renik
akan mati yang mengakibatkan kadar nitrogen meningkat. Oleh jasad renik yang lain,
jasad renik yang mati tersebut akan diurai lagi sehingga melepaskan nitrogen dalam
bentuk gas amoniak yang berbau dan dapat pula diserap oleh tanaman.

Lama fermentasi 5, 10, 15, dan 20


Jerami padi 80%, dedak 20 %

Gas amoniak yang dihasilkan melalui proses pengomposan menguap ke atmosfer sangat
besar dalam proses pengomposan. Penambahan zeolite dapat menurunkan penguapan
gas amoniak hingga 90%.
Proses
Aerobik
Bantuan oksigen
Anaerobik
Tanpa bantuan oksigen dan paling umum dilakukan.
Menghasilkan bau busuk yang merupakan campuran dari berbagai gas seperti amonik,
metan, sulfide, ethelen, dan lain-lain. Keluarnya nitrogen akan mengurangi kadar
nitrogen. Makin lama pengomposan, maka kadar nitrogen semakin menurun.
Kondisi yang cocok untuk pengomposan diantaranya kelembaban dan temperature
Pengaruh zeolite terhadap penguapan gas amonik
Zeolite digunakan untuk menekan bau akibat proses penguapan amonik. Nitrogen dalam
bentuk ion ammonium yang lepas dari proses pengomposan akan berubah menjadi nitrat
akibat proses oksidasi (bertemu Oksigen). Berdasarkan hal tersebut, sebelum terjadi
oksidasi ditambahkan zeolite untuk menyerap nitrogen. Amonium yang diserap oleh
zeolite akan dipertahankan sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Cara lain selain
dengan penambahan zeolite dapat dilakukan pentabletan atau penambahan limbah asam
sitrat.
Effective Microorganisme = FE
Teknologi Pengomposan Bahan Organik
Hasil Akhir
Ciri kompos yang baik :
1. Tidak terdapat benda asing seperti plastic atau kaleng
2. Kandungan hara dipertahankan dengan melakukan proses pengomposan dalam
ruang tertutup tidak terkena air hujan dan dikemas dengan plastic agar tetap
lembab.
3. Ukuran kehalusan kompos disesuaikan dengan kebutuhan
4. Tidak berbau atau diberi tambahan zeolit
Fermented Leaf Fertilizers = FLF = Pupuk Daun Fermentasi
Pupuk fermentasi daun terbuat dari tanaman atau hewan yang difermentasi secara
an aerob dan terutama digunakan sebagai nutrisi daun tanaman karena mereka
memberikan pasokan nutrisi yang cepat, terutama zat gizi mikro. Mereka paling umum
digunakan dalam produksi hortikultura dimana saling melengkapi dengan pupuk organic
pada kasus kekurangan nutrisi. Sejak FLF umumnya dibuat dari sisa peternakan,
formulasi mereka bervariasi tergantung sumberdaya yang tersedia dan tanaman olahan.
Umum digunakan dari kotoran ternak, susu sapi, molases dan air. FLF populasi di
kalangan peternak kecil. Sebagian besar petani memproduksinya di peternakan mereka
menggunakan tong plastic untuk fermentasi. Bisa dibayangkan pada skala industry. FLF
telah berhasil diuji pada pisang, kacang, brokoli, ketimun, selada, jagung, papaya, dan
bayam. Tinjauan mengenai strategi prinsip dari pemupukan organic berkelanjutan dan
masadepan strategi pupuk organic menekankan pada persiapan dari pembuatan FLF.
Tanaman dapat menyerap air dan nutrisi melalui daunnya, dimana keyakinan sejak dahulu asal
evolusi mereka adalah tanaman air. Meskipun penggunaan tanah masih umum digunakan
sebagai strategi pemberian nutrisi pada tanaman organic semprotan tanaman berdasar pada
kompos, kotoran,beragam tanaman telah digunakan untuk nutrisi tanaman daun selama
ratiusan tahun. FLF digambarkan sebagai residu hewan atau tanaman yang difermentasi secara
anaerob atau campuran dari keduanya digunakan sebagai pupuk cair organic. Pupuk oragnik
cair lainnya termasuk the kompos, asam humad, ekstra ganggang dan kotoran teh. FLF dapat
dibedakan (sebagian tumpeng tindih) dari konsep dari pupuk hayati dan stimulant hayati,
dimana ada kemiripan produk tetapi tidak untuk penyuplaian langsung nutrisi. Biostimulan
memajukan pertumbuhan tanaman tanpa penyediaan nutrisi. Pupuk hayati sebagai bagian dari
biostimulant meningkatkan kesuburan tanah dengan meningkatkan aktivotas tanah melalui
mikroorganisme hidup seperti rhizobacteria. FLF adalah juga pupuk hasil fermentasi daun.,
Pupuk organic cair atau pupuk organic fermentasi. Atau biol (penting di amerika latin).
Beberapa sama dengan pupuk hayati. Biasanya FLF digunakan untuk proses pembuahan di
daun, dimana mereka telah menunjukkan keunggulan dalam memnyuplau nutrisi dibandingkan
pupuk organic padat. Isi nutrisi mereka dilaporkan memenuhi persyaratan pada berbagao
tanaman hortikultura.

Secara teratur, layanan mereka sebagai langkah perbaikan (Tambahan pada pupuk dasar)
ketika terobservasi kekurangan nutrisi. Ada indikasi bahwa produk dapat juga digunakan untuk
mencegah stress pada tanaman di periode aktivitas pertumbuhan intensif fase vegetatif dan
ketika tanaman mulai pada tahap reproduksi. Kadang-kadang FLF diaplikasikan pada tanah
(melalui irigasi tetes) atau dicampur dengan pupuk padat untuk meningkatkan kualitasnya.
Mereka digunakan untuj berbagai tanaman tahunan. Tetapi paling sering untuk sayuran
bergizi, buah-buahan dan tanaman hias. FLF berkualitas tinggi ditandai oleh kandungan nutrisi
yang seimbang dan kepuasan tanaman dari pembauran nutrisi. asimilasi tanaman yang
memuaskan dari nutrisi ini.

Sejak FLF dapat diproduksi di lahan dengan menggunakan residu yang masih harus dibayar [8],
mereka meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dalam produksi pertanian.
Keuntungan lebih lanjut melibatkan proses persiapan yang mudah dicapai; pemanenan awal
dan memperpanjang periode panen; peningkatan daya tahan stres pasca panen; dampak
positif pada rasa dan kualitas panen; tidak adanya residu toksik pada makanan yang dipanen;
dan risiko kesehatan yang rendah untuk produsen [11]. Beberapa masalah menggunakan FLF
adalah bahwa mereka mungkin mengandung Na [10] secara berlebihan. Ada juga risiko
kontaminasi dengan mikroorganisme patogen (misalnya Escherichia coli, Salmonella sp., Atau
Shigella sp.) Dan dengan logam berat (As, Cd, Cr, Hg, Ni, Pb), itulah sebabnya di Uni Eropa dan
Amerika Serikat, penggunaan FLF secara hukum dibatasi [8]. Proses fermentasi yang
diimplementasikan dengan benar menggunakan lactobacilli mengurangi risiko kontaminasi
dengan mikroorganisme patogen [15]. Adapun risiko kontaminasi logam berat, studi eksplisit
diperlukan.

Formulasi dan persiapan


penyedia utama pupuk hayati adalah aktivitas mikroorganisme seperti rghizobium sp,
sedangkan FLF merujuk pada bahan organic yang difermenfasi sebagai sumber nutrisinya. FLF
dibuat berdasar pada 4 dasar komponen yaitu sumber nutrisi organic, sumber energi, sumber
mikroorganisme, dan air. (tabel 1)

Tidak ada resep standar untuk FLF. Komposisi mereka tergantung pada keterampilan dan
pengalaman produsen, tanaman, peraturan pertanian organik, dan sumber daya yang tersedia.
Oleh karena itu, produsen biasanya bereksperimen dengan beragam komposisi hingga
menemukan FLF yang mereka butuhkan untuk tanaman mereka [16].

Kotoran sapi adalah sumber nutrisi organik yang paling umum. Kotoran segar digunakan karena
kotoran hewan bukan hanya sumber nutrisi tetapi juga mikroba. Ini sangat berbeda dengan
penggunaannya dalam kompos. Kotoran segar mengandung semua mikroorganisme yang
diperlukan untuk memulai proses fermentasi: inokulum ragi, jamur, protozoa, dan bakteri.
Alternatif untuk kotoran ternak adalah domba, kambing, kelinci, dan kotoran ayam. Beberapa
tukang kebun lebih memilih sumber nutrisi nabati untuk menghindari kontaminasi biologis
potensial. Jelatang, tumbuk buah, polong polong, oat dan gandum menir, arnica, atau komprei
adalah opsi potensial dalam konteks ini [11,16,17]. Sumber daya energi menjamin proses
fermentasi yang efisien dan benar. Tetes tebu adalah bahan standar. Selain memberikan
energi, molase juga mengandung nutrisi, terutama K, Ca, S, Fe, dan B. Gula mentah yang tidak
direferensikan adalah alternatif yang populer untuk molase tebu [11,17].

Susu sapi segar adalah sumber mikroorganisme yang paling umum untuk proses fermentasi.
Oleh karena itu, bahan ini jarang diganti oleh bahan lain [11]. Selain itu, susu menyediakan
enzim, lemak, asam amino, vitamin dan mineral. Whey adalah alternatif yang serupa. Ragi
adalah sumber mikroorganisme potensial lainnya, tetapi umumnya, ragi merupakan bahan
tambahan untuk produk susu. Alternatif atau suplemen lebih lanjut termasuk humus hutan
segar (dari hutan gugur), kompos, acar asinan kubis, makanan fermentasi lainnya, beras, dan
tongkol jagung [11,16,17]. Opsi komersial terdiri dari mikroorganisme efektif (EM). EM
menggabungkan mikroorganisme terpilih seperti Rhodopseudomonas palustris, R. sphaeroides,
Lactobacillus plantarum, L. casei, Streptococcus lactis, Hiemaly Mucor, Saccharomyces
cervisiae, atau Streptomyces albus, yang secara fisiologis kompatibel satu sama lain dalam
media cair [18,19]. Air sangat penting untuk fermentasi mikroorganisme dan sebagai
kendaraan yang digunakan untuk mentransfer produk akhir ke metabolisme tanaman. Air
harus netral, salinitas rendah dan tidak mengandung klorin [16].
Mineral sering ditambahkan ke dalam campuran dasar. Larutan Garam tinggi, kapur, dolomit,
abu vegetatif, atau batuan yang sangat larut dalam air dapat digunakan untuk meningkatkan
kandungan nutrisi. Lime membantu menjaga larutan FLF netral, yang penting untuk proses
fermentasi yang benar. Tulang ikan, kerang, tulang hewan atau bulu yang hancur adalah
sumber daya mineral alternatif. Bahan tersebut digunakan dalam banyak FLF komersial. Teh
tanaman sebagian dapat menggantikan mineral. Selain itu, ada tukang kebun yang
menambahkan pupuk sintetis terlarut ke FLF mereka [17].

2.2. Peralatan

Karena persiapan FLF secara luas terbatas pada pertanian kecil dengan sumber daya ekonomi
terbatas, petani biasanya menggunakan fermentor buatan pertanian yang diimprovisasi (juga
disebut sebagai bio-digester) berdasarkan adaptasi bahan yang mudah tersedia (mirip dengan
produksi di pertanian biogas). Namun, produksi berskala besar dalam industri fermentor dapat
dibayangkan. Dalam produksi di lahan, wadah plastik seperti tong 1, umumnya volume 200 L,
sering digunakan sebagai fermentor [10] Karena harus ditutup rapat, cincin logam dan tutup
sekrup biasanya digunakan untuk menguncinya. Satu-satunya celah adalah perforasi tutupnya,
di mana selang PVC 3⁄4 inci dicolokkan ke FLF mentah. Untuk menghindari masuknya udara,
perforasi ini ditutup dengan silikon. Dalam pengaturan yang lebih canggih, katup dan puting
digunakan untuk tujuan ini. Selang memungkinkan keluarnya gas fermentasi (terutama logam
dan hidrogensulfida). Akhir selang biasanya ditancapkan ke dalam botol plastik berisi air
sehingga gas bisa keluar dari selang tanpa udara masuk.

2.3. Persiapan
Selama proses fermentasi, bio-digester harus dilindungi dari semua cahaya, karena
cahaya merangsang proses oksidasi bahan organik. Untuk melindungi bio-digester dari
gerakan fisik yang dapat menyebabkan masuknya oksigen, ia juga harus dilindungi dari
angin dan hujan dan harus disimpan di luar ruangan karena gas yang dipancarkan [11].
Semua bahan vegetatif harus diparut hingga panjang maksimal 2 cm dalam persiapan
FLF. Kemudian, laras diisi dengan bahan vegetatif, kotoran hewan segar dan 100 L air.
Setelah diaduk secara intensif, abu dapat ditambahkan. Setelah ini, sumber energi dan
susu dicampur dengan 10-20 L air dalam wadah terpisah. Setelah diaduk, campuran ini
ditambahkan ke laras. Garam mineral kemudian dapat ditambahkan dengan cara yang
sama. Laras kemudian diisi dengan air, mengisi 90-95% dari total volume fermentor,
meninggalkan ruang gas yang cukup untuk melakukan fermentasi. Akhirnya, laras
terkunci. Dari hari kesepuluh ke depan, beberapa petani membuka laras untuk waktu
singkat untuk memeriksa kualitas persiapan dan mengaduknya [11,17].

2.4. Fermetation

Terlepas dari kotoran hewan, produk susu, EM, atau FLF yang sudah diproduksi adalah
sumber daya mikroorganisme potensial untuk fermentasi. Proses ini melibatkan aerobik
yang diikuti oleh fase anaerob. Penting untuk proses fermentasi di seluruh kelompok
mikroorganisme: lactobacilli, bakteri fotosintesis, dan ragi. Lactobacilli, khususnya
Lactobacillus plantarum, L. casei, dan Streptococcus lactis, melepaskan asam laktat,
memproses gula, karbohidrat, lignin dan selulosa [18]. Asam laktat memiliki efek
antimikroba yang kuat, oleh karena itu FLF bahkan dapat digunakan untuk mengontrol
tomatowiltdiseaseslikedampingoffandFusarium layu [21]. Efek ini juga menghindari
kontaminasi FLF dengan kuman seperti Salmonella sp. [8]. Dalam fase aerob, bakteri
fotosintetik, terutama Rhodopseudomonas palustris, dan ragi seperti S. cerevisiae
menguraikan bahan organik dan menghasilkan asam amino, polisakarida, asam nukleat,
dan gula [18,22,23]. Fermentasi anaerob dimulai setelah semua oksigen dikonsumsi oleh
organisme aerobik [7]. Bahan organik awalnya didekomposisi oleh bakteri anaerob yang
menghidrolisis zat yang larut dalam air, mengubahnya menjadi monomer dan senyawa
terlarut (disintegrasi dan hidrolisis); kemudian asidogenesis mengikuti, di mana alkohol,
senyawa aromatik, dan asam lemak terurai dan H2, CO2, dan asam asetat diproduksi.
Akhirnya, metanogenesis terjadi, di mana CH4 diperoleh dari CO2 dan H [15,24,25].
Bahan FLF seperti bubur, atau residu buah meningkatkan aktivitas fermentasi [26].
Proses fermentasi berlangsung dari dua minggu di iklim panas hingga delapan minggu
di iklim dingin [15]. Produk yang difermentasi dengan benar diidentifikasi oleh cahaya
kuning dan pewarnaan yang hampir transparan, adanya busa putih pada permukaannya,
dan tidak adanya elemen padat yang terlihat (kecuali untuk lapisan sedimen tipis di
bagian bawah fermentor). Baunya mirip dengan pakan ternak silase. Konsistensi FLF
yang difermentasi dengan benar harus hampir cair dengan kepadatan maksimum 1060 g
L-1. Proses fermentasi yang gagal dibedakan dengan warna kebiruan, ungu, atau hijau
serta penampilan keruh, bau busuk, dan adanya busa kehijauan, jamur atau banyak
gelembung pada permukaan FLF. Tempat terbaik untuk menyimpan FLF adalah
bioreaktor tempat ia disiapkan. Alternatif lain adalah wadah gelap lainnya yang terbuat
dari gelas atau plastik. Untuk penyimpanan, suhu luar tidak boleh melebihi 35◦C. Dalam
kondisi ini, FLF dapat disimpan hingga 60 hari. Perawatan harus diambil jika proses
fermentasi tidak disimpulkan karena ini dapat menyebabkan kehilangan nutrisi dan
kerusakan wadah [11,17,20,27].

Nutritional Composition

Komposisi Nutrisi Semua nutrisi tanaman dibuktikan dalam larutan FLF. Selain itu, FLF
mungkin mengandung Na, Si, I, Se, dan beragam logam [11]. Formulasi FLF yang
paling umum, semua berdasarkan pada kotoran sapi (Tabel 1), memiliki kandungan
2101-4800 mg N kg − 1, 27-32 mg P kg − 1, 1651-4493 mg K kg − 1, 931-3716 mg Ca
kg − 1, dan 348-1499 mg Mg kg − 1 (Tabel 2). Selama fermentasi, nitrat yang tidak
dikonversi menjadiammonium dan bentuk gas dari N [15]. Akibatnya, kandungan N
FLF menurun setelah sebagian besar komponen difermentasi, terutama ketika
dipanaskan karena dapat terjadi di bawah paparan langsung ke sinar matahari [20]. Ito
[8] menemukan kandungan N total tertinggi dari FLF pada 30 hari setelah memulai
proses fermentasi, sedangkan kandungan amonium tertinggi diamati setelah 45 hari.
Mengenai P, asam organik yang berasal dari proses fermentasi memfasilitasi
pelarutannya. Penggunaan molase dan whey juga merangsang kelarutan P. Jumlah P
yang tersedia di tanaman dalam FLF meningkat selama sepuluh hari pertama fermentasi
dan kemudian menurun karena konsumsi oleh mikroorganisme [14,15,20]. Kandungan
Mg tidak langsung terkait dengan penggunaan molasse sebagai bahan FLF. Sebaliknya,
keberadaan Ca terkait dengan penggunaan molase dan pupuk kandang [8]. Dari hari
pertama prosesfermentasi, kontentofionik

Ca sedikit menurun, sementara konten ion K meningkat. Selanjutnya, metanogenesis


mengurangi kandungan ionik Fe dan Mn [14,15]. Sedangkan untuk vitamin, vitamin dan
enzim, FLF biasanya mengandung tiamin, piridoksin, niasin, asam pantotenat,
riboflavin, kobalamin, asam askorbat, asam folat, beta-karoten, ergosterol, dan alfa-
amilase [11]. Kebanyakan FLF menunjukkan pH agak asam sekitar 6,5, yang
merupakan konsekuensi dari pembentukan senyawa asam selama proses fermentasi. Ada
juga laporan FLF sangat asam dengan pH 4,5 [20] atau bahkan 3,4 [27]. Konduktivitas
listrik FLF adalah sekitar 5 dS m − 1. Umumnya, salinitas sedikit menurun selama
proses fermentasi [15,27].

Application

FLF harus diencerkan dengan air sebelum diaplikasikan. FLF yang tidak diencerkan
meningkatkan risiko penyerapan nutrisi yang rendah, cedera pada permukaan daun, atau
fitotoksisitas umum [8]. Konsentrasi ideal larutan nutrisi yang diaplikasikan pada daun
tergantung pada spesies tanaman, umur tanaman, status nutrisi dan kondisi cuaca [28].
Dalam kasus FLF, konsentrasi umum berkisar antara 3% dan 7%. Jika mineral
ditambahkan, keadilan untuk mencapai konsentrasi 2% sudah memadai. Digunakan
dalam interval pendek, pengenceran harus lebih tinggi. Abu (150 g L − 1) dan sabun
mentah (2 g L − 1) dapat ditambahkan ke FLF yang diencerkan untuk meningkatkan
daya rekatnya pada tanaman. Jus kaktus, lidah buaya, dan molase memiliki efek perekat
yang serupa [11]. Nutrisi yang diaplikasikan pada daun adalah ion yang memasuki
metabolisme tanaman mengikuti jalur air melalui lilin kutikula daun atau stomata.
Penetrasi bahan berpoliata adalah proses pasif yang didorong oleh gradien konsentrasi
dan dirangsang oleh cahaya dan kelembaban tanah [1,2]. Defisiensi mikronutrien dapat
dikoreksi dengan satu aplikasi daun tunggal (dalam kasus tanaman seperti jagung
dengan permintaan mikronutrien tinggi, mungkin hingga tiga aplikasi). Pasokan
mikronutrien hanya menggunakan pupuk daun dapat dilakukan tetapi hanya akan masuk
akal di tanah yang sepenuhnya terganggu.

Persyaratan makronutrien tidak sepenuhnya dipenuhi dengan aplikasi daun, tetapi


(misalnya pada tanah yang sangat masam) aplikasi daun adalah metode yang efektif
untuk memperbaiki gangguan makronutrien. Selain itu, pasokan makronutrien daun
pelengkap selama tahap pertumbuhan yang ditentukan dapat secara signifikan
meningkatkan kualitas tanaman [2]. Untuk penyerapan pupuk daun yang efisien,
stomata daun harus terbuka; tanaman yang diolah harus dingin dan bombastis; suhu
tidak boleh di atas 20◦C untuk menghindari pembakaran dedaunan tanaman, dan cuaca
harus berangin tetapi tidak berangin. Kelembaban udara sekitar tidak boleh terlalu
rendah karena kekeringan dapat menyebabkan penguapan larutan yang diterapkan,
melumpuhkan senyawanya. Seharusnya hujan tidak turun setidaknya tiga jam setelah
penerapan larutan nutrisi [2,28]. Menurut praktisi, kondisi ini lebih mungkin dipenuhi di
pagi hari; namun, Fageria et al. [2] juga menyarankan sore hari sebagai kesempatan
utama untuk mengaplikasikan pupuk daun. FLF tidak boleh dicampur dengan zat lain.
Satu-satunya pengecualian adalah perekat yang disebutkan seperti jus kaktus dan whey
[11].

Effectivity

Efektivitas Studi terbaru menekankan pengembangan pupuk yang terbuat dari residu
pertanian padat dan cair. Sebagian besar penelitian ini (biasanya dari Asia) adalah pupuk
hayati sentreson, bukan pada FLF [30]. Amerika Latin, wilayah di mana FLF
dikembangkan, masih merupakan tempat di mana sebagian besar penelitian on-farm
informal terkait FLF dilakukan. Akibatnya, bukti efektivitas FLF sering datang dari
negara-negara seperti Peru dan Ekuador. Dalam studi tersebut, efek positif dari
penggunaan FLF pada hasil panen dibuktikan untuk kacang, brokoli, wortel, mentimun,
selada, jagung, dan bayam; sedangkan efek menguntungkan pada kualitas buah
ditunjukkan untuk mentimun dan mentimun. Sebagai pertambahan pertumbuhan, FLF
dengan sukses menguji bidang jagung dan pepaya, dan memproduksi pisang untuk
pengendalian penyakit. Tabel 3.

Future Research Needs


Kebutuhan Penelitian Masa Depan Beberapa studi ekstensif berhubungan dengan FLF.
Oleh karena itu, perlu untuk memperdalam penelitian di bidang ini. Khususnya,
diperlukan lebih banyak studi yang menekankan kekhawatiran petani dan otoritas
pertanian organik (terutama tentang penerimaan penggunaan FLF dengan standar
organik berbeda di seluruh dunia). Masalah penelitian inti termasuk pemantauan dan
pengurangan risiko kesehatan dan kualitas (logam berat dan kontaminasi patogen
manusia). Selain itu, sebagian besar formulasi FLF didasarkan pada apa yang tersedia di
komunitas pertanian Amerika Latin. Oleh karena itu, perlu untuk melaksanakan
penelitian tentang formulasi FLF optimal yang bekerja dengan sumber daya yang
tersedia di bagian lain dunia. Demikian pula, penelitian yang mencakup persyaratan FLF
untuk tanaman tertentu akan sangat membantu. Saat ini, sebagian besar FLF diproduksi
di pertanian menggunakan bahan-bahan yang mudah dicapai seperti tong dan botol
plastik. Mengingat tingginya biaya pupuk daun organik komersial, keadaan ini sangat
bermanfaat bagi produsen skala kecil di negara berkembang. Namun demikian,
penelitian mengenai produksi FLF skala besar akan membantu meningkatkan
distribusinya di negara-negara industri. 7.

Coclusions
Meskipun populer di Amerika Latin, FLF masih merupakan strategi nutrisi tanaman
baru di tingkat global. Namun, teknik ini memiliki potensi untuk menjadi komponen
penting dari nutrisi tanaman berkelanjutan: Banyak kontribusinya termasuk residu
pertanian yang didaur ulang untuk memelihara tanaman dan pasokan mikronutrien yang
sangat tinggi yang dapat mengungguli pemupukan dasar organik. Karena dapat
diproduksi di pertanian, FLF dapat mengurangi biaya pemupukan dan transportasi,
meningkatkan keberlanjutan sistem pertanian. Saat ini, sebagian besar FLF digunakan
sebagai langkah pelengkap untuk teknik pemupukan organik yang sudah mapan.
Namun, mereka memiliki potensi untuk menjadi alat pemupukan yang penting secara
universal.
Pupuk bertindak sebagai katalis dalam memberikan nutrisi untuk tanaman untuk optimal
pertumbuhan dan hasil. setiap jenis pupuk memiliki kelebihan dan kekurangan yang
berkaitan dengan pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah. Mereka secara kasar
dapat dikategorikan menjadi tiga jenis: kimia, organik dan pupuk hayati. Setiap jenis
memiliki kelebihan dan kekurangan. keuntungan ini perlu diintegrasikan untuk
mencapai kinerja yang optimal oleh masing-masing jenis pupuk dan untuk mewujudkan
pengelolaan hara yang seimbang untuk pertumbuhan tanaman.
Nutrisi tanaman penting untuk produksi tanaman dan makanan sehat untuk memperluas
dunia
populasi. Oleh karena itu, nutrisi tanaman merupakan komponen vital dari pertanian
berkelanjutan. peningkatan tanaman produksi sangat tergantung pada jenis pupuk yang
digunakan untuk melengkapi nutrisi penting bagi tanaman. itu Peningkatan
microbialbiomass C dan N diamati pada tanah yang menerima pupuk organik saja atau
dengan aplikasi gabungan organik pupuk dan pupuk kimia dibandingkan dengan tanah
yang menerima pupuk kimia sifat dan karakteristik pelepasan hara kimia, organik dan
pupuk hayati yang berbeda, dan setiap jenis pupuk memiliki kelebihan dan kekurangan
yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah.
Manajemen suara pemupukan harus berusaha untuk memastikan baik ditingkatkan dan
dijaga
lingkungan hidup; Oleh karena itu, strategi pemupukan berimbang yang
menggabungkan penggunaan bahan kimia, organik atau pupuk hayati harus
dikembangkan dan dievaluasi.
Kaur et al. (2005) membandingkan perubahan sifat kimia dan biologi dalam tanah
menerima pupuk kandang, kotoran unggas dan tebu blotong sendiri atau dalam
kombinasi dengan pupuk kimia selama tujuh tahun di bawah urutan tanam millet
mutiara dan gandum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan kecuali
kimia pemupukan meningkatkan tanah organik C, jumlah Status N, P, dan K.
Peningkatan microbialbiomass C dan N diamati pada tanah yang menerima pupuk
organik saja atau dengan aplikasi gabungan organik pupuk dan pupuk kimia
dibandingkan dengan tanah yang menerima pupuk kimia. Studi ini menunjukkan bahwa
pemupukan berimbang menggunakan pupuk baik organik dan kimia penting untuk
pemeliharaan tanah materi (OM) kandungan organik dan produktivitas tanah jangka
panjang di daerah tropis s di mana tanah OM konten rendah.
Ada peningkatan penekanan pada dampak terhadap kualitas lingkungan karena
penggunaan terus menerus kimia pupuk. Sistem pengelolaan hara terpadu merupakan
alternatif dan ditandai dengan dikurangi input pupuk kimia dan penggunaan kombinasi
pupuk kimia dengan bahan organik seperti pupuk kandang, sisa tanaman, pupuk hijau
dan kompos. Sistem manajemen yang mengandalkan organik input sebagai sumber
nutrisi tanaman memiliki dinamika yang berbeda dari ketersediaan hara dari mereka
yang terlibat menggunakan pupuk kimia. Untuk produksi tanaman yang berkelanjutan,
pemanfaatan yang terintegrasi dari bahan kimia dan organik pupuk telah terbukti sangat
bermanfaat. Beberapa peneliti telah menunjukkan efek menguntungkan dari penggunaan
kombinasi pupuk kimia dan organik untuk mengurangi kekurangan banyak sekunder
dan mikronutrien dalam bidang yang terus diterima hanya N, P dan K pupuk selama
beberapa tahun, tanpa mikronutrien atau pupuk organik. Percobaan lapangan dilakukan
oleh Chand et al. (2006) selama tujuh tahun terus-menerus untuk mengevaluasi
pengaruh aplikasi gabungan dan kesuburan organik dan kimia penumpukan dan serapan
hara dalam mint (Mentha arvensis) dan mustard (Brassica juncea) tanam urutan. Hasil
menunjukkan bahwa pasokan terpadu nutrisi tanaman melalui FYM (peternakan
kotoran) dan pupuk NPK, bersama dengan Sesbania pemupukan hijau, memainkan
peran penting dalam mempertahankan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.
Berdasarkan evaluasi indikator kualitas tanah, Dutta et al. (2003) melaporkan bahwa
penggunaan pupuk organik bersama-sama dengan pupuk kimia, dibandingkan dengan
penambahan organik pupuk saja, memiliki dampak positif yang lebih tinggi pada
biomassa mikroba dan karenanya kesehatan tanah. Asi applic dari pupuk organik dalam
kombinasi dengan pupuk kimia telah dilaporkan untuk meningkatkan penyerapan N, P
dan K pada tanaman tebu jaringan daun pada tanaman tanaman dan ratoon,
dibandingkan dengan pupuk kimia saja (Bokhtiar & Sakurai 2005)
Efek pemupukan organik dan penggunaan gabungan pupuk kimia dan organik terhadap
pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah tergantung pada tingkat aplikasi dan sifat
pupuk yang digunakan. Secara umum, tingkat penerapan pupuk organik sebagian besar
didasarkan pada tanaman N kebutuhan dan perkiraan tingkat organik pupuk N pasokan,
tetapi tidak mempertimbangkan jumlah P dan K diberikan pupuk organik. Akan Tetapi,
N ratio / P pupuk organik biasanya secara signifikan lebih rendah dari rasio serapan N /
P tanaman.
Oleh karena itu, mendasarkan pupuk organik pada pasokan N biasanya hasil selain P
melebihi kebutuhan tanaman itu. Nutrisi, garam atau akumulasi logam berat juga telah
dilaporkan di banyak kertas, terutama untuk jangka panjang atau berat penggunaan
pupuk organik dengan kandungan tinggi dari P, K, garam, atau logam berat.

There is increased emphasis on the impact on environmental quality due to continuous


use of chemical fertilizers. The integrated nutrient management system is an alternative
and is characterized by reduced input of chemical fertilizers and combined use of
chemical fertilizers with organic materials such as animal manures, crop residues, green
manure and composts. Management systems that rely on organic inputs as plant nutrient
sources have different dynamics of nutrient availability from those involving the use of
chemical fertilizers. For sustainable crop production, integrated use of chemical and
organic fertilizer has proved to be highly beneficial. Several researchers have
demonstrated the beneficial effect of combined use of chemical and organic fertilizers to
mitigate the deficiency of many secondary and micronutrients in fields that continuously
received only N, P and K fertilizers for a few years, without any micronutrient or
organic fertilizer. A field experiment was conducted by Chand et al. (2006) for seven
years continuously to evaluate the influence of combined applications and organic and
chemical fertility buildup and nutrient uptake in a mint (Mentha arvensis) and mustard
(Brassica juncea) cropping sequence. Results indicated that integrated supply of plant
nutrients through FYM (farmyard manure) and fertilizer NPK, along with Sesbania
green manuring, played a significant role in sustaining soil fertility and crop
productivity. Based on the evaluation of soil quality indicators, Dutta et al. (2003)
reported that the use of organic fertilizers together with chemical fertilizers, compared to
the addition of organic fertilizers alone, had a higher positive effect on microbial
biomass and hence soil health. Applic ation of organic manure in combination with
chemical fertilizer has been reported to increase absorption of N, P and K in sugarcane
leaf tissue in the plant and ratoon crop, compared to chemical fertilizer alone (Bokhtiar
& Sakurai 2005).

Jasa ekosistem adalah manfaat yang diperoleh manusia dari ekosistem, seperti
penyediaan air bersih, makanan, pakan, serat, keanekaragaman hayati, energi, dan siklus
nutrisi. Produksi pertanian secara substansial dapat mempengaruhi berfungsi ekosistem,
baik secara positif maupun negatif. Pertumbuhan produksi pangan global selama masa
lalu setengah abad telah diperlukan trade off antara jasa ekosistem, mengakibatkan
penurunan keseluruhan pasokan layanan selain makanan, pakan, dan fiber.1
Tujuan dari laporan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang dampak teknologi
pertanian dan praktek pada jasa ekosistem seperti kesuburan tanah, air, keanekaragaman
hayati, udara, dan iklim. Intensifikasi memungkinkan petani untuk mendapatkan hasil
yang lebih besar per satuan waktu dan luas dengan menanam lebih banyak tanaman
setiap tahun, yang mengkhususkan diri dalam berulang-ulang budidaya varietas modern,
dan menggunakan jumlah yang lebih tinggi dari inputs.2 eksternal Laporan ini
menggambarkan dampak lingkungan dari berbagai aspek intensifikasi pada bagian
berikut.
Tabel 1 berisi ringkasan teknologi dan dampak lingkungan mereka
Dengan mengurangi keanekaragaman hayati yang direncanakan untuk menyertakan
hanya satu jenis tanaman, monokultur mempengaruhi komposisi dan kelimpahan
keanekaragaman hayati terkait. Misalnya, keseimbangan hama dan musuh alami mereka
yang mungkin ada di bidang polikultur dapat terganggu dalam sistem monokultur, yang
menyediakan habitat untuk berbagai sempit insects.6 Populasi lebah, lalat, ngengat,
kelelawar, dan burung, yang menyediakan penyerbukan dan tekanan hama layanan
penting untuk tanaman, juga cenderung lebih rendah dalam monokultur dibandingkan
bidang mengandung beragam hijauan dan sites.7 bersarang Sebagai contoh, bidang
tanaman tunggal kopi penuh matahari di Kolombia dan Meksiko telah ditemukan untuk
mendukung jenis burung 90 persen lebih sedikit dari naungan-tumbuh kopi systems.8
Sebagai hasil dari keanekaragaman hayati berkurang, sistem monokultur telah
ditemukan untuk menjadi lebih rentan daripada polikultur untuk serangga kutu dan
tanaman virus. Pingali & Rosegrant (1994), misalnya, menemukan bukti beras
berkurang hasil seluruh Asia Tenggara karena meningkatnya populasi hama di
systems.9 padi monokultur Untuk mengelola hama di bidang monokultur, petani harus
menerapkan pestisida kimia, menyebabkan dampak negatif pada kualitas air, satwa liar
populasi, dan health.10 manusia
Pertanian konvensional
Pertanian konvensional melibatkan membajak tanah secara teratur dan mendalam untuk
tujuan melonggarkan struktur tanah, meningkatkan drainase dan aerasi, pengendalian
gulma, dan memutar di bawah sisa tanaman. Secara global, sebagian besar lahan
pertanian mengalami beberapa tingkat persiapan lahan sebelum setiap tanaman. Petani
dapat menggunakan alat-alat tangan, bajak hewan, atau peralatan mekanis untuk
mencapai persiapan lahan. Di Afrika, sebagian besar petani mempersiapkan bidang
dengan tangan atau menggunakan alat-hewan ditarik, meskipun beberapa peternakan
komersial di negara-negara seperti Afrika Selatan, Zimbabwe, dan Nigeria semakin
menggunakan alat pengolahan traktor bertenaga. Pengolahan tanah menyebabkan
merugikan perubahan struktur dan kesuburan tanah dan emisi gas rumah kaca.
Dampak terhadap Tanah: Persiapan lahan mengurangi bahan organik tanah, membuat
tanah yang kurang mampu menyerap dan menyimpan air dan lebih rentan terhadap erosi
dan run-off. Banyak dampak lingkungan pengolahan yang berasal dari efek merugikan
pada bahan organik tanah (SOM), porsi tanah yang berasal dari hewan dan tumbuhan.
Indikator penting dari kualitas tanah secara keseluruhan, SOM menyediakan banyak
manfaat bagi tanah dan tanaman, seperti melindungi terhadap erosi dengan mengikat
dan menstabilkan partikel tanah bersama-sama, menyediakan karbon dan energi untuk
tanah mikro-organisme, meningkatkan penyimpanan dan transmisi air dan nutrisi,
mencegah pemadatan tanah, dan menyimpan karbon dari atmosfer.
Pengolahan tanah yang intensif cenderung mengurangi tingkat SOM dengan
menyebabkan oksidasi bahan organik. Sebagai SOM menurun, tanah menjadi lebih
padat, kurang mampu menyerap dan menahan air, dan lebih rentan terhadap kehilangan
air dari penguapan dan cepat run-off. Kerentanan terhadap erosi angin dan air
meningkat, sehingga berdampak negatif terhadap kualitas udara dan air.
Jumlah dan jenis mikroorganisme tanah juga menurun, menyebabkan pengurangan
siklus hara dan mengatur layanan masyarakat ini memberikan.
Seperti diulas oleh Mrabet (2002), penelitian di seluruh Afrika telah ditemukan
berkurang SOM di bidang di bawah konvensional pengolahan dibandingkan dengan
mereka yang di bawah dikurangi atau tidak sampai. Dalam terus dipotong bidang jagung
di Nigeria barat, peneliti mencatat penurunan kualitas tanah dari waktu ke waktu di
bawah pengolahan tanah konvensional dibandingkan dengan tanpa olah tanah karena
tanah yang dipadatkan dan mengurangi infiltrasi air dan kapasitas. Membandingkan
bidang konvensional dibajak untuk mengurangi pengolahan dan residu bidang retensi di
Zimbabwe, peneliti menemukan tingkat yang lebih tinggi dari air run-off dan erosi pada
plot konvensional digarap.
Ternak memainkan peran penting dalam sistem pertanian di seluruh dunia berkembang.
Sapi, domba, dan kambing dapat memberikan pupuk kandang untuk pupuk, tenaga kerja
untuk operasi lapangan, dan sumber diversifikasi pangan dan pengelolaan ternak
tradisional income.

38 di Afrika dan Asia melibatkan pencampuran hewan dan tanaman di pertanian yang
sama atau penggembalaan ternak di padang rumput. Sistem ini semakin mengalami
intensifikasi, dengan petani merumput kepadatan tinggi ternak pada padang rumput atau
transisi dari merumput ke terbatas operations.39 sistem peternakan intensif
memperburuk dampak bahwa kegiatan peternakan memiliki pada lingkungan, termasuk
efek pada kondisi tanah, keanekaragaman hayati, kualitas dan kuantitas air, dan emisi
gas rumah kaca. . Dampak terhadap Tanah: Ternak mungkin lebih merumput vegetasi
dan menyebabkan pemadatan tanah dan erosi.
Peningkatan tingkat tebar hewan menempatkan tekanan pada lahan penggembalaan,
memimpin dalam beberapa kasus untuk pemadatan tanah dan erosi, degradasi padang
rumput, dan penggurunan di semi-kering areas.40 Konsentrat "tindakan kuku" compacts
basah tanah, membuat mereka kurang mampu menyerap air dan lebih rentan terhadap
run-off dan erosi. Ternak merumput antara tanah dan sungai dapat mengganggu
kestabilan aliran bank dan melepaskan sejumlah besar sedimen ke dalam ekosistem
perairan rapuh. Di yang Irangi Hills tengah Tanzania, pemerintah digusur semua ternak
pada tahun 1979 karena degradasi tanah yang luas dan erosi yang disebabkan oleh
penggembalaan. Meskipun larangan tersebut masih di tempat, petani semakin
memungkinkan ternak untuk merumput dengan bebas, mengancam pemulihan tanah
yang sedang berlangsung. Di bagian lain SSA, pembatasan tradisional rute migrasi
melalui penyeberangan perbatasan dan membangun lubang berair permanen telah
menyebabkan masalah dengan penggembalaan dan degradasi lahan. Melengkapi sistem
pertanian dengan sintetis berasal nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium,
magnesium, dan mikronutrien telah memungkinkan manusia untuk meningkatkan hasil
per daerah secara dramatis selama setengah century.52 terakhir Namun, karena
inefisiensi dalam penggunaan pupuk dan serapan tanaman, peningkatan Penggunaan
pupuk berdampak kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, dan emisi gas rumah
kaca. Dampak terhadap Tanah: pencucian nitrat dan pupuk berbasis amonium
berkontribusi terhadap pengasaman tanah.
Tingginya tingkat pemupukan nitrogen dapat menyebabkan pengasaman tanah, suatu
proses yang menghasilkan tingkat beracun aluminium dan jumlah mangan dan
mengurangi nutrisi penting. Pengasaman terjadi ketika amonium di tertentu pupuk
nitrogen mengalami nitrifikasi ke bentuk nitrat, dan kemudian nitrat larut ke dalam
tanah. ammonium berdasarkan pupuk juga dapat berkontribusi langsung terhadap
pengasaman tanpa adanya pencucian nitrat. Pengasaman tanah adalah
Masalah di negara-negara maju dan berkembang, khususnya di Asia Timur. Misalnya,
survei terbaru dari China areal tanaman produksi utama yang ditemukan pengasaman
signifikan dari seluruh tanah lapisan atas terutama karena pupuk nitrogen yang tinggi
input.
Sistem padi intensif menggunakan banyak teknologi yang dijelaskan di atas -
monokultur, terus menerus tanam, irigasi, dan pupuk dan pestisida - untuk tujuan
memproduksi lebih banyak beras per area dan per musim.
Dimulai pada tahun 1960-an, banyak petani di Asia pindah dari budidaya satu tanaman
padi per tahun diikuti oleh bera musim kemarau, untuk tumbuh dua atau tiga tanaman
padi berturut-turut per tahun pada plot yang sama. ini
Sistem padi intensif berdampak pada kondisi tanah, kuantitas dan kualitas air,
keanekaragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca

Teknologi monokultur berdampak pada pengurangan habitat serangga dan satwa liar
yang mengarah pada peningkatan kebutuhan pestisida. Penggunaan pupuk anorganik
mengakibatkan pengasaman tanah karena pencucian nitrat dan pemakaian pestisida yang
tinggi mengakibatkan hewan merugikan dan mengganggu kesehatan manusia
terakumulasi di tanah dan tercuci terbawa ke badan air.

Sebuah integrasi bijaksana pupuk anorganik dengan organik residu, kompos, pupuk
hayati dan lainnya tonik tanaman dapat membantu untuk meningkatkan hasil panen dan
produktivitas tanah dalam sistem tanam yang berbeda. Lapangan A Percobaan
direncanakan di Rice Research Institute, Kala Shah Kaku, Pakistan melibatkan
penggunaan
Pupuk NPK sendirian dan dalam kombinasi dengan pupuk hijau (Sesbania rostrata) atau
pupuk kandang, (FYM) atau kompos dalam urutan tanam padi-gandum untuk
mengevaluasi efek dari substitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik pada hasil dan
hasil atribut serta ekonomi beras selama tahun 2009. Delapan perawatan yang terdiri
dari T1: Hijau pupuk @ 12,5 t ha-1, T2: FYM @ 12,5 t ha-1
.
T3: Kompos (beras dan tanaman gandum jerami / sisa) @ 12,5 t ha-1, T4: NPK @ 133-
85-62 kg N, P2O5
dan K2O ha-1, T5: Hijau pupuk @ 12,5 t ha-1 + NPK 66-42-31 @ kg N, P2O5 dan K2O
ha-1, T6: FYM
@ 12,5 t ha-1 + NPK 66-42-31 @ kg N, P2O5 dan K2O ha-1, T7: Kompos @ 12,5 t ha-
1 + NPK @ 66-
42-31 kg N, P2O5 dan K2O ha-1, T8: Kontrol (tanpa pupuk dan pupuk organik) yang
disusun dengan menggunakan
acak rancangan Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Aplikasi NPK dan yang
kombinasi dengan kompos, pupuk hijau dan FYM meningkatkan hasil padi secara
signifikan. Di Kalangan
kombinasi yang berbeda, Kompos @ 12,5 t ha-1 + NPK 66-42-31 @ kg N, P2O5 dan
K2O ha-1 menunjukkan
keunggulan dalam hasil dan hasil kontribusi parameter diikuti oleh pupuk hijau @ 12,5 t
ha-1 + NPK
@ 66-42-31 kg N, P2O5, K2O ha-1 dan FYM @ 12,5 t ha-1 + NPK 66-42-31 @ kg N,
P2O5, K2O ha-1
atas orang lain. Hasil padi terendah diamati dalam kasus FYM @ 12,5 t ha-1 diikuti oleh
Green
kotoran @ 12,5 t ha-1 dan Kompos @ 12,5 t ha-1. Keuntungan yang lebih tinggi
diperoleh pupuk anorganik saat dikombinasikan dengan pupuk organik. Disarankan
bahwa penerapan gabungan sintetis
pupuk dan pupuk organik terbukti lebih efisien dalam meningkatkan hasil padi dan
pendapatan ekonomi beras dibandingkan dengan penggunaan mereka yang terpisah

Furthermore, application of manure was most effective in maintaining soil organic


matter and labile organic matter fractions. Soils treated with manure alone had the
highest microbial biomass C and C and N mineralization. Asignificant correlation was
observed between the C content and N content in soil, Particule organic matter. The
amounts of particulate organic matter – N , light fraction organic matter – N, POM – C
and LFOM – C closely correlated with soil organic C or total N content. Microbial
biomass N was closely related to the ammounts of POM – N, LFOM – N, POM – C and
LFOM – C, while microbial biomass C was closely related to the amounts of POM – N,
POM C and soil total N. These results suggested that microbial biomass C and N closely
correlated with POM rather than SOM. Carbon mineralization was closely related to the
amounts of POM – N, POM – C, microbial biomass C, and soil organic C, but no
significant correlation was detected between N mineralization with C or N amounts in
soil and its fractions

Selain itu, pupuk kandang adalah yang paling efektif dalam mempertahankan bahan
organik tanah dan fraksi bahan organik labil. Tanah diperlakukan dengan pupuk
kandang sendiri memiliki tertinggi biomassa mikroba C dan C dan N mineralisasi.
Sebuah hubungan yang signifikan diamati antara isi C dan N konten dalam tanah,
Particule bahan organik. Jumlah bahan organik partikulat - N, fraksi ringan bahan
organik - N, POM - C dan LFOM - C berkorelasi erat dengan tanah kadar N total
organik C atau. Biomassa mikroba N erat terkait dengan ammounts dari POM - N,
LFOM - N, POM - C dan LFOM - C, sedangkan biomassa mikroba C erat terkait
dengan jumlah POM - N, POM C dan total tanah N. Hasil ini menyarankan bahwa
biomassa C mikroba dan N erat berkorelasi dengan POM daripada SOM. Mineralisasi
karbon berkaitan erat dengan jumlah POM - N, POM - C, C biomassa mikroba, dan
tanah organik C, tapi tidak ada korelasi yang signifikan terdeteksi antara N mineralisasi
dengan C atau N jumlah dalam tanah dan fraksinya
Pupuk kandang paling effektif dalam mempertahankan bahan organik dan fraksi bahan
organik labil. Tanah dengan pupuk kandang saja memiliki biomassa mikroba C dan N.
Hasil observasi menunjukkan signifikant berkorelasi antara tanah mengandung C dan N,
partikel bahan organik-N,
Hasil investigasi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan yang terintegrasi dari FYM dan
komersial NP pupuk secara signifikan ditingkatkan kentang umbi hasil dibandingkan
dengan penggunaan masing-masing sumber pupuk secara terpisah, sehingga berpotensi
mengurangi biaya produksi. Mengingat peningkatan tiga kali lipat dari harga pupuk
komersial di negara itu dalam 4-5 tahun terakhir, kemungkinan mengganti 66,6% dari
pupuk anorganik yang direkomendasikan dengan penerapan 20-30 t ha-1 FYM, seperti
yang diamati pada saat ini penelitian harus menjadi manfaat besar bagi para petani
dengan kepemilikan ternak yang cukup. Selain itu, pendekatan terpadu memiliki
manfaat jangka bersama dalam hal itu juga meningkatkan sifat fisiko-kimia tanah untuk
produksi tanaman yang berkelanjutan.
Hasil menunjukkan bahwa penerapan 20 atau 30 t ha-1 FYM + 66,6% dari anorganik
pupuk NP yang direkomendasikan meningkat secara signifikan total hasil umbi atas
penerapan dosis penuh pupuk NP anorganik tanpa FYM di tanah vertisol sedangkan di
nitosol, tingkat tertinggi FYM (30 t ha-1) + 66,6% dari anorganik pupuk NP yang
direkomendasikan secara signifikan meningkatkan hasil total umbi atas penerapan dosis
penuh pupuk NP anorganik tanpa FYM. Penerapan 10 t ha-1 FYM + 66,6% dari
anorganik pupuk NP yang direkomendasikan dan 20 atau 30 t ha-1 FYM + 33,3% dari
anorganik pupuk NP yang direkomendasikan memberikan hasil total umbi, yang setara
dengan hasil umbi diperoleh karena penerapan dosis penuh pupuk anorganik NP saja,
baik tanah. Dengan demikian, penerapan 10 t ha-1 dan 20 atau 30 t ha-1 FYM
menghasilkan penghematan 33,3% dan 66,6% dari pupuk NP yang direkomendasikan,
masing-masing tanpa secara signifikan mengurangi total umbi.

Penggunaan pupuk kandang

Melengkapi 66,6% dari pupuk anorganik yang direkomendasikan dengan 20 t ha-1 FYM
yang cukup untuk secara signifikan meningkatkan hasil total umbi atas kontrol standar
dalam tanah vertisol sedangkan jumlah FYM yang harus melengkapi tingkat yang sama
pupuk NP anorganik dalam nitosol meningkat secara signifikan hasil umbi atas kontrol
standar adalah 30 t ha-1. Dengan demikian, nitosol menuntut penerapan lebih kuantitas
FYM untuk secara signifikan meningkatkan hasil total umbi dibandingkan dengan
Vertisol di bawah tingkat yang sama anorganik NP pupuk aplikasi. Ini mungkin bisa jadi
karena karakteristik tanah fisiko-kimia pada tanah vertisol seperti drainase, dan N dan P
tingkat mineralisasi merespon lebih positif bahkan untuk menurunkan aplikasi FYM
dibandingkan dengan nitosol. Penerapan 30 t ha-1 FYM rata-rata peningkatan hasil total
umbi lebih nol FYM selama kedua tahun sebesar 50% dan 63%, masing-masing pada
niosol dan tanah vertisol. Demikian pula, Sidhu et al. (2007) melaporkan kenaikan yield
29% karena melengkapi 50 t ha-1 di atas kentang FYM kontrol tidak diobati. Penerapan
salah satu tingkat FYM (10, 20, 30 t ha-1) saja meningkatkan hasil total umbi hanya
selama kontrol mutlak tapi tidak bisa secara signifikan meningkatkan hasil total umbi
atas kontrol standar menandakan bahwa kecuali terintegrasi dengan pupuk anorganik,
FYM saja tidak dapat secara signifikan meningkatkan hasil umbi. Hal ini mungkin
karena FYM dirilis nutrisi sangat lambat dan nutrisi yang dirilis pada tahun aplikasi
mungkin tidak memenuhi permintaan nutrisi tanaman. Namun, total hasil umbi secara
signifikan berbeda untuk setiap tingkat FYM dan meningkat secara linear dengan
meningkatnya tingkat FYM di kedua jenis tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kentang
merespon jauh ke aplikasi FYM menunjukkan bahwa petani kentang dapat digunakan
untuk meningkatkan hasil umbi. Dalam perjanjian dengan hasil penelitian ini, berbagai
penelitian juga telah menunjukkan efek positif dari FYM perubahan dengan pupuk
anorganik dalam meningkatkan hasil panen (Ghosh dan Sharma 1999;. Negassa et al
2001; Tolesaa dan Friesen 2001; Joy et al 2005. ; Somanath dan Syeenivasmuthy 2005;
Bayu et al, 2006).. Namun, Patel et al. (2000) tidak melihat efek signifikan dari aplikasi
FYM pada hasil Chicory, yang bertentangan dengan laporan ini serta dengan laporan
penulis tersebut. Peningkatan total hasil umbi dengan tingkat peningkatan aplikasi FYM
dalam penelitian ini mungkin terkait dengan peningkatan P tersedia, mineralisasi N dan
kapasitas tukar kation peningkatan tanah seperti yang telah dijelaskan oleh Tirol-Padre
et al. (2007). Dalam perjanjian dengan hasil penelitian ini, Roy et al. (2001) melaporkan
bahwa perubahan FYM dengan pupuk anorganik tidak signifikan meningkatkan jumlah
dari batang utama dalam kentang atas perlakuan tanpa FYM. 5 hari berbunga awal di
bawah nitosol di Guder dibandingkan dengan Vertisol di Ambo dalam penelitian ini
adalah karena cuaca yang relatif hangat yang berlaku di Guder selama periode
percobaan.

Kotoran sapi dan kotoran unggas diterapkan setengah dari dosis yang direkomendasikan
yaitu 10 ton/ha kotoran sapi + 45 kg N/ha urea dan 10 t/ha kotoran unggas + 60 kg N/ha
urea, hasil nya baik seperti rekomendasi N 90 kg N/ha .
Dalam kombinas antara kombinasi, sifat fisik tanah (terutama dataran tinggi) dan
kesuburan tanah meningkat. Hal ini bisa membantu memecahkan masalah kesuburan
rendah.yang diidenifikasi penyebab rendahnya hasil pada tanah vertisol di Accra Plains
(Ghana).
Campuran kotoran dapi dan ungga di bawah kondisi banjir, dapat berpotensi
menurunkan pH dan potensi redoks. Tetapi tingkat Ca yang tinggi dan aerasi tanah di
tanah vertisol di Accra Plains berjalan dengan dan aerasi tanah berjalan dengan
pembuangan pada periode tertentu cenderung menurun.
Nitrogen dan kandungan C organik kotoran sapi lebih dari kotoran unggas, sementara
fosfor dan kalium tersedia pm lebih tinggi dari kotoran sapi. Tanaman saat berbunga
secara significant lebih tinggi (20ton/ha pm, 90 kg N/ha dan 120 kg N/ha dari pada (20
ron/ha kotoran sapi dan kontrol. Tetapi tanaman lebih tinggi pada kotoran sapi
Pemberian kotoran sapi tunggal PM pada tanaman tidak berbeda nyata dan lebih rendah
daripada dari yang dianjurkan 90 kg N/ha (non organik). Tetapi pada pemberian 10
ton/ha kotoran sapi
ditambah 45kg N/ha urea 10 ton/ha pm ditambah 60 kg N/ha memberikan hasil
sebanding dengan pemberian dibawah 90 dan 120 kg/ha N pupuk anorganik.
Kombinas setengah organik dan inorganik memebrikan malai lebih banyak daripada
kontrol,
Studi yang dilakukan di Pusat Penelitian Pertanian, Kpong, dari University of Ghana,
untuk menemukan solusi untuk masalah hasil panen padi yang rendah pada Vertisols
dari Accra Plains.
Pemberian pupuk kandang secara tunggal tidak menunjukkan hasil yang signifikant
terhadap tanah vertisol.
Hasil padi pada tanah vertisol dari terus bidang cropped telah diamati menurun dengan
waktu, bahkan dengan penerapan tingkat yang direkomendasikan pupuk anorganik.
Penurunan yield telah dikaitkan dengan kesuburan tanah yang melekat rendah, yang
sebagian pengurus atau
Hasil dari rendahnya tingkat bahan organik tanah (OM). Sebagai bagian dari studi,
kotoran sapi (CD) dan kotoran unggas (PM) secara terpisah diterapkan pada tanah pada
20 t ha-1 hanya dan juga 5, 10 dan 15 t ha-1, dalam kombinasi dengan urea pupuk pada
90, 60 dan 30 kg N ha-1, masing-masing. Pengobatan lain termasuk kontrol dan urea
pupuk di 30, 60, 90 dan 120 kg N ha-1. Ada aplikasi basal fosfor dan kalium untuk
semua plot pada 45 kg P2O5 ha-1 dan 35 kg K2O ha-1, masing-masing, berdasarkan
tingkat pupuk yang dianjurkan 90 kg N ha-1, 45 kg P2O5ha-1 dan 35 kg K2O ha-1, di
Vertisols dari Accra Plains. Studi juga dilakukan pada potensi redoks CD, PM dan
jerami padi (RS). Penerapan 10 t ha-1 CD dan pupuk urea (45 kg N ha-1) dan 10 t ha-1
PM dan urea (pada 60 kg N ha-1) keduanya memberikan hasil padi dari 4,7 t ha-1, yang
tidak berbeda secara signifikan dari hasil dari 5,3 t ha-1, diperoleh berdasarkan aplikasi
pupuk nitrogen yang direkomendasikan anorganik dari 90 kg N ha- 1
. Hal ini menunjukkan efek sinergis dari OM dan urea pada kesuburan tanah. Studi
Potensi redoks menunjukkan bahwa RS memiliki kecenderungan lebih besar untuk
membawa kondisi tanah berkurang di lahan sawah daripada CD dan PM, sementara PM
membawa pengurangan lebih besar dari CD.

Perlakuan yang efektif diputuskan secara teknis, mungkin tidak ekonomis jika biaya
produksi lebih dari manfaat yang diperoleh. Sehubungan Dengan Itu, analisis ekonomi
adalah halaman tongkat utama untuk merekomendasikan teknologi produksi.
Maksimum benefit cost ratio (BCR) dari 1: 1.32 (Tabel 4) tercatat dengan penggunaan
kombinasi setengah dosis pupuk kimia dianjurkan bersama dengan kompos @ 12,5 t ha-
1 diikuti oleh pupuk hijau (1: 1,25) dan FYM (1: 1,22) di kombinasi dengan setengah
dosis kimia pupuk terhadap minimum BCR (-1: 0.79) dalam perlakuan kontrol.
Peningkatan maksimum dalam jaring Pendapatan (123,36%) ditemukan dengan
menggunakan kompos + setengah dosis pupuk kimia Aplikasi diikuti oleh pupuk hijau +
setengah dosis pupuk kimia (119,16%).
Penggunaan pupuk organik sendiri dan di kombinasi dengan pupuk kimia ditemukan
bermanfaat bagi berat badan 1000-butir padi (Tabel 2). Itu jelas dari hasil yang tertinggi
berat 1000 butir padi adalah tercatat dalam pengobatan kompos + setengah dosis pupuk
kimia (22,9 g) diikuti oleh pupuk hijau + setengah dosis pupuk kimia (22,7 g) dan FYM
+ setengah dosis kimia pupuk (22,3 g) dan perbedaan antara perawatan ini ditemukan
untuk menjadi tidak signifikan statistik. Sementara minimum Berat 1.000 butir-(20,1 g)
tercatat di plot kontrol. Hasilnya sesuai dengan temuan Parmer dan Sharma (2002),
Kuepper (2003) dan Sarwar et al. (2007, 2008).

Anda mungkin juga menyukai