PEMBIMBING :
dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul “Preeklamsia Berat dan Solusio Plasenta” ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Praya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1. Dr. A. Rusdhy H. Hamid, Sp.OG, selaku Ketua SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP
NTB.
2. Dr. I Made W. Mahayasa, Sp.OG, selaku Koordinator Pendidikan SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUP NTB.
3. Dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG, selaku pembimbing
4. Dr. H. Doddy A. K., Sp.OG (K), selaku supervisor
5. Dr. Agus Thoriq, Sp.OG, selaku supervisor
6. Dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG, selaku supervisor
7. Dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG, selaku supervisor
8. Dr. Puspa Ambara, SP.OG, selaku supervisor
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian maternal
di Indonesia pada tahun 1998-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan penurunan angka kematian
maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2010. Angka kematian
maternal ini merupakan yang tertinggi di antara Negara negara ASEAN. Angka kematian
maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing 5 dan 70 orang per 100.000 kelahiran
hidup (Ariani, 2005).
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah
preeklampsia atau eklampsia (Rozikhan, 2005). Angka kejadian preeklampsia berkisar antara
5–15% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Di rumah sakit Cipto Mangunkusumo
ditemukan 400 -500 kasus/4000–5000 persalinan per tahun. Sampai saat ini etiologinya yang
pasti belum diketahui. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara
lain iskemik plasenta, maladaptasi imun dan faktor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel
dianggap berperan dalam patogenesis preeklampsia (Dharma, 2005).
Di Indonesia, yang paling banyak menyebabkan kematian maternal adalah perdarahan.
(Prawirohardjo, 2002). Perdarahan pada ibu hamil dibedakan atas perdarahan antepartum
(perdarahan sebelum janin lahir) dan perdarahan postpartum (setelah janin lahir). Solusio
plasenta merupakan 30% dari seluruh kejadian perdarahan antepartum yang terjadi
(Pritchard, 2001; WHO, 2003).
Solusio plasenta merupakan penyakit kehamilan yang relatif umum dan dapat secara
serius membahayakan keadaan ibu. Seorang ibu yang pernah mengalami solusio plasenta,
mempunyai resiko yang lebih tinggi mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya.
Solusio plasenta juga cenderung menjadikan morbiditas dan bahkan mortalitas pada janin dan
bayi baru lahir. Angka kematian janin akibat solusio plasenta berkisar antara 50-80%. Tetapi
ada literatur lain yang menyebutkan angka kematian mendekati 100% (Pritchard, 2001).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Preeklamsia Ringan
Timbulnya hipertensi ≥ 140/90 mmHg sampai < 160/110 mm Hg yang disertai
proteinuria (0,3 gr / dalam 24 jam atau secara kualitatif (+) dan atau edema setelah
umur kehamilan 20 minggu.
2 Preeklamsia Berat
Timbulnya hipertensi ≥ 160 /110 mmHg disertai proteinuria (> 5 gram / 24 jam atau
kualitatif ( +++ ) dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu.
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi
terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:
4
1. Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat
keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia
2. Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking
antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia
Perkembangan preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan
kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua
3. Kegemukan
4. Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi
kembar atau lebih
5. Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu
sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi
hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degenerati seperti reumatik
arthritis atau lupus
5
a. Beberapa wanita dengan preeklampsia/eklampsia mempunyai komplek imun dalam
serum
b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada
preeklampsia/eklampsia diikuti dengan proteinuri.
3. Peran Faktor Genetik/Familial
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
preeklampsia/eklampsia antara lain :
6
akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di mana VLDL
terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan
muncul. Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang
saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia
plasenta.
Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan.
Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya
mengakhiri kehamilan. Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver
enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan
kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat
badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD) (Dharma, 2005).
Diferensial diagnosis antara preeklamsia dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal
tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hipertensi menahun, adanya tekanan darah yang
meninggi sebelum hamil, pada hamil muda, atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna
7
untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan funduskopi juga berguna karena perdarahan dan
eksudat jarang ditemukan pada preeklampsia, kelainan tersebut biasanya menunjukkan
hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak
menolong. Proteinuria pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ketiga, sedangkan
pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu (Rachimhadhi, 2006).
1. Rawat Jalan
Cukup istirahat
Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
Tidak perlu diberi obat-obatan
Pantau tekanan darah, pemeriksaan urin (proteinuria), refleks patella dan
kondisi janin.
Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pre-
eklampsia berat dan eklampsia.
Kunjungan ulang setiap 1 minggu
2. Rawat Inap
a. Kriteria rawat inap :
Bila dalam pengobatan 2 minggu tidak ada perbaikan
Cenderung menuju gejala pre-eklampsia berat
Hasil pemeriksaan kesejahteraan janin meragukan atau jelek
(USG/KTG)
b. Pengobatan / evaluasi selama rawat inap :
Tirah baring
Pemeriksaan laboratorium : Hb, hematokrit, urine lengkap, asam urat
darah, trombosit, fungsi hati, fungsi ginjal.
c. Konsultasi dengan Bagian lain :
SMF Mata
SMF Penyakit Dalam
SMF Penyakit Jantung, dll
d. Evaluasi hasil pengobatan
8
Pemeriksaan kesejahteraan janin ( “fetal well being” )
Bila jelek : Terminasi kehamilan
Bila ragu : Ulangi pemeriksaan kesejahteraan janin
Bila baik :
- Usia kehamilan < 37 minggu
Bila tensi normal, persalinan ditunggu sampai aterm.
Bila tensi turun tetapi tidak mencapai normal, kehamilan dapat
diakhiri pada umur kehamilan > 37 minggu.
- Usia kehamilan ≥ 37 minggu
Bila tensi normal, persalinan ditunggu sampai inpartu.
Bila tensi tidak mencapai normal dilakukan terminasi.
- Cara persalinan
Pervaginam bila tidak ada kontra indikasi
Bila perlu mempercepat kala II (Ekstraksi Vakum/Forseps)
Preeklamsia Berat
Perawatan Konservatif
1. Bila umur kehamilan < 37 minggu, tanpa adanya keluhan subyektif dengan keadaan janin
baik.
2. Pengobatan dilakukan di Kamar Bersalin / Ruang Isolasi
a. Tirah baring dengan miring ke satu sisi (kiri)
b. Infus Dekstrose 5 %, 20 tts/menit
c. Pasang kateter tetap
d. Pemberian obat anti kejang : Magnesium Sulfat ( MgSo4 )
• Langsung berikan dosis pemeliharaan MgSO4 2 g/jam IV
• Caranya : 1) Siapkan larutan infus Dekstrose 5% atau NaCL 0,9% 500 cc
2) Masukkan MgSO4 40% 30 cc ke dalam 500 cc larutan infus
3) Atur tetesan 28 tetes/menit (1 kolf/ 6 jam)
4) Monitor jumlah tetesan, bersamaan dengan monitor tanda
vital
9
• Syarat – syarat pemberian MgSO4 :
Perawatan Aktif
1. Indikasi
a. Penilaian kesejahteraan janin jelek
b. Adanya keluhan subyektif ( “Impending Eklampsia” )
c. Adanya sindroma HELLP
d. Kehamilan Aterm
e. Perawatan konservatif gagal
f. Perawatan selama 24 jam, tekanan darah tetap ≥ 160 / 110 mmHg
2. Pengobatan Medikamentosa
a. Tirah baring miring ke satu sisi ( kiri )
b. Infus Dekstrose 5% 20 tetes / menit
c. Pemberian MgSO4
• Dosis Awal : Berikan MgSO4 4 g IV (bolus)
Caranya : 1) Masukkan MgSO4 40 % 10 cc ke dalam spuit 20 cc
2) Tambahkan aquadest 10 cc
3) Berikan secara IV perlahan (5-10 menit)
4) Bila tidak tersedia spuit 20 cc, dapat menggunakan spuit 10 cc :
Mula-mula masukkan MgSO4 40% 5 cc ke dalam spuit 10 cc
lalu tambahkan aquadest 5 cc kemudian tambahkan lagi
aquadest 5 cc dan suntikkan kembali
11
• Dosis Pemeliharaan : MgSO4 2 g/jam IV
1) Setelah tindakan (pervaginam atau seksio sesarea) pasien segera minum 1 s/d
2 gelas
2) Setelah bayi lahir monitor : keluhan subyektif, tekanan darah dan diuresis
dalam 2 jam (100 cc/jam)
3) Bila tidak ada keluhan subjektif, tekanan darah sesuai kriteria Preeklampsia
ringan dan diuresis 100cc/jam maka pemberian MgSO4 dihentikan.
4) Bila timbul tanda-tanda intoksikasi MgSO4 segera berikan Calcium Gluconas
10%, 1gr dalam 10cc IV pelan-pelan selama 3 menit.
5) Bila sebelum pengobatan MgSO4 telah diberikan Diazepam maka dilanjutkan
pengobatan dengan MgSO4.
6) Bila tekanan darah ≥ 180 / 110 mmHg diberikan injeksi Clonidin 0,15 mg IV
yang diencerkan 10 cc Dekstrose 5% diberikan sama dengan perawatan
konservatif dilanjutkan Nifedifin 3 x 10 mg.
3. Terminasi kehamilan
a. Induksi persalinan dengan drips Oksitosin bila
• Kesejahteraan janin baik
• Skor pelvik (Bishop) ≥ 5
b. Operasi Seksio Sesarea bila
• Kesejahteraan janin jelek
• Skor pelvik ( Bishop ) < 5
(Doddy, 2008)
SOLUSIO PLASENTA
2.2.1 DEFINISI SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi
normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir (Gasong,
1997; Slava; 2006). Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir
(Cunningham, 2001). Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin
akan didiagnosis sebagai abortus imminens (Rachimhadhi, 2002). Sedangkan Abdul Bari
Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari
tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila
terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram (Abdul, 2002)
12
2.2.2 KLASIFIKASI SOLUSIO PLASENTA
a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta
(Rachimhadhi, 2002) :
1. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
2. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
3. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (Pritchard, 2001) :
1. Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma
retroplacenter
3. Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion .
c. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio
plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu (Cunningham, 2001, Gasong, 1997) :
1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan,
janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma
lebih 150 mg%.
2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat
janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati,
pelepasan plasenta bisa terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
13
Insiden solusio plasenta bervariasi, antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur
lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1
dalam 500-750 persalinan (Pernoll, 1999). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi
solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada
angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria dalam
menegakkan diagnosis (Slava, 2006). Di Parkland Memorial Hospital terjadi 1 kasus dalam
500 persalinan. Tetapi seiring dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi
pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (Cunningham, 2001).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian
solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi (Pernoll, 1999). Penelitian
retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran
didapatkan 0,5% terjadi kasus solusio plasenta (Ducloy, 2005).
Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu
hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa solusio plasenta menempati tempat pertama sebagai
penyebab kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan dalam masa kehamilan
(Cunningham, 2001). Di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSUPCM)
Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio
plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio
plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis,
mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya
terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya (Rachimhadhi,
2002). Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam
periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan
(0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan (Suryani, 2004).
14
2.2.4 ETIOLOGI SOLUSIO PLASENTA
Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus – kasus berat
terdapat korelasi dengan penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan 15,5% disertai pula oleh
preeklamsia. Faktor lain yang diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio
plasenta adalah tingginya tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu (Rachimhadhi,
2002).
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
kondisi yang menjadi predisposisi (Cunningham, 2001; Pritchard, 2001) :
1. Hipertensi kronis dan preeklamsia
2. Bertambahnya usia dan paritas ibu
3. Trauma
4. Merokok dan penggunaan kokain
5. Dekompresi uterus yang mendadak
6. Tekanan pada vena kava inferior karena pembesaran uterus.
7. Pernah mengalami solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya.
8. Anomali uterus atau tumor uterus
9. Malnutrisi/defisiensi gizi.
Para ahli juga mengemukakan teori mengenai penyebab solusio plasenta :
“Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke
ruangan interviller, maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum
menjadi nekrosis, spasme hilang dan darah kembali ke dalam intervili, namun pembuluh
darah distal tadi sudah sedemikian rapuh sehingga mudah pecah, kemudian terbentuk
hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim”. Darah yang berkumpul di
belakang plasenta disebut hematoma retroplacenter (Ducloy, 2005).
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya solusio plasenta :
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia
(Moechtar, 1998; Chalik, 1997). Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat
hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi
tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh
kehamilan. Disini terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi
pada ibu (Pritchard, 2001).
2. Faktor trauma
- Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
15
- Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar
atau pertolongan persalinan.
- Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi
pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari
seluruh kasus solusio plasenta (Abdul, 2002). Di RSUPCM dilaporkan 1,2% kasus solusio
plasenta disertai trauma (Rachimhadhi, 2002).
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari
83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18
pada primipara (Moechtar, 1998; Chalik, 1997). Pengalaman di RSUPCM menunjukkan
peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat
diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium
(Rachimhadhi, 2002).
4. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan
kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan
karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun (Prawirohardjo, 2002;
Rachimhadhi, 2002).
5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta
apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma (Pritchard, 2001,
Moechtar, 1998).
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan
katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah
uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara
definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar
antara 13-35% (Deering, 2005).
7. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai
dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada
ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada
mikrosirkulasinya (Maryuni, 2007). Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko
16
terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya
kehamilan (Deering, 2005).
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta
adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta
sebelumnya (Pritchard, 2001, Slava, 2006, Deering, 2005).
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava
inferior, dan lain-lain (Chalik, 2007).
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta
dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum
jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan
cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna
kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang
meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk menghentikan perdarahan.
Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya
seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput
ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke dalam kantong ketuban, atau
mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya
17
berlangsung hebat akan terjadi Uterus Couvelaire, dimana seluruh permukaan uterus akan
tampak bercak kebiruan atau berwarna ungu. Uterus seperti ini akan terasa sangat tegang dan
nyeri dan akan mengganggu kontraktilitas uterus setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya
akan terjadi perdarahan post partum yang hebat (Pritchard, 2001; Rachimhadhi, 2002)
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin
yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler
dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu
jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi
gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh
lainnya (Rachimhadhi, 2002).
18
tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat (Cunningham,2001; Rachimhadhi,
2002; Gasong, 1997).
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari sepertiga permukaannnya. Terjadi sangat tibatiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok, dan janinnya telah meninggal. Uterusnya
sangat tegang seperti papan, dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai
dengan keadaan syok ibu, malahan perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat
terjadi. Pada keadaan- keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada
pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal (Cunningham,2001; Rachimhadhi,
2002; Gasong, 1997).
Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa
oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar melalui vagina hampir
tidak ada atau tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat
banyak. Penampakan yang mengecoh inilah sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih
berbahaya karena dalam keadaan yang demikian seringkali perkiraan jumlah darah yang telah
keluar sukar diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok
(Rachimhadhi, 2002).
Gejala dan tanda solusio plasenta sangat beragam, sehingga sulit menegakkan
diagnosisnya dengan cepat. Dari penelitian oleh Hard dan kawan-kawan diketahui bahwa
15% dari kasus solusio plasenta didiagnosis dengan persalinan premature idiopatik, sampai
kemudian terjadi gawat janin, perdarahan hebat, kontraksi uterus yang hebat, hipertoni uterus
yang menetap, gejala-gejala ini dapat ditemukan sebagai gejala tunggal, tapi lebih sering
berupa gejala kombinasi (Cunningham, 2001).
19
Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan proporsi perdarahan
yang terlihat (Cunningham,2001; Pritchard, 2001; Deering, 2005).
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera
ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kematian dan
kesakitan ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi
akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok
perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan
petunjuk banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan
tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan
mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan
yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga
dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan (Blumenfelt, 1997).
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering pada solusio plasenta, pada dasarnya
disebabkan hipovolemia oleh karena perdarahan. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi
ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan
terjadi akibat nekrosis tubuli atau korteks ginjal mendadak (Cunningham, 2001,
Rachimhadhi, 2002). Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran
pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan
gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan
darah (Cunningham, 2001).
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPCM
dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang
ditelitinya (Rachimhadhi, 2002).
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar
antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan
terjadi gangguan pembekuan darah (Cunningham, 2001, Rachimhadhi, 2002, Slava, 2006).
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase (Slava, 2006; Maryuni,
2005):
a. Fase I
20
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah,
disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler
(mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena
pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa
hematom subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan
intravaskuler tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan
jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat
menyebabkan oliguria/anuria (Slava, 2006).
b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha badan untuk membuka kembali
peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis.
Fibrinolisis yang berlebihan, lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi
perdarahan patologis (Maryuni, 2005). Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah
harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan
darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik. Karena pemeriksaan laboratorium lainnya
memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita
saat itu (Cunningham, 2001).
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah
perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan
gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru yang biasa disebut
Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak tergantung pada
kesanggupannya menghentikan perdarahan (Suryani, 2004). Komplikasi yang dapat terjadi
pada janin (Slava, 2006; Deering, 2005; Ducloy, 2005) :
1. Fetal distress dan gangguan pertumbuhan/perkembangan
2. Hipoksia dan anemia
3. Kematian
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau
tanda terbanyak dari kasus solusio plasenta. Berdasarkan kepada gejala-gejala dan tanda-
tanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis,
tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta
klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus
yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung
janin tidak terdengar dan palpasi perut sulit meraba bagian-bagian janin.
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta
antara lain (Rachimhadhi, 2002; Blumenfelt, 1997) :
1. Anamnesis
- Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat melokalisir tempat mana
yang paling sakit.
- Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan tiba – tiba (non-recurrent) terdiri dari
darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman .
- Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
- Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis
yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
- Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
- Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
22
- Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
- Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
3. Palpasi
- Fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
- Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik
waktu his maupun di luar his.
- Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
- Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140,
kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari
sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
- Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
- Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his
maupun di luar his.
- Apabila ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan
turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering
meragukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum
- Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit
vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil
dan filiformis.
7. Pemeriksaan laboratorium
- Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan leukosit.
- Darah : Hb menurun (anemia), periksa golongan darah, lakukan crossmatch test. Karena
pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka
diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen
(fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 150 mg%).
8. Pemeriksaan plasenta
Saat setelah bayi dan plasenta lahir, periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan
cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku di
belakang plasenta., yang disebut hematoma retroplacenter.
9. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
23
- Temuan yang beragam
- Terlihat daerah terlepasnya plasenta
- Janin dan kandung kemih ibu
- Darah
- Tepian plasenta
24
pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan
persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah (Blumenfelt, 1997).
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan
pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh
karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan
bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat
mencegah kelainan pembekuan darah (Blumenfelt, 1997).
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi
jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infuse oksitosin,
maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Uterus Couvelaire tidak
merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan
setelah dilakukan seksio sesaria, tindakan histerektomi perlu dilakukan (Rachimhadhi, 2002).
25
BAB III
STATUS OBSTETRI
I. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Usia : 23 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Suku : Sasak
Alamat : Meninting, Batu layar, Lombok Barat.
MRS : 6 September 2012 / 16.30 WITA
II. ANAMNESIS
06/09/2012 (13.00)
S : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang menyebar ke pinggang sejak
06/09/2012. Bloody slim (+).
O : GC : Baik
TD : 140/110 mmHg HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit T : 37 oC
TFU : 27 cm TBJ : 2480 gram
His : 2x/10’~20” DJJ : 11-11-12 (136 x/menit)
L1 : Bokong
26
L2 : Punggung di sebelah kiri
L3 : Kepala
L4 : 3/5
VT : Ø 4 cm, effacement 50%, amnion (+), teraba kepala ↓ HI, tidak teraba bagian
terkecil janin dan tali pusat.
A : G1P0A0H0 37 – 38 minggu T/H/IU presentasi kepala, partus kala I fase aktif dengan
preeklamsia berat.
P:
Nifedipine 5 mg sublingual
Infus RL + MgSO4 40% drip 28 tpm
Bolus MgSO4 4 gr
Pasang DC
Rujuk ke RSUP NTB
Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan dan makanan disangkal.
Riwayat Obstetri :
Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut :
1. Ini
HPHT : 16/12/2011
Taksiran Persalinan : 23/09/2012
Riwayat ANC : > 4 kali di Posyandu, Polindes dan Puskesmas
ANC terakhir : 11/08/2012
Hasil ANC : Normal
Riwayat USG : 1 kali di Puskesmas Meninting
Hasilnya janin T/H/IU, presentasi kepala, 38-39 minggu, TBJ
3504 g, HTP 11/07/2012.
Riwayat KB : (-)
27
Rencana KB : Suntikan tiap 3 bulan
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
- HGB : 9,9 g/dl
- RBC : 5,49 106/µL
- HCT : 34,3 %
- WBC : 15 106/µL
- PLT : 451 106/µL
- HbSAg : (-)
- Proteinuria : + 3
VI. DIAGNOSIS
G1P0A0H0 37 – 38 minggu T/H/IU presentasi kepala, persalinan kala I fase aktif
dengan preeklamsia, solusio plasenta, dan anemia ringan.
VII. TINDAKAN
Observasi kesra ibu dan janin
Observasi kemajuan persalinan
Oksigen nasal canul 4 lpm
Infus RL + Drip MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
Nifedipine 3 x 1 10 mg per oral
Pemeriksaan laboratorium : DL, UL, HbsAg, SGOT, SGPT
DM mengusulkan ke SPV : pro akselerasi dengan oksitosin drip
SPV advice : Konsul ke dokter jaga terlebih dahulu.
DM mengusulkan ke dr. jaga : pro akselerasi dengan oksitosin drip
Kemudian dr. jaga konsul ke SPV : pro akselerasi dengan oksitosin drip
SPV advice : acc akselerasi dengan oksitosin drip
24.00 (06/09/2012)
Ditemukan :
Retro plasenta hematom
AS Bayi : 5-7
Planing :
29
Cek DL ulang setelah persalinan selesai
Bayi dibawa ke NICU untuk perawatan intensif
IX. PLASENTA
Lahir : Spontan
Lengkap : Ya
Berat : + 300 gram
Perdarahan : + 300 cc
Temuan : Ditemukan retro plasenta hematom dan kalsifikasi
30
Pemeriksaan Laboratorium :
- HGB : 8,8 g/dl
- RBC : 4,86 106/µL
- HCT : 30,5 %
- WBC : 21,09 106/µL
- PLT : 384 106/µL
31
TIME SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESSMENT PLANNING
06/09/2012 Pasien rujukan dari
Puskesmas Status Generalis G1P0A0H0 37 – 38 Observasi kesra ibu dan
16.30 Meninting dengan G1P0A0H0 37 – 38 KU : Sedang minggu T/H/IU janin
minggu T/H/IU presentasi kepala, partus Kesadaran : Compos mentis E4V5M6 presentasi kepala, Observasi kemajuan
kala I fase aktif dengan preeklamsia TD : 160/100 mmHg persalinan kala I fase persalinan
berat. Pasien mengeluh nyeri perut hilang HR : 120 x/menit aktif dengan PEB, Oksigen nasal canul 4 lpm
timbul yang menjalar ke pinggang sejak RR : 24 x/menit solusio plasenta, dan
Infus RL + Drip MgSO4
o
pukul 00.00 WITA (06/09/2012). Bloody Suhu : 37 C anemia ringan.
40% 6 gr 28 tpm
Mata : anemis (+/+), icteric (-/-)
slim (+) pada pukul 04.00 WITA Nifedipine 3 x 1 10 mg per
Cor : S1S2 tunggal regular, Murmur (-),
(06/09/2012). Riwayat keluar darah oral
Gallop (-).
berwarna kehitaman pada pukul 15.00 Pemeriksaan laboratorium :
Pulmo : vesicular (+/+), wheezing (-/-),
WITA (06/09/2012). Riwayat keluar air DL, UL, HbsAg, SGOT,
ronkhi (-/-).
dari jalan lahir (-). Pasien mengaku Abdomen : scar (-), stria gravidarum SGPT
masih merasakan gerakan janinnya. (+), linea nigra (+), nyeri tekan (+),
DM mengusulkan ke SPV :
Riwayat sakit kepala (-), riwayat defans muskular (-).
pro akselerasi dengan
pandangan kabur (-), riwayat nyeri ulu Extremitas : edema (-/-), warm acral
oksitosin drip
hati (-). (+/+).
SPV advice : Konsul ke
Riwayat DM (-), HT (-), asthma (-). Status Obstetri
dokter jaga terlebih dahulu.
L1 : bokong TFU : 28 cm
HPHT : 16/12/2011
L2 : puki TBJ : 2635 gram DM mengusulkan ke dr.
HTP : 23/09/2012
L3 : kepala His : 2x/10’~35” jaga : pro akselerasi dengan
Riwayat ANC : > 4x di Puskesmas L4 : 4/5 DJJ : 11-12-11 (136 oksitosin drip
32
ANC terakhir : 11/08/2012 x/menit) Kemudian dr. jaga konsul
Hasil ANC terakhir : Normal ke SPV : pro akselerasi
VT : Ø 4 cm, effacement 50%, amnion
Riwayat USG : 1x di Puskesmas Meninting dengan oksitosin drip
(+), teraba kepala, ↓ HI, denom belum
Hasil USG : Janin T/H/IU, presentasi jelas, tidak teraba bagian terkecil janin SPV advice : acc akselerasi
kepala, 38-39 minggu, dan tali pusat. dengan oksitosin drip
TBJ 3504 g, HTP CTG : reaktif DM
Pelvic Evaluation :
11/07/2012. Spina ischiadica tidak menonjol melakukan akselerasi drip
Riwayat Obstetri :
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Ini
Hb : 9,9 g/dl
Kronologis di Puskesmas Meninting
RBC : 5,49 x 106/µL
06/09/2012 (13.00)
HCT : 34,4 %
S : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut WBC : 15,00 x 106/µL
yang menyebar sampai ke pinggang sejak PLT : 451 x 106/µL
06/09/2012. Bloody slim (+). HbSAg : (-)
Proteinuria : +3
O : GC : baik
TD : 140/110 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37 oC
TFU : 27 cm
33
TBJ : 2480 gram
His : 2x/10’~20”
DJJ : 11-11-12 (136 x/menit)
L1 : Bokong
L2 : Puki
L3 : Kepala
L4 : 3/5
VT : Ø 4 cm, effacement 50%, amnion (+),
teraba kepala ↓ HI, denom belum jelas,
tidak teraba bagian terkecil janin dan tali
pusat.
Protein urine : + 3
P:
Nifedipine 5 mg sublingual
Infus RL + MgSO4 40 % drip 28
tpm
Bolus MgSO4 4 gr
Pasang DC
Rujuk ke RSUP NTB
34
17.00 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 2x/10’~35” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 13-12-13 (152 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 160/100 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 96 x/menit
drip menjadi 12 tpm
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
17.30 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 2x/10’~35” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 13-12-12 (148 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 160/100 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 92 x/menit
drip menjadi 16 tpm
RR : 20 x/menit
T : 36,4 0C
18.00 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 2x/10’~35” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 13-12-13 (152 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 160/90 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 96 x/menit
drip menjadi 20 tpm
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
35
18.30 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~35” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 160/90 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 102 x/menit
drip menjadi 24 tpm
RR : 24 x/menit
T : 36,4 0C
19.00 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~35” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-12-13 (148 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 160/90 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 96 x/menit
drip menjadi 28 tpm
RR : 20 x/menit
T : 35,9 0C
19.30 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~35” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 150/90 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 108 x/menit
drip menjadi 32 tpm
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
36
20.00 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~40” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-13-12 (148 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip MgSO4
Kesadaran : CM E4V5M6 40% 6 gr 28 tpm
TD : 150/90 mmHg Tingkatkan tetesan oxytocin
N : 102 x/menit
drip menjadi 36 tpm
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C
20.30 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~40”
G1P0A0H0 37 – 38 Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-11-12 (140 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul minggu T/H/IU
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip MgSO4
presentasi kepala,
Kesadaran : CM E4V5M6 40% 6 gr 28 tpm
persalinan kala I fase
TD : 150/90 mmHg Maintenance tetesan oxytocin
aktif dengan PEB,
N : 108 x/menit
solusio plasenta, dan drip di 36 tpm
RR : 24 x/menit
anemia ringan.
T : 36,3 0C
21.00
Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~40” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
37
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 150/90 mmHg Maintenance tetesan
N : 102 x/menit oxytocin drip di 36 tpm
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C
21.30
Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~40” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-12-13 (148 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 150/90 mmHg Maintenance tetesan
N : 108 x/menit
oxytocin drip di 36 tpm
RR : 24 x/menit
T : 36,7 0C
22.00
Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 3x/10’~40” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 140/90 mmHg Maintenance tetesan
N : 96 x/menit
oxytocin drip di 36 tpm
RR : 24 x/menit
T : 36,4 0C
38
22.30 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 4x/10’~40” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 140/90 mmHg Maintenance tetesan oxytocin
N : 102 x/menit drip di 36 tpm
RR : 24 x/menit
T : 36,2 0C
23.00 Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang
His : 4x/10’~40” Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit) Observasi kemajuan persalinan
timbul
KU : Sedang Lanjutkan infus RL + drip
Kesadaran : CM E4V5M6 MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
TD : 140/90 mmHg Maintenance tetesan oxytocin
N : 96 x/menit drip di 36 tpm
RR : 24 x/menit
T : 35,8 0C
23,30 Pasien ingin mengedan dan keluar darah dari
His : 4x/10’~40”
G1P0A0H0 37 – 38 Observasi kesra ibu & janin
DJJ : 10-11-11 (128 x/menit) Lanjutkan infus RL + drip
vaginanya minggu T/H/IU
KU : Sedang MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
presentasi kepala,
Kesadaran : CM E4V5M6 Maintenance tetesan oxytocin
persalinan kala II
TD : 150/90 mmHg drip di 36 tpm
dengan PEB, solusio
N : 112 x/menit Pimpin persalinan
plasenta, dan anemia
RR : 24 x/menit
ringan.
T : 36,2 0C
39
Inspeksi : Tekanan anus, perineum
menonjol, vulva membuka, aktif
bleeding (+)
40
Perdarahan aktif : (-)
Lochea rubra : (+)
Pemeriksaan Laboratorium :
Hb : 8,8 g/dl
RBC : 4,86 x 106/µL
HCT : 30,5 %
WBC : 21,09 x 106/µL
PLT : 384 x 106/µL
06.00 Pasien mengeluhkan nyeri di daerah vagina
KU : Sedang
1 Hari post partum Observasi kesra ibu dan
Kesadaran : CM E4V5M6 perdarahan aktif
TD : 110/70 mmHg Anjurkan ibu untuk makan dan
N : 108 x/menit minum
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
Kontraksi uterus : (+) Baik
TFU : 2 jari dibawah umbilicus
Perdarahan aktif : (-)
Lochea rubra : (+)
41
BAB IV
PEMBAHASAN
42
• Edema paru dan sianosis. Edema paru merupakan penyebab utama kematian pada
penderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi ini terjadi sebagai akibat
dekompensasio kordis kiri.
Terapi preeklampsia berat menggunakan MgSO4 40% 6 gr dalam 500 cc larutan RL
(drip 28 tetes/ menit) dan MgSO4 40% 4 gr IV (bolus) dalam kasus ini terbukti efektif dalam
mencegah terjadinya kejang pada penderita. Pemberian Nifedipin 3 x 10 mg peroral juga
efektif pada pasien ini. Setelah bayi lahir keadaan tekanan darah pasien segera turun dan
berada dalam keadaan normotensi (tekanan darah normal). Walaupun tekanan darah pasien
sudah turun namun namun pemberian MgSO4 tetap dilanjutkan hingga 24 jam post partum
untuk mencegah terjadinya kejang yang dapat juga terjadi saat post partum. Keadaan terakhir
ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Bayi segera dibawa ke NICU untuk mendapatkan
perawatan yang intensif oleh karena afgar skor bayi 5 – 7.
Untuk mengantisipasi preeklamsia pada kehamilan berikutnya ibu dianjurkan untuk
ANC yg lebih teratur pada kehamilan berikutnya, karena dengan ANC yg baik, ibu dapat
mengetahui tanda bahaya pada kehamilannya serta lebih dapat mempersiapkan mental dan
fisik ibu pada waktu persalinan. Pentingnya perkembangan ANC pada saat umur kehamilan <
20 mg akan membantu menegakkan diagnosa preeklampsi dan menyingkirkan diagnosa
banding hipertensi kronik dalam kehamilan. Selain itu ibu danjurkan untuk menggunakan KB
spiral untuk meningkatkan efektifitas program KB di masyarakat. Pada kasus ini ibu tidak
menyetujui pilihan KB tersebut karena alasan takut tidak bisa punya anak lagi dan lebih
memilih KB injeksi 3 bulan. Hal ini sangat disayangkan karena pengetahuan tentang KB
pasca persalinan secara lengkap seharusnya sudah didapat saat dilakukan ANC yang baik
oleh kader posyandu atau bidan puskesmas di tempat ibu memeriksakan diri.
Pada pasien ini juga terjadi solusio plasenta. Solusio plasenta adalah terlepasnya
sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya setelah kehamilan 20 minggu
dan sebelum janin lahir. Pada pasien ini kemungkinan terjadi solusio plasenta ringan karena
ditemukan perut tidak tegang, namun ditemukan nyeri tekan, dan adanya riwayat perdarahan
pervaginam yang berwarna kehitaman pada pasien, ibu terlihat anemis, belum adanya tanda
renjatan pada pasien, dan janin masih hidup dengan kondisi baik saat di dalam rahim. Saat
plasenta lahir ditemukan hematoma retroplacenta pada plasenta janin. Hematoma ini
merupakan koagulum atau darah beku di belakang plasenta yang menjadi pertanda khas
solusio plasenta.
43
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan
terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium
atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan
perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Apabila perdarahan sedikit, hematom yang
kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum
terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah
plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya
dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung
terus menerus karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi
untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar,
sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian
darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke
dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium.
Solusio plasenta ringan disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan
sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam,
warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terus menerus
agak tegang. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang
agak tegang ini harus selalu diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung.
Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis. Pada
pasien ini terjadi solusio plasenta ringan pada usia kehamilan aterm maka penanganan yang
dilakukan adalah terminasi kehamilan. Terminasi kehamilan dilakukan dengan amniotomi,
infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Amniotomi akan merangsang persalinan dan
mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan
dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang
mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik.
Persalinan juga dapat dipercepat dengan infus oksitosin yang memperbaiki kontraksi uterus.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi
jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infuse oksitosin,
maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Pasien ini dating dengan
bukaan 4 cm, solusio plasenta ringan, serta tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginan
jadi dapat dicoba terlebih dahulu persalinan pervaginam dengan melakukan akselerasi.
Hasilnya pun berakhir baik dimana bayi dapat dilahirkan secara pervaginam.
44
REFERENSI
Abdul BS. Kematian maternal. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 22-4.
Ariani DW, Astari MA, Anita H, et al. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan,
Persalinan, serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto
Mangunkosumo. Majalah Kedokteran Indonesia vol 55, 2005; 631-38.
Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and Obstetrics;
Revised Ed, 1997. Philadelphia: Lippincott Raven Publ, 1997; 1-17
Chalik TMH. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika, 1997; 109-
26.
Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Wiliam Obstetrics 21th
edition. Prentice Hall International Inc Appleton. Lange USA. 2001; 819-41.
Deering SH. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2005 [2006 August 31]; Topic6:[11
screens]. Available from:URL: http://www.emedicine.com_med_topic6.htm
Dharma, R., Wibowo2, N., Raranta, H. 2005. Disfungsi Endotel Pada Preeklampsia. Makara,
Kesehatan. Volume: 9. No. 2.
Doddy AK, Soesbandoro, Damanik. 2008. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat
Ducloy AS, de Flandre FJ, O’Lambret A. Obstetric Anaesthesia-Placental Abruption
[Online] 2005 November [2006 August 31]; 417_01:[5 screens]. Available from:URL:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1417_01.htm
Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS; 1997. 3-8.
Maryuni SW. Ancaman Rokok terhadap Kehamilan. Informatika Kedokteran [Online] 2005
[Pekanbaru 2006 June 2] Available from:URL: http://www.riaupos.com
Moechtar R. Perdarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan
Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279-7.
Moses S. Placental Abruption/Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 December [2007
January 20]; Topic13:[11 screens]. Available from:URL: http://www. fpnotebook.com
/OB13.htm
Pangemanan, W.T. 2002. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia
45
Pernoll ML. Third Trimester Hemorrhage. Dalam : Current Obstetric & Gynecologic, 10th
ed. USA: Appleton & Lange, 1999; 400-44
Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan dalam masa lampau, kini dan kelak. Dalam: Ilmu
Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 3-21.
Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno
Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga
University Press, 2001; 456-70.
Rachimhadhi, T. 2006. Preeklampsia dan Eklampsia. Dalam Ilmu Kebidanan Edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 287-288
Roeshadi, H. 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu Pada
Penderita Preeklampsia dan Eklampsia
Rozikhan. Faktor-faktor risiko terjadinya preeklampsia berat Di rumah sakit dr. H.
Soewondo Kendal.
Slava VG. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 [2006 August 29]; Topic12:[9 screens].
Available from:URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic12.htm.
Sudhaberata, K. 2001. Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 133
Suryani E. Solusio Plasenta di RSUP. Dr.M.Djamil padang selama 2 tahun (1 Januari 2002-
31 Desember 2004). Skipsi. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2004; 1-40
Wiknjosastro. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO, 2003. 518-20.
46