Anda di halaman 1dari 3

Perilaku Merokok dan Tantangan

Promosi Kesehatan
  Berita

 15 Februari 2018, 13.51

 Oleh: iro fk

 0

FKKMK-UGM. Perilaku merokok sudah dianggap sebagai penyakit, yakni penyakit kecanduan
akibat zat. Saat ini, perilaku merokok pun sudah masuk dalam daftar International Classification
of Disorder (ICD) 10 dan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (DSM) V. Indonesia
juga sudah menempati posisi negara keempat dengan jumlah perokok terbanyak di dunia dan
peringkat ketujuh tertinggi di dunia untuk jumlah produksi rokok. Selain itu, proporsi perokok laki-
laki usia muda di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia. Bahkan perokok usia sekolah 15–
19 tahun meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir dan perokok laki-laki meningkat
empat kalinya selama 20 tahun terakhir.

Badan kesehatan dunia (WHO, 2016) menyebutkan bahwa selama 15 tahun terakhir, penyakit
tidak menular (PTM) di Indonesia telah menggeser penyakit menular dan menjadi penyebab
utama kematian. Kebiasaan merokok, merupakan salah satu faktor risiko penyakit tertentu untuk
PTM, seperti halnya penyakit jantung. Pada tahun 2016 kelompok diagnosis penyakit jantung
kardiovaskuler memberikan beban JKN sebesar Rp 7,4 triliun.

Sejak tahun 2016, Indonesia sejatinya telah memperkenalkan gerakan masyarakat sehat
(GERMAS) untuk pengendalian PTM yang berfokus pada tiga kegiatan. Pertama, melakukan
aktivitas fisik 30 menit per hari. Kedua, mengkonsumsi buah dan sayur. Ketiga, memeriksakan
kesehatan secara rutin. Ironinya, pengendalian merokok belum menjadi kegiatan awal GERMAS,
meskipun rokok telah menjadi faktor risiko utama PTM di Indonesia.

Pertama, meski ikut merumuskan, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang
belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang merupakan
konvensi negara-negara anggota WHO sebagai dasar pengembangan kebijakan pengendalian
tembakau melalui beberapa strategi dan telah ditandatangani oleh 173 negara. Kedua,
banyaknya industri rokok di Indonesia membuat kebijakan dan regulasi pengendalian rokok
menjadi lambat. Indonesia belum meratifikasi FCTC, sehingga rokok dijual cukup murah bila
dibandingkan dengan negara tetangga. Indonesia juga merupakan negara yang masih
membolehkan penjualan rokok batangan.

Ketiga, Indonesia adalah negara yang masih menyiarkan iklan rokok di media massa, termasuk
elektronik, media digital dan luar ruang, sementara lebih dari 140 negara sudah melarang iklan
rokok dalam semua bentuk. Sponsorship pada kegiatan olah raga dan seni yang melibatkan
anak muda menyebabkan rokok semakin erat dengan remaja. Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan rokok mudah diakses dan jumlah perokok meningkat, terutama di kalangan usia
muda.

Keempat, Pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga belum sepenuhnya
berjalan dengan optimal. Selain implementasi belum optimal, baru seperempat kabupaten atau
kota saja yang menerapkan kebijakan KTR. Kelima, untuk meningkatkan implementasi provisi
WHO FCTC, pada tahun 2008 WHO mengembangkan cara praktis dan efektif biaya yang
berorientasi pada pengurangan demand, yaitu MPOWER (Monitor penggunaan tembakau dan
pencegahannya; Perlindungan terhadap asap tembakau; Optimalkan dukungan untuk berhenti
merokok; Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau; Eliminasi iklan, promosi dan
sponsor terkait dengan tembakau; dan Raih kenaikan cukai tembakau). Indonesia telah
menjalankan MPOWER, tetapi menurut WHO masih belum optimal pencapaiannya.

Penyakit kecanduan merokok kini telah menjadi tantangan penggiat pelayanan kesehatan,
terutama layanan promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan proses untuk mendorong
orang meningkatkan kendali dan meningkatkan keadaan kesehatannya. Prinsip pertama,
pelibatan seluruh populasi dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari dan mendorong mereka
untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan. Kedua, mengatasi penentu kesehatan dengan
pendekatan ke hulu yang berarti usaha bekerja sama dengan berbagai sektor pada setiap
tingkatan, dari lokal ke nasional. Ketiga, menggunakan pendekatan, metode yang bervariasi,
komplementer dari intervensi legislasi dan fiskal, perubahan organisasi dan pengembangan
komunitas melalui pendidikan dan komunikasi yang dalam perkembangan multiintervensi ini
menjadi socioecological model. Keempat, partisipasi publik efektif, yang membutuhkan
pengembangan individu dan kapasitas komunitas, serta. Dan prinsip kelima, peran dari profesi
kesehatan dalam pendidikan dan advokasi untuk kesehatan.
Beberapa kajian tersebut dipaparkan oleh Prof. Dra. R.A. Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD.,
dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Kamis, (15/2) di Balai Senat UGM dengan judul,
“Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Perilaku Merokok di Indonesia: Antara Fakta dan
Harapan”. Pendalaman keilmuan, pengajaran, serta kegiatan yang terkait dengan pengendalian
tembakau di Indonesia yang telah digeluti selama lebih dari 20 tahun ini berhasil mengantarkan
Profesor Yayi Suryo mencapai gelar akademis tertinggi sebagai ilmuwan sosial/perilaku, yang
memperoleh gelar Guru Besar pertama di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan
Keperawatan (FKKMK) UGM maupun di Fakultas Kedokteran se-Indonesia. (Wiwin/IRO;
Foto/Dian)

Anda mungkin juga menyukai