Anda di halaman 1dari 90

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit merupakan tempat pengobatan dan sarana pelayanan

kesehatan yang menjadi sumber infeksi dimana orang sakit dirawat. Infeksi

yang didapat dari rumah sakit disebut Healthcare Associated Infections

(HAIs) karena kerentanan terhadap invasif agen mikroorganisme parasit

atau infeksisus yang tumbuh dan menyebabkan sakit (Nursalam 2011).

WHO menyatakan bahwa rumah sakit merupakan institusi perawatan

kesehatan yang memiliki staf medis profesional yang terorganisir, memiliki

fasilitas rawat inap, dan memberikan layanan 24 jam, termasuk dalam

pelayanan komprehensif, penyembuhan penyakit, dan pencegahan

terhadap penyakit pada masyarakat (WHO 2017). Data survei Healthcare

Associated Infections (HAIs) di rumah sakit dapat digunakan sebagai tolak

ukur / standar pelayanan minimal pencegahan infeksi dalam meningkatkan

pelayanan medis (Kepmenkes RI 2010).

Healthcare Associated Infections (HAIs) telah banyak terjadi baik di negara

yang sedang berkembang maupun negara maju sekalipun. Berbagai

penelitian menunjukkan HAIs merupakan komplikasi yang paling sering

terjadi di era terapi kedokteran saat ini dikarenakan meningkatnya umur

dan kompleksitas pasien, peningkatan penggunaan alat invasif, dan

seringnya penggunaan terapi antibiotik yang tidak sesuai. Selain itu, HAIs

juga sangat berkaitan dengan peningkatan angka mortalitas, morbiditas

serta peningkatan biaya perawatan yang signifikan (Tambyah 2014). Pada

tahun 1995-2010 beberapa penelitian menyatakan bahwa di negara yang

mempunyai ekonomi rendah dan menengah memiliki tingkat prevalensi

1
2

HAIs dengan kisaran diantara 5,7% sampai 19,1%, sedangkan pada

negara dengan pendapatan ekonomi tinggi memiliki prevalensi kisaran

diantara 3,5% sampai 12%. Indonesia sebagai salah satu dari negara

dengan ekonomi menengah yang prevalensi HAIs mencapai 7,1%. Di

beberapa negara yang berprevalensi HAIs dengan ekonomi rendah dan

menengah berpeluang tinggi tanpa mencantumkan data yang

sesungguhnya karena negara tersebut tidak memiliki sistem surveilans

HAIs yang baik dan belum melaporkan data atau tidak memiliki data yang

representatif (WHO 2010).

Bentuk Healthcare Associated Infections (HAIs) yang sering muncul di

Rumah Sakit terutama yang berhubungan dengan terapi IV ini berdasarkan

identifikasi terjadinya flebitis sebagai suatu masalah keperawatan yang

sering dijumpai. Flebitis atau dapat diartikan dengan terjadinya inflamasi

pada vena yang diakibatkan oleh iritasi kimia maupun karena iritasi

mekanik. Banyak hal yang dapat meningkatkan flebitis yaitu : jalur IV yang

terpasang lama, komposisi dari cairan, obat yang dimasukkan ke dalam

infus (pH dan tonisitasnya ), ukuran surflu dan kanula yang dimasukkan,

ukuran yang tidak sesuai saat memasukkan dan masuknya

mikroorganisme (Smelzer & Bare 2001).

Sampai saat ini belum ada angka yang pasti mengenai jumlah kejadian

flebitis yang terjadi di dunia, di Asia Tenggara HAIs sebanyak 10%, dan

yang tertinggi terjadi di negara Malaysia (12,7%) dan Taiwan (13,8%).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia menetapkan bahwa salah satu

indikator mutu pelayanan adalah angka kejadian HAIs yang rendah, yaitu di

bawah 8% (Dirjen Yanmed Depkes RI 2005). Data Departemen Kesehatan


3

RI tahun 2013 pada RS pemerintah menunjukkan jumlah terjadinya flebitis

yang ada di Indonesia yaitu 50,11% dan pada RS swasta sebesar 32,70%.

Berdasarkan hasil penelitian Rizal dan Husnul (2018) yang di dapatkan

data dari rekam medik bahwa angka kejadian flebitis secara umum pada

pasien yang mendapatkan terapi intravena di ruang rawat inap penyakit

dalam RSUD A.W Sjahranie Samarinda pada tahun 2014 sebesar 13,83%

meningkat dibanding tahun 2013 sebesar 8,43%. Dalam laporan Komite

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) menyebutkan bahwa insiden

keselamatan pasien pada bulan September 2006 – Desember 2007

terdapat 145 kasus. Selain itu, pada tahun 2011 Provinsi Banten

menempati angka laporan insiden keselamatan pasien tertinggi yaitu

23,67% diantara 3 provinsi lainnya yaitu DKI Jakarta 5,15%, Lampung

3,9%, dan Jawa Timur 1,3% (KKPRS 2011).

Data angka kejadian flebitis yang ada di salah satu Rumah Sakit X di

Banjarmasin menyebutkan pada bulan Agustus 2016 lebih banyak

dibanding bulan September 2016 dengan perbandingan persentae 18,3%

(sebanyak 83 kejadian) : 13,1% (sebanyak 46 kejadian) dibandingkan

dengan standar Depkes RI yaitu angka kejadian HAIs ≤ 1,5%. Sehingga

bisa dikatakan angka ini cukup tinggi dan Rumah Sakit harus

mengantisipasi agar tidak terjadi peningkatan dimasa yang akan datang

(Amaliah; Nursalam; dan Muhsinin 2017). Angka resiko infeksi juga dilihat

dari kepatuhan perawat melakukan hand hygiene, berdasarkan data audit

tim Pengendalian Penyakit Infeksi (PPI) RSUD Ulin tingkat kepatuhan

kebersihan tangan di gedung tulip belum mencapai target 100% (PPI-Ulin

2016). Pengetahuan/kognitif merupakan hasil dari informasi yang didapat,


4

dan ini didapat setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu melalui panca indera manusia. Perawat diharapkan

mempunyai critical thinking dalam mengambil keputusan berkaitan dengan

tindakannya. Seperti sebelum perawat melakukan prosedur terapi

intravena, kemampuan pertama yang harus dimiliki oleh perawat adalah

mampu menentukan ukuran kanula dan lokasi vena yang akan di insersi

berdasarkan terapi yang akan diberikan. pertimbangan yang

mempengaruhi pilihan-pilihan tersebut antara lain motivasi perawat untuk

melakukan terapi tersebut sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki,

seperti jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi intravena yang

diharapkan, dan keadaan umum pasien (Smeltzer and Bare 2001). Perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan dan motivasi maka tidak akan

berlangsung lama. Sehingga perawat yang memiliki pengetahuan dan

motivasi tinggi tentang penatalaksanaan terapi intravena dapat

menampilkan perilaku untuk mengikuti prosedur pemasangan terapi

intravena yang benar sehingga mengurangi risiko komplikasi akibat

prosedur pemasangan yang salah (Wayunah 2011).

Domain yang sangat penting dan yang harus dimiliki seorang perawat

dalam mencegah terjadinya komplikasi pada flebitis sehingga membentuk

tindakan seseorang yaitu pengetahuan atau kognitif. Tingkat pendidikan

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

(Notoatmodjo, 2007). Di Rumah Sakit fenomena flebitis meningkat dan

masih cukup tinggi setiap tahunnya, sementara indikator mutu pelayanan

rumah sakit tergantung dari angka kejadian flebitis. Untuk menurunkan

angka kejadian flebitis, sangat diperlukan pengetahuan dan perilaku


5

perawat dalam pencegahannya. Karakter seseorang dapat dibentuk

melalui pengetahuan yang diperolehnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh

perawat baik tentang terapi intravena, khususnya cara pencegahan flebitis

diharapkan mampu menerapkan cara-cara pencegahan terhadap flebitis

(Riris Elida & Kuntanti 2014).

Pengawasan pada ruangan rawat inap dilaksanakan oleh kepala ruang

yang bertugas dalam melakukan pengawasan untuk mengevaluasi hasil

kegiatan dan melakukan perbandingan terhadap rencana yang telah

dibuat, serta memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada

saat itu dan dilakukan secara langsung dengan ketua tim maupun

pelaksana (Suarli & Bahtiar 2009). Pengawasan kepala ruang sangat erat

hubungannya terhadap penerapan patient safety di ruang rawat inap.

Fungsi pengawasan kepala ruang akan berimbas pada peningkatan

kualitas pelayanan asuhan keperawatan serta meningkatkan mutu rumah

sakit (Yusradi dkk 2018).

Melalui standar pengawasan dan pengendalian, standar keberhasilan

program yang dituangkan dalam bentuk target, prosedur kerja dan

sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai

atau yang mampu dikerjakan oleh staf. Fungsi pengawasan dan

pengendalian ditujukan guna sumber daya bisa lebih diefisiensikan, dan

tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan

(Simamora 2012).

Supervisi adalah salah satu fungsi dari pengawasan serta pengarahan

yang bertujuan dapat menunjang kualitas pelayanan di dalam keperawatan


6

dengan cara menjaga suatu program dapat berjalan dengan baik dan

lancar (Arwani 2005).

Kualitas pengetahuan dan keterampilan perawat dapat meningkat dengan

adanya supervisi yang berkelanjutan dan berpengaruh terhadap mutu

pelayanan keperawatan (Zakiyah 2012). Tujuan supervisi adalah agar

kemampuan kinerja perawat dapat meningkat terutama dalam tugas dan

pelayanan yang prima terhadap pasien.

Supervisor adalah manajer utama dan kedudukannya setara dengan

kepala ruang, tugas supervisor melakukan kegiatan supervisi klinis

terhadap perawat pelaksana di ruangan (Nursalam 2011). Seorang

supervisor harus menguasai teori supervisi dengan baik, jika fungsi

supervisi tidak baik maka berbagai penyalahgunaan wewenang akan

mudah terjadi (Roymond 2002).

Kejadian HAIs dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap perawat.

Pengetahuan yang baik akan mengurangi kejadian HAIs di rumah sakit.

Begitu juga dengan sikap sangat menentukan akan tindakan pencegahan

HAIs. Jika suatu sikap dan perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran, sikap dan perilaku itu tidak akan berlangsung lama (Nursalam

2012).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSD

Idaman Kota Banjarbaru pada Oktober 2018 dengan data angka kejadian

flebitis periode Januari s/d Mei tahun 2018 terjadi peningkatan dan

penurunan dengan standar 10%. Dari bulan Januari s/d Maret 2018 terjadi
7

peningkatan, pada bulan Januari yaitu sebanyak 3% yang mengalami

flebitis, meningkat pada bulan Februari sebanyak 4,8 %, dan mengalami

peningkatan kembali pada bulan Maret sebanyak 5 %. Pada bulan April

sebanyak 2,2%, dan di bulan Mei terjadi penurunan kembali yaitu 1,2%.

Hasil wawancara dari 10 perawat, dari 7 orang perawat mengatakan

pencegahannya yaitu dengan melakukan perawatan daerah infus dan

penggantian lokasi pemasangan infus, memonitor infus setiap hari dan 3

orang mengatakan dengan melakukan penggantian lokasi infus. Hasil

wawancara dengan supervisor ruangan yaitu mereka mengatakan dengan

melakukan pengawasan laporan insiden yang terjadi di setiap tindakan,

melakukan pembahasan terhadap permasalahan yang terjadi di ruangan,

melakukan pelaporan setiap ada kejadian flebitis lalu diserahkan ke PPI.

Perawat di Rumah Sakit Idaman Kota Banjarbaru memaparkan untuk

penanganan pada flebitis rata-rata dengan melepas infus jika terjadi flebitis,

memberikan kompres hangat, melakukan pergantian infus dan memberikan

salep.

Metode penugasan yang berlaku di RSD Idaman Kota Banjarbaru yaitu

menggunakan metode tim berdasarkan SK Direktur RSD Idaman

Banjarbaru No. 65 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Supervisi

Keperawatan Pada Seksi Asuhan Keperawatan yang diterbitkan pada

tanggal 20 februari 2018.

Dari hasil observasi yang ditemukan di lapangan, peneliti ingin mengetahui

apakah ada korelasi dari pengawasan supervisor ruangan terhadap

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis dengan melakukan

penelitian tentang “Hubungan Fungsi Pengawasan Supervisor dengan


8

Pengetahuan Perawat dalam Pencegahan Flebitis di Ruang Rawat Inap

RSD Idaman Kota Banjarbaru”.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara fungsi pengawasan supervisor dengan

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis di Ruang Rawat Inap

RSD Idaman Kota Banjarbaru?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum :

Tujuannya untuk mengetahui hubungan fungsi pengawasan supervisor

dengan pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis di Ruang Rawat

Inap RSD Idaman Kota Banjarbaru.

1.3.2 Tujuan khusus :

a. Mengenal data dari demografi responden penelitian.

b. Mengidentifikasi fungsi pengawasan supervisor pada Ruangan Rawat

Inap di RSD Idaman Kota Banjarbaru.

c. Mengidentifikasi pengetahuan perawat pelaksana dalam mencegah

flebitis pada Ruangan Rawat Inap di RSD Idaman Kota Banjarbaru.

d. Menganalisis hubungan fungsi pengawasan supervisor dengan

pengetahuan perawat untuk mencegah flebitis pada Ruangan Rawat

Inap di RSD Idaman Kota Banjarbaru.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Pendidikan


9

Memperkuat pentingnya mengenal pencegahan terhadap flebitis

khususnya di mata kuliah dasar dan manajemen keperawatan.

1.4.2 Manfaat Bagi Penelitian Selanjutnya

Peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian terkait flebitis

lebih dalam lagi.

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Rumah Sakit

Memberikan masukkan pada RS, khususnya dalam pencegahan flebitis

agar lebih baik. Hal ini dapat menjadikan acuan dan meningkatkan

pengetahuan perawat dan pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap

kejadian flebitis, dan bagi fungsi pengawas diharapkan dapat

dioptimalkan dan berkelanjutan.

1.5 Keaslian Penelitian

Angga Dirgantara Setia Budi, 2017 dalam penelitiannya tentang “Hubungan

Kualitas Supervisi dengan Kepatuhan Perawat melakukan Pemasangan

Infus Sesuai Standar Prosedur Operasional”. Penelitian ini menggunakan

pendekatan cross sectional dengan metode teknik total sampling. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 30 responden (78,9%) kategori

sepervisi di ruangan baik, kepatuhan perawat dalam melakukan

pemasangan infus pada kategori tidak patuh sebanyak 2 responden

(5,3%). Persamaannya yaitu pada salah satu variabel terikat metode cross

sectional. Perbedaannya yaitu pada variabel terkait, kepatuhan perawat,

rancangan penelitian, tahun penelitian, dan tempat penelitian.


10

Fazrinnor, 2018 dalam penelitiannya tentang “Hubungan supervisi oleh

supervisor ruangan dengan penerapan patient safety di ruang Rawat Inap

kelas III RSUD Ulin Banjarmasin”. Persamaan pada penelitian ini yaitu

menggunakan metode pendekatan cross sectional dengan teknik

probability sampling, dan rancangan penelitian berupa non-eksperimen,

serta variabel bebasnya yaitu supervisi. Perbedaannya yaitu variabel

terikat, tahun penelitian, dan tempat penelitian.

Nor Amaliah, Nursalam, dan Muhsin 2016 dalam penelitiannya tentang

“Pengembangan Kinerja Perawat Terhadap Pencegahan Infeksi Flebitis di

Rumah Sakit”. Pada penelitian ini terdapat persamaan yaitu metode

pendekatan cross sectional dan variabel terikat yaitu pencegahan infeksi

flebitis. Perbedaan pada penelitan ini yaitu menggunakan desain

explanatory research , tempat dan juga tahun diteliti.

Yuswardi, Anwar, dan Maulina, 2018 meneliti tentang “Fungsi Pengawasan

Kepala Ruang Dalam Penerapan Patien Safety: Persepsi Perawat

Pelaksana”. Persamaan pada penelitian ini yaitu menggunakan metode

pendekatan cross sectional dan variabel bebasnya yaitu fungsi

pengawasan. Perbedaan pada penelitan ini yaitu desain menggunakan

jenis deskriptif korelatif dan menggunakan teknik pengambilan total

sampling, tempat penelitian, dan tahun penelitian.


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Keperawatan

2.1.1 Definisi Manajemen

Manajemen merupakan proses untuk melaksanakan pekerjaan melalui

upaya orang lain, sedangkan manajemen keperawatan adalah proses

yang mengacu pada aktivitas yang terlibat dalam koordinasi orang, waktu,

melibatkan pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan

untuk mencapai hasil yang diinginkan (Cherry; Jacob 2017).

Manajemen keperawatan mempunyai lingkup manajemen operasional

yang merencanakan, mengatur dan menggerakkan para perawat untuk

memberikan pelayanan keperawatan yang sebaik-baiknya kepada pasien

melalui manajemen asuhan keperawatan (Simamora 2012). Fungsi

manajemen terdiri perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), ketenagaan (staffing), pengarahan (actuating), dan

pengawasan (controling) (Marquis; Huston 2010).

2.1.1 Fungsi Pengawasan

a. Definisi Fungsi Pengawasan (controlling )

Fungsi Pengawasan ini erat kaitannya terhadap tiga fungsi

manajemen yang lain, khususnya pada fungsi menyusun rencana.

Dalam melaksanakan penerapan fungsi pengawasan digunakan

patokan berupa input, proses, output, dan outcome yang dijabarkan

pada sasaran atau langkah kerja. Fungsi pengawasan bertujuan agar

penggunaan sumber daya dapat lebih diefisienkan, dan tugas-tugas

staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan

(Muninjaya 2011). Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam

11
12

pengendalian yaitu menetapkan standar dan metode pengukuran

prestasi kerja, serta mengambil tindakan korektif (Marquis dan Huston

2010). Pemilihan instrument sebagai pengumpulan bukti dan

menetapkan standar yang telah tersedia. Audit ataupun pemeriksa

adalah pelaksanaan pekekerjaan yang dinilai berdasarkan catatan

dan proses guna mengevaluasi kerja (Marquis dan Huston 2010).

Pengawasan merupakan proses pengecekkan terhadap segala

sesuatu yang terjadi dan sesuai dengan rencana yang telah

disepakati, instruksi dan prinsip-prinsip yang ditetapkan, untuk

memperbaiki kesalahan dan kekurangan sehingga tidak terulang

kembali. Rosyidi 2013 didalam Simamora 2012 menyatakan bahwa

keberhasilan disuatu program memiliki standar dalam bentuk target,

langka-langkah dalam kerja dan yang lainnya dalam fungsi

pengawasan, harus selalu dibandingkan dengan kemampuan kerja

staf dan hasil yang sudah dicapai.

Pengawasan di ruang rawat inap dilaksanakan oleh kepala ruang

yang bertugas sebagai pengawas dan melakukan komunikasi

langsung terhadap ketua maupun anggota tim pelaksana untuk

mengevaluasi hasil kerja dan melakukan perbandingan terhadap

perencanaan yang telah dibuat, serta memperbaiki kelemahan-

kelemahan yang ditemukan pada saat itu (Suarli; Bahtiar 2009).

Beberapa prinsip pengawasan yang perlu diperhatikan oleh seorang

manajer keperawatan dalam menjalankan dan mengembangkan

tugas dan fungsi pengawasan, adalah : (1) hasil pengawasan yang

dilaksanakan seorang pemimpin dapat terukur dan harus dipahami

bagi bawahannya, (2) untuk mewujudkan harapan organisasi maka


13

diperlukan fungsi pengawasan dan (3) standar kerja (standard of

performance) dapat diberikan penjelasannya terkait penilaian kualitas

kerja oleh pemimpin kepada bawahan untuk dipertimbangkan

pemberian penghargaan atas prestasi kerja yang diperolehnya

(Simamora 2012).

Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian dapat dikembangkan

oleh pimpinan sebelum kegiatan program dilaksanakan. Dalam hal ini,

titik perhatian manajer terletak pada perencanaan sumber daya

sehingga fungsi pengawasan lebih banyak di arahkan untuk

mencegah secara dini terjadinya penyimpangan. Fungsi pengawasan

di sini lebih banyak bersifat formatif-pengembangan sehingga sejauh

mungkin akan dapat dikurangi kesalahan staf akan dapat dikurangi

dalam melaksanakan tugasnya termasuk peningkatan motivasi kerja

mereka. Kesalahan staf akan memengaruhi mutu produk jasa

pelayanan (Simamora 2012).

Manajer berperan dalam pengendalian yaitu menentukan kinerja staf

dalam melakukan tugas yang diberikan melalui penilaian kinerja.

Menurut Nursalam 2012, Pelaksanaan penilaian kinerja staf

dilaksanakan dengan memberikan arahan tentang sikapnya yang

digunakan sebagai penentu layanan berkualitas. Menurut Marquis &

Huston 2010, para bawahan dapat mengenal kemampuan kinerjanya

dengan adanya penilaian kualitas kerja. Kepala ruangan melakukan

kegiatan pengendalian antara lain: (a) menilai asuhan keperawatan

dan membandingkan dengan standar yang ditetapkan, (b) menilai

sikap dan perilaku perawat pelaksana, (c) melihat biaya yang sudah
14

keluar, (d) merencankan tindak lanjut hasil evaluasi (Murray; DI Croce

2005, dalam Kurniadi 2013).

b. Macam-macam Pengawasan

Macam-macam pengawasan menurut Handoko (2003) yaitu :

1) Pengawasan pendahuluan

Pengawasan pendahuluan dilakukan unuk mengoreksi dan

mengantisipasi beberapa masalah yang menyimpang dari

standar yang telah ditetapkan. Kepala ruang pada tipe ini

harus mendapatkan informasi secara tepat waktu dan

informasi yang akurat terkait perubahan yang terjadi pada

pasien sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

2) Pengawasan pelaksana

Pengawasan pelaksana dilakukan pada saat kegiatan

dilaksanakan dan prosedurnya harus disetujui terlebih dahulu.

Pengawasan ini untuk menjamin ketepatan dari pelaksanaan

suatu kegiatan. Kepala ruang pada pengawasan ini berfungsi

untuk mencegah terjadinya flebitis pada pasien.

3) Pengawasan umpan balik

Pada tipe ini yaitu mengukur keberhasilan dari suatu kegiatan

yang telah dilaksanakan. Pada sistem pengawasan juga harus

dipertimbangkan, karena apabila dilakukan secara berlebihan

akan mengakibatkan produktivitasnya berkurang.

c. Pentingnya Pengawasan

Faktor penyebab pentingnya fungsi pengawasan (Handoko 2003) :

a) Perubahan lingkungan organisasi


15

Berbagai inovasi produk dan pesaing yang terus-menerus

menjadi perubahan lingkungan.

b) Peningkatan kompleksisitas organisasi

Pengawasan yang diperlukan dalam organisasi yang semakin

besar harus lebih rutin dan berhati-hati, jadi dengan adanya

pengawasan yang rutin, diharapkan dapat meningkatkan mutu

asuhan keperawatan.

c) Kesalahan-kesalahan

Sistem pengawasan dilakukan untuk menghindari terjadinya

kesalahan yang dilakukan oleh pelaksana yang akan

mempengaruhi terhadap penurunan kondisi kesehatan pasien.

d) Kebutuhan manajer untuk mendelegasikan wewenang

Pengawasan dapat diterapkan dalam pendelegasian

wewenang oleh manajer kepada bawahan yang selanjutnya

dinilai dan dilihat apakah tugas yang telah dilimpahkan

berjalan atau tidak.

d. Ciri-ciri Pengawasan Yang Berhasil

Menurut Handoko (2003) pengawasan yang berhasil memiliki

karakteristik atau ciri-ciri yaitu :

a) Akurat

Terkait pelaksanaan kegiatan, informasi yang diperoleh harus

tepat dan benar agar tidak terjadi kesalahan yang dapat

menimbulkan masalah baru yang seharusnya tidak ada.

b) Tepat waktu

Informasi yang didapatkan harus segera dikumpulkan,

disampaikan, dan di evaluasi.


16

c) Objektif dan menyeluruh

Informasi harus bersifat objektif dan lengkap, serta mudah

dipahami.

d) Terpusat pada titik-titik pengawasan strategi

Pusat perhatian dilakukan pada sistem pengawasan agar tidak

terjadi penyimpangan dan kerusakan yang fatal.

e) Realistis secara ekonomi

Biaya pelaksanaan harus sesuai dengan manfaat yang

didapat dari sistem pengawasan atau harus lebih rendah.

f) Realistis atau kenyataan berdasarkan organisasi

kegiatan pengawasan dilakukan sesuai dengan realitas

organisasi.

g) Melakukan Koordinasi

Informasi pengawasan harus sampai pada seluruh karyawan

dan setiap tahap dari proses pekerjaan dapat mempengaruhi

dari suksesnya sebuah pekerjaan.

h) Luwes/Fleksibel

Reaksi dalam pelaksanaan pengawasan yang diberikan harus

bersifat fleksibel.

i) Bersifat sebagai petunjuk dan dan operasional

Tindakan yang seharusnya di ambil harus di koreksi untuk

menunjukkan sistem pengawasan yang efektif.

j) Diterima para anggota organisasi

Para anggota dalam pelaksanaan kerja, sistem pengawasan

harus mampu mengarahkan, mendorong kemandirian,

bertanggung jawab dan berprestasi.


17

e. Metode Pengawasan

Menurut Hasibuan (2006) metode pengawasan yang dilakukan oleh

kepala ruang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

a) Pengawasan secara langsung

Pengawasan secara langsung adalah pengawasan yang

dilakukan oleh kepala ruang sebagai manajer lini dalam

memeriksa pekerjaan yang sedang dilakukan untuk

mengetahui apakah sudah sesuai dengan yang di kehendaki

atau belum. Kelebihan dari metode ini yaitu apabila ada

terdapat kesalahan dapat diketahui secara langsung, sehingga

dapat dilakukan perbaikan segera. Adanya kontak langsung

antara atasan dengan bawahan yang dapat mendekatkan

hubungan antara atasan dan bawahan, bawahan merasa puas

karena atasan memperhatikannya, dan menghindari terjadinya

laporan yang baik-baik saja. Kekurangan dari metode ini yaitu

lebih banyak menyita waktu dan mengurangi rasa inisiatif dari

bawahan karena merasa atasannya selalu mengamatinya.

a) Pengawasan Tidak Langsung

Pengawasan tidak langsung adalah pengawasan melalui jarak

jauh seperti bawahan memberikan laporan secara lisan dan

tulisan tentang hasil pelaksanaan yang telah di lakukan.

Kelebihan dari metode ini yaitu memberikan inisiatif dari

bawahan untuk melakukan mengembangkan dirinya, dan

memberikan kesempatan kepada kepala ruang untuk

melakukan pekerjaan yang lain. Kekurangan dari metode ini

yaitu apabila ada kesalahan terlambat untuk diketahui dan


18

ditangani, laporan yang di sampaikan kurang efektif dan

objektif.

b) Pengawasan Berdasarkan Kekecualian

Pengawasan berdasarkan kekecualian yaitu kombinasi dari

pengawasan langsung dan tidak langsung karena

pengawasan ini dikhususkan untuk kesalahan yang fatal dan

tidak sesuai dengan yang diharapkan.

2.2 Supervisi Manajemen Keperawatan

2.2.1 Pengertian Supervisi

Supervisi merupakan pengamatan yang dilakukan dari semua kegiatan

organisasi agar seluruh pekerjaan yang sedang dilakukan dapat

terlaksana sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan. Supervisi

manajemen keperawatan merupakan suatu pengamatan yang dilakukan

sebagai sarana untuk mengetahui kesalahan di awal agar dapat

diperbaiki atau dimodifikasi secara langsung sesuai dengan ketentuan

pekerjaan yang telah disepakati bersama (Kurniadi A 2013).

2.2.2 Jenis – jenis Supervisi

Ada 2 jenis pembagian supervisi :

a. Pengawasan Pemerintah (Administrative control)

Pengawasan pemerintah merupakan pengawasan yang dilakukan

oleh institusi resmi pemerintah yang diberi surat keterangan atas

nama pemerintah (Kurniadi A 2013).

b. Pengawasan manajer langsung (Managerial control)

Pengawasan manajer langsung merupakan pengawasan yang

dilakukan oleh pimpinan yang lebih tinggi, di institusi pelayanan


19

keperawatan yang sering menjadi primadona supervisi adalah ruang

rawat inap dan rawat jalan (Kurniadi A 2013).

2.2.3 Tujuan Supervisi

Tujuan dari supervisi yang dikutip oleh Suni A (2018) yaitu :

a. Terjaminnya pelaksanaan kinerja yang sesuai dengan tujuan yang

sudah ditetapkan.

b. Pengawas menyadari kekurangan para petugas kesehatan dalam hal

kemampuan, pemahaman dan pengetahuan.

c. Pengawas memberi penghargaan atas pekerjaan dan mengenali

petugas yang layak diberikan penghargaan seperti kenaikan jabatan.

d. Manajemen merupakan salah satu penyebab dalam menentukan

kurangnya suatu kinerja.

2.2.4 Manfaat Supervisi

Banyak manfaat yang akan didapat jika supervisi dilaksanankan dengan

baik, yaitu (Suarli & Bahtiar, 2009) :

a. Semakin baik pengetahuan dan keterampilan dari seorang bawahan,

maka akan meningkatkan efektivitas kinerja dan terbina hubungan

yang harmonis diantara atasan dan bawahan.

b. Semakin sedikit kesalahan yang dilakukan, maka sumber daya yang

yang berlebih seperti harta, tenaga, dan sarana dapat dicegah.

Tercapainya tujuan dari organisasi berhubungan erat dengan terwujudnya

kedua peningkatan di atas. Sesungguhnya tujuan utama dari supervisi

yaitu menjaminnya keefektifan dan keefisienan suatu kegiatan yang

sudah di buat agar harapan yang sudah ditentukan bisa terwujud dengan

hasil yang maksimal (Suarli & Bahtiar, 2009).


20

2.2.5 Proses Supervisi

Aspek-aspek dari supervisi yang dapat dilakukan dikutip dari Kurniadi A

(2013) sebagai berikut:

a. Menjaga mutu pelayanan merupakan tujuan utama dari supervisi

agar hasil kinerja yang didapatkan juga tinggi.

b. Perbandingan kenyataan yang ada dengan pelaksanaan

Dengan adanya pedoman kerja maka seorang supervisor dapat

membandingkan hasil kinerja para perawat dengan kenyataan.

c. Pengevaluasian terhadap hasil kerja yang telah dilaksanakan harus

segera diberikan solusi dan semangat kerja perawat.

2.2.6 Unsur Pokok Supervisi

Menurut Azwar (2010) unsur-unsur pokok dalam melaksnakan supervisi

antara lain pelaksanaan, sasaran, frekuensi, tujuan dan teknik supervisi.

a. Pelaksanaan

Seorang atasan selaku pelaksana dalam supervisi memiliki tanggung

jawab dalam melaksanakan supervisi. Bagi seorang atasan dalam

menjalankan supervisi harus mempunyai kelebihan dalam organisasi.

Untuk mencapai keberhasilan, seorang supervisi harus lebih

mengutamakan kelebihan dalam pengetahuan dan keterampilan.

b. Sasaran

Sasaran dalam supervisi yaitu memberikan tugas dan tanggung jawab

yang diberikan oleh atasan atau pemimpinnya. Supervisi secara

langsung yaitu dengan memberikan sasaran pekerjaan kepada

bawahan sedangkan supervisi tidak langsung yaitu sasaran bawahan

yang melakukan pekerjaan.


21

c. Frekuensi

Supervisi dalam pelaksanaannya dilakukan secara periodik dan

berkesinambungan. Setidaknya dilakukan sekali dalam sebulan agar

meningkatkan shift kerja anggota.

d. Tujuan

Tujuan di dalam supervisi yaitu para staf mempunyai bekal yang cukup

dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik. Rencana yang dibuat

oleh supervisor harus jelas terkait dengan kompetensi dan tingkat

pengembangan staf, serta sesuai dengan kontrak supervisi. Hal ini

dilakukan agar membedakan antara kegiatan supervisi dengan

pengawasan yang lainnya.

e. Teknik

Teknik merupakan strategi untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun

teknik dalam kegiatan supervisi secara sistematis sebagai berikut:

a. Penetapan dan prioritas masalah.

b. Penetapan penyebab masalah.

c. Penetapan prioritas alternatif penelesaian masalah.

d. Melaksanakan alternaif penyelesaian masalah.

e. Menilai hasil yang dicapai untuk tindak lanjut.

f. Penetapan rencana tindak lanjut.

2.2.7 Model-Model Supervisi Keperawatan

Beberapa model supervisi dalam keperawatan sebagai berikut (Suyanto

2008):

a. Model kebiasaan (konvensional)

Pemeriksaan secara langsung kepada asuhan keperawatan pada

model ini dilakukan untuk mendapatkan permasalahan maupun


22

kesalahan. Terkadang model ini tidak etis dilakukan karena sifatnya

melihat tindakan bawahan secara diam-diam.

b. Model ilmiah

Dilakukan dengan pendekatan yang sudah terencana,

berkesinambungan dan terbuka serta tidak mencari masalah dan

kesalahan.

c. Model klinis

Dilakukan agar sikap profesionalisme dari seorang perawat

pelaksana dapat dikembangkan dengan meningkatkan penampilan

serta kinerja dalam memberikan asuhan keperawatan.

d. Model artistik

Dilaksanakan melalui pendekatan secara perorangan agar tercipta

rasa aman dan percaya terhadap supervisor sehingga pelaksanaan

supervisi bisa diterima oleh perawat pelaksana.

2.2.8 Kegiatan Supervisi

Kegiatan supervisi adalah aktifitas seorang manajer atau pemimpin yang

memiliki wewenang untuk mensupervisi dan memberikan bimbingan,

pengarahan, motivasi, dan mengevaluasi kinerja (Arwani 2005), kegiatan

tersebut berupa:

a. Bimbingan

Kegiatan bimbingan dilakukan untuk meningkatkan kinerja bawahan

dan berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan. Manfaat kegiatan

bimbingan yaitu: mengontrol tanggung jawab dan kegiatan bawahan

masing-masing, serta kendala yang ditemukan staf pada saat

melaksanakan tugasnya, mencari solusi penyelesaian masalah,


23

terlaksananya bimbingan dengan lancar sehingga dapat mencapai

tujuan kerja yang baik.

b. Pengarahan

Kegiatan ini merupakan kegiatan paling penting dilakukan agar staf

bisa dengan jelas menerima masukan bagaimana tujuan, cara kerja,

dan target yang benar. Tugas seorang staf dapat dikatakan berjalan

dengan lancar apabila adanya pengarahan yang efektif (Pratiwi 2015)

yaitu: membuat orang-orang merasa penting, mengenal perbedaan

setiap orang, baik dalam mendengarkan orang lain, mengetahui

perasaan orang lain, jangan mendominasi, memberikan hak kepada

staf, mengikutsertakan staf ke dalam proses manajemen, memberi

petunjuk yang benar terhadap staf dalam bekerja.

c. Motivasi

Peningkatan kinerja pada staf dapat dilakukan dengan memberikan

semangat yang positif. Memberikan motivasi dapat menumbuhkan

komitmen staf secara mendalam, dan motivasi sebagai komponen

penting yang harus dimiliki pemimpin. Teknik motivasi yang

digunakan yaitu: harga diri, pengembangan pekerjaan (job

enrichment), pemberdayaan (empowerment), dan pertumbuhan

(growth).

d. Evaluasi kerja

Kegiatan ini dilakukan secara rutin dan berkesinambungan bertujuan

agar mengendalikan terjadinya kesalahan dalam bekerja serta

memperbaiki kesalahan yang terjadi demi mencapai tujuan kerja

yang baik yang sudah ditetapkan.


24

2.2.9 Prinsip Supervisi

Menurut Suarli & Bahtiar (2009), prinsip pokok supervisi ada 5 yaitu :

a. Tujuan utamanya adalah lebih meningkatkan kinerja bawahan.

b. Supervisi harus bersifat mendidik dan suportif.

c. Supervisi harus bisa menjalin kerjasama yang baik antara atasan dan

bawahan, termasuk dalam penyelesaian sebuah masalah.

d. Tata cara dan strategi dalam supervisi secara individu dilakukan

berdasarkan kebutuhannya masing-masing.

e. Supervisi dilaksanakan dengan fleksibel yang sesuai dengan

perkembangan.

Secara rinci, prinsip-prinsip di dalam supervisi keperawatan berikut

dapat dijabarkan:

a. Bersifat profesional.

b. Melakukan rencana kegiatan dengan baik dan matang.

c. Bersifat edukatif dan suportif.

d. Memberikan rasa aman pada staf didalam pelaksanaan

keperawatan.

e. Membentuk kerjasama yang demokratis antara supervisor dengan

staf.

f. Mampu melakukan evaluasi diri dan objektif.

g. Bersifat ke arah yang lebih maju, berkembang, luwes, dan bisa

meningkatkan kemampuan setiap bawahan.

h. Bersifat memiliki daya cipta dalam meningkatkan diri sesuai

keperluan.

i. Peningkatan terhadap tugas pokok dan fungsi staf.


25

2.2.10 Sasaran Supervisi

Sasaran supervisi yang ingin dicapai antara lain:

a. Tugas dilaksanakan sesuai rencana yang telah dibuat.

b. Struktur dari supervisi dan hierarki sesuai rencana.

c. Staf yang berkualitas.

d. Penggunaan alat yang efektif dan ekonomis.

e. Sistem dan prosedur yang tidak menyimpang.

f. Pembagian tugas dan wewenang secara rasional.

g. Tidak ada penyelewengan terhadap wewenang kekuasaan maupun

kedudukan.

2.3 Supervisor Keperawatan di Rumah Sakit

Supervisor dalam keperawatan terdiri dari Karu, pengawas perawatan,

Kasi, dan Kabid (Suni 2018).

a. Kepala Ruangan

Tanggung jawab supervisi dalam pelayanan keperawatan dipegang

oleh kepala ruangan dan menjadi bagian utama dari keberhasilan

suatu tujuan pelayanan didalam keperawatan yang ada di rumah sakit.

b. Pengawas Perawatan (Supervisor)

Bagian layanan yang ada di bawah bagian pelaksana fungsional

memiliki tanggung jawab dalam pengawasan layanan keperawatan.

c. Kepala seksi

Kepala seksi (Kasi) melakukan pengawasan terhadap UPF dalam

melaksanakan tugasnya secara langsung dan seluruh perawat secara

tidak langsung.

d. Kepala Bidang
26

Kepala bidang memiliki tanggung jawab terhadap supervisi kepala

seksi secara langsung dan semua perawat secara tidak langsung.

2.4 Peran Supervisor

Seorang supervisor sangat berperan dalam pelayanan keperawatan,

termasuk kegiatan koreksi dan perbaikan mutu pelayanan keperawatan.

Adapun peran dari supervisor yaitu (Suni 2018):

a. Mengkoordinasikan tugas bersama atasan dan unit yang terkait.

b. Membuat kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan evaluasi yang

akan digunakan.

c. Memberi penilaian terhadap kinerja staf, serta memberi pengarahan

secara langsung dan tidak langsung.

d. Mempelajari catatan perkembangan organisasi dan catatan pelaporan,

serta mempelajari penggunaan sumber daya.

e. Memantau kegiatan keperawatan dan non keperawatan.

f. Mengevaluasi terhadap adanya penyimpangan.

2.5 Metode Asuhan Yang diterapkan di RSD Idaman Banjarbaru

Metode asuhan keperawatan yang digunakan dan berlaku di RSD Idaman

Kota Banjarbaru yaitu menggunakan metode tim. SK direktur yang

dikeluarkan oleh RSD Idaman Kota Banjarbaru No.65 tahun 2018 tentang

Pedoman Pelaksanaan Supervisi Keperawatan Pada Seksi Asuhan

Keperawatan yang diterbitkan pada tanggal 20 februari 2018.

SK Katim + Supervisi tahun 2018 di RSD Idaman Kota Banjarbaru Ruang

Rawat Inap sebagai berikut.


27

1. Kasuari : No.19 tahun 2018 tanggal 4 Januari 2018

2. Murai : No.20 tahun 2018 tanggal 4 Januari 2018

3. Camar : No.18 tahun 2018 tanggal 3 Januari 2018

4. Merak : No.16 tahun 2018 tanggal 3 Januari 2018

5. Kenari : No.21 tahun 2018 tanggal 3 Januari 2018

6. Cendrawasih : No.14 tahun 2018 tanggal 3 Januari 2018

7. Merpati : No.17 tahun 2018 tanggal 3 Januari 2018

8. Nuri : No.15 tahun 2018 tanggal 3 Januari 2018.

Dasar – dasar SK diatas yaitu :

 Undang - Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

 Undang - Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

 Undang - Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

 Undang - Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan.

2.6 Pengetahuan/Kognitif

2.6.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan/kognitif adalah hasil dari informasi yang didapat melalui

penginderaan tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari penglihatan dan

pendengaran. Pengetahuan menjadi suatu domain yang penting agar

terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmodjo 2010).

2.6.2 Tingkat Pengetahuan

Perilaku akan lebih awet bila ada pengetahuan yang mendasarinya,

sebaliknya perilaku akan kurang awet bila tidak ada pengetahuan yang
28

mendasarinya. Ada 6 tingkatan pengetahuan, antara lain : (Notoadmodjo

2010).

a. Mengenal (know)

Mengenal berarti mengetahui sesuatu yang pernah didapat dahulu,

demikian juga untuk mengembalikan ingatan pada kekhususan

sesuatu terhadap semua materi yang telah diajarkan. Jadi, mengenal

merupakan bagian dasar dari pengetahuan. Untuk mengukur

pengetahuan seseorang digunakan kata yang bersifat operasional

seperti sebutkan, uraikan, nyatakan, dan lain - lain.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami yaitu benar-benar mengerti sesuatu yang ditemukan dan

dapat menginterpretasikan sesuatu yang ditemukan dengan tepat.

seseorang yang sudah memahami terhadap suatu materi harus

mampu memberikan penjelasan, mencontohkan, memprediksi,

membuat kesimpulan, dan sebagainya pada materi yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi yaitu penerapan terhadap materi yang telah dipelajari pada

situasi dan kondisi yang nyata. Dalam konteks atau situasi tertentu,

aplikasi ini digunakan dalam penerapan terhadap hukum-hukum,

rumus, metode, prinsip, dan sebagainya.

d. Penyelidikan (analysis)

Penyelidikan merupakan upaya untuk menguraikan sesuatu dengan

kriteria tertentu yang tidak keluar dari susunan organisasi yang terikat.

Usaha dalam menganalisis bisa diketahui dengan penggunaan kata

yang bersifat operasional, misalnya perbedaan, pengelompokkan,

dan lain - lain.


29

e. Penyusunan (synthesis)

Penyusunan merujuk dalam kesanggupan menyusun formulasi yang

baru dari formulasi-formulasi yang ada, seperti dapat menyusun,

meringkas, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang

telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi yang dilakukan terkait dengan kemampuan dalam menilai

suatu kriteria atau objek tertentu. Kriteria yang dinilai berdasarkan

penilaian yang sudah ditetapkan maupun yang telah ditentukan

sendiri.

2.6.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Pentingnya perilaku (over behavior) pada seseorang yang terbentuk

didasari oleh pengetahuan yang bersifat lama. Menurut Soekanto 2005,

pengetahuan dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :

a. Jenjang Pendidikan

Jenjang pengetahuan setiap orang dapat membentuk perilaku yang

lebih positif, karena pendidikan merupakan sarana dalam

memberikan pengetahuan.

b. Informasi yang diperoleh

Dengan banyaknya informasi pengetahuan yang didapat, maka akan

memperluas pengetahuannya.

c. Budaya Masyarakat

Dalam memenuhi suatu kebutuhan dan keinginan, sekelompok

manusia mempunyai tingkah laku yang meliputi sikap dan

kepercayaan.

d. Pengalaman
30

Pengalaman dapat menambah pengetahuan seseorang mengenai

sebuah informasi baru.

e. Sosial ekonomi

Posisi sosial ekonomi menentukan kemampuan tiap orang untuk

memenuhi kebutuhannya, maka kebutuhan yang diperlukan seseorang

akan terpenuhi.

2.6.4 Pengukuran Tingkat Pengetahuan

Pengukuran tingkat pengetahuan bisa dilaksanakan melalui wawancara

atau angket terkait objek yang akan diteliti dari responden (Notoatmodjo

2010). Menurut Riwidikdo 2010, interpretasi skala yang bersifat kuantitatif

dari tingkat pengetahuan, yaitu :

1) Pengetahuan tingkat atas.

2) Pengetahuan tingkat sedang.

3) Pengetahuan tingkat bawah.

2.7 Flebitis

2.7.1 Definisi Flebitis

Flebitis adalah HAIs yang dialami oleh pasien selama 3x24 jam dengan

munculnya tanda gejala selama dirawat dirumah sakit (Darmadi 2008).

Komplikasi yang sering terjadi di ruang rawat inap terkait terapi IV pada

pasien yang disebut flebitis. Peradangan pada vena superfisial karena

iritasi di pembuluh darah disebut flebitis (Rojas-sanchez et al 2015 dalam

Rahmadani 2017).

Flebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun

mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri

dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang pembuluh


31

darah vena. Kejadian flebitis akan meningkat sesuai dengan lamanya

pemasangan jalur IV. Komplikasi terjadi akibat dari cairan atau obat yang

diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula

dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai dapat menyebabkan

masuknya mikroorganisme pada saat penusukan IV (Brunner; Sudarth

2002).

Dari Hirawan et al 2014, flebitis dapat menjadi berbahaya karena

menyebabkan penggumpalan darah yang akan menjadi inflamasi pada

vena, proses perjalanan penyakit ini biasanya dapat ditaklukkan, akan

tetapi walaupun demikian apabila darah yang menggumpal tersebut

terpisah lalu terbawa ke dalam aliran darah yang masuk ke jantung, maka

bisa menyebabkan penyumbatan atrioventrikuler dengan tiba-tiba dan

menyebabkan kematian.

Menurut Lubis (2004) keberhasilan pengendalian HAIs baik itu pada

tindakan pemasangan infus maupun tindakan invasif lainnya bukanlah

ditentukan oleh canggihnya alat yang ada, tetapi ditentukan oleh perilaku

petugas dalam melaksanakan perawatan klien secara benar. Perawat

profesional yang bertugas di rumah sakit dalam memberikan pelayanan

secara interdependen tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat

dalam setiap tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya

pemasangan infus. Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan

merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini

tinggi resiko terjadinya infeksi yang akan menambah tingginya biaya

perawatan dan waktu perawatan. Kontaminasi infus dapat terjadi selama

pemasangan kateter intravena sebagai akibat dari cara kerja yang tidak

sesuai prosedur serta pemakaian yang terlalu lama. Pemasangan infus


32

tidak boleh lebih dari 72 jam kecuali untuk penanganan darah. Apabila

terjadi flebitis, maka pemberian terapi intravena harus dihentikan dan

pasang selang infus yang baru ke dalam vena yang lain. Berikan kompres

hangat, lembab dan panas pada tempat yang terjadi flebitis, ini akan

mengurangi rasa nyeri pada pasien. Flebitis berpotensi membahayakan,

karena bekuan darah (tromboflebitis) dapat terjadi dan pada beberapa

kasus dapat menyebabkan pembentukan emboli (Perry; Potter 2005).

2.7.2 Tanda dan Gejala

a. Rubor (Kemerahan)

Kemerahan adalah tanda yang pertama kali muncul karena terjadinya

peradangan pada pembuluh nadi kecil yang menyediakan darah

tersebut menyebabkan arteriola melebar, akhirnya darah yang

terbawa ke sirkulasi pembuluh darah terkecil lebih banyak (Rizkiana

2016).

b. Kalor (Peradangan)

Bagian peradangan dapat menimbulkan kondisi panas yang lebih

tinggi disebabkan karena darah yang mengalir ke bagian peradangan

lebih banyak dibanding bagian normal lainnya (Rizkiana 2016).

c. Odem (Pembengkakan)

Reaksi eksudat berupa cairan dan sel-sel dari pertukaran ke jaringan

intersisitel dapat menyababkan pembengkakan (Rizkiana 2016).

d. Dolor (Nyeri)

Nyeri yang dirasakan pada bagian peradangan dapat terjadi karena

pH lokal dari tubuh maupun konsentrasi dari ion tertentu yang dapat

memacu bagian ujung syaraf hingga menimbulkan nyeri (Rizkiana

2016).
33

2.7.3 Etiologi

Etiologi flebitis berkaitan erat dengan faktor bakterial yang

menyebabkan peradangan vena (flebitis) berhubungan dengan adanya

kolonisasi bakteri yang disebabkan dari perawatan infus yang tidak baik.

Asseptic dressing adalah perawatan pada tempat pemasangan infus

terhadap pasien yang terpasang infus untuk mencegah terjadinya

infeksi. Salah satu tindakannya yaitu dengan pergantian balutan/kasa

steril penutup tempat insersi. Penggantian balutan dilakukan setiap 48-

72 jam sekali sesuai dengan penggantian daerah pemasangan infus.

Dengan dilakukan pergantian balutan dapat mencegah kelembaban

balutan sehingga mencegah mikroorganisme berkembangbiak di tempat

tersebut (Potter; Perry 2005).

2.7.4 Patofisiologi

Putri (2016) menjelaskan flebitis terjadi akibat vasodalitas lokal dengan

peningkatan aliran darah, peningkatan permeabilitas vascular dan

pergerakan sel darah putih terutama netrofil dari aliran darah menuju area

luka. Perpindahan plasma terjadi dari kapiler menuju seluruh jaringan.

Fenomena ini mengakibatkan terjadinya pembengkakan lokal yang

menimbulkan nyeri akibat tekanan dari edema pada daerah ujung saraf.

Sejalan dengan proses inflamasi, bakteri toksin dan protein terbentuk

akibat invasi sinyal organisme ke hipotalamus untuk meningkatkan suhu

tubuh di atas normal. Prostaglandin terbentuk dari fosfolipid dalam

membran sel yang juga berkontribusi terhadap proses inflamasi, nyeri dan

demam.
34

2.7.5 Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Flebitis

Menurut Rizkiana 2016, beberapa faktor yang dapat menyebabkan

flebitis yaitu :

a. Memberi informasi

Berbagai tindakan perawat, pasien harus memahami maksud

diberikan pengobatan, jangka waktu pengobatan, dan batas gerak

pada bagian anggota gerak yang mengalami penusukan harus di

observasi saat pemberian infus. Demikian juga pasien sebaiknya

diajarkan mengenai tanda gejala yang muncul apabila terjadi

kemerahan, bengkak, rasa nyeri, terasa hangat di daerah penusukan,

disebabkan adanya darah di bagian selang infus dan aliran infus

yang berjalan tidak lancar.

b. Keterampilan perawat

Pemasangan infus perifer oleh perawat umum lebih berisiko

terjadinya flebitis dibandingkan perawat yang khusus.

c. Rotasi tempat penusukan infus

Penggantian tempat penusukan infus yaitu antara 48-72 jam, pasien

akan berisiko mengalami flebitis jika waktunya melebihi dari waktu

tersebut.

d. Tempat penusukan infus

Pada orang yang lebih dewasa, penusukan infus pada orang yang

lebih dewasa bagian ekstremitas bawah lebih berisiko dibandingkan

ekstremitas atas. Vena pada punggung telapak tangan lebih kecil

resikonya dibandingkan pada lengan. Sedangkan pemasangan infus

pada anak-anak dapat dilakukan pada bagian lengan dan punggung

tangan.
35

e. Bahan dan ukuran kateter

Bahan kateter polyurethane 30% resiko terjadi flebitis lebih rendah

dibandingkan kateter yang berbahan teflon.

f. Jenis cairan

Jika pH cairan yang rendah, maka akan berisiko terjadinya flebitis

lebih tinggi.

g. Host agen

Orang-orang yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah akan lebih

mudah terkena pajanan infeksi.

2.7.6 Beberapa Faktor Yang Berisiko Flebitis

Ada beberapa faktor dari infus perifer yang berisiko terjadinya flebitis

yaitu:

a. Faktor risiko khusus pada seseorang

 Jenis kelamin

Menurut Fitria et al 2008, resiko seseorang terkena flebitis

dengan jenis kelamin wanita lebih banyak dibandingkan pria.

Hal ini disebabkan karena elastisitas dinding pembuluh darah

dipengaruhi oleh hormon yang dilepaskan pada wanita.

Sedangkan menurut Fitriyanti 2015, flebitis dapat terjadi jika

adanya penggunaan suntikan dan kontrasepsi kombinasi pada

wanita seperti estrogen dan progesteron.

 Kualitas vena perifer yang kurang

Flebitis dapat terjadi karena kualitas vena perifer yang kurang

bagus dengan keadaan tidak normalnya vena seperti


36

rapuhnya vena dan tidak elastisnya pada pasien usia lanjut

(Fitriyanti 2015).

 Umur

Dari Fitriyanti 2015 bahwa semakin menua umur seseorang,

maka sistem imunitas tubuh akan menurun sehingga berisiko

tinggi terserang penyakit. Banyak perubahan yang terjadi

dalam sistem imunitas tubuh seperti sel T-limfosit. Vena akan

menjadi rapuh, mudah hilang dan tidak elastis lagi disebabkan

jika seseorang yang sudah berusia lebih dari 60 tahun

sehingga besar kemungkinan flebitis terjadi.

 Penyakit medis yang mendasari (diabetes, kanker, penyakit

infeksius, imunodefisiensi)

Flebitis dapat terjadi pada orang-orang dengan penyakit yang

mendasarinya seperti pada pengidap penyakit kencing manis

yang menyebabkan aterosklerosis. Jika terdapat luka akan

mudah terjadi infeksi karena aliran darah menuju perifer

berkurang (Fitriyanti 2015).

 Status Gizi

Status gizi yang buruk pada tubuh seseorang menyebabkan

daya tahan tubuh dapat menurun sehingga rentan terkena

infeksi seperti flebitis. Pasien bisa mengalami kelemahan

dalam fungsi fagositosis, produksi sitokin, sekresi, dan

antibody jika gizi dibawah dari batas normal. Demikian juga

apabila gizi lebih dari batas normal akan mengakibatkan

imunitas menjadi turun (Prastika et al 2012).


37

b. Fakor risiko spesifik kateter

 Lamanya waktu terpasang kateter infus


Lamanya waktu terpasang infus berpengaruh pada kejadian

infeksi seperti flebitis. Pada saat terpasang infus dengan waktu

yang lama akan menyebabkan trauma sehingga dapat

menyebabkan bakteri masuk dan terjadinya infeksi. Hal ini

berkaitan dengan kurangnya perawatan pada saat

pemasangan infus dan teknik aseptik yang kurang baik (Rimba

Putri, 2016). Secara umum penggantian kateter IV dan

perawatannya adalah setelah 3 hari atau selama 72 jam

(Hirawan et al 2014).

 Ukuran kateter

Pemasangan kateter dengan ukuran besar dapat

meningkatkan risiko terjadinya flebitis, sedangkan kateter

ukuran yang lebih kecil risiko yang ditimbulkan juga lebih kecil

untuk menyebabkan terjadinya flebitis mekanis seperti terjadi

gesekan yang menyebabkan iritasi dinding vena. Resiko

flebitis kimia dapat dikurangi dengan memperlancar sirkulasi

darah sehingga dapat membantu menyebarkan obat-obatan

yang disuntikkan (Scales 2008).

 Jenis kateter yang digunakan

Kanula perifer merupakan kateter terbaru yang terbuat dari

bahan yang disebut polyurethane, sedangkan PVC merupakan

jenis kateter lama. Perbedaan jenis kateter baru dengan lama

yaitu bahan yang modern lebih lembut dan tidak mudah terbelit

dibanding yang lama lebih kaku, sehingga mengurangi insiden


38

kegagalan kanula. Sedangkan kanula yang lama berisiko

tinggi menyebabkan flebitis (Scales 2005).

 Lokasi insersi

Flebitis sering terjadi pada penempatan kateter di area fleksi,

karena adanya pergerakan pada bagian ekstremitas

menyebabkan kateter yang terpasang juga ikut bergerak

sehingga terjadi trauma pada dinding vena. Dinding vena juga

dapat teriritasi akibat ukuran kateter yang besar pada vena.

Insersi kateter yang dilakukan pada bagian ektermitas bawah

juga banyak menimbulkan flebitis (Fitriyanti 2015).

c. Faktor risiko yang lain

 Sifat khas dari infus (derajat keasamannya dibawah normal,

konsentrasi osmotik partikel dalam larutan yang tinggi, dan

adanya mikropartikel).

Konsentrasi cairan pada tubuh seseorang sebesar 285

mOsm/L setara dengan 10 mOsm/kg H2O yang terdapat di

tubuh orang sehat. Larutan terbagi menjadi 3 kategori yaitu

larutan isotonik, hipotonik dan hipertonik, sesuai osmolalitas

total larutan : osmolalitas plasma. Larutan isotonik mempunyai

osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L, jika kurang dari

itu disebut larutan hipotonik, sedangkan lebih disebut larutan

hipertonik. Apabila larutan hipertonik diberikan lebih dari 600

mOsm/L maka dinding tunika intima akan mengalami trauma.

Larutan isotonik akan menjadi hipertonik jika dicampur dengan

nutrisi, obat, maupun elektrolit. Sel-sel yang mengkerut dan

pecah diakibatkan dari larutan yang menarik air dari


39

kompartemen dalam sel, sehingga larutan hipertonik berisiko

menyebabkan flebitis (Rizky; Supriyatiningsih 2014).

 Pengalaman yang kurang dalam pemasangan kateter infus

Risiko terjadi flebitis dapat meningkat jika pengalaman

seseorang dalam pemasangan infus yang kurang dan tidak

sesuai SOP. Terjadinya flebitis akan semakin kecil jika

perawat memiliki sikap teliti, yakin, mempersiapkan teknik dan

pemasangan infus dengan baik sesuai SOP dan berhati-hati

(Fitriyanti 2015).

 Insersi kateter infus yang dilakukan di ruang emergensi

Di ruang emergensi, kejadian flebitis dapat terjadi pada

pemasangan infus di keadaan gawat darurat, karena SOP

tidak dilakukan dengan baik dan teknik asepsis yang tidak

dilakukan dengan baik menyebabkan bakteri masuk (Fitriyanti

2015).

2.7.7 Pencegahan Flebitis

Pencegahan flebitis dari para ahli dalam Perry & Potter (2005) yaitu :

a. Mencegah flebitis akibat faktor bakterial

Petunjuk yang disarankan yaitu lebih kepada teknik aseptik,

perawatan bagian infus, dan kebersihan tangan. Menurut WHO ada 6

langkah dalam kebersihan tangan yaitu :

1. Tuangkan sabun di telapak tangan, lalu usapkan sabun dan gosok

di kedua telapak tangan dengan lembut dan arah memutar.

2. Kedua punggung tangan lakukan dengan mengusap dan

menggosok secara bergantian.

3. Sela-sela jari tangan digosok hingga bersih


40

4. Ujung jari dibersihkan dengan posisi saling mengunci secara

bergantian

5. Kedua ibu jari digosok dan diputar secara bergantian.

6. Gosok dengan perlahan bagian ujung jari yang diletakkan pada

telapak tangan.

Gambar 2.1 Ada 6 langkah dalam melakukan cuci tangan

Five moment hand Hygine : (PPI 2013)

1. Sebelum kontak dengan pasien.

2. Sebelum tindakan asepsis.

3. Setelah terkena cairan pasien.

4. Setelah kontak dengan pasien.

5. Setelah kontak dengan sekitar pasien.

Gambar 2.2 Ada 5 moment saat melakukan praktek


membersihkan tangan
41

b. tindakan aseptik dan selalu waspada.

Aseptik merupakan upaya pencegahan infeksi akibat masuknya

bakteri ke dalam tubuh. Aseptik sebagai prinsip pada setiap tindakan

yang memberikan manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan

stopcock yang digunakan sebagai jalan pemberian obat, pemberian

cairan infus atau pengambilan sampel darah merupakan jalan masuk

kuman.

c. Rotasi infus

Dianjurkan untuk melakukan rotasi infus atau penggantian posisi infus

setiap 48-72 jam untuk membatasi potensi terjadinya infeksi oleh

mikroorganisme.

d. Asseptic dressing

Pencegahan flebitis dapat dilakukan dengan aseptic dressing setiap

24 jam dengan penggantian kasa steril.


BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Pengetahuan menjadi suatu domain yang penting agar terbentuknya

tindakan seseorang. Adapun tingkat dari pengetahuan yaitu : mengenal

(know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis

(analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation). Dalam melakukan

pecegahan flebitis, pengetahuan dari seorang perawat sangat penting.

Dengan mempunyai pengetahuan yang baik khususnya tentang terapi IV,

perawat diharapkan mampu menerapkan cara-cara untuk mencegah

terjadinya flebitis.

Pencegahan yang dilakukan terhadap flebitis, pengetahuan dari seorang

perawat tergantung dari fungsi pengawasan kepala ruang. Apabila salah

satu dari fungsi manajemen yaitu fungsi pengawasan terlaksana dan

dijalankan, maka pengetahuan perawat akan menjadi lebih efektif dan

efisien, terutama dalam mencegah terjadinya flebitis pada pasien di ruang

rawat inap. Seorang supervisor juga berperan dalam mengarahkan serta

mengawasi agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,

termasuk kegiatan koreksi dan perbaikan mutu pelayanan keperawatan.

Pengetahuan dan keterampilan perawat akan berdampak terhadap

peningkatan mutu pelayanan dalam keperawatan jika supervisor bekerja

secara berkesinambungan. Calon peneliti memfokuskan pada fungsi

pengawasan supervisor dengan pengetahuan perawat terhadap

pencegahan flebitis di bagian ruang rawat inap.

42
43

Fungsi Manajemen
Variabel :
Independen

1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian
(organizing)
3. Ketenagaan (staffing)
4. Pengarahan (actuating)

5. Pengawasan (controlling)

Variabel Dependen
Supervisor
Pengetahuan Perawat

Flebitis

Pencegahan Flebitis :

1. Mencegah flebitis akibat faktor


bakterial
2. Selalu waspada dan tindakan
aseptik
3. Rotasi Infus
4. Asseptic dressing

Keterangan :

= Diteliti

= Tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian Hubungan Fungsi Pengawasan Supervisor


dengan Pengetahuan Perawat dalam Pencegahan Flebitis (di Ruang
Rawat Inap RSD Idaman Kota Banjarbaru).
44

3.2 Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada hubungan fungsi pengawasan supervisor dengan

pengetahuan perawat di Ruang rawat Inap RSD Idaman Kota

Banjarbaru.

Ha : Ada hubungan fungsi pengawasan supervisor dengan

pengetahuan perawat di Ruang Rawat Inap RSD Idaman Kota

Banjarbaru.
BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian yang dirancang dengan menggunakan non-eksperimen. Dalam

penelitian non-eksperimen objek yang diteliti tidak menggunakan

intervensi. Metode penelitian dengan pendekatan cross sectional yaitu

penelitian dengan melakukan pengamatan pada saat bersamaan (Hidayat

2008). Rancangan penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan

antara dua variabel independent dan dependent.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh perawat pelaksana (pp) yang

masih berstatus aktif bekerja di ruang rawat inap RSD Idaman Kota

Banjarbaru dengan jumlah 101 orang yang terdiri dari lulusan DIII sampai

ners yang menjabat sebagai PNS maupun BLUD di Ruang Nuri, Ruang

Kenari, Ruang Kasuari, Ruang Camar, Ruang Merak, dan Ruang VIP

Murai.

Tabel 4.1 Populasi di ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman
Kota Banjarbaru yang diambil di hari Senin, 15 Oktober 2018.

Pendidikan Jumlah
No. Ruang
D3 Skep Ners Populasi
1. Ruang Nuri Lt. 2 (Bedah) 12 1 6 19

2. Ruang Camar Lt. 3 17 4 3 24


(Penyakit Dalam)
3. Ruang Kasuari Lt. 3 14 1 4 19
(Penyakit Dalam)
4. Ruang Merak Lt. 3 12 1 7 20
(Anak)
5. Ruang Murai Lt.3 (VIP) 11 - 8 19
101

45
46
4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi (Sugiono 2010). Dalam penelitian kuantitatif, besarnya sampel

yang diambil menggunakan rumus perhitungan slovin (Nursalam 2014) :

Ket :

n : Besarnya sampel

N : Besar populasi

d : Tingkat signifikansi (0,05)

Kriteria Inklusi :

1. Perawat pelaksana yang bersedia menjadi responden di RSD Idaman

Kota Banjarbaru.

2. Perawat pelaksana yang bekerja pada ruangan rawat inap RSD

Idaman Kota Banjarbaru.

3. Perawat pelaksana minimal 1 tahun kerja.

Kriteria Eksklusi :

1. Perawat pelaksana yang tidak berhadir saat penelitian karena

mengundurkan diri,cuti, dan izin bekerja.

2. Perawat pelaksana yang tidak lengkap mengisi kuesioner.

47
48

Pengambilan sampel pada populasi yang ada di RSD Idaman Kota

Banjarbaru menggunakan teknik probability sampling dengan jenis

stratified random sampling yaitu sampel yang diambil berdasarkan

karakteristik populasi yang beragam dan berpengaruh secara signifikan

terhdap pencapaian tujuan penelitian. Prosedur ini dilakukan dengan

menyiapkan kerangka sampel, membaginya menurut strata yang

dikehendaki, menentukan jumlah sampel dalam tiap strata, dan memilih

sampel dari tiap strata secara acak. Teknik ini menjadikan setiap subjek

dalam sebuah populasi mempunyai kesempatan untuk menjadi sampel

(Tris; Tiopan; Dian; 2017). Perhitungan yang digunakan untuk mengetahui

jumlah sampel yang diambil agar proporsional adalah sampel minimum :

jumlah populasi (81:101= 0,80) (Siregar 2014).

Tabel 4.2. Sebaran jumlah sampel penelitian pada ruangan rawat inap
Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru.

Pendidikan Jumlah Pendidikan


No. Ruang Proporsi
D3 SKep Ners Populasi D3 SKep Ners
1. Ruang Nuri 12 1 6 19 0,80 10 1 5
Lt. 2 (Bedah)
2. Ruang Camar 17 4 3 24 0,80 14 3 2
Lt.3 (Penyakit
Dalam)
3. Ruang 14 1 4 19 0,80 11 1 3
Kasuari Lt. 3
(Penyakit
Dalam)
4. Ruang Merak 12 1 7 20 0,80 10 1 6
Lt. 3 (Anak)
5. Ruang Murai 11 - 8 19 0,80 9 - 6
(VIP)
Jumlah 81
49

4.3 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer karena

diperoleh langsung dari responden dan data sekunder yang diperoleh dari

data rekam medik di instalasi ruang rawat inap. Instrumen pengumpulan

data menggunakan kuesioner terstruktur yang dikembangkan dan

dimodifikasi berdasarkan komponen fungsi pengawasan kepala ruangan

dan pengetahuan perawat pelaksana.

a. Kuesioner A ( Karakteristik responden)

Kuesioner ini mengadopsi dari Yuswardi et al (2018) dengan judul

“Fungsi Pengawasan Kepala Ruang Dalam Penerapan Patient Safety:

Persepsi Perawat Pelaksana”. Kuesioner A merupakan pertanyaan

tentang data demografi responden meliputi 1. usia, 2. jenis kelamin, 3.

jenjang karir, 4.masa kerja , dan 5. pendidikan dengan memodifikasi

data demografinya yaitu menambahkan jenjang karir. Pengisian

kuesioner bagian usia dan masa kerja oleh perawat pelaksana ditulis

dengan angka serta pada bagian JK, jenjang karir dan status

pendidikan diberi tanda (√). Data yang didapat melalui kuesioner ini

tidak dianalisa, hanya untuk mendeskripsikan distribusi dan persentase

dalam bentuk tabel.

b. Kuesioner B ( Fungsi Pengawasan Supervisor)

Kuesioner pada penelitian yang digunakan pada penelitian ini berupa

kuesioner dengan skala pengukuran ordinal yang telah dimodifikasi.

Instrumen yang dipakai dari penelitian ini dari Yuswardi et al (2018)

dengan judul “Fungsi Pengawasan Kepala Ruang Dalam Penerapan

Patient Safety: Persepsi Perawat Pelaksana”. Kuesioner ini berkaitan

dengan fungsi manajemen supervisor, salah satunya fungsi

pengawasan supervisor yang berjumlah sebanyak 8 soal oleh peneliti


50

dan dimodifikasi pada soal nomor 1 dan 6. Pada kuesioner B

menggunakan pengukuran skala likert dengan pernyataan yang diberi

skor. Pernyataan bersifat positif masing-masing opsi diberi skor

Selalu= 5, Sering= 4, Kadang-kadang= 3 Jarang= 2, Tidak Pernah= 1.

Instrumen telah di uji validitas oleh pemilik kuesioner ini dengan

melibatkan 3 orang ahli (expert). Nilai Conten Validity Index (CVI) yaitu

0,94. Ini artinya instrument peneliti untuk penelitian sudah valid semua

item pernyataannya. Reliabilitas instrument ini diketahui dengan

dilakukan oleh pemilik kuesioner yaitu melakukan perhitungan

menggunakan rumus uji Cronbach Alpha kepada 30 orang perawat.

Hasil yang didapatkan yaitu r > 0,822. Sehingga kuesioner dikatakan

reliabel.

1. Nilai skor tertinggi : 5 x 8 = 40

2. Nilai skor terendah : 1 x 8 = 8

c. Kuesioner C ( Pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis)

Kuesioner C merupakan pertanyaan kepada perawat tentang

pengetahuan dalam mencegah terjadinya flebitis. Pada instrument

penelitian, peneliti menggunakan lembar kuesioner yang dibuat sendiri

oleh peneliti dengan menggunakan skala Guttman. Penelitian

instrument ini dibuat sendiri oleh calon peneliti sebanyak 20 soal

dengan menggunakan pilihan ganda. Kuesioner ini di buat oleh calon

peneliti dengan melakukan uji expert sebelumnya dengan melibatkan 2

orang ahli. Uji expert dilakukan dengan dua praktisi bidang

keperawatan yaitu Ns.Irfan Maulana, M.Kep.,Sp.Kep.MB dan Herry

Setiawan, Ns.,M.Kep dengan hasil expert 1 dan nilai normal expert

yaitu 0,78 – 1. Sehingga didapatkan hasil dengan perubahan soal


51

menjadi sebanyak 18 soal. Pada masing-masing soal diberi opsi

5,6=benar dan 0 = salah.

Untuk klasifikasi dihitung dalam nilai skor.

Nilai tertinggi : 5,6 x 18 = 100,8

Nilai terendah : 0 x 18 = 0

Karena untuk menilai pengetahuan perawat dalam mencegah flebitis

harus mendapatkan jawaban yang benar dari setiap soal yang

diberikan, maka kategori pengetahuan perawat harus mendapatkan

skor 5,6 (jawaban benar) di setiap pertanyaan dan apabila skor 0

(jawaban salah).

Tabel 4.3 Uji Expert kuesioner pengetahuan perawat dalam pencegahan


flebitis.

Item Expert Expert Jumlah Item CVI Hasil


1 2 Kesamaan
1 X X 2 1,00 Valid
2 X X 2 1,00 Valid
3 X X 2 1,00 Valid
4 X X 2 1,00 Valid
5 X X 2 1,00 Valid
6 X X 2 1,00 Valid
7 X X 2 1,00 Valid
8 X X 2 1,00 Valid
9 X X 2 1,00 Valid
10 X X 2 1,00 Valid
11 X X 2 1,00 Valid
12 X X 2 1,00 Valid
13 X X 2 1,00 Valid
14 X X 2 1,00 Valid
15 X X 2 1,00 Valid
16 X X 2 1,00 Valid
17 X X 2 1,00 Valid
18 X X 2 1,00 Valid
Nilai I - CVI = 1

4.3.1 Uji Validitas dan Reliabilitas


52

a. Validitas

Validitas merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur apa

yang diukur. Sebuah instrumen akan dikatakan valid jika mampu

mengungkapkan data dari tiap variabel secara tepat (Notoadmodjo

2012). Uji validitas didapatkan dari pemilik kuesioner dengan meminta

izin untuk meminta hasil uji valid dari pemilik kuesioner dengan

Conten Validity Index (CVI) yaitu 0,94. Ini artinya instrument penelitian

siap digunakan dengan semua item pernyataan yang telah valid.

b. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana hasil

pengukuran tersebut dapat konsisten dan dipercaya (Notoadmodjo

2012). Relibilitas hasil uji yang dilakukan pemilik kuesioner dengan

melakukan perhitungan menggunakan rumus uji Cronbach Alpha

kepada 30 orang perawat. Hasil yang diperoleh yaitu r > 0,822,

sehingga kuesioner dapat dikatakan reliabel.

4.4 Definisi Operasional

Tabel 4.4 Tabel Definisi Operasional Penelitian Hubungan Fungsi


Pengawasan Supervisor dengan Pengetahuan Perawat
terhadap Pencegahan Flebitis di Ruangan Rawat Inap RSD
Idaman Kota Banjarbaru.

Variabel Definisi Variabel Alat ukur Skala Hasil ukur


ukur
Data Demografi
Usia Jumlah tahun sejak Kuesioner Nominal Dalam tahun
resonden lahir sampai A
ulang tahun terakhir
Jenis Gambaran perbedaan Kuesioner Nominal 1. Laki-laki
Kelamin bentuk fungsi biologis A 2. Perempuan
laki – laki dan
perempuan dalam
menentukan
perbedaan peran
mereka.
Variabel Definisi Variabel Alat ukur Skala Hasil ukur
ukur
53

Jenjang Urutan posisi Kuesioner Ordinal 1. PK I


Karir pekerjaan yang A 2. PK II
dilakukan. 3. PK III
4. PK IV
PK V
Masa Kerja Jangka waktu yang Kuesioner Nominal Dalam tahun
telah dilalui seseorang A dan bulan
sejak menekuni
pekerjaan.
Pendidikan Pembelajaran yang Kuesioner Ordinal 1. DIII + S1
sudah di dapatkan A Kepera-
seseorang dalam watan
mendapatkan suatu 2. S1 Kepera-
ilmu pengetahuan watan
3. Profesi Ners
Variabel Bebas
Fungsi Gambaran seorang Kuesioner Interval Skor minimum :
pengawasa supervisor dalam B 8
n melakukan Skor
Supervisor pengawasan terhadap maksimum : 40
perawat pelaksana
dalam melaksanakan Interpretasi :
tanggung jawabnya Semakin tinggi
nilai skor, maka
semakin baik
fungsi
pengawasan
supervisor
dengan
melebihi batas
mediannya
yaitu 32,00.
Variabel Terikat
Pengetahu Hasil tahu seorang Kuesioner Interval Skor minimum :
an perawat perawat melalui panca C 1
dalam indera untuk Skor
mencegah melakukan maksimum : 18
flebitis pencegahan terhadap
flebitis Interpretasi :
Semakin tinggi
nilai skor, maka
semakin tinggi
pula
pengetahuan
perawat dalam
pencegahan
flebitis dengan
melebihi batas
mediannya
yaitu 13,00.

4.5 Prosedur Penelitian


54

Prosedur penelitian dilakukan di RSD Idaman Kota Banjarbaru dengan

prosedur sebagai berikut :

a. Tahap Persiapan

Untuk pengambilan data awal (studi pendahuluan) peneliti meminta

surat permohonan izin kepada PSIK FK ULM. Kemudian permohonan

izin dilakukan peneliti untuk mengambil data sebagai data dari studi

pendahuluan penelitian dari RSD Idaman Kota Banjarbaru dengan

tembusan Direktur. Studi pendahuluan dilakukan setelah selesai

perizinan sesuai waktu kesepakatan. Setelah selesai melakukan studi

pendahuluan, peneliti mengurus uji etik, dan setelah mendapatkan

persetujuan “Uji Etik Penelitian” dari Komisi Etik Kesehatan FK ULM,

peneliti mengurus permohonan izin penelitian dari RSD Idaman Kota

Banjarbaru dengan tembusan Direktur dan Unit Ruang Rawat Inap

serta Komite Ethical Clearance Keperawatan RSD Idaman Kota

Banjarbaru. Peneliti melakukan penelitian pertama dengan membawa

surat izin penelitian untuk meminta izin sekaligus menjelaskan

rencana penelitian dan tujuan serta teknis pelaksanaannya ke setiap

kepala ruangan rawat inap. Peneliti juga meminta jadwal dinas ke

setiap ruangan yang masuk ke dalam sampel penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan

Penelitian dilakukan peneliti di RSD Idaman Kota Banjarbaru. Peneliti

menemui satu per satu kepala ruangan untuk diberikan surat izin

penelitian. Setelah izin penelitian diterima oleh kepala ruangan,

peneliti menentukan responden yang sesuai dengan kriteria inklusi

yang sudah ditentukan oleh peneliti. Peneliti mendapatkan responden

yang sesuai dengan kriteria inklusi. Peneliti melakukan penelitian ke 5

ruangan rawat inap yang sudah ditentukan. Pengambilan data


55

dilakukan pada pagi hari tanggal 11 Desember 2019 sampai sore hari,

dan melanjutkan ke malam hari, penelitian di lapangan tersebut

selesai pada tanggal 23 Desember 2019. Peneliti mendatangi satu

per satu ruang rawat inap dan meminta izin untuk bertemu responden

sesuai dengan kriteria inklusi. Peneliti menyatakan arti dari penelitian,

tujuan dan manfaat penelitian. Peneliti meminta responden untuk

mengisi lembar persetujuan, kuesioner karakteristik data demografi

responden, kuesioner fungsi pengawasan supervisor, dan kuesioner

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis. Peneliti menemani

responden saat mengisi kuesioner. Peneliti pula menaruh arsip

kuesioner yang terdapat pada lembaran penjelasan penelitian,

lembaran persetujuan, kuesioner karakteristik data demografi

responden, kuesioner fungsi pengawasan supervisor dan kuesioner

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis dalam sampul

tertutup dengan harapan melindungi kerahasiaan jawaban responden.

Pada hari pertama penelitian yaitu hari Rabu, 11 Desember 2019

peneliti melakukan penelitian pada pagi hari sampai sore dan di

lanjutkan malam sehingga mendapatkan 18 responden. Penelitian

hari kedua dilakukan pada hari Kamis, 12 Desember 2019 dari pagi

hari lanjut ke siang sampai malam hari didapatkan sebanyak 18

responden. Hari ketiga dilakukan pada hari Jumat, 13 Desember 2019

pada pagi hari dan lanjut pada sore hari didapatkan sebanyak 17

responden. Hari keempat pada hari Sabtu, 14 Desember 2019 pada

malam hari mendapatkan 3 responden. Selanjutnya hari ke lima yaitu

hari Rabu, 18 Desember 2019 pada pagi dan malam hari

mendapatkan 6 responden. Lanjut hari ke enam yaitu hari Kamis, 19


56

Desember 2019 pada pagi hari sampai sore hari mendapatkan 6

responden. Lanjut hari ke tujuh yaitu hari Jumat 20 Desember 2019

dilakukan penelitian pada sore hari didapatkan 3 responden. Lanjut

hari ke delapan yaitu hari Sabtu, 21 Desember 2019 dilakukan pada

pagi hari dan malam hari didapatkan 7 responden. Lanjut sampai hari

Senin, 23 Desember 2019 dilakukan pada pagi hari dan malam hari

mendaptkan 3 responden.

4.6 Teknik Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

4.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data berasal dari dua data. Pertama, data primer

yaitu data yang diperoleh dengan kuesioner secara langsung di lapangan

oleh peneliti. Kedua, data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data

Instalasi Rawat Inap.

4.6.2 Pengolahan Data

Notoatmodjo dikutip dari Pangestika (2018) setelah mengumpulkan

semua data, selanjutnya data tersebut diolah dengan mengedit, memberi

kode, memasukkan data, mengecek data kembali, dan menyajikan data

dalam bentuk tabel.

a. Editing

Peneliti melakukan pengecekkan dan perbaikan kembali guna

mengoreksi data terhadap seluruh isian kuesioner yang telah

dikumpulkan.

b. Coding

Peneliti melakukan perubahan terhadap data berbentuk kalimat atau

huruf menjadi angka atau bilangan. Kode yang digunakan dalam

penelitian, yaitu :
57

1. Data karakteristik responden :

a) Jenis kelamin :

1) Laki – laki : 1

2) Perempuan : 2

b) Jenjang Karir :

1) PK I :1

2) PK II :2

3) PK III :3

4) PK IV :4

5) PK V :5

c) Pendidikan terakhir :

1) DIII + S1 Keperawatan : 1

2) S1 Keperawatan : 2

3) Profesi Ners : 3

2. Skala yang digunakan pada kuesioner B yaitu skala likert pada

fungsi pengawasan supervisor.

1) Selalu :5

2) Sering : 4

3) Kadang-kadang : 3

4) Jarang :2

5) Tidak pernah : 1

3. Skala yang digunakan pada kuesioner C yaitu skala Guttman

pada pengetahuan perawat dalam mencegah flebitis, yaitu :

Benar = 1

Salah = 0

c. Entry Date
58

Peneliti mencantumkan data yang sudah dikumpulkan kedalam

program atau software komputer.

d. Cleaning

Peneliti mengecek kembali terhadap data-data yang telah

dicantumkan dengan tujuan agar mengetahui adanya kesalahan atau

tidak ketika melakukan pengkodean atau ketidaklengkapan data.

e. Tabulating date

Peneliti mengolah tabel-tabel data penelitian sesuai dengan tujuan

penelitian.

4.7 Cara Analisis Data

4.7.1 Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik

responden yang meliputi umur, jenis kelamin, masa kerja, jenjang karir

dan pendidikan.

4.7.2 Bivariat

Pada penelitian ini analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara

variabel bebas (fungsi pengawasan supervisor) dan terikat

(pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis). Perhitungan statistik

data dilakukan menggunakan program uji statistik yang ada pada

komputer. Sebelum dilakukan uji bivariat, dilakukan uji normalitas data

dengan menggunakan uji kolmogrov smirnov karena total responden

>50 diperoleh data tidak berdistribusi normal dengan nilai signifikan

0,0002, jadi uji yang di gunakan oleh peneliti yaitu korelasi spearman

dikarenakan data tidak berdistribusi normal.

4.8 Tempat dan Waktu Penelitian


59

4.8.1 Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilakukan yaitu pada Ruangan Rawat Inap Rumah

Sakit Daerah Idaman di Kota Banjarbaru, Jalan Trikora No. 115 Guntung

Manggis Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

4.8.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dari tanggal 11 Desember 2019 – 23 Desember

2019.

4.9 Etika Penelitian

Menurut Hidayat 2014, yang harus diperhatikan dalam etika penelitian

antara lain :

a. Hak memilih (autonomy)

Dalam menyetujui atau tidak, seorang responden memiliki hak untuk

memilih menjadi responden atau tidaknya dalam penelitian. Peneliti

tidak boleh memaksakan hak seseorang untuk menjadi responden

dalam penelitian yang akan dilakukan.

b. Informed consent atau lembar persetujuan menjadi responden

Responden diberikan lembar persetujuan agar memahami tujuan

penelitian yang akan dilakukan peneliti dan dapat menandatangani

lembar persetujuan tersebut jika responden menyatakan setuju

menjadi subyek penelitian yang dapat digunakan sebagai pegangan

bagi peneliti.

c. Tanpa nama (anonymity)

Pada lembar persetujuan peneliti hanya menggunakan kode

responden dan tidak boleh mencantumkan nama responden dalam

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan. Hal ini

bertujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas responden.

d. Kerahasiaan (confidentiality)
60

Peneliti menjamin kerahasiaan identitas responden dan yang akan

dilaporkan dalam penelitian hanya berupa data tertentu saja.

e. Berbuat Baik (Benefience)

Upaya berbuat baik peneliti kepada responden terlebih dahulu

menjelaskan tentang prosedur dan manfaat dari penelitian yang akan

dilakukan. Selain itu responden akan diberikan reward oleh peneliti

atas partisipasinya dalam penelitian ini.


BAB 5 HASIL PENELTIAN

5.1 Gambaran Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di RSD Idaman Kota Banjarbaru yang

bertempat di Jl. Trikora Nomor 115 Guntung Manggis Kota Banjarbaru

Kalimantan Selatan. RSD Idaman Kota Banjarbaru didirikan pertama kali

pada tahun 1961. Motto dari RSD Idaman Kota Banjarbaru yaitu

“Kesehatan dan Keselamatan Anda Prioritas Kami”, adapun visinya yaitu

“Rumah Sakit Unggul Dalam Pelayanan dan Berkarakter”. Penelitian

dilakukan di Ruang Nuri (Bedah) di lantai 2, Ruang Camar (Penyakit

Dalam), Ruang Kasuri (Penyakit Dalam), Ruang Merak (Anak), dan Ruang

Murai (VIP) di lantai 3.

5.2 AnaIisis Univariat

5.2.1 Data Demografi

Hasil analisis data demografi yang meliputi usia, jenis kelamin, jenjang

karir, dan pendidikan disajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.1 Disribusi data demografi menurut jenis kelamin, jenjang karir,
dan pendidikan (n=81).

No. KarakteristikResponden N %
JenisKeIamin
1. Laki-Iaki 37 45,7
2. Perempuan 44 54,3
Jenjang Karir
1. PK I 61 75,3
2. PK II 13 16,0
3. PK III 7 8,6
4. PK IV 0 0
5. PK V 0 0
Pendidikan
1. D III + S1 Keperawatan 53 65,4
2. S1 Keperawatan 6 7,4
3. Ners 22 27,2

61
62
63

Mayoritas jenis kelamin responden yaitu pada perempuan sebanyak 44

orang (54,3%). Pada jenjang karir, mayoritasnya lebih banyak pada PK I

sebanyak 61 orang (75,3%), dan mayoritas pendidikan pada responden

yaitu DIII sebanyak 53 orang (65,4%). Karakteristik responden dianalisis

berdasarkan usia dijelaskan dalam tabel 5.2 dan masa kerja dijelaskan

dalam tabel 5.3.

Tabel 5.2 Distribusi karakteristik responden berdasarkan usia (n=81).

VariabeI Mean Median Modus SD Min-Max


Usia (tahun) 29,67 27,00 25 43,39 23-45

Pada tabel 5.2 menjelaskan tentang rata-rata usia responden yaitu 29,67

tahun, dengan usia terbanyak yaitu 25 tahun serta usia lebih muda yaitu

23 tahun dan usia lebih tua yaitu 45 tahun.

Tabel 5.3 Distribusi karakteristik responden berdasarkan masa kerja

(n=81).

VariabeI Mean Median Modus SD Min-Max


Masa Kerja (Tahun) 4,88 3,00 2 4,892 1-25

Pada tabel 5.3 menunjukkan masa kerja responden memiliki rata-rata

yaitu 4,88 tahun, dengan masa kerja terbanyak 2 tahun serta masa kerja

minimal 1 tahun dan maksimal 25 tahun.

5.2.2 Fungsi Pengawasan Supervisor Pada Ruangan Rawat Inap Rumah


Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru
64

Hasil yang didapat berdasarkan pengisian kuesioner oleh responden

bertujuan mengidentifikasi fungsi pengawasan supervisor pada ruangan

rawat Inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru. Hasil persepsi

perawat terhadap fungsi pengawasan supervisor dapat dilihat pada tabel

5.4.

Tabel 5.4 Interpretasi fungsi pengawasan supervisor pada Ruangan


Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru
menurut persepsi perawat (n=81).

VariabeI Mean Median Modus SD Min-Max


Fungsi

Pengawasan 32,17 32,00 32 5,869 11-40

Supervisor

Pada tabel 5.4 memperlihatkan nilai median fungsi pengawasan

supervisor pada ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota

Banjarbaru dengan jumlah responden 81 sebesar 32,00 (75% dari nilai

tertinggi), dengan nilai yang paling sering muncul yaitu 32 serta skor

pernyataan terendah yaitu 11 dan tertinggi 40 dengan standar deviasi

5,869.

Pada kuesioner fungsi pengawasan supervisor yang dipakai pada

penelitian ini ada 5 komponen yaitu selalu, sering, kadang-kadang,

jarang, dan tidak pernah. Maka diperoleh hasil pernyataan tiap

komponen yang banyak dilakukan antara lain :


65

Tabel 5.5 Gambaran komponen fungsi pengawasan supervisor pada


ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota
Banjarbaru (n=81).

Kadang- Tidak
Pernyataan
Selalu Sering Jarang Total
kadang Pernah

N % N % n % N % N % n %

1 24 29,6 35 43,2 13 16,1 8 9,9 1 1,2 81 100

2 21 26,0 39 48,1 16 19,8 4 4,9 1 1,2 81 100

Kadang- Tidak
Pernyataan

Selalu Sering Jarang Total


kadang Pernah

N % N % N % N % N % n %

3 30 37,1 39 48,1 5 6,2 6 7,4 1 1,2 81 100

4 39 48,1 35 43,2 2 2,5 5 6,2 0 0,0 81 100

5 20 24,7 39 48,1 13 16,1 8 9,9 1 1,2 81 100

6 24 29,6 32 39,5 17 21,0 8 9,9 0 0,0 81 100

7 27 33,4 41 50,6 11 13,6 1 1,2 1 1,2 81 100

8 26 32,1 40 49,4 10 12,3 0 0,0 5 6,2 81 100

Tabel 5.5 menunjukkan gambaran fungsi pengawasan supervisor RSD

Idaman Kota Banjarbaru, mayoritas responden pada kuesioner

pengawasan supervisor yang menjawab pernyataan paling banyak di item

nomor 4 sebanyak 39 responden (48,1%) yang menjawab pernyataan

selalu dan 35 responden (43,2%) yang menjawab sering.

5.2.3 Pengetahuan Perawat terhadap pencegahan flebitis pada Ruangan

Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru

Hasil yang didapat berdasarkan pengisian kuesioner oleh responden

bertujuan mengidentifikasi pengetahuan perawat pada ruangan rawat

inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru. Hasil persepsi

pengetahuan perawat terhadap pencegahan flebitis dapat dilihat pada

tabel 5.6 sebagai berikut:


66

Tabel 5.6 Interpretasi pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis


pada ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota
Banjarbaru menurut persepsi perawat (n=81).

VariabeI Mean Median Modus SD Min-Max


Pengetahuan
Perawat dalam
12,98 13,00 12 1,877 9-17
Pencegahan
Flebitis

Tabel 5.6 memperlihatkan nilai median pengetahuan perawat dalam pencegahan

flebitis pada ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru

dengan jumlah responden 81 sebesar 13,00 (72,2 dari nilai tertinggi) dengan nilai

yang paling sering keluar yaitu 12 serta skor pertanyaan terendah yaitu 9 dan

tertinggi 17 dengan standar deviasi 1,877. Pada kuesioner pengetahuan perawat

dalam pencegahan flebitis yang dipakai pada penelitian ini ada 2 komponen yaitu

benar dan salah. Maka diperoleh hasil tiap komponen yang paling banyak

benarnya antara lain :

Tabel 5.7 Gambaran komponen pengetahuan perawat dalam pencegahan


flebitis pada ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman
Kota Banjarbaru (n=81).

Benar Salah Total


Petanyaan N % n % n %
1 59 72,8 22 27,2 81 100
2 70 86,4 11 13,6 81 100
3 68 84,0 13 16,0 81 100
4 46 56,8 35 43,2 81 100
5 34 42,0 47 58,0 81 100
6 74 91,4 7 8,6 81 100
7 73 90,1 8 9,9 81 100
8 33 40,7 48 59,3 81 100
67

9 27 33,3 54 66,7 81 100


10 77 95,1 4 4,9 81 100
11 23 28,4 58 71,6 81 100
12 79 97,5 2 2,5 81 100
13 60 74,1 21 25,9 81 100
14 63 77,8 18 22,2 81 100
15 50 61,7 31 38,3 81 100
16 66 81,5 15 18,5 81 100
17 69 85,2 12 14,8 81 100
18 80 98,8 1 1,2 81 100
Tabel 5.7 menunjukkan gambaran fungsi pengawasan supervisor RSD

Idaman Kota Banjarbaru, mayoritas responden pada kuesioner pengetahuan

perawat dalam pencegahan flebitis paling banyak menjawab benar terdapat

pada item nomor 18 sebanyak 80 responden (98,8%).

5.3 AnaIisis Bivariat

Sebelum dilakukan analisis peneliti melakukan uji normalitas terlebih

dahulu dan hasil data didapatkan tidak normal. Uji normalitas

menggunakan kolmogorov-Smirnovp value 0,05 karena sampel lebih dari

50 (81 responden). Setelah itu data di uji menggunakan korelasi spearman

karena data tidak berdistribusi normal. Hasil anaIisis bivariat pada

hubungan fungsi pengawasan supervisor dengan pengetahuan perawat

daIam pencegahan flebitis di Ruang Rawat Inap RSD Idaman Kota

Banjarbaru bisa diIihat pada tabeI 5.8.

Tabel 5.8 Hubungan fungsi pengawasan supervisor dengan pengetahuan


perawat dalam pencegahan flebitis pada ruangan rawat inap
Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru sebagai berikut.

Variabel p value / Signifikansi Koefisien Korelasi

Pengawasan Supervisor
0,00002 0,451
Pengetahuan Perawat dalam
Pencegahan Flebitis
68

Tabel 5.8 ini menunjukkan hubungan fungsi pengawasan supervisor

dengan pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis pada ruangan

rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru dari total 81

responden didapatkan hasil analisis p value 0,00002 > 0,05 dan koefisien

korelasi (r) sebesar 0,451 maka Ho ditolak berarti ada hubungan yang

signifikan antara fungsi pengawasan supervisor dengan pengetahuan

perawat dalam pencegahan flebitis pada ruangan rawat inap Rumah Sakit

Daerah Idaman Kota Banjarbaru dengan kekuatan hubungan sedang dan

arah hubungannya positif yang berarti semakin sering supervisor

melakukan pengawasan, maka semakin tinggi tingkat pengetahuan

perawat dalam mencegah flebitis di ruang rawat inap, begitu pula

sebaliknya apabila kurangnya pengawasan dari supervisor terhadap

perawat maka pengetahuan perawat terhadap pencegahan flebitis semakin

rendah.
BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik (demografi) Perawat Pelaksana Yang Ada di Ruang


Rawat Inap RSD Idaman Kota Banjarbaru

Responden dalam penelitian ini sebanyak 81 orang perawat pelaksana di

Ruang Rawat Inap RSD Idaman Kota Banjarbaru. Karakteristik perawat

yang digunakan yaitu usia, jenis kelamin, jenjang karir, masa kerja, dan

pendidikan.

6.1.1 Usia/Umur

Pada usia, didapatkan hasil analisis univariat yang telah dilakukan penelti

rerata umur responden di ruangan yaitu 29,67 tahun, dengan rentang 23-

45 tahun. Peneliti berpendapat bahwa usia perawat yang bekerja pada

ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru berada

pada usia dewasa. Sesuai dengan Wong,dkk (2008) bahwa berdasarkan

penggolongan usia dengan rerata tersebut menunjukan perawat yang

bekerja pada usia dewasa awal (21-34 tahun). Demikian juga dengan

hasil penelitian oleh Widaningsih (2016) didapatkan rentang umur

perawat berkisar 21-56 tahun merupakan usia yang dapat menentukan

kemampuan individu dalam mengambil keputusan. Wawan & Dewi (2011)

berpendapat tingkat kematangan dan kekuatan individu dalam berfikir

logis dan bekerja dipengaruhi oleh usia.

Peneliti berpendapat bahwa rata-rata usia yang berada pada rentang usia

23-45 tahun termasuk dalam usia produktif, yaitu usia yang sudah

matang, mampu berfikir lebih dewasa, mampu mengambil tindakan dan

keputusan yang tepat, serta mental yang sudah matang. Semakin tua

69
70

usia seorang perawat, maka akan semakin matang pengetahuan,

keterampilan, sikap dan pengalaman mereka dalam bekerja, sehingga

akan meningkatkan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan

kepada pasien pada ruangan rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman

Kota Banjarbaru.

Menurut peneliti bahwa usia juga berkaitan dengan pengalaman seorang

perawat yang berusia tua belum tentu memiliki kompetensi pengetahuan

dan keterampilan yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurhanifah

(2015) dalam penelitiannya menyatakan semakin tua usia seseorang

maka produktifitasnya akan semakin berkurang. Hal tersebut dikarenakan

pada penanganan awal memerlukan tindakan yang cepat, tepat dan

akurat Tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya kematian

dan kecacatan. Sejalan dengan penelitian Wayunah, et al (2013) bahwa

meskipun usia matang serta pengalaman yang luas tidak menjamin

seorang perawat terampil dalam terapi infus tanpa melakukan kegiatan-

kegiatan untuk meningkatkan pengetahuannya, terutama hasil evidence

based sehingga diharapkan perawat mampu menerapkan prosedur

pemasangan dan perawatan infus dengan baik.

6.1.2 Jenis Kelamin (Laki-laki/Perempuan)

Dari data yang diperoleh peneliti menunjukkan adanya jenis kelamin

perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Perawat perempuan yaitu 44

orang (54,3%) dan perawat laki-laki 37 orang (45,7%). Peneliti

berpendapat bahwa profesi keperawatan lebih banyak diminati oleh

perempuan, karena pekerjaan dan masalah-masalah yang ada pada

profesi keperawatan lebih mengutamakan rasa keibuan.


71

Tetapi pada era saat ini dikarenakan faktor kebutuhan di ruangan serta

seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, perawat laki-laki

juga mulai dipertimbangkan dan diperhitungkan. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian Aditya (2013) berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai kesempatan yang sama untuk menjaga prinsip keselamatan

pasien salah satunya menjaga dan mencegah infeksi yang dapat terjadi

pada pasien maupun perawat itu sendiri dengan selalu menggunakan

sarung tangan. Sejalan dengan pendapat Nurhanifah (2015) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak

terdapat perbedaan dari segi produktivitas kerja, akan tetapi perlu

pertimbangan mengenai berat ringannya pekerjaan. Demikian juga

pendapat Siagian (2004) yang menyatakan bahwa dinilai dari segi fisik

laki-laki lebih banyak memiliki tenaga dibanding perempuan.

Peneliti berpendapat bahwa jenis kelamin memang banyak diminati oleh

perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini karena perempuan sendiri lebih

mempunyai rasa empati yang lebih tinggi dan rasa keibuan dibandingkan

dengan laki-laki.

6.1.3 Jenjang Karir

Hasil yang didapatkan dari penelitian karakteristik perawat didapatkan

jenjang karir terbanyak adalah PK I sebesar 61 orang (75,3%) dan

terendah adalah PK III sebesar 7 orang (8,6%). Berdasarkan penelitian

oleh Rizany dkk (2019) menyatakan lulusan diploma (81 peserta, 79,4%),

dengan jenjang karir perawat ketiga (PK III) (47 peserta, 46,1%), menikah

(84 peserta, 82,4%), dan gaji lebih rendah dari Rp. 3.000.000 (34 peserta,

33,3%). Tingkat kepuasan perawat rerata meningkat seiring dengan

tingkat pendidikan dan gaji yang lebih tinggi. Menurut penelitian Rizany

dkk (2019) dalam Hariyati & Fujinami (2017) menjelaskan bahwa jenjang
72

karier merupakan tingkat kompetensi perawat dalam intervensi

keperawatan yang dilatarbelakangi dengan pendidikan atau masa kerja.

Passya dkk (2019) menyebutkan bahwa perawat yang banyak berjenjang

karir PK I dikarenakan masih belum adanya kesempatan untuk menjadi

perawat klinis lebih tinggi meski mereka cukup lama bekerja.

Peneliti berpendapat bahwa semakin tinggi jenjang karir seorang perawat,

maka akan semakin besar peluang bagi perawat tersebut untuk

meningkatkan karir, meningkatkan kepatuhan perawat, dan meningkatkan

kecakapannya dalam bekerja yang lebih professional. Sehingga penting

adanya seorang supervisor dalam melakukan pengawasan agar kinerja

perawat dapat berjalan lebih baik dan profesional.

6.1.4 Masa Kerja

Hasil yang didapatkan dari karakteristik perawat pada masa kerja

responden yaitu rata-rata 4,88 tahun dengan rentang 1-25 tahun. Sunaryo

(2004) berpendapat pengalaman dari kehidupan sehari-hari dapat

mempengaruhi proses berfikir seseorang secara kritis dan berperilaku.

Hal ini menunjukan bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka

semakin matang seseorang dalam berfikir dan pengetahuan yang dimiliki

pun meningkat. Peningkatan kualitas dan kuantitas kerja bergantung

pada sumber daya manusia sendiri. Sumber daya manusia menjadi faktor

individu untuk menetapkan tujuan dan targetnya untuk menuju jenjang

karir yang lebih tinggi. Untuk mencapai jenjang yang tinggi pengetahuan

sangat diperlukan (Amalia & Hariyati 2013).

Pada penelitian Moniung, Rompas, dan Lolong (2016) didapatkan hasil

dari 40 responden dengan lama kerja 1-5 tahun berjumlah 22 responden.

Lama kerja serta pengalaman bisa berpengaruh terhadap kinerja. Apabila


73

seseorang semakin lama bekerja maka mempunyai keterampilan yang

banyak dan pengalaman yang banyak pula dalam melaksanakan

pekerjaan.

Peneliti berpendapat bahwa semakin lama masa kerja seorang perawat,

maka akan berdampak pada peningkatan kinerja mereka menjadi lebih

profesional. Lamanya masa kerja akan memberikan pengalaman yang

lebih banyak berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada seorang

perawat dalam memberikan pelayanan terhadap pasien sehingga semua

pasien yang dirawat akan mendapatkan rasa nyaman dan kepuasan.

6.1.5 Pendidikan

Hasil yang didapatkan dari karakteristik responden didapatkan bahwa

jenjang pendidikan yang terbanyak adalah DIII Keperawatan sebesar 53

responden (65,4%) dengan pendidikan jumlah terendah adalah S1

Keperawatan yaitu 6 responden (7,4%). Sejalan dengan penelitian

Wayunah et al (2013) bahwa meskipun tingkat pendidikan tinggi, tidak

menjamin seorang perawat terampil dalam terapi infus tanpa melakukan

kegiatan-kegiatan untuk mengembangkan pengetahuannya. Oleh karena

itu, perawat senantiasa untuk meningkatkan pengetahuannya, terutama

hasil evidence based sehingga diharapkan perawat mampu menerapkan

prosedur pemasangan dan perawatan infus dengan baik. Setiap

pekerjaan memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang didukung

dengan pelatihan dan pendidikan (Notoadmodjo 2010). Pemberian

asuhan keperawatan terhadap pasien harus punya dasar pendidikan dan

keahlian yang memadai agar dapat menjamin kualitas pelayanan kepada

pasien dan menghindarkan dari kesalahan (Nursalam 2011).


74

Pada penelitian Faizin dan Winarsih (2008) berpendapat bahwa

pendidikan yang semakin tinggi bisa berakibat meningkatnya harapan

pada karir, meningkatnya harapan apa yang diperoleh dari pekerjaan dan

juga penghasilan. Tetapi ini tidak diiringi dengan peningkatan

pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh pekerja. Pendidikan

bisa memberikan pengetahuan dalam pelaksanaan tugas dan juga bisa

memberi seseorang kemampuan dalam memanfaatkan semua sarana

yang tersedia pada pekerjaannya untuk kelancaran dalam bertugas.

Peneliti berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perawat,

maka akan berdampak pada peningkatan kinerja, karir, dan penghasilan

perawat. Hal ini membuktikan yaitu dengan pendidikan perawat yang

semakin tinggi, maka dapat meningkatkan profesionalisme perawat.

Namun, terkait dilapangan ditemukan bahwa tidak semua perawat yang

mempunyai pendidikan tinggi memiliki kompetensi perawat yang

profesional, karena adanya faktor pengalaman, keterampilan dan

kecerdasan yang berbeda. Oleh karena itu seorang perawat diharapkan

selain meningkatkan pendidikannya juga perlu meningkatkan

keterampilan melalui pelatihan sehingga dapat memberikan pelayanan

yang lebih professional dan prima terhadap pasien yang sedang

ditanganinya.

6.2 Fungsi Pengawasan Supervisor

Hasil penelitian menunjukan median dari fungsi pengawasan supervisor

yaitu 32,00 (75% dari nilai tertinggi) dari hasil tersebut dapat dikatakan

baik, karena melebihi nilai dari median atau nilai tengahnya. Hal ini

menunjukkan berfungsinya pengawasan dari supervisor dengan hasil


75

mendekati nilai baik/sedang/optimal. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil

penelitian oleh Adawiyah (2020) yang menyatakan bahwa peran supervisor

dikatakan baik bila mean ≥ 63,7 (66,7% dari 92) dan dikatakan kurang

apabila ≤63,7. Berdasarkan penelitian oleh Fazrin (2018) menyatakan

bahwa supervisi supervisor dikatakan baik bila >46 – 72 (51,9% dari nilai

tertinggi) dan dikatakan kurang baik bila <18 – 45. Menurut Fazrin (2018)

menyatakan bahwa ada 95,5% perawat dengan berpersepsi baik setelah

supervisor memberikan pengarahan dan sebanyak 4,5% perawat yang

mempunyai persepsi kurang baik karena jarang memperoleh arahan dari

supervisor. Berdasarkan penelitian oleh Komariah dkk (2014) menyatakan

bahwa supervisi akan dinilai baik jika sejalan dengan kinerjanya begitu pula

sebaliknya.

Berdasarkan dengan hasil penelitian dari Dirgantara (2017) yang

menyatakan bahwa penting adanya pengawasan langsung dari supervisor

agar pelaksanaan tindakan keperawatan tetap berjalan sesuai dengan

standar di rumah sakit. Menurut Handoko (2001) salah satu faktor yang

menetukan sistem manajemen agar dapat langsung membantu bawahan

sehingga pelaksanaan kinerja mereka sejalan dengan bekal yang cukup

jika supervisi yang dilakukan oleh atasan.

Pengawasan supervisor secara keseluruhan semua ruangan yang

menjawab selalu paling banyak yaitu di nomer 4 dengan item soal

“Mengevaluasi lembar dokumentasi obat pasien termasuk penggunaan

metode 6 benar” sebanyak 39 responden (48,1%) dan yang menjawab

sering yaitu di nomer 8 dengan item soal “Menilai tindakan asuhan

keperawatan yang dilakukan perawat tentang keselamatan pasien”.


76

sebanyak 40 responden (49,4%). Di soal nomer 4 dan 8 dalam melakukan

pengevaluasian dan menilai suatu tindakan asuhan keperawatan tentang

keselamatan pasien itu merupakan hal penting untuk menghindari

terjadinya kesalahan-kesalahan yang di perbuat serta memperbaiki

kesalahan yang terjadi. Sejalan dengan penelitian Yuswardi, Anwar, dan

Maulina (2018) yang menyatakan bahwa persepsi perawat dalam fungsi

pengendalian semakin baik, maka akan semakin baik juga perawat dalam

mengaplikasikan keselamatan pasien.

Secara keseluruhan ruangan yang diambil, hasil dari pernyataan persepsi

perawat dalam pengawasan supervisor pernyataan yang paling banyak

mendapat nilai tertinggi dalam artian yang menjawab selalu maupun sering

terdapat di pernyataan nomer 4 sebanyak 355 dan terendah di nomer 1

dan 5 yaitu sebanyak 317. Pada pernyataan nomer 1 dengan item soal

“Melakukan evaluasi bulanan/rutin terkait penerapan keselamatan pasien

terhadap flebitis yang dilakukan oleh perawat” dan item soal nomer 5

“Memonitor checklist keamanan prosedur dengan melakukan rapat

evaluasi” ini seharusnya penting dilakukan oleh seorang supervisor

terhadap bawahannya dalam melakukan evaluasi kerja agar tujuan yang

baik dan yang sudah ditetapkan dapat terwujud serta menghindari

terjadinya kesalahan dan memperbaiki kesalahan dalam bekerja.

Di ruang Nuri, Camar, Kasuari, Merak, dan VIP Murai, mempunyai hasil

yang sama yaitu pernyataan di nomer 4 banyak yang menjawab selalu. Di

ruang Nuri pada pernyataan nomer 4 “Mengevaluasi lembar dokumentasi

obat pasien termasuk metode 6 benar” & pernyataan nomer 7 “Memberi

teguran kepada perawat yang mengabaikan aspek keselamatan pasien”

memperoleh hasil yang menjawab selalu sebanyak 7 responden di soal


77

nomer 4 dan 7 responden juga di soal nomer 7. Di ruang Camar dan VIP

Murai yang menjawab selalu pada pernyataan nomer 4 sebanyak 8

responden yang menjawab selalu pada masing-masing ruangan. Pendapat

dari peneliti yaitu pentingnya melakukan evaluasi terhadap lembar

dokumentasi obat pasien agar meningkatkan efisiensi kinerja perawat jika

kesalahan yang dilakukan oleh bawahan semakin berkurang, maka dari

segi ketenagaan, harta, dan fasilitas yang sia-sia dapat dicegah. Menurut

peneliti, teguran sangat penting terhadap perawat yang mengabaikan

aspek keselamatan pasien, dengan tujuan dapat dicegah sesuatu yang

membahayakan pasien dan menambah penyakit dari pasien.

Di ruang Kasuari dan Merak, selain pernyataan dari nomer 4 terbanyak,

pernyataan nomer 3 dengan item soal “Mengawasi laporan insiden yang

terjadi disetiap tindakan” juga banyak yang menjawab selalu. Pernyataan

yang terbanyak menjawab selalu yaitu pada item nomer 3 “Mengawasi

laporan insiden yang terjadi disetiap tindakan” & item soal nomer 4

“Mengevaluai lembar dokumentasi obat pasien termasuk penggunaan

metode benar” pada ruang kasuari sebanyak 6 responden, dan di ruang

Merak yang menjawab pernyataan dengan selalu sebanyak 10

responden. Pendapat dari peneliti terkait pernyataan nomer 3 yaitu

pentingnya melakukan pengawasan agar berkesinambungan dengan

tujuan yang diharapkan dalam pengendalian terjadinya kesalahan dalam

bekerja serta memperbaiki kesalahan yang terjadi.

Menurut Kurniadi A (2013) tujuan utama supervisi untuk menjaga mutu

pelayanan agar tetap di puncak sehingga hasil kinerja dan efisiensi kerja

yang didapatkan juga tinggi. Hal ini sejalan dengan Suarli & Bahtiar
78

(2009) peningkatan efisiensi kerja oleh supervisor berkaitan dengan

kesalahan dari bawahan yang semakin berkurang, maka dapat dicegah

penggunaan sumber daya seperti ketenagaan, harta, dan fasilitas yang

sia-sia. Standar keberhasilan program melalui fungsi pengawasan yang

dijabarkan dalam bentuk tujuan, langkah kerja dan yang lainnya sebagai

bahan perbandingan dengan hasil yang dicapai atau yang bisa dikerjakan

oleh bawahan (Rosyidi 2013 ; Simamora 2012). Peran supervisor disini

sangat penting dalam memberikan bimbingan yang bertujuan agar

menciptakan bina hubungan saling percaya, kehangatan kekeluargaan,

dan sebagai tempat bertukar pikiran antara perawat dan supervisor.

Supervisor sebagai first line manager sejajar dengan kepala ruangan

memiliki tugas untuk melakukan kegiatan supervisi klinis dengan rutin

terhadap staf agar pekerjaan bawahan bisa dikontrol dan didorong kearah

yang lebih bagus.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ginting (2016) yang menunjukkan

adanya korelasi kinerja perawat terhadap supervisi kepala ruang yang

signifikan dengan nilai p value yaitu 0,000. Sebagian besar perawat

menganggap kepala ruang sebagai role model bagi perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan pasien dan keluarga. Pengarahan

adalah salah satu fungsi pokok dari kegiatan supervisi, dimana suatu

arahan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat membuat

pekerjaan staf lebih baik dan berorientasi pada tujuan tindakan (Pratiwi,

2015). Kegiatan evaluasi merupakan hal wajib untuk dilaksanakan karena

sebagai tempat pemecahan masalah dan penilaian perkembangan kinerja

dari bawahan (Pratiwi, 2015).


79

Penelitian yang di dapatkan melalui persepsi perawat yaitu banyak dari

perawat pelaksana yang menjawab pernyataan di item 4 dengan

pernyataan selalu sebanyak 39 responden (48,1%) dan sering sebanyak

35 responden (43,2%), ini menyatakan bahwa seorang supervisor telah

melakukan tindakan yang sudah baik dalam melakukan evaluasi. Dalam

pernyataan di item 7 juga telah baik dilakukan oleh seorang supervisor,

yakni pada pernyataan selalu sebanyak 27 responden (33,4%) dan

pernyataan sering sebanyak 40 responden (49,4%) yang menyatakan

bahwa seorang supervisor telah melakukan tugasnya dengan baik yaitu

dengan memberikan peringatan kepada seorang perawat pelaksana yang

lalai dalam aspek keselamatan pasien. Pada pernyataan item 8 juga

banyak dari persepsi perawat pelaksana yang menjawab selalu sebanyak

26 responden (32,1%) dan pada pernyataan sering sebanyak 40

responden (49,4%) dengan pernyataan yang diajukan yaitu berupa

penilaian seorang supervisor terhadap perawat tentang keselamatan

pasien berupa tindakan asuhan keperawatan. Hal ini sejalan dengan

Arwani (2005) yang menyatakan kegiatan dilakukan secara rutin dan

berkesinambungan bertujuan agar mengendalikan terjadinya kesalahan

dalam bekerja serta memperbaiki kesalahan yang terjadi demi mencapai

tujuan kerja yang baik yang sudah ditetapkan.

Pada pengawasan supervisor, pernyataan item nomer 5 tentang

“memonitor cheklist keamanan prosedur dengan melakukan rapat

evaluasi” ini paling sedikit yang menjawab selalu sebanyak 20 responden

(24,7%). Menurut peneliti, ini seharusnya dilakukan secara berkelanjutan

agar prosedur/tindakan yang nantinya akan dilaksanakan bisa mencegah

terjadinya cedera kepada pasien. Pada pernyataan di item nomer 8


80

tentang “menilai tindakan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat

tentang keselamatan pasien” ini paling banyak yang menjawab tidak

pernah sebayak 5 responden (6,2%). Menurut peneliti, hal ini suatu yang

penting, karena penilaian atas tindakan asuhan keperawatan yang sudah

dilakukan bisa menjadikan evaluasi bagi perawat pelaksana terhadap apa

saja kekurangan dalam tindakan sehingga untuk kedepannya bisa lebih

baik lagi.

6.3 Pengetahuan Perawat dalam Pencegahan Flebitis

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti ditemukan bahwa rata-rata

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis sebesar 12,98 dengan

median yaitu 13,00 (72,2 dari nilai tertinggi) dan ini sudah dinilai baik (B)

dari ULM. Hal ini berarti bahwa pengetahuan perawat dalam pencegahan

flebitis dapat menunjukkan hasil mendekati nilai baik/sedang/optimal. Hasil

penelitian oleh Komariah dkk (2014) menyatakan bahwa kinerja yang

diperoleh sejalan dengan tingkat pengetahuannya, semakin baik

pengetahuannya, maka semakin baik pula kinerjanya dan demikian juga

sebaliknya. Data yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan adanya

variasi distribusi frekuensi pengetahuan perawat tentang pencegahan

flebitis berdasarkan item kuesioner. Pada Item ke 18 tentang five moment

hand hygine merupakan kriteria pengetahuan baik yang paling tinggi

dimana hampir seluruh perawat dapat menjawab dengan benar sebanyak

80 orang (98,8%).

Selanjutnya yang paling banyak jawaban benar yaitu item 12 tentang “sikap

perawat yang baik dalam melakukan pemasangan kateter agar tidak terjadi
81

flebitis” sebanyak 79 orang (97,5%). Pada item 6 tentang “waktu untuk

penggantian tempat penusukan kateter IV” juga banyak mendapatkan

jawaban yang benar sebanyak 74 orang (91,4%), dan pada item ke 2

tentang “yang bukan tanda dan gejala dari flebitis” sebanyak 70 orang

(86,4%) yang menjawab benar. Ini berarti pengetahuan perawat sudah baik

dengan banyaknya jawaban pertanyaan yang benar oleh responden.

Pada item 11 tentang “yang bukan merupakan faktor risiko penyebab

flebitis” sebanyak 58 orang (71,6%) yang paling banyak menjawab salah.

Pada item ini perawat seharusnya bisa mengetahui faktor resiko dari flebitis

sehingga dapat melakukan pencegahan flebitis terlebih dahulu terhadap

pasien, hal ini sesuai dengan Lestari (2015) bahwa untuk memperoleh

pengetahuan, seseorang akan mencari sumber pengetahuan agar dapat

meningkatkan sumber pengetahuannya. Sehingga dapat membantu

seseorang dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.

Pada keseluruhan ruangan yang di ambil, hasil dari pengetahuan perawat

dalam pencegahan flebitis hasil yang tertinggi dari setiap pertanyaan yang

diberikan adalah pertanyaan nomer 18 yaitu “yang termasuk dalam five

moment hand hygine” ada 80 dan terendah di nomer 11 tentang “yang

bukan faktor resiko penyebab flebitis” yaitu 23. Pertanyaan di soal nomer

18 yaitu berkaitan dengan five moment hand hygine, ini sangat penting

untuk diketahui oleh perawat karena dilakukan dari sebelum kontak dengan

pasien sampai selesai kontak dengan pasien, hal ini dapat mencegah dari

terpaparnya infeksi dan mencegah dari terjadinya flebitis. Pada pertanyaan

nomer 11 terkait faktor resiko penyebab flebitis juga sangat penting untuk

di ketahui oleh perawat, karena jika perawat mengetahui apa saja faktor
82

resiko yang dapat menyebabkan flebitis, maka akan dengan mudah untuk

menghindari dan melakukan pencegahan terlebih dahulu agar tidak terjadi

flebitis.

Pengetahuan adalah hasil mempelajari suatu bidang dengan baik melalui

tahapan mengingat dan mengetahui objek yang diamati (Lestari 2015).

Pengetahuan menjadi aspek penting ketika perawat memberikan

tindakan. Informasi yang diterima perawat pada saat jenjang pendidikan

menjadi pertimbangan dalam melakukan tindakan. Akan tetapi, informasi

untuk meningkatkan pengetahuan tidak hanya didapat dari pendidikan.

Ada berbagai cara yang dapat menunjang pengetahuan seseorang yaitu

melalui lingkungan, sosial budaya, pengalaman dan media. Cara tersebut

merupakan pendidikan yang sifatnya nonformal (Wawan & Dewi, 2011).

6.4 Hubungan Fungsi Pengawasan Supervisor dengan Pengetahuan


Perawat dalam Pencegahan Flebitis Pada Ruangan Rawat Inap
Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru.

Pada penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa ada hubungan

antara fungsi pengawasan supervisor dengan pengetahuan perawat

terhadap pencegahan flebitis pada ruangan rawat inap Rumah Sakit

Daerah Idaman Kota Banjarbaru dengan hubungan yang sedang/cukup

kuat. Penelitian ini memiliki nilai arah positif yang berarti semakin sering

supervisor melakukan fungsi pengawasannya, maka pengetahuan

perawat dalam pencegahan flebitis juga akan semakin baik.

Berdasarkan penelitian Yuswardi dkk (2018) Pengawasan supervisor

akan mempengaruhi penerapan patient safety. Hal ini dibuktikan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Nur, Bahry dan Irwandy (2013) dalam
83

Yuswardi (2018) pada ruangan rawat inap Rumah Sakit Universitas

Hasanuddin dikatakan bahwa pelaksanaan pengawasan yang baik

(59,4%) oleh supervisor akan meningkatkan motivasi perawat (70,6%)

sehingga kinerja perawat lebih baik (73,7%) dalam menerapkan patient

safety. Menurut peneliti, semakin tinggi motivasi perawat dalam

menerapkan patient safety, semakin tinggi juga keingintahuan dari

seorang perawat untuk menjaga keselamatan pasien terutama dalam

mencegah agar tidak terjadi flebitis.

Berdasarkan penelitian Yuswardi dkk (2018), persepsi perawat yang

semakin baik terhadap fungsi pengendalian, maka patient safety yang

diterapkan perawat akan semakin baik juga. Penerapan patient safety

dalam asuhan keperawatan oleh perawat pelaksana dapat dilakukan

sesuai dengan pedoman jika fungsi pengendalian oleh supervisor

dilaksanakan dengan baik. Hasil penelitian dari Yuswardi dkk (2018)

menunjukkan adanya korelasi yang sangat bermakna diantara fungsi

pengendalian dari kepala ruang terhadap penerapan keselamatan

pasien. Pengawasan atau pengendalian jka tidak dilaksanakan oleh

kepala ruang, maka akan terasa sulit untuk mempertahankan mutu

asuhan keperawatan, karena tidak sepenuhnya kepala ruangan

mengetahui permasalahan yang terjadi di bagian keperawatan. Jadi,

dengan menjalankan peran dan fungsi kepala ruang dengan baik melalui

informasi yang diberikan oleh staf keperawatan dibarengi dengan

penilaian kinerja dan supervisi keperawatan.

Petugas kesehatan salah satunya perawat yang memberikan asuhan

keperawatan kepada klien selama 1 hari atau 24 jam sehingga dalam


84

proses asuhan keperawatannya sangat erat kaitannya dengan tanggung

jawab pencegahan infeksi, peran perawat dalam pengendalian infeksi

merupakan langkah yang paling utama, untuk menurunkan derajat infeksi

rumah sakit (Sulastomo,2000). Sehingga perawat juga perlu pengetahuan

dalam pencegahan dan pengendalian infeksi.

Berdasarkan penelitian Wayunah dkk (2013) faktor penting pengetahuan

perawat tentang pemasangan dan perawatan infus dalam mencegah

terjadinya komplikasi flebitis dan ketidaknyamanan pasien. Perawat yang

pengetahuannya kurang tentang prinsip dan prosedur pemasangan infus

dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan tindakan

sesuai prosedur sehingga meningkatkan risiko kesalahan yang

mengakibatkan komplikasi dan ketidaknyamanan. Dari hasil penelitiannya

didapatkan hasil analisis hubungan terapi infus dan kejadian flebitis

terhadap pengetahuan perawat (p= 0,000; α=0,05; OR= 9,5). Kesimpulan

dari hasil OR menunjukkan perbedaan pengetahuan perawat, jika

pengetahuannya tidak baik maka berpeluang 9,5 kali menimbulkan flebitis

dibandingkan dengan perawat yang berpengetahuan baik, hal ini berarti

pengetahuan perawat berpengaruh terhadap kejadian flebitis dan

kenyamanan pasien yang ditunjukkan dengan nilai p value yang tinggi

dan nilai OR yang rendah. Ditemukan faktor confounding yang

mempengaruhi kejadian flebitis dari hasil analisis multivariat diantaranya

riwayat penyakit, jenis cairan, dan umur pasien. Namun, selain

pengetahuan yang sudah baik, pengalaman perawatpun juga dapat

mempengaruhi. Dari hasil analisis multivariat ternyata ditemukan bahwa

peristiwa flebitis dipengaruhi oleh faktor confounding berupa riwayat

penyakit, jenis cairan, dan usia pasien. Sedangkan kenyamanan pasien


85

sebagai faktor confounding berupa jenjang pendidikan perawat dan

riwayat penyakit.

Penelitian Tomlinson (2015) salah satu hasilnya mengatakan bahwa

budaya keselamatan pasien tergantung pada staf yang bekerja, jika staf

melakukan kesalahan tidak dilaporkan kepada atasan, hal ini

mengindikasikan tidak berjalannya fungsi supervisi dengan baik dimana

pengawasan akan memberikan dampak positif dalam menciptakan

budaya keselamatan pasien yang tepat pada staf/perawat. Hadrianti, Muh

Yassir, Adriani Kadir (2012), dalam penelitiannya menyatakan secara

manajerial peran sebagai pengawasan, supervisor di ruang rawat inap

menentukan keberhasilan dalam memberikan pelayanan keperawatan

bagi pasien, karena keberhasilan perawat memberikan pelayanan yang

terbaik juga tidak lepas dari pengawasan supervisor.

Berdasarkan kesimpulan yang didapat, dari penelitian ini adanya korelasi

yang positif antara fungsi pengawasan supervisor terhadap pengetahuan

perawat dalam pencegahan flebitis pada ruangan rawat inap Rumah Sakit

Daerah Idaman Kota Banjarbaru yang memiliki kekuatan hubungan

sedang (r = 0,451) yang artinya semakin tinggi fungsi pengawasan

supervisor maka akan berpengaruh terhadap pengetahuan perawat

dalam mencegah flebitis di ruangan rawat inap. Dari penelitian ini dapat

dilihat bahwa tidak hanya fungsi pengawasan yang berpengaruh terhadap

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis, namun ada beberapa

faktor lain yang mempengaruhi seperti motivasi dari supervisor dan .dari

pengetahuan yaitu pengalaman dan budaya. Berdasarkan penelitian oleh

Qalbia dkk (2013) menyatakan bahwa selain fungsi pengawasan


86

supervisor, motivasi dari supervisor juga mempengaruhi kinerja perawat.

Selain faktor motivasi, berdasarkan penelitian oleh Fazrin (2018) bahwa

faktor dari motivasi, bimbingan, dan pengarahan juga mempengaruhi.

Berdasarkan penelitian oleh Wayunah dkk (2013) menyatakan bahwa

pengetahuan perawat dipengaruhi oleh pengalaman kerja.

6.5 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini yaitu ketika peneliti mengambil data

dilapangan, karena perawat sebagai subjek penelitian ada yang bertukar

jadwal dinas dengan perawat lainnya sehingga terkadang bertemu

dengan perawat yang sama yang sudah mengisi kuesioner. Jam

pelayanan perawat juga menjadi hambatan peneliti dalam pengambilan

data. Jam pelayanan dari perawat juga membuat peneliti untuk di minta

datang kembali di lain waktu sesuai perjanjian yang telah disepakati,

namun terkadang perawat tersebut mengulur-ngulur kembali waktu

tersebut yang mengharuskan untuk menunggu atau datang kembali di

lain waktu sesuai jadwal dinasnya, itupun jika perawat tersebut tidak

bertukar jadwal dinas.


BAB 7 PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Pada hasil penelitian, kesimpulan yang didapatkan terkait korelasi fungsi

pengawasan supervisor dengan pengetahuan perawat dalam mencegah

flebitis di ruangan rawat inap RSD Idaman Kota Banjarbaru sebagai

berikut:

a. Karakteristik responden memiliki usia rata-rata 29,67 tahun, masa

kerja rata-rata 4,8 tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan sebesar

54,3%, jenjang karir terbanyak yaitu PK I sebesar 75,3%, dan

pendidikan terbanyak adalah DIII Keperawatan sebanyak 65,4%.

b. Fungsi pengawasan supervisor didapatkan nilai rata-rata 32,17 (75%)

dan dikatakan baik karena melebihi nilai mediannya dengan melihat

modusnya yaitu 32. Pada penelitian ini apabila semakin tinggi nilai

skor yang di persepsikan perawat pelaksana terhadap fungsi

pengawasan supervisor, maka semakin baik juga fungsi pengawasan

dari supervisor.

c. Pengetahuan perawat pelaksana dalam pencegahan flebitis

didapatkan nilai rata-rata 12,98 dari nilai median 13,00 (72,2 dari nilai

tertinggi) dan modusnya yaitu 12. Hasil ini mendekati nilai baik. Kota

Banjarbaru belum mencapai pengetahuan perawat yang optimal

walaupun sudah baik, karena hasil rata-rata dari nilai skor di bawah

dari nilai median/nilai tengahnya dan dilihat dari modusnya. Pada

penelitian ini apabila semakin tinggi nilai skor pengetahuan dari

perawat dalam pencegahan flebitis, maka semakin tinggi pula

pengetahuan perawat dalam pencegahan flebitis.

87
88

d. Ada korelasi yang signifikan antara fungsi pengawasan supervisor

terhadap pengetahuan perawat. Pencegahan flebitis pada ruangan

rawat inap Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru diperoleh

nilai p value 0,00002; r = 0,451 yang korelasinya memiliki kekuatan

sedang dan hubungannya memiliki arah positif. Dengan demikian jika

pengawasan dari supervisor makin baik maka makin tinggi tingkat

pengetahuan perawat dalam mencegah flebitis pada ruangan rawat

inap, begitu pula sebaliknya.

7.2 Saran

Saran dari peneliti yaitu :

a. Bagi Pendidikan

Pada bidang pendidikan diharapkan mampu memperkuat pentingnya

sebagai pengetahuan untuk mencegah flebitis khususnya di mata

kuliah dasar dan manajemen keperawatan.

b. Bagi Penelitian Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya disarankan melanjutkan penelitian ini untuk

tetap pada flebitis tetapi digali lebih dalam lagi terkait flebitis.

c. Bagi Institusi Rumah Sakit Daerah Idaman Kota Banjarbaru

Pada hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukkan

terhadap rumah sakit, khususnya dalam pencegahan flebitis agar

lebih baik. Hal ini dapat menjadikan acuan dan meningkatkan

pengetahuan perawat dan pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap

kejadian flebitis, dan bagi fungsi pengawas diharapkan dapat

dioptimalkan dan berkelanjutan. Dikarenakan sekarang untuk tugas

supervisor sekarang telah diarahkan ke fungsi pengawasan kepala

ruang, maka sarannya ini ditujukan juga untuk kepala ruang di

ruangan rawat inap sebagai berikut :


89

1. Diharapkan bisa melakukan evaluasi bulanan/rutin terhadap

perawat pelaksana agar kedepannya bisa meningkatkan

keselamatan pasien terhadap terjadinya flebitis. Pengevaluasian

bisa dilakukan dengan melakukan pengecekkan terhadap cheklist

keamanan prosedur/ SOP yang telah ditetapkan oleh rumah sakit.

2. Disarankan untuk tetap melakukan evaluasi terhadap laporan-

laporan insiden risiko flebitis, sehingga tidak akan menambah

beban penyakit yang di alami oleh pasien.

3. Memberikan pengawasan dan teguran kepada perawat terkait

aspek keselamatan pasien sudah bagus, disarankan agar tetap

memberikan teguran dan lebih ditingkatkan lagi dalam

pengawasan terhadap perawat yang mengabaikan aspek

keselamatan pasien.

4. Sudah bagus dalam pekerjaan dan tugasnya sebagai supervisor,

tetapi masih bisa ditingkatkan lagi dalam melaksanakan tugas-

tugasnya sebagai supervisor.

Bagi perawat pelaksana sudah bagus dalam pengetahuannya, tetapi

diharapkan bisa lebih ditingkatkan lagi pengetahuan terhadap flebitis

dan pencegahannya terutama dalam faktor resikonya, sehingga

dapat melakukan pencegahan dan menghindarkan dari infeksi yang

didapatkan oleh pasien di rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai