Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Difteri
Lidiya, S.Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr.Samy Nalley, Sp.A

PENDAHULUAN
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri
Gram positif fakultatif anaerob yang dapat menghasilkan eksotoksin bila diinsersi Corynephage
yang membawa gen diphtheria toxin. Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam,
malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga
hidung. Penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita.
Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan
yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang
berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan.1,2,3

Kelompok risiko tinggi penyakit difteri terutama adalah anak-anak (golongan umur 1-5
tahun) dan lanjut usia. Dewasa ini di era vaksinasi terjadi perubahan epidemiologi dimana
penyakit difteri juga dapat terjadi pada orang dewasa. 1,2 Diagnosis cepat harus segera dilakukan
berdasarkan gejala klinis, laboratorium (swab tenggorok, kultur, atau PCR) untuk penanganan
lebih awal. Tata laksana terdiri dari penggunaan antitoksin spesifik dan eliminasi organisme
penyebab. Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, miokarditis,
paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan
pneumonia.1

Difteri kini tengah melanda berbagai daerah di Indonesia. Data dari Kementerian
Kesehatan menunjukkan, ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB)
difteri pada periode Oktober dan November 2017 yakni Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh,
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,
dan Jawa Timur. Sementara itu, sampai November 2017, kejadian difteri terjadi di 95
kabupaten/kota di 20 provinsi. Di Jawa Barat sendiri, hingga 3 Desember 2017 lalu, terjadi 116
kasus difteri dengan jumlah kasus kematian sebanyak 13 kasus. Lebih lanjut menurut
Kementerian Kesehatan, bahwa sejak Januari hingga 16 Desember 2017 kasus difteri terjadi di
130 kabupaten atau kota di 26 provinsi dengan jumlah kasus mencapai 903 orang. Setidaknya 40
orang meninggal dan 600-an orang lainnya dirawat karena difteri. 3 Pencegahan secara khusus
terdiri dari imunisasi DPT. Imunisasi DPT menjadi hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imuniasi ulang juga
diperlukan sebanyak lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun.4

Definisi

Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan atau mukosa.

Etiologi

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang Gram-positif, tidak bergerak,


pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 600C, tahan dalam
keadaan kering dan beku. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade,
bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada media yang
mengandungK-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia Corynebacterium
diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan
cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa. Secara umum dikenal 3 tipe
utama C. diphtheria yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut
antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai
banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C. diphtheria. Ciri khas C. diphtheria adalah kemampuan
memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A
(amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh C. diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.5
Epidemiologi

Penularan disebarkan melalui droplet, kontak langsung dengan sekresi saluran napas
penderita atau dari penderita karier. Pada daerah endemis, 3%-5% orang sehat bisa sebagai
pembawa kuman difteri toksigenik. Kuman C. diptheriae dapat bertahan hidup dalam debu atau
udara luar sampai dengan 6 bulan.6 Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan
jumlah kasus meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi yang melaporkan
adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, yaitu 295 kasus yang
berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, 37% tidak mendapakan vaksin campak.
Sementara pada tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR
1,98% dan gambaran menurut umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun. 7,8,9 Gambaran
perkembangan difteri di Indonesia mulai tahun 2010-2017 tertera pada Grafik 1. Sementara
gambaran Case Fatality Rate berdasarkan kelompok umur pada tahun 2017 tertera pada Grafik 2.
Cara Penularan

Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena kontak dekat dengan
kasus atau carier. Penularan dari manusia ke manusia secara langsung umumnya terjadi melalui
droplet (batuk, bersin, berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge dari
lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu, baju, buku dan barang-barang yang
terkontaminasi karena bakteri cukup resisten terhadap udara panas, suhu dingin dan kering.10

 Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari) 10


 Periode Penularan10

- Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari ke-empat setelah terapi
dengan antibiotik yang efektif dimulai.

- Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan lesi kulit masih
dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.

- Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai enam bulan lebih
setelah terinfeksi.

Identifikasi Sumber

Infeksi Mencari carier dari kultur hidung dan tenggorok pada orang yang kontak dekat
dengan penderita difteri atau dari penyebab yang lain. Perlu ditanyakan adanya potensi sumber
infeksi pada 10 hari terakhir sebelum onset terjadi, termasuk hal-hal di bawah ini: 10

- Perjalanan ke luar negeri, terutama dari daerah endemi difteri

- Kontak dengan orang yang berasal dari negara endemi difteri

- Pekerja atau sukarelawan tenaga kesehatan

Identifikasi Kontak Dekat

Identifikasi semua kontak dekat, khususnya anggota keluarga dan orang lain yang
secara langsung terkena sekresi pernafasan dalam kasus, dan juga menentukan status imunisasi
mereka. 10
Patogenesis

Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada
mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheria toxin
(dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan
menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit
akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang kemudian akan
membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul
fibrous exudate yang membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk
dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring,
laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan
edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas
dan kematian pada penderita difteri pernafasan.11 Toksin kemudian memasuki peredaran darah
dan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak
reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut. Bila mengenai
jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada jaringan
saraf akan menyebabkan polineuropati. Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan
jantung dan gangguan pernafasan. 11

Manifestasi Klinis

Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit
tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran
adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena bisa menyebabkan obstruksi
saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal akibat
exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri
kutaneus pada orang dengan standar hegienis yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol)
untuk cenderung terjadi kolonisasi (dikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring). Gejala
difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri
pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan
merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya
pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan
meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan
bagian atas dan bawah. 12

Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit,
vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti
flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung
dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung
ini tidak dengan mudah dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan
12
infeksi kepada orang lain. Infeksi kulit C.diphtheriae relatif jarang terjadi di daerah yang
secara ekonomi baik, paling sering dilaporkan pada tuna wisma dan biasanya terjadi di daerah
tropis. Difteri kulit biasanya berupa ruam kulit atau terjadinya ulkus kulit yang kronis (bentuk
yang paling umum), biasanya co-infeksi dengan Staphylococcus dan Streptococcus dan dapat
menginfeksi luka yang sudah ada sebelumnya. Awalnya, infeksi terjadi di daerah yang terbuka,
seringkali kecil, trauma dapat menyebabkan warna kemerahan dan rasa sakit, sampai akhirnya
lesi terbuka. Dalam waktu singkat, luka terbuka berkembang menjadi satu inci atau lebih dan
menimbulkan rasa sakit selama beberapa minggu atau lebih. Dapat ditutupi oleh
pseudomembrane abu-abu atau coklat. Setelah membran lepas, luka menjadi luka terbuka yang
berwarna merah dengan rembesan darah. Jaringan sekitarnya berubah warna dan sering
ditemukan adanya cairan. Walaupun infeksi berlangsung lama tetapi relatif lebih ringan dan
dapat dengan mudah diobati. 12

Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran pernapasan pada orang yang mengalami
penurunan imunitas. Orang yang terpapar difteri kulit dapat meningkatkan level imunitas
alaminya terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin pada difteri kulit yang masuk melalui luka
ke dalam jaringan dapat menimbulkan respon imun terhadap difteri, walaupun level toksin
biasanya tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kerusakan serius. Hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa wabah difteri biasanya terjadi di daerah beriklim sedang, dimana kasus
infeksi kulit jarang terjadi sehingga level imunitas alami yang terbentuk juga rendah, hal ini
terutama terjadi pada anak-anak.12
Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap, yaitu:14

Pemeriksaan klinis difteri meliputi:

- Pengukuran tanda vital terutama suhu

- Palpasi lymph nodes

- Inspeksi pada dinding faring, tonsil, uvula, antrum nasal untuk melihat membran; luka dan lesi
kulit

Penyakit sering menjadi berat pada orang yang tidak diimunisasi, bila telah mendapat
imunisasi lengkap maka dapat menjadi carier asimptomatik atau hanya mengalami gejala sakit
tenggorok yang ringan. Komplikasi yang dapat terjadi adalah miokarditis, neuritis, obstruksi
jalan nafas, dan kematian. Rate kasus kematian pada difteri sekitar 10%.
Definisi Kasus

Istilah definisi yang biasa digunakan pada waktu investigasi wabah adalah sebagai berikut:

• Difteri Saluran Napas


Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian hidung dan
larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret
serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari
nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit
tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala
demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi
pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang
bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum molle,
oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.6

• Difteri Hidung

Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan
tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan
kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang
timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. 6

• Difteri Tonsil Dan Faring

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-
kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila
limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck.
Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat,
dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam
1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa
disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10
hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna. 6
• Difteri Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria laring gejala toksik
kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang
rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas
ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria
faring maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
 Difteri Kulit

Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus superfisial,
ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo
akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada
banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka bakar,
tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi
simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada
sebagian kecil penderita difteria kulit.

• Difteri Pada Tempat Lain

C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain, seperti di


telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen
dan ulseratif vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran dan
perdarahan submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri lain dan
virus. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

Diagnosis

Diagnosis difteria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium.


Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan Gram secara langsung kurang dapat dipercaya.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara flourescent antibody technique, tetapi
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C. diphteriae dengan pembiakan
pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart dilanjutkan dengan tes
toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek). Beberapa definisi yang dipakai
untuk memudahkan dilapangan: Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laryngitis,
nasofaringitis atau tonsillitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan
mudah berdarah di faring, laring, tonsil.

Kasus probable difteri adalah suspek difteri ditambah salah satu dari:

a) pernah kontak dengan kasus (<2minggu)

b) berasal dari daerah endemis difteri

c) Stridor, bullneck, perdarahan submukosa atau ptekie pada kulit

d) gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu
setelah awitan

e) kematian.

Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif
C.difteriae toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan, konjungtiva, telinga,
vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum
diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin).7 Sementara kasus karier adalah
orang yang tidak menunjukan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan
positif C. diphtariae.

Diagnosis banding

- Difteria hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah rhinorrhea (common cold,
sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).

- Difteria faring, harus dibedakan dengan tonsilitis mebranosa akut yang disebabkan oleh
Streptococcus (tonsilitas akut, septic sore throat), mononukleosis infeksiosa, tonsilitis
membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca
tonsilektomi.

- Difteria laring, gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai croup sindroma
yang lain, yaitu spasmodic croup, angioneurotik edema pada laring, dan benda asing dalam
laring. - Difteria kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
Streptococcus atau Stapyllococcus.

Penyulit

Penyulit difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin. Penyulit difteria dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan nafas, dampak
eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.

a. Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

b. Dampak toksin dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang
terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya, penyulit atau lebih lambat pada
minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu ke-6.
Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup, terdengar bising jantung,
atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat
berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama mengenai saraf
motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3,
suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis
ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya refleks tendon dalam, peningkatan
kadar protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan
ke-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak
dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dan terjadi
hipotensi dan gagal jantung. 1,2

c. Infeksi sekunder bakteri, setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit ini
sudah sangat jarang terjadi.

Pencegahan

Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan


tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak menderita difteria,
kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara
khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara
transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang
dapat bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata
atau inapparent infection serta imuni sasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk
mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi ulangan
sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun

 Imuninasi

Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 hari. Sedangkan imunitas
aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.

Test kekebalan:
• Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan
dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.

• Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes dilakukan
dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi
positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa - pernah terpapar pada basil
difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas. - pemberian toksoid difteri bisa
mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.

Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6,
15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurang-
kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap
pemberian vaksin pertusis. Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata
memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif 0.01 IU). Lama
kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang
penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan
sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.

Booster pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik setahun
setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun. Beberapa sediaan vaksin yang berisi toksoid difteria
selain DTwP dan DTaP, antara lain :  Vaksin DT, digunakan untuk booster pada anak usia
diatas 5 tahun (pada anak yang telah mendapatkan vaksin DTP sebelumnya) atau imunisasi dasar
3 kali pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi DTP. Pada ORI (outbreak respons
immunization) diberikan minimal dua kali dengan interval minimal 1 bulan.
Vaksin Td, digunakan untuk booster pada anak usia diatas 7 tahun (pada anak yang telah
mendapatkan vaksin DTP/DT sebelumnya) atau imunisasi dasar 3 kali pada anak yang belum
pernah mendapat imunisasi DTP/DT. Pada ORI (outbreak respons immunization) diberikan
minimal dua kali dengan interval minimal 1 bulan. Kandungan toksoid difteri hanya seperempat
sampai sepersepuluh kandungan toksoid difteri pada DTP atau DT. Vaksin ini (adult type
diphtheria vaccine) digunakan juga untuk booster setiap 10 tahun pada seluruh penduduk. 
Vaksin TdaP, merupakan vaksin Td yang ditambah dengan komponen aP, untuk mengatasi
masalah pertusis pada dewasa yang merupakan sumber penularan untuk kelompok bayi dan
anak. Digunakan untuk menguatkan kembali kekebalan terhadap tetanus dan sekaligus difteri
dan pertusis.
Pengobatan

Tatalaksana Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.

 Umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
humidifier.1,2

 Khusus

Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit
atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1
mL ADS dakam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20
menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.

Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka).
Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping
obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian
pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

Antibiotik

Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin. Rekomendasi pemberian adalah sebagai
berikut:
- Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anakanak), 1,2 juta unit/dosis (pada orang
dewasa). Pemberian intramuskular.

- Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4 dosis. Pemberian peroral
dan parenteral

- Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena - Terapi antibiotik diberikan
selama 14 hari.

Manajemen Kasus

- Pasien rawat dengan konfirmasi difteri faring harus dirawat dengan standar pencegahan droplet
sampai terapi antimikroba dihentikan, dengan dua kultur yang diambil minimal 24 jam terpisah
dan minimal 24 jam setelah terapi antimikroba dihentikan, dan hasil pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan C. diphtheriae.

- Pasien rawat dengan difteri kulit, harus dilakukan tindakan pencegahan kontak sampai terapi
antimikroba dihentikan, dengan dua kultur yang diambil minimal 24 jam terpisah dan minimal
24 jam setelah terapi antimikroba dihentikan, serta hasil pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan C. diphtheriae.

- Pasien difteri harus dikonfirmasi untuk menghindari kontak dekat dengan orang lain, sampai
didapatkan dua kultur yang diambil minimal 24 jam terpisah dan minimal 24 jam setelah terapi
antimikroba dihentikan, dan hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan C. diphtheriae.

- Pasien yang terdiagnosis difteri harus divaksinasi dengan toksoid difteri selama fase masa
pemulihan, karena tidak selalu pada penderita tersebut terbentuk kekebalan.

Manajemen Kontak

- Kontak dekat dengan simptom yang sesuai dengan difteri, harus dirujuk ke pelayanan
kesehatan untuk evaluasi segera.

- Semua kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi difteri, harus dikultur dengan sampel yang
diambil dari hidung dan tenggorokan, tanpa melihat status imunisasi mereka atau simptom yang
ada.
- Setelah kultur dikumpulkan, kontak dekat harus menerima dosis tunggal Penisilin benzatin
(IM) (600.000 unit untuk usia < 6 tahun, dan 1.2 juta unit untuk usia >6 tahun) atau Eritromisin
oral (40 mg/kg/dosis untuk anak-anak, dan 1 g/dosis untuk orang dewasa) selama 7-10 hari,
tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak dekat yang mempunyai hasil kultur positif harus
dilakukan kultur ulang setelah selesai terapi, untuk memastikan eradikasi terjadi. - Kontak yang
sebelumnya pernah diimunisasi, harus mendapat booster toksoid difteri bila sudah lebih dari 5
tahun sejak dosis terakhir. Kontak yang tidak diimunisasi harus memulai seri primer imunisasi
segera. - Kontak dekat harus memperhatikan adanya gejala difteri yang akan timbul dalam 7-10
hari setelah terpapar penderita difteri terutama bila tidak diimunisasi. - Kontak dekat yang dalam
pekerjaannya berhubungan dengan makanan atau anak-anak sekolah, maka harus diberhentikan
untuk sementara waktu sampai terbukti pemeriksaan bakteriologis bukan penderita carier, karena
transmisi difteri pernah dilaporkan melalui susu mentah

Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di Indonesia, pada daerah kantong
yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.
Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena

1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana difteria

2) adanya miokarditis dan gagal jantung


3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah
menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang
menetap.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hartoyo E. Difteri Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Lambungmangkurat/RSUD Ulin. Kota Banjarmasin. Sari Pediatri. 2018;19(5):300-6  

2. Fitriani, Novriani H, Djaja IM. Penatalaksanaan Difteri. Journal Indonesian Medical


Association, Jawa Barat. Desember 2014; Volume: 64, Nomor: 12.

3. Akbar M. Peran World Health Organization (Who) Dalam Menanggulangi Epidemik


Penyakit Difteri Di Indonesia Periode 2014-2017. 2019

4. Wahyudin U, Sugiana D. Penggunaan Media Digital Untuk Penanganan Klb Difter. Jurnal
Common. Juni 2018. Volume 2 Nomer 1.

5. Efstratiou A, George RC. Laboratory Guidelines for the Diagnosis of Infections Caused by
Corynebacterium diphtheriae and C. ulcerans. Commun Dis Public Health. 1999:2:250-7

6. Anonim. Difteria pada buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI;2010.h.312-21.

7. Whitea RO, Thompsonc JR, Rothmand RL, dkk. A health literate approach to the prevention
of childhood overweight and obesity. Patient Educ Couns 2013;93:612-8.

8. Hall AJ. Cassiday PK, Bernad KA, dkk. Isolation of novel Corynebacterium diptheriae from
domestics cat. Emerg Infect Dis 2010;16:688-91
9. Kemkes RI. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015. Diakses pada 2 Februari 2018. Didapat
dari: http://www.depkes.go.id/ resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profilkesehatan-Indonesia-2015.pdf.

10. Kartno B, Purwana R, Djaja IM. Hubungan Lingkungan Rumah dengan Kejadian Luar Biasa
(KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-2006) dan Garut Januari 2007, Jawa Barat.
Makara Kesehatan. 2008;12:8-1

11. Acang N. Difteri. Dalam: Noer HMS, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Ed. ke-3. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 1996

12. Ditjen PP&PL Kemenkes RI. Gambaran KLB Diphteri Th 20002010 di Jawa Timur. 2010.

Anda mungkin juga menyukai