Anda di halaman 1dari 26

eptaQ

 Home Profil Biologi Pendidikan Tautan Serba-serbi ▼
Kamis, 30 Juli 2009

Cekaman pada Tumbuhan

CEKAMAN PADA TUMBUHAN

Pada prinsipnya, setiap tumbuhan memiliki kisaran tertentu terhadap factor


lingkungannya. Prinsip tersebut dinyatakan sebagai Hukum Toleransi Shelford, yang
berbunyi “Setiap organism mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis, yang
merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organism itu terhadap kondisi
factor lingkungannya” (Dharmawan, 2005). Pada gambar 1, terlihat bahwa setiap makhluk
hidup memiliki range of optimum atau kisaran optimum terhadap factor lingkungan untuk
pertumbuhannya. Kondisi di atas ataupun di bawah batas kisaran toleransi itu, makhluk hidup
akan mengalami stress fisiologis. Pada kondisi stress fisiologis ini, populasi akan menurun.
Apabila kondisi stress ini terus berlangsung dalam waktu yang lama dan telah mencapai batas
toleransi kelulushidupan, maka organism tersebut akan mati.

Gambar 1. Diagram kisaran toleransi organism terhadap kondisi factor lingkungannya

Stres (cekaman) biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak menguntungkan
yang berpengaruh buruk terhadap tanaman(Fallah, 2006). Campbell (2003), mendefinisikan
cekaman sebagai kondisi lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk pada
pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidup tumbuhan. Menurut Hidayat (2002), pada
umumnya cekaman lingkungan pada tumbuhan dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1)
cekaman biotik, terdiri dari: (a) kompetisi intra spesies dan antar spesies, (b) infeksi oleh
hama dan penyakit, dan (2) cekaman abiotik berupa: (a) suhu (tinggi dan rendah), (b) air
(kelebihan dan kekurangan), (c) radiasi (ultraviolet, infra merah, dan radiasi mengionisasi),
(d) kimiawi (garam, gas, dan pestisida), (e) angin, dan (f) suara. Menurut Sipayung (2006),
kerusakan yang timbul akibat stres dapat dikelompokkan dalam 3 jenis kerusakan sebagai
berikut.

a. Kerusakan stres langsung primer

b. Kerusakan stres tak langsung primer

c. Kerusakan stres sekunder (dapat terjadi juga stres tersier)

A. Respon Terhadap Cekaman Air

Faktor air dalam fisiologi tanaman merupakan faktor utama yang sangat penting.
Tanaman tidak akan dapat hidup tanpa air, karena air adalah matrik dari kehidupan, bahkan
makhluk lain akan punah tanpa air. Kramer menjelaskan tentang betapa pentingnya air bagi
tumbuh-tumbuhan; yakni air merupakan bagian dari protoplasma (85-90% dari berat
keseluruhan bahagian hijau tumbuh-tumbuhan (jaringan yang sedang tumbuh) adalah air.
Selanjutnya dikatakan bahwa air merupakan reagen yang penting dalam proses-proses
fotosintesa dan dalam proses-proses hidrolik. Disamping itu juga merupakan pelarut dari
garam-garam, gas-gas dan material-material yang bergerak kedalam tumbuh tumbuhan,
melalui dinding sel dan jaringan esensial untuk menjamin adanya turgiditas, pertumbuhan sel,
stabilitas bentuk daun, proses membuka dan menutupnya stomata, kelangsungan gerak
struktur tumbuh-tumbuhan.

Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa langsung atau tidak
langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses metaboliknya
sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman (Sinaga, 2008). Efek kelebihan air atau
banjir yang umum adalah kekurangan oksigen, sedangkan kekurangan air atau kekeringan
akan mengakibatkan dehidrasi pada tanaman yang berpengaruh terhadap zona sel turgor yang
selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).Kebutuhan air bagi
tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman dalam hubungannya
dengan tipe dan perkembangannya, kadar air tanah dan kondisi cuaca.

1. Respon Terhadap Cekaman Kelebihan Air

Dampak genangan air adalah menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang
mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar
dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju
difusi). Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain
respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan
menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan
akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.
Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis (Staff Lab
Ilmu Tanaman, 2008).

2. Respon Terhadap Cekaman Kekeringan

Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah
perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam kondisi laju evapotranspirasi
melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Serapan air oleh akar tanaman dipengaruhi oleh
laju transpirasi, sistem perakaran, dan ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996). Secara umum
tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan. Staff Lab
Ilmu Tanaman (2008) mengemukakan bahwacekaman kekeringan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok yaitu:

a. Cekaman ringan :jika potensial air daun menurun 0.1 Mpa atau kandungan air nisbi
menurun 8 – 10 %

b. Cekaman sedang: jika potensial air daun menurun 1.2 s/d 1.5 Mpa atau kandungan air
nisbi menurun 10 – 20 %
c. Cekaman berat: jika potensial air daun menurun >1.5 Mpa atau kandungan air nisbi
menurun > 20%

Lebih lanjut Staff Lab Ilmu Tanaman mengemukakan bahwa apabila tanaman kehilangan
lebih dari separoh air jaringannya dapat dikatakan bahwa tanaman mengalami kekeringan.

Kekurangan air akan mengganggu aktifitas fisiologis maupun morfologis, sehingga


mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Defisiensi air yang terus menerus akan
menyebabkan perubahan irreversibel (tidak dapat balik) dan pada gilirannya tanaman akan
mati (Haryati, 2008). Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres
yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Respon tanaman yang
mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan molekuler seperti
perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun,
daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun, peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas
stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan
produksi aktivitas enzim dan hormon, serta perubahan ekspresi (Sinaga, 2008).

Tumbuhan merespon kekurangan air dengan mengurangi laju transpirasi untuk

penghematan air. Terjadinya kekurangan air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga

kehilangan turgornya. Suatu mekanisme control tunggal yang memperlambat transpirasi

dengan cara menutup stomata. Kekurangan air juga merangsang peningkatan sintesis dan

pembebasan asam absisat dari sel-sel mesofil daun. Hormon ini membantu mempertahankan

stomata tetap tertutup dengan cara bekerja pada membrane sel penjaga. Daun juga berespon

terhadap kekurangan air dengan cara lain. Karena pembesaran sel adalah suatu proses yang

tergantung pada turgor, maka kekurangan air akan menghambat pertumbuhan daun muda.

Respon ini meminimumkan kehilangan air melalui transpirasi dengan cara memperlambat

peningkatan luas permukaan daun. Ketika daun dari kebanyakan rumput dan kebanyakan

tumbuhan lain layu akibat kekurangan air, mereka akan menggulung menjadi suatu bentuk
yang dapat mengurangi transpirasi dengan cara memaparkan sedikit saja permukaan daun ke

matahari (Campbell, 2003).

Kedalaman perakaran sangat berpengaruh terhadap jumlah air yang diserap. Pada
umumnya tanaman dengan pengairan yang baik mempunyai sistem perakaran yang lebih
panjang daripada tanaman yang tumbuh pada tempat yang kering. Rendahnya kadar air tanah
akan menurunkan perpanjangan akar, kedalaman penetrasi dan diameter akar (Haryati, 2006).
Hasil penelitian Nour dan Weibel tahun 1978 menunjukkan bahwa kultivarkultivar sorghum
yang lebih tahan terhadap kekeringan, mempunyai perkaran yang lebih banyak, volume akar
lebih besar dan nisbah akar tajuk lebih tinggi daripada lini-lini yang rentan kekeringan
(Goldsworthy dan Fisher, dalam Haryati, 2006).

Senyawa biokimia yang dihasilkan tanaman sebagai respon terhadap kekeringan dan
berperan dalam penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam amino, dan
senyawa terlarut yang kompatibel. Senyawa osmotik yang banyak dipelajari pada toleransi
tanaman terhadap kekeringan antara lain prolin, asam absisik, protein dehidrin, total gula,
pati, sorbitol, vitamin C, asam organik, aspargin, glisin-betain, serta superoksida dismutase
dan K+ yang bertujuan untuk menurunkan potensial osmotik sel tanpa membatasi fungsi
enzim (Sinaga, 2008).

B. Respon Terhadap Cekaman Salinitas

Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut

yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah

salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat

konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman. Garam-garam yang

menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang

terlarut dalam air (Sipayung, 2006). Stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi

beberapa proses fisiologi dari mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman (Fallah,

2006).
Menurut Petani Wahid (2006), kemasaman tanah merupakan kendala paling inherence
dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh normal (sehat)
umumnya pada ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk tanah mineral karena pada pH
<> 50 cm dari permukaan tanah. Pada kebanyakan spesies, pengaruh jenis-jenis garam
umumnya tidak khas terhadap tumbuhan tanaman tetapi lebih tergantung pada konsentrasi
total garam.

Salinitas tidak ditentukan oleh garam Na Cl saja tetapi oleh berbagai jenis garam yang
berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman. Dalam konteks ini tanaman mengalami
stres garam bila konsentrasi garam yang berlebih cukup tinggi sehingga menurunkan
potensial air sebesar 0,05 – 0,1 Mpa. Stres garam ini berbeda dengan stres ion yang tidak
begitu menekan potensial air (Lewit, dalam Sipayung, 2006).

Toleransi terhadap salinitas adalah beragam dengan spektrum yang luas diantara
spesies tanaman mulai dari yang peka hingga yang cukup toleran. Follet et al, (1981 dalam
Sipayung, 2006) mengajukan lima tingkat pengaruh salinitas tanah terhadap tanaman, mulai
dari tingkat non-salin hingga tingkat salinitas yang sangat tinggi, seperti diberikan pada Tabel
1.

Tabel 1. Pengaruh Tingkat Salinitas terhadap Tanaman


Tingkat Konduktivitas Pengaruh Terhadap Tanaman
Salinitas (mmhos)
Non Salin 0–2 Dapat diabaikan
Rendah 2–4 Tanaman yang peka terganggu
Sedang 4–8 Kebanyakan tanaman terganggu
Tinggi 8 – 16 Tanaman yang toleran belum terganggu
Sangat Tinggi > 16 Hanya beberapa jenis tanaman toleran
yang

dapat tumbuh
Kelebihan NaCl atau garam lain dapat mengancam tumbuhan karena dua alasan.

Pertama, dengan cara menurunkan potensial air larutan tanah, garam dapat menyebabkan

kekurangan air pada tumbuhan meskipun tanah tersebut mengandung banyak sekali air. Hal

ini karena potensial air lingkungan yang lebih negatif dibandingkan dengan potensial air

jaringan akar, sehingga air akan kehilangan air, bukan menyerapnya. Kedua, pada tanah

bergaram, natrium dan ion-ion tertentu lainnya dapat menjadi racun bagi tumbuhan jika

konsentrasinya relative tinggi. Membran sel akar yang selektif permeabel akan menghambat

pengambilan sebagian besar ion yang berbahaya, akan tetapi hal ini akan memperburuk

permasalahan pengambilan air dari tanah yang kaya akan zat terlarut (Campbell, 2003).

Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat

pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass tanaman.

Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk

kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala

pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah

pertumbuhan yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis.

Gejala ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya

potensial larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh

antara lain bentuk struktur, daya pegang air dan permeabilitas tanah.

Pertumbuhan sel tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak
normal. Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan
lamella, kekacauan organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam sitoplasma, vakuola,
dinding sel dan ruang antar sel. Kerusakan struktur ini akan mengganggu transportasi air dan
mineral hara dalam jaringan tanaman (Maas dan Nieman, dalam Sipayung, 2006). Banyak
tumbuhan dapat berespon terhadap salinitas tanah yang memadai dengan cara menghasilkan
zat terlarut kompatibel, yaitu senyawa organic yang menjaga potensial air larutan tanah, tanpa
menerima garam dalam jumlah yang dapat menjadi racun. Namun demikian, sebagian besar
tanaman tidak dapat bertahan hidup menghadapi cekaman garam dalam jangka waktu yang
lama kecuali pada tanaman halofit, yaitu tumbuhan yang toleran terhadap garam dengan
adaptasi khusus seperti kelenjar garam, yang memompa garam keluar dari tubuh melewati
epidermis daun (Campbell, 2003).

Ketika terjadi cekaman lingkungan seperti kekeringan, logam berat atau salinitas, tanaman
bereaksi dalam beragam cara untuk menghadapi perubahan yang berpotensi merusak. Salah
satu hasil dari tekanan tersebut adalah adanya akumulasi reactive oxygen species (ROS)
dalam tanaman, dimana hal tersebut dapat menghancurkan tanaman dan berakibat pada
berkurangnya produktivitas tanaman. ROS berdampak pada fungsi seluler, seperti kerusakan
pada asam nukleat atau oksidasi protein tanaman yang penting.

C. Respon Terhadap Cekaman Suhu

Suhu sebagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi produksi tanaman secara fisik
maupun fisiologis. Secara fisik, suhu merupakan bagian yang dipengaruhi oleh radiasi sinar
matahari dan dapat diestimasikan berdasarkan keseimbangan panas. Secara fisiologis, suhu
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, fotosintesis, pembukaan stomata, dan respirasi.
Selain itu, suhu merupakan salah satu penghambat dalam proses fisiologi untuk sistem
produksi tanaman ketika suhu tanaman berada diluar suhu optimal terendah maupun tertinggi.

1. Cekaman Panas

Panas berlebihan dapat mengganggu dan akhirnya membunuh suatu tumbuhan dengan
cara mendenaturasi enzim-enzimnya dan merusak metabolismenya dalam berbagai cara.
Salah satu fungsi transpirasi adalah pendinginan melalui penguapan. Pada hari yang panas,
misalnya temperature daun berkisar 3°C sampai 10°C di bawah suhu sekitar. Tentunya, cuaca
panas dan kering juga enderung menyebabkan kekurangan air pada banyak tumbuhan;
penutupan stomata sebagai respon terhadap cekaman ini akan menghemat air, namun
mengorbankan pendinginan melalui penguapan tersebut. Sebagian besar tumbuhan memiliki
respon cadangan yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dalam cekaman panas Di
atas suatu temperature tertentu- sekitar 40°C pada sebagian besar tumbuhan yang menempati
daerah empat musim, sel-sel tumbuhan mulai mensintesis suatu protein khusus dalam jumlah
yang cukup banyak yang disebut protein kejut panas (heat-shock protein). Protein kejut panas
ini kemungkinan mengapit enzim serta protein lain dan membantu mencegah denaturasi
(Campbell, 2003).

2. Cekaman Dingin

Satu permasalahan yang dihadapi tumbuhan ketika temperature lingkungan turun adalah
perubahan ketidakstabilan membrane selnya. Ketika sel itu didinginkan di bawah suatu titik
kritis, membrane akan kehilangan kecairannya karena lipid menjadi terkunci dalam struktur
Kristal. Keadaan ini mengubah transport zat terlarut melewati membrane, juga
mempengaruhi fungsi protein membrane. Tumbuhan merespon terhadap cekaman dingin
dengan cara mengubah komposisi lipid membrannya. Contohnya adalah meningkatnya
proporsi asam lemak tak jenuh, yang memiliki struktur yang mampu menjaga membrane
tetap cair pada suhu lebih rendah dengan cara menghambat pembentukan Kristal. Modifikasi
molekuler seperti itu pada membrane membutuhkan waktu beberapa jam hingga beberapa
hari. Pada suhu di bawah pembekuan, Kristal es mulai terbentuk pada sebagian besar
tumbuhan. Jika es terbatas hanya pada dinding sel dan ruang antar sel, tumbuhan
kemungkinan akan bertahan hidup. Namun demikian, jika es mulai terbentuk di dalam
protoplas, Kristal es yang tajam itu akan merobek membrane dan organel yang dapat
membunuh sel tersebut. Beberapa tumbuhan asli di daerah yang memiliki musim dingin
sangat dingin (seperti maple, mawar, rhodendron) memiliki adaptasi khusus yang
memungkinkan mereka mampu menghadapi cekaman pembekuan tersebut. Sebagai contoh,
perubahan dalam komposisi zat terlarut sel-sel hidup memungkinkan sitosol mendingin di
bawah 0°C tanpa pembentukan es, meskipun Kristal es terbentuk dalam dinding sel
(Campbell, 2003).

D. Respon Terhadap Kekurangan Oksigen


Tumbuhan yang disiram terlalu banyak air bisa mengalami kekurangan oksigen karena tanah
kehabisan ruangan udara yang menyediakan oksigen untk respirasi seluler akar (Campbell,
2003). Keadaan lingkungan kekurangan O2 disebut hipoksia, dan keadaan lingkungan tanpa
O2 disebut anoksia (mengalami cekaman aerasi) (Staff Lab Ilmu Tanaman, 2008). Beberapa
tumbuhan secara structural diadaptasikan ke habitat yang sangat basah. Sebagai contoh, akar
pohon bakau yang terendam air, yang hidup di rawa pesisir pantai, adalah sinambungan
dengan akar udara yang menyediakan akses ke oksigen (Campbell, 2003).

E. Respon Terhadap Cekaman Cahaya

Cahaya merupakan salah satu kunci penentu dalam proses metabolisme dan
fotosintesis tanaman. Cahaya dibutuhkan oleh tanaman mulai dari proses perkecambahan biji
sampai tanaman dewasa. Respon tanaman terhadap cahaya berbeda-beda antara jenis satu
dengan jenis lainnya. Ada tanaman yang tahan ( mampu tumbuh ) dalam kondisi cahaya yang
terbatas atau sering disebut tanaman toleran dan ada tanaman yang tidak mampu tumbuh
dalam kondisi cahaya terbatas atau tanaman intoleran.

Kedua kondisi cahaya tersebut memberikan respon yang berbeda-beda terhadap


tanaman, baik secara anatomis maupun secara morfologis. Tanaman yang tahan dalam
kondisi cahaya terbatas secara umum mempunyai ciri morfologis yaitu daun lebar dan tipis,
sedangkan pada tanaman yang intoleran akan mempunyai ciri morfologis daun kecil dan
tebal. Kedua kondisi tersebut akan dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman
apabila pemilihan jenis tidak sesuai dengan kondisi lahan, artinya tanaman yang toleran
ketika ditanam diareal yang cukup cahaya justru akan mengalami pertumbuhan yang kurang
baik, begitu juga dengan tanaman intolean apabila di tanam pada areal yang kondisi cahaya
terbatas pertumbuhan akan mengalami ketidak normalan. Dengan demikian pemilihan jenis
berdasarkan pada sifat dasar tanaman akan menjadi kunci penentu dalam keberhasilan
pembuatan tanaman.

Berikut ini adalah perbedaan Tanaman Toleran ( Shade leaf) Vs Intoleran ( Sun Leaf)
menurut Silvika (2009).
1. Tumbuhan cocok ternaung menunjukkan laju fotosintesis yang sangat rendah pada
intensitas cahaya tinggi dibanding tumbuhan cocok terbuka.

2. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung mencapai titik jenuh pada intensitas cahaya
yang lebih rendah dibanding tumbuhan cocok terbuka.

3. Laju fotosintesis tumbuhan cocok ternaung lebih tinggi dibanding tumbuhan cocok terbuka
pada intensitas cahaya yang sangat rendah.

4. Titik kompensasi cahaya untuk tumbuhan cocok ternaung lebih rendah dibanding
tumbuhan cocok terbuka.

F. Respon Terhadap Herbivora

Herbivora adalah suatu cekaman yang diahadapi tumbuhan dalam setiap ekosistem.
Tumbuhan menghadapi herbivore yang begitu banyak baik dengan pertahanan fisik, seperti
duri, maupun pertahanan kimia, seperti produksi senyawa yang tidak enak atau bersifat
toksik. Sebagai contoh beberapa tumbuhan menghasilkan suatu asam amino yang tidak
umum yang disebut kanavanin yang dinamai berdasarkan salah satu sumbernya, jackbean
(Cannavalia ensiformis). Kanavanin mirip arginin. Jika suatu serangga memakan tumbuhan
yang mengandung kanavanin, molekul itu bergabung dengan protein serangga di tempat yang
biasanya ditempati oleh arginin, yang dapat menyebabkan matinya serangga tersebut
(Campbell, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, at al. 2003. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Dharmawan, Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM Press.

Fallah, Affan Fajar. 2006. Perspektif Pertanian dalam Lingkungan yang


Terkontrol. http://io.ppi jepang.org. Diakses pada tanggal 5 Juli 2009.
Haryati. 2008. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil
Tanamanhttp://library.usu.ac.id/download/fp/hslpertanian-haryati2.pdf. Diakses pada
tanggal 5 Juli 2009.

Hidayat. 2002. Cekaman Pada Tumbuhan.http://www.scribd.com/document_downloads/


13096496?extension=pdf&secret_password=. Diakses pada tanggal 5 Juli 2009.

Lakitan, Benyamin. 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Petani Wahid. 2006. Cekaman Lingkungan Abiotik pada Lahan-Lahan


Marginal. http://petani wahid.blogspot.com/2008/08/tanah-tantangan-bertani-di-
indonesia.html. Diakses pada tanggal 5 Juli 2009.

Silvika. 2009. Cekaman Cahaya.http://silvika.atspace.com/acara3.htm. Diakses pada tanggal


5 Juli 2009.

Sinaga. 2008. Peran Air Bagi Tanaman.http://puslit.mercubuana.ac.id/file/8Artikel


%20Sinaga.pdf. Diakses pada tanggal 5 Juli 2009.

Sipayung, Rosita. 2006. Cekaman Garam.http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-


rosita2.pdf. Diakses pada tanggal 5 Juli 2009.

eptaQ di 7:00:00 PM
Berbagi

Tidak ada komentar:


Posting Komentar


Beranda

Lihat versi web

about me

eptaQ
Saya adalah Orang yang selalu berpikir "tembaklah bulan! Kalau pun meleset, paling tidak,
kamu dapat bintang, kan???" dan pada akhirnya, bintangku pun menjadi bulan.... dan.....
selalu berusaha menerapkan prinsip "Perlakukan orang lain sepert kamu ingin
diperlakukan....
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.
Kondisi cekaman air, tanaman akan memperlihatkan berbagai respon sebagai mekanisme
tanaman dalam usaha mengurangi cekaman yaitu:

 Respon morfologi 

1. Mengurangi luas permukaan daun sehingga transpirasi menurun.


2. Mempercepat perkembangan perakaran terutama kearah bawah menyebabkan
nisbah akar/pucuk meningkat sehingga tanaman lebih mampu mengabsorbsi air
dari lapisan tanah yang lebih dalam sementara transpirasi dari bagian atas
tanaman menurun (Herawati, 2000). 
3. Mengubah sudut daun pada posisi hampir sejajar dengan datangnya cahaya,
agar suhu daun tidak segera meningkat sehingga transpirasi dapat ditekan. 
4. Pembentukan lapisan kutikula pada permukaan daun dapat mengurangi
penguapan. Selain itu lapisan lilin dapat meningkatkan pantulan cahaya,
sehingga mengurangi suhu permukaan daun. Beberapa tanaman yang diketahui
toleran terhadap kekeringan mampu membuat lapisan kutikula pada permukaan
daunnya bila mendapat cekaman kekeringan. 
5. Membuka dan menutup stomata. Perilaku stomata, berhubungan dengan
potensial air daun yang tergantung pada faktor umur, kondisi tumbuh. Menurut
Ackerson dan Krieg (1977) bahwa tanaman jagung pada fase pertumbuhan
vegetatif dan potensial air rendah akan menyebabkan penutupan stomata di
bawah cahaya matahari. Jumlah dan ukuran stomata dipengaruhi oleh genotype
dan lingkungan. Oleh kerena itu sel penjaga kekurangan air dapat mengurangi
pembukaan stomata. 
6. Mengurangi luas daun, yang berkaitan dengan laju transpirasi. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Bayer (Cristiansen and Lewis, 1982) menyatakan bahwa
perpanjangan daun jagung maksimal pada potensial air -0,15 MPa sampai -0,25
MPa dan menurun 25% jika potensial air turun sampai -0,4 Mpa.
7. Pengulungan atau pelipatan daun. Tanaman kedelai berdaun lebar
kecendurungan untuk mengulung daun keatas sehingga bulu-bulu (rambut)
diatas permukaan bawah daun yang terbuka dapat merefleksikan lebih banyak
cahaya. 

 Respon fisiologi

Respon fisiologi di dalam tanaman untuk beradaptasi pada kondisi kekeringan telah lama
diketahui. Suatu hal yang cukup penting diantaranya adalah kemampuan tanaman
mempertahankan tekanan turgor dengan menurunkan potensial osmotiknya (Jones et.al.,
1981). Menurut Hale dan Orchutt (1987), beberapa faktor yang dapat membantu
mempertahankan turgor adalah :

1. Penurunan potensial osmotik


2. Kemampuan mengakumulasi zat-zat terlarut
3. Elastisitas sel atau jaringan yang tinggi dan
4. Ukuran sel yang kecil. 

Respon tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan adalah dengan pengaturan osmotik
sel. Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi senyawa organik yang dapat
menurunkan potensial osmotik sehingga menurunkan potensial air dalam sel tanpa
membatasi fungsi enzim serta menjaga turgor sel. Beberapa senyawa yang berperan dalam
penyesuaian osmotikal sel antara lain gula osmotik (Wang et al., 1995; Yakhushiji et al.,
1998), prolin dan betain (Maestri et al., 1995), protein dehidrin (Close, 1997) dan asam
absisik (ABA) yang berperan dalam memacu akumulasi senyawa tersebut (Dingkhun et al.,
1991). Menurut Ober dan Sharp (1994) bahwa akumulasi hormon asam absisik (ABA)
diperlukan untuk peningkatan proline pada kondisi potensial air rendah. 

Hasil penelitian Sharp dan Davies (1979); Westgate dan Boyer (1985) menyatakan bahwa
senyawa prolin berkontribusi lebih dari 50% terhadap osmotic adjustment pada akar jagung.
Pembentukan senyawa osmoregulasi ini sebagai penanda biokimia untuk indikasi toleransi
cekaman kekeringan. Banyak peneliti menyatakan bahwa prolin bebas banyak diakumulasi
sebagai respon terhadap stress air yang dapat diamati pada daun-daun yang masih melekat
maupun yang telah gugur pada banyak tanaman budidaya pada kondisi laboratorium
(Barnett dan Nailor, 1966, Routley, 1966 dan Singh, Aspinal dan Paleg, 1972). 

Akumulasi asam absisik (ABA) berkaitan juga dengan respon tantaman yang toleran
cekaman kekeringan. Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut Salisbury dan
Ross (1992) akan membentuk asam absisik lebih banyak dan diangkut melalui xylem
menuju daun untuk menutup stomata. Menurut Zeevaart dan Creelman (1988) bahwa ABA
yang diproduksi dalam akar tanaman mengalami cekaman kekeringan berperan sebagai
sinyal kimia pada tajuk sehingga mendorong penutupan stomata sebelum perubahan status
air dalam daun terjadi, sehingga tanaman dapat mengoptimalkan penggunaan air dengan
cara mengurangi kehilangan air melalui transpirasi. Selain itu kadar ABA endogen yang
tinggi juga dapat diketahui dapat menginduksi peningkatan rasio pertumbuhan akar/tajuk
(Biddington dan Dearman, 1982). Kenyataan ini menunjukkan respon yang berbeda dari
akar dan tajuk terhadap ABA (Creelman et.al.,1990). Pada tajuk, ABA menginduksi
penghambatan sedangkan pada akar ABA mendorong pertumbuhan (Dallaire, et.al., 1994).

Berdasarkan kemampuan genetik tanaman, terdapat empat mekanisme adapatasi pada


kondisi cekaman kekeringan yaitu drought escape, dehydration avoidance, dehydration
Tolerance dan drought Recovery (Fukai dan Cooper , 1995 dalam Sopandie, 2006). Namun
demikian tanaman seringkali menggunakan lebih dari satu mekanisme untuk beradaptasi
pada kondisi cekaman kekeringan (Mitra, 2001 dalam Sopandie, 2006), mekanisme tersebut
adalah: 

1. Melepaskan diri dari cekaman kekeringan (draught escape), yaitu kemampuan


tanaman menyelesaikan siklus hidupnya sebelum mengalami defisit air yang parah.
Mekanisme ini ditunjukkan dengan perkembangan sistem pembungaan yang cepat
dan perkembangan plastisitas jaringannya. Akan tetapi mekanisme adaptasi tersebut
memiliki kelemahan. Genotipe genjah dengan umur pendek umumnya berdaya hasil
rendah dibandingkan dengan yang berumur panjang. 
2. Toleransi dengan potensial air jaringan yang tinggi (dehydration avoidance), yaitu
kemampuan tanaman yang tetap menjaga potensial jaringan dengan meningkatkan
penyerapan air atau menekan kehilangan air. Pada mekanisme ini biasanya
tanaman mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran dan
konduktivitas hidrolitik atau kemampuan untuk menurunkan hantaran epidermis
dengan regulasi stomata, pengurangan absorbsi radiasi dengan pembentukan
lapisan lilin, bulu yang tebal dan penurunan permukaan evapotranspirasi melalui
penyempitan daun serta pengguguran daun tua. 
3. Toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah (Dehydration Tolerance), yaitu
kemampuan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan
potensial airnya melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino dan sebagainya
atau dengan meningkatkan elastisitas sel. Akumulasi prolin. Prolin bebas yang
terkumpul pada tanaman berasal dari karbohidrat melalui pembentukan alfa-
ketoglutarate dan glutamate. Oksidasi proline, setelah keadaan normal terjadi
dengan cepat untuk menjaga kandungan proline yang rendah dalam tanaman.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang toleran terhadap cekaman
air memperlihatkan kemampuan mengakumulasi prolin. 
4. Mekanisme penyembuhan (drought Recovery), dimana proses metabolisme berjalan
normal kembali setelah mengalami stres kekeringan. Mekanisme ini penting
manakala stres kekeringan terjadi pada awal perkembangan tanaman. 

Mekanisme yang menyebabkan ketahanan terhadap kekeringan melalui pengurangan


kehilangan air (misalnya dengan cara menutupnya stomata dan mengurangi luas daun)
umumnya berimplikasi pada menurunnya fiksasi karbondioksida (CO2). Osmotic adjusment
(OA) meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dengan pemeliharaan turgor tanaman,
tetapi peningkatan konsentrasi solut dalam sel tanaman membutuhkan energi yang cukup
banyak dikeluarkan tanaman. Konsekuensinya, adaptasi tanaman harus menunjukkan
keseimbangan antara escape, avoidance dan toleran dengan menjaga produktivitas yang
memadai.***

Mekanisme Adaptasi Tumbuhan Terhadap Salinitas

Pengertian Salinitas

Salinitas didefinisikan sebagai adanya garam terlarut dalam konsentrasi yang berlebihan dalam
larutan tanah. Satuan pengukuran salinitas adalah konduktivitas elektrik yang dilambangkan dengan
decisiemens/m pada suhu 25 °C.
Tanah bergaram dapat diklasifikasikan berdasarkan salinitasnya yakni: tanah salin (terlalu banyak
garam) mempunyai pH <8,5, tanah Sodik ( lebih dari 15% pertukaran ion Natrium) mempunyai pH
>8,5 dan tanah salin sodik (terlalu banyak garam dan tinggi pertukaran ion Natrium) mempunyai pH
<8,5. Banyak tanaman seperti Barley, rumput-rumputan, bit gula, kapas, asparagus relatif tahan
garam sedangkan clovers dan buncis dan banyak buah berri relatif ketahanan rendah pada kondisi
garam (Soepardi, 1983)

Pengaruh utama salinitas adalah berkurangnya pertumbuhan daun yang langsung mengakibatkan
berkurangnya fotosintesis tanaman. Salinitas mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman pertanian
penting dan pada kondisi terburuk dapat menyebabkan terjadinya gagal panen. Pada kondisi salin,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena akumulasi berlebihan Na dan Cl dalam
sitoplasma, menyebabkan perubahan metabolisme di dalam sel. Aktivitas enzim terhambat oleh
garam. Kondisi tersebut juga mengakibatkan dehidrasi parsial sel dan hilangnya turgor sel karena
berkurangnya potensial air di dalam sel. Berlebihnya Na dan Cl ekstraselular juga mempengaruhi
asimilasi nitrogen karena tampaknya langsung menghambat penyerapan nitrat (NO3) yang
merupakan ion penting untuk pertumbuhan tanama.

Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan tergganggunya pertumbuhan, produktivitas
tanaman dan fungsi-fungsi fisiologis tanaman secara normal, terutama pada jenis-jenis tanaman
pertanian. Salinitas tanah menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat
pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein, serta penambahan biomass tanaman.

Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk
kerusakan langsung tetapi dalam bentuk pertumbuhan tanaman yang tertekan dan perubahan
secara perlahan Dalam FAO (2005) dijelaskan bahwa garam-garaman mempengaruhi pertumbuhan
tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang disebabkan penyerapan unsur penyusun garam yang
berlebihan, (b) penurunan penyerapan air dan (c) penurunan dalam penyerapan unsur-unsur hara
yang penting bagi tanaman.

Salinitas mempengaruhi proses fisiologis yang berbeda-beda. Pada tanaman pertanian seperti
jagung, kacang tanah, kacang merah, kacang polong, tomat dan bunga matahari, pertumbuhan dan
berat kering mengalami penurunan jika tanaman ditumbuhkan dalam media salin. Beberapa
tanaman mengembangkan mekanisme untuk mengatasi cekaman tersebut di samping ada pula yang
menjadi teradaptasi. Mayoritas tanaman budidaya rentan dan tidak dapat bertahan pada kondisi
salinitas tinggi atau sekalipun dapat bertahan tetapi dengan hasil panen yang berkurang. Tanaman
yang toleran terhadap cekaman garam Na disebut tanaman natrofilik, sedangkan yang tidak toleran
disebut tanaman natrofobi.

Adanya kadar garam yang tinggi pada tanah juga menyebabkan penurunan jumlah daun,
pertumbuhan tinggi tanaman dan rasio pertumbuhan panjang sel. Demikian pula dengan proses
fotosintesis akan terganggu karena terjadi akumulasi garam pada jaringan mesophil dan
meningkatnya konsentrasi CO2 antar sel (interseluler) yang dapat mengurangi pembukaan stomata. 
Pada tanaman semusim antara lain meningkatnya tanaman mati dan produksi hasil panen rendah
serta banyaknya polong kacang tanah dan gabah yang hampa.
Proses pengangkutan unsur-unsur hara tanaman dari dalam tanah akan terganggu dengan naiknya
salinitas tanah. Manurut Salisbury and Ross (1995) bahwa masalah potensial lainnya bagi tanaman
pada daerah tersebut adalah dalam memperoleh K+ yang cukup. Masalah ini terjadi karena ion
natrium bersaing dalam pengambilan ion K+. Tingginya penyerapan Na+ akan menghambat
penyerapan K+.

Salinitas yang tinggi akan mengurangi ketersedian K+ dan Ca++ dalam larutan tanah dan
menghambat proses transportasi dan mobilitas kedua unsur hara tersebut ke daerah pertumbuhan
tanaman (growth region) sehingga akan mengurangi kualitas pertumbuhan baik organ vegetatif
maupun reproduktif. Salinitas tanah yang tinggi ditunjukkan dengan kandungan ion Na+ dan Cl-
tinggi akan meracuni tanaman dan meningkatkan pH tanah yang mengakibatkan berkurangnya
ketersediaan unsur-unsur hara mikro.
  
Pengaruh garam terhadap pertumbuhan tanaman dipengaruhi  oleh:

1. Kadar garam yaitu jumlah garam yang terlarut pada batas ambang toleransi. Peningkatan
kadar garam berpengaruh negatif bagi pertumbuhan tanaman.
2. Macam garam yaitu banyak ragam garam dalam tanah yakni klorida (NaCl,CaCl2,KCl), nitrat
[NaNO3,Ca(NO3)2] sulfat [Na2(SO4), Ca(SO4), K2SO4]. Garam yang mengandung K dan Ca tinggi baik
bagi tanaman.

Pengendapan garam yang sudah larut dalam tanah secara parah menghambat pertumbuhan
tanaman. 

Pengendapan garam tersebut akan mengimbas plasmolisis yaitu suatu proses bergerak keluarnya air
dari taaman ke larutan tanah. Kehadiran ion Na+ dalam jumlah tinggi dapat mempertahankan
partikel-partikel tanah tetap tersuspensi.

Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh tanaman
seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik. Secara khusus, kegaraman yang tingi
menimbulkan keracunan tanaman, terutama oleh ion Na+ dan Cl-. Beberapa tanaman peka terhadap
kegaraman (<4 ds.m-1) seperti apel, jeruk dan kacang-kacangan, tanaman lain nisbi tahan
kegaraman (4-10 ds.m-1) seperti padi, kentang, mentimun, sorgum dan jagung dan tanaman lainnya
lebih tahan kegaraman (>10 ds. m-1) seperti kapas, bayam dan kurma.

Tanaman yang stres garam sering menyerupai tanaman dengan defisiensi P yang mempunyai daun
lebih sempit, lebih gelap, menurunkan nisbah tajuk dan akar, berkurangnya anakan, memperpanjang
dormansi kuncup samping, menunda dan menurunkan pembungaan dan jumlah dan ukuran buah
lebih kecil .

Pengaruh dari NaCl bagi tanaman berdasarkan pengaruh toksitas adalah:

1. Pengaruh osmotik yang timbul dari konsentrasi larutan berlebih


2. Menghambat pembelahan sel, mengurangi pertumbuhan akar

3. Kompetisi antara ion-ion

4. Kerusakan membran

5. Pengaruh simbion

6. Kesalahan fungsi stomata yang disebabkan gas beracun

7. Memutihnya klorofil

Pengaruh NaCl terhadap pertumbuhan morfologis dan ultrastruktur bervariasi pada masing-masing
varetas. Secara visual, umumnya eksplan yang mendapat perlakuan konsentrasi NaCl tinggi,
pembentukan dan pertumbuhan akarnya terhambat, akar menjadi lebih sedikit, kurus dan kecil, akar
menggulung dengan rambut akar yang sedikit dan warna akar cenderung kuning kecoklatan.
Berkurangnya panjang akar pada media salin diduga juga akibat daya racun Cl, ketidaseimbangan
unsur di dalam tanaman serta adanya akumulasi NaCl di sekitar akar dan di dalam akar sehingga
dapat diengerti pada konsentrasi NaCl tinggi, pertumbuhan daun juga kecil, menggulung dan tidak
berkembang sempurna (Lubis,2000)

Mekanisme Toleransi Tumbuhan Terhadap Kadar Garam

Untuk mempertahankan kehidupannya, jenis-jenis tanaman tertentu memiliki mekanisme toleransi


tanaman sebagai respon terhadap salinitas tanah. Jenis-jenis tanaman memiliki toleransi yang
berbeda-beda terhadap salinitas. Beberapa tanaman budidaya misalnya tomat, bit gula, beras
belanda lebih toleran terhadap garam dibandingkan tanaman lainnya. Secara garis besar respon
tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua bentuk adaptasi yaitu dengan mekanisme
morfologi dan mekanisme fisiologi.

1. Mekanisme morfologi

Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat unik dapat ditemukan
pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alam pada kawasan hutan pantai dan
rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air
tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor dan seluruh proses
bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan struktur meliputi ukuran daun
yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan
kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal .

Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor, sedangkan lignifikasi
akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat penting untuk untuk memelihara turgor
yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsi metabolisme yang normal. Dengan
adaptasi struktural ini kondisi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air
pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar pada lingkungan salin umumnya kurang terpengaruh
dibandingkan dengan pertumbuhan daun (pucuk) atau buah.

Hal ini diduga karena akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan
menyerap air. Pertumbuhan tanman yang cepat juga merupakan mekanisme untuk mengencerkan
garam. Dalam hal ini bila garam dikeluarkan oleh akar, maka bahan organik yang tidak mempunyai
efek racun akan tertimbun dalam jaringan, dan ini berguna untuk mempertahankan keseimbangan
osmotik dengan larutan tanah.

2. Mekanisme Fisiologi

Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk sebagai berikut :

a. Osmoregulasi (pengaturan potensial osmose)

Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian dengan menurunkan
potensial osmose tanpa kehilangan turgor. Untuk memperoleh air dari tanah sekitarnya potensial air
dalam cairan xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. Pada beberapa halofita mampu menjaga
potensial osmotik terus menjadi lebih negatif selama musim pertumbuhan sejalan dengan
penyerapan garam. Pada halofita lainnya memiliki kemampuan mengatur penimbunan garam (Na+
dan Cl-) pada kondisi cekaman salinitas, misalnya tanaman bakau yang mampu mengeluarkan 100%
garam.

Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan akumulasi solute organik yang
cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan
untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot molekul rendah yang setara
dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam organik, asam amino dan senyawa
gula disintesis sebagai respon langsung terhahadp menurunnya potensial air eksternal yang redah.
Senyawa organik yang berperan mengatur osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi adalah
asam-asam organik dan senyawa-senyawa gula. Asam malat paling sering menyeimbangkan
pengambilan kation yang berlebihan.

Dalam tanaman halofita, oksalat adalah asam organik yang menyeimbangkan osmotik akibat
kelebihan kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya, akumulasi sukrosa yang
berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon terhadap salinitas.

b. Kompartementasi dan sekresi garam


Tanaman halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena mempunyai kemampuan mengatur
konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui transpor membran dan kompartementasi. Garam
disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam organel-organel atau dieksresi ke luar tanaman.
Pengeluaran garam pada permukaan daun akan membantu mempertahankan konsentrasi garam
yang konstan dalam jaringan tanaman. Ada pula tanaman halofita yang mampu mengeluarkan
garam dari kelenjar garam pada permukaan daun dan menyerap air secara higroskopis dari atmosfir.

Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur yang disebut glandula garam
(salt glands) dari daun dan batang. Pada jenis-jenis mangrove biasanya tanaman menyerap air
dengan kadar salinitas tinggi kemudian mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar
dari pohon. Secara khusus pohon mangrove yang dapat mensekresikan garam memiliki kelenjar
garam di daun yang memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl-. Beberapa contoh
mangrove yang dapat mensekresikan garam adalah Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia,
Acanthus, dan Laguncularia.

Integritas membran

Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan kompartemen-kompartemen
adalah struktur yang paling penting untuk mengatur kadar ion dalam sel. Lapisan terluar membran
sel ataau plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen metaboliknya dari larutan tanah
salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi permeabel ini berfungsi menghalangi difusi
bebas garam ke dalam sel tanaman, dan memberi kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan
aktif atas unsur-unsur hara essensial.

Membran lainnya mengatur transpor ion dan solute lainnya dari sitoplasma dan vakuola atau
organel-organel sel lainnya termasuk mitokondria dan kloroplas. Plasmolemma yang berhadapan
langsung dengan tanah merupakan membran yang pertama kali menderita akibat pengaruh
salinitas. Dengan demikian maka ketahanan relatif membran ini menjadi unsur penting lainnya
dalam toleransi terhadap garam.

Contoh tumbuhan yang mampu beradaptasi terhadap kadar garam yaitu mangrove. Hampir semua
jenis mangrove mengandung kosentrasi garam yang tinggi pada jaringannya. Pada salinitas yang
tinggi, ion-ion Na+ dan Cl- mendominasi komposisi ion jaringan, tetapi K+, Mg2+ dan Ca2+ juga
terdapat dengan kosentrasi yang nyata. Secara umum, kosentrasi ion-ion anorganik yang tinggi
diperlukan oleh halofita di dalam mengatur potensi osmotik antar sel, agar lebih rendah dari
potensial air positif.

Kebutuhan tumbuhan mangrove akan garam NaCl dipergunakan untuk mengatur osmosis, namun
harus mengontrol pengambilan dan distribusi Na+ dan Cl- serta ion lainnya untuk menghindari ion-
ion toksik. Mekanisme penting dalam pengaturan keseimbangan garam pada mangrove meliputi:

1.  Kapasitas akar untuk melawan NaCl yang berbeda


2.  Pemilihan kelenjar-kelenjar khas sekresi garam dari beberapa jenis pada daunnya

3.  Akumulasi garam pada berbagai bagian tumbuhan

4.  Hilangnya garam ketika daun dan bagian tumbuhan lainnya gugur.

Pada tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, garam NaCl ditimbun dalam vakuola sel daun,
sedangkan dalam sitoplasma dan organel kadar garam NaCl tetap rendah, sehinga tidak mengganggu
aktivitas enzim dan metabolisme. Tekanan osmotik di sitoplasma dapat diatur dengan cara
melarutkan glisibetain, prolin dan sorbitol. Agar penyesuaian osmotik dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Potensi zat terlarut di dalam sitoplasma harus sama dengan di dalam vakuola. Namun zat
terlarut tertentu tidak dapat menyebar merata pada kedua kompartemen sel tersebut. Dengan
demikian, tonoplas mempunyai peranan penting dalam mengatur mekanisme transpor zat terlarut.

Share

2 comments:

1.

Unknown21 February 2018 at 08:04

artikelnya sangat membantu namun gk ada sumbernya jadi sayang banget deh
Reply

2.

Unknown29 April 2020 at 03:54

Cuma judul doank wkwkwk


Reply


Home

View web version

Powered by Blogger.
Informasi Tanaman Kehutanan
RESPON TANAMAN TERHADAP SALINITAS TANAH
 hutan2011

9 tahun yang lalu

Oleh : Hamdan Adma Adinugraha

A. Pengaruh Salinitas Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan tergganggunya pertumbuhan,


produktivitas tanaman dan fungsi-fungsi fisiologis tanaman secara normal, terutama pada
jenis-jenis tanaman pertanian. Salinitas tanah menekan proses pertumbuhan tanaman dengan
efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein, serta penambahan
biomass tanaman. Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan
respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi dalam bentuk pertumbuhan tanaman yang
tertekan dan perubahan secara perlahan (Sipayung, 2003). Dalam FAO (2005) dijelaskan
bahwa garam-garaman mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: (a) kera-
cunan yang disebabkan penyerapan unsur penyusun garam yang berlebihan, (b) penurunan
penyerapan air dan (c) penurunan dalam penyerapan unsur-unsur hara yang penting bagi
tanaman.

Pengaruh salinitas tanah tergantung pada tingkatan pertumbuhan tanaman, biasanya pada
tingkatan bibit sangat peka terhadap salinitas. Waskom (2003) menjelaskan bahwa salinitas
tanah dapat menghambat perkecambahan benih, pertumbuhan yang tidak teratur pada
tanaman pertanian seperti kacang-kacangan dan bawang. Viegas et a l,. (2003) dalam Da
Silva et al, (2008) melaporkan bahwa pertumbuhan tunas pada semai Leucaena
leucocephala mengalami penurunan sebesar 60% dengan adanya penambahan salinitas pada
media sekitar 100 mM NaCl. Adanya kadar garam yang tinggi pada tanah juga menyebabkan
penurunan jumlah daun, pertumbuhan tinggi tanaman dan rasio pertumbuhan panjang sel.
Demikian pula dengan proses fotosintesis akan terganggu karena terjadi akumulasi garam
pada jaringan mesophil dan meningkatnya konsentrasi CO2 antar sel (interseluler) yang
dapat mengurangi pembukaan stomata (Robinson, 1999 dalam Da Silva et al, 2008). Pada
tanaman semusim antara lain meningkatnya tanaman mati dan produksi hasil panen rendah
serta banyaknya polong kacang tanah dan gabah yang hampa (Anonim, 2007).
Gambar 2. Pengaruh salinitas tanah terhadap pertumbuhan tanaman sorghum

(foto : http://www.liv.ac.uk/~sd21/stress/salt.htm )

Gambar 3. Pengaruh salinitas pada tanaman padi

(foto : http://www.knowledgebank.irri.org/regionalSites/indonesia)

Proses pengangkutan unsur-unsur hara tanaman dari dalam tanah akan terganggu dengan
naiknya salinitas tanah. Manurut Salisbury and Ross (1995) bahwa masalah potensial lainnya
bagi tanaman pada daerah tersebut adalah dalam memperoleh K+ yang cukup. Masalah ini
terjadi karena ion natrium bersaing dalam pengambilan ion K+. Tingginya penyerapan
Na+ akan menghambat penyerapan K+. Menurut Grattan and Grieve (1999) dalam Yildirim et
al (2006), salinitas yang tinggi akan mengurangi ketersedian K+ dan Ca++dalam larutan tanah
dan menghambat proses transportasi dan mobilitas kedua unsur hara tersebut ke daerah
pertumbuhan tanaman (growth region) sehingga akan mengurangi kualitas pertumbuhan baik
organ vegetatif maupun reproduktif. Salinitas tanah yang tinggi ditunjukkan dengan
kandungan ion Na+ dan Cl– tinggi akan meracuni tanaman dan meningkatkan pH tanah yang
mengakibatkan berkurangnya ketersediaan unsur-unsur hara mikro (FAO, 2005). Demikian
pula dengan hasil penelitian Yousfi et al (2007) bahwa salinitas menyebabkan penurunan
secara drastis terhadap konsentrasi ion Fe di daun maupun akar pada tanaman gandum
(barley). Penurunan tersebut disebabkan karena berkurangnya penyerapan Fe pada kondisi
salinitas tinggi.

B. Mekanisme Toleransi Tanaman

Untuk mempertahankan kehidupannya, jenis-jenis tanaman tertentu memiliki mekanisme


toleransi tanaman sebagai respon terhadap salinitas tanah. Jenis-jenis tanaman memiliki
toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Beberapa tanaman budidaya misalnya tomat,
bit gula, beras belanda lebih toleran terhadap garam dibandingkan tanaman lainnya (Salisbury
and Ross, 1995). Secara garis besar respon tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua
bentuk adaptasi yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi (Sipayung,
2003).

1. Mekanisme morfologi
Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat unik dapat
ditemukan pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alam pada kawasan
huta pantai dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang
memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat
mempertahankan turgor dan seluruh proses bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang
normal. Perubahan struktur meliputi ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil
per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada
permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal (Haryadi dan Yahya,
1988 dalam Sipayung, 2003).

Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor, sedangkan
lignifikasi akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat penting untuk untuk
memelihara turgor yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsi metabolisme
yang normal. Dengan adaptasi struktural ini kondisi air akan berkurang dan mungkin akan
menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar pada lingkungan salin
umumnya kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan daun (pucuk) atau buah.
Hal ini diduga karena akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan
menyerap air. Pertumbuhan tanman yang cepat juga merupakan mekanisme untuk
mengencerkan garam. Dalam hal ini bila garam dikeluarkan oleh akar, maka bahan organik
yang tidak mempunyai efek racun akan tertimbun dalam jaringan, dan ini berguna untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik dengan larutan tanah (Salisbury dan Ross, 1995).

1. Mekanisme Fisiologi

Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk sebagai
berikut :

1. Osmoregulasi (pengaturan potensial osmose)

Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian dengan


menurunkan potensial osmose tanpa kehilangan turgor. Untuk memperoleh air dari tanah
sekitarnya potensial air dalam cairan xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. Pada
beberapa halofita mampu menjaga potensial osmotik terus menjadi lebih negatif selama
musim pertumbuhan sejalan dengan penyerapan garam. Pada halofita lainnya memiliki
kemampuan mengatur penimbunan garam (Na+dan Cl–) pada kondisi cekaman salinitas,
misalnya tanaman bakau yang mampu mengeluarkan 100% garam (Ball,
1988 dalam Salisbury and Ross, 1995).

Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan akumulasi solute organik
yang cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot
molekul rendah yang setara dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-
asam organik, asam amino dan senyawa gula disintesis sebagai respon langsung terhahadp
menurunnya potensial air eksternal yang redah. Senyawa organik yang berperan mengatur
osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi adalah asam-asam organik dan senyawa-
senyawa gula. Asam malat paling sering menyeimbangkan pengambilan kation yang
berlebihan. Dalam tanaman halofita, oksalat adalah asam organik yang menyeimbangkan
osmotik akibat kelebihan kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya,
akumulasi sukrosa yang berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon
terhadap salinitas (Harjadi dan Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003)
2. Kompartementasi dan sekresi garam

Tanaman halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena mempunyai kemampuan
mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui transpor membran dan
kompartementasi. Garam disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam organel-organel
atau dieksresi ke luar tanaman. Pengeluaran garam pada permukaan daun akan membantu
mempertahankan konsentrasi garam yang konstan dalam jaringan tanaman (Salisbury and
Ross, 1995). Ada pula tanaman halofita yang mampu mengeluarkan garam dari kelenjar
garam pada permukaan daun dan menyerap air secara higroskopis dari atmosfir
(Mooney at al, 1980 dalam Salisbury and Ross, 1995).

Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur yang disebut
glandula garam (salt glands) dari daun dan batang. Pada jenis-jenis mangrove biasanya
tanaman menyerap air dengan kadar salinitas tinggi kemudian mengeluarkan atau
mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus pohon mangrove yang
dapat mensekresikan garam memiliki kelenjar garam di daun yang memungkinkan untuk
mensekresi cairan Na+ dan Cl–. Beberapa contoh mangrove yang dapat mensekresikan
garam adalah Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia, Acanthus, dan Laguncularia.

3. Integritas membran

Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan kompartemen-
kompartemen adalah struktur yang paling penting untuk mengatur kadar ion dalam sel.
Lapisan terluar membran sel ataau plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen
metaboliknya dari larutan tanah salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi
permeabel ini berfungsi menghalangi difusi bebas garam ke dalam sel tanaman, dan
memberi kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan aktif atas unsur-unsur hara
essensial. Membran lainnya mengatur transpor ion dan solute lainnya dari sitoplasma dan
vakuola atau organel-organel sel lainnya termasuk mitokondria dan kloroplas.
Plasmolemma yang berhadapan langsung dengan tanah merupakan membran yang pertama
kali menderita akibat pengaruh salinitas. Dengan demikian maka ketahanan relatif
membran ini menjadi unsur penting lainnya dalam toleransi terhadap garam (Harjadi dan
Yahya, 1988 dalam Sipayung, 2003).

Daftar Pustaka

Anonim. 2007. Pertanian di Aceh Pasca


Tsunami. http://www.dpi.nsw.gov.au/data/assets /pdf diakses tanggal 17 Mei 2008

Da Silva, E.C., R.J.M.C. Nogueira, F.P. de Araujo, N.F. de Melo and A.D. de
Ajevedo Neto. 2008. Physiological Respon to Salt Stress in Young Umbu Plants.
Journal Environmental and Experimental Botany.
Elsevier. http:.//www.sciencedirect .com diakses tanggal 6 Mei 2008

Food and Agricultural Organization (FAO) of United Nations. 2005. Panduang


Lapang FAO. 20 hal untuk diketahui tentang dampak air laut pada lahan pertanian
di Propinsi NAD

http://www.liv.ac.uk/~sd21/stress/salt.htm. Effects of Abiotic Stress on Plants.


Diakses tanggal 19 Mei 2008.
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid3. Penerbit ITB.
Bandung.

Sipayung, R. 2003. Stress Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman. http://www.


library.USU.ac.id/download/fp/bdp.rosita2.pdf. diakses pada tanggal 25 Maret
2008.

Yousfi, S., M.S. Wissal, H. Mahmoudi, C. Abdelly and M. Gharsally. 2007. Effect
of Salt on Physiological Responses of Barley to Iron Deficiency. Journal of Plant
Physiology and Biochemistry. Elsevier. http://www.sciencedirect.com diakses
tanggal 13 Maret 2008.

Yildirim, E., A.G. Taylor and T.D. Spittler. 2006. Ameliorative Effects of
Biological Treatments on Growth of Squash Plant Under Salt Stress. Scientia
Horticulturae 111 (2006) 1-6. Elsevier. http://www.sciencedirect.com diakses
tanggal 6 Mei 2008

Share this:
Terkait

 RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN TERHADAP CEKAMAN SALINITAS


TANAH

 18 Januari 2013

 dalam "Artikel"

 SIFAT-SIFAT TANAH DAN PROBLEMATIKA LAHAN TERDEGRADASI


SERTA CARA MENGATASINYA

 18 Januari 2013

 dalam "Artikel"

 BIOLOGI TANAH HUTAN

 30 Juni 2011

 dalam "Artikel"

Kategori: Artikel

Tag: respon, salinitas, tanah, terhadap

Informasi Tanaman Kehutanan


Kembali ke atas

Anda mungkin juga menyukai