DBD (Demam Berdarah Dengue)
DBD (Demam Berdarah Dengue)
ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviardae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan
berat molekul 4x106.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemologi pada hewan
ternak dapat didapatkan antybody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi
dan babi. Penelitian pada atropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi
pada nyamuk genus aedes (stegomyia) dan Toxorhynchites.
EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegyepti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya).
PATOGENESIS
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue.
Respon imum yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah : a).
Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolosis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibody. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE) ; b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T
sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interfon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit
dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selin itu aktivasi komplemen oleh kompleks
imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary hetrologous infection
yang menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkanreaksi anamnestik antibody sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti
lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag
yang me-fagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T helper da T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-6, PAF (platelet
activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi
melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat
berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau
sindrom syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudahtidak demam, akan
tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
tidak adekuat. Demam dapat disertai nyeri kepala (cephalgia), nyeri otot (mialgia),
atau nyeri sendi (atralgia).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran
limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
seorologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa
antibody totaltotal, IgM maupun IgG.
Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (< 45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8
Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
Hemostasis : dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibronogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
Protein / albumin : dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/ SGPT (serum alanin aminotransfer) : dapat meningkat
Ureum, Kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan
transfuse darah atau komponen darah.
Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
o IgM : terdeteksi mulai hari ke 3 – 5, meningkat sampai minggu ke-
3, menghilang setelah 60 – 90 hari.
o IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
DIAGNOSIS
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4 – 6 hari (rentang 3 – 14 hari),
timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang
belakang, dan perasaan lelah.
Merupakan penyakit demam akut selama 2 -7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut :
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia / atralgia
Ruam kulit
Anoreksia (penurunan nafsu makan)
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif)
Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan
pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang
sama
Demam Berdarah dengue (DBD)
Berdasarkan criteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila hal dibawah ini
dipenuhi :
PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan voulume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Minum
banyak (rehidrasi oral) : 1,5 – 2 ltr / 24 jam. Jika asupan cairan oral pasien
tidak mampu dipertahankan (dapat disebabkan karena muntah terus, intake
tidak terjamin, atau Ht ↑ progresif) maka diberikan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna. Untuk menurunkan gejala demam juga dapat digunakan
antipiretik, seperti Paracetamol dan kompres dingin. Jika nilai trombosit
terus mengalami penurunan, dapat dilakukan transfusi darah; trombosit,
plasma, whole fresh blood.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon
hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematoskesia),
perdarahan saluran kencing (hematuri), perdarahan otak atau perdarahan
tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5ml/kgBB/jam. Pada
keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi
pernafasan dan jumlah urin di lakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan
Hb, Ht dan trombosit dan hemostase harus segera dilakukan dengan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya di ulang 4-6 jam.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga di berikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap
(DPL), hemostasis, analisa gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida serta
ureun kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid di guyur sebanyak 10-20 ml.kgBB/jam dan di
evaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (di tandai dengan
tekanan sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi
nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral terba
hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0.5-1ml.kgBB/jam)jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan
tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml.kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-
120 jam kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemebrian cairan infus harus
dihentikan (karena jika di reabsorbsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi, di tandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus di berikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung
dapat terjadi).
PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi
sampai sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari).
Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang
hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang
paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode
pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
2. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada
tempat air kolam, dan bakteri.
3. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan
fenthion).
4. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat
penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-
lain.
DAFTAR PUSTAKA