“SCROFULODERMA”
2013
i
PENGESAHAN
Penyusun 1
NPM : 05700194
Penyusun 2
NPM : 04700294
Disetujui Oleh
dr. Pembimbing,
tanggal : ................
(__________________________)
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkah karuniaNya, Makalah dengan judul
“Scrofuloderma” selesai saya susun. Referat ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan
klinik di SMF Kulit dan Kelamin Mojokerto
Atas segala bantuan dan bimbingan selama mengikuti pendidikan ini saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Moh. Ifnudin, Sp.KK selaku Ketua Bagian/SMF Kulit dan Kelamin RSUD Wahidin
Sudiro Husodo Mojokerto dan sebagai pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. Kedua Orang Tua saya yang telah membimbing dari waktu saya dilahirkan, sampai
sekarang. Dan selalu memberi dorongan semangat serta kekuatan atas semua jalan yang
saya ambil selama hidup.
3. Semua sejawat residen, dan paramedis di RSUD Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto atas
kerja sama yang baik selama ini.
Sebagai manusia biasa saya tak luput dari kesalahan dan khilaf. Saya sadar Referat ini
jauh dari kesempurnaan. Maka dengan rendah hati saya mohon maaf dan saran apabila ada
sesuatu yang tak berkenan di hati dalam penyusunan makalah ini maupun kesalahan
pengetikan yang mengganggu pembaca.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Daftar Isi iv
BAB I PENDAHULUAN
BAB II SCROFULODERMA
2.1 Definisi.....................................................................................................................3
2.2 Epidemologi.............................................................................................................3
2.3 Etiologi.....................................................................................................................3
2.4 Patogenesis...............................................................................................................4
2.5 Gambaran Klinis......................................................................................................4
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................6
2.7 Diagnosa Banding....................................................................................................8
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................................11
2.9 Prognosa.................................................................................................................12
BAB IV KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 19
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Selanjutnya dalam refarat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai skrofuloderma.
Skrofuloderma yang juga dikenal dengan istilah tuberculosis colliquativa cutis
merupakan tuberkulosis reaktif, berasal dari proses tuberculous pada jaringan subkutan
yang membentuk suatu abses dingin (cold abscess) dan kemudian pecah sehingga
mengakibatkan kerusakan struktur kulit di atasnya. Selain manifestasi klinis,
pemeriksaan histopatologi yaitu FNAB dan biopsi eksisional pada limfadenitis TB
memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosis penyakit ini.2
1
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
2
BAB II
SKROFULODERMA
2.1 DEFINISI
Skrofuloderma merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang mengenai subkutan dan merupakan perluasan langsung dari
tuberkulosis pada jaringan dibawah kulit yang kemudian membentuk abses dingin yang
makin lama makin membesar dan pecah pada kulit diatasnya.8
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens tuberkulosis kutis yang tercatat masih rendah. Di negara seperti Cina atau
India di mana prevalen tuberkulosis tercatat masih tinggi, manifestasi tuberkulosis pada
kulit kurang dari 0,1% individu yang berkunjung ke klinik-klinik
dermatologi.Skrofuloderma biasanya mengenai anak-anak dan dewasa muda terutama
pada pria. Sumber lain menyebutkan bahwa dapat terjadi pada semua umur dan
perbedaan banyaknya insidens pada pria dan wanita tidak bermakna. 8,9
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait dengan
faktor lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering ditemukan
pada pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang melakukan autopsi,
peternak, juru masak, anatomis, dan pekerja lain yang mungkin berkontak langsung
dengan M. tuberculosis ini, seperti contohnya pekerja laboraturium. Pada negara-negara
yang belum berkembang, daerah dengan sanitasi yang kurang baik dan gizi kurang,
penyakit lebih mudah meluas dan lebih berat. Penyebaran lebih mudah terjadi pada
musim penghujan.9
2.3 ETIOLOGI
Penyebab utama TBC kutis adalah Mycobacterium tuberculosis yaitu 91,5%
menurut data dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sisanya (8,5%)
disebabkan oleh mikobakteria atipikal. M.Bovis dan M. Avium belum pernah
ditemukan, demikian pula mikobakteria golongan lain. Skrofuloderma disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. 1,2,3,4,5,6,7,8,9
3
tahan asam dan hidupnya intraseluler fakultatif, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan suhu optimal pertumbuhan pada 370C.1,3
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 (lima) macam, yaitu :1
1. Sediaan Mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan
jaringan kelenjar getah bening. Pada
pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen atau
modifikasinya, jika positif kuman akan
tampak berwarna merah pada dasar yang
biru.
2. Kultur
Kultur dilakukan pada media Lowenstein-
Jensen, pengeraman pada suhu 370C. Jika
positif koloni akan tumbuh dalam waktu 8 minggu.
3. Binatang Percobaan
Memakai binatang marmot. Percobaan ini membutuhkan waktu 8 minggu.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, contohnya tes niasin yang dipakai untuk membedakan jenis
human dengan yang lain.
5. Percobaan Resistensi
2.4 PATOGENESIS
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ dibawah
kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari KGB.,juga
dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati KGB Superfisialis, yang tersering ialah pada leher,
kemudian disusul ketiak dan yang terjarang pada lipat paha.1,2,3,5
Port d’entrée skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di
ketiak, kemungkinan port d’entrée pada apex pleura, bila dilipat paha pada ekstremitas
bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada
leher, ketiak dan lipat paha, kemungkinan besar terjadi penyebaran hematogen.1,2
http://www.dermis.net/dermisroot/tr/10554/image.htm11
5
http://www.dermis.net/bilder/CD021/550px/img0098.jpg12
6
Grade I : muncul 4-6 papul di kulit
Grade II : timbul indurasi berbentuk bulat penuh
Grade III : terbentuk plak dengan ukuran 12 mm
Grade IV : bila muncul tanda-tanda grade III ditambah
adanya vesikulasi dan ulserasi.
Grade I dan II dihubungkan dengan adanya riwayat vaksinasi BCG
sebelumnya atau ada infeksi mikobakteria jenis lain. Sedangkan Grade III dan
IV dihubungkan dengan adanya infeksi TB saat ini atau yang telah lampau.2
3. Pemeriksaan Histopatologi
Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN) dapat dijumpai basil tahan asam.
Namun karena pada sediaan biopsi kulit, jumlah basil relatif sedikit kadang sulit
untuk menentukan basil tahan asan meskipun dengan pewarnaan ZN. Kelemahan
lain prosedur ini adalah tindakan yang dilakukan bersifat invasif.2
4. Pemeriksaan Sitologi
5. Kultur Jaringan
Metode PCR yang dikenal adalah Lymph Node PCR (LN-PCR), dimana
spesimen diambil dari sisa spesimen yang masih ada dalam syringe pada saat
dilakukan tindakan FNAC atau dari jaringan hasil biopsi kelenjar getah bening
yang kemudian dihomogenisasikn. 2,5
7. Pemeriksaan Lain
Yang termasuk disini adalah pemeriksaan radiologi (foto thoraks
posteroanterior) dan pemeriksaan bakteriologi dari spesimen sputum pagi hari
sebanyak 3 hari berturut-turut.2
http://history.amedd.army.mil/booksdocs/wwii/communicablediseasesV5/chapter1.htm
http://dermatology.cdlib.org/123/case_presentations/lymphoma/2.jpg
Lesi pada daerah axilla dibedakan dengan Hidradenitis supurativa, yaitu infeksi
bakteri piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut bersifat akut disertai tanda-
tanda radang akut yang jelas, dengan gejala konstitusi dan leukositosis.Hidradenitis
supurativa biasanya menimbulkan sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang
mengakibatkan retraksi ketiak.1,2
9
(1) (2)
(1) http://www.ohiohealth.com/mayo/images/image_popup/ans7_hidradenitis.jpg13
(2)http://www.google.co.id/imglanding?q=hidradenitis
%20supurativa&imgurl=http://208.96.47.3/images/community/dermatlas/Hidradeni
tis_suppurativa_1_071126.14
Lesi di daerah lipat paha kadang mirip seperti limfogranuloma venereum (LGV).
Perbedaan yang paling penting di antara keduanya adalah pada LGV terdapat riwayat
coitus suspectus, gejala konstitusi (demam, malaise dan artralgia) dan kelima tanda
radang akut. Stadium lanjut dari LGV dijumpai bubo yang bertingkat yang berarti
terjadi pembesaran kelenjar getah bening inguinal medial dan fossa iliaka, sedang pada
skrofuloderma kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar getah bening inguinal lateral
dan femoral. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.1,2
http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/08/09/limfogranuloma-venerium-penyakit-menular-seksual/15
10
http://images.picturesdepot.com/photo/b/blastomycosis-12692.jpg16
2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan skrofuloderma adalah sama seperti pengoobatan TB paru
yaitu harus secara teratur, menggunakan kombinasi dengan minimal 3 (tiga) macam obat
anti-TB dan perbaikan keadaan umum. 8
Obat-obat anti-TB yang antara lain:2,5,8
1. Isoniazid
Merupakan anti-TB yang bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosidal.
Dosis : 5- 10 mg/kg BB/ hari, dosis maksimal 400 mg.
Efek samping : demam, erupsi kulit, neuritis perifer, hepatotoksik dan
komplikasi hematologi ( agranulositosis, eosinofilia, anemia dan
trombositopenia).
2. Rifampisin
Merupakan salah satu obat anti-TB yang paling efektif namun cepat
mengalami resistensi.
Dosis : 10 mg/ kg BB, dosis maksimal 600 mg/hari.
Efek samping : ekskresi saliva dan urin akan berwarna jingga sampai
kemerahan, gangguan hepar (hepatotoksik).
3. Pyrazinamid
Dosis : 20-35 mg/kg BB, dosis maksimal 2 gram/ hari
Efek samping : gangguan hepar (hepatotoksik).1
4. Ethambutol
Merupakan anti-TB yang bersifat bakteriostatik dan paling sering dikombinasi
dengan rifampisin dan isoniazid.
Dosis : 15-25 mg/kg BB
Efek samping : gangguan nervus II.
Sebaiknya tidak diberikan pada penderita berusia dibawah 13 tahun.
5. Streptomycin
Merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal.
Dosis : 25 mg / kg BB, intramuskular. Dikombinasi dengan 2 (dua) obat anti-
TB lainnya.
11
Tidak dapat digunakan dalam jangka panjang oleh karena efek sampingnya
yaitu : gangguan vestibular dan gangguan pendengaran, disfingsi nervus
optikus, dermatitis eksfoliatif dan diskrasia darah.
Saat ini telah ditetapkan regimen pengobatan tuberkulosis kutis oleh The
American Thoracic Society dan Center for Disease Control and Prevention. Regimen ini
terdiri dari fase inisial, fase intensif dan fase lanjutan. Pemberian fase inisial dan fase
intensif bertujuan untuk membunuh dengan cepat populasi mikobakteria yang sangat
besar, terdiri dari isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambutol atau streptomycin
(diberikan setiap hari dalam jangka waktu 8 minggu). Pemberian fase lanjutan bertujuan
untuk membunuh sisa-sisa mikobakteria yang mungkin dorman dalam tubuh, dengan
obat rifampisin dan isoniazid baik setiap hari, tiga kali seminggu atau dua kali seminggu
selama 16 minggu. 2
2.9 PROGNOSA
Prognosa skrofuloderma secara umum adalah baik. 9 Lesi skrofuloderma dapat
sembuh secara spontan, namun memakan waktu yang sangat lama, sebelum lesi
inflamasi dan ulserasi secara lengkap dapat digantikan dengan jaringan parut. Lupus
vulgaris dapat muncul pada bekas lesi skrofuloderma. 2
12
BAB IV
SKROFULODERMA
PADA PENDERITA HIV/AIDS
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering muncul pada penderita
AIDS di negara berkembang, dan tuberkulosis kutis relatif jarang. Insidens tuberkulosis ekstra
paru adalah 15%, dan pada penderita AIDS menjadi 20% - 40%. Secara individual pada AIDS
sttaduim lanjut, maka insidens tuberkulosis ekstra paru meningkat menjadi 70%.10
Skrofuloderma merupakan salah satu manifestasi klinis dari infeksi oportunistik yang
disebabkan M. tuberculosis pada penderita HIV/AIDS. Gambaran klinis hampir sama dengan
penderita skrofuloderma non HIV, tetapi karena sistem imun yang terganggu maka episode
penyakit menjadi lebih lama. Pada penderita AIDS terdapat kemungkinan infeksi tuberkulosa
kutis yang disebabkan oleh MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis), yang
merupakan bakteri komensal yang secara luas terdapat di lingkungan. Telah diketahui bahwa
MOTT kurang memberikan respon terapi terhadap antituberkulosis namun dapat sensitif
terhadap agen kemoterapi lainnya, sehingga apabila suatu lesi merupakan tuberkulosa kutis
yang disebabkan oleh MOTT tentunya tidak akan memberikan perbaikan klinis dengan
pemberian antituberkulosis. Nodul eritematous subkutan dan ulkus mulai menunjukan fase
perbaikan dengan terapi OAT, sehingga kemungkinan adanya MOTT sebagai penyebab dapat
disingkirkan. Dan setelah diberikan ARV kondisi penderita semakin membaik secara klinis.10
Pada penderita HIV/AIDS yang diberikan ARV akan memberikan respon berupa
sindroma restorasi imun, yang diukur dengan kadar CD4 dan penurunan level RNA HIV
serum. Dengan progresifitas penyakit HIV, maka respon imun didominasi oleh T helper 2
yang menyebabkan berbagai macam kelainan dermatologi. Dengan pemberian ARV, maka
respon T helper 1 kembali muncul sehingga kelainan kulit menjadi berkurang. Tetapi pada
13
beberapa infeksi seperti infeksi virus varicella, virus herpes simplex, infeksi mycobacterial
akan menjadi lebih buruk. Hal ini seperti respon paradoks sebagai bentuk respon imun yang
mengenali adanya infeksi laten/silent infection. Karena itu pemberian OAT didahulukan
sebelum pemberian ARV, untuk menghindari respon imun paradoks yang dapat memperburuk
infeksi oportunistik. 10
14
BAB V
KESIMPULAN
16
LAMPIRAN
Scrofuloderma —
discharging sinuses in the left axilla
http://www.ijdvl.com/viewimage.asp?
img=ijdvl_2008_74_6_700_45143_f1.jpg1
7
http://md4arab.com/album
/data/media/32/Scrofulode
rma.jpg18
http://www.scielo.br/img/revistas/abd/v82n4/a07fig01.gif 19
17
http://www.ispub.com/ispub/ijs/volum
e_14_number_1/isolated_primary_tub
erculosis_of_inguinal_lymph_nodes_an
_acute_presentation/inguinal-fig1.jpg20
http://www.dermnetnz.org/bacterial/img/s
crofuloderma2-s.jpg21
Long-lasting Scrofuloderma
of Hands and Foot
http://adv.medicaljournals.se/
files/pdf/87/1/2546.pdf22
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Editor:
Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Edisi V. cetakan V. Jakarta : Fakultas
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol. . Surabaya : Airlangga University Press, 2007.
Hal 56-60.
5. James WD, Berger TG, Elston DM. Mycobacterial Disease. In : Andrews’ Diseases of
The Skin Clinical Dermatology. 10th Edition. USA : Elsevier Inc., 2006. Chapter 16.
7. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolf K, Suurmond D. Color Atlas and Synopsis of
8. Barakbah J, Pohan SS, Sukonto H, dkk. Skrofuloderma. Dalam : Atlas Penyakit Kulit
dan Kelamin. Cetakan V. Surabaya : Airlangga University Press, 2007. Hal 23-24.
9. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC, 2003. Hal 148-
149.
10. Kurniati, Murtiastutik Dwi, Lumintang Hans. Skrofuloderma Pada Penderita AIDS.
11. http://www.dermis.net/dermisroot/tr/10554/image.htm
12. http://www.dermis.net/bilder/CD021/550px/img0098.jpg
19
13. http://www.ohiohealth.com/mayo/images/image_popup/ans7_hidradenitis.jpg
14. http://www.google.co.id/imglanding?q=hidradenitis
%20supurativa&imgurl=http://208.96.47.3/images/community/dermatlas/Hidradenitis
_suppurativa_1_071126.
15. http://childrenhivaids.wordpress.com/2009/08/09/limfogranuloma-venerium-penyakit-
menular-seksual/
16. http://images.picturesdepot.com/photo/b/blastomycosis-12692.jpg
17. http://www.ijdvl.com/viewimage.asp?img=ijdvl_2008_74_6_700_45143_f1.jpg
18. http://md4arab.com/album/data/media/32/Scrofuloderma.jpg
19. http://www.scielo.br/img/revistas/abd/v82n4/a07fig01.gif
20. http://www.ispub.com/ispub/ijs/volume_14_number_1/isolated_primary_tuberculosis_
of_inguinal_lymph_nodes_an_acute_presentation/inguinal-fig1.jpg
21. http://www.dermnetnz.org/bacterial/img/scrofuloderma2-s.jpg
22. http://adv.medicaljournals.se/files/pdf/87/1/2546.pdf
20