Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

• Latar Belakang
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraselular obligat yang tersebar di
seluruh dunia. Bereplikasi pada hampir seluruh sel berinti dalam tubuh pejamu.
Hospes definitif adalah kucing dan golongan feline lainnya. Manusia, hewan
mamalia, dan burung berperan sebagai hospes perantara. Manusia umumnya
mendapat infeksi akibat tertelan ookista dari tinja hospes definitif atau kista
bradizoit dari daging mentah atau kurang matang, serta bayi yang ibunya
mendapat infeksi T. gondii saat hamil.1,2
Infeksi yang diakibatkannya disebut toksoplasmosis, dan diperkirakan sekitar
sepertiga populasi dunia terinfeksi T. gondii. Prevalensi dari tiap negara di dunia
berbeda, mulai dari 10% sampai 80%.1 Prevalensi seropositif toksoplasmosis pada
individu imunokompeten di Asia Tenggara berkisar antara 2-75%, 3 sedangkan di
Jakarta berkisar 70%.4
Pada pejamu imunokompeten, umumnya asimptomatik. Sering kali,
seseorang diketahui telah terinfeksi T. gondii hanya dari pemeriksaan serologi
darah dan bukan akibat gejala klinis yang ditimbulkannya. Kadar IgM akan
meningkat pada awal infeksi, dan akan menurun setelah 1-6 bulan kemudian.
Kadar IgG biasanya akan terdeteksi setelah 1-3 minggu dari awal peningkatan
kadar IgM, kemudian akan menetap selama 2 hingga 3 bulan, selanjutnya
menurun namun tidak pernah negatif, dan menetap seumur hidup.1
Toksoplasmosis akan menjadi masalah bahkan dapat mengancam jiwa bila
infeksi terjadi pada orang imunokompromi, misalnya pada orang yang mendapat
terapi imunosupresi atau penderita AIDS.1,5 Ensefalitis toksoplasma (ET) adalah
inflamasi di sistem saraf pusat (SSP) yang terjadi akibat reaktivasi infeksi laten T.
gondii, dan merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien AIDS, terutama
pada stadium akhir.3,6,7,8,9,10 Pada SSP, akan dijumpai gambaran ensefalitis nekrotik
multifokal yang akan berkembang menjadi abses parenkim dengan nekrosis yang
dikelilingi sel-sel inflamasi. Infeksi ini cukup berbahaya dan mengancam jiwa
seiring dengan menurunnya sistem imun yang semakin berat.6

1
Universitas Indonesia
2

Diperkirakan sekitar 10-50% pasien AIDS yang menderita toksoplasmosis akan


berlanjut menjadi ET.7 Hal itu bergantung dari jumlah kasus toksoplasmosis di
daerah tersebut.10 Mengingat angka seropositif T. gondii yang cukup banyak di
Indonesia, khususnya di Jakarta, maka kemungkinan penderita AIDS yang akan
mengalami ET akan semakin tinggi. Di RSCM, Jakarta, kasus ET mencapai 35%
dari seluruh kasus sehubungan infeksi SSP pada penderita AIDS.11
Untuk menegakkan diagnosis pasti penyebab kelainan SSP pada pasien
AIDS sangatlah sulit, karena banyaknya kemungkinan penyebab infeksi lain
seperti bakteri, virus, dan jamur. Berdasarkan studi di Thailand, infeksi SSP yang
paling sering pada penderita AIDS adalah meningitis kriptokokus, meningitis
tuberkulosis, dan ET.12
Diagnosis pasti ET adalah dengan menemukan T. gondii di jaringan otak
melalui biopsi. Akan tetapi, biopsi otak bukanlah suatu prosedur rutin karena
bersifat invasif dan cukup berisiko. Akibatnya, diagnosis ET ditegakkan hanya
berdasarkan asumsi dari gejala klinis, gambaran radiologi, dan respons terhadap
terapi yang diberikan. Pemeriksaan radiologi seperti computerized tomography
(CT-scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat mendeteksi lesi di otak
yang mungkin merupakan ET.13 Selain biaya pemeriksaannya cukup mahal,
pemeriksaan radiologi jenis ini juga menampilkan hasil yang hampir mirip dengan
jenis kelainan pada otak lainnya, sehingga menyulitkan penegakan diagnosis.
Pengambilan cairan serebro spinal (CSS) dengan teknik punksi lumbal
umumnya dilakukan untuk mengambil sampel cairan otak. Hal itu bertujuan
sebagai bahan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis. Pada pasien AIDS
dengan defisit neurologis, punksi lumbal dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya infeksi, misalnya meningitis tuberkulosis atau
kriptokokosis. Akan tetapi, punksi lumbal pada ET jarang dilakukan karena
berdasarkan asumsi bahwa infeksi terjadi pada otak dan tidak berhubungan
dengan cairan otak, serta kekhawatiran akan terjadi proses desak-ruang akibat
tindakan tersebut.14 Berdasarkan studi di RS Hasan Sadikin, Bandung, yang
memeriksa CSS pasien-pasien yang diduga menderita meningitis dengan teknik
PCR, ternyata 32,8% pasien AIDS positif T. gondii.15

Universitas Indonesia
Pemeriksaan serologi IgM anti-Toxoplasma dilakukan untuk menegakkan
infeksi T. gondii pada mereka yang imunokompeten, sedangkan pada penderita
HIV & AIDS tidak begitu bermakna, 16 karena umumnya infeksi terjadi akibat
reaktivasi infeksi laten, sehingga yang diperiksa adalah kadar IgG. 17 Tetapi, ada
studi yang mengatakan pemeriksaan IgG anti-Toxoplasma pada AIDS tidak
terlalu bermakna18,19 Walaupun begitu, studi lain menyatakan sebaliknya.
Menurut Colombo, dkk, kadar IgG anti-Toxoplasma yang tinggi mengindikasikan
terjadinya ET atau pasien tersebut berisiko mengalami infeksi tersebut.20
Pemeriksaan kadar IgG anti-Toxoplasma pada cairan organ yang terinfeksi
T. gondii jarang dilakukan. Selama ini studi-studi lebih banyak yang memeriksa
kadar IgG anti-Toxoplasma pada serum. Pemeriksaan cairan aquous pada mata
untuk menilai kadar IgG anti-Toxoplasma telah dilakukan untuk menegakkan
diagnosis toksoplasmosis mata atipikal.19 Apakah IgG anti-Toxoplasma pada ET
juga dilepaskan ke CSS sehingga bisa dideteksi, dan bila bisa dideteksi apakah
peningkatan kadarnya bisa dijadikan sebagai alat diagnostik ET? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian ini.
Oleh karena masih jarangnya penelitian yang menggunakan CSS untuk
penegakan diagnosis ET dan untuk mengetahui apakah kadar IgG anti-
Toxoplasma pada CSS bermakna dalam menegakkan diagnosis ET, maka
penelitian mengenai hal tersebut dilakukan pada pasien HIV & AIDS dengan
dugaan meningitis.

• Masalah :
• Bagaimana kadar IgG anti-Toxoplasma pada CSS pasien HIV & AIDS
dengan gejala meningitis?

1.3. Tujuan Umum : analisis pemeriksaan IgG anti-Toxoplasma pada CSS untuk
mendeteksi ET pada pasien HIV & AIDS dengan gejala meningitis atau gangguan
neurologis.
• Tujuan Khusus :
• Mengetahui profil IgG anti-Toxoplasma pada CSS yang berasal dari
pasien terinfeksi HIV & AIDS dengan defisit neurologis.
• Mengetahui status imun pasien-pasien terinfeksi HIV & AIDS dengan
defisit neurologis.
• Mengetahui hubungan pemeriksaan radiologi dan diagnosis klinis terhadap

IgG
IgG anti-
Toxopla
sma.
Menget
ahui
hubung
an BAB 2
riwayat TINJAUAN PUSTAKA
pemberi
an
terapi
toksopla 4.1 Biologi Toxoplasma gondii
smosis Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh dua
dan
kelompok peneliti yaitu Charles J.H. Nicolle dari Institut Pasteur di Tunisia, dan
anti-
Toxopla Alfonso Splendore di Brazil. Keduanya menemukan T. gondii dari tubuh hewan,
sma. masing-masing dari tikus dan kelinci. Toxoplasma berasal dari bahasa Yunani,
toxos yang berarti mangkuk atau lekukan, dan plasma yang berarti hidup,
sedangkan gondii sepertinya akibat salah penyebutan nama ilmiah hewan
ditemukannya Toxoplasma, yaitu gundi (sejenis tikus tanah).8
Toxoplasma gondii termasuk protozoa, filum Apicomplexa, klas
Sporozoasida, famili Eimeriidae, dan genus Toxoplasma. Kasus toksoplasmosis
kongenital untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1923, dan pada orang
dewasa ditemukan pada tahun 1940. Siklus hidup lengkapnya diketahui pada
tahun 1969 dengan kucing atau golongan feline lainnya sebagai hospes definitif,
sedangkan manusia serta hewan lainnya (burung, tikus, hewan liar, hewan ternak,
dan mamalia laut) berperan sebagai hospes perantara. 8,21 Karena banyak hewan
yang bisa berperan sebagai hospes perantara, hal itu menjadi penting baik pada
manusia maupun hewan, sebab merupakan sumber penularan.
Dalam siklus hidupnya ada tiga stadium infeksius T. gondii, yaitu ookista
(yang terdapat pada tinja kucing), takizoit (bentuk aktif dan membelah cepat), dan
bradizoit (bentuk inaktif dan dorman pada tubuh hospes perantara). Ookista
berbentuk oval, berukuran 9 x 13 µm, terdiri dari dua sporokista dengan masing-
masing mengandung empat sporozoit. Takizoit berukuran 5 x 2 µm berbentuk
seperti bulan sabit, dan bradizoit mirip seperti takizoit tetapi tidak begitu lonjong
dan lebih pendek dibanding takizoit. Bradizoit membentuk kista jaringan, dalam
satu kista ditemukan dua bahkan sampai ribuan bradizoit. Ukuran kista berkisar
antara 10-100 µm.1,8,22,23
Toxoplasma gondii terdiri dari strain tipe I, II, dan III yang berbeda tingkat
virulensi dan epidemiologinya. Strain yang paling sering dijumpai pada pasien
terinfeksi HIV dan AIDS adalah tipe II, sedangkan tipe III lebih sering ditemukan

5 Universitas Indonesia
6

pada hewan. Pada penderita penyakit kongenital, yang paling sering dijumpai
adalah tipe I dan II.17

4.2 Siklus Hidup Toxoplasma gondii


Apabila ookista matang tertelan oleh hospes, maka sporozoit akan keluar
dari ookista akibat terpajan dengan enzim di lambung. Begitu juga apabila infeksi
terjadi akibat memakan daging mentah yang mengandung kista jaringan, kista
akan dipecah oleh enzim proteolitik pada lambung dan usus halus dan bradizoit
keluar. Kemudian bradizoit akan menginvasi enterosit dan dimulailah
perkembangan secara aseksual. Terjadi pembelahan multipel sehingga
menghasilkan takizoit yang sangat banyak. Hal itu akan berakibat ruptur sel dan
takizoit akan menginvasi sel lainnya.1,3,22,23

Memakan daging mentah yang


mengandung kista jaringan Toxoplasma

Hospes Perantara Hospes Perantara


Takizoit  reproduksi aseksual  kista Takizoit  reproduksi aseksual 
jaringan bradizoit di berbagai organ kista jaringan bradizoit di
berbagai

Gambar 2.1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii

Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


Bila terjadi pada tubuh hospes perantara, takizoit akan memendek dan
berubah menjadi bentuk dorman, yaitu bradizoit. Bradizoit akan berada dalam
jaringan tubuh hospes perantara sepanjang hidupnya. Inilah yang menimbulkan
infeksi kronik T. gondii. Apabila terjadi pada tubuh hospes definitif, takizoit akan
menjalani siklus seksual pada sel epitel usus dengan pembentukan
makrogametosit dan mikrogametosit. Kemudian akan dihasilkan ookista yang
akan dikeluarkan melalui tinja dan matang dalam waktu dua sampai lima hari. 8
Bentuk ookista kurang infeksius dan patogen pada hospes definitif dibandingkan
pada hospes perantara.3
Manusia terinfeksi T. gondii melalui beberapa cara yaitu melalui makanan
atau air yang terkontaminasi ookista matang, memakan daging mentah atau
kurang matang yang mengandung bradizoit, melalui plasenta dari ibu ke bayinya,
dan penerima transplantasi organ yang mengandung kista T. gondii. 1,22,23
Perubahan takizoit menjadi bradizoit tidaklah sepenuhnya dapat
dimengerti. Awalnya diduga hanya sistem imun yang berperan penting dalam
proses perubahan ini, ternyata juga terdapat faktor lain seperti perubahan pH
menjadi lebih basa, suhu, dan reaksi kimia lain yang terjadi dalam tubuh
pejamu.24
Kista jaringan memiliki afinitas yang tinggi terhadap jaringan saraf dan
otot, terutama pada SSP, mata, otot rangka, dan jantung. Meskipun kista dapat
bertahan dalam jangka waktu lama, pada waktu tertentu kista akan pecah dan
mengeluarkan bradizoit. Oleh sistem imun, reaktivasi ini dapat dihambat.
Reaktivasi infeksi laten sering dihubungkan dengan keadaan imunokompromi,
sehingga sistem imun berperan dalam mempertahankan infeksi laten ini.3,23

4.3 Mekanisme Invasi Sel


Toxoplasma gondii memiliki kemampuan untuk menginvasi sel tubuh
pejamu. Proses ini merupakan proses aktif; parasit aktif bergerak dan
menghasilkan sejumlah protein dan organela saat memasuki sel. Organela tersebut
adalah mikronem, rhoptry, dan dense granular.
Pada awalnya, parasit melakukan perlekatan pada membran sel pejamu.
Proses tersebut terjadi karena mikronem mensekresikan zat calcium-dependent
sehingga parasit dapat mengenal reseptor pada sel dan mengadakan perlekatan.
Kemudian parasit akan melakukan gerakan linear (gliding), yang terjadi akibat
interaksi aktin-myosin sel dan sitoskleton parasit. Proses memasuki sel
berlangsung sangat cepat, berkisar 15 hingga 30 detik. Selanjutnya, parasit akan
membentuk suatu sambungan antara bagian apical-nya dengan membran sel
pejamu, yang akan menyebabkan parasit mampu memasuki sel dan membentuk
vakuola parasitoforus (VP). Pada saat pembentukan vakuola, rhoptry (ROP)
memiliki peranan besar. ROP16, salah satu rhoptry, mampu memanipulasi
ekspresi gen dalam sel, sehingga mempengaruhi sekresi interleukin terhadap sel
terinfeksi. Selanjutnya dense granular berperan dalam memodifikasi karakteristik
biokimia membran vakuola parasitoforus (MVP) sehingga mencegah proses fusi
oleh lisosom atau vesikel sitoplasmik lainnya. Selain itu, dense granular juga
berperan dalam pembentukan tubuli membran yang membawa nutrien dari sitosol
sel pejamu masuk ke dalam parasit. Proses pembentukan energinya juga dibantu
oleh mitokondria sel, sehubungan dekatnya MVP dengan mitokondria sel
pejamu.
Di dalam MVP, proses pembelahan takizoit (endodyogeny) berlangsung
selama 6 sampai 9 siklus, dimana dari satu sel induk dihasilkan dua sel anak.
Takizoit akan pecah keluar bila jumlahnya telah memenuhi VP, biasanya
berjumlah 64-128 takizoit.1,2
Excretory/secretory antigens (ESAs) T. gondii merupakan antigen yang
paling sering ditemukan pada serum penderita dengan toksoplasmosis akut.
Antigen ini dibentuk oleh takizoit, sporozoit, dan stadium bradizoit yang telah
enkistasi. Sekresi antigen kista bradizoit menyebabkan imunitas yang berlangsung
terus-menerus terhadap T. gondii, walaupan pada kadar yang tidak terlalu tinggi
bahkan cenderung menetap. ESAs yang dikeluarkan takizoit bersifat sangat
imunogenik, sehingga pada infeksi awal atau reaktivasi infeksi laten ditemukan
peningkatan kadar antibodi yang cukup tinggi.3

4.1. Mekanisme Sistem Imun terhadap Toxoplasma gondii


Ruptur kista bradizoit secara periodik diperkirakan sebagai penyebab tetap
bertahannya sistem imun terhadap parasit ini. Pada mereka dengan penurunan
sistem imun, misalnya AIDS, maka bradizoit akan keluar dari kista dan berubah
menjadi takizoit dan kembali menginvasi sel-sel tubuh lainnya. 25 Akibat
ketidakmampuan sistem imun menghambat proliferasi, maka akan menyebabkan
kerusakan otak berat. Mekanisme sistem imun yang terjadi pada infeksi T. gondii
akan diuraikan sebagai berikut.

4.1.1 Respons Imun Alami atau Non Spesifik


Respons imun non-spesifik akan segera terjadi begitu parasit memasuki
tubuh pejamu. Akan terjadi aktivasi makrofag dan sel natural killer (NK) yang
akan menghambat proliferasi parasit. Hal itu terjadi akibat efek sitotoksik, baik
langsung atau tidak langsung oleh respons imun spesifik terhadap antigen
Toxoplasma. Respons imun akan mencapai puncaknya pada minggu pertama
infeksi dan kemudian perlahan turun dan menghilang hingga dua minggu pasca
infeksi.
Penghambatan replikasi Toxoplasma merupakan hasil berbagai mekanisme
imun, seperti mekanisme oksidatif, non oksidatif, dan mekanisme non-oxygen-
dependent. Mekanisme non oksidatif terutama melalui produksi nitrogen
monoksida (NO) oleh makrofag akibat aktivasi IFN-γ.25 NO juga berperan
penting selama fase kronik sehubungan dengan kemampuannya menghambat
proliferasi parasit intraserebral. Mekanisme non-oxygen-dependent juga bersifat
toxoplasmicidal, yaitu dengan mendegradasi tryptophan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan parasit oleh indoleamine 2,3-dioxygenase dari IFN-γ. Akan tetapi
mekanisme terakhir ini masih diperdebatkan.26
Selama fase awal infeksi, respons imun terjadi akibat aksi gabungan dan
sinergi antara sel NK, makrofag, yang diaktivasi oleh IFN-γ. Sel-sel lain juga
terlibat dalam mekanisme imun ini seperti sel hematopetik (netrofil, eosinofil, sel
mast) dan non hematopetik (fibroblas, sel epitelial, sel endotel), walaupun
perannya kecil.25
4.1.2 Respons Imun Spesifik
• Imunitas Selular
Aktivitas respons imun non spesifik akan menyebabkan diferensiasiasi
makrofag menjadi antigen presenting cells (APC). Sel efektor distimulasi oleh sel
dendritik dalam mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Infeksi Toxoplasma
pada sel dendritik akan menyebabkan aktivasi CD40, yang berperan pada
interaksi APC dan sel limfosit T.
CD4+ dan CD8+ berperan penting dalam membangun sistem imunitas
terhadap Toxoplasma. CD4+ terdiri atas dua sub populasi yaitu Th1 dan Th2, dan
infeksi parasit akan berhubungan dengan aktivasi Th1 yang akan menghasilkan
IL-2 dan IFN-γ. CD4+ terutama dibutuhkan untuk sistem pertahanan pada fase
awal, sehubungan dengan produksi IFN-γ dan IL-2. CD8+, yang diaktivasi oleh
IL-2 yang dihasilkan CD4+, akan menghasilkan zat sitotoksik terhadap takizoit
atau sel yang terinfeksi T. gondii.
IFN-γ menjadi salah satu perangkat imun yang memicu perubahan takizoit
menjadi bradizoit, dan pada saat yang sama juga mencegah ruptur kista bradizoit.
Kadar IFN-γ yang tinggi berhubungan erat dengan infeksi strain tipe-1 dan
meningkatkan proses apoptosis sel. Bersama dengan sitokin lain seperti IL-12, IL-
6, TNF-α, dan mediator pro-inflamasi lainnya, IFN-γ berperan penting dalam
membentuk sistem pertahanan terhadap infeksi T. gondii. Akan tetapi proses
proteksi ini diimbangi oleh sitokin regulasi seperti IL-10, IL-4 yang dihasilkan
oleh Th2 dari CD4, sehingga tidak terjadi perusakan sel yang berlebihan.25-28

• Imunitas Humoral
Antibodi spesifik akan menghambat perlekatan parasit pada reseptor sel
pejamu dan mempengaruhi pembentukan kista jaringan. Respon imun humoral
dapat dideteksi di cairan tubuh dan jaringan terinfeksi. Pada infeksi intraokular,
ditemukan kadar antibodi yang lebih tinggi pada cairan vitreous dibandingkan
dengan kadarnya di serum. Hal itu membuktikan sedang terjadi proses aktif
infeksi, apakah itu fase akut atau reaktivasi.27
Dalam dua minggu setelah infeksi, akan dijumpai peningkatan kadar IgG,
IgM, IgA, dan IgE terhadap T. gondii. Antibodi yang pertama muncul pada awal
infeksi adalah IgM. Akan tetapi kadarnya hanya akan meningkat dalam satu
minggu pertama hingga 28 hari pasca infeksi primer, kemudian menetap dan
menurun setelah delapan bulan infeksi, bahkan menghilang pada 25% pasien.
Pembentukan IgM akan dihambat bila IgG telah terbentuk. IgM merupakan
aktivator terbaik bagi sistem komplemen. IgM juga memiliki struktur yang mudah
mengalami agglutinasi sehingga berguna dalam diagnosis serologi. Antigen utama
yang menjadi target antibodi ini adalah protein permukaan parasit.1,17,25,27 Adanya
IgM anti-Toxoplasma pada bayi baru lahir, menandakan bayi tersebut
kemungkinan besar menderita toksoplasmosis kongenital. Tetapi, bila ditemukan
IgG anti-Toxoplasma, kemungkinan bisa berasal dari ibu atau bayi itu sendiri,
sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan toksoplasmosis
kongenital.17
IgG adalah antibodi kedua yang muncul berikutnya. Kadarnya bisa
dideteksi di serum setelah dua minggu pasca infeksi primer, dan akan semakin
meningkat hingga 6-14 bulan hingga kemudian menurun perlahan, tetapi akan
tetap positif seumur hidup. Antibodi ini berperan dalam proses antibody-
dependent cytotoxicity (ADCC) atau opsonisasi bersama dengan monosit
makrofag dan sel polinuklear, atau melakukan sitolisis yang dimediasi oleh
komplemen atau sel NK. IgG juga berperan penting dalam proteksi janin karena
kemampuannya menembus plasenta. Antigen permukaan parasit juga menjadi
target utama antibodi ini.25,27 Pemeriksaan antibodi IgG anti-Toxoplasma penting
pada pasien imunokompromi, karena peningkatan kadar IgG menunjukkan
reaktivasi infeksi laten, sedangkan pemeriksaan kadar IgM tidak terlalu penting
pada pasien imunokompromi karena umumnya tidak terjadi peningkatan kadar
antibodi baik itu pada infeksi aktif atau laten.17
IgM
Gambar 2.2. Morfologi IgM dan IgG (dimodifikasi dari www.biologyexam4u.com)29

IgA dapat ditemukan pada mukosa saluran cerna dan serum. IgA pada
permukaan mukosa kemungkinan besar berperan untuk melindungi pejamu dari
reinfeksi T. gondii. Antibodi ini tidak dapat melalui plasenta, sehingga
peningkatan kadarnya bila IgM tidak dapat diperiksa menandakan adanya infeksi
kongenital. Tidak banyak studi yang meneliti peran IgE pada toksoplasmosis.
Analisis mengenai IgE umumnya disertai dengan analisis terhadap IgM dan IgA.
Secara umum, antibodi merupakan pertahanan lini pertama terhadap
infeksi. Bekerja dengan cara mengeliminasi takizoit ekstrasel, diikuti lisis sel yang
terinfeksi. Antibodi membatasi multiplikasi dengan cara melisis parasit yang
dimediasi oleh komplemen. Selain itu juga aktif dalam proses opsonisasi atau
fagositosis oleh makrofag.17,25
.
.2.5 Mekanisme Sistem Imun terhadap Toxoplasma gondii di SSP
Toxoplasma gondii memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan sistem
imun tubuh pejamu sehingga mampu memanipulasi sistem imun. Aktivitas sel
Th1 terpicu selama masa infeksi akut. Proses masuknya T. gondii ke dalam SSP,
masih belum begitu jelas. Dari studi pada tikus percobaan, tampak bahwa sel
leukosit yang terinfeksi T. gondii masuk ke dalam SSP menembus sawar darah
otak.30 Bila terjadi reaktivasi infeksi laten di otak pada pasien AIDS, maka akan
terjadi Ensefalitis toksoplama.
Sel dendritik, yang dapat memproduksi IL-12, merupakan aktivator utama
respons imun sel Th1 pada infeksi T. gondii. Aktivasi makrofag akan
menghambat dan membunuh parasit intraselular. Akan tetapi pada infeksi T.
gondii, APC dijadikan sebagaimana halnya “Kuda Trojan” untuk memanipulasi
sistem imun pejamu. Hal inilah yang memudahkan parasit dapat mencapai SSP
dan organ visera lainnya.3,17,30
Pada infeksi akut, takizoit akan menginfeksi astrosit, neuron, dan sel
mikroglial di SSP. Saat parasit memasuki SSP, diikuti pula dengan masuknya sel
CD4+ dan CD8+ dengan mekanisme yang belum dapat dipahami. Hal inilah yang
akan mengontrol infeksi T. gondii di SSP. Dikatakan juga, astrosit dan mikroglial
mampu menghambat replikasi parasit saat terjadi reaktivasi. Itulah sebabnya
mengapa neuron merupakan sel yang paling dominan pada infeksi parasit ini.
Selama masa infeksi akut di SSP, pejamu harus berusaha mengontrol
keseimbangan antara proliferasi parasit dan meminimalisir efek akibat induksi
sistem imun. Dalam hal ini interleukin-10 (IL-10) diperlukan untuk mencegah
imunopatologi pada infeksi primer, tetapi tidak pada saat infeksi sekunder atau
respons memori. Astrosit dan mikroglial menghasilkan suatu penghambat matrix
metalloproteinase (MMP) yang disebut sebagai TIMP-1. Dengan masuknya sel T
pada SSP, akan menyebabkan peningkatan ekspresi MMP-8 dan MMP-10, yang
berperan untuk remodeling jaringan, migrasi sel, dan inflamasi. Bila TIMP-1
tidak ada, maka jumlah parasit dapat dikurangi hingga empat kali, akan tetapi
dapat terjadi perusakan jaringan yang tidak terkontrol pada SSP.24

2.6 Infeksi HIV & AIDS, serta Ensefalitis Toksoplasma


HIV merupakan virus yang termasuk famili retrovirus, suatu virus RNA
dengan berat molekul 9,7 kDa. Agar dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor
spesifik pada sel pejamu. Dalam hal ini CD4+ yang memiliki afinitas sangat besar
terhadap glikoprotein (gp) 120, suatu molekul reseptor pada selubung virus. Oleh
karena itu infeksi HIV menyerang CD4+ yang merupakan bagian sistem imun
selular pada manusia.31
Berdasarkan gejala klinis infeksi HIV, maka WHO membaginya menjadi
beberapa stadium, yaitu :
1. Infeksi HIV primer
Asimptomatik, dan bila ada gejala, memberikan gambaran sindroma akut
retroviral. Gejala yang timbul seperti demam 2-4 minggu, limfadenopati,
faringitis, bercak makulopapular, ulkus orogenital, dan meningoensefalitis.
Akan tetapi, gejala ini masih sulit dibedakan dari gejala stadium lanjut.
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, atau
pemeriksaan virus HIV bila kadar antibodi masih negatif.
2. Stadium klinis 1
Asimptomatik, dan dijumpai limfadenopati generalisata persisten.
3. Stadium klinis 2
Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas (<10% berat badan awal),
infeksi pernafasan berulang, herpes zoster, angular cheilitis, infeksi oral
berulang, erupsi pruritik papular, dermatitis seboroik, infeksi jamur kuku atau
jari.
4. Stadium klinis 3
Sangkaan diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala klinis atau
pemeriksaan sederhana.
penurunan berat badan berat (>10% berat badan awal), diare kronik lebih
dari 1 bulan, demam yang persisten lebih dari satu bulan, kandidiasis oral,
oral hairy leucoplakia, tuberkulosis paru, infeksi bakteri berat, acute
necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis.
Kondisi yang memerlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium.
anemia tidak jelas (<8 g/dl) dan atau neutropenia (<500/mm 3) dan atau
trombositopenia (<50.000/mm3) selama satu bulan atau lebih.
5. Stadium klinis 4
Pada stadium 4 diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala klinis atau
pemeriksaan sederhana.
HIV wasting syndrome, pneumocystis pneumonia, pneumonia bakteri
berulang yang berat, infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital,
anorektal >1 bulan), kandidiasis esofagus, tuberkulosis ekstrapulmonal,
sarkoma Kaposi, ensefalitis toksoplasma, HIV ensefalopati.
Kondisi yang memerlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium.
kriptokokosis ekstrapulmonal termasuk meningitis, infeksi mycobacteria
diseminata non-tuberkulosis, progressive multifocal leucoencephalopathy
(PML), kandidiasis trakea, bronkus, atau paru, kriptosporidiasis,
isosporiasis, infeksi viseral herpes simpleks, infeksi cytomegalovirus
(CMV), mikosis diseminata (misal histoplasmosis, cocccidiomycosis,
penicillosis), septikaemia non-tipoid salmonella berulang, karsinoma
serviks invasif, leishmaniasis viseral.32

Pembagian stadium klinis tersebut biasanya dihubungkan dengan pemeriksaan


kadar CD4+ penderita. Berdasarkan kadar CD4+ saja, maka pembagian stadium
HIV ditunjukkan pada Tabel berikut ini.

Imunodefisiensi sehubungan infeksi Kadar CD4+ absolut (per mm3) atau


HIV % CD4+
Tidak ada imunosupresi atau >500
imunosupresi tidak signifikan
Ringan (mild) 350-499
Lanjut (advanced) 200-349
Berat (severe) <200 atau <15%
Tabel 2.1. Stadium HIV Berdasarkan Kadar CD4+

(dikutip dari WHO. 2005)32

Istilah AIDS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1982 untuk survei
epidemiologi. AIDS dimaksudkan untuk menguraikan berbagai sindroma klinis,
infeksi opportunistik spesifik, atau keganasan yang timbul akibat infeksi HIV, dan
juga dijadikan sebagai pertanda bahwa infeksi HIV lanjut telah terjadi. Pada
pelaksanaannya, sering terjadi kebingungan antara pembagian berdasarkan
stadium klinis dan istilah AIDS. Berdasarkan hal ini, maka WHO menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan pasien terinfeksi HIV/AIDS adalah penderita yang
memiliki gejala pada stadium klinis 3 atau 4, atau bila dilakukan pemeriksaan
CD4+, pada stadium klinis manapun dengan kadar CD4 <350/mm3. 33

Dengan semakin bertambahnya jumlah pasien AIDS, terjadi peningkatan


infeksi T. gondii yang dapat menyebabkan lesi fokal pada SSP, akibat reaktivasi
infeksi laten. Sekitar 95% pasien AIDS memiliki hasil serologi positif terhadap T.
gondii sebelum mereka terkena ET. 20,33
Lebih dari 95% kasus ET pada pasien AIDS adalah akibat reaktivasi
infeksi kronik yang akibatnya akan fatal bila tidak segera ditangani. Oleh sebab
itu, diperlukan diagnosis yang cepat dan akurat.
Karakteristik kerusakan SSP akibat toksoplasmosis ditandai dengan
pembentukan fokus-fokus nekrosis yang melebar dan nodul-nodul mikroglia.
Area nekrotik dapat mengalami kalsifikasi sehingga memberikan gambaran yang
khas secara radiologis. Akan tetapi, gambaran ini tidak patognomonik untuk
toksoplasmosis. Pada biopsi, akan tampak takizoit dan kista di dalam dan sekitar
area nekrotik di dekat atau di dalam nodul-nodul glial. Gambaran abses otak
merupakan gambaran klinis yang paling sering terjadi pada pasien AIDS dengan
ET.19 Dengan CT-scan dan MRI, tampak lesi tunggal atau multipel ring-enhancing
lesions yang dikelilingi edema otak6 dengan predileksi pada area ganglia basal dan
cortico-medullary junction. Lesi dapat juga terjadi pada serebelum atau

talamus.20,30,34
Manifestasi ET pada pasien HIV/AIDS biasanya terjadi jika kadar CD4+
<100 sel/mm dengan gejala bervariasi mulai dari proses subakut bertahap selama
beberapa minggu hingga acute confusional state, dengan atau tanpa defisit
neurologik fokal. Gejala klinis yang timbul seperti perubahan status mental,
kejang, defisit motorik fokal, sakit kepala bilateral yang tidak responsif terhadap
analgesik, disorientasi, hemiparesis, perubahan refleks, dan koma. Selain itu
dijumpai manifestasi neuropsikiatrik hingga korioretinitis, serta komplikasi yang
berhubungan dengan adanya infeksi aktif di paru-paru dan jantung. 30,34

• Diagnosis Laboratorium
Diagnosis infeksi T. gondii dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Pemeriksaan secara tidak langsung biasanya dengan serologi, sedangkan
secara langsung dengan PCR dan pemeriksaan histologi (histokimia).
Jenis
antibodi/ Skrining Wanita Hamil Neonatus Peny.Mata Imunokompromi

Tes
IgG + + (identifikasi + (antibodi + (titer rendah + (identifikasi
wanita berisiko ibu dijumpai umumnya pada pasien berisiko
dan yang hingga umur pasien reaktivasi,
terlindungi) 12 bulan; reaktivasi misalnya pasien
pembedaan peny.kongenital AIDS,
IgG maternal ; produksi transplantasi
dan fetal antibodi sumsum tulang)
dengan intraokular
Western Blot (rasio titer
atau ELISA) antibodi okular
dan darah
IgG avidity - + (hasil aviditas - + (hasil aviditas -
tinggi tinggi
menandakan menandakan

Pemeriksaan infeksi bukan infeksi bukan


Tak dalam 3-4 bulan dalam 3-4
Langsung/ terakhir; antibodi bulan terakhir;
Serologi aviditas rendah antibodi
bisa ditemukan) aviditas rendah
bisa ditemukan)
IgM -/+ + (IgM bisa + (pembeda + (titer tinggi + (tidak terlalu
menetap dalam infeksi dari biasanya pada bernilai, bisa ada
waktu lama, IgM ibu atau penyakit akut, atau tidak pada
negatif neonatus hasil negatif infeksi akut atau
meniadakan sendiri) pada reaktivasi laten)
infeksi ibu hamil atau
selama trimester peny.kongenital
1 dan 2) )
IgA - + (bisa menetap + (meningkat- - -
dalam jangka kan nilai
waktu lama) pemeriksaan
bila diperiksa
bersamaan
dengan IgM)
IgE - + (spesifitas - - -
tinggi,
sensitivitas
rendah)
(sambungan) PCR - + (cairan + (darah, + (terutama + (CSS, sekret
amnion) urin) pada pasien bronkoalveolar,
dengan lesi cairan mata,
retina atipikal cairan ascites,
atau respon cairan pleura,
suboptimum cairan peritoneal,
pada terapi aspirat sumsusm
(cairan vitreous tulang, darah
Pemeriksaan atau aqueous, tepi, dan/atau
Langsung tetapi vitreous jaringan)
lebih dipilih))
Histologi - + (jaringan - - + (jaringan yang
(immunohis- plasenta dan terinfeksi)
tokimia)/ fetus pada kasus
kultur sel kematian janin)
atau
inokulasi
pada mencit
Penentuan Pemeriksaan Meningkat- Membedakan Pemeriksaan
sero- kombinasi IgG kan secara serologi langsung lebih
Tujuan
prevalen dan IgM untuk sensitivitas antara infeksi sensitif
Pemeriksaan
/studi skrining pada pemeriksaan kongenital dan dibandingkan tak
epidemi- awal kehamilan kombinasi didapat langsung
ologi IgA dan IgM
Tabel 2.2. Jenis Pemeriksaan dan Manfaatnya pada Infeksi T. gondii
(dikutip dan disadur dari Montoya JG. Toxoplasmosis. 2004)17

Pemeriksaan secara tidak langsung (serologi) umumnya dilakukan pada mereka


yang imunokompeten. Untuk ibu hamil yang positif IgM dan IgG anti-Toxoplasma,
dilanjutkan dengan pemeriksaan IgG avidity. Bila kadar IgG avidity tinggi, ibu hamil
tersebut dianggap tidak menderita toksoplasmosis akut (infeksi tidak terjadi dalam 3-
4 bulan terakhir), sehingga kehamilannya aman dari infeksi T. gondii.17,35
Pada neonatus, bila ditemukan IgG anti-Toxoplasma pada darahnya, bisa
berasal dari ibu atau bayi itu sendiri. IgG dari ibu bisa bertahan hingga bayi berusia 6-
12 bulan. Bila IgM dan IgA positif, hal ini mengindikasikan kemungkinan 75% bayi
tersebut menderita toksoplasmosis kongenital.17 Salah satu jenis pemeriksaan, seperti
IgM ISAGA, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk menegakkan
diagnosis toksoplasmosis kongenital.36
Metode pemeriksaan serologi dasarnya adalah dari metode Sabin-Feldman dye
test, yaitu lisis parasit dengan antibodi serum dengan hadirnya komplemen. Selama
beberapa waktu, metode ini merupakan standar baku emas untuk pemeriksaan T.
gondii, akan tetapi saat ini sudah jarang digunakan lagi. Yang saat ini sering
digunakan adalah enzyme–linked immunosorbent assay (ELISA) dan immunosorbent
agglutination assay (ISAGA). Untuk pemeriksaan rutin atau skrining, metode ELISA
lebih sering digunakan.1
Pada pasien imunokompromi, pemeriksaan IgG dilakukan untuk mengetahui
apakah pasien berisiko mengalami reaktivasi infeksi laten.1,15,19 Menurut Derouin, dkk,
pemeriksaan IgG pada pasien HIV/AIDS sebaiknya dilakukan pada mereka dengan
kadar CD4+ kurang dari 200 sel/µL. Tujuannya untuk mengkonfirmasi kemungkinan
reaktivasi subklinikal kista dorman sebelum muncul gejala klinis. Pada studi ini
dikatakan bahwa kadar IgG lebih dari 150 IU/ml merupakan faktor prognosis untuk
kejadian ET, akan tetapi tidak diketahui pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan
mulai dari peningkatan titer antibodi sampai timbulnya ET, pasien hanya diperiksa
kembali setahun kemudian untuk melihat kejadian ET.37
Metode pemeriksaan PCR dengan amplifikasi 35 kali pengulangan gen B1,
untuk mendeteksi DNA T. gondii pada cairan tubuh dan jaringan telah dilakukan,
terutama dari CSS pasien HIV/AIDS7,10,15,38 dan cairan amnion ibu hamil untuk
mengetahui ada tidaknya toksoplasmosis kongenital39. Sensitivitas hasil PCR
dipengaruhi mulai dari pengambilan, penanganan, dan penyimpanan sampel, serta
teknik yang digunakan untuk amplifikasi dan deteksi produk PCR.40 Di Eropa dan
Amerika, sebelumnya juga telah dilakukan studi untuk mendeteksi T. gondii pada
CSS dan darah, akan tetapi sensitivitasnya hanya 33% sampai 65% pada CSS, dan
16% sampai 23% pada darah.1 Walaupun begitu, akhir-akhir ini telah banyak
dilakukan studi mendeteksi T. gondii pada CSS pasien AIDS dengan metode PCR,
terutama di Amerika Selatan. Sensitivitas pemeriksaan berkisar 69% hingga 83%,1,7,15
bahkan ada yang mencapai 100% 10, dengan spesifisitas 80% hingga 100%.7,10,15

• Pengobatan
Pemberian terapi pre-emptive sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
imunokompromi dengan serologi positif terhadap T. gondii. Apabila gejala klinis
telah menunjukkan adanya gangguan pada SSP, maka sebaiknya segera dilakukan
pemeriksaan dengan CT-Scan atau MRI, walaupun dengan pemeriksaan neurologi
tidak mengindikasikan telah terjadi defisit fokal.17
Bila pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI ditemukan gambaran lesi otak
yang khas toksoplasmosis, antibodi IgG positif terhadap T. gondii, dan adanya
imunodefisiensi berat (misal AIDS), maka diagnosis ET dapat ditegakkan dan
terapi empirik dapat diberi.

Nama Obat Dosis Lama pemberian


Pirimethamin 200 mg loading dose 4-6 minggu setelah
Dilanjutkan 50-75 mg/ hari gejala klinis
Oral membaik
Leukovorin 10-20 mg/hari (max 50 Selama dan setelah
mg/hari) 1 minggu
Oral, iv, atau im pemberian
Regimen standar pirimetamin
ditambah
Sulfadiazin 1-1,5 g (4x/hari) **

atau
Klindamisin 600 mg (4x/hari) **
Oral atau intravena
Trimetoprim 5 mg/kg oral atau iv **
(komponen trimetoprim-
sulfametoksazol) 2x/hari
Pirimetamin + **
Regimen leukovorin + salah satu
alternatif di bawah ini
Klarithromycin 1g 2x/hari (oral) **
Atovaquon 750 mg 4x/hari (oral) **
Azitromisin 1200-1500 mg/hari(oral) **
Dapson 100 mg/hari (oral) **
Tabel 2.3. Terapi Ensefalitis Toksoplasma pada Pasien AIDS
(disadur dari Montoya JG. Toxoplasmosis. 2004)19
** = lama pemberian sama seperti pirimetamin

Pemberian monoterapi tidak dianjurkan pada pasien imunokompromi.


Yang umumnya diberikan adalah kombinasi dari pirimetamin/sulfadiazin dan
asam folinik (10-20 mg/hari per oral). Klindamisin dapat diberi sebagai pengganti
sulfadiazin pada pasien yang intoleran terhadap golongan sulfonamid. Terapi
diberikan selama 4-6 minggu setelah gejala klinis membaik (umumnya
berlangsung selama beberapa bulan atau lebih). Tabel 2.3 merupakan petunjuk
pemberian terapi untuk ET pada pasien imunokompromi (AIDS).
Pemberian trimethoprim biasanya dikombinasikan dengan
sulfametoksazol (ko-trimoksazol), dengan dosis sulfametoksazol 25 mg/kg per
oral. Regimen alternatif seperti kombinasi dengan klaritromisin, atovaquon,
azitromisin, dapson, atau fansidar tidak lebih baik dibanding dengan kombinasi
pyrimethamine dan sulfadiazin atau klindamisin, atau pirimetamin sulfadiazin
ditambah ko-trimoksazol.3
Setelah pengobatan untuk fase akut, sebaiknya dilanjutkan dengan terapi
lanjutan (profilaksis sekunder). Obat yang diberikan umumnya sama seperti untuk
fase akut, tetapi dengan dosis setengah dosis terapi. Terapi lanjutan sebaiknya
diberikan seumur hidup atau sampai penyebab imunosupresi dapat ditiadakan.
Untuk pasien AIDS, terapi profilaksis primer atau sekunder dapat dihentikan bila
kadar CD4 >200 sel/µL dan HIV PCR di darah perifer dapat terkontrol setidaknya
selama enam bulan.17
• KERANGKA KONSEP

Pejamu termakan kista


bradizoit atau ookista

Perkembangan Aseksual di
enterosit

IgM ↑↑
Hospes Perantara

3 Infeksi Primer IgM -/+


4 Asimptomatik (>80%) IgG +
- Simptomatik : pembesaran kel. Getah bening,
mialgia, lemah,dan gejala tidak spesifik lainnya,
chorioretinitis
• Ibu hamil : abortus, bayi lahir cacat
• Neonatus : toksoplasmosis kongenital

.............Bersambung
..........Sambungan

HIV/AIDS
(Stadium Klinis 4 atau
CD4= <200 sel/mm3)

Infeksi

Toxoplasma gondii
Radiologi

Diagnosis sulit ditegakkan


karena gejala klinis yang
hampir mirip.

IgG Toxoplasma
PCR
IgGToxoplasma
anti-Toxoplasma
pada CSS/Darah
No
n-
inf
eks
i

Tu
mo BAB 3
r
Kel HASIL PENELITIAN
ain
an
sya 2.4. Karakteristik Subyek Penelitian
raf
lain 2.4.1.Jenis Kelamin dan Umur
nya Subyek penelitian adalah pasien AIDS yang diduga meningitis dan dirawat
di RSCM Jakarta. Sampel penelitian adalah CSS dari pasien AIDS tersebut yang
merupakan koleksi Divisi Mikologi Departemen Parasitologi FKUI sejak tahun
2013 hingga Maret 2015.
Dari seluruh sampel yang ada, sebanyak 50 sampel memenuhi kriteria
inklusi. Subyek penelitian terutama didominasi oleh laki-laki 45 orang (90%),
sedangkan perempuan 5 orang (10%). Umur pasien pada penelitian ini bervariasi,
dengan usia terendah 20 tahun dan tertinggi 57 tahun, dan median 34 tahun.
(Tabel 4.1)

• Kadar CD4+
Kadar CD4+ bervariasi, dengan kadar terendah 1 sel/mm3, tertinggi 198
sel/mm3, dan median 31,5 sel/mm3. Kadar CD4+ berdasarkan jenis kelamin dan
kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jenis Kelamin dan Umur Subyek Penelitian


n(%) Median CD4+ CD4+(sel/mm3)
(sel/mm3) min-max
Jenis Kelamin
Laki-Laki 45(90) 40 1-198
Perempuan 5(10) 8 3-153
Umur
20-30 10(20) 24,5 5-197
31-45 38(76) 43 1-198
>45 2(4) 100,5 7-194

• Faktor Risiko Menderita HIV & AIDS


Dari seluruh subyek penelitian, hanya 36 orang yang diketahui faktor
risikonya mendapat infeksi HIV & AIDS. Dari seluruh faktor risiko, Intravena
drug users (IDUs) merupakan faktor risiko terbesar. Umumnya faktor risiko tidak

28 Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


29

berdiri sendiri dan merupakan gabungan dari beberapa lainnya. Pada promiskuitas
tidak diketahui apakah berasal dari hubungan heteroseksual atau homoseksual.
Tabel 4.2 memperlihatkan faktor risiko infeksi HIV & AIDS pada subyek
penelitian ini.

Tabel 4.2. Faktor Risiko Menderita HIV & AIDS


Faktor Risiko n (%)
Seksual (Heteroseksual/Homoseksual) 11 (22%)
IDU 16 (32%)
Transfusi Darah 0
Transmisi Perinatal 0
Lain-lain 8 (16%)
Tidak diketahui 14 (28%)

Informasi faktor risiko ini umumnya diperoleh dari pihak kedua


(alloanamnesa), karena subyek penelitian kemungkinan sudah sulit untuk dimintai
keterangan.

• Analisis Cairan Otak


Cairan yang diperoleh umumnya jernih dan tidak bewarna (84%). Data
analisis CSS subyek penelitian (16 dari 50 sampel) yang ada pada rekam medis,
dapat dilihat pada Tabel 4.3. Analisis cairan otak berdasarkan kadar IgG yang
positif, dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.3. Analisis Cairan Otak (n=16)

Nilai Minimum – Nilai normal


Maksimum Sampel
Sel Polimorfonuklear (PMN) 0-441
Sel Mononuklear (MN) 6-160 0-5 sel/µL
Kadar Glukosa CSS 22-61
Kadar Glukosa Serum 61-127 <140 mg/dL
Protein CSS 6-730 15-45 mg/dL

Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


2.5. Kadar IgG Anti-Toxoplasma
Pemeriksaan kadar IgG anti-Toxoplasma pada penelitian ini ternyata tidak
terdistribusi normal (p = 0,00 ; p < 0,05), dimana kadar terendah 0 IU dan
tertinggi 245,35 IU, dengan nilai tengah 9,30 IU.
Nilai cut-off positif ditetapkan ≥11 IU. Dari hasil pemeriksaan didapatkan
sampel positif IgG anti-Toxoplasma 24 (48%), dan negatif 26 (52%). Berdasarkan
studi oleh Derouin, dkk37, maka pada penelitian ini kadar IgG anti-Toxoplasma
juga dibagi menjadi tiga, yaitu negatif (<11 IU), rendah (≥11-150 IU), dan tinggi
(>150 IU). Dari hasil positif ditemukan 5 (10%) tinggi, dan 19 (38%) rendah.

Tabel 4.4. Analisis CSS, Kadar CD4+, dan Gejala Neurologis, Berdasarkan
IgG Anti-Toxoplasma
IgG Anti-Toxoplasma
Tinggi Rendah Negatif
Median n Median n Median n
(min-max) (min-max) (min-max)
Analisis CSS
· Sel PMN (sel/µL) 3 (0-16) 5 10 (1-10) 5 1,5 (0-441) 6
· Sel MN (sel/µL) 89,5 (9-160) 5 9 (6-9) 5 12 (6-49) 6
· Protein (mg/dL) 203,5 (25-442) 5 30 (20-45) 5 89,5 (6-202) 6
· Glukosa CSS 38 (23-61) 5 52 (43-53) 5 35 (22-54) 6
(mg/dL)
· Glukosa Serum 103 (88-127) 4 94 (92-111) 3 83,5 (61-122) 4
(mg/dL)
CD4+ (sel/mm3) 26 (10-168) 5 31 (1-192) 19 54,5 (1-198) 26
Gejala Neurologis
1 Sakit Kepala 5 12 14
2 Penurunan 4 9 11
Kesadaran
3 Kelemahan Sisi 1 4 10
Tubuh
4 Gangguan Fungsi 1 1 4
Luhur
5 Kejang 0 3 4
6 Mual Muntah 1 2 5
7 Gangguan 0 4 3
Pandangan

Dari Tabel 4.4, sampel positif IgG yang disertai hasil analisis jumlah sel
PMN, MN, protein, dan kadar glukosa CSS ada 10 dari 16 sampel. Untuk kadar
glukosa serum hanya 7 dari 11 sampel. Median sel MN yang tinggi kadar IgG
89,5 sel/µL, dan protein 203,5 mg/dL. Median CD4+ untuk yang tinggi kadar IgG
26 sel/mm3, dan yang rendah 31 sel/mm 3, sedangkan negatif 54,5 sel/mm3.
Berdasarkan median, rasio glukosa CSS/serum pada kadar tinggi 0,37, kadar
rendah 0,55, dan negatif 0,42.
Berdasarkan sampel yang positif IgG, gejala klinis sehubungan gangguan
neurologis yaitu sakit kepala 17 (70,8%), penurunan kesadaran 13 (54,2%),
kelemahan sisi tubuh 5 (20,8%), gangguan fungsi luhur 2 (8%), kejang 3 (12,5%),
mual muntah 3 (12,5%), dan gangguan pandangan 4 (16,7%).

2.5.1. Kadar IgG Anti-Toxoplasma pada Hasil Pencitraan, Diagnosis Klinis,


Riwayat Pemberian Anti Retroviral (ARV), Terapi Toksoplasmosis, dan
Infeksi Cryptococcus
Berdasarkan pembagian kadar IgG anti-Toxoplasma, maka pada Tabel 4.6
dapat dilihat frekuensi hasil pencitraan, diagnosis klinis riwayat pemberian ARV,
terapi toksoplasmosis, dan infeksi Cryptococcus.
Hasil pemeriksaan radiologi (pencitraan) dibagi menjadi dua, yaitu yang
positif mengarah ET dan tidak mengarah ET. Dari 50 sampel, ada empat sampel
yang tidak disertai hasil pencitraan, karena subyek telah meninggal sebelum
dilakukan pemeriksaan. Pada Tabel 4.5, hasil pencitraan tidak mengarah ET 30
sampel (65,2%), dan 16 sampel (34,8%) mengarah ET. Terdapat dua sampel yang
hasil radiologinya positif dengan kadar IgG anti-Toxoplasma tinggi, dan tujuh
sampel dengan kadar rendah. (Tabel 4.5)
Diagnosis klinis diperoleh dari surat pengantar dan/atau rekam medis
pasien. Walaupun pasien diduga sebagai meningitis, diagnosis ET dijadikan
sebagai diagnosis banding atau dianggap bersamaan dengan infeksi bakteri atau
jamur. Sampel yang didiagnosis ET sebanyak 18 (36%), dan bukan ET sebanyak
32 (64%). Dari yang positif IgG, dua sampel kadar tinggi, dan sembilan sampel
kadar rendah. (Tabel 4.5)
Riwayat pemberian anti retroviral (ARV) diketahui dari catatan dalam
rekam medis. Berdasarkan hal itu, maka riwayat ARV dibagi menjadi tiga, yaitu
belum, sedang, dan putus terapi ARV. Dari seluruh sampel, terdapat 26 (52%)
belum pernah diberi ARV, 16 (32%) sedang mendapat ARV, dan 8 (16%) putus
terapi ARV. Ditemukan empat sampel yang berasal dari belum pernah mendapat
ARV tinggi kadar IgG. Pada kelompok putus ARV tidak dijumpai sampel dengan
kadar tinggi IgG. Median IgG anti-Toxoplasma pada yang belum mendapat ARV
adaah 23,31 IU, yang sedang mendapat ARV adalah 0,00 IU, dan yang putus
ARV juga 0,00 IU. (Tabel 4.5) Berdasarkan uji Fisher’s Exact p=0,158 (p>0,05),
berarti secara statistik tidak ada hubungan antara kadar IgG anti-Toxoplasma dan
riwayat terapi ARV.

Tabel 4.5. Kadar IgG Anti-Toxoplasma pada Beberapa Variabel


Pemeriksaan
IgG Anti-Toxoplasma
Positif Negatif Total
Tinggi Rendah
(>150 IU) (≥11-150 IU) <11 IU
Pencitraan ET 2 7 7 16
Non-ET 3 10 17 30
Diagnosis ET 2 9 7 18
Klinis Non ET 3 10 19 32
Belum terapi ARV 4 12 10 26
Riwayat Sedang terapi ARV 1 4 11 16
ARV Putus terapi ARV 0 3 5 8
Terapi Profilaksis 2 6 10 18
Tokso- Empiris 2 6 7 15
plasmosis
Tidak Diketahui 1 7 9 17
Cryptococcus Positif 1 3 5 9
Negatif 4 16 21 41

Riwayat terapi toksoplasmosis dibagi menjadi tiga kategori yaitu :


1 Profilaksis ; pernah atau sedang diberi terapi profilaksis ko-trimoksazol.
2 Empiris ; sedang diberikan terapi yang sesuai dengan prosedur terapi untuk
ensefalitis toksoplasma.
3 Tidak diketahui ; tidak diketahui pasti dari rekam medis riwayat pengobatan
yang berhubungan dengan toksoplasmosis.
Sampel yang mendapat profilaksis ada 18 (36%), empiris 15 (30%), dan tidak
diketahui terapi berkaitan untuk toksoplasmosis 17 (34%). Dari yang mendapat
terapi profilaksis, ada 2 tinggi kadar IgG, 6 rendah, dan 10 negatif. Pada subyek
yang sedang mendapat terapi empiris, ada 2 tinggi kadar IgG, 6 rendah, dan 7
negatif. (Tabel 4.5)
Hasil pemeriksaan tinta India dan antigen dengan metode lateral flow
assay (LFA), dijumpai 9 (18%) positif, dan 41 (82%) negatif Cryptococcus. Pada
Tabel 4.5, ada satu sampel yang positif Cryptococcus yang juga tinggi kadar IgG
anti-Toxoplasma. Berdasarkan uji Mann-Whitney, didapatkan p=0,512 (p >0,05),
berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kadar IgG anti-
Toxoplasma dengan infeksi Cryptococcus.

Tabel 4.6. Respons IgG Anti-Toxoplasma Dikaitkan dengan Hasil Pencitraan,


Diagnosis Klinis, Terapi Toksoplasmosis, dan Riwayat ARV
IgG Anti-Toxoplasma (IU)
Median Min-Max
Hasil ET 22,25 0 – 245,35
Pencitraan Bukan ET 4,29 0 - 200,53
Diagnosis ET 31,89 0 - 245,35
Klinis Bukan ET 0 0 – 200,53
Terapi Profilaksis 0 0 – 171,5
Toksoplasmosis Empirik 16,6 0 – 245,35
Tidak diketahui 10,08 0 – 200,53
Belum 23,32 0 – 245,35
Riwayat ARV Sedang 0 0 - 200,53
Putus 0 0 – 140,59

2.6. Hubungan Kadar IgG Anti-Toxoplasma dan Hasil Pencitraan Ensefalitis


Toksoplasma
Oleh karena dasar penegakan toksoplasmosis selama ini lebih berdasarkan
dari hasil CT-Scan atau MRI kepala, maka pada penelitian ini juga ingin dilihat
bagaimana hubungannya dengan hasil pemeriksaan IgG anti-Toxoplasma.
Dari Gambar 4.1, tampak sebaran kadar IgG anti-Toxoplasma berdasarkan
hasil pencitraan. Nilai tengah kadar IgG anti-Toxoplasma pada hasil pencitraan
mengarah ET 22,25 IU, sedangkan yang bukan ET 4,29 IU. (Tabel 4.6)
IgG anti-Toxoplasma

ET

Gambar 4.1. Distribusi Kadar IgG Anti-Toxoplasma Berdasarkan Hasil Pencitraan

Untuk melihat hubungan diantara keduanya dilakukan uji komparatif


numerik dua kelompok tidak berpasangan. Berdasarkan uji Mann Whitney
(karena kadar IgG anti-Toxoplasma tidak terdistribusi normal), didapati nilai p =
0, 243 (p > 0,05), yang berarti secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna
antara kadar IgG anti-Toxoplasma dengan hasil pencitraan ET.
Untuk melihat data hasil pencitraan positif toksoplasmosis dengan terapi
toksoplasmosis, riwayat ARV, dan kadar IgG anti-Toxoplasma, dapat dilihat pada
Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Hasil Pencitraan ET terhadap Beberapa Variabel Pemeriksaan

Hasil Pencitraan Mengarah ET (n=16)


n
Profilaksis 1
Terapi Toksoplasmosis Empiris 13
Tidak Diketahui 2
Belum terapi ARV 9
Riwayat ARV Sedang Terapi ARV 5
Putus Terapi ARV 2
Kadar IgG Tinggi 2
anti-Toxoplasma Rendah 7
Negatif 7
Terdapat satu sampel terapi profilaksis yang hasil pencitraan mengarah
ET, sedangkan terapi empiris 13 sampel. Pada pasien yang belum pernah
mendapat ARV, ada 9 sampel yang hasil pencitraan mengarah ET. Berdasarkan
kadar IgG anti-Toxoplasma, ada 2 sampel hasil pencitraan mengarah ET,
sedangkan kadar IgG rendah dan negatif masing-masing 7 sampel. (Tabel 4.7)

2.7. Hubungan Kadar IgG Anti-Toxoplasma dan Diagnosis Klinis


Walaupun sampel pasien pada penelitian ini diduga sebagai meningitis,
diagnosis ET dijadikan sebagai diagnosis banding atau dianggap bersamaan
dengan infeksi bakteri atau jamur. Sampel yang didiagnosis ET sebanyak 18
(36%), dan bukan ET sebanyak 32 (64%).
Dari Gambar 4.2, tampak sebaran kadar IgG anti-Toxoplasma pada yang
didiagnosis sebagai ET dan bukan ET. Nilai tengah kadar IgG anti-Toxoplasma
pada yang didiagnosis sebagai ET adalah 31,89 IU, sedangkan pada yang bukan
ET adalah 0 IU. (Tabel 4.6)
IgG anti-Toxoplasma

ET

Gambar 4.2. Distribusi Kadar IgG Anti-Toxoplasma Berdasarkan Diagnosis Klinis

Untuk melihat hubungan antara keduanya, dilakukan uji hipotesis numerik


dua kelompok tidak berpasangan. Dari Uji Mann Whitney, didapatkan p = 0,094
(p>0,05), yang berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kadar
IgG anti-Toxoplasma dengan diagnosis klinis ET.
2.8. Hubungan Kadar IgG Anti-Toxoplasma dan Riwayat Terapi
Toksoplasmosis
Riwayat terapi toksoplasmosis dibagi menjadi 3 kategori yaitu profilaksis
(ko-trimoksazol), empiris, dan tidak diketahui riwayat terapi toksoplasmosis. Nilai
tengah kadar IgG anti-Toxoplasma pada terapi profilaksis adalah 0 IU, terapi
empirik 16,60 IU, dan yang tidak diketahui 10,08 IU. (Tabel 4.6)
Oleh karena tidak diketahui keluaran hasil terapi empiris, maka ingin
dilihat hubungan antara pemberian terapi profilaksis (ko-trimoksazol) dengan
kadar IgG anti-Toxoplasma. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney, dengan p =
0,386 (p > 0,05), maka secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kadar
IgG anti-Toxoplasma dengan riwayat pemberian ko-trimoksazol.

2.9. Hubungan Kadar CD4+ dan IgG Anti-Toxoplasma


Berdasarkan kadar CD4+, ingin dilihat hubungannya dengan hasil
pemeriksaan kadar IgG anti-Toxoplasma. Gambar 4.3 memperlihatkan sebaran
CD4+ berdasarkan derajat IgG anti-Toxoplasma. Tampak empat sampel dengan
derajat IgG anti-Toxoplasma tinggi, memiliki kadar CD4+ <50 sel/mm3.
Untuk melihat hubungan antara keduanya, dilakukan uji komparatif
numerik lebih dari dua kelompok tidak berpasangan. Hasil uji Kruskal Wallis
didapatkan nilai p = 0,819 (p > 0,05), yang berarti secara statistik tidak ada
perbedaan bermakna antara kadar CD4+ dan kadar IgG anti-Toxoplasma.

Tinggi

Gambar 4.3. Distribusi CD4+ Berdasarkan Kadar IgG Anti-Toxoplasma


Untuk melihat korelasi antara CD4+ dan kadar IgG anti-Toxoplasma,
dilakukan uji Spearman, dan didapatkan nilai -0,149. Hasil negatif menunjukkan
ada korelasi terbalik, yaitu semakin tinggi kadar CD4 + maka semakin rendah
kadar IgG anti-Toxoplasma, walaupun kekuatan korelasinya sangat lemah.
(Gambar 4.5)

IgG Anti-Toxoplasma

Gambar 4.4. Grafik Korelasi CD4+ dan IgG anti-Toxoplasma

2.10. Uji Diagnostik IgG Anti-Toxoplasma


Untuk menilai apakah pemeriksaan IgG dari CSS dapat dijadikan sebagai
alat diagnostik, maka dilakukan penilaian untuk uji diagnostik. Sebagai standar
baku untuk uji diagnostik ini adalah hasil pemeriksaan radiologi yang mengarah
toksoplasmosis. Kadar IgG ≥11 IU dianggap sebagai nilai positif diagnosis
toksoplasmosis. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 2x2 di bawah ini.
(Tabel 4.8)

Tabel 4.8. Tabel 2x2 Uji Diagnostik IgG anti-Toxoplasma

Radiologi Toksoplasmosis Total


Positif Negatif
Kadar IgG Positif 9 13 22
Negatif 7 17 24
≥11 IU Total 16 30 46
Dari Tabel 4.8, maka dapat diperoleh sensitivitas 56%, spesifisitas 57%,
nilai duga positif (positive predictive value) 41%, dan nilai duga negatif (negative
predictive value) 71%.
BAB 4
PEMBAHASA
N

Telah dilakukan studi untuk melihat profil IgG anti-Toxoplasma dari pasien AIDS
yang mengalami defisit neurologis. Sampel berasal dari cairan otak pasien yang
diduga meningitis dan dirawat di RSCM Jakarta. Sampel dikirim ke Departemen
Parasitologi FKUI selama rentang tahun 2013 hingga Maret 2015. Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi adalah 50 sampel, hal ini melebihi jumlah sampel
minimal yang telah ditetapkan yaitu 39 sampel.
Subyek penelitian didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu 45 orang
(90%), dan perempuan hanya 5 orang (10%). Berdasarkan laporan dari
Kementerian Kesehatan RI September 2014, penderita AIDS laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan yaitu 65% dan 35%.41 Umur subyek penelitian
berada pada usia 20 sampai 57 tahun, dengan nilai tengah 34 tahun. Hasil ini juga
sesuai dengan laporan statisitik Kementerian Kesehatan RI 2014 bahwa rentang
usia penderita AIDS usia produktif (20-59 tahun) berkisar 91% dimana usia
terbanyak berada pada kelompok umur 20-39 tahun (74%).41 Oleh karena itu,
sampel penelitian ini dapat mewakili jenis kelamin dan usia terbanyak penderita
AIDS di Indonesia.
Penderita AIDS yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang
menderita HIV stadium 4, dimana kadar CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 atau
kurang dari 15%.32 Pada penelitian ini, kadar terendah 1 sel/mm3 dan tertinggi 198
sel/mm3, dengan nilai tengah 31,5 sel/mm 3. Hal ini sesuai dengan studi oleh
Derouin, dkk yang menyatakan pemeriksaan untuk menilai kejadian ET sebaiknya
dilakukan pada mereka dengan kadar CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 untuk
melihat kemungkinan reaktivasi subklinikal kista dorman Toxoplasma.37
Faktor risiko terbesar seseorang mendapat infeksi HIV & AIDS menurut
laporan Kementerian Kesehatan 2014 berasal dari hubungan heteroseksual 62%,
sedangkan IDUs berada pada peringkat kedua yaitu 15,3%. 41 Pada penelitian ini,
IDUs merupakan faktor risiko terbesar dibandingkan hubungan seksual.
Kemungkinan karena informasi yang diperoleh sebagian besar berasal dari pihak

39 Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


40

kedua. Keterangan mengenai riwayat hubungan seksual, umumnya hanya


diketahui oleh penderita sendiri, padahal sebagian besar subyek penelitian ini
dalam keadaan tidak sadar atau sulit dimintai keterangan.
Pada analisis cairan otak, untuk warna dan kekeruhan dapat dinilai sendiri
oleh peneliti. Sedangkan jumlah sel, kadar glukosa, dan serum diperoleh dari hasil
yang ada pada rekam medis. Tingginya jumlah sel PMN dan MN menandakan
adanya infeksi pada otak, baik itu meningitis atau ensefalitis, dengan kisaran 3-
400 sel/µL. Pada penelitian ini dijumpai peningkatan jumlah sel MN pada kadar
IgG tinggi dibanding kadar rendah dan negatif. Kemungkinan ini disebabkan pada
toksoplasmosis, sel-sel MN, terutama makrofag, yang lebih berperan dalam
eliminasi infeksi T. gondii.
Untuk menilai adanya proses patologi di otak juga bisa berdasarkan rasio
glukosa CSS/serum. Bila rasio glukosa tersebut kurang dari 0,4-0,5 menandakan
terjadi proses patologi pada otak, yang mengindikasikan terjadi infeksi
mikroorganisme seperti bakteri dan jamur.42 Pada penelitian ini, rasio glukosa
CSS/serum diambil dari median masing-masing dan tampak adanya penurunan
rasio yang cukup rendah pada sampel dengan kadar IgG tinggi (0,37).
Kemungkinan ini bisa dijadikan sebagai penanda adanya infeksi, khususnya ET,
pada SSP.
Jumlah protein yang cukup tinggi juga dijadikan petanda terjadi infeksi
pada otak, terutama bakteri dan jamur (Cryptococcus). Untuk infeksi Toxoplasma
belum ditentukan nilai yang pasti. Pada penelitian ini, ada 5 sampel dengan kadar
IgG tinggi, dengan median 203,5 mg/dL, dan kadar tertinggi 442 sel/µL. Dengan
demikian, gambaran analisis CSS sampel yang tinggi kadar IgG anti-Toxoplasma
memiliki ciri khas yang tidak jauh berbeda dengan infeksi bakteri dan jamur pada
otak, akan tetapi perlu diperhatikan peningkatan jumlah sel MN yang lebih tinggi
dibandingkan PMN.
Gejala klinis yang paling banyak dari sampel dengan kadar IgG tinggi
adalah sakit kepala (70,8%), diikuti penurunan kesadaran, kelemahan sisi tubuh,
gangguan fungsi luhur, kejang, mual muntah dan gangguan pandangan. Hal ini
agak berbeda dibandingkan yang dilaporkan Magnerou, dkk yang menyatakan
defisit motorik (65%), kejang (40%), gangguan berbicara (35%), dan sakit kepala

Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


(31,7%) dialami oleh penderita yang didiagnosis ET. 43 Akan tetapi, dari beberapa
laporan kasus ET yang dilaporkan oleh Silaban 44, Jayawardena45, Diguvinti46, dan
George47, sakit kepala yang semakin memberat kemudian diikuti penurunan
kesadaran dan disertai kejang, merupakan gejala klinis utama pasien. Oleh karena
itu, secara umum gejala klinis yang dialami subyek penelitian dengan kadar IgG
tinggi tidak jauh berbeda dengan gejala klinis yang dialami penderita AIDS yang
didiagnosis menderita ET.
Selama ini diagnosis ET lebih berdasarkan hasil pencitraan kepala, baik itu
dengan CT-Scan maupun MRI. Sampel yang hasil pencitraan mengarah ET
dijumpai 16 sampel, sedangkan sampel yang positif IgG dan hasil pencitraan juga
mengarah ET, hanya dijumpai pada 9 dari 16 sampel. Begitupun dengan diagnosis
klinis, dari 18 sampel yang dicurigai sebagai ET, ada 11 sampel yang positif IgG
anti-Toxoplasma. Secara statistik ternyata tidak dijumpai perbedaan atau
hubungan antara kadar IgG anti-Toxoplasma dengan hasil pencitraan atau pun
diagnosis klinis. Walaupun demikian, median kadar IgG pada sampel dengan hasil
pencitraan mengarah ET lebih tinggi dibandingkan yang bukan ET. Begitupun
pada sampel yang diagnosis klinisnya dicurigai ET, memiliki median kadar IgG
yang lebih tinggi. (Tabel 4.5)
Studi oleh Vidal, dkk, yang membandingkan hasil ELISA IgG anti-Toxoplasma
dan PCR dengan sampel CSS, menemukan 12 sampel yang dinyatakan positif
oleh ELISA juga positif dengan PCR.10 Pada pasien AIDS bisa terjadi gambaran
radiologi yang tidak khas karena bisa bersamaan dengan infeksi lain dan tumor
otak.48 Menurut hasil studi Octaviani mengenai pemberian terapi empiris untuk
ET berdasarkan hasil pencitraan, sekitar 77% yang mengalami perbaikan. 49
Bahkan pada mereka yang menderita infeksi jamur otak, terutama jamur
berfilamen, memiliki gambaran radiologi yang mirip dengan Toxoplasma.50,51
Berdasarkan riwayat pemberian ARV, terdapat 26 orang yang belum
mendapat ARV, dan 16 diantaranya positif IgG anti-Toxoplasma. Berdasarkan hal
ini peneliti ingin mencari hubungan antara riwayat terapi ARV dengan kadar IgG
anti-Toxoplasma. Walaupun hasilnya secara statistik tidak ada hubungan, perlu
diperhatikan median IgG pada subyek yang belum mendapat ARV, yaitu 23,32
IU, sedangkan median pada sedang mendapat ARV dan putus terapi ARV 0 IU.
Hal ini didukung oleh studi Mzileni 52 dan Rajagopalan53, bahwa pemberian highly
active anti-retroviral therapy (HAART) lebih dini dapat mengurangi angka
kematian pasien AIDS, dimana angka kematian terbesar diakibatkan oleh infeksi
opportunistik (47,6%).
Untuk mencari hubungan antara riwayat terapi toksoplasmosis, hanya
yang dengan riwayat mendapat terapi ko-trimoksazol saja yang dihubungkan
dengan kadar IgG anti-Toxoplasma. Hal ini bertujuan untuk melihat manfaat
terapi profilaksis terhadap infeksi Toxoplasma. Tetapi, secara statistik tidak ada
perbedaan bermakna atau hubungan kadar IgG anti-Toxoplasma dengan riwayat
pemberian profilaksis. Walaupun begitu, median kadar IgG pada yang mendapat
profilaksis lebih rendah (0 IU), dibandingkan yang sedang diterapi toksoplasmosis
(16,6 IU) dan yang tidak diketahui riwayat terapinya (10,08 IU). Bila dilihat
berdasarkan hasil pencitraan, hanya satu sampel dari 18 sampel, dengan riwayat
pemberian kotrimoksazol yang hasil pencitraannya mengarah toksoplasmosis.
(Tabel 4.7). Pemberian ko-trimoksazol sebagai profilaksis berperan sebagai
antimikroba luas terhadap berbagai bakteri patogen dan protozoa, termasuk
Toxoplasma gondii.54,55 Dan hal ini didukung dari studi yang dilakukan Beraud,
dkk, bahwa ko-trimoksazol dapat dijadikan sebagai terapi alternatif untuk ET,
walaupun dengan dosis yang berbeda dari profilaksis.56
Pada sampel Cryptococcus positif, ada satu sampel yang tinggi IgG anti-
Toxoplasma, yaitu 200,53 IU. Bila selanjutnya pada sampel penelitian ini
ditemukan Toxoplasma dengan teknik PCR, kemungkinan terjadi infeksi bersama
antara jamur dan parasit pada pasien tersebut. Apalagi Cryptococcus merupakan
penyebab utama meningitis jamur dan meningoensefalitis pada 5-10% pasien
AIDS.50
Dari beberapa studi sebelumnya, ET bisa terjadi dengan semakin
menurunnya kadar CD4+.16 Pada penelitian, ini secara statistik tidak ditemukan
perbedaan antara kadar CD4+ dan IgG anti-Toxoplasma. Walaupun demikian,
median CD4+ pada sampel yang tinggi kadar IgG cenderung lebih rendah
dibandingkan yang kadar IgG rendah dan negatif. (Tabel 4.4). Uji korelasi
menghasilkan korelasi negatif antara kadar CD4+ dan IgG, yang berarti semakin
rendah kadar CD4+ akan semakin tinggi kadar IgG anti-Toxoplasma, walaupun
kekuatan korelasinya sangat lemah. Menurut Nissapatorn, dkk, pasien AIDS yang
hasil serologi Toxoplasma positif, CD4+ <100 sel/mm3, dan tidak mendapat terapi
profilaksis, akan berisiko menderita ET.57
Dalam penelitian ini, ingin juga diuji pemeriksaan IgG anti-Toxoplasma
sebagai alat diagnostik. Hasil pemeriksaan radiologi dijadikan sebagai alat
diagnostik baku. Nilai duga negatif yang cukup baik (71%), setidaknya memiliki
arti bagi klinisi bahwa uji ini bisa menduga seseorang tidak menderita ET sebesar
71%. Masih dibutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk melihat infeksi T. gondii
pada sampel penelitian ini. Oleh karena itu akan dilanjutkan dengan pemeriksaan
PCR Toxoplasma.
Sayangnya, dalam penelitian ini tidak dapat disertakan hasil uji serologi
darah Toxoplasma gondii. Menurut hasil studi Colombo, dkk, yang melakukan
PCR dari darah pasien AIDS untuk deteksi T. gondii, menemukan sensitivitas
sebesar 80% dan spesifitas 98%. Dan studi ini juga menyatakan, kadar IgG anti-
Toxoplasma dari darah penderita ET lebih tinggi dibandingkan yang tidak
menderita ET.20 Studi yang menilai kadar antibodi terhadap T. gondii pada CSS
masih sangat terbatas. Meira, dkk menilai kadar IgG anti-Toxoplasma pada CSS
dengan mengggunakan Excretory/secretory antigen (ESA), yaitu suatu antigen
utama yang dihasilkan takizoit pada fase akut.58 Ternyata, kadar IgG anti-
Toxoplasma penderita ET tiga kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Dalam
hal ini, mereka juga menyatakan IgG4 yang sebaiknya dinilai untuk menegakkan
ET.59
Diharapkan dengan rancangan penelitian yang lebih kompleks,
mengikutkan beberapa sentra HIV & AIDS, dan jumlah sampel yang lebih
banyak, dapat menghasilkan hubungan yang bermakna antara variabel
pemeriksaan. Apalagi pada penelitian ini ditemukan adanya kecenderungan
peningkatan kadar IgG pada beberapa variabel yang dapat membantu menegakkan
ET.
BAB 5
KSIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
1.1.1 Profil IgG anti-Toxoplasma pada penderita AIDS dengan meningitis
adalah 24 (48%) positif dan 26 (52%) negatif. Dari IgG positif, 5
(20,83%) kadar tinggi, dan 19 (79,17%) kadar rendah.
1.1.2 Median kadar CD4+ IgG positif tinggi 26 sel/mm3, rendah 31 sel/mm3,
dan negatif 54,5 sel/mm3. Dengan hasil uji korelasi terbalik antara
kadar CD4+ dan IgG anti-Toxoplasma
1.1.3 Tidak ada perbedaan bermakna antara kadar IgG anti-Toxoplasma
dengan hasil pencitraan maupun diagnosis klinis.
1.1.4 Tidak ada hubungan antara kadar IgG anti-Toxoplasma dengan riwayat
terapi profilaksis ko-trimoksazol.

1.2 Saran
1.2.1 Diperlukan penelitian lanjutan yang disertai hasil pemeriksaan serologi
darah IgG anti-Toxoplasma.
1.2.2 Dilakukan penelitan prospektif untuk melihat hubungan antara kadar
IgG anti-Toxoplasma dengan kejadian ET pada pasien HIV/AIDS.
1.2.3 Sebaiknya dilakukan penelitian bersama antara beberapa sentra
HIV/AIDS sehingga didapatkan jumlah sampel yang cukup besar.
1.2.4 Melengkapi data rekam medis rumah sakit sehingga tidak kesulitan
dalam proses pencarian data pasien.
1.2.5 Menjadi bahan pertimbangan bagi klinisi dalam menegakkan diagnosis
dan memilih alat diagnostik yang tepat.

44 Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


DAFTAR REFERENSI
iii Robert-Gangneux F, Darde M. Epidemiology of and diagnostic strategies for
Toxoplasmosis. Clin Microbiol Rev. 2012.;25(2):264-96
iv Munoz M, Liesenfeld O, Heimesaat MM. Immunology of Toxoplasma gondii.
Immunol Rev. 2011;240:269-85
v Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS : A Living Legacy. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-78
vi Terazawa A, Muljono R, Susanto L, Margono SS, Konishi E. High
Toxoplasma antibody prevalence among inhabitants in Jakarta, Indonesia. Jpn
J Infect Dis. 2003;56:107-9
vii Switaj K, Master A, Skrzypczak M, Zaborowski P. Recent trends in molecular
diagnostic for Toxoplasma gondii infections. Clin Microbiol Infect.
2005;11:170-6
viii Luma HN, Tchaleu BCN, Mapoure YN, Temfack E, Doulla MS, Halle MP, et
al. Toxoplasma encephalitis in HIV/AIDS patients admitted to the Doula
general hospital between 2004 and 2009:a cross sectional study. BMC Res
Notes 2013;6:146
ix Alfonso Y, Fraga J, Cox R, Bandera F, Pomier O, Fonseca C, et al.
Comparison of four DNA extraction methods from cerebrospinal fluid for the
detection of Toxoplasma gondii by polymerase chain reactions in AIDS
patients. Med Sci Monit. 2008;14(3):MT1-6
x Sukthana Y. Toxoplasmic encephalitis. Available at www.intechopen.com
(acessed on December 28th, 2013)
xi Alfonso Y, Fraga J, Fonseca C, Jimenez N, Pinilos T, Dorta-Contreras J, et al.
Molecular diagnosis of Toxoplasma gondii infection in cerebrospinal fluid
from AIDS patients. Cerebrospinal Fluid Res. 2009;6:2
xii Vidal JE, Colombo FA, Penalva AC, Focaccia R Pereira-Chiocola VL. PCR
assay using cerebrospinal fluid for diagnosis of cerebral toxoplasmosis in
Brazilian AIDS patients. J Clin Mcrobiol. 2004;42(10):4756-68
xiii Imran D. Cerebral Toxoplasmosis in RSCM Hospital, Jakarta. Neurology
Department University of Indonesia. 2007 (presentation)

45 Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


46

xiv Kongsiriwattanakul S, Suankratay C. Central nervous system infections in


HIV-infected patients hospitalized at King Chulalongkorn Memorial Hospital.
J Med Assoc Thai. 2011;94(5):551-8
xv Alfonso Y, Fraga J, Jiminez N, Fonseca C, Dorta-Contreras AJ, Coz R, et al.
Detection of Toxoplasma gondii in cerebrospinal fluid from AIDS patients by
nested-PCR and rapid identification of type I allele at B1 gene by RFLP
analysis. Exp Parasitol. 2009;122:203-7
xvi Ellenby MS, Tegtmeyer K, Lai S, Braner DAV. Lumbar Puncture. N Engl J
Med. 2006;355:e12
xvii Ganiem AR, Dian S, Indriarti A, Chaidir L, Wicaksono R, Strum P, et al.
Cerebral Toxoplasmosis mimicking subacute meningitis in HIV-infected
patients : a cohort study from Indonesia. PloS Negl Trop Dis. 2012;7(1):e1994
xviii Joseph P, Calderon MM, Gilman RH, Quispe ML, Cok J, Ticona E, et al.
Optimization and evaluation of PCR assay for detecting Toxoplasmic
encephalitis in patients with AIDS. J Clin Microbiol. 2002;40(12):4499-503
xix Montoya JG, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. Lancet. 2004;363:1965-76
xx Luft BJ, Chua A. Central nervous system toxoplasmosis in HIV :
pathogenesis, diagnosis, and therapy. Curr Infect Dis.2000;2:358-62
xxi Mechain B, Garin YJ, Robert-Gangneux J, Dupoy-Camet J, Derouin F. Lack
of utility of spesific Immunoglobulin G antibody avidity for serodiagnosis of
reactivated toxoplasmosis in immunocompromised patients. Clin Diagn Lab
Immunol. 2000;7:703-5
xxii Colombo FA, Vidal JE, Penalva AC, Hernandez AV, Filho FB, Nogueira
RS, et al. Diagnosis of cerebral toxoplasmosis in AIDS patients in Brazil :
importance of molecular and immunological methods using peripheral blood
samples. J Clin Microbiol. 2005;43(10):5044-47
xxiii Ashburn D. “History and General epidemiology”. Human
Toxoplasmosis. Ed. Ho-Yen DO, Joss AWL. Oxford : Oxford University
Press, 1992:1-25
xxiv Evans R. “Life cycle and animal infection”. Human Toxoplasmosis. Ed.
Ho- Yen DO, Joss AWL. Oxford : Oxford University press, 1992:26-51
xxvTenter AM, Heckeroth AR, Weiss LM. Toxoplasma gondii : from animals to
human. Int J Parasitol. 2000;30:1217-58

Universitas Indonesia

IGG anti..., Yunilda Andriyani, FK UI, 2015


xxvi Kamerkar S, Davis PH. Toxoplasma on the brain : understanding host-
pathogen interactions in chronic CNS infection. J Parasitol Res. 2012:1-10
xxvii Filisetti D, Candolfi E. Immune Response to Toxoplasma gondii. Ann Ist
Super Sanita.2004;40(1):71-80
xxviii Miller CM, Boulter NR, Ikin RJ, Smith NC. The immunobiology of the
innate response to Toxoplasma gondii. Int J Parasitol. 2009;39:23-39
xxix Hegab SM, Al-Mutawa SA. Immunopathogenesis of toxoplasmosis. Clin
Exp Med.2003;3:84-105
xxxFerreira MS, Borges AS. Some aspects of protozoan infections in
immunocompromised patients – a review. Mem Inst Oswaldo Cruz. 2002;
97(4): 443-457
xxxi Biology Exams 4 U. Different types of Immunoglobulin. 2015 Available
at www.biologyexams4u.com/2012/11/different-types-of-immunoglobulins-
igg.html (accesed on February 2nd, 2015)
xxxii Mittal V, Ichhpujani RL. Toxoplasmosis-
an update. Trop Parasitol. 2011;1(1):9-14
xxxiii Nasronudin. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan
Sosial. Surabaya:Airlangga University Press, 2007:1-12
xxxiv WHO. Interim WHO clinical staging of HIV/AIDS and HIV/AIDS care
definitions for surveillance.WHO. 2005
xxxv WHO. HIV/AIDS Programme strengthening health
service to fight HIV/AIDS. WHO. 2007
xxxvi Sarciron ME, Gherardi A. Cytokines involved in toxoplasmic encephalitis.
Scand J Immunol. 2000; 52: 534-43
xxxvii Remington JS, Thulliez P, Montoya JG. Recent developments for
diagnosis of Toxoplasmosis. J Clin Microbiol. 2001;42(3):941-5
xxxviii Pinon JM, Dumon H, Chemla C, Franck J, Petersen E, Lebech M, et al.
Strategy for Diagnosis of Congenital Toxoplasmosis : Evaluation of methods
comparing mothers and newborns and standard methods for postnatal
detection of immunoglobulin G,M, and A antibodies. J Clin Microbiol.
2001;39(6):2267-71
xxxix Derouin F, Leport C, Pueyo S, Morlat P, Letrillart B, Chene G, et al.
Predictive value of Toxoplasma gondii antibody titres on the occurrence of
toxoplasmic encephalitis in HIV-infected patients. AIDS. 1996;10:1521-27
xl Sakamoto N, Maeda T, Mikita K, Kato Y, Yanagisawa N, Suganuma A, et al.
Clinical presentation and diagnosis of toxoplasmic encephalitis in Japan.
Parasitol Int. 2014;63:701-4
xli Wallon M, Franck J, Thulliez P, Huissoud C, Peyron F, Garcia-Meric P,
Kieffer F. Accuracy of Real-Time Polymerase Chain Reaction for
Toxoplasma gondii in amniotic fluid. Obstet Gynecol. 2010;115(4):727-33
xlii Montoya JG. Laboratory diagnosis of Toxoplasma gondii infection and
toxoplasmosis. J Infect Dis. 2002;185:873-82
xliii Ditjen PP & PL Kemenkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. September 2014
xliv Deisenhammer F, Bartos A, Egg R, Gilhus NE, Giovannoni, Rauer S, et
al. “Routine Cerebrospinal Fluid (CSF) Anlysis”. European Handbook of
Neurological Management. Ed. Gilhus NE, Barnes MP, Brainin M Volume 1.
2nd ed.Chicester:Blackwell Publishing, 2011:5-17
xlv Magnero AM, Sini V, Ongolo-zogo P, Fonsah JY, Njamshi AK, Kaptue L.
Clinical, brain imaging and therapeutic evaluation of Toxoplasma encephalitis
in HIV-infected patients in Yaounde. Retrovirology. 2012;9(Supp 1):P145
xlvi Silaban D, Ritarwan K, Dhanu R. Ensefalitis toksoplasmosis pada
penderita HIV/AIDS. Majalah Kedokteran Nusantara. 2008;41(2):151-4
xlvii Jayawardena S, Singh S, Brzyantseva O, Clarke H. Cerebral
Toxoplasmosis in adult patients with HIV infection. Hosp Physician. 2008:17-
24
xlviii Diguvinti S, Ramarao P, Chaitanya PSK, Dara C, Mohan NM. Cerebral
toxoplasmosis in HIV mimicking as primary CNS lymphoma/tuberculoma : A
case report. Int J Health Sci Res. 2014;2(3):867-70
xlix George SM, Malik AK, Al Hilli F. Cerebral toxoplasmosis in an HIV
positive patient : A case report and review of pathogenesis and laboratory
diagnosis. Bahrain Med Bull. 2009;31(2):1-5
l Wig N, Wali JP. Central Nervous System and HIV/AIDS. JIACM.
2005;5(2):163-8
li Octaviani D. Respon terapi empiris pada pasien HIV-AIDS yang diduga
ensefalitis toksoplasma di RSCM dan faktor yang mempengaruhinya.
Departemen Neurologi FKUI. 2013
lii Zarrin M, Mahmoudabadi AZ. Central nervous system fungal infection : A
review article. Jundishapur J Microbiol. 2010;3(2):41-47
liii Starkey J, Moritani T, Kirby P. MRI of CNS fungal infections : Review of
aspergillosis to histoplasmosis and everything in between. Clin Neuroradiol.
2014. 24:217-30
liv Mzileni MO, Longo-Mbenza B, Chephe TJ. Mortality and causes of death in
HIV-positive patients receiving anti retroviral therapy at Tshepang Clinic in
Doctor George Mukhairi Hospital. Polskie Archiwum Medycyny Wwnetrzenej.
2008;118(10):548-53
lv Rajagopalan N, Suchitra JB, Shet A, Khan ZK, Martin-Gracia J,
Nonnemacher MR, et al. Mortality among HIV-infected patients in resource
limited settings : A case controlled analysis of in patients at a community care
center. Am J Infect Dis. 2009;5(3):219-24
lvi WHO. Guidelines on co-trimoxazole prophylaxia for HIV Related infections
among children, adolescent and adults. WHO. 2006
lvii Grimwade K, Swingler GH. Co-trimoxazole prophylaxis for opportunistic
infectons in adults with HIV. The Cochrane Collaboration. 2009
lviii Beraud G, Francois P, Fotzer A, Abel S, Liautaud B, Smadja D, et al. Co-
trimoxazole for treatment of cerebral toxoplasmosis : An observational cohort
study during 1994-2006. Am J Trop Med Hyg. 2009;80(4):583-7
lix Nissapatorn V, Lee C, Quek KF, Leong CL, Mahmud R, Abdullah KA.
Toxoplasmosis in HIV/AIDS patients : A current situation. Jpn J Infect Dis.
2004;57:160-5
lx Meira CS, Vidal JE, Costa-Silva TA, Frazati-Gallina N, Ciocola VLP, et al.
Immunnodiagnosis in cerebrospinal fluid of cerebral toxoplasmosis and HIV-
infected patients using Toxoplasma gondii excreted/secreted antigens. Diagn
Microbiol Infect Dis. 2011;71:279-85
lxi Meira CS, Vidal JE, Costa-Silva TA, Motoie G, Gava R, Hiramoto RM, et al.
IgG4 spesific to Toxoplasma gondii excretory/secretory antigens in serum
an/or cerebrospinal fluid support the cerebral toxoplasmosis diagnosis in HIV-
infected patients. J Immunol Methods. 2013;395:21-28

Anda mungkin juga menyukai