PENDAHULUAN
• Latar Belakang
Toxoplasma gondii merupakan protozoa intraselular obligat yang tersebar di
seluruh dunia. Bereplikasi pada hampir seluruh sel berinti dalam tubuh pejamu.
Hospes definitif adalah kucing dan golongan feline lainnya. Manusia, hewan
mamalia, dan burung berperan sebagai hospes perantara. Manusia umumnya
mendapat infeksi akibat tertelan ookista dari tinja hospes definitif atau kista
bradizoit dari daging mentah atau kurang matang, serta bayi yang ibunya
mendapat infeksi T. gondii saat hamil.1,2
Infeksi yang diakibatkannya disebut toksoplasmosis, dan diperkirakan sekitar
sepertiga populasi dunia terinfeksi T. gondii. Prevalensi dari tiap negara di dunia
berbeda, mulai dari 10% sampai 80%.1 Prevalensi seropositif toksoplasmosis pada
individu imunokompeten di Asia Tenggara berkisar antara 2-75%, 3 sedangkan di
Jakarta berkisar 70%.4
Pada pejamu imunokompeten, umumnya asimptomatik. Sering kali,
seseorang diketahui telah terinfeksi T. gondii hanya dari pemeriksaan serologi
darah dan bukan akibat gejala klinis yang ditimbulkannya. Kadar IgM akan
meningkat pada awal infeksi, dan akan menurun setelah 1-6 bulan kemudian.
Kadar IgG biasanya akan terdeteksi setelah 1-3 minggu dari awal peningkatan
kadar IgM, kemudian akan menetap selama 2 hingga 3 bulan, selanjutnya
menurun namun tidak pernah negatif, dan menetap seumur hidup.1
Toksoplasmosis akan menjadi masalah bahkan dapat mengancam jiwa bila
infeksi terjadi pada orang imunokompromi, misalnya pada orang yang mendapat
terapi imunosupresi atau penderita AIDS.1,5 Ensefalitis toksoplasma (ET) adalah
inflamasi di sistem saraf pusat (SSP) yang terjadi akibat reaktivasi infeksi laten T.
gondii, dan merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien AIDS, terutama
pada stadium akhir.3,6,7,8,9,10 Pada SSP, akan dijumpai gambaran ensefalitis nekrotik
multifokal yang akan berkembang menjadi abses parenkim dengan nekrosis yang
dikelilingi sel-sel inflamasi. Infeksi ini cukup berbahaya dan mengancam jiwa
seiring dengan menurunnya sistem imun yang semakin berat.6
1
Universitas Indonesia
2
Universitas Indonesia
Pemeriksaan serologi IgM anti-Toxoplasma dilakukan untuk menegakkan
infeksi T. gondii pada mereka yang imunokompeten, sedangkan pada penderita
HIV & AIDS tidak begitu bermakna, 16 karena umumnya infeksi terjadi akibat
reaktivasi infeksi laten, sehingga yang diperiksa adalah kadar IgG. 17 Tetapi, ada
studi yang mengatakan pemeriksaan IgG anti-Toxoplasma pada AIDS tidak
terlalu bermakna18,19 Walaupun begitu, studi lain menyatakan sebaliknya.
Menurut Colombo, dkk, kadar IgG anti-Toxoplasma yang tinggi mengindikasikan
terjadinya ET atau pasien tersebut berisiko mengalami infeksi tersebut.20
Pemeriksaan kadar IgG anti-Toxoplasma pada cairan organ yang terinfeksi
T. gondii jarang dilakukan. Selama ini studi-studi lebih banyak yang memeriksa
kadar IgG anti-Toxoplasma pada serum. Pemeriksaan cairan aquous pada mata
untuk menilai kadar IgG anti-Toxoplasma telah dilakukan untuk menegakkan
diagnosis toksoplasmosis mata atipikal.19 Apakah IgG anti-Toxoplasma pada ET
juga dilepaskan ke CSS sehingga bisa dideteksi, dan bila bisa dideteksi apakah
peningkatan kadarnya bisa dijadikan sebagai alat diagnostik ET? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, maka dilakukan penelitian ini.
Oleh karena masih jarangnya penelitian yang menggunakan CSS untuk
penegakan diagnosis ET dan untuk mengetahui apakah kadar IgG anti-
Toxoplasma pada CSS bermakna dalam menegakkan diagnosis ET, maka
penelitian mengenai hal tersebut dilakukan pada pasien HIV & AIDS dengan
dugaan meningitis.
• Masalah :
• Bagaimana kadar IgG anti-Toxoplasma pada CSS pasien HIV & AIDS
dengan gejala meningitis?
1.3. Tujuan Umum : analisis pemeriksaan IgG anti-Toxoplasma pada CSS untuk
mendeteksi ET pada pasien HIV & AIDS dengan gejala meningitis atau gangguan
neurologis.
• Tujuan Khusus :
• Mengetahui profil IgG anti-Toxoplasma pada CSS yang berasal dari
pasien terinfeksi HIV & AIDS dengan defisit neurologis.
• Mengetahui status imun pasien-pasien terinfeksi HIV & AIDS dengan
defisit neurologis.
• Mengetahui hubungan pemeriksaan radiologi dan diagnosis klinis terhadap
IgG
IgG anti-
Toxopla
sma.
Menget
ahui
hubung
an BAB 2
riwayat TINJAUAN PUSTAKA
pemberi
an
terapi
toksopla 4.1 Biologi Toxoplasma gondii
smosis Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada tahun 1908 oleh dua
dan
kelompok peneliti yaitu Charles J.H. Nicolle dari Institut Pasteur di Tunisia, dan
anti-
Toxopla Alfonso Splendore di Brazil. Keduanya menemukan T. gondii dari tubuh hewan,
sma. masing-masing dari tikus dan kelinci. Toxoplasma berasal dari bahasa Yunani,
toxos yang berarti mangkuk atau lekukan, dan plasma yang berarti hidup,
sedangkan gondii sepertinya akibat salah penyebutan nama ilmiah hewan
ditemukannya Toxoplasma, yaitu gundi (sejenis tikus tanah).8
Toxoplasma gondii termasuk protozoa, filum Apicomplexa, klas
Sporozoasida, famili Eimeriidae, dan genus Toxoplasma. Kasus toksoplasmosis
kongenital untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1923, dan pada orang
dewasa ditemukan pada tahun 1940. Siklus hidup lengkapnya diketahui pada
tahun 1969 dengan kucing atau golongan feline lainnya sebagai hospes definitif,
sedangkan manusia serta hewan lainnya (burung, tikus, hewan liar, hewan ternak,
dan mamalia laut) berperan sebagai hospes perantara. 8,21 Karena banyak hewan
yang bisa berperan sebagai hospes perantara, hal itu menjadi penting baik pada
manusia maupun hewan, sebab merupakan sumber penularan.
Dalam siklus hidupnya ada tiga stadium infeksius T. gondii, yaitu ookista
(yang terdapat pada tinja kucing), takizoit (bentuk aktif dan membelah cepat), dan
bradizoit (bentuk inaktif dan dorman pada tubuh hospes perantara). Ookista
berbentuk oval, berukuran 9 x 13 µm, terdiri dari dua sporokista dengan masing-
masing mengandung empat sporozoit. Takizoit berukuran 5 x 2 µm berbentuk
seperti bulan sabit, dan bradizoit mirip seperti takizoit tetapi tidak begitu lonjong
dan lebih pendek dibanding takizoit. Bradizoit membentuk kista jaringan, dalam
satu kista ditemukan dua bahkan sampai ribuan bradizoit. Ukuran kista berkisar
antara 10-100 µm.1,8,22,23
Toxoplasma gondii terdiri dari strain tipe I, II, dan III yang berbeda tingkat
virulensi dan epidemiologinya. Strain yang paling sering dijumpai pada pasien
terinfeksi HIV dan AIDS adalah tipe II, sedangkan tipe III lebih sering ditemukan
5 Universitas Indonesia
6
pada hewan. Pada penderita penyakit kongenital, yang paling sering dijumpai
adalah tipe I dan II.17
Universitas Indonesia
• Imunitas Humoral
Antibodi spesifik akan menghambat perlekatan parasit pada reseptor sel
pejamu dan mempengaruhi pembentukan kista jaringan. Respon imun humoral
dapat dideteksi di cairan tubuh dan jaringan terinfeksi. Pada infeksi intraokular,
ditemukan kadar antibodi yang lebih tinggi pada cairan vitreous dibandingkan
dengan kadarnya di serum. Hal itu membuktikan sedang terjadi proses aktif
infeksi, apakah itu fase akut atau reaktivasi.27
Dalam dua minggu setelah infeksi, akan dijumpai peningkatan kadar IgG,
IgM, IgA, dan IgE terhadap T. gondii. Antibodi yang pertama muncul pada awal
infeksi adalah IgM. Akan tetapi kadarnya hanya akan meningkat dalam satu
minggu pertama hingga 28 hari pasca infeksi primer, kemudian menetap dan
menurun setelah delapan bulan infeksi, bahkan menghilang pada 25% pasien.
Pembentukan IgM akan dihambat bila IgG telah terbentuk. IgM merupakan
aktivator terbaik bagi sistem komplemen. IgM juga memiliki struktur yang mudah
mengalami agglutinasi sehingga berguna dalam diagnosis serologi. Antigen utama
yang menjadi target antibodi ini adalah protein permukaan parasit.1,17,25,27 Adanya
IgM anti-Toxoplasma pada bayi baru lahir, menandakan bayi tersebut
kemungkinan besar menderita toksoplasmosis kongenital. Tetapi, bila ditemukan
IgG anti-Toxoplasma, kemungkinan bisa berasal dari ibu atau bayi itu sendiri,
sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan toksoplasmosis
kongenital.17
IgG adalah antibodi kedua yang muncul berikutnya. Kadarnya bisa
dideteksi di serum setelah dua minggu pasca infeksi primer, dan akan semakin
meningkat hingga 6-14 bulan hingga kemudian menurun perlahan, tetapi akan
tetap positif seumur hidup. Antibodi ini berperan dalam proses antibody-
dependent cytotoxicity (ADCC) atau opsonisasi bersama dengan monosit
makrofag dan sel polinuklear, atau melakukan sitolisis yang dimediasi oleh
komplemen atau sel NK. IgG juga berperan penting dalam proteksi janin karena
kemampuannya menembus plasenta. Antigen permukaan parasit juga menjadi
target utama antibodi ini.25,27 Pemeriksaan antibodi IgG anti-Toxoplasma penting
pada pasien imunokompromi, karena peningkatan kadar IgG menunjukkan
reaktivasi infeksi laten, sedangkan pemeriksaan kadar IgM tidak terlalu penting
pada pasien imunokompromi karena umumnya tidak terjadi peningkatan kadar
antibodi baik itu pada infeksi aktif atau laten.17
IgM
Gambar 2.2. Morfologi IgM dan IgG (dimodifikasi dari www.biologyexam4u.com)29
IgA dapat ditemukan pada mukosa saluran cerna dan serum. IgA pada
permukaan mukosa kemungkinan besar berperan untuk melindungi pejamu dari
reinfeksi T. gondii. Antibodi ini tidak dapat melalui plasenta, sehingga
peningkatan kadarnya bila IgM tidak dapat diperiksa menandakan adanya infeksi
kongenital. Tidak banyak studi yang meneliti peran IgE pada toksoplasmosis.
Analisis mengenai IgE umumnya disertai dengan analisis terhadap IgM dan IgA.
Secara umum, antibodi merupakan pertahanan lini pertama terhadap
infeksi. Bekerja dengan cara mengeliminasi takizoit ekstrasel, diikuti lisis sel yang
terinfeksi. Antibodi membatasi multiplikasi dengan cara melisis parasit yang
dimediasi oleh komplemen. Selain itu juga aktif dalam proses opsonisasi atau
fagositosis oleh makrofag.17,25
.
.2.5 Mekanisme Sistem Imun terhadap Toxoplasma gondii di SSP
Toxoplasma gondii memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan sistem
imun tubuh pejamu sehingga mampu memanipulasi sistem imun. Aktivitas sel
Th1 terpicu selama masa infeksi akut. Proses masuknya T. gondii ke dalam SSP,
masih belum begitu jelas. Dari studi pada tikus percobaan, tampak bahwa sel
leukosit yang terinfeksi T. gondii masuk ke dalam SSP menembus sawar darah
otak.30 Bila terjadi reaktivasi infeksi laten di otak pada pasien AIDS, maka akan
terjadi Ensefalitis toksoplama.
Sel dendritik, yang dapat memproduksi IL-12, merupakan aktivator utama
respons imun sel Th1 pada infeksi T. gondii. Aktivasi makrofag akan
menghambat dan membunuh parasit intraselular. Akan tetapi pada infeksi T.
gondii, APC dijadikan sebagaimana halnya “Kuda Trojan” untuk memanipulasi
sistem imun pejamu. Hal inilah yang memudahkan parasit dapat mencapai SSP
dan organ visera lainnya.3,17,30
Pada infeksi akut, takizoit akan menginfeksi astrosit, neuron, dan sel
mikroglial di SSP. Saat parasit memasuki SSP, diikuti pula dengan masuknya sel
CD4+ dan CD8+ dengan mekanisme yang belum dapat dipahami. Hal inilah yang
akan mengontrol infeksi T. gondii di SSP. Dikatakan juga, astrosit dan mikroglial
mampu menghambat replikasi parasit saat terjadi reaktivasi. Itulah sebabnya
mengapa neuron merupakan sel yang paling dominan pada infeksi parasit ini.
Selama masa infeksi akut di SSP, pejamu harus berusaha mengontrol
keseimbangan antara proliferasi parasit dan meminimalisir efek akibat induksi
sistem imun. Dalam hal ini interleukin-10 (IL-10) diperlukan untuk mencegah
imunopatologi pada infeksi primer, tetapi tidak pada saat infeksi sekunder atau
respons memori. Astrosit dan mikroglial menghasilkan suatu penghambat matrix
metalloproteinase (MMP) yang disebut sebagai TIMP-1. Dengan masuknya sel T
pada SSP, akan menyebabkan peningkatan ekspresi MMP-8 dan MMP-10, yang
berperan untuk remodeling jaringan, migrasi sel, dan inflamasi. Bila TIMP-1
tidak ada, maka jumlah parasit dapat dikurangi hingga empat kali, akan tetapi
dapat terjadi perusakan jaringan yang tidak terkontrol pada SSP.24
Istilah AIDS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1982 untuk survei
epidemiologi. AIDS dimaksudkan untuk menguraikan berbagai sindroma klinis,
infeksi opportunistik spesifik, atau keganasan yang timbul akibat infeksi HIV, dan
juga dijadikan sebagai pertanda bahwa infeksi HIV lanjut telah terjadi. Pada
pelaksanaannya, sering terjadi kebingungan antara pembagian berdasarkan
stadium klinis dan istilah AIDS. Berdasarkan hal ini, maka WHO menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan pasien terinfeksi HIV/AIDS adalah penderita yang
memiliki gejala pada stadium klinis 3 atau 4, atau bila dilakukan pemeriksaan
CD4+, pada stadium klinis manapun dengan kadar CD4 <350/mm3. 33
talamus.20,30,34
Manifestasi ET pada pasien HIV/AIDS biasanya terjadi jika kadar CD4+
<100 sel/mm dengan gejala bervariasi mulai dari proses subakut bertahap selama
beberapa minggu hingga acute confusional state, dengan atau tanpa defisit
neurologik fokal. Gejala klinis yang timbul seperti perubahan status mental,
kejang, defisit motorik fokal, sakit kepala bilateral yang tidak responsif terhadap
analgesik, disorientasi, hemiparesis, perubahan refleks, dan koma. Selain itu
dijumpai manifestasi neuropsikiatrik hingga korioretinitis, serta komplikasi yang
berhubungan dengan adanya infeksi aktif di paru-paru dan jantung. 30,34
• Diagnosis Laboratorium
Diagnosis infeksi T. gondii dapat dilakukan secara langsung atau tidak
langsung. Pemeriksaan secara tidak langsung biasanya dengan serologi, sedangkan
secara langsung dengan PCR dan pemeriksaan histologi (histokimia).
Jenis
antibodi/ Skrining Wanita Hamil Neonatus Peny.Mata Imunokompromi
Tes
IgG + + (identifikasi + (antibodi + (titer rendah + (identifikasi
wanita berisiko ibu dijumpai umumnya pada pasien berisiko
dan yang hingga umur pasien reaktivasi,
terlindungi) 12 bulan; reaktivasi misalnya pasien
pembedaan peny.kongenital AIDS,
IgG maternal ; produksi transplantasi
dan fetal antibodi sumsum tulang)
dengan intraokular
Western Blot (rasio titer
atau ELISA) antibodi okular
dan darah
IgG avidity - + (hasil aviditas - + (hasil aviditas -
tinggi tinggi
menandakan menandakan
• Pengobatan
Pemberian terapi pre-emptive sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
imunokompromi dengan serologi positif terhadap T. gondii. Apabila gejala klinis
telah menunjukkan adanya gangguan pada SSP, maka sebaiknya segera dilakukan
pemeriksaan dengan CT-Scan atau MRI, walaupun dengan pemeriksaan neurologi
tidak mengindikasikan telah terjadi defisit fokal.17
Bila pada pemeriksaan CT-Scan atau MRI ditemukan gambaran lesi otak
yang khas toksoplasmosis, antibodi IgG positif terhadap T. gondii, dan adanya
imunodefisiensi berat (misal AIDS), maka diagnosis ET dapat ditegakkan dan
terapi empirik dapat diberi.
atau
Klindamisin 600 mg (4x/hari) **
Oral atau intravena
Trimetoprim 5 mg/kg oral atau iv **
(komponen trimetoprim-
sulfametoksazol) 2x/hari
Pirimetamin + **
Regimen leukovorin + salah satu
alternatif di bawah ini
Klarithromycin 1g 2x/hari (oral) **
Atovaquon 750 mg 4x/hari (oral) **
Azitromisin 1200-1500 mg/hari(oral) **
Dapson 100 mg/hari (oral) **
Tabel 2.3. Terapi Ensefalitis Toksoplasma pada Pasien AIDS
(disadur dari Montoya JG. Toxoplasmosis. 2004)19
** = lama pemberian sama seperti pirimetamin
Perkembangan Aseksual di
enterosit
IgM ↑↑
Hospes Perantara
.............Bersambung
..........Sambungan
HIV/AIDS
(Stadium Klinis 4 atau
CD4= <200 sel/mm3)
Infeksi
Toxoplasma gondii
Radiologi
IgG Toxoplasma
PCR
IgGToxoplasma
anti-Toxoplasma
pada CSS/Darah
No
n-
inf
eks
i
Tu
mo BAB 3
r
Kel HASIL PENELITIAN
ain
an
sya 2.4. Karakteristik Subyek Penelitian
raf
lain 2.4.1.Jenis Kelamin dan Umur
nya Subyek penelitian adalah pasien AIDS yang diduga meningitis dan dirawat
di RSCM Jakarta. Sampel penelitian adalah CSS dari pasien AIDS tersebut yang
merupakan koleksi Divisi Mikologi Departemen Parasitologi FKUI sejak tahun
2013 hingga Maret 2015.
Dari seluruh sampel yang ada, sebanyak 50 sampel memenuhi kriteria
inklusi. Subyek penelitian terutama didominasi oleh laki-laki 45 orang (90%),
sedangkan perempuan 5 orang (10%). Umur pasien pada penelitian ini bervariasi,
dengan usia terendah 20 tahun dan tertinggi 57 tahun, dan median 34 tahun.
(Tabel 4.1)
• Kadar CD4+
Kadar CD4+ bervariasi, dengan kadar terendah 1 sel/mm3, tertinggi 198
sel/mm3, dan median 31,5 sel/mm3. Kadar CD4+ berdasarkan jenis kelamin dan
kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.1.
28 Universitas Indonesia
berdiri sendiri dan merupakan gabungan dari beberapa lainnya. Pada promiskuitas
tidak diketahui apakah berasal dari hubungan heteroseksual atau homoseksual.
Tabel 4.2 memperlihatkan faktor risiko infeksi HIV & AIDS pada subyek
penelitian ini.
Universitas Indonesia
Tabel 4.4. Analisis CSS, Kadar CD4+, dan Gejala Neurologis, Berdasarkan
IgG Anti-Toxoplasma
IgG Anti-Toxoplasma
Tinggi Rendah Negatif
Median n Median n Median n
(min-max) (min-max) (min-max)
Analisis CSS
· Sel PMN (sel/µL) 3 (0-16) 5 10 (1-10) 5 1,5 (0-441) 6
· Sel MN (sel/µL) 89,5 (9-160) 5 9 (6-9) 5 12 (6-49) 6
· Protein (mg/dL) 203,5 (25-442) 5 30 (20-45) 5 89,5 (6-202) 6
· Glukosa CSS 38 (23-61) 5 52 (43-53) 5 35 (22-54) 6
(mg/dL)
· Glukosa Serum 103 (88-127) 4 94 (92-111) 3 83,5 (61-122) 4
(mg/dL)
CD4+ (sel/mm3) 26 (10-168) 5 31 (1-192) 19 54,5 (1-198) 26
Gejala Neurologis
1 Sakit Kepala 5 12 14
2 Penurunan 4 9 11
Kesadaran
3 Kelemahan Sisi 1 4 10
Tubuh
4 Gangguan Fungsi 1 1 4
Luhur
5 Kejang 0 3 4
6 Mual Muntah 1 2 5
7 Gangguan 0 4 3
Pandangan
Dari Tabel 4.4, sampel positif IgG yang disertai hasil analisis jumlah sel
PMN, MN, protein, dan kadar glukosa CSS ada 10 dari 16 sampel. Untuk kadar
glukosa serum hanya 7 dari 11 sampel. Median sel MN yang tinggi kadar IgG
89,5 sel/µL, dan protein 203,5 mg/dL. Median CD4+ untuk yang tinggi kadar IgG
26 sel/mm3, dan yang rendah 31 sel/mm 3, sedangkan negatif 54,5 sel/mm3.
Berdasarkan median, rasio glukosa CSS/serum pada kadar tinggi 0,37, kadar
rendah 0,55, dan negatif 0,42.
Berdasarkan sampel yang positif IgG, gejala klinis sehubungan gangguan
neurologis yaitu sakit kepala 17 (70,8%), penurunan kesadaran 13 (54,2%),
kelemahan sisi tubuh 5 (20,8%), gangguan fungsi luhur 2 (8%), kejang 3 (12,5%),
mual muntah 3 (12,5%), dan gangguan pandangan 4 (16,7%).
ET
ET
Tinggi
IgG Anti-Toxoplasma
Telah dilakukan studi untuk melihat profil IgG anti-Toxoplasma dari pasien AIDS
yang mengalami defisit neurologis. Sampel berasal dari cairan otak pasien yang
diduga meningitis dan dirawat di RSCM Jakarta. Sampel dikirim ke Departemen
Parasitologi FKUI selama rentang tahun 2013 hingga Maret 2015. Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi adalah 50 sampel, hal ini melebihi jumlah sampel
minimal yang telah ditetapkan yaitu 39 sampel.
Subyek penelitian didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu 45 orang
(90%), dan perempuan hanya 5 orang (10%). Berdasarkan laporan dari
Kementerian Kesehatan RI September 2014, penderita AIDS laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan yaitu 65% dan 35%.41 Umur subyek penelitian
berada pada usia 20 sampai 57 tahun, dengan nilai tengah 34 tahun. Hasil ini juga
sesuai dengan laporan statisitik Kementerian Kesehatan RI 2014 bahwa rentang
usia penderita AIDS usia produktif (20-59 tahun) berkisar 91% dimana usia
terbanyak berada pada kelompok umur 20-39 tahun (74%).41 Oleh karena itu,
sampel penelitian ini dapat mewakili jenis kelamin dan usia terbanyak penderita
AIDS di Indonesia.
Penderita AIDS yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang
menderita HIV stadium 4, dimana kadar CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 atau
kurang dari 15%.32 Pada penelitian ini, kadar terendah 1 sel/mm3 dan tertinggi 198
sel/mm3, dengan nilai tengah 31,5 sel/mm 3. Hal ini sesuai dengan studi oleh
Derouin, dkk yang menyatakan pemeriksaan untuk menilai kejadian ET sebaiknya
dilakukan pada mereka dengan kadar CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 untuk
melihat kemungkinan reaktivasi subklinikal kista dorman Toxoplasma.37
Faktor risiko terbesar seseorang mendapat infeksi HIV & AIDS menurut
laporan Kementerian Kesehatan 2014 berasal dari hubungan heteroseksual 62%,
sedangkan IDUs berada pada peringkat kedua yaitu 15,3%. 41 Pada penelitian ini,
IDUs merupakan faktor risiko terbesar dibandingkan hubungan seksual.
Kemungkinan karena informasi yang diperoleh sebagian besar berasal dari pihak
39 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1.1 Kesimpulan
1.1.1 Profil IgG anti-Toxoplasma pada penderita AIDS dengan meningitis
adalah 24 (48%) positif dan 26 (52%) negatif. Dari IgG positif, 5
(20,83%) kadar tinggi, dan 19 (79,17%) kadar rendah.
1.1.2 Median kadar CD4+ IgG positif tinggi 26 sel/mm3, rendah 31 sel/mm3,
dan negatif 54,5 sel/mm3. Dengan hasil uji korelasi terbalik antara
kadar CD4+ dan IgG anti-Toxoplasma
1.1.3 Tidak ada perbedaan bermakna antara kadar IgG anti-Toxoplasma
dengan hasil pencitraan maupun diagnosis klinis.
1.1.4 Tidak ada hubungan antara kadar IgG anti-Toxoplasma dengan riwayat
terapi profilaksis ko-trimoksazol.
1.2 Saran
1.2.1 Diperlukan penelitian lanjutan yang disertai hasil pemeriksaan serologi
darah IgG anti-Toxoplasma.
1.2.2 Dilakukan penelitan prospektif untuk melihat hubungan antara kadar
IgG anti-Toxoplasma dengan kejadian ET pada pasien HIV/AIDS.
1.2.3 Sebaiknya dilakukan penelitian bersama antara beberapa sentra
HIV/AIDS sehingga didapatkan jumlah sampel yang cukup besar.
1.2.4 Melengkapi data rekam medis rumah sakit sehingga tidak kesulitan
dalam proses pencarian data pasien.
1.2.5 Menjadi bahan pertimbangan bagi klinisi dalam menegakkan diagnosis
dan memilih alat diagnostik yang tepat.
44 Universitas Indonesia
45 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia