NIP : 198307212008012007
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM
MALIK
MEDAN
2011
Daftar Isi i
Daftar Singkatan iii
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar v
Daftar Lampiran vi
Abstrak vii
Abstract viii
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Tujuan 2
I.3. Manfaat 2
II. LAPORAN KASUS
II.1. Identitas Pribadi 3
II.2. Riwayat Perjalanan Penyakit 3
II.3. Pemeriksaan Fisik 3
II.4. Pemeriksaan Neurologis 4
II.5. Tes Kuantitatis 5
II.6. Pemeriksaan Penunjang 5
II.7. Kesimpulan Pemeriksaan 6
II.8. Diagnosis 6
II.9. Penatalaksanaan 6
II.10. Prognosis 6
III. TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Definisi 7
III.2. Epidemiologi 7
III.3. Klasifikasi 7
III.4. Patofisiologi 10
III.5. Etiopatogenesis 17
III.6. Gambaran Klinis 21
III.7. Prosedur Diagnostik 22
III.8. Diagnosis Banding 28
III.9. Penatalaksanaan 29
III.10. Prognosis 39
IV. DISKUSI KASUS 41
ACh : Acetylcholine
CT : Computed tomography
MG : Myasthenia gravis
DAFTAR TABEL
Case Report : A 43-year-old man was admitted to the hospital with weakness of
left eye opening since 2 months berfore admission and worsened since the last 1
month.The weakness was improved in the morning or after the patient got rest.
Neurologic examinaion revealed ptosis and diplopia with quantitative test.
Repetitive nerve stimulation test showed decremental response that fitted
myasthenia gravis. The patient was treated with pyridostigmine 60 mg and
prednisone 5 mg three times daily and got improved.
Discussion and Conclusion : The diagnosis of myasthenia gravis was based on history
and neurologic examination of fluctuating weakness and neurophysiologic examination.
The treatment consists of anticholinesterase inhibitor and immunosuppressive with
corticosteroid as the first choice.
I.2. TUJUAN
Laporan kasus ini dibuat untuk melaporkan satu kasus myasthenia gravis
dan membahas definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis, prosedur
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, dan prognosis penderita
myasthenia gravis.
I.3 MANFAAT
Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan
mengenai definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis, penegakan
diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari penderita myasthenia gravis.
II.8. DIAGNOSIS
Diagnosis Fungsional : Ptosis OS
Diagnosis Anatomis : Neuromuscular junction
Diagnosis Etiologis : Autoimun
Diagnosis Banding : Ptosis OS ec :
1. Myasthenia gravis
2. Botulismus
3. Brainstem stroke
Diagnosis kerja : Myasthenia gravis
II.9. PENATALAKSANAAN
Pyridostigmin bromide 3 x 60 mg
Prednison 3 X 5 mg
II.10. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
III.1. DEFINISI
Myasthenia gravis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan gejala
kelemahan yang berfluktuasi yang melibatkan satu atau beberapa otot skelet yang
disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin nikotinik pada area post-
synaptic pada neuromuscular junction (NMJ).3
III.2. EPIDEMIOLOGI
Myasthenia gravis adalah kelainan pada NMJ yang paling sering dijumpai.
Insidensi tahunan dilaporkan sekitar 7.40 per satu juta penduduk (wanita 7.14 dan
laki-laki 7.66) dan tingkat prevalensi sekitar 70.63 per satu juta penduduk (wanita
81.58; laki-laki 59.39). Myasthenia gravis dapat dijumpai pada setiap usia, namun
dijumpai puncak bimodal, dengan insiden puncak pertama adalah pada dekade
ketiga (terutama mengenai wanita) dan puncak kedua pada dekade keenam dan
ketujuh (terutama mengenai laki-laki).1,2 Suatu tinjauan meta analisis
menunjukkan bahwa rentang insidensi MG adalah 1.7 hingga 21.3 kasus per satu
juta penduduk per tahun, dengan rentang prevalensi adalah 15 hingga 179 per satu
juta penduduk. Insidensi pada kedua jenis kelamin meningkat seiring pertambahan
usia, dengan puncak 60-80 tahun, namun terdapat kecenderungan jenis kelamin
laki-laki pada kelompok usia yang lebih tua.Tingkat mortalitas nya adalah 0.06
hingga 0.89 per satu juta penduduk per tahun.8
III.3. KLASIFIKASI
Myasthenia gravis dapat diklasifikasikan berdasarkan usia saat onset,
dijumpai atau tidaknya anti-AChR antibodies, keparahan dan etiologi penyakit.1
1. Usia saat onset
Myasthenia gravis dapat dibagi menjadi transient neonatal dan adult
autoimmune. Transient neonatal MG disebabkan oleh transfer antibodi anti-AChR
melalui plasenta yang kemudian bereaksi dengan AChR pada neonatus. Hanya 10-
15% bayi dengan antibodi ini menunjukkan gejala MG (hipotonia, menangis
lemah, gangguan pernafasan, dll) dalam beberapa jam pertama setelah lahir.
3. Keparahan Penyakit
Osserman mengklasifikasikan MG pada dewasa kedalam 4 kelompok,
berdasarkan beratnya penyakit, yaitu :1
1. Ocular Myasthenia, dimana hanya mengenai otot-otot okular,
2. Generalized Myasthenia gravis, (a) ringan, (b) sedang,
3. Generalized Myasthenia gravis Berat,
4. Myasthenia Krisis dengan gagal nafas
Pada tahun 1997 Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari
Myasthenia gravis Foundation of America (MGFA) membentuk gugus tugas
untuk membuat klasifikasi dan penilaian outcome MG yang bertujuan
mendapatkan keseragaman dalam pencatatan dan pelaporan hasil studi atau riset
dari MG.1
4. Etiologi Penyakit
Terdapat 4 kelas berdasarkan etiologinya :
1. Acquired autoimmune
2. Transient neonatal disebabkan transfer maternal dari antibodi anti-AChR.
3. Drug Induced : D-penicillamine merupakan prototipe obat yang dapat
mencetuskan MG. Presentasi klinis tampaknya identik dengan acquired
autoimmune MG dan antibodi terhadap AChR dapat dijumpai. Obat lain
yang dapat menyebabkan kelemahan yang menyerupai MG atau dapat
III.4. PATOFISIOLOGI
III.4.1. Anatomi Neuromuscular Junction Normal
Sebelum memahami tentang MG, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi
normal NMJ sangatlah penting.Terdapat tiga komponen penting pada NMJ, yaitu
presinaptik, celah sinaptik dan postsinaptik.1,4,7,10
Presinaptik
Komponen presinaptik terdiri dari ujung saraf motorik dan struktur yang
terkandung di dalamnya. Asetilkolin disintesis di terminal saraf dari asetil
KoA dan kolin oleh kerja enzim choline transferase. Asetilkolin terdapat dalam
vesikel dan dilepaskan ke celah sinaptik jika terdapat impuls saraf. Setiap vesikel
berisi sekitar 8000-13000 molekul asetilkolin, yang disebut ‘quanta’. Pelepasan
asetilkolin ke celah sinaptik akibat stimulus saraf membutuhkan kalsium dan
proses ini disebut stimulus-secretion coupling. Influks kalsium terjadi melalui
saluran kalsium yang voltage-gated. Masuknya kalsium memicu fusi
dari vesikel dengan membran presinaptik sel saraf, sehingga isi dari vesikel
dilepaskan ke celah sinaptik melalui proses eksositosis.1,7,10
Celah Sinaptik
Celah sinaptik dibagi menjadi celah sinaptik primer dan sekunder. Celah
sinaptik primer adalah ruang yang memisahkan membran presinaptik dari
membran postsinaptik. Celah ini berukuran sekitar 70 nm dimana luas dan
panjangnya sama dengan panjang membran presinaptik. Celah ini tidak memiliki
batas lateral yang tegas dan oleh karena itu, berkomunikasi dengan
ruang ekstraseluler. Celah sinaptik sekunder adalah ruang antara junctional folds
pada membran postsinaptik dan berhubungan dengan celah primer.
Acetylcholinesterase paling banyak dijumpai pada celah sinaptik sekunder. Enzim
ini menghidrolisis asetilkolin untuk mengakhiri transmisi neuromuskuler sehingga
serat otot dapat dirangsang lagi.1,10
Reseptor ACh adalah suatu glikoprotein yang terdiri dari lima sub-unit
yang tersusun di sekitar saluran tengah. Pada otot yang diinervasi, subunit ini
terdiri dari dua α subunit, satu β subunit,satu δ dan satu ε subunit.1 Lokasi main
immunogenic region (MIR) pada antibodi AChR terletak pada sub unit α.3 Dalam
keadaan istirahat, saluran ion AChR tertutup. Ketika kedua situs subunit ditempati,
saluran ion terbuka dan memungkinkan masuknya ion natrium ke dalam otot,
yang menghasilkan depolarisasi parsial membran postsinaptik dan terbentuknya
potensial eksitasi postsinaptik. Jika jumlah saluran natrium yang terbuka
III.5. ETIOPATOGENESIS
III.5.1. Peran antibodi anti reseptor asetilkolin (AChR antibodies)
Terdapat beberapa bukti yang mendukung peran antibodi dalam
patogenesis MG: (a) Antibodi anti AChR ditemukan pada hampir 80-90% pasien,
(b) antibodi anti AChR yang bersirkulasi ditemukan pada kasus-kasus transient
neonatal MG dan kadar antibodi menurun seiring dengan perbaikan pasien, (c)
transfer pasif antibodi dari pasien MG ke hewan percobaan menyebabkan
penyakit yang serupa dengan MG, (d) plasmaferesis menurunkan kadar AChR dan
menyebabkan perbaikan pada pasien MG, (E) antibodi berikatan dengan reseptor
ACh pada NMJ, (F) model eksperimental MG dapat disebabkan oleh imunisasi
dengan AChR yang dimurnikan. Respons antibodi pada MG bersifat poliklonal.
Pada satu pasien antibodi terdiri dari beberapa sub kelas IgG yang berbeda. Pada
sebagian besar kasus, antibodi menyerang MIR pada subunit α. Sub unit α juga
merupakan tempat pengikatan ACh, walaupun tempat ikatan ACh tidak sama
dengan regio imunogenik.1 Sebagian besar antibodi AChR adalah subklas IgG1
dan IgG3, yang dapat mengaktivasi komplemen dan berikatan dengan MIR pada
subunit α.5
III.7.5. ELEKTROFISIOLOGI
Pemeriksaan konduksi sensorik dan motorik biasanya normal.
Terdapatnya variabilitas motor unit action potential (MUAP) yang tidak stabil
merupakan temuan yang sangat membantu dalam diagnosis MG (Gambar 9).
Untuk melakukannya, MUAP tunggal ini diisolasi dan dilihat berulang-ulang
menggunakan delayed trigger line bersama dengan peningkatan filter setting
frekuensi rendah (500 Hz) dan kecepatan sweep yang cepat (1-2 m/s). Variabilitas
MUAP ini analog dengan respon decremental respon pada stimulasi berulang,
blocking pada single fiber electromyography (SFEMG), dan kelemahan fatigable
yang dialami oleh pasien. Uji elektrodiagnostik yang lazim digunakan untuk
mengidentifikasi gangguan transmisi neuromuskular postsynaptic adalah respon
decremental terhadap stimulasi berulang yang lambat, dengan frekuensi ≤ 5 Hz,
dimana 2 atau 3 Hz biasanya digunakan. Dalam keadaan normal, compound
muscle action potentials (CMAPs) dengan amplitudo yang sama akan terjadi tanpa
batas karena safety margin dari EPP. 4,7
Tes elektrofisiologi yang lazim digunakan adalah RNS dan SFEMG.
Stimulasi saraf berulang menunjukkan penurunan amplitudo progresif dari CMAP
pada stimulasi keempat ketika saraf diberikan stimulasi listrik supramaksimal
berulang dengan frekuensi 3 Hz. Pada subjek normal, respon keempat dapat juga
sedikit lebih kecil daripada yang pertama, tetapi penurunan tersebut tidak lebih
dari 7%. Jika pengurangan amplitudo > 10%, tes ini disebut positif (respon
1,2
decremental). Dengan stimulasi saraf yang rendah (2-5 Hz), RNS mengurangi
simpanan ACh pada NMJ. Hal ini menurunkan safety factor dan transmisi
neuromuskular. Pada kelainan NMJ, safety factor mengalami penurunan dan
penurunan lebih lanjut oleh RNS menyebabkan EPP gagal mencapai ambang
depolarisasi. Ini menyebabkan kegagalan untuk menimbulkan potensial aksi pada
Single fiber electromyography adalah tes yang paling sensitif pada MG.
Pada tes ini, potensial aksi yang dihasilkan oleh serabut otot yang berdekatan dari
motor unit yang sama, dicatat dengan elektroda. Ketika satu motor unit diaktifkan,
potensial aksi yang mencapai serabut otot tidak semua synchronous. Rerata
perbedaan antara dua serabut disebut 'jitter’ dan normalnya kurang dari 55 μsec.
Pada myasthenia gravis, interval atau jitter ini meningkat dan biasanya > 100
msec. Ini disebabkan oleh EPP yang rendah dan decremental pada MG. Dapat
dipahami bahwa EPP dengan amplitudo yang lebih rendah memakan waktu lebih
lama untuk mencapai ambang batas untuk mengaktifkan potensial aksi pada
serabut otot dibandingkan dengan amplitudo EPP normal. 2,3,7
III.7.6. Pencitraan
Computed tomography (CT) / manetic resonance imaging (MRI) toraks
digunakan untuk skrining adanya tumor timus. Pencitraan dapat digunakan setelah
timektomi untuk mencari sisa jaringan timus pada pasien yang tiba-tiba
memburuk. Timus biasanya dapat terlihat sampai dengan pertengahan dewasa.
Menetapnya bayangan timus setelah usia 40 tahun atau pembesaran timus pada
scan serial seharusnya segera dicurigai tumor timus.1
III.9. PENATALAKSANAAN
Terdapat berbagai modalitas terapi pada MG: (1) inhibitor AChE, (2)
imunomodulator, (3) plasma exchange dan (4) timektomi. 4,7 Rejimen pengobatan
bersifat individual bergantung pada keparahan penyakit, usia, keadaan timus,
masalah medis lainnya.2,7 Tujuan terapi adalah untuk mencapai fungsi
neuromuskular senormal mungkin dengan efek samping yang minimal.2
Pengobatan MG dapat terdiri dari tiga langkah: (1) pengobatan awal biasanya
dengan penggunaan inhibitor acetylcholinesterase. Namun, obat ini biasanya tidak
cukup untuk mengendalikan penyakit dan terapi tambahan diperlukan pada
sebagian besar pasien. (2) Sering diperlukan obat imunomodulator, berupa
timektomi atau kortikosteroid dosis tinggi. (3) Untuk jangka panjang, obat
steroid-sparing biasanya ditambahkan untuk memfasilitasi fase tapering. Terapi
jangka pendek yaitu,IVIg atau PEX mungkin efektif dalam tahap awal
pengobatan, sebelum timektomi, atau pada saat eksaserbasi.1
Apakah pasien dengan gejala okular murni mendapat manfaat dari terapi
ini masih kontroversial, baik dalam hal perbaikan gejala atau mempengaruhi
perjalanan penyakit. Dasar bukti untuk membantu menentukan keputusan ini
masih terbatas. Beberapa ahli berpendapat bahwa adanya temuan elektrofisiologi
dapat membenarkan pengobatan lebih agresif.Terapi konservatif simptomatik
dengan pyridostigmine dan pendekatan nofarmakologis umumnya merupakan
rekomendasi awal.7
III.9.2. Imunosupresif
III.9.2.1. Kortikosteroid
Agen imunosupresif yang paling sering digunakan adalah
1,2,4
kortikosteroid dan merupakan obat pilihan pertama jika diperlukan pemberian
obat imunosupresif pada MG (good practice point)15. Berbagai percobaan telah
menunjukkan efektivitas kortikosteroid dalam pengobatan MG. Pengobatan
kortikosteroid menyebabkan perbaikan yang nyata (45%) atau remisi (30%) pada
sebagian besar pasien dengan myasthenia.7 Perbaikan biasanya terlihat dalam 2-4
minggu dengan manfaat maksimal terlihat pada 6-12 bulan atau lebih.1
III.9.2.2. Azathioprine
Azathioprine adalah agen imunomodulasi lini kedua yang paling sering
digunakan digunakan dalam pengobatan pasien dengan MG.7 Pada pasien dimana
dibutuhkan terapi imunosupresi jangka panjang, azathioprine direkomendasikan
bersama dengan steroid untuk memungkinkan penurunan dosis steroid ke dosis
minimal (rekomendasi level A)14 Beberapa percobaan telah menunjukkan
efektivitas azathioprine sendiri atau dalam kombinasi dengan prednison.
Perbaikan dijumpai pada 70-90% dari pasien dengan myasthenia diobati dengan
azathioprine. Pasien yang diobati dengan azathioprine juga dapat dipertahankan
pada prednison dosis rendah (yaitu, steroid-sparing effect). 7 Azathioprine bekerja
dengan menghambat sintesis nukelotida dan proliferasi limfosit T dan B.2,4 Seperti
dijelaskan di atas, azathioprine dapat digunakan pada awalnya di samping
prednison dalam upaya untuk membatasi penggunaan kortikosteroid jangka
panjang. Pada orang dewasa, azathioprine biasanya dimulai pada dosis 50 mg/hari
pada pasien dewasa dan secara bertahap ditingkatkan selama 1-2 bulan hingga
dosis total 2-3 mg/kg/hari. 2,7
Pemeriksaan darah lengkap fungsi hati dimonitor setiap 2 minggu sampai
pasien stabil dengan dosis azathioprine. Jika jumlah leukosit turun di bawah
4000/mm3, dosis harus diturunkan. Azathioprine tidak diberikan jika jumlah
leukosit menurun hingga 2500/mm3 atau jumlah neutrofil turun hingga 1000/mm3.
Leukopenia dapat dijumpai sejak 1 minggu hingga 2 tahun setelah memulai
azathioprine. Azathioprine harus dihentikan jika transaminase meningkat lebih
III.9.2.3.Siklosporin
Siklosporin terutama menghambat respon imun yang T-cell dependent dan
telah terbukti efektif dalam pengobatan pasien dengan MG.7 Siklosporin bekerja
dengan penghambatan produksi interleukin-2 dan proliferasi sel T.2 Sebagian
besar pasien mengalami perbaikan dalam 2-3 bulan pengobatan. Siklosporin ini
juga memiliki efek steroid-sparing. Sebanyak 95% dari pasien dapat
menghentikan atau mengurangi dosis kortikosteroidnya. Toksisitas ginjal
dijumpai pada sekitar seperempat pasien. Siklosporin digunakan terutama pada
pasien yang refrakter terhadap prednison dan azathioprine. Awalnya diberikan
dosis 3-4 mg/kg/hari dalam dua dosis terbagi dan secara bertahap ditingkatkan
dengan dosis maksimum 6 mg/kg/hari sesuai keperluan. Dosis siklosporin dititrasi
untuk mempertahankan kadar 100-200 ng/mL.2,7
III.9.2.6. Metotreksat
Agen ini tidak sering digunakan pada MG karena seperti halnya untuk
miopati autoimun. Pengalaman menunjukkan bahwa metotreksat dapat efektif.
Onset kerjanya yang lebih cepat memberikan keuntungan lebih dari azathioprine.
Obat ini dapat dimulai secara oral 7,5 mg/minggu diberikan dalam tiga dosis
terbagi. Dosis secara bertahap ditingkatkan 2,5 mg setiap minggu sampai 25
mg/minggu. Efek samping utama metotreksat adalah alopesia, stomatitis,
interstisial penyakit paru, teratogenisitas, oncogenicity, risiko infeksi, dan fibrosis
paru, dan toksisitas sumsum tulang, ginjal, dan toksisitas hati.7
III.9.2.7. Siklofosfamid
Terdapat beberapa laporan tentang penggunaan siklofosfamid dalam
pengobatan segala bentuk MG, termasuk pasien dengan antibodi MuSK. Karena
efek samping yang signifikan (yaitu, gangguan pencernaan, toksisitas sumsum
tulang, alopesia, hemoragik sistitis, teratogenisitas, sterilisasi, dan peningkatan
risiko infeksi dan keganasan sekunder), sebagian besar ahli menghindari
siklofosfamid untuk MG jika mungkin. Siklofosfamid dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan MG berat yang refrakter terhadap imunoterapi MG yang
lain.4,7
Suatu tinjauan metaanalisis menunjukkan bahwa pada MG general, bukti
terbatas dari beberapa uji acak klinis menunjukkan bahwa siklosporin, sebagai
monoterapi ataupun bersama dengan kortikosteroid, atau siklofosfamid dengan
III.9.5. Timektomi
Ada dua aspek timektomi pada pasien MG : (1) timektomi untuk tumor
timus pada pasien MG dan (2) timektomi untuk pengobatan MG itu sendiri. Pada
indikasi pertama, timektomi mutlak harus dilakukan, karena tumor timus
berpotensi invasif lokal. Timektomi sebagai pengobatan MG (tanpa adanya
timoma) telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Kini secara umum
disepakati bahwa pasien dengan MG general yang berusia antara remaja dan
sekitar 60 tahun harus dipertimbangkan timektomi,karena hampir 80% -85%
pasien akhirnya mengalami perbaikan setelah timektomi. Manfaat dari timektomi
biasanya muncul beberapa bulan atau tahun setelah operasi. Mekanisme kerja
timektomi yang tepat tidak diketahui, meskipun penjelasan yang mungkin
III.10. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien mengalami gejala awal berupa kelemahan otot
ekstraokular dengan ptosis asimetri dan diplopia. Perjalanan penyakitnya sangat
bervariasi, khususnya dalam tahun pertama penyakit. Hampir 85% pasien dengan
gejala awal okular berkembang menjadi kelemahan bulbar dan ekstremitas dalam
tiga tahun pertama. Keparahan penyakit maksimum tercapai dalam tahun pertama
pada hampir dua-pertiga dari pasien. Di awal perjalanan MG, gejala dapat
berfluktuasi dan sesekali mengalami remisi, meskipun remisi tersebut jarang
permanen. Terdapat tiga tahap utama MG. Tahap yang aktif ditandai dengan
kambuh dan remisi yang berlangsung sekitar tujuh tahun diikuti oleh tahap tidak
aktif berlangsung sekitar 10 tahun. Tahap tidak aktif ditandai dengan kurangnya
kekambuhan penyakit, meskipun pasien mungkin mengalami eksaserbasi yang
berhubungan dengan penyakit lain, kehamilan, atau paparan terhadap obat
yang mengganggu transmisi neuromuskular. Pada tahap akhir dari penyakit.,
kelemahan yang tidak diterapi dapat menetap dan berhubungan dengan atrofi otot.
V. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penatalaksanaan terbaik pada pasien ini?
2. Bagaimana prognosis pasien ini selanjutnya?
VI. KESIMPULAN
1. Diagnosis myasthenia gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
neurologis, tes kuantitatif dan pemeriksaan penunjang.
2. Perkembangan menjadi suatu generalized MG terjadi pada 85% kasus dalam
tiga tahun pertama.
3. Pada pasien dengan gejala terbatas pada otot ocular pemakaian inhibitor
asetilkolinesterase dan kortikosteroid dosis rendah bermanfaat untuk meredakan
gejala.
VII. SARAN
Perlu dijelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit
dan kekambuhan yang mungkin terjadi, pilihan terapi dan efek samping dari
pengobatan.