Anda di halaman 1dari 30

MENGENAL TENTANG MIASTENIA GRAVIS DAN PENATALAKSANAANNYA Oleh: Fahrun Nur Rosyid Bagian Keperawatan Medikal Bedah Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya Email: fahrunrosyid@yahoo.co.id Abstract Myastenia gravis may cause paralysis due to the mobility of neuromuscular connections to deliver signals from nerve fibers to muscle fiber. This disease occurs due to disruption of synaptic transmission at neuromuscular junction. Prior understanding of myastenia gravis, knowledge of anatomy and normal function of the neuromuscular junction is very important. Presinaptic membrane (membrane of nerve), post synaptic membrane (muscle membrane), and the synapse is a gap forming parts of the neuromuscular junction. Immunoigenic mechanism plays a very important in the pathophysiology myastenia gravis where antibodies are the product ofB cells in fact against the acethylcholine receptor. Management myasatenia gravis can be done with drugs thymomectomy or with immunomodulating and immunosuppressive therapy that can provide a good prognosis in mystenia gravis healing. Key word: Mystenia gravis, and management. PENDAHULUAN Miastenia gravis, yang terjadi pada kira-kira 1 dari 20.000 orang, menyebabkan kelumpuhan akibat ketidakmampuan sambungan neuromuskular untuk menghantarkan sinyal dari serat saraf ke serat otot. Secara patologis, dalam darah sebagian besar penderita miastenia gravis terlihat antibodi yang menyerang protein transpor bergerbang asetilkolin. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa miastenia gravis merupakan penyakit autoimun karena pada penderita ini terbentuk antibodi yang melawan saluran ion teraktivasi asetilkolin miliknya sendiri. Tanpa memperhatikan penyebabnya, potensial lempeng akhir yang timbul di dalam serat otot terlalu lemah untuk dapat merangsang serat otot secara adekuat.
19

Bila penyakit tersebut cukup parah, penderita meninggal akibat paralisis terutama, paralisis otot pernapasan (Guyton & Hall, 1997). Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya deflsiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi

AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis (Engel,1984) Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR m e m p e n g a r u h i transmisi neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh (Engel , 1984). Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik kongenital banyak diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The LambertEaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung (Engel , 1984). Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbedabeda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulas i dan

imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat kurang (Lewis, 1995). DEFINISI MIASTENIA GRAVIS Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard, 2008). Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synoptic transmission atau pada neuromuscular junction (Ngoerah, 1991). EPIDEMIOLOGI Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 :4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun (Ngoerah, 1991; Howard, 2008).

20

ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION Anatomi Neuromuscular Junction Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari newomuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuscular (Howard, 2008; Newton, 2008). Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
21

neuromuscular junction (Howard, 2008). Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 2030 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate) (Howard, 2008; Newton, 2008). Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah

sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik (Howard, 2008; Newton, 2008). Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: 1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin as ti 1ransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-KoA+ Kolin a Asetilkolin + KoA 2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikatmembran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini. 3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf,
22

proses ini akan membuka saluran Ca:+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2" dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps. 4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot. 5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H,O a Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang

delta, dan gamma. Melekatnya besar dalam lamina basalis asetilkolin memungkinkan natrium rongga sinaps dapat bergerak secara mudah 6. Kolin didaur ulang ke dalam melewati saluran tersebut, sehingga terminal saraf melalui mekanisme akan terjadi depolarisasi parsial dari transport aktif di mana protein membran post sinaptik. Peristiwa ini tersebut dapat digunakan kembali akan menyebabkan suatu perubahan bagi sintesis asetilkolin. potensial setempat pada membran Setiap reseptor asetilkolin serat otot yang disebut excitatory merupakan kompleks protein besar postsynaptic potential (potensial dengan saluran yang akan segera lempeng akhir). Apabila pembukaan terbuka setelah melekatnya gerbang natrium telah mencukupi, asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari maka akan terjadi suatu potensial aksi 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, The Neuromuscular Junction

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction (Newton, 2008). 2. Merupakan glikoprotein pada membran otot yang bermembran dengan berat selanjutnya menyebabkan kontraksi molekul sekitar275kDa. otot. (Howard, 2008; Newton, 2008). 3. Mengandung lima subunit, terdiri Menurut Murray (1999) beberapa dari ?,??? sifat dari reseptor asetilkolin di 4. Hanya subunit ? yang mengikat neuromuscularjunction adalah asetilkolin dengan afinitas tinggi. sebagai berikut: 5. Dua molekul asetilkolin harus 1. Merupakan reseptor nikotinik berikatan untuk membuka saluran (nikotin adalah agonis terhadap ion, yang memungkinkan aliran reseptor) baik Na+ maupun K4.
23

6. Bisa ular ?-bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit - ? dan dapat digunakan untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya. 7. Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis. PATOFISIOLOGI Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Howard, 2008) Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (antiAChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata (Lewis ,1995) Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan
24

sebagai "penyakit terkait sel B", dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik (Howard, 2008). Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yangberbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit al'fa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptorreseptor asetilkolin yang baru disintesis (Howard, 2008). GEJALAKLINIS Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang

apabila penderita beristirahat (Howard, 2008). Gejala klinis miastenia gravis antara lain : Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala (Howard, 2008). Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular (ptosis).

pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS Menurut My asthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Klas I, adanya kelemahan otototot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. 2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. 3) Klas lia, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. 4) Klas lib, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otototot aksial lebih ringan dibandingkan klas Ha. 5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. 6) Klas Ilia, mempengaruhi otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. 7) Klas Illb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot
25

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin mcmburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas (Howard, 2008). Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah,

8)

9)

10)

11)

pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mcngalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam bcrbagai derajat. Klas Iva, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. Klas Ivb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pemapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita mcnggunakan feeding tube tanpa dilakukanintubasi. Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mckanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tarnpak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemcriksaan, tonus otot lampaknya agak menurun.

dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pemapasan tidak terganggu. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot okulobulbar. Pemapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia. DIAGNOSIS MIASTENIAGRAVIS Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajafc. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal (Howard , 2008). Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pcmeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bcrsifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit
26

Menurut Ngurah (1991) Miastenia ivis juga dapat dikelompokkan :ara lebih sederhana seperti dibawahMiastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot iintuk untuk mengunyah, menelan,

untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher (Howard, 2008). Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otototot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki (Howard, 2008). Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otototot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan (Howard, 2008). Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis.
27

Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi (Howard , 2008). Menurut Ngurah (1991) untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartri s jdan .afoni s. 2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Menurut Ngurah (1991) untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain: 1. Uji Tensilon (edrophonium chloride), tmtuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata

yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah hams diperhatikan dengan sangat seksama, karcna efektivitas tensilon sangat singkat. 2. Uji Prostigmin (neostigmw), pada tcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin !X atau '/2 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 3. Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan

bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prasiigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti 1. Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes antiasetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody(Howard, 2008). Menurut (Howard, 2008) rata-rata titer antibody pada pemeriksaan antiasetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut:

Klasifikasi : R = remission, I = ocular onlv, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe Osserman class R I IIA IIB III IV Mean antibody titer 0.79 2.17 49.8 57.9 78.5 205.3 Percent positive 24 55 80 100 100 89

28

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis. Antistriated muscle (antiSM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif. Anti-muscle-specific (MuSK) antibodies. kinase

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody mcrupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
29

2. Imaging Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untu mencaripenyebab defisit pada sarafotak. 3. Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik : Repetitive Nei~ve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter

(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal. Diagnosis Banding Menurut Ngurah (1991) dan Howard (2008). Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain: Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain: a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii d. Paralisispascadifteri e. Pseudoptosis pada trachoma Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks. Sindrom Eaton-Lambert (LambertEaton Myasthenic Syndrome) Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu
30

karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi. PENATALAKSANAAN Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin (Howard , 2008). Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortal itas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara

cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Lewis, 1995). Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut Menurut Lewis (1995) terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut adalah sebagai berikut 1. Plasma Exchange (PE) Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
31

magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan. 2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complementactivating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien, tidak terdapat penurunan dari tjter antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan

menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama. 3. Intravenous Melhvlprednisolone (IVMp) IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan. Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang Menurut Lewis (1995) terapi jangka panjang untuk Intervensi Keadaan Akut adalah sebagai berikut: 1. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem
32

imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

2. Azathioprine Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 23 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan

dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain. 3. Cyclosporine Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel Thelper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi. 4. 4. Cyclophosphamide (CPM) CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat lainnya. 5. Thymectomy (Surgical Care) Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien denganmiastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk
33

pengobatan thymoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis. Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien (Anonim, 2008). Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung

dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan (Anonim, 2008). KESIMPULAN 1) Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. 2) Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengcrti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai "penyakit terkait sel B", dimana antibodi yang mcrupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. 3) Gejala klinis miastenia gravis antara lain ; Kelerhahan pada otot ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis daripallatum molle akan
34

menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. 4) Penatalaksaan utama pada miastenia gravis dapat diobati dengan antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi i mun o mudu 1 a s i. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan DAFTAR PUSTAKA Engel, A. G. MD (1984). Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: 519-534. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. (1995). Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. AnnNeurol. 37(S1):S51-S62! Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasardasar Ilmu Penyakit

Saraf.Airlanga University Press. Page: 301-305. Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis, a Summary. Available at:http://www.ninds.nih.gov/dis orders/myasthenia_gravis/detail _myasthenia_gravis.htm. Accessed : March 22,2008. Newton, E (2008). Myasthenia Gravis. Available at : http://en.wikipedia.Org/wiki/M yasthenia_gravis. accessed : March 22,2008. Murray RK, Granner DK, Mayes PA. (1999). Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta. Page: 816-835. Anonim (2008), Myasthenia Gravis. Available at:http://www.myasthcnia.org/do s /MGFA_Brochure_Ocular.pdi Accessed: March 22, 2008. Anonim (2008). Thymectomy, Dewa, Benny. Miastenia Gravis. Available at: dewabenny@gmail.com. http://www.myasthenia.org/amgJ reatments.cfnx cessed March 22, 2008: Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.Penerbit EGC. Jakarta

35

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN LANSIA KE POSYANDU LANSIA DI RW VII KELURAHAN WONOKUSUMO KECAMATAN SEMAMPIR SURABAYA 1Fahrun Nur Rosyid, 2Musrifatul Uliyah, 3Uswatun Hasanah IBagian Keperawatan Medikal Bedah, 2Bagian keperawatan Gerontik Fakultas IlmuKesehatan UMSurabaya 3Mahasiswa SI Ilmu Keperawatan Abstract Under behaviour of old folks to visit Old Folks Posyandu will influence the under knowledge of old folks themselves about their health condition, because at this time healthy of people above 60 years decrease and commonly get sick. It is caused by decreasing of old folks visit Old Folks Posyandu. The purpose of this study is identifying and analyzing the effect of factors that influenced old folks to visit Posyandu. The method of this study is cross sectional method using 30 respondents. Sample collected by simple random sample technique. Statistic method used by SPSS. The instrument that used is questionnaires and interview. This study is using Linier regression (SPSS). It shows that p = 0.725 for Sex, it means HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent variable). It also means Sex is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for education, it means HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent variable). It also means Education is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for job, it means HO not accepted (there is influence between dependent variable and independent variable). It also means Job is one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.001 for Income, it means HO not accepted (there is influence between dependent variable and independent variable). It also means Income is one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.634 for knowledge, it means HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent variable). It also means knowledge is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.109 for living place, it means HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent variable). It also means living place is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. Conclusions of this study are Sex, Education, Knowledge, Living place aren't factors that influence old folks visiting to Posyandu, and Job and Income are factors that influences old folks visiting to Posyandu. Keywords: Old Folks Posyandu, old folk's visits, factor that influence. PENDAHULUAN Keberhasilan dalam bidang ketidakmampuan, dan keterlambatan peningkatan dan pencegahan penyakit telah meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjadikan rata-rata umur harapan hidup meningkat keadaan ini

50

(Mulyani, 2009). Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia (Lansia) di Indonesia, sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% dari total jumlah menyebabkan jumlah usia lanjut penduduk (Hambuako, 2008). Pada semakin besar. Permasalahan yang tahun 2007 jumlah penduduk Jawa akan timbul pada lansia yaitu : Timur sebanyak 37.790.642 jiwa, yang lanjut usia mencapai 4.202.908 jiwa atau 11,2 %, dengan prosentase tersebut provinsi Jawa Timur mengalami struktur penduduk tua (Hasan Aminuddin, 2008), sedangkan jumlah lansia di Surabaya di bagi menjadi dua : pra usila (45 th -59 th) terdiri dari 253.723 jiwa dan yang usia lanjut (> 60 th) terdiri dari 166.437 jiwa 9 (Mohammad Adib, 2008). Pada bulan Mei di RW VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya di dapatkan data lansia (old) sebanyak 32 lansia. Dari lansia yang berkunjung ke posyandu lansia hanya 30 lansia, dari situlah

bisa terlihat bahwa hanya 76% lansia yang berkunjung ke posyandu lansia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke posyandu lansia di RW VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya. METODE Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional dengan populasi para lansia di posyandu lansia RW 7 Wonosari Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya dengan jumlah 32 orang. Sampel diambil 30 lansia dengan teknik Simple Random Sampling. Variabel independen penelitian ini kunjungan lansia ke Posyandu lansia,sedagkan variabel dependen jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, tingkat pengetahuan dan pola tempat tinggal. Data yang terkumpul dianalisisdengan uji statistik Regresi Linier Berganda.

HASIL Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009 Jenis kelamin Total Kunjungan Laki-laki Perempuan F % F % F % Kunjungan I 3 9,9 23 75,9 26 85,8 Kunjungan II 4 13,2 4 13,2 Total 7 23,1 23 75,9 30 100 Signifikansi (p) = 0,725 Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung ke Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu
51

berjenis kelamin perempuan sebanyak 23 orang (75,9%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 4 orang (13,2%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,725 maka

HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga jenis kelamin bukan faktor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia

Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunj ungan Lansia Tabel 2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009 Tingkat Pendidikan PT/Akadem tidak Kunjungan SD SMP SMA i sekolah total F % F % F % F % F % F % 85. Kunjungan I 14 46.2 5 16.5 - 7 23.1 26 8 Kunjungan 13. II 2 6.69 2 6.6 - 4 2 Total 16 52.9 7 23.1 - 7 23.1 30 100 Signifikansi (p) = 0,528 Berdasarkan tabel diatas, (6,6%), kemudian dihitung dengan menunjukkan sebagian besar yang menggunakan Uji Regresi Linier berkunjung ke Posyandu adalah (SPSS) didapatkan p=0,528 maka kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu HO doterima berarti tidak ada tingkat pendidikan SD sebanyak 14 pengaruh, sehingga tingkat orang (46,2%), dan sebagian kecil pendidikan bukan fakor yang adalah kunjungan 1 bulan 2 kali mempengaruhi kunjungan lansia ke yaitu tingkat pendidikan SMP Posyandu lansia. sebanyak 2 orang Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 5.17 Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009 Pekerjaan Ibu rumah Kunjungan tangga Swasta Wiraswasta PNS total F % F % F % F % F % Kunjungan I 21 69.3 2 6.6 3 9.9 26 85.8 Kunjungan II 2 6.6 2 6.6 4 13.2 Total 21 69.3 2 6.6 30 100 Signifikansi (p) = 0,002 Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung ke Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu sebagai ibu rumah tangga sebanyak 21 orang (69,3%), dan sebagian kecil

52

adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu sebagai wiraswasta dan PNS masing-masing sebanyak 2 orang (6,6%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan

p=0,002 maka HO ditolak berarti ada pengaruh, sehingga pekerjaan merupakan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia.

Pengaruh pendapatan terhadap kunjungan Lansia Tabel 3. Pengaruh pendapatan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009

Kunjungan

Kunjungan I Kunjungan II Total

Pekerjaan Pendapatan1 50.000< 150.000 300.000 (Pendapatan (Pendapatan rendah) sedang) F % F % 24 79.2 2 6.6 2 6.6 26 85.8 2 6.6 Signifikansi (p) = 0,001

> 300.000 (Pendapatan tinggi) Total F 2 2 % 6.6 6.6 F 26 4 30 % 85.8 13.2 100

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan (6,6%), kemudian dihitung dengan sebagian besar yang berkunjung ke menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali didapatkan p=0,001 maka HO ditolak yaitu berpendapatan rendah

sebanyak 24 berarti ada pengaruh, sehingga pendapatan orang (79,2%), dan sebagian kecil adalah merupakan factor yang mempengaruhi kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu kunjungan lansia ke Posyandu lansia. berpendapatan rendah sebanyak 2 orang

Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir pada bulan Juli tahun 2009 Tingkat pengetahuan Total Baik Cukup Kurang F % F % F % F % 23 75.9 1 3.3 2 6.6 26 85.8 4 13.2 4 13.2 27 89.1 1 3.3 2 6.6 30 100 Signifikansi (p) = 0,634

Kunjungan Kunjungan I Kunjungan II Total

53

Berdasarkan tabel diatas, berpendapatan baik sebanyak 4 orang menunjukkan sebagian besar yang (13,2%), kemudian dihitung dengan berkunjung ke Posyandu adalah menggunakan Uji Regresi Linierkunjungan 1 bulan 1 kali yaitu (SPSS) didapatkan p=0,634

maka HOberpengetahuan baik sebanyak 23 diterima berarti tidak ada pengaruh,orang (75,9%), .dan sebagian kecil sehingga tingkat pengetahuan bukan adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia.

Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia Tabel 5 Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009 Pola tempat tinggal Total Dekat Sedang Jauh F % F % F % F % 10 33 13 42.9 3 9.9 26 85.8 4 13.2 4 13.2 14 46.2 13 42.9 3 9.9 30 99 Signifikansi(p) = 0,109

Kunjungan Kunjungan I Kunjungan II Total

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung ke Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berjarak sedang sebanyak 13 orang (42,9%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berjarak dekat sebanyak 4 orang (13,2%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan ;?=0,7 09 maka HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga pola tempat tinggal bukan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,725 maka PEMBAHASAN Pengaruh Jenis Kelamin HO diterima berarti tidak ada Dari hasil penelitian terhadap 30 lansia, menunjukkan sebagian pengaruh, sehingga jenis kelamin besar adalah kunjungan 1 bulan 1 bukan factor yang mempengaruhi kali lansia berjenis kelamin kunjungan lansia ke Posyandu lansia. perempuan, dan sebagian kecil Hasil uji tersebut bertolak adalah kunjungan 1 bulan 2 kali belakang dengan hasil survey lansia yang berjenis kelamin lakiIndonesia Family Life Survey (IFLS) laki. tahun 1993 yang menunjukkan Berdasarkan data yang telah bahwa jenis kelamin ikut diteliti, jenis kelamin di Posyandu mempengaruhi seseorang dalam RW.VII Kelurahan Wonkusumo mengambil keputusan untuk Kecamatan Semampir Surabaya, memanfaatkan fasilitas kesehatan kemudian dihitung dengan yang ada, dimana perorangan

54

memiliki prosentase yang lebih banyak daripada laki-laki (Isfandi, 1999). Sedangkan menurut penelitian huygen dan Smits, perbedaan diantara wanita dan pria terlihat pada sistem rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi wanita. dibandingkan pria (Jamal, 1996). Dari data yang diperoleh lansia perempuan cenderung mempunyai perilaku yang tinggi untuk mengikuti Posyandu lansia, sebaliknya bagi lansia laki-laki mempunyai perilaku cenderung sedang dan rendah. Hal ini diakibatkan perempuan lebih tekun dalam menghadapi tindakan terutama mengikuti Posyandu lansia. Laki-laki tentunya cepat bosan jika dilihat dari segi psikologis jika mengikuti Posyandu lansia, jadi kesimpulannya untuk meningkatkan perilaku lansia untuk berkunjung ke Posyandu lansia harus melalui promosi kesehatan, ceramah, penyuluhan dan lain-lain. Pengaruh Tingkat Pendidikan Dari hasil penelitian terhadap 30 lansia didapatkan lansia yang berkunjung ke posyandu sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kali di tingkat pendidikan SD, dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali di tingkat pendidikan tidak sekolah dan SMP. Berdasarkan data yang telah diteliti, tingkat pendidikan di Posyandu RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,528 maka HOditerima berarti tidak ada pengaruh, sehingga tingkat pendidikan bukan factor yang

mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. Menurut Notoatmojo, 1997. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok dan masyarakat. Kegiatan atau proses belajar apabila didalamnya terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dari tidak mau mengerjakan menjadi mau mengerjakan sesuatu, namun demikian tidak semua perubahan itu terjadi karena belajar saja, tetapi juga karena proses kematangan dari perkembangan dirinya. Tidak adanya pengaruh tingkat pendidikan terhadap kunjungan lansia ke posyandu lansia tersebut mungkin saja terjadi. Karena pendidikan pada dasarnya tidak hanya dapat diperoleh dari bangku sekolah (formal) tetapi juga di lingkungan keluarga, masyarakat, dan dari media lainnya (majalah, berita, dll). Pengaruh Pekerjaan Dari hasil penelitian terhadap 30 lansia didapatkan lansia yang berkunjung ke posyandu sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kali sebagai ibu rumah tangga, dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu sebagai PNS. Berdasarkan data yang telah diteliti, pekerjaan di Posyandu RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,002 maka

55

HO diterima berarti ada pengaruh, sehingga pekerjaan merupakan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. Dibandingkan penduduk lansia desa dan kota, masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan lebih banyak yang masih bekerja pada usia tua dibandingkan di daerah perkotaan. Alasan lansia untuk bekerja antara lain disebabkan oleh jaminan sosial dan kesehatan yang masih kurang. Disamping hal tersebut desa akan ekonomi merupakan hal pendorong untuk mereka bekerja dan mencari pekerjaan. Hal ini dimungkinan, karena pada umumnya keadaan fisik, mental dan emosional mereka masih baik (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Mernurut Wilson tahun 1992, keadaan terjadi bila seseorang bekerja terlalu keras dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan serta berpendidikan rendah dimana pengertian tentang kesehatan adalah minimal dan akses terhadap informasi juga terbatas (Astuti, 2000). Dari Hasil penelitian terhadap faktor yang mempengaruhi penggunaan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh Buhari dalam Sudjilah, 1989 antara lain adanya pengaruh faktor sistem pelayanan kesehatan yaitu tersedianya tenaga kesehatan serta faktor dari konsumen yang menggunakan pelayanan kesehatan yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan. Pengaruh Pendapatan Pendapatan berkaitan erat dengan pekerjaan responden, karena pendapatan pada umumnya bersumber dari gaji atau upah yang

mereka terima setelah bekerja. Dari hasil penelitian menunjukkan sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berpendapatan rendah, dan sebagian kecil adalah 1 bulan 2 kali yaitu berpendapatan menengah dan tinggi. Berdasarkan data yang telah diteliti, pendapatan di Posyandu RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=0,001 maka HO ditolak berarti ada pengaruh, sehingga pendapatan merupakan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. Secara ekonomi, keadaan financial para lansia jelas tidak seperti waktu muda. Bila lansia termasuk golongan yang bekerja mengandalkan otot seperti pekerja kasar, tukang becak, petani, buruh, dll dalam menginjak umur tua kemampuan pasti berkurang akan pada suatu saat mungkin tidak sanggup lagi melakukan pekerjaan tersebut. Oleh sebab itu pendapatan orang tersebut pasti akan menurun (Mangunditoirja, 1995). Kemampuan ekonomi menjadisalah satu faktor penting yang m e m p e n g a r u h i orang u n t u k memanfaatkan fasilitas kesehatan ataupun untuk pergi ke tempat aktifitas sosial (Isfandi, 1999). Dari Hasil penelitian terhadap faktor yang mempengaruhi penggunaan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh Buhari dalam Sudjilah, 1989 antara lain adanya pengaruh faktor sistem pelayanan kesehatan yaitu tersedianya tenaga kesehatan serta faktor dari konsumen yang menggunakan pelayanan

56

kesehatan yaitu pekerjaan, pendapatan.

pendidikan,

pengetahuan tentang posyandu yang baik belum tentu man berkunjung ke posyandu. Pengaruh Pola Tempat Tinggal Pada penelitian terhadap pola tempat tinggal lansia, disini mcmakai klasifikasi jarak rumah ke pelayanan kesehatan (posyandu). Dari hasil penelitian terhadap 30 lansia di dapatkan sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu bcrjarak dekat dengan pelayanan kesehatan (posyandu), dan sebagian kecil adalah berjarak jauh dengan pelayanan kesehatan (Posyandu). Berdasarkan data yang telah diteliti, pengetahuan di Posyandu RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan p=OJ09 maka HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga pola tempat tinggal bukan merupakan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. Menurut pendapat H.L. Bloom, bahwa perilaku mempunyai peranan yang besar terhadap derajat kesehatan setelah pengaruh lingkungan, sedangkan faktor adanya pelayanan kesehatan mempunyai pengaruh lebih kecil daripada faktor perilaku. Sedangkan menurut Green bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bcrsangkutan. Disamping itu. ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan

Pengaruh Pengetahuan Dari hasil penelitian terhadap 30 lansia di dapatkan sebagian besar adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berpengetahuan baik, dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berpengetahuan cukup. Berdasarkan data yang telah diteliti, pengetahuan di Posyandu RW.VII Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya, kemudian dihitung dengan menggunakan Uji Regresi Linier (SPSS) didapatkan/7=r;,634 maka HO diterima berarti tidak ada pengaruh, sehingga pengetahuan bukan factor yang mempengaruhi kunjungan lansia ke Posyandu lansia. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh NoToatmodjo, 1993 bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi mclalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ovent behaviour). Tingkat pengetahuan seseorang tidak selalu memotivasi prilaku logika, artinya pengetahuan yang baik (lansia yang tahu tentang pengertian Posyandu, tujuan Posyandu, bentuk pelayanan Posyandu, dan Mekanisme Posyandu) tidak selalu memimpin perilaku yang benar dalam hal ini

57

mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seorang lansia yang tidak mau datang ke posyandu disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum tahu manfaat posyandu. Tetapi barangkali juga rumahnya jauh dengan posyandu atau mungkin karena para petugas kesehatan kurang ramah atau tokoh masyarakat lain disekitarnya tidak pernah ke Posyandu. SIMPULAN DAN SARAN Sebagian besar lansia yang yang berkunjung ke Posyandu lansia berjenis kelamin perempuan, tingkat pendidikan SD, ibu rumah tangga, berpendapatan rendah, dan memiliki pengetahuan yang baik. Masyarakat yang menjadi kader kesehatan dan bimbingan dari puskesmas diharapkan lebih memotivasi lansia untuk berkunjung ke Posyandu lansia. DAFTAR PUSTAKA A. Aziz AH. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisis Data. Edisi I. Salemba Medika. Jakarta Amrul, Fauzi. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penwunan Minat Lansia Terhadap Posyandu Lansia di Desa Pagak Kecamatan Pagak Kabupaten Making. Malang: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi v, Jakarta: RinekaCipta.

Astuti, Endang. P. 2000.FaktorFaktor Yang Mendorong Lansia Tetap Bekerja di Sektor Pertanian. Skripsi. Universitas Airlangga. Darmojo, R. 2000. Buku Ajar Geriatri Edisi 1. Balai Pustaka FKUI. Jakarta. Departemen Kesehatan RI, 2000. Pedoman Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia bagi Petugas Kesehatan I. Jakarta : Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan RI, 2000. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan II. Jakarta : Departemen Kesehatan Lindepok. 2008. All Bout Posyandu. http://iinaza.wordpres s.com. Diakses rabu tanggal 8 April 2009, jam 11.00 WIB Isfandari, Siti. (199). Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Pada Golongan 50 Tahun ke Atas. Analisis Lanjut IFLS 1993. Jurnal Epidemologi Nasional. Vol.3, Edisi 3 Jamal, Sarjani. 1996. Wanita dan Pria Dalam Karakteristik Morbilitas-Morbilitas. Jurnal Epidmologi Nasional Jenner, B. 1997. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Kuncoro, Zainuddin Sri. 2002. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e-

58

psikologi.com. Diakses tanggal 11 Mei 2009 Kusuma, Fitria Trisna. 2008. Skripsi: Pengaruh Pelatihan Posyandu Lansia Terhadap Kinerja Kader di Kelurahan Bulukerto Magetan. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Mahyu\iansyah..2QQ9.PosyanduUsil a. http://keperawatankomunitas.b logspot.com. Diakses tanggal 28 Juni 2009 jam: 10:49. Mangundiwirja, Daldiri. 1995. Masalah-Masalah Yang Dihadapi Lansia Indonesia Tahun 2000. Seminar Nasional Problematic Manula Menggapai Harapan di Penghujung Dunia Fana. Surabaya: Yayasan Pendidikan Tinggi Da'wah Islam JawaTimur. Mulyani, Slamet. 2009. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Kegiatan Posyandu Lansia Dengan Partisipasi Lansia di Posyandu Wilayah Puskesmas Patuk 1 Kabupaten Gunung K i d u 1 . http ://keperawatankomunitas .b logspot.com. Diakses tanggal llMei 2009 jam: 11:34 Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. P engantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Penilaian. Yogyakarta: Andi Offset Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Ed 2. Jakarta: EGC.

Nurkusuma, Dudy D. 2001. Posyandu Lanjut Usia di Puskesmas Pare Kabupaten Temanggung. http://www.tempo.co.id Diakses tanggal 11 Mei 2009 Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Pemkot Jogja, 2007. Pemkot Jogja P e d u I i Lansia. http://mediainfokota.jogja.go.i d Diakses tanggal 11 Mei 2009 R.Boedhi Darmojo,dkk. 2006. Buku Ajar Geriatri. Edisi ke-3. Cetakan ke-2. Jakarta : Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia. Sa'adah, H.D. 2008. Skripsi : Pengaruh Latihan Fleksi William (Stretching) Terhadap Tingkat Nyeri Punggung Bawah Pada Lansia di Posyandu Lansia RW 2 D e s a Kedungkandang Malang. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas A i r 1 angga. Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta.

59

Sulistyani. 2001. Skripsi :FaktorFaktor yang Mempengaruhi Keaktifan Lansia untukDatang ke Posyandu Lansia (Studi Kasus di Posyandu Lansia Desa Trihanggo Kecamatan Camping Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta). Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Wijayanti, I.K. 2008. Skripsi : Pengaruh Strength Training Terhadap Peningkatan Keseimbangan Postural Pada Lansia Dengan Nyeri Sendi L u t u t d i Posyandu Lansia "ISWORO" Kelurahan Taman Kota Madiun. Surabaya: Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

60

Anda mungkin juga menyukai