Anda di halaman 1dari 27

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes melitus

2.1.1. Pengertian

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai

dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi

insulin atau penurunan sensitifitas insulin dan keduanya yang menyebabkan

komplikasi kronis mikrovaskuler, makroavaskuler dan neuropati (Huda dan

Kusuma, 2016).

Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

ditandai oleh kenaikan kenaikan kadar glukosa dalam darah atau

hiperglikemia. Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul

ada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula

(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif dan

termasuk dalam penyakit patologik (Hasdianah, 2014).

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya

hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari dari

kerja atau sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita diabetes

melitus yaitu polidipsia, poliuria, poligafia, penurunan berat badan,

kesemutan (Fatimah, 2015).


2

2.1.2. Jenis-Jenis Diabetes melitus

Menurut Pudiastuti (2015), jenis-jenis diabetes melitus terdapat

empat tipe yaitu :

a. Diabetes Tipe 1

Diabetes tipe I merupakan 5-10 persen dari semua kasus

diabetes, biasanya ditemukan pada anak atau orang dewasa muda. Pada

diabetes jenis ini, pankreas mengalami kerusakan dan tidak ada

pembentukan insulin sehingga penderita memerlukan suntikan insulin

setiap hari. Gangguan produksi insulin pada tipe I umumnya terjadi

kerusakan karena kekurangan sel-sel beta pulau lengerhans yang

disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan

oleh beberapa virus diantranya adalah virus cocksakie, rubella, Herpes

dan lain-lain.

Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pancreas

pada penderita tipe-I juga menjadi tidak normal. Pada penderita tipe I

ditemukan sekresi glukogen yang berlebihan oleh sel-sel alpha pulau

langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi

glukogen, namun pada penderita tipe I hal ini tidak terjadi, sekresi

glukogen tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini

memperparah kondisi hiperglikemia.

Salah satu masalah jangka panjang pada penderita tipe I adalah

rusaknya kemampuan tubuh untuk mengsekresi glukogen sebagai

respon terhadap hiperglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya


3

hipoglikemia yang berakibat fatal pada penderita tipe I yang sedang

mendapatkan terapi insulin.

b. Diabetes Tipe II

Diabetes melitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih

umum dengan jumlah penderita yang lebih banyak dibading tipe I.

penderita tipe II mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita

diabetes. Tipe ini biasanya ditemukan pada orang-orang yang berusia

diatas 40 tahun, dengan berat badan berlebihan (obesitas). Obesitas

memang bisa menyebabkan tidak bekerjanya insulin secara baik

sehingga pemecah gula terganggu dan menyebabkan peningkatan kadar

gula darah.

Etiologi tipe II terdiri dari berbagai faktor, faktor genetik dan

pengaruh lingkungan sangat besar dalam menyebabkan terjadinya

diabetes tipe II, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat,

serta kurang gerak badan. Berbeda dengan diabetes tipe 1, pada

penderita tipe II, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya

dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,

disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologi tipe

2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel

sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.

Keadaan ini lazim disebut sebagai ‘’resistensi insulin’’. Resistensi

insulin banyak terjadi di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat,


4

antara lain sebagai akibat obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary)

dan penuaan.

Selain resistensi insulin, pada penderita tipe II juga bisa muncul

gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatic yang berlebihan.

Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel beta Langerhans

secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada tipe 1. Dengan

demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita tipe II hanya bersifat

relatif dan tidak absolut. Oleh karena itulah penanganannya secara

umum tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

c. Diabetes melitus Malnutrisi

Kasus-kasus diabetes melitus malnutrisi banyak ditemukan di

berbagai negara tropik oleh karena itu ciri-ciri khusus dari kasus-kasus

ini, maka oleh WHO Study Group dimasukkan kedalam klasifikasi

diabetes melitus dan disusun klasifikasi baru. Tanda-tanda penderita

DM malnutrisi yaitiu DM usia muda, biasanya dijumpai pada umur 15-

40 tahun, adanya riwayat kurang protein dan kalori, insulin resisten dan

ketosis resisten (Pudiastuti, 2015).

d. Diabetes melitus Gestasional

Gestational Diabetes melitus ialah gangguan toleransi glukosa

dalam berbagai tingkat yang terjadi atau pertama kali dideteksi pada

kehamilan tanpa membedakan apakah penderita perlu mendapat insulin

atau tidak. Diagnosis diabetes sering dibuat untuk pertama kali dalam

kehamilan karena penderita untuk pertama kali datang kepada dokter


5

atau diabetesnya menjadi lebih jelas oleh kehamilan. Diabetes

menunjukkan kecenderungan menjadi lebih berat dalam kehamilan dan

keperluan akan insulin meningkat (Kusmiati, 2015).

2.1.3. Gejala

Menurut Huda dan Kusuma (2016), manifestasi klinis DM dikaitkan

dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin meliputi :

a. Kadar glukosa puasa tidak normal

b. Hiperglikemia berat berakibat glukosuria yang akan menjadi dieresis

osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa

haus (polidipsia).

c. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia), berat badan berkurang

d. Lelah dan mengantuk

e. Kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi dan peruritis pulva.

2.1.4. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

Menurut Pudiastuti (2015), diabetes melitus dapat didiagnosa

apabila:

a. Terdapat gejala diabetes melitus + salah satu dari gula darah

(puasa>140mg/dl, 2 jam PP >200mg/dl, random >200mg/dl.

b. Tidak terdapat gejala diabetes melitus tetapi terdapat 2 hasil dari gula

darah (puasa >140mg/dl, 2 jam PP>200mg/dl, random >200mg/dl.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan

glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti


6

dengan Tes Toleransi Glukosa Oral Standar. Untuk kelompok risiko tinggi

DM, seperti usia dewasa tua.

Tabel 2.1 Pemeriksaan Diagnostik

2 jam PP
Sewaktu Puasa/Nuchter (post
porandial)
Kadar Glukosa
>200 mg/dl >140 mg/dl >200 mg/dl

Aseton Plasma (+) dan mencolok


Asam lemak Peningkatan lipid dan kolestrol
Osmolaritas Serum >330 osm/l
Urinalis Proteinuria, ketonuria dan glukosuria

2.1.5. Komplikasi

Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka

panjang yang serius, yang lebih sering terjadi adalah serangan jantung dan

stroke. Kerusakan pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan

penglihatan (renopati diabetikum). Sedangkan kelainan fungsi ginjal

menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani dialysis.

Berikut ini uraian berbagai jenis komplikasi pada penderita diabetes

menurut Nabyl (2015), yaitu :

a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis diabetik merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang

serius dan harus segera diatasi. Pada diabetes melitus yang tidak

terkendali kadar gula darah yang terlalu tinggi dan kadar hormon

insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai


7

sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk

sumber energi. Pemecah lemak tersebut kemudian menghasilkan benda-

benda keton dalam darah menurun (asidosis).

b. Komplikasi Makrovaskuler

Tiga jenis komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada

penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh

darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer.

c. Komplikasi Mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita diabetes tipe

I. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang

terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah

menjadi semakin lemah dan rapuh serta terjadi penyumbatan pada

pembuluh- pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong

timbulnya komplikasi- komplikasi mikrovaskuler antara lain retinopati,

nefropati dan neuropati.

d. Komplikasi Kaki Diabetik

Kaki diabetik merupakan komplikasi diabetes yang dapat menyebabkan

gangren dan mengarah pada tindakan amputasi. Gangren adalah proses

atau keadaan yang ditandai jaringan mati dan nekrosis.

e. Retinopati Diabetik

Salah satu komplikasi yang kerap dialami adalah munculnya diabetik

retinopathy (komplikasi diabetes pada retina), glaucoma dan gangguan

pada retina pusat (macula) yang dapat menyebabkan gangguan


8

penglihatan hingga kebutaan. Diabetes pada retina merupakan penyebab

kebutaan paling umum pada orang dewasa.

2.1.6. Pengobatan

Menurut Soelistijo dkk (2015) dalam buku Konsensus Pengelolaan

dan Pencegahan diabetes melitus tipe II, tujuan penatalasanaan secara

umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan

penatalaksanaan meliputi: 1) Tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan

keluhan Diabetes melitus, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi

risiko komplikasi akut. 2) Tujuan jangka panjang yaitu mencegah dan

menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati. 3)

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbilitas dan mortalitas

Diabetes melitus.

Penatalaksanaan Diabetes melitus dimulai dengan menerapkan

pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan

intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral atau

suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi

tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi

metabolik berat misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang

menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria harus segera dirujuk ke

pelayanan kesehatan sekunder dan tersier.

Menurut Pudiastuti (2015), pembagian terapi farmaologi untuk

diabetes, yaitu dengan obat hipoglikemik oral dimana obat golongan

sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah dapat secara


9

adekuat pada penderita diabetes melitus tipe-II, tetapi tidak efektif pada

diabetes tipe-I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutaid dan

klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara

merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan

efektifitasnya.

2.2. Insomnia

2.2.1. Pengertian

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur dengan jumlah atau

kualitas yang cukup. Individu yang menderita insomnia tidak merasa segar

pada saat bangun tidur. Terdapat tiga tipe insomnia yaitu : sulit tertidur

(insomnia awal), sulit untuk tetap tertidur karena sering terbangun atau

terbangun dalam waktu lama (insomnia intermiten berkala atau insomnia

pemeliharaan), terbangun pada dini hari atau terbangu sebelum waktunya

(insomnia terminal) (Perry & Potter, 2010).

Mencapai kualitas tidur yang baik penting untuk kesehatan, sama

halnya dengan sembuh dari penyakit. Klien yang sedang sakit sering kali

membutuhkan lebih banyak tidur dan istirahat dari pada klien yang sehat.

Namun demikian, biasanya penyakit mencegah beberapa klien untuk

mendapatkan tidur dan istirahat yang adekuat. Lingkungan rumah sakit dan

fasilitas perawatan jangka panjang dan aktivitas pemberi layanan seringkali

membuat klien sulit tidur (Potter & Perry, 2010).

Kualitas tidur seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukkan

tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya.


10

Sedangkan kualitas tidur dikatakan buruk apabila menunjukkan tanda-tanda

kekurangan tidur. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat menjadi tanda fisik

meliputi ekspresi wajah (area gelap disekitar mata, bengkak dikelopak

mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang

berlebihan (sering menguap), tidak mampu untuk berkonsentrasi (kurang

perhatian) terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual

dan pusing. Tanda psikologis meliputi menarik diri, apatis dan respon

menurun, merasa tidak enak badan, malas berbicara, daya ingat berkurang,

bingung, timbul halusinasi dan ilusi penglihatan atau pendengaran,

kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun

(Magfirah, 2016).

2.2.2. Fisiologi Tidur

Siklus alami tidur diperkirakan dikendalikan oleh pusat yang

terletak di bagian bawah otak. Pusat ini secara aktif menghambat keadaan

terjaga, sehingga menyebabkan tidur (Kozier, 2011). Fisiologi tidur

merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme

sereable yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat

otak agar dapat tidur dan bangun, Tidur merupakan aktifitas yang

melibatkan susunan saraf pusat, saraf perifer, sistem endokrin, sistem

kardiosvakuler, sistem respirasi, sistem musculoskeletal. Tiap kejadian

tersebut dapat di identifikasi atau di rekam dengan electreoencephalogram

(EEG) untuk aktifitas listrik otak, pengukuran tonus otot dengan


11

menggunakan elektromiogram (EMG) dan elektroculogram (EOG) untuk

mengukur pergerakan mata (Phitri, 2013).

Pengaturan dan control tidur tergantung dari hubungan antara dua

mekanisme selebral yang secara bergantian mengaktifkan dan menekan

pusat otak untuk tidur dan bangun. Recticular activating system (RAS) di

bagian batang otak atas di yakini mempunyai sel-sel khusus dalam

mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran. RAS memberikan stimulus

visual, audiotori, nyeri dan sensori raba. Juga menerima stimulus dari

korteks serebri (emosi, proses, pikir) (Phitri, 2013).

2.2.3. Tahap Tidur

Tidur dapat didefinisikan secara perilaku, fungsional, dan

elektrofisiologi. Monitor elektrofisiologi tidur disebut polisomnografi dan

sedikitnya mencakup tiga parameter : (1) aktivitas gelombang otak, (2)

pergerakan mata, (3) tonus otot. Polisomnografi memperlihatkan bahwa

tidur dapat dibagi menjadi tahapan REM dan NREM. Tidur NREM dapat

dibagi kembali menjadi tahap 1 hingga 4. Setiap tahap bervariasi alam

kedalaman namun memiliki karakteristik yang lambat, pergerakan bola

mata yang memutar, aktifitas kognitif yang rendah dan terpisah-pisah,

pertahanan tonus otot yang sedang, serta denyut jantung dan frekuensi

pernapasan yang lebih lambat namun tetap ritmis. Saat individu menjalani

tidur dari tahap 1 hingga tahap 4, gelombang otak yang direkam oleh

elektroensefalografi (EEG) menjadi lebih tersinkronisasi, lambat, dan tingi

dalam amplitude (Black dan Hawks, 2014).


12

Menurut Black dan Hawks (2014_, adapun tahapan tidur

dikarakterisasi sebagai berikut :

a. Tahap 1 sangat ringan. Respirasi mulai melambat dan otot mulai rileks.

Pada onset tidur, pola napas yang tidak teratur mungkin muncul seperti

halnya sentakan mioklonik yang tiba-tiba (tidur dimulai) saat tubuh

bergeser dari kondisi bangun ke tidur. Tahap 1 merupakan tahapan

yang sangat ringan dari tidur sehingga orang-orang yang terbangun

dari tahapan ini seringkali mengatakan bahwa mereka tidak tertidur

sama sekali.

b. Tahap 2 masih merupakan tidur ringan. Gelombang otak pada tahap ini

sering kali memiliki pola menyatu dan voltase rendah, dengan letupan

aktivitas elektrik yang disebut spindles tidur dan gelombang dengan

amplitude besar yang disebut kompleks K. lebih dari 50% tidur terjadi

pada tahapan 1 dan 2.

c. Tahap 3 dan 4 merupakan tidur gelombang lambat, dinamakan

berdasarkan karakteristik voltase tinggi, frekuensi rendah dari

gelombang delta. Respirasi menjadi lambat dan teratur. Denyut nadi

dan tekanan darah menurun. Konsumsi oksigen oleh jaringan otot dan

pembenukan urine menurun. Mimpi yang muncul pada tahapan tidur

NREM biasanya merupakan ruminasi mirip ingatan mengenai kejadian

yang baru tejadi dan focus saat itu dengan cerita tambahan.

Elektroensefalogram (EEG) memberikan gambaran jelas mengenai

apa yang terjadi selama tidur. Elektroda dipasang diberbagai bagian kulit
13

kepala orang yang sedang tidur. Elektroda menyalurkan energi listrik dari

korteks serebral ke pena yang mencatat gelombang otak pada kertas grafik.

Menurut Kozier (2011), ada dua tipe tidur yang telah di identifikasi seperti

tidur NREM (non-REM) dan tidur REM (rapid eye movement atau

pergerakan mata cepat). Menurut Kozier (2011), tahapan tidur dibedakan

sebagai berikut :

a. Tidur Non rapid Eye Movement (NREM)

Tidur NERM juga disebut sebagai tidur gelombang lambat

karena gelombang otak orang yang sedang tidur lebih lambat

dibandingkan gelombang alfa dan beta orang yang sedang bangun

atau terjaga. Kebanyakan tidur dimalam hari adalah tidur NERM.

Tidur NERM adalah tidur yang dalam dan tenang dan menurunkan

beberapa fungsi fisiologis. Pada dasarnya, semua proses metabolik

yang meliputi tanda-tanda fital, metabolisme, dan kerja otot menjadi

lambat. Bahkan menelan dan produksi saliva juga berkurang.

b. Tidur Rapid Eye Movement (REM)

Tidur REM biasanya kembali terjadi sekitar setiap 90 menit

dan berlangsung selama 5 sampai 30 menit. Tidur REM tidak setenang

tidur NREM dan mimpi paling sering terjadi selama tidur REM, lebih

jauh, mimpi ini biasa diingat; yaitu mimpi tersebut dimasukkan

kedalam memori.

Selama tidur REM, otak sangat aktif dan metabolisme otak

dapat meningkat sebesar 20%. Tipe tidur ini juga disebut tidur
14

paradoksikal karena tampaknya bertentangan (paradok) bahwa tidur

dapat terjadi secara simultan dengan tipe aktivitas otak ini. Pada fase

ini, individu yang sedang tidur dapat sulit dibangunkan atau dapat

bangun dengan spontan, tonus otot ditekan,sekresi lambung

meningkat, dan denyut jantung serta frekuensi pernapasan sering kali

tidak teratur.

2.2.4. Siklus Tidur

Selama siklus tidur, individu melalui tidur NREM dan REM, siklus

komplit biasanya berlangsung selama 1,5 jam pada orang dewasa. Dalam

siklus tidur pertama, orang yang tidur melalui ketiga tahap pertama tidur

NERM dalam total waktu 20 sampai 30 menit. Kemudian, tahap IV dapat

berlangsung selama 30 menit. Setelah tahap IV NREM, tidur kembali

ketahap III dan II sekitar 20 menit. Setelah itu, terjadi tahap REM pertama,

yang berlangsung sekitar 10 menit, melengkapi siklus tidur pertama. Orang

tidur biasanya mengalami empat sampai enam siklus tidur selama 7 sampai

8 jam. Orang tidur yang dibangunkan ditahap manapun harus memulai

tahap I tidur NREM yang baru dan berlanjut ke seluruh tahap tidur REM

(Kozier, 2011).

Durasi tahap tidur NREM dan REM bervariasi selama periode tidur.

Seiring dengan berlalunya malam, orang tidur menjadi tidak terlalu lelah

dan meluangkan lebih sedikit waktu di tahap III dan IV tidur NREM. Tidur

REM meningkat dan mimpi cenderung memanjang. Apabila orang tidur

sangat lelah, siklus REM seringkali terjadi secara singkat misalnya, 5 menit
15

sebagai ganti 20 menit selama bagian awal tidur. Sebelum tidur berakhir,

terjadi periode hampir terbangun, dan didominasi oleh tahap I dan II tidur

NREM dan tidur REM.

2.2.5. Fungsi Tidur

Efek tidur pada tubuh tidak dipahami secara penuh. Tidur memberi

pengaruh fisiologis pada sistem saraf dan struktur tubuh lain. Tidur

sedemikian rupa memulihkan tingkat aktivitas normal dan keseimbangan

normal diantara bagian sistem saraf. Tidur juga penting untuk sintesis

protein, yang memungkinkan terjadinya proses perbaikan.

Peran tidur dalam kesejahteraan psiologis paling terlihat dengan

makin memburuknya fungsi mental akibat tidak tidur. Individu dengan

jumlah tidur yang tidak cukup cenderung menjadi mudah marah secara

emosional, memiliki konsentrasi yang buruk, dan mengalami kesulitan

dalam membuat keputusan (Kozier, 2011).

2.2.6. Gangguan Tidur Umum

Menurut Kozier (2011), gangguan tidur dapat dikategorikan sebagai

parasomnia, gangguan primer dan gangguan sekunder.

a. Parasomnia, adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau terjadi

selama tidur. Internasional Classification of Sleep Disorder (American

Sleep Disorder Assosiation,1997) membagi parasomnia menjadi

gangguan terjaga (berjalan dalam tidur, teror tidur), gangguan

transmisi bangun tidur (mengigau), parasomnia yang berhubungan

dengan tidur REM (mimpi buruk).


16

b. Gangguan Tidur Primer

Gangguan tidur primer adalah gangguan yang masalah

utamanya berupa masalah tidur seseorang, seperti :

1) Insomnia, gangguan tidur yang paling sering terjadi adalah

ketidakmampuan untuk tidur dengan jumlah atau kualitas yang

cukup. Individu yang menderita insomnia tidak merasa segar pada

saat bangun tidur. Terdapat tiga tipe insomnia yaitu : sulit tertidur

(insomnia awal), sulit untuk tetap tertidur karena sering terbangun

atau terbangun dalam waktu lama (insomnia intermiten berkala

atau insomnia pemeliharaan), terbangun pada dini hari atau

terbangu sebelum waktunya (insomnia terminal).

2) Hipersomnia, kebalikan dari insomnia adalah tidur

berlebihan terutama disiang hari. Individu yang mengalami

hipersomnia sering kali tidur disiang hari dan banyak tidur siang.

Hipersomnia dapat disebabkan oleh kondisi medis misalnya

kerusakan sistem saraf pusat dan gangguan ginjal, hati atau

metabolik tertentu. Pada beberapa seseorang menggunakan

hipersomnia sebagai sebuah mekanisme koping untuk

menghindari tanggung jawab selama siang hari.

3) Narkolepsi, adalah gelombang rasa ngantuk yang

berlebihan secara mendadak yang terjadi disiang hari, sehingga

narkolepsi juga disebut sebagai serangan tidur. Penyebabnya tidak

diketahui walau diyakini sebagai narkolepsi terjadi karena


17

kurangnya hipokretin kimia dalam sistem saraf pusat yang

mengatur tidur. Awitan gejala sering terjadi antara usia 15-30

tahun.

4) Apnea tidur, adalah henti nafas secara periodic. Apnea tidur

sering terjadi pada seseorang yang mendengkur dengan keras,

sering terjaga diwaktu malam, mengalami rasa kantuk berlebihan

disiang hari, insomnia, sakit kepala dipagi hari, kemunduran

intelektual, iritabilitas atau perubahan keperibadian lain, serta

perubahan fisiologis seperti hipertensi dan aritma jantung.

5) Deprivasi Tidur, gangguan berkepanjangan dalam jumlah,

kualitas dan konsistensi tidur dapat memicu syndrome yang

disebut deprivasi (kurang) tidur.

c. Gangguan Tidur Sekunder

Gangguan tidur sekunder adalah gangguan tidur yang disebabkan

oleh kondisi klinis lain. Gangguan ini mungkin dikaitkan dengan

kondisi mental, neurologi, atau kondisi lain. Contoh dari kondisi yang

menyebabkan gangguan tidur sekunder adalah depresi, alkoholisme,

demensia, parkinsomnia, disfungsi tiroid, penyakit paru obstruksi

menahun, dan penyakit tukak lambung.

2.2.7. Faktor Penyebab Insomnia

Menurut Kozier (2011), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

tidur sebagai berikut :


18

a. Sakit (Nyeri), sakit yang menyebabkan nyeri atau gangguan fisik dapat

menyebabkan masalah tidur. Orang yang sakit memerlukan tidur lebih

banyak dibandingkan keadaan normal dan irama tidur dan bangun

yang normal sering kali terganggu. Orang yang kurang mendapatkan

waktu tidur REM pada akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu

tidur dibandingkan orang normal pada tahap tidur ini.

b. Lingkungan, lingkungan dapat mempercepat atau memperlambat tidur,

setiap perubahan misalnya suara bising dilingkungan dapat

menghambat tidur. Ketiadaan stimulus yang biasa atau kebiadaan

stimulus yang tidak biasa dapat mencegah orang untuk tidur. Tidur

tahap I adalah tidur yang paling ringan dan tidur tahap III dan IV

adalah tidur yang paling dalam, hasilnya suara yang lebih keras

dibutuhkan untuk membangunkan orang yang berada dalam tidur tahap

III dan IV. Namun, jika waktunya telah berlebihan, seseorang menjadi

terbiasa dengan suara bising sehingga tingkat suara menjadi tidak lagi

berpengaruh.

c. Letih, diperkirakan bahwa orang yang lebih sedang biasanya

mengalami tidur yang tenang. Letih juga mempengaruhi pola tidur

seseorang. Semakin letih seseorang, semakin pendek periode tidur

REM (paradoksikal) pertama, saat seseorang beristirahat adalah faktor

penting yang mempengaruhi kemampuan untuk tertidur.

d. Gaya Hidup, seseorang yang jam kerjanya bergeser dan sering kali

berganti jam kerja harus mengatur aktivitas untuk siap tertidur pada
19

saat yang tepat. Olahraga sedang biasanya kondusif untuk tidur, tetapi

olahraga yang berlebihan dapat memperlambat tidur. Kemampuan

seseorang untuk relaks sebelum beristirahat adalah faktor penting yang

mempengaruhi kemampuan untuk tertidur.

e. Stres Emosional, ansietas dan depresi sering kali menggangu tidur,

seorang yang pikirannya dipengaruhi dengan masalah pribadi mungkin

tidak mampu relaks dengan cukup untuk dapat tidur. Ansietas

meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulus sistem

siraf simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu

tidur tahap IV NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan

dalam tahap tidur lain dan lebih sering terbangun.

f. Stimulan dan Alkohol, minuman yang mengandung kafein bekerja

sebagai stimulan sistem saraf pusat, sehingga mempengaruhi tidur.

Orang yang minum alkohol dengan jumlah yang berlebihan sering kali

mengalami gangguan waktu tidur. Alkohol yang berlebihan

mengganggun tidur REM, walaupun dapat mempercepat awitan tidur.

Semenetara mengganti kehilangan waktu tidur REM setelah beberapa

efek yang disebabkan oleh alkohol menghilang, individu sering kali

mengalami mimpi buruk. Orang yang toleran terhadap alkohol

mungkin tidak mampu tidur dengan baik dan akibatnya menjadi

mudah marah.

g. Diet, penurunan berat badan telah dihubungkan dengan pengurangan

waktu tidur total serta tidur yang terputus dan bangun tidur lebih awal.
20

Disisi lain pertambahan berat badan tampak berhubungan dengan

peningkatan total waktu tidur, berkurangnya tidur yang terputus, dan

bangun tidur lebih lambat.

h. Merokok, nikotin memiliki efek stimulant pada tubuh dan perokok

sering kali sulit tertidur dibandingkan bukan perokok. Perokok

biasanya mudah terbangun dan sering kali menggambarkan diri

mereka sebagai orang yang tidur diwaktu fajar, dengan tidak merokok

setelah makan malam, seseorang biasanya dapat tidur dengan lebih

baik.

i. Motivasi, keinginan untuk tetap terjaga sering kali dapat mengatasi

rasa letih seseorang. Misalnya, seseorang yang sudah lelah mungkin

dapat tetap terjaga saat menghadiri konser yang menarik. Sebalinya,

ketika seseorang mengalami rasa bosan dan tidak termotivasi untuk

tetap terjaga, tidur sering kali terjadi dengan cepat.

j. Obat-obatan, beberapa obat mempengaruhi kualitas tidur. Hipnotik

dapat mempengaruhi tahap III dan IV tidur NREM dan menekan tidur

REM. Penyekat beta diketahui menyebabkan insomnia dan mimpi

buruk. Narkotik seperti meperidin hidrokloroda (damerol) dan morfin

diketahui menekan tidur REM dan menyebabkan sering terbangun dan

rasa ngantuk. Obat penenang mempengaruhi tidur REM. Amfetamin

anti depresan menurunkan tidur REM secara tidak normal.

2.3. Faktor-Faktor Penyebab Insomnia


21

Beberapa studi menyebutkan bahwa diantara faktor-faktor yang

dianggap mempengaruhi kejadian insomnia adalah : jenis kelamin

perempuan, usia, status perkawinan, pendapatan, tingkat pendidikan.

Sebuah studi meta analisis dari 29 studi mengenai insomnia mendapatkan

wanita (41%) lebih beresiko mengalami insomnia dibanding laki-laki.

Pada studi lain yang dilakukan oleh National Sleep Foundation

mendapatkan 57% wanita mengalami insomnia paling tidak beberapa

malam dalam seminggu. Pada sebuah penelitian didapatkan kejadian

insomnia meningkat seiring pertambahan umur dan pada individu dengan

status sosio ekonomi rendah (Susanti, 2015).

2.3.1. Usia

Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia.

Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut

usia) dimana pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau

perubahan kondisi fisik,psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi

satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah

kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu

lanjut usia (Sarwono, 2011).

Terdapat banyak perubahan fisiologis yang normal pada lansia.

Perubahan ini tidak bersifat patologis, tetapi dapat membuat lansia lebih

rentan terhadap beberapa penyakit. Perubahan terjadi terus menerus seiring

usia. Perubahan spesifik pada lansia dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya

hidup, stressor, dan lingkungan. Perawat harus mengetahui proses


22

perubahan normal tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan tepat

dan membantu adaptasi lansia terhadap perubahan, salah satunya adalah

perubahan neurologis. Akibat penurunan jumlah neuron fungsi

neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh kesulitan untuk

tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur

setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang

berlebihan. Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam

siklus tidur-terjaga (Potter & Perry 2010).

2.3.2. Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2012) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan

antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki

memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur

dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui.

Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak

dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-

laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumirta (2015) mengenai

faktor yang menyebabkan gangguan tidur (insomnia) pada lansia

didapatkan hasil penelitian paling banyak lansia mengalami insomnia

kategori tinggi sebanyak 46,7% dan paling banyak berjenis kelamin

perempuan 85,7%.
23

Hasil penelitian terkait lainnya dilakukan oleh Dewi (2013)

mengenai angka kejadian serta faktor yang mempengaruhi gangguan tidur

(insomnia) pada lansia di Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya

Denpasar Bali yang menyimpulkan bahwa berbagai faktor yang

mempengaruhi terjadinya insomnia pada lansia salah satunya adalah jenis

kelamin.

2.3.3. Pendidikan

Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar

dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara (Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi

manusia, aspek rohaniah dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara

bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada

optimalisasi perkembangan/pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana

berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir

perkembangan atau pertumbuhannya (UU RI No. 20, 2013).

Menurut UU RI No.23 tahun 2003 bahwa jenjang pendidikan

dikategorikan menjadi tiga, yaitu jenjang pendidikan dasar apabila

seseorang menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD)/sekolah

menengah pertama (SMP)/sederajat, jenjang pendidikan menengah yaitu


24

apabila seseorang menamatkan sekolah menengah atas (SMA)/sederajat

dan jenjang pendidikan tinggi apabila seseorang menamatkan jenjang

pendidikan Diploma/Sarjana/Pasca Sarjana dan seterusnya (UU RI No. 20,

2013).

2.3.4. Stres

Stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak bisa di

hindari oleh semua orang, stres atau ketegangan emosional dapat

mempengaruhi sistem kardiovaskular, dan stres dipercaya sebagai faktor

psikologis yang dapat meningkatkan risiki terjadinya insomnia (Marliani,

2011).

Tingkat stress Menurut Rasmun dalam Sutomo (2011), stress

terbagi menjadi tiga tahapan yang meliputi :

a. Stres ringan, stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang

secara teratur umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya; lupa,

kebanyakan tidur, kemacetan, dan dikritik.

b. Stres sedang dimana stress sedang terjadi lebih lama, dari beberapa

jam sampai beberapa hari, misalnya perselisihan kesepakatan yang

belum selesai, dan permasalahan keluarga.

c. Stres berat dimana berat sendiri merupakan stres kronis yang terjadi

beberapa tahun misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis,

kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama.

Stres itu sendiri menurut Kaplan (2012), adalah suatu keadaan atau

respon tubuh terhadap setiap tekanan dan tuntutan yang di hasilkan oleh
25

perubahan dalam lingkungan, baik dari kondisi menyenangkan maupun

tidak menyenangkan. Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda

terhadap stress yang di alami, sehingga gejalagejalanya juga berbeda-beda

seperti yang di ungkapkan oleh Munajat (2012) yaitu gejala fisik,

mencakup nafas cepat, bibir kering, tangan lembab, merasa gerah dan

panas, otot-otot tegang, diare atau sembelit, mudah lelah, sakit kepala, dan

gelisah dan gejala perilaku, antara lain adalah bingung, cemas, jengkel,

kehilangan semangat, kesulitan dalam berkonsentrasi, kesulitan membuat

keputusan, dan hilangnya kreatifitas.


26

2.4. Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori yang telah di bahas dalam tinjauan pustaka,

maka kerangka teoritis dapat di gambarkan sebagai berikut :

Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tidur

- Nyeri
- Lingkungan
- Letih
- Gaya hidup
- Stimulant dan alkohol
- Diet
- Merokok
- Motivasi
- Obat-obatan

Kozier (2011)
Diabetes Gangguan Tidur
Mellitius (Insomnia)
Faktor penyebab
insomnia :

- Jenis Kelamin*
- Usia*
- Status Perkawinan
- Pendapatan
- Tingkat Pendidikan*
- Stres*

Susanti (2015)

Skema 2.1
Kerangka Teoritis

Keterangan :

Variabel diteliti*
27

Variabel tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai