Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah bagian dari kesehatan secara menyeluruh, bukan

sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan bahagia,

sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

diterjemahkan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,

intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang. Perkembangan tersebut

berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Febriani, 2008). Himpitan hidup yang

semakin berat di alami hampir oleh semua kalangan masyarakat sehingga dapat

mengakibatkan gangguan kesehatan jiwa (Intan, 2010).

Menurut Hawari (2001) yang mengutip pendapat Mardjono (1992) dan

Setyonogoro (1980) bahwa gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu

dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri.

Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker,

gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap

sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya

gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu

maupun kelompok akan menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif

dan tidak efisien.

Penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling produktif, yakni antara

15-44 tahun adalah gangguan jiwa. Dampak sosialnya sangat serius berupa

Universitas Sumatera Utara


penolakan, pengucilan dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa

hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang

harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga

maupun masyarakat (Siswono, 2001).

Seseorang dikatakan terkena gangguan jiwa apabila tidak mampu lagi

berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari, di rumah, di sekolah/kampus,

di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya. Seseorang yang menderita gangguan

jiwa akan mengalami ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupannya

sehari-hari (Hawari, 2001). Permasalahan gangguan jiwa tidak hanya berpengaruh

terhadap produktivitas manusia, juga berkaitan dengan kasus bunuh diri. Temuan

WHO menunjukkan, diperkirakan 873.000 orang bunuh diri setiap tahun. Lebih dari

90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti Depresi,

Skizofrenia, dan ketergantungan terhadap alkohol (Febriani, 2008).

Menurut WHO, masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi

masalah yang sangat serius. WHO menyatakan paling tidak ada 1 dari 4 orang di

dunia mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia

yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006, dalam Yulian, 2008).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan 14,1% penduduk

Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data jumlah

pasien gangguan jiwa di Indonesia terus bertambah. Dari 33 Rumah Sakit Jiwa

diseluruh Indonesia diperoleh data bahwa hingga kini jumlah penderita gangguan

jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi

Universitas Sumatera Utara


di sejumlah kota besar. Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta, tercatat 10.074 kunjungan

pasien jiwa pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat hingga

100% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2006-2007, Rumah Sakit

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan

pada awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat

inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan (Garcia, 2009).

Skizofrenia adalah gangguan yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan

gangguan jiwa lainnya. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995

menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita Skizofrenia. Sebagian besar

(75%) penderita Skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja

dan dewasa muda memang beresiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor

(Febriani, 2008).

Hingga sekarang penanganan penderita Skizofrenia belum memuaskan,

disebabkan ketidaktahuan (ignorancy) keluarga maupun masyarakat terhadap jenis

gangguan jiwa. Diantaranya adalah masih terdapatnya pandangan yang negatif

(stigma) dan bahwa Skizofrenia bukanlah suatu penyakit yang dapat diobati dan

disembuhkan. Stigma lainnya adalah sikap keluarga dan masyarakat yang

menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarganya menderita Skizofrenia,

hal ini merupakan aib bagi keluarga. Oleh karena itu, seringkali penderita Skizofrenia

disembunyikan bahkan dikucilkan karena rasa malu (Hawari, 2001).

Universitas Sumatera Utara


Banyak sekali orang yang percaya bahwa gangguan jiwa tidak mungkin bisa

disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara

normal di masyarakat. Persepsi yang muncul kemudian dalam taraf yang lebih jauh

akan menyebabkan orang tidak mau untuk mengetahui permasalahan kesehatan jiwa

baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Di Indonesia, pengetahuan seseorang

tentang gangguan jiwa dipengaruhi erat oleh kultur budaya. Seseorang dengan

gangguan jiwa sering dianggap terkena guna-guna, menderita suatu dosa ataupun

terkena pengaruh setan atau makhluk halus lainnya (Irma, 2010).

Sebuah keluarga dengan penderita gangguan jiwa perlu mengetahui dan

menyadari keadaan diri penderita, mengambil keputusan untuk menentukan

bagaimana sikap yang sebaiknya di ambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak

diinginkan. Banyak keluarga yang mempunyai pendapat bahwa pasien boleh berhenti

minum obat atau berobat apabila gejala-gejala sudah menghilang atau berkurang, juga

banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu

medikasi untuk dapat sembuh saat proses pemulihan di rumah. Hal ini jelas keliru,

terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi

medik, namun diperlukan peran keluarga guna resosialisasi dan pencegahan

kekambuhan (Irma, 2010).

Tantangan terbesar untuk penanganan masalah gangguan jiwa terletak pada

keluarga dan masyarakat. Masyarakat tidak hanya bertugas membawa anggotanya ke

Rumah Sakit Jiwa jika ada yang menderita gangguan jiwa, tetapi juga aktif untuk

menerima penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam

Universitas Sumatera Utara


kegiatan masyarakat, dan yang paling penting memantau perilaku pasien selama di

Rumah Sakit Jiwa (Moersalin, 2009).

Fenomena lain yang menarik adalah adanya kecenderungan

keluarga/masyarakat untuk menjadikan Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat

pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak

pernah membesuk lagi, pasien dianggap sudah menjadi tanggungjawab petugas

Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan pasien

Konsekuensinya, sering kita temukan pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi

warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan

siapa keluarganya (Moersalin, 2009).

Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Kalimantan Timur mengalami

kelebihan pasien, yang salah satu faktor penyebabnya karena ada sejumlah pasien

yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak diterima oleh keluarganya, sehingga

untuk sementara waktu pasien yang telah dinyatakan sembuh tersebut sebanyak 40%

ditampung di Rumah Sakit tersebut (Yuli, 2009).

Masalah yang hampir sama juga dijumpai di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Sumatera Utara. Setelah melakukan observasi dan tanya jawab dengan

perawat, ada sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak dijemput

oleh keluarganya. Hal ini di dukung data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 yang menunjukkan angka LOS (Length

of Stay) 75 hari dan BOR (Bed Occupancy Rate) 97,7% dengan rata-rata jumlah

pasien rawat inap berkisar 400 orang perhari. Angka ini belum sesuai dengan angka

Universitas Sumatera Utara


normal yaitu menurut SK Menkes RI no 129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar

pelayanan minimal Rumah Sakit LOS normal yaitu ≤ 6 minggu, dan menurut Depkes

RI tahun 2005 BOR normal 60-85%.

Kegiatan penyembuhan yang dilakukan pihak Rumah Sakit akan menjadi sia-

sia untuk kesembuhan pasien jika tidak mendapat dukungan keluarga dan masyarakat,

karena dukungan keluarga sangat berarti bagi kesembuhan pasien (Salsabil, 2008).

Menurut Tomb (2003) kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting

dalam menimbulkan kekambuhan pasien gangguan jiwa.

Berdasarkan hasil penelitian Vaugh (1976) dan Synder (1981)

memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan,

mengkritik) diperkirakan kambuh, hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga

dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan

ekspresi emosi yang rendah (Yosep, 2007). Menurut ahli teori keluarga, gejala pada

setiap anggota keluarga merupakan cerminan dari perilaku dan hubungan

disfungsional dan pola komunikasi yang tidak sehat (Copel, 2007) yang akhirnya

dapat menyebabkan kekambuhan dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa

kembali.

Banyak pasien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga

yang datang ke Rumah Sakit hanya untuk urusan administrasi, akibatnya, keluarga

tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah pasien dan cara penanganannya

(Keliat, 1996).

Universitas Sumatera Utara


Selama ini ada kesalahan dalam menerapkan pelayanan kesehatan jiwa,

dimana pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang

yang datang hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, setelah sembuh mereka

pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar penanganan

kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat (community based),

sehingga masyarakat diharapkan mampu menangani kasus gangguan jiwa yang

ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit Jiwa (Moersalin,

2009).

Tidak dapat dipungkiri keluarga juga akan mengalami krisis dan mengalami

tekanan saat mendapati bahwa salah satu anggota keluarganya menderita gangguan

jiwa. Tekanan ini akan menjadi sumber stres bagi para anggota dalam dalam keluarga

tersebut. Sementara itu, bagi keluarga yang rentan terhadap stres, tentunya akan

mengganggu peran mereka sebagai system support yang berujung pada semakin

tidak stabilnya penderita gangguan jiwa dalam proses penyembuhan (Kristyanti &

Rosalina, 2009). Untuk mengatasi stres yang ada, maka keluarga memiliki cara

spesifik untuk menurunkan stressor dan mengatur situasi dalam mengatasi stressor

yang dikenal dengan istilah mekanisme koping.

Lazarus dan Folkman (1984) mengkategorikan koping menjadi 2 yaitu

emotion focused coping dan problem focused coping. Emotion focused coping

merupakan suatu usaha untuk mengontrol respon emotional terhadap situasi yang

sangat menekan, sedangkan problem focused coping adalah usaha untuk mengurangi

Universitas Sumatera Utara


stresor dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru

untuk digunakan mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menganalisis bagaimana pengaruh

pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien

gangguan jiwa( Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah

bagaimana pengaruh pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga

untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang di Badan

Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan

mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa

(Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh pengetahuan dan mekanisme

koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa(Skizofrenia)

yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari :

1) Manfaat teoritis yaitu agar dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam

bidang ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan

masalah kesehatan jiwa yang terdapat di masyarakat beserta peran serta keluarga

dalam menerima dan mengatasi kondisi tersebut.

2) Manfaat praktis yaitu :

a. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara

Sebagai sumber data untuk pengambilan kebijakan dalam menetapkan program-

program kesehatan jiwa dan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya

mengubah pengetahuan dan mekanisme koping yang maladaptif pada keluarga

dengan cara mengoptimalkan peran perawat selaku pemberi asuhan keperawatan

bagi pasien maupun keluarganya.

b. Penelitian selanjutnya

Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan

dengan topik yang sama.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai