Chapter I
Chapter I
PENDAHULUAN
sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan bahagia,
sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa
berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Febriani, 2008). Himpitan hidup yang
semakin berat di alami hampir oleh semua kalangan masyarakat sehingga dapat
Setyonogoro (1980) bahwa gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu
dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri.
gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu
Penyebab utama disabilitas pada kelompok usia paling produktif, yakni antara
15-44 tahun adalah gangguan jiwa. Dampak sosialnya sangat serius berupa
hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang
harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga
terhadap produktivitas manusia, juga berkaitan dengan kasus bunuh diri. Temuan
WHO menunjukkan, diperkirakan 873.000 orang bunuh diri setiap tahun. Lebih dari
90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan jiwa seperti Depresi,
masalah yang sangat serius. WHO menyatakan paling tidak ada 1 dari 4 orang di
dunia mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia
yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006, dalam Yulian, 2008).
Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data jumlah
pasien gangguan jiwa di Indonesia terus bertambah. Dari 33 Rumah Sakit Jiwa
diseluruh Indonesia diperoleh data bahwa hingga kini jumlah penderita gangguan
jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi
pasien jiwa pada 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, jumlah pasien meningkat hingga
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara hanya menerima 25-30 penderita perhari, dan
pada awal 2008 mengalami peningkatan , 50 penderita perhari untuk menjalani rawat
inap dan sekitar 70-80 penderita untuk rawat jalan (Garcia, 2009).
gangguan jiwa lainnya. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995
(75%) penderita Skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja
dan dewasa muda memang beresiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor
(Febriani, 2008).
(stigma) dan bahwa Skizofrenia bukanlah suatu penyakit yang dapat diobati dan
hal ini merupakan aib bagi keluarga. Oleh karena itu, seringkali penderita Skizofrenia
disembuhkan dan orang yang menderitanya tidak mungkin bisa berfungsi secara
normal di masyarakat. Persepsi yang muncul kemudian dalam taraf yang lebih jauh
akan menyebabkan orang tidak mau untuk mengetahui permasalahan kesehatan jiwa
baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Di Indonesia, pengetahuan seseorang
tentang gangguan jiwa dipengaruhi erat oleh kultur budaya. Seseorang dengan
gangguan jiwa sering dianggap terkena guna-guna, menderita suatu dosa ataupun
bagaimana sikap yang sebaiknya di ambil agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Banyak keluarga yang mempunyai pendapat bahwa pasien boleh berhenti
minum obat atau berobat apabila gejala-gejala sudah menghilang atau berkurang, juga
banyak keluarga yang berpendapat bahwa penderita gangguan jiwa hanya perlu
medikasi untuk dapat sembuh saat proses pemulihan di rumah. Hal ini jelas keliru,
terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya pemberian obat dan rehabilitasi
Rumah Sakit Jiwa jika ada yang menderita gangguan jiwa, tetapi juga aktif untuk
menerima penderita setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa, melibatkannya dalam
pembuangan bagi orang dengan gangguan jiwa. Setelah diantar, keluarga tidak
Rumah Sakit Jiwa, sedangkan keluarga tidak mau tahu tentang keadaan pasien
Konsekuensinya, sering kita temukan pasien di Rumah Sakit Jiwa yang telah menjadi
warga disana lebih dari sepuluh tahun tanpa pernah diketahui dimana alamat dan
kelebihan pasien, yang salah satu faktor penyebabnya karena ada sejumlah pasien
yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak diterima oleh keluarganya, sehingga
untuk sementara waktu pasien yang telah dinyatakan sembuh tersebut sebanyak 40%
Masalah yang hampir sama juga dijumpai di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara. Setelah melakukan observasi dan tanya jawab dengan
perawat, ada sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, namun tidak dijemput
oleh keluarganya. Hal ini di dukung data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2009 yang menunjukkan angka LOS (Length
of Stay) 75 hari dan BOR (Bed Occupancy Rate) 97,7% dengan rata-rata jumlah
pasien rawat inap berkisar 400 orang perhari. Angka ini belum sesuai dengan angka
pelayanan minimal Rumah Sakit LOS normal yaitu ≤ 6 minggu, dan menurut Depkes
Kegiatan penyembuhan yang dilakukan pihak Rumah Sakit akan menjadi sia-
sia untuk kesembuhan pasien jika tidak mendapat dukungan keluarga dan masyarakat,
karena dukungan keluarga sangat berarti bagi kesembuhan pasien (Salsabil, 2008).
Menurut Tomb (2003) kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting
dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan
ekspresi emosi yang rendah (Yosep, 2007). Menurut ahli teori keluarga, gejala pada
disfungsional dan pola komunikasi yang tidak sehat (Copel, 2007) yang akhirnya
kembali.
Banyak pasien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga
yang datang ke Rumah Sakit hanya untuk urusan administrasi, akibatnya, keluarga
(Keliat, 1996).
dimana pelayanan kesehatan jiwa hanya berbasis di Rumah Sakit, sehingga orang
yang datang hanya yang mengalami gangguan jiwa berat, setelah sembuh mereka
pulang dan akan datang lagi jika terserang lagi. WHO menyarankan agar penanganan
kesehatan jiwa lebih ditekankan atau berbasis pada masyarakat (community based),
ringan, dan hanya yang berat yang dilayani oleh Rumah Sakit Jiwa (Moersalin,
2009).
Tidak dapat dipungkiri keluarga juga akan mengalami krisis dan mengalami
tekanan saat mendapati bahwa salah satu anggota keluarganya menderita gangguan
jiwa. Tekanan ini akan menjadi sumber stres bagi para anggota dalam dalam keluarga
tersebut. Sementara itu, bagi keluarga yang rentan terhadap stres, tentunya akan
mengganggu peran mereka sebagai system support yang berujung pada semakin
tidak stabilnya penderita gangguan jiwa dalam proses penyembuhan (Kristyanti &
Rosalina, 2009). Untuk mengatasi stres yang ada, maka keluarga memiliki cara
spesifik untuk menurunkan stressor dan mengatur situasi dalam mengatasi stressor
emotion focused coping dan problem focused coping. Emotion focused coping
merupakan suatu usaha untuk mengontrol respon emotional terhadap situasi yang
sangat menekan, sedangkan problem focused coping adalah usaha untuk mengurangi
pengetahuan dan mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien
gangguan jiwa( Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah
1.2. Permasalahan
untuk menerima pasien gangguan jiwa (Skizofrenia) yang telah tenang di Badan
mekanisme koping terhadap sikap keluarga untuk menerima pasien gangguan jiwa
(Skizofrenia) yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa
yang telah tenang di Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sumatera Utara.
1) Manfaat teoritis yaitu agar dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam
masalah kesehatan jiwa yang terdapat di masyarakat beserta peran serta keluarga
a. Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara
b. Penelitian selanjutnya
Dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan