Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326133047

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM UPAYA PENCEGAHAN KONFLIK

Preprint · January 2018


DOI: 10.31219/osf.io/frvdw

CITATIONS READS

0 5,202

5 authors, including:

Syafrimen Syafril Azhar Jaafar


Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia University College of Yayasan Pahang
50 PUBLICATIONS   23 CITATIONS    8 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Menulis Akademik View project

PENGARUH GLOBALISASI BUDAYA DAN PEMBERDAYAAN FELDA TERHADAP AKHLAK REMAJA MUSLIM DI KUANTAN – PAHANG – MALAYSIA View project

All content following this page was uploaded by Syafrimen Syafril on 14 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM UPAYA PENCEGAHAN KONFLIK
1
Ahmad Zarkasi, 2Idrus Ruslan, 3Agustam, 4Syafrimen Syafril, 5Azhar Jaafar@Ramli
1, 2, 3, 4
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia, 5Kolej Yayasan Pahang, Malaysia
Email: 1zarkasi@radenintan.ac.id, 2idrusruslan@radenintan.ac.id, 3agustam@radenintan.ac.id,
4
syafrimen@radenintan.ac.id, 5azhar@kyp.edu.my

Abstrak

Dialog antar umat beragama mempunyai fungsi kritis ke dalam dan ke luar. Dialog demikian
menawarkan realitas baru untuk kemajuan hidup bersama dalam masyarakat, karena terjadi
proses yang dinamis dalam pemahaman keagamaan dan aplikasinya. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat dialog antar umat beragama dalam upaya pencegahan konflik. Penelitian
dijalankan menggunakan pendekatan kualitatif (multi case single-site exsploratory case study).
Data primer digali melalui observasi, wawancara secara mendalam (indepth interview) kepada
tokoh desa dan tokoh agama di kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, yang
memiliki masyarakat dari berbagai komunitas agama (Islam, Kristen, dan Katolik) secara
Snowballing technique. Data sekunder digali melalui analisis dokumen terhadap berbagai
buku, kitab suci agama, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Data
dianalisis secara kualitatif (tematik) berbantukan software NVIVO 10. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (i) dialog antar umat beragama berjalan melalui kegiatan sosial, (ii)
adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban bersama secara bergotong
royong, (iii) dukungan tokoh desa dan tokoh agama. Hasil penelitian ini didiskusikan dengan
berbagai teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, dan bisa dijadikan sebagai salah satu
acuan untuk menciptakan kedamaian, kerukunan, ketentraman, keharmonisan dan saling
menjunjung tinggi prinsip kebersamaan di tengah-tengan masyarakat majemuk.

Kata Kunci: Dialog antar umat beragama, Pencegahan konflik

1

A. Pengenalan

Satu hal yang terkenal dari masyarakat Indonesia adalah pluralisme agama. Dalam
masyarakat plural, hubungan antar agama bersifat dinamis dan selalu diwarnai oleh pasang
surut, baik dalam skala lokal, regional maupun nasional. Walaupun secara konsep dalam ajaran
agama masing-masing menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling
menghormati, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan, namun dalam realitas historis ternyata
konsep-konsep agama tersebut belum dapat terlaksana seperti yang diidam-idamkan oleh
masing-masing penganut agama. Oleh karena itu untuk mewujudkan konsep-konsep agama
tersebut perlu instrumen yang tepat yaitu “dialog”.

Dialog digambarkan sebagai keterbukaan pandangan antara orang-orang yang memiliki


kepedulian terhadap satu sama lain. Dialog antar umat beragama merupakan salah satu wujud
keserasian dan keharmonisan, karena adanya pandangan dan pendekatan positif antara satu
pihak dengan pihak yang lain. Dialog akan menghasilkan pengukuhan keserasian dan saling
pengertian1. Kecenderungan dialog tidak berhenti hanya sebagai suatu gaya hidup, tetapi juga
menjadi suatu pandangan hidup 2 . Orientasi dialog bukan untuk saling mengalahkan tetapi
untuk memahami antara satu pihak dengan lain dengan baik, mencapai kesepakatan penuh
secara universal. Dialog juga berorientasi sebagai sarana komunikasi untuk menjembatani
jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman dalam budaya yang berbeda, mengungkapkan
pandangan dalam bahasa masing-masing 3 . Dialog bukan hanya berorientasi untuk hidup
bersama secara damai dengan cara toleransi dengan pemeluk agama lain, melainkan juga
berpartisipasi secara aktif terhadap keberadaan pemeluk agama lain 4 . Lebih penting lagi
orientasi dialog adalah koesistensi ke pro-eksistensi. Koesistensi mengutamakan terciptanya
toleransi. Pro-eksistensi mencari persamaan doktriner, tradisi, semangat dan sejarah, juga
berupaya mencari unsur-unsur yang meliputi perbedaan dan hal-hal yang menyimpan konflik.5
Dialog sangat penting untuk mengurangi kesombongan, agresivitas, dan hal-hal negatif lain
dalam cara-cara pemeluk agama melaksanakan tugas penyebaran agama masing-masing
melalui misi dakwah. 6 Justru dialog merupakan instrumen utama yang mengantarkan
masyarakat hidup secara terbuka dalam negara demokrasi.

Dialog bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar yang dapat
digunakan terhadap peradaban yang ada di dunia. Terlihat perilaku agresif seperti pembakaran
tempat-tampat ibadah dan bertindak anarki, seperti penjarahan dan perusakkan tempat tinggal.
Negara Indonesia yang pluralitas agama, dialog menjadi pilihan alternatif yang ideal dalam
penyelesaian konflik antar umat beragama. Konflik antar umat beragama bisa berdampak
sangat negatif dalam kehidupan sosial masyarakat. Dialog dapat dijadikan sebagai solusi untuk
menyelesaikan fenomena tersebut, dan ndialog bisa dijadikan sebagai upaya pencegahan
sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Inilah yang dilakukan oleh masyarakat desa
Bangun Rejo Kecamatan Punduh Pidada.


1
Nurcholis Majid, “Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over – Melintasi Batas Agama, (Jakarta : Gramedia Pustaka,
1998), h. 6
2
Ibid h. xiii.
3
Raimundo Panikar, “The Intra Religius Dialogue”, dalam A. Sudiarja (ed), Dialog Intra Religius,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.33.
4
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Op. Cit., h. xv.
5
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merada Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan Antaragama.
(Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), h.21.
6
Ibid., h. 30.
2

Desa Bangun Rejo merupakan salah satu desa di kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten
Pesawaran, memiliki komunitas yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Pemeluk agama
Islam 1279 jiwa; yang terdiri dari suku Lampung 55% dan suku Jawa 45%. Pemeluk agama
Kristen 120 jiwa keseluruhaannya suku Jawa, dan pemeluk agama Katolik 119 jiwa
keseluruhannya juga suku Jawa.7 Ketiga agama ini jika dilihat berdasarkan kategori agama,
semuanya termasuk dalam kategori agama missi (missionary religions).8 Kesemua agama yang
ada di desa tersebut tergolong missionary religions, dapat dipastikan terdapat doktrin berupa
perintah yang berasal dari kitab suci masing-masing tentang kewajiban untuk menyebarluaskan
keseluruh umat, jika perintah tersebut diabaikan penganutnya akan mendapat dosa dan sangsi,
sebaliknya jika direspon secara positif dan dilaksanakan secara konsisten, maka pahala dan
surga akan menjadi imbalannya. Dalam tataran pelaksanaan perintah agama tersebut, tidak
jarang terjadinya benturan-benturan sehingga konflik atas nama agama akibat dari penyiaran
agama sering terjadi, termasuk juga pada beberapa daerah di Indonesia.

Justru yang menarik, kehidupan umat beragama di desa Bangun Rejo yang dihuni oleh
ketiga penganut agama missi, namun dalam kehidupan dan pergaulan umat beragama di sana
tampil secara rukun dan tidak pernah terjadi konflik atau pertikaian yang berlatar belakang
agama. Kondisi ini sebagaimana dikemukakan oleh tokoh agama di desa tersebut “Kehidupan
masyarakat disini, mulai dari dulu sampai sekarang, tidak pernah terjadi konflik yang
bermotifkan agama”9. Hal senada dikemukakan oleh tokoh lain; “Bahkan dalam peringatan
hari raya keagamaan, kami sudah terbiasa untuk saling mengunjungi, semua itu dilakukan oleh
masing-masing umat beragama. Selain itu jika ada keluarga yang tertimpa musibah atau
melakukan hajatan, keluarga yang lain turut datang dan ikut membantu”10. Selain itu menurut
salah seorang warga bahwa “disini kami memiliki rasa persatuan dan penghormatan yang
tinggi, ketika memperingati hari raya besar agama, kami memiliki kebiasaan untuk
memberikan selamat dengan cara berkunjung ke rumah-rumah, hal itu kami lakukan tanpa
canggung”.11 Warga lain juga menyatakan bahwa “seingat saya dari kecil hingga kini, di sini
tidak pernah terjadi gejolak atau keributan yang dilatarbelakangi oleh agama12. Berdasarkan
paparan ini dapat dipahami bahwa di tempat tersebut telah terjadi dialog antar ummat
beragama, sehingga tidak pernah terjadi konflik yang mengatasnamakan agama. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui lebih dalam dialog antar umat beragama dalam upaya pencegahan
konflik di Desa Bangun Rejo.

B. Metodologi

Penelitian ini dijalankan menggunakan pendekatan kualitatif (multi case single-site


exsploratory case study), yaitu penelitian yang coba menggali fenomena yang ada di dalam


7
Wawancara dengan tokoh, Mantan Kepala Desa Bangunrejo, tanggal 28 Februari 2016.
8
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh missionary religions ; pertama, Universality (keumuman), tidak
terbatas untuk satu bangsa saja seperti Yahudi atau berkasta seperti Hindu. Kedua, Continuity (keberlangsungan)
dalam penyebaran dan penyiaran. Ketiga, Adaptability, kesanggupan dari agama itu untuk menyesuaikan diri
sesuai dengan ajarannya sendiri dengan kondisi dan situasi lingkungan dan zamannya. Lihat; Hasbullah Bakry,
Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 17.
9
Wawancara dengan Tokoh Agama Desa Bangunrejo, tanggal 27 Februari 2016.
10
Wawancara dengan Patrick Suyanto , Tokoh Agama Kristen desa Bangunrejo, tanggal 27 Februari
2016.
11
Wawancara dengan Wati (warga beragama Islam) , tanggal 27 Februari 2016.
12
Wawancara dengan Thomas Ribut Sampurno , tanggal 27 Februari 2016.
3

masyarakat13 14 15, meneliti berbagai fakta melalui observasi dan wawancara di lapangan, serta
berbagai dokumen berkaitan sebagai data 16 . Data dimaksud dalam penelitian ini adalah
mengamati berbagai gejala yang ada, dengan melihat interaksi dan komunikasi antar individu,
kelompok yang diwujudkan melalui dialog formal maupun informal pada masyarakat desa
Bangun Rejo, yang terdiri dari masyarakat yang beragama Islam, Katolik dan Kristen. Data
primer digali melalui observasi, dan secara Snow Balling Process melalui wawancara secara
mendalam (indepth interview) kepada tokoh desa dan tokoh agama di kecamatan Punduh
Pidada, Kabupaten Pesawaran, yang memiliki masyarakat dari berbagai komunitas agama
(Islam, Kristen, dan Katolik). Data sekunder digali melalui analisis dokumen terhadap berbagai
buku, kitab suci agama, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Data
dianalisis secara secara kualitatif (tematik) berbantukan software NVIVO 10. Menurut
Koentjaraningrat, penelitian exsploratory case study merupakan penelitian yang bertujuan
untuk mengeksplor dan memberikan gambaran secara komprehensif mengenai individu,
gejala, atau kelompok tertentu dan mengungkapkan data secara alamiyah17.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dialog antar umat beragama di desa Bangun
Rejo Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran adalah ; (i) berjalan melalui kegiatan
sosia. Berbagai pemeluk agama mengadakan kerjasama, dalam melaksanakan proyek-proyek
pembangunan, dalam meningkatkan kehidupan keluarga, proyek bersama untuk membantu
rakyat yang menderita dari kekeringan, kemiskinan, kekurangan makanan, membantu para
pengungsi dan juga meningkatkan keadilan gender, hak-hak asasi manusia dan perdamaian.
(ii) Adanya kebiasaaan dan kesadaran masyarakat untuk memikul beban bersama secara
bergotong royong, (iii) dukungan tokoh desa dan tokoh agama baik secara formal maupun non
formal. Secara formal dukungan berupa ucapan lisan setiap kali mereka melakukan rapat atau
pertemuan agar suasana rukun dan damai agar terus dipelihara. Dukungan secara non formal
dilakukan setiap ada waktu dan kesempatan memberikan wejangan ataupun nasehat kepada
masyarakatnya akan pentingnya kehidupan yang rukun.

Merujuk kepada pendapat Banawiratma, maka setidaknya dapat dipahami bahwa bentuk
dialog antara umat beragama Islam, Kristen dan Katolik yang terjadi di desa Bangun Rejo
adalah dialog dalam kegiatan sosial (Analisis sosial & refleksi etis kontekstual). Dialog jenis
ini dimana komunitas yang terdiri dari berbagai agama mencoba mengartikan kenyataan hidup
yang dialami dan membuat pertimbangan etis18. Pemeluk agama dapat mengadakan kerjasama
dalam melaksanakan berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat, yang diutamakan dalam
dialog ini adalah meningkatkan harkat dan pembebasan integral dari umat manusia. Hal ini
terlihat dari penjelasan yang disampaikan oleh tokoh pemerintahan Desa bahwa meskipun di
sini terdiri dari berbagai penganut agama, akan tetapi tidak pernah terjadi keributan atau pun
konflik yang berasal dari agama. Masyarakat disini sudah cukup memiliki toleransi dan saling


13
Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hlm. 41.
14
Creswell, J. W. (2014). Research design: qualitative and quantitave approaches. Thausand Oaks:
SAGE Publication.
15
Yin, R. K. (2013). Applications of case study research. Newbury Park: SAGE Publications.
16
Op Cit., h. 46.
17
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 30.
18
J. B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc. Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di
Indonesia. (Jakarta : Mizan, 2010), h. 9.
4

pengertian, terutama masalah menjalankan praktek pengamalan ibadah agama, sehingga
masing-masing dapat saling menghargai terhadap penganut agama lain19.

Uraian senada juga dikemukakan oleh Zamhari, bahwa meskipun kami memiliki
keyakinan dan agama yang berbeda-beda, tetapi dalam hal sosial kemasyarakatan, seperti
gotong royong, saling mengunjungi disaat ada yang hajatan atau pun ada yang ditimpa
kemalangan, termasuk juga silaturahmi biasa, adalah pemandangan yang lumrah dan sudah
biasa, karena kami menyadari bahwa praktek-praktek tersebut bukanlah bagian dari ibadah
dalam arti yang sempit20. Pada bagian lain tokoh agama Kristen pun memberikan keterangan
bahwa di desa kami sangat jarang terjadi keributan apalagi konflik yang berlatar belakang
agama. Menurutnya hal tersebut dikarenakan masyarakat telah memiliki pemahaman tentang
pentingnya hidup secara damai dan saling mengasihi meskipun berbeda agama21.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa susana keagamaan yang rukun dan saling
toleransi, suasana dialog sosial kemasyarakatan telah berjalan dengan baik. Dalam konteks ini
dialog yang di dilakukan masyarakat adalah kerjasama praksis, sangat berkaitan dengan teori
dialektical pluralism 22 dari Anselm Kyongsuk Min, yang memiliki empat karakteristik;
Pertama, sifat konfensionalis yang menekankan pentingnya komitmen dalam beragama,
penegasan keimanan baik secara teologis dan praktis termasuk klaim finalitas, klaim kebenaran
harus ditempatkan dalam konteks dialektika dan tantangan situasi pluralistik. Kedua, sifat
pluralis dalam pengertian masing-masing agama harus dipandang sebagai totalitas konkrit dan
dibiarkan mendefinisikan dirinya sendiri tanpa reduksi dan subordinasi. Ketiga, historis
dialektis dalam pengertian agama-agama memiliki hubungan yang konkrit dalam proses
sejarahnya dalam bentuk deferensiasi, kontradiksi dan rekonsiliasi terhadap perubahan
perspektif dan wawasan manusia. Keempat, solidaritas kemanusiaan menjadi agenda penting
ditengah perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Pelaksanaan dialog mungkin
dilakukan manakala umat beragama itu saling menghargai, menghormati, saling toleransi serta
tidak merasa paling baik apalagi mau menang sendiri. Sebab segala macam sikap tersebut
secara spontan bermakna adanya egoisme yang tidak proporsional sehingga berarti yang lain
menjadi salah. Sikap yang disebut terakhir inilah sesungguhnya yang harus di hindari bahkan
dibuang jauh-jauh oleh umat beragama karena dapat menghambat dialog antar umat beragama.

Selain memiliki etnis yang berbeda yakni etnis Lampung, Jawa serta Sumatera Selatan,
dalam praktek kesehariannya dapat saling memahami karena di samping menggunakan bahasa
persatuan, masyarakat pendatang (Jawa dan Sumatera Selatan) sudah dapat beradaptasi dengan
cara menggunakan bahasa daerah Lampung. Atas dasar itu pula maka setidaknya terdapat
kedekatan antar masyarakat desa, meskipun mereka berbeda etnis dan suku. Pola dialog antar
agama di sini terjadi dengan apa yang disebut dengan interaksi simbolik. Teori ini merupakan
sisi lain dari pandangan yang melihat individu sebagai produk yang ditentukan oleh
masyarakat. Pola interaksi simbolik dapat diungkapkan dimana mereka dalam berinteraksi
saling memahami dan berusaha untuk menterjemahkan apa yang mereka rasakan sewaktu
berinteraksi. Perilaku tersebut dapat merasakan atau melihat sebuah idiom atau petatah-petitih
baik itu berasal dari nenek moyang mereka atau dari kalimat-kalimat bijak, atau juga berasal


19
Disarikan hasil wawancara dengan bapak Agus Wahyudhi (Kaur Pemerintahan), tanggal 09 Agustus
2016.
20
Wawancara dengan bapak Zamhari (tokoh agama Islam), tanggal 10 Agustus 2016.
21
Wawancara dengan bapak Sugiantoro (tokoh agama Kristen), tanggal 10 Agustus 2016.
22
Dian Nur Anna, Peran Agama dalam Pembentukan Civil Society di Indonesia dalam Rahmat Fajri dan
Khairullah Zikri (ed.), Ontologi Studi Agama, (Yogyakarta: Belukar,2012), h. 190.
5

dari ungkapan-ungkapan yang bernuansa keagamaan. Mereka berusaha untuk memahami hal
tersebut dengan sebaik-baiknya.

Masyarakat, apalagi aparat pemerintahan desa begitu menyadari bahwa meskipun


mereka hidup dalam suasana perbedaan, tetapi nuansa kebersamaan dan kegotong-royongan
begitu melekat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikemukakan oleh
Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat bahwa banyak sekali bentuk-bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh masyarakat meskipun berlatarbelakang agama yang berbeda, seperti gotong
royong, arisan dan jimpitan23. Selain itu juga telah terbangun suasana saling menghargai dan
menghormati praktek yang dilakukan oleh kelompok lain. Yang dimaksud di sini adalah ketika
umat Islam merayakan ibadah maupun hari raya besar keagamaan, maka umat Kristen dan
Katolik pun menghormati dengan cara memberikan peluang bagi orang Islam untuk beribadah
dengan leluasa. Begitu juga sebaliknya, ketika umat Kristen dan Katolik beribadah menurut
ajaran agama mereka, umat Islam pula menghormati saudaranya tersebut untuk beribadah.

Itu semua tidak terlepas dari peran tokoh agama dan aparat pemerintahan desa yang
selalu menanamkan kesadaran kepada masyarakat agar dapat menghormati adanya perbedaan
agama. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang pemuda bahwa para tokoh agama
(Islam dan Kristen) juga aparat pemerintahan desa selalu memberikan nasehat ataupun
wejangan kepada masyarakat dalam berbagai kesempatan, seperti di rumah ibadah masing-
masing, pada pelaksanaan pesta perkawinan, maupun pada momen-momen musyawarah desa,
selalu diawali dengan himbauan oleh tokoh agar kiranya tidak mudah terpancing dengan isu-
isu yang tidak bertanggung jawab. Justru sebaliknya, tokoh agama dan tokoh pemerintahan
desa mengajak untuk selalu menggiatkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya kebersamaan seperti
arisan, rukun kematian dan gotong royong desa24.

Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat dan tokoh agama dan pihak pemerintahan
desa telah sama-sama menyadari bahwa hidup beragama tidak hanya dijalankan dalam ibadah
yang sifatnya ritual, tetapi diamalkan, dalam hidup dan kehidupan masyarakat baik selaku
unsur individu maupun unsur sosial yang taat dan saleh berbudi luhur. Pengamalan tersebut
tercermin baik secara pribadi maupun kelompok atau golongan ditengah-tengah masyarakat.
Menurut Said Agil Husin al Munawar, bahwa dalam menciptakan hidup bersama secara
harmonis dikalangan umat yang berbeda agama selalu terjadi dua bentuk sikap. Pertama, saling
menghargai dan menghormati itu berjalan secara ‘tidak sadar’. Artinya seseorang menghormati
orang yang beragama lain itu hanya karena kepentingan politik. Misalnya karena sama-sama
mendiami dunia yang satu manusia tidak pantas jika saling membunuh, saling menindas, saling
mengusir atau karena sama-sama satu bangsa dan negara, maka sepantasnya umat beragama
saling rukun demi cita-cita bersama. Kedua, penghormatan terhadap orang yang menganut
agama lain itu muncul bukan hanya karena kepentingan politik tetapi lebih dari itu, adanya
kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi ini memiliki titik temu yang
sangat mendasar25.

Bentuk sikap pertama seringkali dibina secara dialog dan mengusahakan saling tenggang
rasa serta ‘menabukan’ masalah sara. Perlu disadari bahwa sikap seperti ini sering kali lebih
dangkal dan rapuh, mudah terpancing jika terusik emosi keagamaannya, bahkan seringkali
mengorbankan cita-cita bersama hanya karena ketersinggungan emosi keagamaan. Pada sisi
lain sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam kesepakatan keragaman.

23
Wawancara dengan tokoh (Kaur Kesra Desa Bangun Rejo), tanggal 21 Agustus 2016.
24
Wawancara dengan tokoh (Pemuda Muslim Desa Bangun Rejo), tanggal 21 Agustus 2016.
25
Said Agil Husin Al-Munawar, Fiqh Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 59.
6

Misalnya umat yang lebih kuat dalam bidang politik dan ekonomi melakukan penindasan
terhadap yang lebih lemah meskipun dengan kedok kemanusiaan, perdamaian dunia, dan
macam-macam. Sedangkan bentuk sikap kedua dilatarbelakangi oleh kesadaran adanya titik
temu yang mendasar di antara agama-agama, dikembangkan melalui penggalian titik temu
tersebut dengan mempelajari secara mendalam, agama sendiri dan mengenali agama lain secara
objektif dan tidak prejudis. Sikap seperti ini biasanya selalu memperlihatkan kejujuran dan
tidak mengorbankan kerukunan hanya karena hal-hal sederhana yang mengganggu hubungan
antar agama. Sepertinya sikap kedua ini lebih prosfektif bagi masa depan umat manusia, sebab
menemukan aturan yang berasal dari ajaran agama itu lebih bisa meresap dan menyejukkan.

Teori tersebut jika dikaitkan dengan kondisi nyata di tempat penelitian, maka dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan dialog antar agama mengambil bentuk yang pertama. Hal itu
dikarenakan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani, dan memiliki pendidikan yang relatif
rendah, sehingga belum sampai pada pemahaman kedua dalam teori tersebut. Meskipun begitu,
segala macam praktek dialog telah terbangun hingga saat ini patut dihargai, selalu diadakan
pembinaan untuk menambah kesadaran sehingga semakin kokoh, timbul kesadaran akibat
terdapat doktrin agama yang mengajarkan untuk hidup secara rukun dan damai. Selain itu,
umat beragama tidak rapuh dalam membangun harmonisasi kehidupan beragama. Terjadinya
dialog antar umat beragama karena adanya komunikasi antar pemeluk agama Islam, Kristen,
dan Katolik dengan baik. Kontan dan komunikasi tersebut terjadi antara perorangan dan antar
kelompok dalam masyarakat. Komunikasi yang positif menimbulkan interaksi yang
bermanfaat. Dalam konteks penelitian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya
bahwa telah ada kesadaran untuk menghargai perbedaan keyakinan masing-masing merupakan
faktor yang sangat kuat dalam mendukung pelaksanaan dialog antar agama. Dengan perkataan
lain kebiasaan yang tertanam dalam masyarakat tersebut adalah masing-masing mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh warga lain, di dalam istilah psikologi mereka ini memiliki
sifat empati yang tinggi26.

Cara tokoh agama untuk menekankan pentingnya kerukunan adalah melalui ceramah
atau khutbah Jumat atau pada waktu umat sedang beribadah di tempat-tempat ibadah agama.
Sedangkan cara tokoh desa adalah memberikan dukungan tentang pentingnya suasana rukun
melalui forum-forum formal, seperti ketika rapat atau musyawarah di Balai Desa. Selain itu,
faktor kesamaan wilayah dan kesatuan wilayah desa juga merupakan faktor yang cukup
menunjang terhadap dialog antar agama masyarakat. Hal tersebut memunculkan rasa keatuan
hidup dalam sebuah desa, hidup dan berkeluarga sehingga perlu untuk dijadikan senyaman
mungkin, untuk itulah mereka rela bergotong royong dalam rangka kemajuan desa atau wilayah
mereka. Faktor Imitasi juga sangat berperan, yaitu seseorang atau sekelompok meniru tindakan
orang atau kelompok lain. Muasim menginformasikan bahwa mereka sering meniru terutama
dalam bidang pengolahan pertanian kepada mereka yang dianggap memiliki keahlian dan
kreatifitas dalam mengembangkan tanaman pertanian, sehingga hasil panen lebih bayak27.

Selain faktor imitasi, terdapat pula faktor simpati, yaitu suatu sikap dimana ketika
seseorang tertimpa musibah atau kemalangan, lalu anggota masyarakat yang lain ikut serta
membantu atau turut berbelasungkawa dengan cara mendatangi rumah yang tertimpa musibah
dengan cara memberikan bantuan baik berupa tenaga atau materi sebagai wujud dari rasa
simpati. Begitu pula jika anggota masyarakat lain yang tengah melaksanakan hajatan, maka

26
Syafrimen, Noriah Mohd. Ishak, Nova Erlina. 2017. Six Ways To Develop Empathy of Educators.
Journal Of Engineering and Applied Sciences. 12 (7): 1687-1691.
27
Wawancara dengan Muasim, Penganut agama Islam, tanggal 21 Agustus 2016.
7

anggota masyarakat yang lain turut pula membantu pelaksanaan mulai persiapan hingga
selesainya hajatan dimaksud. Sikap semacam ini dalam ilmu sosiologi disebut dengan faktor
simpati dalam sebuah interaksi28. Sikap yang telah terbangun tersebut, secara kultural dapat
dikatakan adanya kesediaan semua pihak untuk tidak menggunakan bahasa-bahasa hasutan,
cemoohan dan kata-kata lain yang semakna dengan hal tersebut supaya terbangun suasana yang
rukun dan damai.

D. Kesimpulan

Segala bentuk perbedaan seperti agama dan etnis tidak menjadi hambatan di dalam
masyarakat untuk saling mengasihi. Penelitian ini menunjukkan bahwa dialog antar umat
beragama merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk pencegahan konflik di kalangan
masyarakat. Interaksi positif melaui dialog antar agama harus tetap dipelihara dan dilestarikan
secara terus menerus. Agar kemungkinan terjadinya konflik karena perbedaan agama dan etnis
dapat dihindari sebagai usaha preventif. Semua pihak menyadari akan batasan-batasan, baik
yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan dari masing-masing agama. Dalam
konteks ini, pemuka agama dan aparat hendaknya memberikan pengarahan yang jelas tentang
arti dari dialog antar agama yang sebenarnya, sehingga tidak terjadi pencampur adukkan aqidah
(sinkretisme) antara gama sebagai sesuatu yang dilarang oleh masing-masing agama.

E. Penghargaan

Penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan


Pengabdian kepada masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam
Negeri) Raden Intan Lampung yang telah memberikan dukungan dana sepenuhnya untuk
penuyelesaian penelitian ini, melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2016,
berdasarkan Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 311 tahun 2016 tentang penetapan judul
penelitian, nama peneliti pada penelitian kelompok dosen IAIN Raden Intan Lampung tahun
2016.

Referensi

A. Rani Usman, Etnis Cina Perantauan Aceh, Jakarta: Yayasan Obor, 2009.
Abdul Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan Analisisi Latar Belakang Konflik
Keagamaan Aktual, Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia.
Ali Noer Zaman (Ed). Agama Untuk Manusia. Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2000.
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural,
Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2005.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1999.
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina,
1999.
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merada Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan
Antaragama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004.
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis Merada Dialektika Idealitas dan Realitas Hubungan
Antaragama, Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004.

28
Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 72.
8

Cholid Abu Ahmadi, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Creswell, J. W. (2014). Research design: qualitative and quantitave approaches. Thausand
Oaks: SAGE Publication.
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
Elga Sarapung dkk. (ed), Dialog: Kritik Dan Identitas Agama, Yogyakarta: Interfidei, 2004.
Eva Rufaida, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Jakarta: Grafindo Persada, 2002.
FX. Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historis, Tesis, Pergumulan, Wajah, Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali.
Hasbullah Bakry, Suatu Perbandingan Mengenai Penyiaran Kristen dan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1989.
http://bukusugiyono.blogspot.com/2016/07/uji-keabsahan-data-penelitian-kualitatif.html 27
Jul 2016.
Idrus Ruslan, Hubungan Antar Agama, Bandar Lampung: Aura Printing & Publising, 2014.
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosda
Karya. 2001.
J. B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc. Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan
Praktik di Indonesia. Jakarta: Mizan, 2010.
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004.
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1989.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over – Melintasi Batas Agama, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1998.
--------dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang. 1997.
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer Interaksi Hukum, kekuasaan, dan Masyarakat,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2010.
P. Maurice Borrmans, Pedoman Dialog Kristen-muslim (Sekretariat Untuk Non Kristen),
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003.
Paul B. Horton, Sosiologi, Jilid I terj. Aminuddin Ram dkk., Jakarta: Erlangga, 1987.
Piet Yoenanto dalam Jurnal Al-Adyan Jurnal Studi Lintas Agama. Dialog : Panggilan Untuk
Saling Menghormati. Vol. I, No.2, Bandar Lampung, Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, 2006.
Rahmat Fajri dan Khairullah Zikri (ed.), Ontologi Studi Agama, Yogyakarta: Belukar,2012.
Raimundo Panikar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Said Agil Husin Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2005
Shonhaji, Dialog Intra Religius: Bingkai Teologis Kerukunan dalam Masyarakat Pluri
Religius, dalam Jurnal al-Kalam No. 20, Bandar Lamung: Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung, 1997.
Simon Fisher, Manajeman Konflik Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta:
British Council, 2000.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2009.
Sutrisno Hadi, Metode Riset, Yogyakarta: UGM Press, 1996.
Syafrimen, Noriah Mohd. Ishak, Nova Erlina. 2017. Six Ways To Develop Empathy of
9

Educators. Journal Of Engineering and Applied Sciences. 12 (7): 1687-1691.
Trubus Rahardiansah, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Universitas Trisakti, 2005.
W. Montgomery Watt, Islam and Christianity Today: A Contribution to Dialogue, Terjm. Eno
Syafrudien, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1991.
Wawancara dengan Bapak Maryanto, Mantan Kepala Desa Bangunrejo, tanggal 28 Februari
2016.
Wawancara dengan Muslihudin, Tokoh Agama Desa Bangunrejo, tanggal 27 Februari 2016.
Wawancara dengan Patrick Suyanto , Tokoh Agama Kristen desa Bangunrejo, tanggal 27
Februari 2016.
Wawancara dengan Thomas Ribut Sampurno , tanggal 27 Februari 2016.
Wawancara dengan Wati (warga beragama Islam) , tanggal 27 Februari 2016.
Williams Hendricks, Bagaimana Mengelola Konflik, terj. Arif Santoso, Jakarta: Bumi Aksara,
2012.
Yin, R. K. (2013). Applications of case study research. Newbury Park: SAGE Publications.
Zakiah Darajat dkk, Perbandingan Agama 2, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai