Anda di halaman 1dari 22

PAPER EKOLOGI LAHAN KERING

CEKAMAN PADA TUMBUHAN

NAMA : ANISA KURNIATI

NIM : 1806050008

KELAS : A

SEMESTER : V (LIMA)

Pada prinsipnya, setiap tumbuhan memiliki kisaran tertentu terhadap factor


lingkungannya. Prinsip tersebut dinyatakan sebagai Hukum Toleransi Shelford, yang
berbunyi “Setiap organism mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis, yang
merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organism itu terhadap kondisi
factor lingkungannya” (Dharmawan, 2005). Pada gambar , terlihat bahwa setiap makhluk
hidup memiliki range of optimum atau kisaran optimum terhadap factor lingkungan untuk
pertumbuhannya. Kondisi di atas ataupun di bawah batas kisaran toleransi itu, makhluk hidup
akan mengalami stress fisiologis. Pada kondisi stress fisiologis ini, populasi akan menurun.
Apabila kondisi stress ini terus berlangsung dalam waktu yang lama dan telah mencapai batas
toleransi kelulushidupan, maka organism tersebut akan mati.

Gambar 1. Diagram kisaran toleransi organism terhadap kondisi factor lingkungannya

Stres (cekaman) biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak menguntungkan
yang berpengaruh buruk terhadap tanaman(Fallah, 2006). Campbell (2003), mendefinisikan
cekaman sebagai kondisi lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk pada
pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidup tumbuhan. Menurut Hidayat (2002), pada
umumnya cekaman lingkungan pada tumbuhan dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

 cekaman biotik, terdiri dari:


a) kompetisi intra spesies dan antar spesies,
b) infeksi oleh hama dan penyakit,

 cekaman abiotik berupa:


a) suhu (tinggi dan rendah),
b) air (kelebihan dan kekurangan),
c) radiasi (ultraviolet, infra merah, dan radiasi mengionisasi),
d) kimiawi (garam, gas, dan pestisida),
e) angin, dan (f) suara.

Menurut Sipayung (2006), kerusakan yang timbul akibat stres dapat dikelompokkan
dalam 3 jenis kerusakan sebagai berikut.

a) Kerusakan stres langsung primer


b) Kerusakan stres tak langsung primer
c) Kerusakan stres sekunder (dapat terjadi juga stres tersier)

1. Mekanisme Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cekaman Air

Faktor air dalam fisiologi tanaman merupakan faktor utama yang sangat penting.
Tanaman tidak akan dapat hidup tanpa air, karena air adalah matrik dari kehidupan, bahkan
makhluk lain akan punah tanpa air. Kramer menjelaskan tentang betapa pentingnya air bagi
tumbuh-tumbuhan; yakni air merupakan bagian dari protoplasma (85-90% dari berat
keseluruhan bahagian hijau tumbuh-tumbuhan (jaringan yang sedang tumbuh) adalah air.
Selanjutnya dikatakan bahwa air merupakan reagen yang penting dalam proses-proses
fotosintesa dan dalam proses-proses hidrolik. Disamping itu juga merupakan pelarut dari
garam-garam, gas-gas dan material-material yang bergerak kedalam tumbuh tumbuhan,
melalui dinding sel dan jaringan esensial untuk menjamin adanya turgiditas, pertumbuhan sel,
stabilitas bentuk daun, proses membuka dan menutupnya stomata, kelangsungan gerak
struktur tumbuh-tumbuhan.

Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa langsung atau
tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses metaboliknya
sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman (Sinaga, 2008). Efek kelebihan air atau
banjir yang umum adalah kekurangan oksigen, sedangkan kekurangan air atau kekeringan
akan mengakibatkan dehidrasi pada tanaman yang berpengaruh terhadap zona sel turgor yang
selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).Kebutuhan air bagi
tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman dalam hubungannya
dengan tipe dan perkembangannya, kadar air tanah dan kondisi cuaca.

 Respon Terhadap Cekaman Kelebihan Air

Dampak genangan air adalah menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang
mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar
dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju
difusi). Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain
respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan
menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan
akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.
Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis (Staff Lab
Ilmu Tanaman, 2008).

 Respon Terhadap Cekaman Kekeringan

Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah
perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam kondisi laju evapotranspirasi
melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Serapan air oleh akar tanaman dipengaruhi oleh
laju transpirasi, sistem perakaran, dan ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996). Secara umum
tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan. Staff Lab
Ilmu Tanaman (2008) mengemukakan bahwacekaman kekeringan dapat dibagi ke dalam tiga
kelompok yaitu:

1. Cekaman ringan :jika potensial air daun menurun 0.1 Mpa atau kandungan air nisbi
menurun 8 – 10 %
2. Cekaman sedang: jika potensial air daun menurun 1.2 s/d 1.5 Mpa atau kandungan air
nisbi menurun 10 – 20 %
3. Cekaman berat: jika potensial air daun menurun >1.5 Mpa atau kandungan air nisbi
menurun > 20%

Lebih lanjut Staff Lab Ilmu Tanaman mengemukakan bahwa apabila tanaman kehilangan
lebih dari separoh air jaringannya dapat dikatakan bahwa tanaman mengalami kekeringan.

Kekurangan air akan mengganggu aktifitas fisiologis maupun morfologis, sehingga


mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Defisiensi air yang terus menerus akan
menyebabkan perubahan irreversibel (tidak dapat balik) dan pada gilirannya tanaman akan
mati (Haryati, 2008). Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres
yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Respon tanaman yang
mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan molekuler seperti
perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun,
daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun, peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas
stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan
produksi aktivitas enzim dan hormon, serta perubahan ekspresi (Sinaga, 2008).

Tumbuhan merespon kekurangan air dengan mengurangi laju transpirasi untuk


penghematan air. Terjadinya kekurangan air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga
kehilangan turgornya. Suatu mekanisme control tunggal yang memperlambat transpirasi
dengan cara menutup stomata. Kekurangan air juga merangsang peningkatan sintesis dan
pembebasan asam absisat dari sel-sel mesofil daun. Hormon ini membantu mempertahankan
stomata tetap tertutup dengan cara bekerja pada membrane sel penjaga. Daun juga berespon
terhadap kekurangan air dengan cara lain. Karena pembesaran sel adalah suatu proses yang
tergantung pada turgor, maka kekurangan air akan menghambat pertumbuhan daun muda.
Respon ini meminimumkan kehilangan air melalui transpirasi dengan cara memperlambat
peningkatan luas permukaan daun. Ketika daun dari kebanyakan rumput dan kebanyakan
tumbuhan lain layu akibat kekurangan air, mereka akan menggulung menjadi suatu bentuk
yang dapat mengurangi transpirasi dengan cara memaparkan sedikit saja permukaan daun ke
matahari (Campbell, 2003).

Kedalaman perakaran sangat berpengaruh terhadap jumlah air yang diserap. Pada
umumnya tanaman dengan pengairan yang baik mempunyai sistem perakaran yang lebih
panjang daripada tanaman yang tumbuh pada tempat yang kering. Rendahnya kadar air tanah
akan menurunkan perpanjangan akar, kedalaman penetrasi dan diameter akar (Haryati, 2006).
Hasil penelitian Nour dan Weibel tahun 1978 menunjukkan bahwa kultivarkultivar sorghum
yang lebih tahan terhadap kekeringan, mempunyai perkaran yang lebih banyak, volume akar
lebih besar dan nisbah akar tajuk lebih tinggi daripada lini-lini yang rentan kekeringan
(Goldsworthy dan Fisher, dalam Haryati, 2006).

Senyawa biokimia yang dihasilkan tanaman sebagai respon terhadap kekeringan dan
berperan dalam penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam amino, dan
senyawa terlarut yang kompatibel. Senyawa osmotik yang banyak dipelajari pada toleransi
tanaman terhadap kekeringan antara lain prolin, asam absisik, protein dehidrin, total gula,
pati, sorbitol, vitamin C, asam organik, aspargin, glisin-betain, serta superoksida dismutase
dan K+ yang bertujuan untuk menurunkan potensial osmotik sel tanpa membatasi fungsi
enzim (Sinaga, 2008).

2. Mekanisme Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cekaman Salinitas

Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut
yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah
salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat
konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman. Garam-garam yang
menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang
terlarut dalam air (Sipayung, 2006). Stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi
beberapa proses fisiologi dari mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman (Fallah,
2006).

Menurut Petani Wahid (2006), kemasaman tanah merupakan kendala paling inherence
dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh normal (sehat)
umumnya pada ph 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk tanah mineral karena pada pH
<> 50 cm dari permukaan tanah. Pada kebanyakan spesies, pengaruh jenis-jenis garam
umumnya tidak khas terhadap tumbuhan tanaman tetapi lebih tergantung pada konsentrasi
total garam.

Salinitas tidak ditentukan oleh garam Na Cl saja tetapi oleh berbagai jenis garam yang
berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman. Dalam konteks ini tanaman mengalami
stres garam bila konsentrasi garam yang berlebih cukup tinggi sehingga menurunkan
potensial air sebesar 0,05 – 0,1 Mpa. Stres garam ini berbeda dengan stres ion yang tidak
begitu menekan potensial air (Lewit, dalam Sipayung, 2006). Kadar garam yang tinggi pada
tanah menyebabkan tergganggunya pertumbuhan, produktivitas tanaman dan fungsi-fungsi
fisiologis tanaman secara normal, terutama pada jenis-jenis tanaman pertanian. Salinitas
tanah menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan
pembelahan sel, produksi protein, serta penambahan biomass tanaman.

Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam
bentuk kerusakan langsung tetapi dalam bentuk pertumbuhan tanaman yang tertekan dan
perubahan secara perlahan Dalam FAO (2005) dijelaskan bahwa garam-garaman
mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: (a) keracunan yang disebabkan
penyerapan unsur penyusun garam yang berlebihan, (b) penurunan penyerapan air dan (c)
penurunan dalam penyerapan unsur-unsur hara yang penting bagi tanaman.

Salinitas mempengaruhi proses fisiologis yang berbeda-beda. Pada tanaman pertanian


seperti jagung, kacang tanah, kacang merah, kacang polong, tomat dan bunga matahari,
pertumbuhan dan berat kering mengalami penurunan jika tanaman ditumbuhkan dalam media
salin. Beberapa tanaman mengembangkan mekanisme untuk mengatasi cekaman tersebut di
samping ada pula yang menjadi teradaptasi. Mayoritas tanaman budidaya rentan dan tidak
dapat bertahan pada kondisi salinitas tinggi atau sekalipun dapat bertahan tetapi dengan hasil
panen yang berkurang. Tanaman yang toleran terhadap cekaman garam Na disebut tanaman
natrofilik, sedangkan yang tidak toleran disebut tanaman natrofobi.

Adanya kadar garam yang tinggi pada tanah juga menyebabkan penurunan jumlah daun,
pertumbuhan tinggi tanaman dan rasio pertumbuhan panjang sel. Demikian pula dengan
proses fotosintesis akan terganggu karena terjadi akumulasi garam pada jaringan mesophil
dan meningkatnya konsentrasi CO2 antar sel (interseluler) yang dapat mengurangi
pembukaan stomata. Pada tanaman semusim antara lain meningkatnya tanaman mati dan
produksi hasil panen rendah serta banyaknya polong kacang tanah dan gabah yang hampa.

Proses pengangkutan unsur-unsur hara tanaman dari dalam tanah akan terganggu dengan
naiknya salinitas tanah. Manurut Salisbury and Ross (1995) bahwa masalah potensial lainnya
bagi tanaman pada daerah tersebut adalah dalam memperoleh K+ yang cukup. Masalah ini
terjadi karena ion natrium bersaing dalam pengambilan ion K+. Tingginya penyerapan Na+
akan menghambat penyerapan K+

Salinitas yang tinggi akan mengurangi ketersedian K+ dan Ca++ dalam larutan tanah dan
menghambat proses transportasi dan mobilitas kedua unsur hara tersebut ke daerah
pertumbuhan tanaman (growth region) sehingga akan mengurangi kualitas pertumbuhan baik
organ vegetatif maupun reproduktif. Salinitas tanah yang tinggi ditunjukkan dengan
kandungan ion Na+ dan Cl- tinggi akan meracuni tanaman dan meningkatkan pH tanah yang
mengakibatkan berkurangnya ketersediaan unsur-unsur hara mikro.Pengaruh garam terhadap
pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh:

 Kadar garam yaitu jumlah garam yang terlarut pada batas ambang toleransi.
Peningkatan kadar garam berpengaruh negatif bagi pertumbuhan tanaman.
 Macam garam yaitu banyak ragam garam dalam tanah yakni klorida
(NaCl,CaCl2,KCl), nitrat [NaNO3,Ca(NO3)2] sulfat [Na2(SO4), Ca(SO4), K2SO4].
Garam yang mengandung K dan Ca tinggi baik bagi tanaman.
 Pengendapan garam yang sudah larut dalam tanah secara parah menghambat
pertumbuhan tanaman.

Pengendapan garam tersebut akan mengimbas plasmolisis yaitu suatu proses bergerak
keluarnya air dari taaman ke larutan tanah. Kehadiran ion Na+ dalam jumlah tinggi dapat
mempertahankan partikel-partikel tanah tetap tersuspensi.

Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh
tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik. Secara khusus, kegaraman
yang tingi menimbulkan keracunan tanaman, terutama oleh ion Na+ dan Cl-. Beberapa
tanaman peka terhadap kegaraman (<4 ds.m-1) seperti apel, jeruk dan kacang-kacangan,
tanaman lain nisbi tahan kegaraman (4-10 ds.m-1) seperti padi, kentang, mentimun, sorgum
dan jagung dan tanaman lainnya lebih tahan kegaraman (>10 ds. m-1) seperti kapas, bayam
dan kurma.

Tanaman yang stres garam sering menyerupai tanaman dengan defisiensi P yang
mempunyai daun lebih sempit, lebih gelap, menurunkan nisbah tajuk dan akar, berkurangnya
anakan, memperpanjang dormansi kuncup samping, menunda dan menurunkan pembungaan
dan jumlah dan ukuran buah lebih kecil .

Pengaruh dari NaCl bagi tanaman berdasarkan pengaruh toksitas adalah:

1. Pengaruh osmotik yang timbul dari konsentrasi larutan berlebih

2. Menghambat pembelahan sel, mengurangi pertumbuhan akar

3. Kompetisi antara ion-ion

4. Kerusakan membran

5. Pengaruh simbion

6. Kesalahan fungsi stomata yang disebabkan gas beracun

7. Memutihnya klorofil

Pengaruh NaCl terhadap pertumbuhan morfologis dan ultrastruktur bervariasi pada


masing-masing varetas. Secara visual, umumnya eksplan yang mendapat perlakuan
konsentrasi NaCl tinggi, pembentukan dan pertumbuhan akarnya terhambat, akar menjadi
lebih sedikit, kurus dan kecil, akar menggulung dengan rambut akar yang sedikit dan warna
akar cenderung kuning kecoklatan. Berkurangnya panjang akar pada media salin diduga juga
akibat daya racun Cl, ketidaseimbangan unsur di dalam tanaman serta adanya akumulasi
NaCl di sekitar akar dan di dalam akar sehingga dapat diengerti pada konsentrasi NaCl tinggi,
pertumbuhan daun juga kecil, menggulung dan tidak berkembang sempurna (Lubis,2000)

 Mekanisme Toleransi Tumbuhan Terhadap Kadar Garam

Untuk mempertahankan kehidupannya, jenis-jenis tanaman tertentu memiliki mekanisme


toleransi tanaman sebagai respon terhadap salinitas tanah. Jenis-jenis tanaman memiliki
toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Beberapa tanaman budidaya misalnya tomat,
bit gula, beras belanda lebih toleran terhadap garam dibandingkan tanaman lainnya. Secara
garis besar respon tanaman terhadap salinitas dapat dilihat dalam dua bentuk adaptasi yaitu
dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi.

1. Mekanisme morfologi

Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi yang dapat diturunkan dan bersifat unik dapat
ditemukan pada jenis halofita yang mengalami evolusi melalui seleksi alam pada kawasan
hutan pantai dan rawa-rawa asin. Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang
memperbaiki keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat
mempertahankan turgor dan seluruh proses bikimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang
normal. Perubahan struktur meliputi ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil
per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada
permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal .

Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor, sedangkan
lignifikasi akar diperlukan untuk penyesuaian osmose yang sangat penting untuk untuk
memelihara turgor yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsi metabolisme
yang normal. Dengan adaptasi struktural ini kondisi air akan berkurang dan mungkin akan
menurunkan kehilangan air pada transpirasi. Namun pertumbuhan akar pada lingkungan salin
umumnya kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan daun (pucuk) atau buah.

Hal ini diduga karena akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan


kemampuan menyerap air. Pertumbuhan tanman yang cepat juga merupakan mekanisme
untuk mengencerkan garam. Dalam hal ini bila garam dikeluarkan oleh akar, maka bahan
organik yang tidak mempunyai efek racun akan tertimbun dalam jaringan, dan ini berguna
untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dengan larutan tanah.

2. Mekanisme Fisiologi

Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk sebagai
berikut :

a. Osmoregulasi (pengaturan potensial osmose)

Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian dengan


menurunkan potensial osmose tanpa kehilangan turgor. Untuk memperoleh air dari tanah
sekitarnya potensial air dalam cairan xilem harus sangat diturunkan oleh tegangan. Pada
beberapa halofita mampu menjaga potensial osmotik terus menjadi lebih negatif selama
musim pertumbuhan sejalan dengan penyerapan garam. Pada halofita lainnya memiliki
kemampuan mengatur penimbunan garam (Na+ dan Cl-) pada kondisi cekaman salinitas,
misalnya tanaman bakau yang mampu mengeluarkan 100% garam.

Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintesis dan akumulasi solute


organik yang cukup untuk menurunkan potensial osmotik sel dan meningkatkan tekanan
turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Senyawa-senyawa organik berbobot
molekul rendah yang setara dengan aktifitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam
organik, asam amino dan senyawa gula disintesis sebagai respon langsung terhahadp
menurunnya potensial air eksternal yang redah. Senyawa organik yang berperan mengatur
osmotik pada tanaman glikopita tingkat tinggi adalah asam-asam organik dan senyawa-
senyawa gula. Asam malat paling sering menyeimbangkan pengambilan kation yang
berlebihan.

Dalam tanaman halofita, oksalat adalah asam organik yang menyeimbangkan osmotik
akibat kelebihan kation. Demikian juga pada beberapa tanaman lainnya, akumulasi sukrosa
yang berkontribusi pada penyesuaian osmotik dan merupakan respon terhadap salinitas.

b. Kompartementasi dan sekresi garam

Tanaman halofita biasanya dapat toleran terhadap garam karena mempunyai kemampuan
mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui transpor membran dan
kompartementasi. Garam disimpan dalam vakuola, diakumulasi dalam organel-organel atau
dieksresi ke luar tanaman. Pengeluaran garam pada permukaan daun akan membantu
mempertahankan konsentrasi garam yang konstan dalam jaringan tanaman. Ada pula
tanaman halofita yang mampu mengeluarkan garam dari kelenjar garam pada permukaan
daun dan menyerap air secara higroskopis dari atmosfir.

Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengambangkan struktur yang disebut
glandula garam (salt glands) dari daun dan batang. Pada jenis-jenis mangrove biasanya
tanaman menyerap air dengan kadar salinitas tinggi kemudian mengeluarkan atau
mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus pohon mangrove yang dapat
mensekresikan garam memiliki kelenjar garam di daun yang memungkinkan untuk
mensekresi cairan Na+ dan Cl-. Beberapa contoh mangrove yang dapat mensekresikan garam
adalah Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia, Acanthus, dan Laguncularia.

c. Integritas membran

Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan kompartemen-
kompartemen adalah struktur yang paling penting untuk mengatur kadar ion dalam sel.
Lapisan terluar membran sel ataau plasmolemma memisahkan sitoplasma dan komponen
metaboliknya dari larutan tanah salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi
permeabel ini berfungsi menghalangi difusi bebas garam ke dalam sel tanaman, dan memberi
kesempatan untuk berlangsungnya penyerapan aktif atas unsur-unsur hara essensial.

Membran lainnya mengatur transpor ion dan solute lainnya dari sitoplasma dan vakuola
atau organel-organel sel lainnya termasuk mitokondria dan kloroplas. Plasmolemma yang
berhadapan langsung dengan tanah merupakan membran yang pertama kali menderita akibat
pengaruh salinitas. Dengan demikian maka ketahanan relatif membran ini menjadi unsur
penting lainnya dalam toleransi terhadap garam.

Contoh tumbuhan yang mampu beradaptasi terhadap kadar garam yaitu mangrove.
Hampir semua jenis mangrove mengandung kosentrasi garam yang tinggi pada jaringannya.
Pada salinitas yang tinggi, ion-ion Na+ dan Cl- mendominasi komposisi ion jaringan, tetapi
K+, Mg2+ dan Ca2+ juga terdapat dengan kosentrasi yang nyata. Secara umum, kosentrasi
ion-ion anorganik yang tinggi diperlukan oleh halofita di dalam mengatur potensi osmotik
antar sel, agar lebih rendah dari potensial air positif.

Kebutuhan tumbuhan mangrove akan garam NaCl dipergunakan untuk mengatur


osmosis, namun harus mengontrol pengambilan dan distribusi Na+ dan Cl- serta ion lainnya
untuk menghindari ion-ion toksik. Mekanisme penting dalam pengaturan keseimbangan
garam pada mangrove meliputi:

1. Kapasitas akar untuk melawan NaCl yang berbeda

2. Pemilihan kelenjar-kelenjar khas sekresi garam dari beberapa jenis pada daunnya

3. Akumulasi garam pada berbagai bagian tumbuhan

4. Hilangnya garam ketika daun dan bagian tumbuhan lainnya gugur.

Pada tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, garam NaCl ditimbun dalam vakuola sel
daun, sedangkan dalam sitoplasma dan organel kadar garam NaCl tetap rendah, sehinga tidak
mengganggu aktivitas enzim dan metabolisme. Tekanan osmotik di sitoplasma dapat diatur
dengan cara melarutkan glisibetain, prolin dan sorbitol. Agar penyesuaian osmotik dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Potensi zat terlarut di dalam sitoplasma harus sama dengan
di dalam vakuola. Namun zat terlarut tertentu tidak dapat menyebar merata pada kedua
kompartemen sel tersebut. Dengan demikian, tonoplas mempunyai peranan penting dalam
mengatur mekanisme transpor zat terlarut.

Toleransi terhadap salinitas adalah beragam dengan spektrum yang luas diantara spesies
tanaman mulai dari yang peka hingga yang cukup toleran. Follet et al, (1981 dalam Sipayung,
2006) mengajukan lima tingkat pengaruh salinitas tanah terhadap tanaman, mulai dari tingkat
non-salin hingga tingkat salinitas yang sangat tinggi, seperti diberikan pada Tabel berikut

Tabel 1. Pengaruh Tingkat Salinitas terhadap Tanaman

Tingkat Konduktivitas Pengaruh Terhadap Tanaman


Salinitas (mmhos)
Non Salin 0–2 Dapat diabaikan
Rendah 2–4 Tanaman yang peka terganggu
Sedang 4–8 Kebanyakan tanaman terganggu
Tinggi 8 – 16 Tanaman yang toleran belum
terganggu
Sangat Tinggi > 16 Hanya beberapa jenis tanaman toleran
yang

dapat tumbuh
Kelebihan NaCl atau garam lain dapat mengancam tumbuhan karena dua alasan.
Pertama, dengan cara menurunkan potensial air larutan tanah, garam dapat menyebabkan
kekurangan air pada tumbuhan meskipun tanah tersebut mengandung banyak sekali air. Hal
ini karena potensial air lingkungan yang lebih negatif dibandingkan dengan potensial air
jaringan akar, sehingga air akan kehilangan air, bukan menyerapnya. Kedua, pada tanah
bergaram, natrium dan ion-ion tertentu lainnya dapat menjadi racun bagi tumbuhan jika
konsentrasinya relative tinggi. Membran sel akar yang selektif permeabel akan menghambat
pengambilan sebagian besar ion yang berbahaya, akan tetapi hal ini akan memperburuk
permasalahan pengambilan air dari tanah yang kaya akan zat terlarut (Campbell, 2003).

Salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat


pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass tanaman.
Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk
kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala
pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah
pertumbuhan yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis.
Gejala ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya
potensial larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh
antara lain bentuk struktur, daya pegang air dan permeabilitas tanah.

Pertumbuhan sel tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak normal.
Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan lamella,
kekacauan organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam sitoplasma, vakuola, dinding
sel dan ruang antar sel. Kerusakan struktur ini akan mengganggu transportasi air dan mineral
hara dalam jaringan tanaman (Maas dan Nieman, dalam Sipayung, 2006). Banyak tumbuhan
dapat berespon terhadap salinitas tanah yang memadai dengan cara menghasilkan zat terlarut
kompatibel, yaitu senyawa organic yang menjaga potensial air larutan tanah, tanpa menerima
garam dalam jumlah yang dapat menjadi racun. Namun demikian, sebagian besar tanaman
tidak dapat bertahan hidup menghadapi cekaman garam dalam jangka waktu yang lama
kecuali pada tanaman halofit, yaitu tumbuhan yang toleran terhadap garam dengan adaptasi
khusus seperti kelenjar garam, yang memompa garam keluar dari tubuh melewati epidermis
daun (Campbell, 2003).

Ketika terjadi cekaman lingkungan seperti kekeringan, logam berat atau salinitas,
tanaman bereaksi dalam beragam cara untuk menghadapi perubahan yang berpotensi
merusak. Salah satu hasil dari tekanan tersebut adalah adanya akumulasi reactive oxygen
species (ROS) dalam tanaman, dimana hal tersebut dapat menghancurkan tanaman dan
berakibat pada berkurangnya produktivitas tanaman. ROS berdampak pada fungsi seluler,
seperti kerusakan pada asam nukleat atau oksidasi protein tanaman yang penting.

3. Mekanisme Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cekaman Suhu

Suhu sebagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi produksi tanaman secara fisik
maupun fisiologis. Secara fisik, suhu merupakan bagian yang dipengaruhi oleh radiasi sinar
matahari dan dapat diestimasikan berdasarkan keseimbangan panas. Secara fisiologis, suhu
dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, fotosintesis, pembukaan stomata, dan respirasi.
Selain itu, suhu merupakan salah satu penghambat dalam proses fisiologi untuk sistem
produksi tanaman ketika suhu tanaman berada diluar suhu optimal terendah maupun tertinggi.

 Cekaman Panas

Panas berlebihan dapat mengganggu dan akhirnya membunuh suatu tumbuhan dengan
cara mendenaturasi enzim-enzimnya dan merusak metabolismenya dalam berbagai cara.
Salah satu fungsi transpirasi adalah pendinginan melalui penguapan. Pada hari yang panas,
misalnya temperature daun berkisar 3°C sampai 10°C di bawah suhu sekitar. Tentunya, cuaca
panas dan kering juga enderung menyebabkan kekurangan air pada banyak tumbuhan;
penutupan stomata sebagai respon terhadap cekaman ini akan menghemat air, namun
mengorbankan pendinginan melalui penguapan tersebut. Sebagian besar tumbuhan memiliki
respon cadangan yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dalam cekaman panas Di
atas suatu temperature tertentu- sekitar 40°C pada sebagian besar tumbuhan yang menempati
daerah empat musim, sel-sel tumbuhan mulai mensintesis suatu protein khusus dalam jumlah
yang cukup banyak yang disebut protein kejut panas (heat-shock protein). Protein kejut panas
ini kemungkinan mengapit enzim serta protein lain dan membantu mencegah denaturasi
(Campbell, 2003).

 Cekaman Dingin

Satu permasalahan yang dihadapi tumbuhan ketika temperature lingkungan turun adalah
perubahan ketidakstabilan membrane selnya. Ketika sel itu didinginkan di bawah suatu titik
kritis, membrane akan kehilangan kecairannya karena lipid menjadi terkunci dalam struktur
Kristal. Keadaan ini mengubah transport zat terlarut melewati membrane, juga
mempengaruhi fungsi protein membrane. Tumbuhan merespon terhadap cekaman dingin
dengan cara mengubah komposisi lipid membrannya. Contohnya adalah meningkatnya
proporsi asam lemak tak jenuh, yang memiliki struktur yang mampu menjaga membrane
tetap cair pada suhu lebih rendah dengan cara menghambat pembentukan Kristal. Modifikasi
molekuler seperti itu pada membrane membutuhkan waktu beberapa jam hingga beberapa
hari. Pada suhu di bawah pembekuan, Kristal es mulai terbentuk pada sebagian besar
tumbuhan. Jika es terbatas hanya pada dinding sel dan ruang antar sel, tumbuhan
kemungkinan akan bertahan hidup. Namun demikian, jika es mulai terbentuk di dalam
protoplas, Kristal es yang tajam itu akan merobek membrane dan organel yang dapat
membunuh sel tersebut. Beberapa tumbuhan asli di daerah yang memiliki musim dingin
sangat dingin (seperti maple, mawar, rhodendron) memiliki adaptasi khusus yang
memungkinkan mereka mampu menghadapi cekaman pembekuan tersebut. Sebagai contoh,
perubahan dalam komposisi zat terlarut sel-sel hidup memungkinkan sitosol mendingin di
bawah 0°C tanpa pembentukan es, meskipun Kristal es terbentuk dalam dinding sel
(Campbell, 2003).

4. Mekanisme Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cekaman Derajat Keasaman (pH)


Tanah masam adalah tanah dengan nilai pH tanah rata-rata kurang dari 4,0 dan tingginya
kandungan unsur aluminium. Terbatasnya pertumbuhan pada tanah masam terjadi karena
toksisitas atau defisiensi hara mineral tertentu. Kendala utamannya berupa kelebihan Al
bebas dan Al dapat ditukarkan (Al-dd), kelebihan Mn, dan defisiensi P, Ca, dan Mg. Sering
pula terjadi defisiensi N, K, S, Mo, Zn dan Cu. Taraf nitrogen umumnya juga sangat rendah.
Taraf Al dan Mn yang berlebihan secra fisiologis mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Faktor kemasaman tanah yang paling penting kontribusinya terhadap potensial hasil yang
rendah adalah defisiensi kalsium (Ca) dan keracunan Aluminium (Al). Walaupun demikian
keracunan Al dianggap lebih menonjol.Tingginya Al pada subsoil masam seperti pada
Oxisol, Ultisol dan Inceptisol menyebabkan buruknya perkembangan akar. Dengan demikian
sistem perakaran terbatas pada lapisan tanah atas yang dangkal, sehingga akar tidak dapat
memanfaatkan air dan unsur hara yang tersimpan pada subsoil. Akibatnya tanaman mudah
mengalami cekaman air, pertumbuhannya terhambat dan biomas serta hasil yang diperoleh
rendah.

Mekanisme terjadinya keracunan Al dan defisiensi hara lain pada tanah masam dalah :
(1) pada pH rendah (< 4) hampir semua Al dalam tanah berada dalam bentuk Al bebas yaitu
Al+3 yang bersifat racun, sehingga tanaman keracunan Al+3 dan (2) pada pH < 5,5,
permukaan tukar kation tanah (cation exchange site) dipenuhi oleh Al+3, dimana Al+3
tersebut mengganti/mendesak posisi Ca+2 dan Mg+2 sehingga tanaman tidak dapat
menyerap Ca dan Mg. Dengan banyaknya Al+3 pada permukaan tukar kation, dia
mengabsorpsi phospat dengan kuat sehingga terbentuk Al-phospat. Tanaman defisien P.
Sedangkan terkait dengan Mn, konsentrasi Mn yang tinggi pada tanah masam terjadi karena
tingginya ketersediaan Mn yang dapat direduksi berkombinasi dengan tingginya bahan
organik tanah dan aktivitas mikrobia serta kondisi anaerobik. Kondisi tersebut di daerah
tropis relatif rendah, karena jumlah Mn yang dapat direduksi umumnya rendah dan kondisi
cuaca tropis mendorong demineralisasi bahan organik dengan cepat. Artinya toksik Mn pada
tanah masam di darah tropis jauh lebih ringan dari toksik Al.
Efek fisiologis kelebihan Al dan Mn bagi tanaman pada tanah masam tentu berbeda.
Gambar 2 menunjukkan tanda pertama kelebihan Al, yaitu pada Sistem Perakaran. Akarnya
pendek gemuk, mengkerut (stubby) akibat terhambatnya pemanjangan akar utama dan akar
lateral, atau terhambatnya pembelahan sel pada meristem apikal akar. Tidak seperti kelebihan
Al yang menghambat atau melukai akar secara langsung, toksik Mn berpengaruh ke tanaman
pada pucuk. Daun muda mengkerut dan daun tua klorotik adalah simtom toksik Mn.
Penyerapan Ca dan Mg menurun.

Sebaran perakaran tanaman pada tanah masam umumnya terbatas pada lapisan tanah
bagian atas saja karena umumnya pada tanah masam lapisan tanahnya dangkal. Dangkalnya
sebaran perakaran pada tanah-tanah masam biasanya disebabkan oleh adanya dua macam
hambatan, yaitu: (1) Hambatan pertama berupa penghalang fisik dengan adanya lapisan keras
yang sulit ditembus akar misalnya lapisan kerikil (krokos). Lapisan krokos dijumpai pada
berbagai kedalaman, bahkan kadangkadang ada yang muncul di permukaan tanah. Penyebab
hambatan yang lain adalah air tanah sehingga secara fisik akar tidak bisa menembusnya dan
(2). Hambatan kedua yang sering kali ditemui yaitu adanya lapisan beracun pada lapisan
tanah bawah, karena tanah mengandung unsur Al (aluminium) sangat banyak. Lapisan ini
tidak kelihatan, tetapi dapat dibuktikan dengan mengukur kadar Al-nya di laboratorium.
Gejala keracunan Al mudah dikenali dengan mengamati perakarannya, karena akar adalah
bagiantanaman yang langsung terpengaruh oleh keracunan Al (bukan pada tajuknya). Dengan
demikian tanaman yang tidak tahan terhadap Al akarnya akan menghindari lapisan ini
sehingga perakarannya menjadi dangkal. Namun demikian masih ada tanaman-tanaman yang
tahan (toleran) terhadap tingginya kadar Al ini sehingga akarnya bisa masuk sampai dalam.

Tanda-tanda morfologi akar tanaman yang mengalami keracunan Al adalah : (a)


Membesarnya akar, sehingga garis-tengahnya menjadi lebih besar dari biasanya. Akar
menjadi lebih pendek dan kaku seperti kawat; (b). Akar mudah patah; (c). Membengkaknya
ujung-ujung akar; dan (d). Akar tanaman tidak dapat berfungsi dengan sempurna dalam
menyerap air dan unsur hara (pengaruh tidak langsung). Gambar 2 menunjukkan gambar
skematis akar jagung di lapangan, akar tumbuh pendek dan membengkak serta mudah patah.
Membesarnya diameter akar tanaman ini akan mengurangi luas permukaan akar sehingga
jumlah serapan air dan hara juga akan berkurang.
Adaptasi terhadap stres hara mineral adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan
diri terhadap kekurangan dan kelebihan hara agar tidak terjadi defisiensi atau toksisitas.
Mekanisme adaptasi tanaman pada tanah masam bisa terpisah (hanya toleran terhadap Al saja
atau Mn saja) atau sekaligus (toleran Al dan Mn) disertai dengan efisien menyerap phospat.
Tanaman yang toleran tanah masam adalah teh, ketela rambat, ketela pohon, kacang tanah,
sedangkan tanaman yang peka jagung, kacang merah dan kedele.

Ada 3 mekanisme utama toleransi tanaman terhadap toksik Al yaitu :

(1)Menghindari penyerapan (excluder plant); (2) Inaktivasi di akar (excluder/includer


plant); dan (3) Akumulasi di pucuk (includer plant). Mekanisme akumulasi di pucuk terutama
pada tanaman toleran Al tinggi. Tanaman budidaya hanya sedikit yang termasuk tipe 3 seperti
teh, dimana pada daun tua mengandung 30 mg/g BK. Untuk tanaman yang dibudidayakan,
umumnya memiliki mekanisme tipe 1 atau 2.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan toleransi tanaman pada tipe excluder :

1. pH rhizosphere : pada pH di bawah 4 mengurangi kemampuan toleransi.

2. KTK tanah : makin tinggi KTK tanah maka toleransinya terhadap toksik Al semakin
sulit.

3. Mucilage-mucigel (bahan dengan berat molekul tinggi pada zone apikal akar yang
mengandung poliakarida dan asam poligalakturon). Makin tinggi mucilage mucigel ini maka
akar semakin mampu menghambat penetrasi Al ke zone apikal akar.

Teh toleran Al tinggi karena absorpsi Al di akar prosesnya lambat disertai dengan
lokalisasi penyerapan Al yaitu Al diakumulasikan pada dinding sel epidermis daun tua,
dimana hal ini tidak terlalu mengganggu proses metabolik karena fungsi metabolik daun tua
tidak terlalu penting. Teh yang ditanam pada tanah masam konsentrasi Al pada daunnya
berbeda tergantung pada posisi daun yang bersangkutan. Daun ata (upper leaf) memiliki
konsentrasi Al sebesar 262 ppm sedngkan daun tengah (middle leaf) dan daun bawah (lower
leaf) konsetrasi Al daunnya masing-masing 428 ppm dan 1.249 ppm.

Disamping itu disebutkan bahwa tanaman teh pada tanah masam dapat memelihara
pertumbuhan akar baru dan pertumbuhan pucuk dan Al di kelat sehingga tidak bereaksi
negatif dalam metabolisme. Pengkelatan dimungkinkan karena teh mengandung banyak
senyawa kimia pengkelat). Sebaliknya kacang merah tidak toleran karena perpanjangan akar
dihambat Al dan Al diakumulasikan pada epidermis akar yang selnya aktif membelah (pada
root tip dan lateral root yang berdiferensisasi). Kemampuan seperti itu tergolong tanaman tipe
non-akumulator.

Berbeda dengan tanaman yang toleran terhadap Al, tanaman yang toleran terhadap Mn
pada tanah masam karena Mn tersebar merata di daun dan dapat terbentuk senyawa komplek
Mn-oxalat yang stabil, sedangkan tanaman yang peka hara Mn diserap kemudian mengumpul
(tidak tersebar merata) sehingga terjadi noda-noda pada daun pada bagian terakumulasi Mn.
Penggunaan spesies atau kultivar tanaman yang toleran terhadap kemasaman tanah yang
tinggi merupakan usaha yang paling baik dalam mengatasi masalah subsoil masam. Hal itu
bukan saja mengurangi penggunaan input amelioran, yang berarti menekan biaya produksi,
tetapi juga tidak mengganggu keseimbangan unsur hara yang ada di dalam tanah. Namun,
untuk mendapatkan spesies atau kultivar tanaman yang toleran kemasaman tinggi diperlukan
waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Varietas tanaman yang toleran tanah masam
terutama berkaitan dengan ketahanannya terhadap Al yang tinggi. Pada saat ini diketahui
terdapat dua jenis utama mekanisme toleran cekaman Al, yaitu mekanisme penghindaran dan
mekanisme detoksifikasi internal. Strategi utama tanaman menghindari Al dilakukan melalui
: (1) perubahan pH rhizosfir akar, (2) ekskresi asam organik oleh akar, dan (3) perkembangan
akar dan infeksi mikoriza. Selain ke tiga strategi tersebut, Toleran Al dari spesies tanaman
juga dapat didasarkan pada penahanan Al oleh sistem perakaran (excluded plants) dan
toleransi terhadap konsentrasi Al tinggi pada tajuk (includer plants).

Ekskresi asam organik yang mengkhelat Al dalam rhizosfir akar merupakan mekanisme
toleransi spesies atau kultivar tanaman tertentu terhadap kemasaman tanah. Asam organik
seperti asam sitrat dan asam malat juga polipeptida tertentu dieksudasikan oleh akar tanaman
sehinga mendetoksifikasi Al melalui khelasi dalam apoplasma dan rhizosfir akar.Dengan
demikian, mekanisme toleran suatu spesies atau kultivar terhadap Al dapat berlangsung bila
terjadi ekskresi asam organik oleh akar tanaman, dan pH rhizosfir sesuai yakni optimal pada
pH 4 – 4,5 untuk pembentukan kompleks Al-organik.

Pada tanah masam, P sering menjadi pembatas pertumbuhan tanaman karena difiksasi
oleh Al atau Fe. Tanaman dapat meningkatkan pengambilan P jika akarnya bersimbiosis
dengan mikoriza. Oleh karena itu, spesies atau kultivar tanaman yang dengan mudah
terinfeksi oleh mikoriza, jika tumbuh di tanah masam dapat di duga kurang peka terhadap
kemasaman tanah daripada tanaman yang tidak bersimbiosis dengan mikoriza.
Persyaratannya tentu saja (1) keberadaan strain mikoriza yang cukup toleran terhadap
kemasaman tanah (tinggi) atau Al berlebih, dan (2) kehadiran strain seperti itu dalam tanah
atau kemungkinan untuk menginokulasi tanah atau biji dengan strain tertentu tersebut.

Usaha mengatasi subsoil masam juga dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan
(profil tanah) pertumbuhan tanaman melalui modifikasi kimia. Modifikasi kimia
dimaksudkan modifikasi lingkungan pertumbuhan tanaman (subsoil) dengan menggunakan
amelioran yang terdiri dari bahan anorganik dan bahan organik. Bahan organik tersebut dapat
berupa kapur dan gipsum, sedangkan bahan organik dapat berupa pupuk kandang, pupuk
hijau, kompos atau dalam bentuk asam-asam organik.

Kapur telah lama diketahui sebagai amelioran yang efektif dalam menurunkan
kemasaman tanah yaitu meningkatkan pH tanah, menurunkan Al dapat ditukar (Al-dd) dan
kejenuhan Al. Walaupun demikian, ditingkat petani hal itu masih dirasakan kurang praktis
dan diperlukan peralatan khusus, maka beberapa peneliti mencoba menemukan amelioran
yang diberikan pada lapisan permukaan, tetapi dapat bermigrasi dan memperbaiki sifat kimia
subsoil masam.
Amelioran tersebut antara lain gipsum atau fosfogipsum dan asam organik. Keefektifan
gipsum dalam memperbaiki subsoil masam dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Gipsum mempunyai kelarutan yang tinggi, sehingga komponen Ca dan sulfat dari gipsum
dapat bermigrasi ke lapisan subsoil. Akibatnya, Ca tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan
perakaran melalui penurunan defisiensi Ca. Sedangkan komponen sulfatnya dapat mereduksi
keracunan Al.

Mn bagi beberapa tanaman bersifat sebagai hara esensial dan dibutuhkan alam jumlah
yang cukup banyak. Keracunan Mn dapat terjadi pada tanah masam, tetapi tidak seekstrim
keracunan Al. Perbedaan respon berbagai kultivar dari spesies tertentu terhadap keracunan
Mn menyebabkan keracunan Mn mendapat perhatian yang lebih rendah dari keracunan Al.
Salah satu penyebabnya antara lain, tidak seperti keracunan Al, secara visual respon
keracunan Mn bagi pertumbuhan tanaman pada media tanah atau media larutan hara
perkembangannya sangat lambat.

Disamping itu, pengaruh toksik Mn pada tanah sangat komplek karena kejadiannya
hampir selalu simultan dengan keracunan Al. Tidak seperti pada gejala keracunan Al yang
gejalanya pertama kali terlihat pada akar tanaman kemudian baru pada tajuk, keracunan Mn
justru pertama terlihat pada daun. Beberapa spesies membutuhkan Mn cukup banyak untuk
pertumbuhan normalnya, sehingga penelitian Mn banyak pula menekankan pada defisiensi
disamping mengenai keracunan Mn itu sendiri.

Derajat toksisitas Mn terhadap tanaman dapat diduga melalui intensitas dari gejala injuri
yang dialami tanaman (“injury symptoms”). Gejala injuri berbeda untuk tanaman berbeda.
Contohnya, pada serealia gejala yang dominan adalah “stunted growth”, klorosis dan
berkembangnya “necrotis spots”. Pada tanaman berdaun lebar, gejala toksik Mn adalah
“marginal chlorosis” dan epinasti pada daun muda.

Gangguan pada tanaman kapas baik pada toksik Mn atau defisiensi Mn ditandai oleh
meningkatnya aktivitas IAA oksidase. Hubungan sebab akibat terjadi antara akrivitas IAA
aksidase dan respon tanaman terhadap taraf Mn. Pengaruh toksik Mn menyebabkan
terdestruksinya hormone IAA. Toksisitas Mn menyebabkan aktivitas enzim polipenol
oksidase, peroksidase dan IAA oksidase meningkat. Mekanisme keterkaitan toksisitas Mn
dengan enzimenzim tersebut terhadap asimilasi sehingga menyebabkan hasil berkurang
belum dipahami.

Perbedaan toleransi Mn berbagai tanaman terjadi karena jaringan tanaman yang


bersangkutan toleran terhadap konsentrasi Mn tinggi, laju penyerapan Mn rendah atau karena
retensi Mn yang tinggi di akar. Tanaman seperti gandum, sorgum, padi, jagung dan tembakau
tegolong tanaman yang mampu mengakumulasi Mn cukup tinggi pada jaringannya.
Perbedaan toleransi terhadap kelebihan Mn dengan perbedaan dalam (a) kekuatan akar
tanaman mengoksidasi (oxidizing power of plant root), (b) laju adsorpsi dan translokasi Mn,
(c) “Mn entrapment” dalam kegiatan non-metabolik, (d) toleransi internal terhadap kelebihan
Mn, dan (e) penyerapan dan distribusi Fe.
Meningkatnya konsentrasi Fe dalam larutan tanah yang toksik Mn mengurangi
konsentrasi Mn pada jaringan buncis kultivar “Wonder crop 2” dan mengurangi gejala toksik
Mn di daun. Namun, kultivar “Wonder crop 2” yang sensitif Mn mengakumulasi lebih
banyak Fe di akar dan sedikit di daun dibandingkan kultivar “Greenland” yang lebih toleran
Mn. Dengan kata lain, untuk tiap satu unit masa akar kultivar Greenland mentranslokasikan
lebih banyak Fe dari akar ke daun dibanding “Wonder crop 2”. Dalam keadaan Fe rendah,
berkembangnya gejala toksik Mn pada “Wonder crop 2” disebabkan oleh rendahnya
penyerapan Fe dan tingginya penyerapan Mn.

Mekanisme utama toleransi Mn bergantung atas kemampuan tanaman untuk tumbuh dan
berfungsi pada konsentrasi Mn internal abnormal tinggi atau mampu meng-“exclude” Mn
selama proses penyerapan oleh akar. Varietas gandum yang toleran Mn, konsentrasi Mn
internal jaringannya tinggi, mungkin mekanismenya berhubungan dengan konversi Mn
menjadi bentuk inaktif oleh reaksi kimia dengan asam organik atau protein dan/atau halangan
secara fisik untuk menggerakkan Mn ke tempat “sensitive metabolic”. Spesies tanaman atau
kultivar dalam suatu spesies dapat menunjukkan perbedaan toleransi terhadap keracunan Mn.
Namun, bagaimana mekanisme toleransi tersebut belum banyak diketahui. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa toleransi terhadap keracunan Mn tidak melalui mekanisme
ekslusi karena pada tanaman toleran ditemukan konsentrasi Mn yang tinggi. Toleransi
tanaman kapas tidak berdasarkan pada perbedaan penyerapan Mn, melainkan pada perbedaan
distribusi subseluler dan/atau bentuk kimia Mn pada jaringan. mPerbaikan drainase akan
menurunkan tosisitas Mn, hal ini karena Mn yang dapat dipertukarkan pada kondisi lembab
atau kering lebih rendah dibanding pada kondisi tergenang. Penggunaan kapur dan pupuk
organik dalam menanggulangi toksisitas Mn walaupun sangat efektif akan tetapi memerlukan
biaya yang tinggi dan akan semakin menjadi tidak ekonomis apabila tanaman yang ditanam
nilai ekonomisnya rendah, terlebih-lebih dengan kondisi akhir-akhir ini dimana ratio harga
komiditi dengan input makin rendah. Oleh karena itu penggunaan tanaman atau varietas
toleran dapat menjadi alternatif walaupun produktivitasnya sedikit lebih rendah dibanding
dengan penggunaan kapur atau bahan organik.

5. Mekanisme adaptasi tumbuhan terhadap cekaman mineral

Hubungan antara pertumbuhan (yang dicerminkan dengan produksi berat kering


tanaman) dengan ketersediaan dan konsentrasi hara mineral dalam jaringan tanaman secara
umum digambarkan seperti pada Gambar berikut. Pada prinsipnya hubungan tersebut
dibedakan menjadi 4 zone yang berbeda yaitu zone defisiensi, peralihan, kecukupan dan
lewat cukup. Artinya adalah status nutrisi tanaman yang mempengaruhi pertumbuhan dan
hasil adalah berbeda antara zone defisiensi, peralihan, kecukupan dan lewat cukup. Namun
status nutrisi seperti pada gambar tersebut tidak selalu dapat berlaku umum, karena sangat
tergantung dari jenis hara mineral dan tanamannya.
Pada Gambar menjelaskan bahwa pada zone defisiensi penambahan hara dalam tanah
(melalui pemupukan) hanya berakibat meningkatkan produksi berat kering, tetapi konsentrasi
hara dalam jaringan tanaman tetap, sedangkan pada zone peralihan penambahan hara melalui
pemupukan disamping berakibat meningkatkan konsentrasi hara dalam jaringan tanaman,
juga meningkatkan produksi berat kering. Pada zone cukup penambahan hara melalui
pemupukan berakibat meningkatkan kandungan hara dalam jaringan tanaman, tetapi tidak
meningkatkan berat kering atau hasil panen. Kurva respon pada bagian ini disebut “luxury
consumption” (konsumsi berlebihan).

Sedangkan pada zone lewat cukup penambahan hara melalui pemupukan berakibat
kandungan hara dalam jaringan tanaman bertambah, tetapi hasil panen atau produksi tanaman
menurun. Konsentrasi kritis (critical value) adalah konsentrasi tepat dibawah konsentrasi
yang membrikan pertumbuhan optimum. Karena konsentrasi kritis hanya satu titik (bukan
kisaran), maka sangat sulit menginterprestasikan hasil analisis bila nilainya berada di atas
atau di bawah nilai tersebut. Para ahli lalu mengajukan istilah “CNR” (Critical Nutrient
Range) yaitu kisaran konsentrasi hara dalam jaringan tanaman yang menyebabkan penurunan
berat kering atau hasil sebesar 0 – 10%. Konentrasi hara yang menyebabkan berat kering atau
hasil menurun sebesar 10% disebut CDL (critical defisiensi level), sedangkan CTL (critical
toxic level) adalah konsentrasi yang menyebabkan terjadinya toksisitas.

Apabila tanaman tidak dapat menerima hara yang cukup seperti yang dibutuhkan, maka
pertumbuhannya akan lemah dan perkembangannya tampak abnormal. Pertumbuhan yang
abnormal juga akan terjadi bila tanaman menyerap hara melebihi untuk kebutuhannya
bermetabolisme. Tumbuhan menanggapi kurangnya pasokan unsur esensial dengan
menunjukkan gejala kekahatan yang khas. Gejala yang terlihat meliputi terhambatnya
pertumbuhan akar, batang atau daun, serta klorosis atau nekrosis pada berbagai organ. Gejala
khas sering membantu untuk mengetahui fungsi suatu unsur pada tumbuhan dan pengetahuan
akan gejala tersebut menolong untuk memastikan bagaimana serta kapan harus memupuk
tanamannya
.
6. Mekanisme Adaptasi Tumbuhan Terhadap Cekaman Logam

Diperkirakan setiap tahun antara 50 ribu-100 ribu hektar lahan pertanian subur di
Indonesia dialihfungsikan menjadi area komersial seperti perumahan, pabrik, lokasi usaha,
dan perkantoran ditemukan residu logam pada, seperti ditemukannya logam Cu, Pb, Zn, As,
Cd, dan Hg pada endapan sungai yang berada pada lahan bekas.Herman (2005) menyebutkan
bahwa proses pembuangan limbah cair atau tailing logam mengandung unsur pencemar As,
Hg, Pb, dan Cd mengakibatkan pencemaran lingkungan. Konsentrasi logam yang tinggi
menyebabkan petumbuhan tanaman terhambat dan menjadikan lahan tidak produktif
(Shakoor et al.2013).

Berbagai upaya penanggulangan pencemaran logam telah dilakukan dan salah satunya
ialah bioremediasi. Beberapa jenis bioremediasi antara lain menggunakan media tanaman
(fitoremediasi) maupun dengan media organisme lain seperti fungi. Kelkar dan Bhalerao
(2013) menyatakan bahwa mikoriza mampu menurunkan efek toksik arsenik pada spesies
mikoriza Trigonella foenum-graceum. Daerah di luar pulau Jawa memiliki karakter tanah
kering umumnya berupa podsolik merah kuning yang memiliki kemampuan menahan air
rendah (Sembiring 2007). Dengan demikian, penggunaan mikoriza yang menuntut
kelembaban tinggi sulit diaplikasikan. Oleh karena itu fitoremediasi menggunakan tanaman
merupakan metode yang lebih tepat digunakan pada tanah kering. Hal ini disebabkan karena
tanaman memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap faktor lingkungan dibandingkan
dengan fungi, terlebih lagi teknologi transformasi genetik telah mampu menciptakan tanaman
tahan cekaman logam dan faktor ekologi lainnya. Beberapa tanaman secara alami memiliki
kemampuan mengkelat logam karena mampu tumbuh dengan optimal dalam kondisi
tercekam logam sehingga disebut juga sebagai tanaman akumulator. Beberapa contoh
tanaman tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

Tanaman-tanaman tersebut mampu bertahan dalam cekaman logam berat, akan tetapi
tidak semua tumbuhan memilki kemampuan sebagai bioakumulator. Oleh karena itu
teknologi transformasi genetik dikembangkan untuk menciptakan tanaman tahan cekaman
logam dengan cara menyisipkan gen dari tanaman toleran logam. Penelitian transformasi
genetik saat ini telah mengarah ke tujuan menciptakan tanaman tahan cekaman logam yang
menggunakan tanaman model sebagai sampel. Tanaman model yang digunakan adalah
tanaman yang memiliki respon yang cepat terhadap manipulasi kondisi internal maupun
eksternal.

 Logam Berat

Kontaminasi logam berat menjadi isu yang penting karena banyaknya kasus pencemaran
logam berat yang merugikan kesehatan. Logam berat kationik yang umumnya bersifat toksik
yaitu merkuri, kadmium, timbal, nikel, tembaga, seng, kromium dan mangan, sedangkan
logam berat anionik yang umum adalah arsenik, molibdenum, selenium, dan boron (NRCS
2000). Logam-logam ini bersifat toksik baik pada hewan maupun tumbuhan. Akan tetapi
tumbuhan secara umum memilki beberapa mekanisme penyerapan, transportasi dan respon
terhadap cekaman logam berat (Manara 2012; Garg & Singla2011; Cheng 2003; Taiz &
Zeiger 2010) .Kontaminasi logam berat baik pada kadar rendah maupun tinggi pada makhluk
hidup bersifat toksik. Pencemaran logam berat pada lingkungan seperti tanah dapat
menyebabkan efek toksik dalam rantai makanan. Pada tumbuhan pencemaran logam
menyebabkan terganggunya metabolisme seperti menurunnya jumlah klorofil dan rusaknya
struktur sel tumbuhan (Reichman 2002). Dalam upaya penanggulangan pencemaran logam
berat pada lahan bekas pertambangan, fitoremediasi dan transformasi genetik berpotensi
besar dalam upaya pendayagunaan kembali lahan bekas tambang.

 Tembaga

Tembaga adalah elemen pertama dari grup 1B dalam sistem periodik unsur dan memiliki
empat fase oksidatif yaitu: Cu (0), Cu (I), Cu (II), dan Cu (III) (Reichman 2002).
Kontaminasi Cu pada tumbuhan menyebabkan beberapa gejala merugikan antara lain klorosis
daun (Marschner 2012), bahkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan
nekrosis daun. Akan tetapi Zhangyuan et al. (2012) menyebutkan bahwa respon cekaman Cu
lebih dominan pada daerah akar (root part) dari pada daerah batang dan daun (shoot).
Gangguan lain seperti rusaknya jaringan dinding sel, terhambatnya pertumbuhan dan bahkan
polimerasi lignin (Fry et al. 2002; Mahmood et al. 2007; Quiroga et al. 2000). Secara
fisiologis Cu menghambat penyerapan elemen esensial yang diperlukan tanaman seperti
kalsium dan magnesium (Alaoui-Sossé et al. 2003), selain itu menurut Jiang et al. (2001)
kontaminasi Cu juga mempengaruhi pembelah sel antara lain menyebabkan mitosis-c,
terbentuknya jembatan anaphase dan penempelan kromosom. Dengan demikian Cu dapat
menyebabkan mutasi pada sel tumbuhan.

 Kadmium

Kadmium adalah logam berat yang tidak dibutuhkan oleh tanaman. Kadmium bersifat
toksik bagi tumbuhan maupun manusia. Kehadiran kadmium meskipun dalam jumlah yang
sedikit terbukti mampu menghambat penyerapan unsur esensial yang dibutuhkan tanaman
seperti Ca oleh akar (Kurtyka et al. 2008). Logam Cd juga trebukti mengganggu ekspansi sel
sehingga mengganggu pertumbuhan (Poschenrieder et al. 1989). Larutan media yang
mengandung kadmium menyebabkan berbagai gangguan fisiologis pada tanaman seperti
membuka menutupnya stomata, transpirasi, dan fotosintesis, sedangkan dalam media tanah
kadmium bersifat toksik pada kadar minimal 1.8-2.5 mg/kg tanah (UNEP 2008). Penyerapan
Cd terjadi oleh beberapa mekanisme pengikatan Cd dengan protein pengikat logam (Liu et al.
2010). Berdasarkan penelitian Zou et al. (2012) kehadiran Cd dalam sel tumbuhan
menyebabkan terganggunya pembelahan sel dan aberasi kromosom termasuk mitosis-c,
patahnya kromosom, jembatan anafase, dan menempelnya kromosom.

 Timbal

Seperti halnya dengan kadmium, mobilitas timbal dalam tanah sangat dipengaruhi pH,
pH yang rendah meningkatkan mobilitas dan penyerapan timbal oleh makhluk hidup
(Anonim 2013). Kelarutan timbal sangat dipengaruhi oleh pH media. Reddy et al. (1995)
menyebutkan bahwa Pb memiliki respon fluktuatif terhadap pH, kehadiran Pb pada pH 5.5-
5.7 lebih besar dibanding dengan pada pH 5.1-5.4 akan tetapi pada pH < 3 konsentrasi Pb
bertambah. Akumulasi timbal dalam akar paling banyak ditemukan pada dinding sel dan
cekaman timbal menyebabkan menurunnya produktivitas tanaman (Sharma & Dubey 2005).
Penimbunan Pb menyebabkan penurunan pertumbuhan akar, hilangnya dominansi apikal
(Kopittke et al. 2007; Ghelich et al. 2013), sedangkan Petrescu et al. (2011) menyebutkan
bahwa banyaknya kandungan timbal dalam media tanam berbanding lurus dengan lambatnya
pertumbuhan tanaman Lycopersicum esculentum L. Pada tataran sitologi, kehadiran Pb
menyebabkan aberasi kromosom yang dapat menimbulkan mutasi hal ini dibuktikan dalam
penelitian Kumar & Tripathi (2008) yang mengobservasi sel Lathyrus sativus yang dicekam
oleh Pb.

Anda mungkin juga menyukai