Anda di halaman 1dari 5

Kelak Kau Akan Merindukanku Sebagai Seseorang Yang Tak Kau Temukan

Pada Siapapun
Oleh :
Priyo Nurmanto

Hujan kembali datang pagi ini. Menambah rasa dingin yang menusuk kulit, membuat
orang
malas untuk bangkit dari lelap. Ah, tidak perlu heran. Ini Desember, bulan yang tepat bagi
hujan untuk datang setiap hari. Seperti kenangan yang datang, selalu memaksa untuk
diingat tiap kali tetes air hujan jatuh.
Arif merapatkan jaketnya yang dirasa sama sekali tidak menghangatkan tubuhnya.
Ia masih bisa merasakan dingin mencoba merasuki tubuhnya. Ah, andai jaket
kesayangannya tidak ia tinggalkan di rumah Boy. Hari ini, ia akan mengambilnya.
Bus yang dinaiki sepertinya berjalan sangat lambat. Entah waktu malas untuk
berjalan, atau memang bus menghindari untuk melewati kubangan yang muncul setelah
hujan.
Beruntung, dalam sepuluh menit kemudian, bus berhenti di halte terdekat. Arif
turun dan membenahi penampilannya yang berantakan. Rumah Boy hanya selisih dua blok
dari halte. Arif hanya tinggal berjalan kaki. Mungkin itu ide yang cukup bagus, hitung-
hitung berolahraga, pikirnya.
Rumah Boy sudah nampak dari kejauhan. Pagar rumahnya dibiarkan terbuka lebar.
Bisa dipastikan Boy sedang ada di rumah. Mungkin masih bermalas-malasan sembari
bermain Mobile Legends, game kesukaanya itu.
Arif mengetuk pintu rumah Boy. Anehnya, suasana di dalam rumah Boy sedang
ramai. Bahkan tidak terdengar suara efek dari game yang dimainkan Boy seperti biasanya.
Tak lama, pintu dibuka oleh seseorang yang pastinya bukan Boy.
Arif cukup terkejut untuk sesaat. Seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang
yang mampu membuat jantungnya berdebar tiap kali memperhatikannya. Mereka tidak
pernah sedekat ini. Tidak pernah.
“Rizka?” ucap Arif spontan. Rizka tersenyum manis. Senyum yang dinantikan Arif
tiap kali sedang memperhatikan Rizka. Anggap saja, Rizka adalah orang yang sangat
dikagumi oleh Arif. Membuat Arif tidak bisa tidur karena memikirkan Rizka tiap malam.
“Ayo masuk. Boy di dalam.” Rizka membuka pintu lebih lebar. Arif segera masuk
ke dalam rumah Boy. Di dalam sudah ada Boy, Rio, dan Fira.
“Eh, Arif! Ada apa ke sini?” tanya Boy yang sedang berbincang dengan Rio. Ia
meletakkan gelas yang berisi es jeruk. Arif terdiam sebentar.
“Jaketku ketinggalan,” ujar Arif sambil tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangan
ke sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda jaket tebalnya yang berwarna biru itu.
Boy tampak memikirkan sesuatu dan tersentak. “Ah, aku letakkan di belakang
pintu.” Boy menjentikkan telunjuknya ke arah Rizka yang berada di dekat pintu. “Rizka,
tolong ambilkan untuk Arif, ya.”
Boy melirik kecil ke arah Arif dengan nada menggoda. Hanya Boy satu-satunya
orang yang mengerti perasaan Arif. Rona muka Arif menjadi campur aduk.
Rizka tersenyum kecil dan meraih jaket yang disampirkan di belakang pintu. Ia
menggenggamnya dan menyerahkannya kepada Arif dengan senyum masih tertera di
wajahnya yang manis.
Sangat terlihat bahwa Arif sangat gugup. Tentu saja, ini adalah pertama kalinya ia
dan Rizka melakukan kontak mata. Selama mengagumi Rizka, Arif hanya dapat
memperhatikan dari jauh. Ia hanya bisa ikut tersenyum saat Rizka tertawa manis, meskipun
tawa itu bukan karenanya.
“Ah, makasih.” ucap Arif pendek. Padahal sudah banyak kata terngiang di
kepalanya untuk diucapkan pada gadis di hadapannya.
Suasana kembali hening di dalam ruang tamu. Sesaat kemudian, keheningan pecah
oleh hujan yang kembali menghantam bumi. Rintik hujannya tampak damai, meskipun rela
jatuh berkali-kali.
Semuanya saling memandang satu sama lain. Hujan membuat orang susah untuk
bergerak ke mana-mana. Meskipun halte dekat dengan rumah Boy, malas rasanya untuk
melangkah ke luar.
“Hujan lagi.” desah Boy sebal. Ia melirik Rio, Fira, Arif, dan Rizka bergantian.
“Kalian pulang sekarang?” Rio melirik yang lain. Ia meraih tasnya dan memakai jaketnya.
“Gue pulang, ya, Boy.” ucap Rio seraya meraih kunci motornya. Fira yang melihat Rio,
segera mengambil tasnya.
“Gue nebeng, Rio!” Fira membuntuti Rio yang sudah keluar dari rumah Boy. Tidak
usah mengkhawatirkan mereka berdua. Mereka seperti perangko dan amplop yang tidak bisa
dipisahkan. Bagaikan semut dan gula keduanya.
Kini tinggal Arif dan Rizka yang tersisa. Arif tahu bahwa rumah Rizka searah
dengannya dan hanya berjarak satu blok. Tiap Minggu pagi, Arif selalu menyempatkan untuk
lari pagi dan melewati rumah Rizka. Berharap si Rizka rumah keluar untuk menyapanya dan
memberi senyum.
“Rizka gimana? Pulang bareng Arif?” tanya Boy. Entah itu untuk menggoda atau
benar-benar menawari Rizka. Rizka tersadar dari lamunannya dan memandangi Arif.
“Boleh, Rif? Kamu naik bus, kan?” Rizka memastikan. Sepertinya Rizka tidak pernah
tahu bahwa setiap ia pulang dari kampus, Arif selalu bersamanya. Di bus, Arif selalu berada
di jarak aman, selisih dua kursi dengan Rizka untuk bisa mengamatinya dengan nyaman.
Arif mengangguk, mencoba untuk tetap berwajah datar dan lebih terlihat cool
dihadapan Rizka.“Ya, udah. Ayo,” ajak Rizka. Mata Arif membulat. Ia kaget dengan ajakan
Rizka. Namun, Rizka sudah meraih tasnya di atas sofa dan pamit pada Boy. Mau tak mau, ia
juga harus pulang bersamanya.
Payung berwarna hitam milik Boy sudah berada di genggaman Arif. Tubuhnya yang
tinggi menjulang menjadi pelindung untuk Rizka dari hujan. Maklumlah anak PASKIBRA
memang gede tubuhnya. Ini yang menjadi impiannya sejak dulu, melindungi orang yang ia
kagumi selama ini.
Di bawah hujan, mereka diam membisu. Sesekali air hujan mengenai pakaian mereka.
Sehingga mereka harus lebih merapatkan jarak agar tidak terkena air
hujan. Tidak sengaja, lengan Arif mengenai bahu ringkih Rizka. Mereka menjadi semakin
canggung dan Arif memberi jarak di antara mereka.
“Rif,” ucap Rizka. Meskipun hilang ditelan hujan, suaranya masih dapat didengar
oleh Arif. “Kamu udah punya pacar, kan, ya?” Arif menoleh. Ia menahan tawanya.
“Emang siapa yang mau sama aku?” Tinggal beberapa langkah lagi sampai di halte.
Ada bus yang nampaknya baru datang. Mereka berdua mempercepat langkah. Rizka diam
sejenak. “Aku kira udah punya. Kamu, kan, lumayan famous disekolah.” Perkataan Rizka
membuat Arif tertawa. Tapi, Arif berusaha untuk mengontrol tawanya di hadapan Rizka.
Mereka berdua secara bergantian masuk ke dalam bus. Arif menutup payung dan
masuk ke dalam bus. Ia duduk di samping Rizka yang sedang bersandar di kursi bus. Dalam
sepuluh menit, bus sudah penuh. Sopir menjalankan bus dengan pelan, seperti saat mengantar
Arif tadi pagi. Arif melirik ke arah Rizka yang sedang memandangi jendela.
“Rizka,” panggil Arif. Rizka yang sedang melamun tidak merespon panggilannya. “Ehm,
Rizka.”
Dengan kaget, Rizka menoleh ke arah Arif. Ia tersenyum dan meminta maaf karena
tidak mendengar panggilan Arif. “Apa, Rif?”
“Emm, ka.. kamu udah punya pacar?” tanya Arif agak terbata-bata. Menurutnya itu
pertanyaan yang wajar, sebagai balasan dari pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan oleh
Rizka. Rizka tersenyum kecil. “Emang kenapa?” tanya Rizka, membuat Arif kebingungan.
Hujan di luar masih deras. Rasa dingin kembali menyelimuti. “Aku cuma nanya saja!”
Arif cepat-cepat menimpali. Seketika pipinya memerah seperti tomat.
“Nggak punya, Rif.” jawaban Rizka membuat hati Arif lega. Ia menjadi siap untuk
menunggu lebih lama lagi. “Tapi, aku lagi suka sama seseorang, sih.” Arif yang di dalam
hatinya sudah merasa sangat bahagia, kembali mendung seperti suasana pagi hari ini. Pupus
sudah, ucapnya dalam hati. Harapannya untuk mencoba menjadi bagian dari hari-hari
Rizka seakan sirna begitu saja. “Mau curhat?” Arif menawari. Siapa tahu, meski tidak bisa
menjadi seseorang yang membuat Rizka tertawa, tapi ia bisa menjadi tempat Rizka untuk
berbagi kisah.
“Nggak usah. Tapi, makasih, lho.” Rizka tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya
ke jendela. Hujan masih turun dengan deras. Tidak ada tanda-tanda untuk berhenti jatuh,
meskipun ia tahu bahwa rasanya sakit.
Arif menghela nafas. Ini tidak akan pernah selesai. Perjuangannya untuk tetap
bertahan dalam mengagumi Rizka. Tidak akan pernah selesai. Rasanya, belum cukup hari ini
ia menghabiskan waktu bersama Rizka. Wajahnya yang manis tetap membayangi. Arif tahu,
bahwa ia tak akan bisa mendapatkan tempat di hati Rizka. Namun, ia tetap bertahan. Seperti
hujan.
Rizka menoleh sebentar ke arah Arif yang sedang bersandar sambil memejamkan
mata. Sebersit senyuman kembali menghias wajahnya. Arif tak pernah tahu. Bahwa
senyumannya dinantikan oleh Rizka. Arif juga tidak tahu bahwa Rizka selalu memperhatikan
Arif saat ia sedang tidak memperhatikannya. Namun, Rizka akan tetap mengagumi Arif
bagaimanapun caranya.
Keduanya saling mengagumi, namun tak pernah tahu. Keduanya saling tersakiti,
namun tetap bertahan. Seperti hujan yang tetap jatuh berkali-kali meskipun tahu bahwa
rasanya sakit. Arif dan Rizka akan selalu diam dengan perasaan yang menyertai mereka.

Anda mungkin juga menyukai