Anda di halaman 1dari 36

NEUROPATI

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas Program Dokter Internsip Indonesia
Rumah Sakit Umum Daerah Sukadana

Oleh :
dr. Vicki Jessika

Pendamping :
dr. Lia Febriyani, MARS
dr. WayanWidyana

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKADANA
LAMPUNG TIMUR
2020

1
2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis sampaikan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir
zaman. Rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang
telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Appendisitis Akut”. Tugas ini dibuat untuk menyelesaikan tugas INTERNSHIP
dokter Indonesia RSUD Sukadana, Lampung Timur.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, tetapi penulis mencoba untuk memberikan yang terbaik dengan segala
keterbatasan yang penulis miliki. Kritik dan saran penulis harapkan guna memperoleh
laporan hasil yang lebih baik dalam menyempurnakan laporan kasus ini, Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

Sukadana, Februari 2020

dr. Vicki Jessika


3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................... 3

BAB. I PENDAHULUAN.................................................................................4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ ..6

DEFINISI ………………………………………………………...........................6

ETIOLOGI ………………………………………………………..........................7

TANDA DAN GEJALA ………………………………………….........................8

PATOFISIOLOGI ………………………………………………............................9

PEMERIKSAAN FISIK ……………………………………….............................13

PEMERIKSAAN PENUNJANG ………………………………………………...17

PENATALAKSANAAN ……………………………..….……............................18

CLAW HAND ...................................................................................................22

DROP HAND.....................................................................................................25

DROP FOOT .....................................................................................................28

TTS ....................................................................................................................32

PROGNOSIS …………………………………………………...............................36

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................37


4

BAB I

PENDAHULUAN

Neuropati adalah gangguan saraf perifer yang meliputi kelemahan motorik,

gangguan sensorik, otonom dan melemahnya reflex tendon yang dapat bersifat akut

dan kronik. Beberapa saraf perifer yang terkena meliputi semua akar saraf spinalis,

sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf perifer dengan semua cabang terminalnya,

susunan saraf autonom, dan saraf otak kecuali saraf optikus dan olfaktorius.

Mononeuropati yaitu gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khususnya

akibat tekanan, atau gangguan suplai darah (vasa nervosum). Gangguan sistemik

yang secara umum dapat menyebabkan saraf sangat sensitif terhadap tekanan,

misalnya diabetes mellitus, atau penyakit lain yang menyebabkan gangguan

perdarahan yang menyebar luas, misalnya vaskulitis, dapat menyebabkan neuropati

multifokal (atau mononeuritis multipleks)

Polineuropati yaitu gangguan beberapa saraf perifer yang sering diakibatkan

oleh proses peradangan, metabolic, atau toksik yang menyebabkan kerusakan dengan

pola difus, distal, dan simetris yang biasanya mengenai ekstremitas bawah sebelum

ekstremitas atas.
5

Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia. Prevalensi ini

akan meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Mononeuropati terbanyak disebab

kan oleh carpal tunnel syndrome yang prevalensinya 3% - 5% dari populasi orang

dewasa. Sedangkan penyebab polineuropatiyang paling sering dijumpai adalah

polineuropati sensorimotor diabetic, dimana 66% penderita DM tipe 1 dan 59%

penderita DM tipe 2 mengalami polineuropati,. Sedangkan polineuropati genetic yang

peling sering adalah akibat Charcot-Marie-Tooth type 1a, dimana 30 dari 100.000

populasi mengalaminya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Terowongan Karpal (Carpal Tunnel Syndrome)

2.1.1 Definisi

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan atau cerutan

terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan,

tepatnya di bawah fleksor retinakulum (Mumenthaler, 2006). Dahulu, sindroma ini

juga disebut dengan nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar

atrophy. Carpal Tunnel Syndrome pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma

klinik oleh Sir James Paget pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal.

Carpal Tunnel Syndrome spontan pertama kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C.

Foix pada tahun 1913 (Rosenbaum, 1997).

Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Terowongan karpal

terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan dimana tulang dan ligamentum

membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus

medianus. Tulang-tulang carpal membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang

keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (ligamentum

carpal transversum dan ligamentum calpar palmar) yang kuat dan melengkung di atas

tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini

akan menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu

nervus medianus (Rosenbaum, 1997).

6
7

2.1.2 Etiologi

Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga

dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin

padatnya terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus

medianus sehingga timbullah CTS. Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui,

terutama pada penderita lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang

berulang-ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita

gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS (Rosenbaum, 1997).

Pada kasus yang lain etiologinya adalah (Rosenbaum, 1997):

a. Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy,

misalnya Hereditary Motor and Sensory Neuropathies (HMSN) tipe III.

b. Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan

tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma langsung terhadap

pergelangan tangan.

c. Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

yang berulang-ulang.

d. Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.

e. Metabolik: amiloidosis, gout.

f. Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes melitus,

hipotiroidi, kehamilan.

g. Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.


8

h. Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid, polimialgia reumatika,

skleroderma, lupus eritematosus sistemik.

i. Degeneratif: osteoartritis.

j. Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk dialisis,

hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.

2.1.3 Tanda dan Gejala

Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja. Gangguan

motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa

parestesia, tebal (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling) pada jari

1-3 dan setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus

walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari(Rambe, 2004).

Carpal tunnel syndrome memiliki dua bentuk yaitu akut dan kronis. Bentuk

akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan tangan atau tangan,

tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan gerak jari disebabkan oleh

kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk kronis mempunyai gejala baik disfungsi

sensorik yang mendominasi atau kehilangan motorik dengan perubahan trofik. Nyeri

proksimal mungkin ada dalam carpal tunnel syndrome.

Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala lainnya

adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga

sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak

berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan


9

meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila

penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya.

Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi kurang

terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan pada tangan juga

sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang dirasakan penderita sewaktu

menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi otot-otot thenar (oppones

pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-otot lainya yang diinervasi oleh nervus

medianus.

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah

diajukan untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling

populer adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori getaran.

Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena kompresi nervus

medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa teori

ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan etiologi

yang mendasari kompresi mekanik. Kompresi diyakini dimediasi oleh beberapa

faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan

tangan berkepanjangan atau berulang (Bahrudin, 2011).

Teori insufisiensi mikrovaskular menyatakan bahwa kurangnya pasokan darah

menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang menyebabkan saraf secara

perlahan kehilangan kemampuan untuk mengirimkan impuls saraf. Scar atau luka

parut dan jaringan fibrotik akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada
10

keparahan cedera, perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala

CTS terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan

konduksi saraf akut dan reversibel dianggap gejala untuk iskemia. Sebuah studi oleh

Seiler (dengan Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa normalnya aliran

darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat

ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental

mendukung teori iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan karena

peningkatan tekanan di carpal tunnel. Gejala akanbervariasi sesuai dengan integritas

suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik. Hasil studi Kiernan menemukan

bahwa konduksi melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik

saja dan mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (Bahrudin,

2011).

Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan

jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal tunnel.Lundborg

mencatat edema epineural pada saraf median dalam beberapa hari berikut paparan

alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik,

iskemik, dan trauma kimia (Bahrudin, 2011).

Hipotesis lain dari CTS adalah bahwa faktor mekanik dan vaskular memegang

peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi secara kronis dimana

terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan terhadap nervus

medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian

tekanan intravesikuler. Akibatnya aliran darah vena intravesikuler melambat.


11

Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intravesikuler lalu diikuti oleh

anoksia yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan

kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan

bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam atau pagi

hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerakkan atau diurut, mungkin

akibat terjadinya perbaikan sementara pada aliran darah. Apabila kondisi ini terus

berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf. Semakin lama

hal itu terjadi, saraf dapat mengalami atrofi dan digantikan oleh jaringan ikat yang

mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh (Tana, 2004).

Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler akan

menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik

ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intravesikuler yang menyebabkan

berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang

menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu yang berkibat terjadi

kerusakan pada saraf tersebut (Tana, 2004).

Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menerangkan bahwa CTS

terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal

berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT). Indeks

Masa Tubuh yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi

fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal ≥25 lebih mungkin untuk

terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai berat badan ramping.

American Obesity Association menemukan bahwa 70% dari penderita CTS memiliki
12

kelebihan berat badan. Resiko CTS meningkat setiap peningkatan IMT sebanyak 8%

(Tana, 2004). Pergelangan tangan mempunyai struktur anatomi yang rumit dan aktif.

Carpal Tunnel yang mirip terowongan berada di pergelangan tangan, dibentuk 8

tulang carpal dan fleksor retinaculum atau ligamentum carpal transversalis. Di dalam

tunnel (terowongan) ini lewat atau tersusun secara rapat fleksor digitorum profunda

dan superficialis, fleksor ligitorum, dan nervus medianus (Kurniawan, 2008).

Terjadinya sindrom ini bertumpu pada perubahan patologis yang diakibatkan

oleh adanya iritasi secara terus menerus pada nervus medianus di daerah pergelangan

tangan. Banyak faktor yang dapat mengawali timbulnya sindrom ini, baik sistemik

maupun lokal, namun khusus bagi para pemakai komputer, faktor iritasi lokal

terhadap nervus medianus inilah yang tampaknya perlu mendapat perhatian lebih

banyak (Darno, 2011).

Bila kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah bertahan secara

tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka gerakan-gerakan tangan akan

mengakibatkan tepi ligamentum karpi transversum bersentuhan dengan saraf

medianus secara berlebihan. Hal lain yang dapat terjadi yaitu adanya bagian

persendian tangan yang mengalami tekanan atau regangan yang berlebih dan sebagai

mekanisme kompensasi, tubuh berusaha memperkuat bagian yang mendapat beban

tidak fisiologis ini antara lain dengan mempertebal ligamentum karpi transversum.

Penebalan ini akan mempersempit terowongan tempat lalunya saraf dan urat, dan

lebih berat lagi akan menjepit saraf (Darno, 2011).


13

Pada operasi, tak jarang dijumpai perubahan struktur pada nervus medianus di

daerah proximal dari tepi atas ligamentum karpi ransversum, tanpa diikuti oleh

penebalan ligamentumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua

penyebab di atas dapat berjalan secara terpisah ataupun bersamaan. Nervus medianus

sendiri mulai dari daerah pergelangan tangan, 94% merupakan serabut perasa /

sensoris, sedangkan 6% merupakan serabut motoris yang ke arah ibu jari. Dengan

demikian, pada awalnya gejala lebih banyak ditandai dengan kejadian parestesia

(seperti kesemutan, rasa terbakar), sampai ke hipoanestesia (baal-baal sampai

hilangnya rasa raba). Bila sudah ada gejala motorik (otot pangkal ibu jari tangan

mulai mengecil, kekuatan berkurang), maka iritasi kemungkinan sudah berlangsung

sejak lama (Verina, 2006).

2.1.5 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan

perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Beberapa

pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosa CTS

adalah (Katz, 2011):

1. Tes Phalen

Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu

60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosa. Beberapa

penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa

CTS.
14

Gambar 2.1 Tes Phalen

2. Tes Torniquet

Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan menggunakan

tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam

1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011).

3. Tinel’s Sign

Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada daerah

distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal

dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Katz, 2011).


15

Gambar 2.2 Tes Tinel

4. Flick’s Sign

Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jari-

jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosa CTS

(Katz, 2011).

5. Thenar Wasting

Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar (Katz,

2011).

6. Menilai Kekuatan dan Ketrampilan Otot

Kekuatan dan keterampilan otot dapat dinilai secara manual maupun dengan alat

dinamometer (Katz, 2011).

7. Wrist Extention Test

Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya

dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam
16

60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosa CTS

(Katz, 2011).

8. Tes Tekanan

Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari.

Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini

menyokong diagnose (Katz, 2011).

9. Luthy’s sign (Bottle’s sign)

Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau

gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan

rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnose (Katz, 2011).

10. Pemeriksaan Sensibilitas

Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination) pada

jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan

menyokong diagnose (Katz, 2011).

11. Pemeriksaan Fungsi Otonom

Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering

atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan

mendukung diagnosa CTS (Katz, 2011).


17

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)

Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang

positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa

kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal.EMG bisa normal pada

31% kasus CTS. Pada 15-25% kasus, Kecepatan Hantar Saraf (KHS) bisa

normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal

latency) memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di

pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik

(Latov,2007).

Derajat CTS berdasarkan pemeriksaan EMG dibagi berdasarkan ringan,

sedang, dan berat. Carpal Tunnel Syndrome ringan merupakan prolongasi relatif

atau absolut dari nervus sensorik atau palmar median. Sebagai tambahan,

amplitudo potensial terlihat sedikit berkurang. Pada CTS sedang, latensi sensorik

dan motorik menjadi lebih panjang secara relatif atau absolut. Carpal Tunnel

Syndrome berat ditandai dengan adanya latensi sensorik dan motorik yang

diperpanjang dengan ketiadaan potensial sensorik atau palmar atau amplitudo

rendah atau ketiadaan potensial motorik. Pada pemeriksaan EMG jarum biasanya

menunjukkan peningkatan aktivitas insersi dengan perubahan kronis motor unit

(Stevens, 2014).
18

2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat

apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna

untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan

MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG

dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel

proksimal yang sensitif dan spesifik untuk CTS (Rambe,2004).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya

gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti

kadar gula darah, kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe,2004).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan intensitas kompresi

saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk penyakit endokrin,

hematologi,atau penyakit sistemiklain, penyakit primer harus diobati (Bahrudin,

2011).

1. Medikamentosa

Terdapat beberapa terapi terhadap CTS yang masih dipergunakan hingga saat ini,

antara lain (George, 2009):

a. Injeksi Kortikosteroid Lokal


19

Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala CTS secara

temporer dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon atau hidrokortison

bisa disuntikkan langsung ke carpal tunnel untuk menghilangkan nyeri.

Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi peradangan, sehingga mengurangi

tekanan pada nervus medianus. Pengobatan ini tidak bersifat untuk

dilakukan dalam jangka waktu yang panjang (George, 2009).

Deksametason1-4mg atau hidrokortison 10-25mg atau metilprednisolon

20mg atau 40mg diinjeksikan ke dalam terowongan karpal dengan

menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1cm ke arah proksimal lipat

pergelangan tangan disebelah medial tendon musculus palmaris longus.

Sementara suntikan dapat diulang dalam 7 sampai 10 hari untuk total tiga

atau empat suntikan. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil

terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan. Suntikan harus

digunakan dengan hati-hati untuk pasien di bawah usia 30 tahun (George,

2009)

b. Vitamin B6 (Piridoksin)

Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS adalah

defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian piridoksin

100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi beberapa penulis lainnya

berpendapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat

menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar. Namun pemberian

dapat berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri (George, 2009).


20

c. Obat Anti inflamasi Non-Steroid (NSAID)

Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan membantu

menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri

ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi awal biasanya adalah

ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan naproxen (George, 2009).

2. Non Medikamentosa

Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi non- steroid (OAINS)

juga bias menggunakan penjepit pergelangan tangan yang mempertahankan tangan

dalam posisi netral selama minimal 2 bulan, terutama pada malam hari atau selama

ada gerak berulang. Jika tidak efektif,dan gejala yang cukup mengganggu, operasi

sering dianjurkan untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS

dibagi atas 2 kelompok,yaitu (Bahrudin, 2011):

a. Terapi langsung terhadap CTS

 Terapi Konservatif

i. Istirahatkan pergelangantangan.

ii. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat

dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.

iii. Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan (ROM) latihan

dari ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan ketegangan dan

gerakan membujur sepanjang saraf median dan lain dari ekstremitas atas.

Latihan-latihan ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem


21

saraf perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan saraf

mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui perubahan dalam

aliran pembuluh darah dan aksoplasma. Latihan dilakukan sederhana dan

dapat dilakukan oleh pasien setelah instruksi singkat.

iv. Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan

tangan.

Gambar 2.3 Nerve Gliding

 Terapi Operatif

Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan

terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya

atrofi otot-otot thenar. Pada CTS bilateral biasanya operasi pertama dilakukan

pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi

bilateral. Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan


22

bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar, sedangkan

indikasi relative tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten.

Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal,

tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik. Operasi

endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan

parut yang minimal, tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini

lebih sering menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf.

Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun

tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara terbuka

(Bahrudin, 2011).

2.2 Claw Hand

2.2.1 Definisi

Claw hand merupakan salah satu bentuk kecacatan pada tangan yang biasa

disebut jari-jari kriting. Claw hand terjadi akibat kerusakan saraf ulnaris dan saraf

medianus, dimana kita ketahui bahwa kedua saraf tersebut mempersarafi otot-otot

pada jari-jari. Claw hand termasuk kecacatan fisik pada tangan yaitu

metacarpopalangeal joint hyperextensi, proximal interpalangeal joint fleksi, dan distal

interpalangeal joint fleksi. Kelumpuhan atau claw hand tersebut dianggap permanet

jika pada waktu mulai terjadinya kelemahan sampai lumpuh diatas 6 bulan.
23

2.2.2 Etiologi

N. Ulnaris mengandung serabut-serabut radiks ventral/dorsal C.8 dan T.1. Ia

merupakan salah satu cabang terbesar dari fesikulus medialis. Di belakang kondilus

medialis humeri ia dapat teraba. Otot-otot yang disarafinya ialah m. fleksor karpi

ulnaris, kedua m. digitorum profundus sisi ulnar, m. palmaris brevis, kedua m.

lumbrikalis sisi ulnar, kedua m. interosei dorsalis sisi ulnar, m. aduktor polisis dan

bagian ulnar fleksor polisis brevis. Karena kelumpuhan otot-otot tersebut, maka

tangan yang lumpuh memperlihatkan sikap khas, yang dinamakan “clawhand”.

Dimana didalam kelainan itu, jari kelingking dan jari manis tidak dapat berfleksi

dipersendian metakarpopalangeal, sedangkan segenap palangs jari-jari tersebut

bersikap menekuk. Sedangkan ibu jari tidak dapat melakukan aduksi serta atrofi

melanda otot interosei sisi ulnar dan otot-otot hipotenar. Kawasan sensoriknya adalah

kulit yang menutupi jari kelingking dan separuh jari manis. Lesi pada n. ulnaris dapat

terjadi karena fraktur atau dislokasi di siku. Oleh sebab kubitus vagus atau osteofit n.

ulnaris dapat tergeser, sehingga pindah dari belakang kondilus humeri ke depannya.

Sering juga dijumpai neuritis n. ulnaris karena kuman Hansen. Pada tahap dininya

dirasakan nyeri sepanjang jari kelingking, namun pada tahap lanjutnya terdapat

anesthesia (mati rasa) dan “clawhand”.


24

Gambar 2.4 Claw Hand

2.2.3 Gejala

1. nyeri dan atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku

ke lengan sampai batas ulnaris tangan.

2. atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik tangan (eminensia tenar masih baik)

3. hilangnya sensasi tangan pada distribusis nervux ulnaris

4. deformitas tangan cakar (claw hand) yang khas pada lesi kronik

2.2.4 Pemeriksaan Fisik

 Froment's sign

Sebuah tes yang dirancang untuk menentukan adanya kelemahan otot

adduktor policis karena kelumpuhan nervus ulnaris. Pasien diminta untuk

memegang selembar kertas memakai ujung ibu jari dan sisi radial jari

telunjuk. Hasil uji positif jika saat penguji menarik kertas dari pegangan
25

pasien maka phalang terminal ibu jari pasien akan terfleksikan atau jika

sendi MCP di ibu jari menjadi sangat memanjang (Jeanneâ’s sign).

 Tes tajam tumpul

Kulit pada area pensyarafan sensoris nervus ulnaris diberikan benda

tajam atau tumpul kemudian pasien diminta menyebutkan apakah benda

tersebut tajam atau tumpul. Dan hasilnya positif jika pasien beberapa kali

salah menyebutkan hasil tes.

 Tes panas dingin

Kulit pada area persarafan sensoris nervus ulnaris diberikan benda

panas atau dingin kemudian pasien diminta menyebutkan apakah tadi

benda panas atau dingin.Positif jika pasien beberapa kali salah

menyebutkan hasil tes.

2.3 Drop Hand

2.3.1 Definisi

Drop hand merupakan kelumpuhan saraf radialis yang menyebabkan

kelumpuhan semua kelompok otot ekstensor pergelangan tangan, jari-jari dan

supinator lengan bawah.


26

Gambar 2.5 Drop Hand

2.3.2 Etiologi

1. Trauma

Pada fraktur dan dislokasi, neuropati terjadi karena penekanan saraf oleh fragmen

tulang, hematom, kallus yang berbentuk sesudah fraktur, atau karena peregangan

sarar akibat suatu dislokasi. Neuropati radialis sering terjadi pada fraktur kaput

humerus. Presis nervus radialis dapat terjadi akibat tidur dengan

menggantungkan lengan diatas sandaran kursi (Saturday night palsy), atau tidur

dengan kepala diatas lengan atas. Akibat penekanan pada waktu saraf ini

menembus septum intermuskularis lateralis. Pada tempat mana saraf ini terletak

agak superfisial dan menempel pada tulang (Dyck 1987). Disamping itu trauma

pada waktu olah raga, kerja, pemakain kruk, atau posisi tangan pada waktu

operasi dapat menyebabkan terjadinya parese nervus radialis.

2. Infeksi

Dapat terjadi karena: sifilis, herpes zoster, lepres dan TBC. Bisa mengenai saraf

atau banyak saraf.


27

3. Toksik.

Lebih spesifik mengenai nervus radialis adalah pada lead intoxication

4. Penyakit vaskuler

5. Neoplasma

2.3.3 Gejala

Gejala klinis meliputi :

- Motorik : Kelumpuhan brachioradialis, ekstensor pergelangan tangan, dan ekstensor

digitorum.

- Sensorik : Perasaan hilangnya sensasi diatas dari dorsum ibu jari. Pada lesi yang

lebih parah adalah hilangnya sensasi dari dorsum lengan atas.

Gambar 2.6 Area Nervus Radialis


28

2.4 Drop Foot

2.4.1 Definisi

Drop foot adalah keterbatasan atau ketidakmampuan untuk mengangkat

bagian depan kaki yang mengacu kepada kelemahan otot-otot yang memungkinkan

seseorang untuk melenturkan pergelangan kaki dan jari kaki.

2.4.2 Etiologi

Drop Foot adalah gejala dari masalah yang mendasari, dari penyakit itu

sendiri. Hal ini dapat bersifat sementara atau permanen. Penyebab drop foot meliputi:

 Cedera saraf. Merupakan penyebab yang paling sering terjadi, drop foot

disebabkan oleh cedera pada saraf peroneal. Saraf peroneal merupakan cabang

dari saraf sciatic yang membungkus dari belakang lutut ke depan tulang kering.

Karena itu duduk sangat dekat dengan permukaan, dapat menyebabkan cedera

dengan mudah.

Cedera pada saraf peroneal juga dapat dikaitkan dengan rasa sakit atau mati rasa

di sepanjang tulang kering atau bagian atas kaki.

Beberapa cara umum saraf peroneal rusak atau dikompresi meliputi :

 Cedera olahraga

 Diabtes Melitus

 Hip or knee replacement surgery

 Duduk bersila atau jongkok dalam waktu yang lama

 Persalinan
29

 Kehilangan sejumlah besar berat badan

 Cedera pada akar saraf di tulang belakang juga dapat menyebabkan drop

foot.

 Gangguan otak atau tulang belakang. Kondisi neurologis yang dapat

berkontribusi untuk drop foot :

 Stroke

 Multiple sclerosis ( MS )

 Cerebral palsy

 Charcot - Marie - Tooth disease

 Gangguan otot. Kondisi yang menyebabkan otot-otot lemah secara progresif

atau memburuk yang dapat menyebabkan drop foot.

 Muscular dystrophy

 Amyotrophic lateral sclerosis (penyakit Lou Gehrig)

 Polio

2.4.3 Tanda dan Gejala

Gejala cedera saraf peroneal (foot drop) dapat meliputi5 :

 Ketidakmampuan untuk menunjukkan jari-jari kaki ke arah tubuh (dorsofleksi)

 Nyeri

 Kelemahan

 Mati rasa (pada shin atau atas kaki)


30

 Hilangnya fungsi kaki

 High-stepping walk (disebut steppage gait atau footdrop gait).

Gejala yang paling umum dari penurunan kaki, gaya berjalan steppage tinggi sering

ditandai dengan menaikkan paha dalam mode berlebihan sambil berjalan, seolah-olah

menaiki tangga.

Gambar 2.7 Compensating step for foot drop.

Steppage gait tinggi dikaitkan dengan salah satu dari berikut :

 Menyeret kaki dan jari kaki

 Menyeret jari kaki di tanah

 Jari kaki menapak dengan tidak terkontrol.


31

2.5 Tarsal Tunnel Syndrome

2.5.1 Definisi

Tarsal tunnel adalah ruang sempit yang terletak di bagian dalam pergelangan

kaki sebelah tulang pergelangan kaki. Terowongan ditutupi dengan ligament tebal

(flexor retinakulum yang melindungi dan memelihara struktur yang terkandung dalam

terowongan-arteri, vena, tendon dan saraf. Salah satu struktur ini adalah saraf tibialis

posterior, yang merupakan focus dari sindrom terowongan tarsal.

Sindrom Tarsal tunnel adalah kompresi pada saraf tibialis posterior yang

menghasilkan gejala sepanjang jalur saraf. Tarsal tunnel syndrome mirip dengan

carpal tunnel syndrome, yang terjadi dipergelangan tangan. Kedua gangguan timbul

dari kompresi saraf dalam ruang tertutup.

Gambar 2.8 Anatomi Tarsal Tunnel


32

2.5.2 Etiologi

Beberapa faktor berhubungan dengan terjadinya sindrom tarsal tunnel. Soft-

tissue masses dapat menimbulkan compression neuropathy dari bagian saraf tibialis

posterior. Contoh termasuk lipoma, tendon sheath ganglia, neoplasma pada tarsal

canal, nerve sheath dan nerve tumor, dan vena varicose. Tulang yang menonjol dan

exostoses dapat pula menimbulkan gangguan. Sebuah penelitian dari Daniel dan

teman-temannya menunjukkan adanya deformitas dari valgus pada rearfoot yang

menghasilkan neuropathy dengan menigkatnya tensile load pada saraf tibial.

2.5.3 Tanda dan Gejala

Gejala dari tarsal tunnel syndrome bervariasi dari masing-masing individu,

tetapi dari klinis umumnya: gangguan sensorik yang bervariasi dari mulai sharp pain

sampai hilangnya sensasi, gangguan motorik dengan resultant atrophy dari intrinsic

musculature, dan gait abnormality (Contoh Overpronation dan pincang karena nyeri

dengan weight bearing). Deformitas dari hindfoot valgus berpotensi ke dalam gejala

dari tarsal tunnel syndrome karena deformitas tersebut dapat meningkatkan tension

menjadi peningkatan dari eversion dan dorsiflexion.

2.5.4 Pemeriksaan Fisik

Tanda Tinel (nyeri yang menyebar dan parestesi sepanjang perjalanan dari

saraf) dapat timbul pada bagian posterior dari maleolus medial. Gejala-gejala tersebut

umumnya akan berkurang saat beristirahat, meskipun tidak semua gejala tersebut
33

hilang seluruhnya. (Perkusi dari saraf bagian distal dengan manifestasi berupa

parestesia dikenal sebagai tanda Tinel. Hal ini jangan sampai dibingungkan dengan

tanda dari Phalen, yaitu kompresi saraf selama 30 detik, dengan timbulnya kembali

gejala-gejala tersebut).

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penurunan sensitivitas akan tekanan

ringan, tusukan dengan peniti, dan suhu pada pasien-pasien dengan distal symmetric

sensorimotor neuropathy. Pemeriksaan dengan radiografi pada pasien-pasien dengan

gangguan pada anggota geraknya menunjukkan adanya pengurangan dari densitas

tulang, penipisan pada phalang, atau adanya bukti akan neuropathy (contoh: Charcot

disease) pada long-standing neuropathies. Sebagai tambahan adanya perubahan-

perubahan pada anggota tubuh seperti pes cavus, rambut rontok, dan ulkus.

Penemuan-penemuan tersebut sangat berhubungan dengan diabetes, amyloid

neurophaty, leprosy, atau hereditary motor sensory neurophaty (HMSN) disertai

dengan gangguan sensorik. Menipisnya jaringan perineural ditemukan juga pada

kasus-kasus leprosy dan amyloid neuropathy.

2.5.5 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Electromyography (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV)

dapatlah berguna untuk mengevaluasi penyebab dari tarsal tunnel syndrome dan

untuk memastikan adanya neuropathy. Sebagai tambahan, dapat membedakan

dari tipe-tipe dari jaringan saraf (sensorik, motorik atau keduanya) dan
34

patofisiologi (aksonal vs demyelinating dan simetrik vs asimetrik) dari

pemeriksaan EMG dan/atau NCV. Pemeriksaan ulang dari EMG seharusnya

dilakukan dalam waktu 6 bulan setelah tindakan operasi yang biasanya

memberikan hasil yang baik setelah penderita menjalani tindakan dekompresi.

 Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonography dapat cukup membantu

yang berhubungan dengan kasus soft-tissue masses dan space-occupying lesion

lainnya pada tarsal tunnel. Sebagai tambahan, MRI berguna dalam menilai suatu

flexor tenosynovitis dan unossified subtalar joint coalitions.

 Plain radiography juga berguna untuk mengevaluasi pasien-pasien dengan dasar

kelainan struktur dari kaki, fraktur, bony masses, osteophytes, dan subtalar joint

coalition.

2.5.6 Penatalaksanaan

 Medikamentosa

Terapi medikamentosa ini bertujuan mengurangi inflamasi dan nyeri. Pemberian

injeksi steroid intra canal tarsal sering dikombinasikan dengan anestesi lokal

seperti lidokain.

 Terapi konservatif (nonbedah)

Prinsip terapi ini adalah menurunkan tekanan pada n. tibialis posterior pemakaian

orthoses, seperti pembidaian atau penyangga (brace), untuk mengurangi tekanan

pada kaki dan membatasi gerakan kaki.


35

Ketika konservatif terapi dinyatakan gagal dalam mengurangi gejala-gejala pada

pasien, maka intervensi operasi dapatlah diperhitungkan.

Gambar 2. Pembedahan, Pelepasan Tunnel Tarsal


36

DAFTAR PUSTAKA

PETER DUUS : Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala, Alih

Bahasa : Devy H.R ; Editor : Wita Lukito, Jakarta. ECG, 1996 Hal 27,43,44,45.

NEUROLOGI KLINIK DASAR: Prof.DR.Mahar Mardjono, Prof.DR.Priguna

Sidharta, Hal 106, Penerbit : DIAN RAKYAT

NEUROLOGI KLINIK DALAM PRAKTEK UMUM :Priguna Sidharta, M.D,Ph.D,

Hal 119, Penerbit : DIAN RAKYAT

TATA PEMERIKSAAN KLINIS DALAM NEUROLOGI, Hal. 61,71,72,73, Penerbit :

DIAN RAKYAT

Persich, G. Tarsal Tunnel Syndrome. Available from: URL: http://Bedah


%20Saraf/Tarsal%20Tunnel%20Syndrome%20%20eMedicine%20Orthopedic
%20Surgery.htm.

William,S.P. Entrapment neurophaties and other focal neurophaties. In: Jhonson’s


Practical Electromyography. 4th ed. New York: Lippincott Williams&Wilkins.
2007.

Ahmad M, et al. tarsal tunnel syndrome: A literature review. Foot Ankle


Surg(2011),doi:10.1016/j.fas.2011.10.007

Antoniadis G, Scheglmann K. posterior tarsal tunnel syndrome: Diagnosis and


treatment. Dtsch Arztebl Int.2008;23(6):404-411

Anda mungkin juga menyukai