Anda di halaman 1dari 17

sBAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tinjauan Medis


1.1.1 Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat
tidak subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setip orang dalam hal skala atau
tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi
rasa nyeri yang dialaminya. Berikut adalah pendapat beberapa ahli mengenai
pengertian nyeri.
a. Mc. Coffery mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang memengaruhi
sesorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah
mengalaminya.
b. Wolf Weifel Feurst mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan
menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan
ketegangan.
c. Arthur C. Curton mengatakan bahwa nyeri merupakan suatau mekanisme
produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dn menyebabkan
individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.
d. Scrumum, mengartikan neri dengan suatu keadaan yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke
otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, dan emosioanal.

1.1.2 Etiologi Nyeri


1. Faktor Nyeri
a. Nyeri akut
1) Melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal
2) Menunjukkan kerusakan
3) Posisi untukmengurangi nyeri
4) Muka dengan ekspresi nyeri
5) Gangguan tidur
6) Respon otonom (penurunan tekanan darah, suhu, nadi)
7) Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, nafas panjang, mengeluh)

1
b. Nyeri kronis
1) Perubahan berat badan
2) Melaporkan secara verbal dan non verbal
3) Menunjukkan gerakan melindungi, gelisah, depresi, focus pada diri sendiri
4) Kelelahan
5) Perubahan pola tidur
6) Takut cedera
7) Interaksi dengan orang lain menurun
2. Faktor predisposisi
a. Trauma
b. Peradangan
c. Trauma psikologis
3. Faktor presipitasi
a. Lingkungan
b. Suhu ekstrim
c. Kegiatan
d. Emosi

1.1.3 Fisiologi Nyeri


Munculnya nyeri berkaitan erat dengan resptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf
sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar
pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan
kandungan empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibatnya adanya
stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti
histamin, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabilah
terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain
dapat berupa termal, listrik, atau mekanis.
Selanjutnya, stimulasi yang ditermia oleh reseptor tersebut ditransmisikan
berupa impuls-impuls nyeri ke sumsum tulangbelakang oleh dua jenis serabut yang
bermielin rapat atau serabut A (delta) dan sserabut lamban (serabut C). Impuls-impuls
yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sefat inhibitor yang
ditransmisikan ke serabut C. Serabut-serabut aferan masuk ke spinal mulai akar dorsal
(dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn terdiri atas beberapa lapisan

2
atau lamina yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga terbentuk substantia
gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri
menyebrangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur
spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur
spinotlamus dan spinoreticular tract (STR) yang membawa informassi tentang sifat
dan lokasi nyeri. Dari proses transimisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri,
yaitu jalur opiate dan jalur nonopiate. jalur opiate oleh pertemuan reseptor pada otak
yang terdiri atas jalur spinal desendens dari talamus yang melalui otak tengah dan
medula ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan
nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls
supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulus nociceptor yang ditransmisikan
oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desenden yang tidak memberikan
respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui mekanismenya (Long,
1989)

1.1.4 Klasifikasi Nyeri


Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, yang tidak melebihi enam bulan dan ditandai adanya peningkatan
tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan,
biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan. Hal yang
termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sinrom nyeri kronis, dan
nyeri psikosomatis. Ditinju dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa
kategori, di antaranya nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.
Selain klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis nyeri yang spesifik, di antaranya
nyeri somatis, nyeri viseral, nyeri menjalar (referent pain), nyeri psikogenik, nyeri
fantom dari ekstremitas, nyeri neurologis, dan lain-lain.
Nyeri somatis dan nyeri viseral ini umumnya bersumber dari kulit dan jaringan
di bawah kulit (superfisial) pada otot dan tulang.
Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang lain,
umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera organ viseral. Nyeri psikogenik adalah
nyeri yang tidak diketahui secara fisik yang timbul akibat psikologis. Nyeri fantom
adalah nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstremitas diamputasi. Nyeri

3
neurologis adalah bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di sepanjang atau
beberapa jalur saraf.
a. Stimulus nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat
mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, di antaranya sebagai berikut.
1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya
kerusakan jaringan dan iritasi seacara langsung pada reseptor.
2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri.
3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri kronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
1.1.5 Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadiya rangsangan nyeri, di antaranya sebagai
berikut (Long, 1989).
a. Teori pemisahan (specificty theory). Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk
ke medula spinalis (spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah
posterior, kemudian naik ke tractur lissur dan menyilang di garis median ke sisi
lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut
diteruskan.
b. Teori pola (pattern theory). Rangasangan nyeri masuk melalui akar ganglion
dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel. Hal ini mengakibatkan
suatu reseptor yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks
serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga
menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel
T.
c. Teori pengendalian Gerbang (gate control theory). Menurut teori ini, nyeri
tergantung dari kerja serat saraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam
akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan meningkatkan
aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu
mekanisme sehingga aktivitas sel T terlambat dan dapat menyebabkan hantaran
rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang

4
korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medula spinalis
melalui serat eferen dan reaksinya memengaruhi aktiitas sel T. Rangsangan pada
serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu
mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan
menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori transmisi dan inhibisi. Adanya stimulus pada nociceptor melalui transmisi
impuls-impuls saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh
neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls menjadi efektif oleh
impuls-impuls pada serabut-serabut besar yang memblok impuls-impuls pada
serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Arti nyeri : bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan,
merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipegaruhi oleh berbagai faktor,
seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkugan, dan
pengalaman
b. Persepsi nyeri : merupakan penilainan yang sangat subjektif tempatnya
pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh
faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor
c. Toleransi nyeri
d. Reaksi terhadap nyeri : merupakan bentuk respons seseorang terhadap
nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini
merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu
e. Emosi : kecemasan, depresi dan marah akan mudah terjaddi dan
memengaruhi keamanan dan kenyamanan
f. Status mobilisasi : Keterbatasan aktivitas. Paralisis, kelemahan otot
g. Gangguan persepsi sensory : mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan
yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan
h. Keadaan imunitas : Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh
kurang sehingga mudah terserang penyakit
i. Tingkat kesadaran : pada pasien koma, respon akan menurun terhadap
rangsangan

5
j. Gangguan tingkat pengetahuan : kesadaran akan terjadi gangguan
keselamatan dan keamanan dapat diprediksi sebelumnya

1.1.6 Manifestasi Klinis


a. Vakolasi
1. Mengaduh
2. Menangis
3. Sesak napas
4. Mendengkur
b. Ekspresi wajah
1. Mengeringis
2. Mengeletuk gigi
3. Mengernyit dahi
4. Menutup mata, mulut dengan rapat
5. Menggigit bibir
c. Gerakan tubuh
1. Gelisah
2. Imobilisasi
3. Ketegangan otot
4. Peningkatan gerakan jari dan tangan
5. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
6. Gerakan melindungi bagian tubuh
d. Interaksi sosial
1. Menghindari percakapan
2. Focus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri
3. Menghindar kontak social
4. Penurunan rentang perhatian

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik sangat penting dilakukan agar dapat mengetahui
apakah ada perubahan bentuk atau fungsi dari bagian tubuh pasien yang dapat
menyebabkan timbulnya rasa aman dan nyaman seperti:
a. Melakukan pemeriksaan laboratorium dan radiologi
b. Menggunakan skala nyeri

6
1) Ringan = skala nyeri 1-3 secara objektif pasien masih dapat berkomunikasi
dengan baik
2) Sedang = skala nyeri 4-6 secara objektif pasien dapat menunjukkan lokasi
nyeri, masih merespon dan dapat mengikuti instruksi yang dinberikan.
3) Berat = skala nyeri 7-9 secara objektif pasien dapat merespon, namun
terkadang klien tidak mengikuti instruksi yang diberikan
4) Nyeri sangat berat = skala nyeri 10 secara objektif pasien mampu
berkomunikasi dan klien merespon dengan memukul

1.1.8 Patofisiologi
Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat
kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut
merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan
dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan dikorteks nyeri akan
dipersiapkan sehingga individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypothalamus
nyeri dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitif pada
termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri.

1.1.9 Komplikasi
1) Edema pulmonal
2) Kejang
3) Masalah mobilisasi
4) Hipertensi
5) Hipertermi
6) Gangguan pola tidur

1.1.10 Penatalaksanaan
1. Medis
Pengobatan analgesik dapat dibagi atas 4 golongan
a. Analgesik non opioid : AINS, asefaminofen, tramadol. Hanya diberikan bila
diduga ada proses peradangan dan adanya kompresi jaringan saraf
b. Analgesik ajuvan – modikasi neuroaktif : antikonvulsan, anti depresi, anti
histamin, anifefamin, steroit, benjodia zepin, simpotolitik, obat anti spasnio otot
dan neuroteptika, anti konvulsan dan anti depresan yang paling sering digunakan

7
karena mempunyai efek sentral dan memperbaiki mood dan depresi carbama
zepin telan diinenkan oleh FDA untuk terapi nyeri
c. Analgesik opiold : kedein, morfin, oksikodon kurang responsif untuk nn, sehingga
cadang dibutuhkan dosis tinggi
d. Analgesik topikal : capsalan topikal menghilangkan subatansi p. Mempengaruhi
nosiseptor serabut c dan reseptor panas. Banyak digunakan pada neruralgia
herpotik akut dan neuralgia post herpetik

1.1.11 Pengertian Keamanan


Keamanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Keamanan
merupakan keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau keadaan yang aman
dan tenteram. Keamanan dalam pelayanan kesehatan tercipta ketika lingkungan
pasien bebas dari ancaman cedera dan infeksi.
Keselatamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari
ancaman bahaya atau kecelakaan. Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak dapat
diduga dan tidak diharapkan karena dapat menimbulkan kerugian, sedangkan
keamanan adalah keadaan aman dan tenteram. Keselamatan dan keamanan
merupakan suatu kesatuan yan saling berhubungan. Tujuan dari pelayanan
keperawatan sesungguhnya adalah menjamin keadaan pasien, keluarga, dan pemberi
pelayanan kesehatan atau perawat terhindar dari risiko keselamatan dan keamanan.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan dan keselamatan masalah di
antaranya universal precaution, risiko infeksi, risiko jatuh, risiko trauma, risiko
komplikasi akibat tindakan medis atau keperawatan dan risiko bunuh diri.
Universal precaution merupakan upaya untuk memproteksi diri dan orang lain
terhadap risiko keselamatan dan keamanan baik yang terjadi karena faktor fisiologi
maupun karena kelalaian. Ada standar pencegahan yang menggambarkan universal
precaution sebagai petunjuk keselamatan dan keamanan petugas kesehatan yang
dikeluarkan oleh Centers for Disease Control (CDC). Misalnya adanya petunjuk
proteksi dan pencegahan penularan berbagai infeksi khususnya HIV, Tuberkulosis
paru (TBC) dan hepatitis.
Perawat harus dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang memungkinkan
menjadi ancaman keamann dan keselamatan, baik bagi dirinya, pasien dan orang-
orang yang berhubungan dengan pasien. Pasien bisa saja mengalami infeksi sekunder

8
akibat kontak dengan pasien lain. Untuk memproteksi diri perawat dan pasien maupun
keluarga ada beberapa tindakan yang harus dilakukan diantaranya :
1. Mencuci tangan dengan teknik bersih atau dengan menggunakan sabun atau cairan
alkohol sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Higiene tangan dilakukan
dengan membasuh tangan menggunakan cairan beralkohol dan disinfektan
2. Gunakan masker untuk pencegahan kuman patogen melalui droplet baik petugas
kesehatan, pasien, keluarga atau pengunjung
3. Gunakan sarung tangan bagi petugas kesehatan untuk tindakan yang beresiko
terjadi penularan infeksi, kuman, dan virus seperti pada saat pengambilan sampel
darah pada pasien dengan HIV, hepatitis
4. Pengguaan alat pelindung khusus seperti masker, baju pelindung, kacamata dan
sarung tangan pada pemberian obat kemoterapi
5. Menggunakan teknik steril (aseptik dan antiseptik) sesuai tindakan berdasarkan
standard operasing prosedur yang berlaku
6. Membuang atau menyimpan benda-benda yang beresiko tertular penyakit harus
sesuai prosedur, misalnya disediakan tempat pembuangan khusus infeksi dan non-
infeksi sampah medis dan non-medis
7. Pemeriksaan kesehatan rutin untuk perawat atau petugas kesehatan yang mngkin
beresiko tertular penyakit
8. Perawat atau petugas kesehatan diberikan vaksin tertentu secara berkala untuk
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, misalnya pemberian
vaksin hepatitis B

1.1.12 Etiologi Infeksi


1) Bakteri : kelompok mikroorganisme yang tidak memiliki membran inti sel.
Organisme ini termasuk dalam domain prokariota dan berukuran mikroskopik
2) Virus : organisme ini menyerang sel dalam tubuh. Human immunodeficiency virus
(HIV) adalah salah satu contoh jenis virus yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS
3) Jamur. Dermatophytes adalah salah satu contoh jenis jamur yang juga menjadi
penyebab kutu air.
4) Parasit : hidup dengan bergantung pada organisme lain. Plasmodium adalah salah
satu contoh jenis parasit yang bergantung hidup dinyamuk dan menjadi penyebab
malaria

9
1.1.13 Kontrol infeksi dan risiko infeksi
Masalah yang paling sering terjadi perhatian serius dari perawatan pasien di
rumah sakit adalah masalah risiko infeksi (infeksi nosokomial). Berbagai upaya
dilakukan untuk menekan angka kejadian infeksi nosokomial, misalnya perubahan
perilaku pemberi pelayanan kesehatan dan sikap pasien atau keluarga. Perawat
beertanggungjawab terhadap proteksi pasien dan dirinya sendri dalam mengontrol
nfeksi. Perawat dan pasien harus mengetahui bagaimana tipe infeksi, model
penyebaran, sumber infeksi dan bagaimana pencegahan risiko infeksi

1.1.14 Proses Infeksi


Infeksi merupakan keadaan dimana organisme parasit masuk dan bertahan
hidup pada host atau pejamu dan menimbulkan respons inflamasi. Infeksi dapat
menimbulkan penyakit tergantung agen infeksius, lingkungan penghantarnya, dan
host proses infeksi merupakan rangkaian siklus interaksi yang melibatkan adanya
agen infeksius, reservoir atau sumber, tempat keluarnya agen dari reservoir atau
sumber, model penularan, tempat masuknya ke host, dan tingkat kerentanan host yang
disebut rantai infeksi agen atau penyebab penyakit.

1.1.15 Agen atau Penyebab Penyakit


1) Agen biologis, seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, dan riketsia yang dapat
bertahan hidup, serta berkembang biak pada host. Tidak semua mikroorganisme
dalam tubuh manusia bersifat parasit atau patogen, tetapi justru sangat membantu
dalam proses pencernaan makanan. Agen biologi mempunyai karakteristik yang
berbeda dalam kemampuannya untuk berkembang biak dan bertahan hidup pada
situasi yang berbeda. Sebagai contoh mikroorganisme yang dapat bertahan hidup
pada kondisi lingkungan yang kering atau panas, namun demikian sebaliknya ada
yang tidak dapat bertahan hidup jika terpapar matahari
2) Agen kimia, seperti peptisida, makanan yang beracun atau basi, oabat-obatan, dan
zat-zat kimia industri
3) Agen fisik seperti lingkungan yang menyebabkan sakit diantaranya panas radiasi,
lampu laser, dan lain-lain

10
Lingkungan
Penyebaran agen infeksius dapat terjadi melalui media atau lingkungan yang sesuai untuk
perkembangbiakan atau bertahan hidup, baik didalam host atau diluar. Lingkugan adalah
sesuatu apa pun selain host dan agen, juga merupakan tempat interaksi antara agen dan host.
Lingkungan dapat berupa media penhubung infeksi seperti air, udara, makanan atau
binatang. Tempat dimana agen infeksius dapat bertahan hidup dan saat berkembang biak
atau tidak disebut reservoir. Reservoir utama adalah manusia, dengan tempat-tenpat yang
spesifik seperti darah, cairan tubuh, kulit, kolon, paru sesuai dengan sifat dan jenis
mikroorganisme misalnya reservoir utama bakteri Escherichia coli adalah di kolon

Host dan Pejamu


Host adalah tempat tumbuh dan berkembang biaknya mikroorgansme patogen dan
menimbulkan atau tidak gejala sakit. Setiap individu atau host mempunyai ketahanan atau
kerentanan yang berbeda terhadap terpaparnya agen. Bebebrapa faktor yang mempengaruhi
ketahanan individu di antaranya usia, jenis kelamin, etnik, keturuan, gaya hidup, dan status
nutrisi. Faktor lain yang berpengaruh di antaranya penggunaan obat-obatan, minuman keras,
kebersihan diri, diet yang tidak adekuat dan praktik seks yang menyimpang

1.1.16 Model Penularan


1) Melalui kontak, penularan secara langsung dari individu yang terinfeksi ke individu
lain melalui lapisan tubuh atau melalui media lain secara tidak langsung seperti
sarug tangan, jarum suntik, dan pakaian yang kotor. Penularan melalui kontak
diantaranya pada penyakit HIV dan hepaptitis
2) Melalui droplet, yaitu penularan mikroorganisme melalui percikan cairan yang
terjadi ketika individu terinfeksi atau pembawa (carrier) batuk, bersin, dan
berbicara. Biasanya infeksi terjadi pada konjungtiva, mukosa hidung, mukosa mulut,
misalnya kuman TBC, influenza
3) Melalui udara, penularan ini biasanya terjadinya melalui pernafasan, seperti pada
infeksi paru-paru, TBC paru dan influenza
4) Melalui pembawa, banyak penyakit yang ditimbukan oleh organisme patogen dan
ditularkan melalui pembawa sumber penyakit, seperti makanan, air atau alat
kesehatan, misalnya makanan yang terkontaminasi E. coli
5) Melalui vektor, penularan melalui media lain seperti lalat, nyamuk, serangga tikus,
anjing, atau kucing, misalnya pada penyakit demam berdarah dan rabies

11
1.1.17 Jenis Infeksi
1) Infeksi lokal, yaitu infeksi yang terjadi pada lokasi tertentu, areanya terbatas, dan
general atau tidak sistemik. Misalnya infeksi pada luka operasi, infeksi akibat
pemasangan kateter dan infus, infeksi lokal ditandai adanya nyeri, kemerahan,
bengkak, adanya pus, pembesaran kelenjar limfe, dan leukosit
2) Infeksi sistemik atau global, yaitu infeksi bersifat menyeluruh atau sitemik yang
dapat menyebar satu atau lebih organ tubuh. Infeksi sistemik yang benar berat
disebut sepsis yang ditandai adanya demam atau suhu yang rendah, pernafasan lebih
dari 20 kali/menit atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg dan jumlah leukosit lebih dari
12.000 sel/mm3
3) Infeksi aportinitis, merupakan infeksi yang disebabkan karena penurunan daya tahan
tubuh. Misalnya, infeksi jamur pada muklut, infeksi saluran pencernaan, dan
pneumonia pneumositis ciri ini pada pasien dengan AIDS
4) Infeki akut, infeksi yang terjadi secara mendadak dan cepat, misalnya pada
apendisitis
5) Infeksi kronis, yaitu infeksi yang terjadi dalam terjadi dalam jangka yang lama dan
membutuhkan pengobatan yang lama, seperti penyakit bronkhitis, apendisitis kronis
6) Infeksi sekunder, merupakan infeksi yang terjadi sebagai komplikasi dari infeksi
awal atau pertama seperti infeksi sekunder pada luka bakar

Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi akibat penularan selama dirumah sakit
atau yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada
pasien, kerluarga pasien, pengunjung, atau petugas kesehatan akibat kontak pasien yang
mengalami infeksi. Pasien juga dapat mengalami infeksi nosokomial akibat tindakan invasif
seperti pemasangan infus, pemberian obat intravena atau intamuskular, pembedahan, maupun
tindakan lain seperti pemasangan kateter atau penggunaan pengisapan (suction) infeksi
nosokomial yang terjadi dari suatu prosedur diagnostik seperti biopsi, endoskopi disebut
infeksi iatrogenik.
Komplikasi infeksi nosokomial
a. Endokarditis
b. Gagal ginjal
c. Sepsis

12
1.1.18 Tes Diagnostik Infeksi
1. Pemeriksaan sel darah putih atau leukosit
peningkatan jumlah leukosit menunjukkan adanya reaksi peradangan aau infeksi.
Jumlah netrofil yang meningkat menunjukkan pasien terinfeksi pada fase awal.
Sementara itu, monosit yang meningkat menunjukan pertahann tubuh kedua seteah
terinfeksi
2. Tes kultur dan sensitivitas. Kultur dilakukan untuk menentukan adanya bakteri atau
kuman pada individu yang terindikasi infeksi. Kultur dapat berasal dari spesimen dari
cairan tubuh, cairan serebrospinalis, darah, feses, urine, maupun eksudat purulen,
tes sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dan menentukan jenis antibiotik yang
dapat menghambat atau membunuh kuman penyebab infeksi
3. Pemeriksaan telur dan parasit. Biasanya dilakukan pada spesimen feses. Pemeriksaan
ini dapat mengetahui jenis parasit dan siklusnya
4. Skin test. Dilakukan untuk menguji apakah ada kuman yang aktif atau tidak pasien
yang terpapar infeksi. Misalnya mantoux test untuk menentukan adanya kuman TBC
paru.
5. Tes imunologi dilakukan untuk menentukan adanya benda asing atau antigen yang
menimbulkan reaksi antibodi. Misalnya tes aglutinasi untuk menentukan adanya
antibodi untuk rubella
6. Polymerase chain reaction (PCR). Tes PCR bertjuan memisahkan dan menggandakan
DNA virus, sehingga tipe virus yang menginfeksi dapat diketahui lebih cepat dan
lebih tepat

Risiko Cedera Trauma Dan Jatuh


1. Usia pasien. Usia pasien balita mempunyai gerakan yang tidak terkontrol sehingga
resiko trauma dan jatuh sangat tinggi. Demikian juga pada usia lansia yang mempunyai
keterbatasan dalam pergerakan atau jalan
2. Pasien dengan keadaan kejang dan kesadaran menurun. Keadaan ini memungkinkan
gerakan aktif dan tidak terkontrol
3. Pasien dengan keadaan koma beresiko terjadi trauma jaringan tubuh yang tertekan
menjadi luka dekubitus
4. Keadaan lantai yang licin dan kotor, hal ini memungkinkan pasien terpeleset
5. Penggunaan kursi roda yang tidak tepat, seperti tidak menguci kursi roda pada saat
berhenti atau berpindah

13
6. Keadaan lampu yang kurang terang, memungkinkan terjadinya trauma jatuh pada saat
berjalan

Risiko Bunuh Diri


Masalah lain yang harus diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan keamanan adalah
risiko pasien bunuh diri. Pernyataan pasien yang mengatakan keinginan untuk bunuh diri
jangan dianggap sepele, tetapi harus dilengkapi dengan sikap seksama
Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan untuk bunuh diri diantaranya sebagai berikut
a. Keputusan terhadap masalah yang dihadapi
b. Depresi
c. Keyakinna ang keliru terhadap akhir dari kehidupan
d. Kecemasan yang berlebihan
e. Hausinasi
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya bunuh diri adalah sebagai berikut
a. Kaji riwayat peroaan bunuh diri
b. Identifikasi faktor-faktor yang menjad peicu bunuh diri
c. Identifikasi kekuatan koping pasien dalam menghadapi masalah yang terjadi
d. Identifikasi pikologi pasien
e. Diskusikan kepada pasien dan keluarga dalam penyelesaian masalah yang terjadi
f. Tempatkan barang-barang yang dapat menjadi media bunuh diri
g. Jaga dan awasi secara ketat keadaan pasien
h. Tempatkan pasine pada ruang khusus yang aman
i. Jendela rumah sakit menggunakan tralis
j. Pemberian obat dilakukan oleh perawat hanya untuk satu kali pemberian dan tidak
diberikan sekaligus dalam sehari kepada pasien

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan keselamatan dan keamanan


1. Usia, pada nak anak tidak terkontrol dan tidak menetahui akibat dari apa yang
dilakukan.
2. Tingkat kesadaran, pada pasien koma, menurunnya respons terhadap rangsang,
paralisis, dan disorientasi
3. Emosi, seperti kecemasan, depresi, dan marah akan mudah sekali terjadi dan
berpengaruh terhadap masalah keselamatan dan keamanan

14
4. Status moblitas, keterbataan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran
menurun berbahaya, seperti gangguan penciuman dan penglihatan sehingga risiko
terjatuh keracunan dan kebakaran dapat terjadi
5. Gangguan persepsi sensori
Kerusakan sensori akan mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya,
seperti gangguan penciuman, dan penglihatan sehingga resiko terjatuh, keracunan, dan
kebakaran dapat terjadi
6. Informasi/komunikasi, gangguan komuinikasi, seperti afasia atau tidak dapat membaca
menimbulkan kesalahan dalam menterjemahkan pesan
7. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional, antibiotik dapat menimlbukan resistan dan
syok anafilaktik
8. Keadaan imunitas gangguan imunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang
baik
9. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih. Sel darah putih berfungsi
sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit dan membentuk antibodi
10. Status nutrisi, keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah
terserang penyakit
11. Tingkat pengetahuan, kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan
dapat dipredisksi sebelumnya

1.1.19 Manifestasi Infeksi


a. Demam
b. Batuk
c. Bersin
d. Muntah
e. Diare
f. Lemas
g. Sakit kepala
h. Kram perut
i. Nafsu makan menurun dsb

15
1.1.20 Penatalaksanaa
a. Antiemetik, untuk mengatasi mual muntah
b. Dekongestan, untuk mengobati pilek atau hidung tersumbat
c. Loperamide, untuk menangani diare
d. Paracetamol dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) untuk menurunkan
demam dan mengurangi nyeri

16
DAFTAR PUSTAKA

Tarwoto dan Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Poses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta : Salemba
Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2014). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Buku 1, Edisi 2/A.
Jakarta : Salemba Medika.
Zakiyah, Ana.(2015). Nyeri : Konsep dan Penatalaksanaan dalam Paktik Keperawatan
Berbasis Bukti. Jakarta : Salemba Medika.

17

Anda mungkin juga menyukai