PENDAHULUAN
1
b. Nyeri kronis
1) Perubahan berat badan
2) Melaporkan secara verbal dan non verbal
3) Menunjukkan gerakan melindungi, gelisah, depresi, focus pada diri sendiri
4) Kelelahan
5) Perubahan pola tidur
6) Takut cedera
7) Interaksi dengan orang lain menurun
2. Faktor predisposisi
a. Trauma
b. Peradangan
c. Trauma psikologis
3. Faktor presipitasi
a. Lingkungan
b. Suhu ekstrim
c. Kegiatan
d. Emosi
2
atau lamina yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga terbentuk substantia
gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls. Kemudian, impuls nyeri
menyebrangi sumsum tulang belakang pada interneuron dan bersambung ke jalur
spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur
spinotlamus dan spinoreticular tract (STR) yang membawa informassi tentang sifat
dan lokasi nyeri. Dari proses transimisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri,
yaitu jalur opiate dan jalur nonopiate. jalur opiate oleh pertemuan reseptor pada otak
yang terdiri atas jalur spinal desendens dari talamus yang melalui otak tengah dan
medula ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan
nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls
supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulus nociceptor yang ditransmisikan
oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desenden yang tidak memberikan
respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui mekanismenya (Long,
1989)
3
neurologis adalah bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di sepanjang atau
beberapa jalur saraf.
a. Stimulus nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat
mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, di antaranya sebagai berikut.
1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya
kerusakan jaringan dan iritasi seacara langsung pada reseptor.
2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri.
3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri kronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
1.1.5 Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadiya rangsangan nyeri, di antaranya sebagai
berikut (Long, 1989).
a. Teori pemisahan (specificty theory). Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk
ke medula spinalis (spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah
posterior, kemudian naik ke tractur lissur dan menyilang di garis median ke sisi
lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut
diteruskan.
b. Teori pola (pattern theory). Rangasangan nyeri masuk melalui akar ganglion
dorsal ke medula spinalis dan merangsang aktivitas sel. Hal ini mengakibatkan
suatu reseptor yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks
serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga
menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel
T.
c. Teori pengendalian Gerbang (gate control theory). Menurut teori ini, nyeri
tergantung dari kerja serat saraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam
akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan meningkatkan
aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan tertutupnya pintu
mekanisme sehingga aktivitas sel T terlambat dan dapat menyebabkan hantaran
rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang
4
korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medula spinalis
melalui serat eferen dan reaksinya memengaruhi aktiitas sel T. Rangsangan pada
serat kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu
mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan
menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori transmisi dan inhibisi. Adanya stimulus pada nociceptor melalui transmisi
impuls-impuls saraf, sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh
neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls menjadi efektif oleh
impuls-impuls pada serabut-serabut besar yang memblok impuls-impuls pada
serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a. Arti nyeri : bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan,
merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipegaruhi oleh berbagai faktor,
seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial budaya, lingkugan, dan
pengalaman
b. Persepsi nyeri : merupakan penilainan yang sangat subjektif tempatnya
pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh
faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor
c. Toleransi nyeri
d. Reaksi terhadap nyeri : merupakan bentuk respons seseorang terhadap
nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini
merupakan bentuk respons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu
e. Emosi : kecemasan, depresi dan marah akan mudah terjaddi dan
memengaruhi keamanan dan kenyamanan
f. Status mobilisasi : Keterbatasan aktivitas. Paralisis, kelemahan otot
g. Gangguan persepsi sensory : mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan
yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan
h. Keadaan imunitas : Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh
kurang sehingga mudah terserang penyakit
i. Tingkat kesadaran : pada pasien koma, respon akan menurun terhadap
rangsangan
5
j. Gangguan tingkat pengetahuan : kesadaran akan terjadi gangguan
keselamatan dan keamanan dapat diprediksi sebelumnya
6
1) Ringan = skala nyeri 1-3 secara objektif pasien masih dapat berkomunikasi
dengan baik
2) Sedang = skala nyeri 4-6 secara objektif pasien dapat menunjukkan lokasi
nyeri, masih merespon dan dapat mengikuti instruksi yang dinberikan.
3) Berat = skala nyeri 7-9 secara objektif pasien dapat merespon, namun
terkadang klien tidak mengikuti instruksi yang diberikan
4) Nyeri sangat berat = skala nyeri 10 secara objektif pasien mampu
berkomunikasi dan klien merespon dengan memukul
1.1.8 Patofisiologi
Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat
kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut
merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan
dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan dikorteks nyeri akan
dipersiapkan sehingga individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypothalamus
nyeri dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitif pada
termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri.
1.1.9 Komplikasi
1) Edema pulmonal
2) Kejang
3) Masalah mobilisasi
4) Hipertensi
5) Hipertermi
6) Gangguan pola tidur
1.1.10 Penatalaksanaan
1. Medis
Pengobatan analgesik dapat dibagi atas 4 golongan
a. Analgesik non opioid : AINS, asefaminofen, tramadol. Hanya diberikan bila
diduga ada proses peradangan dan adanya kompresi jaringan saraf
b. Analgesik ajuvan – modikasi neuroaktif : antikonvulsan, anti depresi, anti
histamin, anifefamin, steroit, benjodia zepin, simpotolitik, obat anti spasnio otot
dan neuroteptika, anti konvulsan dan anti depresan yang paling sering digunakan
7
karena mempunyai efek sentral dan memperbaiki mood dan depresi carbama
zepin telan diinenkan oleh FDA untuk terapi nyeri
c. Analgesik opiold : kedein, morfin, oksikodon kurang responsif untuk nn, sehingga
cadang dibutuhkan dosis tinggi
d. Analgesik topikal : capsalan topikal menghilangkan subatansi p. Mempengaruhi
nosiseptor serabut c dan reseptor panas. Banyak digunakan pada neruralgia
herpotik akut dan neuralgia post herpetik
8
akibat kontak dengan pasien lain. Untuk memproteksi diri perawat dan pasien maupun
keluarga ada beberapa tindakan yang harus dilakukan diantaranya :
1. Mencuci tangan dengan teknik bersih atau dengan menggunakan sabun atau cairan
alkohol sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Higiene tangan dilakukan
dengan membasuh tangan menggunakan cairan beralkohol dan disinfektan
2. Gunakan masker untuk pencegahan kuman patogen melalui droplet baik petugas
kesehatan, pasien, keluarga atau pengunjung
3. Gunakan sarung tangan bagi petugas kesehatan untuk tindakan yang beresiko
terjadi penularan infeksi, kuman, dan virus seperti pada saat pengambilan sampel
darah pada pasien dengan HIV, hepatitis
4. Pengguaan alat pelindung khusus seperti masker, baju pelindung, kacamata dan
sarung tangan pada pemberian obat kemoterapi
5. Menggunakan teknik steril (aseptik dan antiseptik) sesuai tindakan berdasarkan
standard operasing prosedur yang berlaku
6. Membuang atau menyimpan benda-benda yang beresiko tertular penyakit harus
sesuai prosedur, misalnya disediakan tempat pembuangan khusus infeksi dan non-
infeksi sampah medis dan non-medis
7. Pemeriksaan kesehatan rutin untuk perawat atau petugas kesehatan yang mngkin
beresiko tertular penyakit
8. Perawat atau petugas kesehatan diberikan vaksin tertentu secara berkala untuk
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit, misalnya pemberian
vaksin hepatitis B
9
1.1.13 Kontrol infeksi dan risiko infeksi
Masalah yang paling sering terjadi perhatian serius dari perawatan pasien di
rumah sakit adalah masalah risiko infeksi (infeksi nosokomial). Berbagai upaya
dilakukan untuk menekan angka kejadian infeksi nosokomial, misalnya perubahan
perilaku pemberi pelayanan kesehatan dan sikap pasien atau keluarga. Perawat
beertanggungjawab terhadap proteksi pasien dan dirinya sendri dalam mengontrol
nfeksi. Perawat dan pasien harus mengetahui bagaimana tipe infeksi, model
penyebaran, sumber infeksi dan bagaimana pencegahan risiko infeksi
10
Lingkungan
Penyebaran agen infeksius dapat terjadi melalui media atau lingkungan yang sesuai untuk
perkembangbiakan atau bertahan hidup, baik didalam host atau diluar. Lingkugan adalah
sesuatu apa pun selain host dan agen, juga merupakan tempat interaksi antara agen dan host.
Lingkungan dapat berupa media penhubung infeksi seperti air, udara, makanan atau
binatang. Tempat dimana agen infeksius dapat bertahan hidup dan saat berkembang biak
atau tidak disebut reservoir. Reservoir utama adalah manusia, dengan tempat-tenpat yang
spesifik seperti darah, cairan tubuh, kulit, kolon, paru sesuai dengan sifat dan jenis
mikroorganisme misalnya reservoir utama bakteri Escherichia coli adalah di kolon
11
1.1.17 Jenis Infeksi
1) Infeksi lokal, yaitu infeksi yang terjadi pada lokasi tertentu, areanya terbatas, dan
general atau tidak sistemik. Misalnya infeksi pada luka operasi, infeksi akibat
pemasangan kateter dan infus, infeksi lokal ditandai adanya nyeri, kemerahan,
bengkak, adanya pus, pembesaran kelenjar limfe, dan leukosit
2) Infeksi sistemik atau global, yaitu infeksi bersifat menyeluruh atau sitemik yang
dapat menyebar satu atau lebih organ tubuh. Infeksi sistemik yang benar berat
disebut sepsis yang ditandai adanya demam atau suhu yang rendah, pernafasan lebih
dari 20 kali/menit atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg dan jumlah leukosit lebih dari
12.000 sel/mm3
3) Infeksi aportinitis, merupakan infeksi yang disebabkan karena penurunan daya tahan
tubuh. Misalnya, infeksi jamur pada muklut, infeksi saluran pencernaan, dan
pneumonia pneumositis ciri ini pada pasien dengan AIDS
4) Infeki akut, infeksi yang terjadi secara mendadak dan cepat, misalnya pada
apendisitis
5) Infeksi kronis, yaitu infeksi yang terjadi dalam terjadi dalam jangka yang lama dan
membutuhkan pengobatan yang lama, seperti penyakit bronkhitis, apendisitis kronis
6) Infeksi sekunder, merupakan infeksi yang terjadi sebagai komplikasi dari infeksi
awal atau pertama seperti infeksi sekunder pada luka bakar
Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi akibat penularan selama dirumah sakit
atau yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada
pasien, kerluarga pasien, pengunjung, atau petugas kesehatan akibat kontak pasien yang
mengalami infeksi. Pasien juga dapat mengalami infeksi nosokomial akibat tindakan invasif
seperti pemasangan infus, pemberian obat intravena atau intamuskular, pembedahan, maupun
tindakan lain seperti pemasangan kateter atau penggunaan pengisapan (suction) infeksi
nosokomial yang terjadi dari suatu prosedur diagnostik seperti biopsi, endoskopi disebut
infeksi iatrogenik.
Komplikasi infeksi nosokomial
a. Endokarditis
b. Gagal ginjal
c. Sepsis
12
1.1.18 Tes Diagnostik Infeksi
1. Pemeriksaan sel darah putih atau leukosit
peningkatan jumlah leukosit menunjukkan adanya reaksi peradangan aau infeksi.
Jumlah netrofil yang meningkat menunjukkan pasien terinfeksi pada fase awal.
Sementara itu, monosit yang meningkat menunjukan pertahann tubuh kedua seteah
terinfeksi
2. Tes kultur dan sensitivitas. Kultur dilakukan untuk menentukan adanya bakteri atau
kuman pada individu yang terindikasi infeksi. Kultur dapat berasal dari spesimen dari
cairan tubuh, cairan serebrospinalis, darah, feses, urine, maupun eksudat purulen,
tes sensitivitas dilakukan untuk mengetahui dan menentukan jenis antibiotik yang
dapat menghambat atau membunuh kuman penyebab infeksi
3. Pemeriksaan telur dan parasit. Biasanya dilakukan pada spesimen feses. Pemeriksaan
ini dapat mengetahui jenis parasit dan siklusnya
4. Skin test. Dilakukan untuk menguji apakah ada kuman yang aktif atau tidak pasien
yang terpapar infeksi. Misalnya mantoux test untuk menentukan adanya kuman TBC
paru.
5. Tes imunologi dilakukan untuk menentukan adanya benda asing atau antigen yang
menimbulkan reaksi antibodi. Misalnya tes aglutinasi untuk menentukan adanya
antibodi untuk rubella
6. Polymerase chain reaction (PCR). Tes PCR bertjuan memisahkan dan menggandakan
DNA virus, sehingga tipe virus yang menginfeksi dapat diketahui lebih cepat dan
lebih tepat
13
6. Keadaan lampu yang kurang terang, memungkinkan terjadinya trauma jatuh pada saat
berjalan
14
4. Status moblitas, keterbataan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran
menurun berbahaya, seperti gangguan penciuman dan penglihatan sehingga risiko
terjatuh keracunan dan kebakaran dapat terjadi
5. Gangguan persepsi sensori
Kerusakan sensori akan mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya,
seperti gangguan penciuman, dan penglihatan sehingga resiko terjatuh, keracunan, dan
kebakaran dapat terjadi
6. Informasi/komunikasi, gangguan komuinikasi, seperti afasia atau tidak dapat membaca
menimbulkan kesalahan dalam menterjemahkan pesan
7. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional, antibiotik dapat menimlbukan resistan dan
syok anafilaktik
8. Keadaan imunitas gangguan imunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang
baik
9. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih. Sel darah putih berfungsi
sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit dan membentuk antibodi
10. Status nutrisi, keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah
terserang penyakit
11. Tingkat pengetahuan, kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan
dapat dipredisksi sebelumnya
15
1.1.20 Penatalaksanaa
a. Antiemetik, untuk mengatasi mual muntah
b. Dekongestan, untuk mengobati pilek atau hidung tersumbat
c. Loperamide, untuk menangani diare
d. Paracetamol dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) untuk menurunkan
demam dan mengurangi nyeri
16
DAFTAR PUSTAKA
Tarwoto dan Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Poses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta : Salemba
Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2014). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Buku 1, Edisi 2/A.
Jakarta : Salemba Medika.
Zakiyah, Ana.(2015). Nyeri : Konsep dan Penatalaksanaan dalam Paktik Keperawatan
Berbasis Bukti. Jakarta : Salemba Medika.
17