Anda di halaman 1dari 14

Selasa, 25 Januari 2011

kasus-kasus malpraktek keperawatan

MALPRAKTEK DAN KASUS-KASUS

MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN


Juni 20, 2009 oleh agungrakhmawan
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator
positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya
kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi,
diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan
mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses
pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut
dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi
paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam
kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu
memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah
menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus
dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam
menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi
apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut
(risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan
dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan
bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi
kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak
pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh
telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita
luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang
dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
1. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan
(1) Adanya indikasi medis
(2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
(3) Bekerja sesuai standar profesi
(4) Sudah ada informed consent.
1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa
yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
1. Direct Causation (penyebab langsung)
2. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
gugatan pasien .
Upaya pencegahan malpraktek :
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena
adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-
hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil
(resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif
dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga
kesehatan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage)
yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),
apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang
awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

Kasus dalam mal praktek

Kasus Mal Praktik Dunia Kedokteran


Posted by Mimin-ATN on 11:16 AM
Di Indonesia kasus malpraktik di rumah sakit seringkali kita dengar. Baru-baru ini
bahkan seorang ibu dijebloskan ke penjara karena mempublikasikan kasus malpraktik
yang dialaminya ke internet. Ternyata tidak hanya di Indonesia, bahkan di negara maju
seperti Amerika pun kasus-kasus malpraktik di dunia kedokteran ini juga pernah terjadi.
Namanya juga manusia, tempatnya salah, tapi demi keadilan harus ada kompensasi untuk
korban malpraktik ini, bukan malahan dituntut karena alasan pencemaran nama baik
segala.
Klinik Inseminasi yang Salah Menggunakan Sperma

Saat Nancy Andrews, warga Commack, New York, hamil setelah mengikuti program
vitro fertilization, pasangan suami istri ini sama sekali tidak menduga bahwa anak yang
dilahirkannya memiliki kulit dengan warna gelap yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan ciri fisik mereka. Dari test DNA yang kemudian dilakukan diperkirakan telah
terjadi kesalahan dimana para dokter di New York Medical Services for Reproductive
Medicine secara tidak sengaja menggunakan sperma dari laki-laki lain yang bukan milik
suaminya dan kemudian diensiminasi ke sel telur Nancy. Pasangan ini tetap
membesarkan sang bayi Jessica yang lahir pada tanggal 19 Oktober 2004 seperti
layaknya darah dagingnya sendiri meski secara genetis telah terjadi kesalahan. Meskipun
demikian pasangan ini tetap memperkarakan pemilik klinik tersebut atas kejadian yang
tergolong malpraktik ini ke pengadilan. Nggak kebayang, ikut program bayi tabung, terus
ternyata (misalnya) anak yang lahir kulitnya item, rambutnya keriting, padahal babe sama
emaknya gak ada yang kulitnya item, apalagi keriting. Gimana tuh perasaanya? Hehe...

Cangkok Jantung dan Paru-paru yang Salah

Jésica Santillán, 17 tahun, meninggal 2 minggu setelah menjalani cangkok jantung dan
paru-paru yang berasal dari pasien yang golongan darahnya tidak sama dengannya. Tim
dokter di Duke University Medical Center gagal dalam memeriksa kecocokan darah
sebelum operasi dilakukan. Setelah sekian detik operasi transplantasi untuk mencoba
membalikkan keadaan karena kesalahan fatal itu, Jésica mengalami gagal otak dan
komplikasi yang membawanya ke kematian.
Jésica, imigran asal Mexico, tiba di Amerika Serikat tiga tahun sebelum menjalani
pengobatan penyakit jantung untuk mempertahankan hidupnya. Dengan transplantasi
jantung dan paru-paru di Duke University Hospital, Durham, N.C., alih-alih memperbaiki
kondisinya, yang terjadi justru keadaan menjadi bertambah buruk. Jésica, yang
bergolongan darah O, malah menerima organ dari donor yang bergolongan darah A.
Kesalahan fatal ini membuatnya dalam kondisi koma, dan meninggal ketika usaha para
dokter untuk berusaha menggantikannya dengan organ yang kompatibel gagal. Rumah
sakit mengklaim telah terjadi human-error yang mengakibatkan kematian Jesica, selain
prosedur yang cacat untuk memastikan kompatibilitas transplantasi organ. Setelah itu
diberitakan telah terjadi kesepakatan tertutup antara rumah sakit dan keluarga soal ini.
Tidak seorangpun, baik dari pihak keluarga atau rumah sakit yang mau memberikan
komentar atas kasus ini.

Testikel yang Berharga US $200.000 Dollar (2,2 Miliar Rupiah)

Satu lagi kesalahan fatal di meja operasi, ketika para ahli bedah keliru membuang testikel
sebelah kanan yang masih sehat dari seorang veteran Angkatan Udara AS Benjamin
Houghton (47 tahun). Pasien ini mengeluh sakit dan pengecilan testikel sebelah kirinya.
Lalu para dokter memutuskan untuk menjadualkan operasi pembedahan untuk
membuang testikel yang bermasalah tersebut karena khawatir akan timbulnya kanker.
Kesalahan-kesalahan terjadi sejak dari proses formulir perijinan hingga kegagalan
personil medis untuk menentukan sisi pembedahan sebelum prosedur operasi
dilaksanakan. Kesalahan yang terjadi di West Los Angeles VA Medical Center ini
membawa pada tuntutan hukum atas rumah sakit yang diajukan oleh Houghton dan
istrinya. Beuh, masih untung cuma testikel, gimana coba kalo yang diangkat testisnya?
Alamak...

Prosedur Invasive Jantung Terbuka... Tapi Salah Pasien...

Joan Morris (nama samaran), seorang nenek berusia 67 tahun, diminta bantuannya dalam
suatu pembelajaran di rumah sakit untuk cerebral angiography (ilmu mengenai darah
pada otak). Sehari setelahnya, secara tidak sengaja dia "terpaksa" dijadikan objek studi
mengenai invasive cardiac electrophysiology.
Setelah sesi angiography, pasien ini dipindahkan ke ruangan yang lain yang bukan
merupakan ruangan asalnya. Kesalahan yang "direncanakan" terjadi keesokan harinya
saat paginya pasien ini dibawa untuk suatu prosedur jantung terbuka. Dia berada di atas
meja operasi yang mestinya bukan untuk dia selama satu jam. Para dokter membuat irisan
pada pangkal pahanya, menusuk sebuah arterinya, menyambungnya ke sebuah pipa
pembuluh lalu ke atas ke jantungnya (suatu prosedur yang mengakibatkan resiko tinggi
terjadinya pendarahan, infeksi, serangan jantung, dan stroke). Kemudian tiba-tiba telepon
berdering, dan seorang dokter dari bagian lain bertanya "Apa yang kalian lakukan
dengann pasienku?" Tidak ada yang salah dengan jantungnya. Kardiologis yang
melakukan prosedur itu mencek data wanita itu dan baru menyadari kesalahan fatal telah
terjadi. Studi itu langsung distop, setelah rekondisi wanita malang itu akhirnya
dikembalikan ke kamar asalnya, beruntungya, dalam kondisi yang masih stabil.

Suvenir Sepanjang 13 Inch

Donald Church, 49 tahun, mempunyai tumor di perutnya saat ia tiba di University of


Washington Medical Center di Seattle pada bulan Juni 2000. Setelah meninggalkan
rumah sakit itu, tumornya hilang - tapi satu alat operasi (retractor) malah menggantikan
tempat tumornya. Ternyata dokter yang menanganinya secara tidak sengaja
meninggalkan retractor sepanjang 13 inch di perutnya. Hal ini bukan kejadian yang
pertama terjadi di klinik itu. Empat kasus yang sama pernah terjadi di klinik yang sama
antara tahun 1997 dan 2000. Masih untung, ahli bedah masih bisa mengambil lagi
retraktor yang ketinggalan itu segera setelah diketahui. Akibat dari peristiwa ini, Church
mengalami konsekuensi gangguan fungsi perutnya. Klinik tersebut akhirnya setuju
membayar Church sebesar US $97.000 (1 miliar rupiah) sebagai kompensasinya.

Rumah Sakit Salah Posisi Operasi Otak...Untuk Ketiga Kalinya dalam Setahun
Untuk ketiga kalinya dalam tahun yang sama, dokter-dokter di Rhode Island Hospital
melakukan operasi pada sisi kepala yang salah pada pasien-pasiennya. Yang terakhir
terjadi pada tanggal 23 November 2007. Seorang nenek berusia 82 tahun membutuhkan
operasi untuk menghentikan pendarahan di antara otaknya dan tengkorak kepalanya.
Seorang ahli bedah syaraf di rumah sakit itu mulai melakukan pembedahan dengan
membuat lubang pada bagian sisi kanan kepala pasien, meski sebenarnya hasil CT scan
memperlihatkan bahwa pendarahan terjadi pada bagian sisi kiri, menurut laporan media
lokal. Beruntung dokter bedah ini segera menyadari kesalahannya dan segera menutup
kembali lubang operasi yang salah dan melakukannya kembali pada sisi kiri kepala
pasien. Kondisi pasien dilaporkan stabil pada hari Minggunya.
Kasus yang sama disebut-sebut juga terjadi pada bulan Februari, dimana seorang dokter
yang lain juga melakukan operasi pada sisi kepala yang salah. Dan pada Agustus, lagi-
lagi seorang kakek berusia 86 thaun menjadi korbannya, setelah nyawanya tidak
terselamatkan akibat operasi pada kepalanya, tapi pada sisi yang salah dari kepalanya.

Dokter yang Mengamputasi Kaki yang Salah

Mungkin kasus yang satu ini adalah kasus malpraktik yang paling banyak dipulikasikan.
Seorang dokter di Tampa (Florida) melakukan kesalahan dengan mengamputasi kaki
yang salah terhadap pasiennya, Willie King (52 tahun), pada bulan Februari 1995.
Pada akhirnya diketahui telah terjadi rangkaian kesalahan sebelum proses amputasi pada
kaki yang salah itu. Saat tim operasi bedah menyadari kesalahan mereka semuanya sudah
terlambat, kaki yang seharusnya masih sehat terlanjur dipotong! Akibat dari peristiwa ini
ijin ahli bedah di rumah sakit itu di cabut untuk waktu 6 bulan dan didenda sebesar US
$10.000 dollar (100 juta lebih). University Community Hospital, rumah sakit dimana
operasi dilakukan membayar US $900.000 dollar (hampir 1 milyar) pada King sebagai
kompensasi dan dokter-dokter yang terlibat di operasi itu turut "menyumbang" US
$250.000 (lebih dari 250 juta).

Ginjal Sehat yang Tidak Sengaja Dibuang

Di St. Louis Park, Minnesota, seorang pasien dirujuk ke Park Nicollet Methodist Hospital
untuk dibuang salah satu ginjalnya yang rusak akibat tumor yang diduga merupakan sel-
sel kanker. Tapi yang terjadi kemudian, justru yang dibuang adalah ginjal yang sehat!
"Hal ini baru disadari keesokan harinya setelah operasi, saat patologis yang meneliti
sampel ginjal tersebut tidak menemukan kerusakan apapun padanya." ujar Samuel
Carlson, M.D. dan pejabat di Park Nicollet. Ginjal yang diduga potensial diserang kanker
justru masih tertinggal di tempatnya dan masih berfungsi. Demi privasi dan permintaan
keluarga, tidak ada detil laporan mengenai pasien ini yang dipublikasikan.

Terbangun Saat Operasi Membuatnya Bunuh Diri


Keluarga dari seseorang di West Virginia mengklaim telah terjadi pembiusan yang tidak
cukup saat proses operasi dan mengakibatkan sang pasien bisa merasakan setiap irisan
dari pisau bedah dan menjadikannya trauma berat. Trauma ini menurut keluarga itu
membuat pasien itu melakukan bunuh diri dua minggu kemudian.
Sherman Sizemore dikirim ke Raleigh General Hospital di Beckley, W.Va., pada tanggal
29 Januari 2006 untuk dilakukan tindakan operasi berkenaan dengan rasa sakit di
perutnya. Tapi, saat operasi dilakukan, pasien ini dilaporkan mengalami fenomena
dimana yang dkenal dengan nama anesthetic awareness atau kesadaran selama
pembiusan, yang membuat pasien bisa merasakan sakit atau ketidaknyamanan selama
operasi berlangsung, sementara dia sendiri tidak bisa bergerak atau melakukan
komunikasi dengan dokternya. Menurut komplain yang diajukan, anesthesiologis
menyuntikkan obat bius pada pasien tapi gagal membuat mati rasa pasien hingga 16
menit setelah irisan pertama di perutnya. Anggota keluarga pasien tersebut mengatakan
hal itu membuat trauma berat karena sadar saat sedang dioperasi tapi sama sekali tidak
bisa bergerak atau mengkomunikasikannya dengan dokter yang akhirnya mendorongnya
melakukan bunuh diri.

Bypass Arteri yang Salah

Dua bulan setelah melakukan operasi double bypass jantung untuk menyelamatkan
nyawanya, artis komedian Dana Carvey yang mengasuh acara tv Saturday Night Live
membuat pernyataan mengejutkan dimana dokter bedah cardiac yang menanganinya
telah melakukan bypass pada arteri jantung yang salah. Akibatnya dibutuhkan operasi
darurat untuk membuka kembali penyumbatan yang bisa mengakibatkan dia terbunuh.
Menanggapi tuntutan sebesar 7,5 juta dollar yang diajukan oleh Dana, dokter itu dengan
jujur mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan yang diakibatkan karena arteri Dana
mempunyai situasi yang tidak biasa di jantungnya. Tapi Dana menyangkalnya :"Ini
seperti membuang ginjal yang salah itu. Ini suatu kesalahn besar yang terjadi." ujar
entertainer itu pada People Magazine.

MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN

MALPRAKTEK DALAM PELAYANAN KESEHATAN


Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indicator
positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya
kecenderungan meningkatnya kasus tenaga kesehatan ataupun rumah sakit di somasi,
diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan
mencekam para tenaga kesehatan yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses
pelayanan kesehatan tenaga kesehatan dibelakang hari. Secara psikologis hal ini patut
dipahami mengingat berabad-abad tenaga kesehatan telah menikmati kebebasan otonomi
paternalistik yang asimitris kedudukannya dan secara tiba-tiba didudukkan dalam
kesejajaran. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu
memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah
menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktek.
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus
dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam
menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim
dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi
apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut
(risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan
dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan
bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi
kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak
pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh
telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita
luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang
dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
1. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan
(1) Adanya indikasi medis
(2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
(3) Bekerja sesuai standar profesi
(4) Sudah ada informed consent.
1. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa
yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
1. Direct Causation (penyebab langsung)
2. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya
kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
gugatan pasien .
Upaya pencegahan malpraktek :
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena
adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-
hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil
(resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif
dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga
kesehatan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada,
misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil
sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage)
yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah,
utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur),
apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya
rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang
awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

Kasus dalam mal praktek

Kasus Mal Praktik Dunia Kedokteran


Posted by Mimin-ATN on 11:16 AM
Di Indonesia kasus malpraktik di rumah sakit seringkali kita dengar. Baru-baru ini
bahkan seorang ibu dijebloskan ke penjara karena mempublikasikan kasus malpraktik
yang dialaminya ke internet. Ternyata tidak hanya di Indonesia, bahkan di negara maju
seperti Amerika pun kasus-kasus malpraktik di dunia kedokteran ini juga pernah terjadi.
Namanya juga manusia, tempatnya salah, tapi demi keadilan harus ada kompensasi untuk
korban malpraktik ini, bukan malahan dituntut karena alasan pencemaran nama baik
segala.

Klinik Inseminasi yang Salah Menggunakan Sperma

Saat Nancy Andrews, warga Commack, New York, hamil setelah mengikuti program
vitro fertilization, pasangan suami istri ini sama sekali tidak menduga bahwa anak yang
dilahirkannya memiliki kulit dengan warna gelap yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan ciri fisik mereka. Dari test DNA yang kemudian dilakukan diperkirakan telah
terjadi kesalahan dimana para dokter di New York Medical Services for Reproductive
Medicine secara tidak sengaja menggunakan sperma dari laki-laki lain yang bukan milik
suaminya dan kemudian diensiminasi ke sel telur Nancy. Pasangan ini tetap
membesarkan sang bayi Jessica yang lahir pada tanggal 19 Oktober 2004 seperti
layaknya darah dagingnya sendiri meski secara genetis telah terjadi kesalahan. Meskipun
demikian pasangan ini tetap memperkarakan pemilik klinik tersebut atas kejadian yang
tergolong malpraktik ini ke pengadilan. Nggak kebayang, ikut program bayi tabung, terus
ternyata (misalnya) anak yang lahir kulitnya item, rambutnya keriting, padahal babe sama
emaknya gak ada yang kulitnya item, apalagi keriting. Gimana tuh perasaanya? Hehe...

Cangkok Jantung dan Paru-paru yang Salah


Jésica Santillán, 17 tahun, meninggal 2 minggu setelah menjalani cangkok jantung dan
paru-paru yang berasal dari pasien yang golongan darahnya tidak sama dengannya. Tim
dokter di Duke University Medical Center gagal dalam memeriksa kecocokan darah
sebelum operasi dilakukan. Setelah sekian detik operasi transplantasi untuk mencoba
membalikkan keadaan karena kesalahan fatal itu, Jésica mengalami gagal otak dan
komplikasi yang membawanya ke kematian.
Jésica, imigran asal Mexico, tiba di Amerika Serikat tiga tahun sebelum menjalani
pengobatan penyakit jantung untuk mempertahankan hidupnya. Dengan transplantasi
jantung dan paru-paru di Duke University Hospital, Durham, N.C., alih-alih memperbaiki
kondisinya, yang terjadi justru keadaan menjadi bertambah buruk. Jésica, yang
bergolongan darah O, malah menerima organ dari donor yang bergolongan darah A.
Kesalahan fatal ini membuatnya dalam kondisi koma, dan meninggal ketika usaha para
dokter untuk berusaha menggantikannya dengan organ yang kompatibel gagal. Rumah
sakit mengklaim telah terjadi human-error yang mengakibatkan kematian Jesica, selain
prosedur yang cacat untuk memastikan kompatibilitas transplantasi organ. Setelah itu
diberitakan telah terjadi kesepakatan tertutup antara rumah sakit dan keluarga soal ini.
Tidak seorangpun, baik dari pihak keluarga atau rumah sakit yang mau memberikan
komentar atas kasus ini.

Testikel yang Berharga US $200.000 Dollar (2,2 Miliar Rupiah)

Satu lagi kesalahan fatal di meja operasi, ketika para ahli bedah keliru membuang testikel
sebelah kanan yang masih sehat dari seorang veteran Angkatan Udara AS Benjamin
Houghton (47 tahun). Pasien ini mengeluh sakit dan pengecilan testikel sebelah kirinya.
Lalu para dokter memutuskan untuk menjadualkan operasi pembedahan untuk
membuang testikel yang bermasalah tersebut karena khawatir akan timbulnya kanker.
Kesalahan-kesalahan terjadi sejak dari proses formulir perijinan hingga kegagalan
personil medis untuk menentukan sisi pembedahan sebelum prosedur operasi
dilaksanakan. Kesalahan yang terjadi di West Los Angeles VA Medical Center ini
membawa pada tuntutan hukum atas rumah sakit yang diajukan oleh Houghton dan
istrinya. Beuh, masih untung cuma testikel, gimana coba kalo yang diangkat testisnya?
Alamak...

Prosedur Invasive Jantung Terbuka... Tapi Salah Pasien...

Joan Morris (nama samaran), seorang nenek berusia 67 tahun, diminta bantuannya dalam
suatu pembelajaran di rumah sakit untuk cerebral angiography (ilmu mengenai darah
pada otak). Sehari setelahnya, secara tidak sengaja dia "terpaksa" dijadikan objek studi
mengenai invasive cardiac electrophysiology.
Setelah sesi angiography, pasien ini dipindahkan ke ruangan yang lain yang bukan
merupakan ruangan asalnya. Kesalahan yang "direncanakan" terjadi keesokan harinya
saat paginya pasien ini dibawa untuk suatu prosedur jantung terbuka. Dia berada di atas
meja operasi yang mestinya bukan untuk dia selama satu jam. Para dokter membuat irisan
pada pangkal pahanya, menusuk sebuah arterinya, menyambungnya ke sebuah pipa
pembuluh lalu ke atas ke jantungnya (suatu prosedur yang mengakibatkan resiko tinggi
terjadinya pendarahan, infeksi, serangan jantung, dan stroke). Kemudian tiba-tiba telepon
berdering, dan seorang dokter dari bagian lain bertanya "Apa yang kalian lakukan
dengann pasienku?" Tidak ada yang salah dengan jantungnya. Kardiologis yang
melakukan prosedur itu mencek data wanita itu dan baru menyadari kesalahan fatal telah
terjadi. Studi itu langsung distop, setelah rekondisi wanita malang itu akhirnya
dikembalikan ke kamar asalnya, beruntungya, dalam kondisi yang masih stabil.

Suvenir Sepanjang 13 Inch

Donald Church, 49 tahun, mempunyai tumor di perutnya saat ia tiba di University of


Washington Medical Center di Seattle pada bulan Juni 2000. Setelah meninggalkan
rumah sakit itu, tumornya hilang - tapi satu alat operasi (retractor) malah menggantikan
tempat tumornya. Ternyata dokter yang menanganinya secara tidak sengaja
meninggalkan retractor sepanjang 13 inch di perutnya. Hal ini bukan kejadian yang
pertama terjadi di klinik itu. Empat kasus yang sama pernah terjadi di klinik yang sama
antara tahun 1997 dan 2000. Masih untung, ahli bedah masih bisa mengambil lagi
retraktor yang ketinggalan itu segera setelah diketahui. Akibat dari peristiwa ini, Church
mengalami konsekuensi gangguan fungsi perutnya. Klinik tersebut akhirnya setuju
membayar Church sebesar US $97.000 (1 miliar rupiah) sebagai kompensasinya.

Rumah Sakit Salah Posisi Operasi Otak...Untuk Ketiga Kalinya dalam Setahun

Untuk ketiga kalinya dalam tahun yang sama, dokter-dokter di Rhode Island Hospital
melakukan operasi pada sisi kepala yang salah pada pasien-pasiennya. Yang terakhir
terjadi pada tanggal 23 November 2007. Seorang nenek berusia 82 tahun membutuhkan
operasi untuk menghentikan pendarahan di antara otaknya dan tengkorak kepalanya.
Seorang ahli bedah syaraf di rumah sakit itu mulai melakukan pembedahan dengan
membuat lubang pada bagian sisi kanan kepala pasien, meski sebenarnya hasil CT scan
memperlihatkan bahwa pendarahan terjadi pada bagian sisi kiri, menurut laporan media
lokal. Beruntung dokter bedah ini segera menyadari kesalahannya dan segera menutup
kembali lubang operasi yang salah dan melakukannya kembali pada sisi kiri kepala
pasien. Kondisi pasien dilaporkan stabil pada hari Minggunya.
Kasus yang sama disebut-sebut juga terjadi pada bulan Februari, dimana seorang dokter
yang lain juga melakukan operasi pada sisi kepala yang salah. Dan pada Agustus, lagi-
lagi seorang kakek berusia 86 thaun menjadi korbannya, setelah nyawanya tidak
terselamatkan akibat operasi pada kepalanya, tapi pada sisi yang salah dari kepalanya.

Dokter yang Mengamputasi Kaki yang Salah

Mungkin kasus yang satu ini adalah kasus malpraktik yang paling banyak dipulikasikan.
Seorang dokter di Tampa (Florida) melakukan kesalahan dengan mengamputasi kaki
yang salah terhadap pasiennya, Willie King (52 tahun), pada bulan Februari 1995.
Pada akhirnya diketahui telah terjadi rangkaian kesalahan sebelum proses amputasi pada
kaki yang salah itu. Saat tim operasi bedah menyadari kesalahan mereka semuanya sudah
terlambat, kaki yang seharusnya masih sehat terlanjur dipotong! Akibat dari peristiwa ini
ijin ahli bedah di rumah sakit itu di cabut untuk waktu 6 bulan dan didenda sebesar US
$10.000 dollar (100 juta lebih). University Community Hospital, rumah sakit dimana
operasi dilakukan membayar US $900.000 dollar (hampir 1 milyar) pada King sebagai
kompensasi dan dokter-dokter yang terlibat di operasi itu turut "menyumbang" US
$250.000 (lebih dari 250 juta).

Ginjal Sehat yang Tidak Sengaja Dibuang

Di St. Louis Park, Minnesota, seorang pasien dirujuk ke Park Nicollet Methodist Hospital
untuk dibuang salah satu ginjalnya yang rusak akibat tumor yang diduga merupakan sel-
sel kanker. Tapi yang terjadi kemudian, justru yang dibuang adalah ginjal yang sehat!
"Hal ini baru disadari keesokan harinya setelah operasi, saat patologis yang meneliti
sampel ginjal tersebut tidak menemukan kerusakan apapun padanya." ujar Samuel
Carlson, M.D. dan pejabat di Park Nicollet. Ginjal yang diduga potensial diserang kanker
justru masih tertinggal di tempatnya dan masih berfungsi. Demi privasi dan permintaan
keluarga, tidak ada detil laporan mengenai pasien ini yang dipublikasikan.

Terbangun Saat Operasi Membuatnya Bunuh Diri

Keluarga dari seseorang di West Virginia mengklaim telah terjadi pembiusan yang tidak
cukup saat proses operasi dan mengakibatkan sang pasien bisa merasakan setiap irisan
dari pisau bedah dan menjadikannya trauma berat. Trauma ini menurut keluarga itu
membuat pasien itu melakukan bunuh diri dua minggu kemudian.
Sherman Sizemore dikirim ke Raleigh General Hospital di Beckley, W.Va., pada tanggal
29 Januari 2006 untuk dilakukan tindakan operasi berkenaan dengan rasa sakit di
perutnya. Tapi, saat operasi dilakukan, pasien ini dilaporkan mengalami fenomena
dimana yang dkenal dengan nama anesthetic awareness atau kesadaran selama
pembiusan, yang membuat pasien bisa merasakan sakit atau ketidaknyamanan selama
operasi berlangsung, sementara dia sendiri tidak bisa bergerak atau melakukan
komunikasi dengan dokternya. Menurut komplain yang diajukan, anesthesiologis
menyuntikkan obat bius pada pasien tapi gagal membuat mati rasa pasien hingga 16
menit setelah irisan pertama di perutnya. Anggota keluarga pasien tersebut mengatakan
hal itu membuat trauma berat karena sadar saat sedang dioperasi tapi sama sekali tidak
bisa bergerak atau mengkomunikasikannya dengan dokter yang akhirnya mendorongnya
melakukan bunuh diri.

Bypass Arteri yang Salah

Dua bulan setelah melakukan operasi double bypass jantung untuk menyelamatkan
nyawanya, artis komedian Dana Carvey yang mengasuh acara tv Saturday Night Live
membuat pernyataan mengejutkan dimana dokter bedah cardiac yang menanganinya
telah melakukan bypass pada arteri jantung yang salah. Akibatnya dibutuhkan operasi
darurat untuk membuka kembali penyumbatan yang bisa mengakibatkan dia terbunuh.
Menanggapi tuntutan sebesar 7,5 juta dollar yang diajukan oleh Dana, dokter itu dengan
jujur mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan yang diakibatkan karena arteri Dana
mempunyai situasi yang tidak biasa di jantungnya. Tapi Dana menyangkalnya :"Ini
seperti membuang ginjal yang salah itu. Ini suatu kesalahn besar yang terjadi." ujar
entertainer itu pada People Magazine..

Anda mungkin juga menyukai