Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan

Hukum di Indonesia hingga saat ini masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Setiap hari
dapat kita saksikan sejumlah kasus hukum yang diberitakan melalui media massa. Sepertinya
persoalan hukum di Indonesia telah merasuk hingga ke sendi-sendi dan mungkin telah
menjadi kebiasaan yang dianggap wajar di negeri ini. Ada beberapa contoh kasus hukum di
Indonesia yang melibatkan para pejabat negara dan ada pula contoh kasus hukum di
Indonesia yang melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Tak sedikit pula yang hukum
yang melibatkan rakyat-rakyat “kecil”. Memang hukum tidak berpandang bulu. Siapa saja,
dihadapan hukum berkedudukan sama. Itulah dasar penegakan hukum yang adil di Indonesia.

Telah terdapat sejumlah contoh kasus hukum di Indonesia termasuk cara penyelesaiannya


yang mungkin belum pernah kita jumpai terjadi di negara lain. Selain itu terdapat pula contoh
kasus hukum di Indonesia yang hingga saat ini belum dituntaskan, seperti kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Pengertian Good Governance

Istilah governance sudah dikenal dalam literature administrasi dan ilmu politik hampir 120
tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125 tahun
yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan
organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang governance yang baru
terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan good
governance dalam berbagai program bantuannya.

Tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) adalah seperangkat proses yang


diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan.

Good governance  menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata
dimiliki atau menjadi urusan pemerintah, tetapi menekankan pada pelaksanaan fungsi
pemerintahan secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan pihak
swasta. Good governance juga berarti implementasi kebijakan sosial-politik untuk
kemaslahatan rakyat banyak, bukan hanya untuk kemakmuran orang-per-orang atau
kelompok tertentu.

Konsep  good governance  adalah sebuah ideal type of governance, yang dirumuskan oleh


banyak pakar untuk kepentingan praktis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-
pasar yang baik. Beberapa pendapat malah tidak setuju dengan konsep good governance,
karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis.

Menurut Meutia Ganie Rachman good governanceadalah sebagai mekanisme pengelolaan


sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan sektor non-
pemerintah dalam suatu usaha kolektif.

Menurut Purwo Santoso dengan keyakinan bahwa konsep governance yang lebih ideal adalah
Democratic Governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang
berasal dari masyarakat (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang
legitimate, akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan
masyarakat.Pada prinsipnya konsep ini secara substantif tidak berbeda jauh dengan
konsep Good Governance, hanya saja tidak memasukkan dimensi pasar.

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di


dalamnya, dan bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu
pemerintahan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik. Penilaian terhadap baik-
buruknya pemerintahan bisa dinilai bila telah bersinggungan dengan unsur prinsip-
prinsip good governance.

Prinsip-prinsip Good Governance
1. Partisipasi Masyarakat, Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan
sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum, Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa
pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi
manusia.
3. Transparansi, Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh
proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat
dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder, Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus
berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus, Tata pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
menyeluruh dan yang terbaik bagi kelompok masyarakat, dan terutama dalam
kebijakan dan prosedur.
6. Kesetaraan, Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi, Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas, Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-
organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada
lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis, Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh
ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan
untuk mewujudkannya, harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan,
budaya dan sosial yan
Contoh Kasus Hukum di Indonesia

Kasus Prita Mulyasari muncul ketika RS Omni Internasional memperkarakan dirinya atas
perbuatan yang dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut melalui email yang
dikirimkan Prita kepada teman-temannya. Pengadilan Negeri Tangerang menggunakan UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena media yang digunakan oleh Prita untuk
mencemarkan nama baik RS Omni adalah media online (e-mail). Oleh karena itu, perlu
dipahami terlebih dahulu substansi dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan pasal yang
dikenakan terhadap Prita Mulyasari. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor
50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945,
salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3)
UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311
KUHP”. Pertimbangan MK tersebut dapat diartikan bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU
ITE merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311.
Dengan demikian, jika perbuatan Prita Mulyasari terbukti tidak memenuhi unsur pidana
dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE . Berikut petikan pasal 310 dan pasal 311:

Pasal 310 KUHP

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam
karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan
demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Pasal 311 KUHP

(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk
membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.

Selanjutnya dalam e-mail Prita yang ditujukan kepada teman-temannya, Prita menuliskan
kalimat awal yang berbunyi sebagai berikut: “Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa
ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-
hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin
pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan”. Dan
kalimat terakhir yang berbunyi : “saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati
dengan perawatan medis dari dokter ini.”
Dari kedua kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa Prita menyampaikan pesan kepada
teman-temannya untuk berhati-hati atas pelayanan rumah sakit dan jangan terpancing dengan
kemewahannya. Prita sengaja menulis pesan tersebut dengan maksud untuk memberi
pelajaran penting kepada orang lain demi kepentingan umum untuk lebih berhati-hati/
waspada terhadap pelayanan rumah sakit agar tidak terjadi seperti apa yang menimpanya.
Dengan demikian, Prita tidak dapat dikatakan melakukan penghinaan dan ataupun
pencemaran nama baik, karena pesan yang dia sampaikan adalah untuk kepentingan umum.
Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa “Tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum
atau karena terpaksa untuk membela diri”. Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Negeri (PN)
Tangerang dan Pengadilan Tinggi (PT) Banten tidak seharusnya memutus bersalah terhadap
Prita Mulyasari karena dari segi KUHP tidak terpenuhi adanya unsur pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, secara moral dan legal formal, keputusan Pengadilan Negeri Tangerang dan
Pengadilan Tinggi Banten yang memutus bersalah Prita Mulyasari tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

Rumah Sakit Omni International sebagai lembaga pelayanan publik bidang kesehatan sudah
seharusnya memprioritaskan kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik (masyarakat).
Dalam rangka itu pula, sebagai sebuah institusi kesehatan yang bersinggungan langsung
dengan nilai-nilai kemanusiaan, RS Omni International tentu juga harus mempunyai standard
pelayanan yang prima dan beretika sehingga mampu memberikan kepuasan kepada
masyarakat yang dilayani. Noel Preston dan Charles Sampford mengisyaratkan bahwa
lembaga yang bertugas dalam bidang pelayanan publik hendaknya mempunyai nilai-nilai
moral dan etika yang dijunjung tinggi dalam menjalankan setiap kegiatannya kepada
masyarakat. Atas dasar itulah RS Omni International seharusnya menyadari bahwa Prita
Mulyasari adalah bagian dari pihak yang harusnya mereka layani dengan sepenuh hati dan
beretika, dan tidak bertindak sebaliknya yang justru memperkarakan Prita Mulyasari ke
Pengadilan Negeri Tangerang. Dengan menjunjung tinggi nilai dasar moralitas dan etika, RS
Omni International tentu akan menganggap keluhan yang disampaikan Prita melalui email
tersebut sebagai sebuah kritikan yang membangun, bukan sebagai ancaman yang dapat
mengurangi kredibilitas institusi secara keseluruhan.

Teori Keadilan John Rawls

Teori Keadilan John Rawls muncul karena adanya pertentangan antara kepentingan individu
dan kepentingan negara. Menurut Rawls, kepentingan utama keadilan adalah jaminan
stabilitas hidup manusia, dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan
bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur
dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan,
kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini
digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak, dan
melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial. Menurut John Rawls, yang menyebabkan
ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip
keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas
ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada
posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat
persetujuan asli antar(original agreement) anggota masyarakat secara sederajat. Adapun
untuk mencapai posisi asli tersebut, ada tiga syarat yang diperlukan, yaitu:
1. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang
pilihannya tersebut.
2. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru
kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus
diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.
3. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi
tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya,
kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.

Berkaitan dengan kasus Prita Mulyasari, telah terjadi ketidakadilan karena kebebasan dan hak
asasi Prita untuk mendapatkan pelayanan kesehatan telah terabaikan. Disamping itu, karena
adanya proses pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan tidak sesuai standar pelayanan
yang diharapkan, Prita pun dapat dianggap sebagai korban pelayanan yang tidak optimal. Hal
ini semakin diperburuk ketika dia menyampaikan keluh kesahnya melalui email yang
berujung pada pelaporan dirinya ke polisi hingga memasuki ranah hukum dan dihukum
bersalah yang berarti bahwa kebebasan Prita untuk mengeluarkan pendapat dan berbicara
telah dipasung. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Prita Mulyasari telah mengalami
ketidakadilan dari serangkaian kejadian yang dialami atas akibat yang dia rasakan karena
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RS Omni International.

Berkaca dari pengalaman Prita Mulyasari yang bersengketa dengan RS Omni International
sebagai sebuah lembaga penyedia pelayanan publik, ada aspek penting yang hendaknya perlu
diperhatikan oleh RS Omni International dalam menjalankan perannya sebagai pelayan
publik, yaitu mereformasi sistem pelayanan yang telah ada. Reformasi ini perlu dilakukan
agar kejadian yang dialami oleh Prita tidak terjadi lagi kepada orang lain di masa yang akan
datang, yang secara langsung atau tidak akan berdampak buruk terhadap perkembangan RS
Omni itu sendiri. Noel Preston menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika
akan mereformasi sebuah institusi, yaitu:

1. Memulai dari apa yang dimiliki. Tujuannya adalah untuk menilai sejauh mana
kekuatan institusi itu untuk dilakukan reformasi. Apakah akan berdampak buruk  setelah
reformasi, atau justru akan berkembang menjadi lebih baik.
2. Memetakan hubungan. Dilakukan untuk mengidentifikasi sistem hubungan institusi
yang saling terintegrasi dengan institusi lain. Hubungan yang telah terjalin dengan baik
hendaknya terus dipertahankan, dan yang masih kurang baik diarahkan untuk reformasi
integrasi dengan institusi tersebut.
3. Mengkomunikasikan dengan institusi yang berintegritas. Institusi lain yang memiliki
integritas tinggi merupakan rujukan penting dalam mereformasi institusi.
4. Kebebasan informasi. Dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-
banyaknya dalam rangka reformasi secara tepat dan terarah.

Analisis Contoh Kasus Menurut Lawrence Friedman

Dari contoh-contoh kasus yang diatas, beberapa akan dianalisis menurut komponen hukum
Lawrance Friedman. Komponen-komponen hukum Lawrence Friedman sebagai berikut:

1. Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum
yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-
lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2. Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum
tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan dapat
diterapkan dalam masyarakat.
3. Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu
sendiri.
4. Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang
harus dilakukan antara lain:

 Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber
daya manusianya yang berkualitas;
 Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
 Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
hukum;
 Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum;
 Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
 Penerapan konsep Good Governance.

Dari contoh kasus yang sebelumnya dijelaskan, struktur-struktur hukum ada dalam kasus-
kasus tersebut. Terlihat dari bentuk kasus tersebut adalah kasus hukum pidana, dengan
memiliki lembaga hukum yaitu pengadilan tinggi negeri. Adapula substansi hukum, hukum
yang diberikan merupakan tujuan hukum yang ada yaitu penegakan keadilan. Siapapun yang
tidak melanggar hukum atau tidak menaati hukum, pastlah akan diberikan hukuman. Tak
memandang siapapun itu. Disini budaya hukum itupun ada. Hal ini terdapat pada tingkat
profesionalisme para penegak hukum. Para penegak hukum menjalankan tugas tanpa
memandang bulu. Jadi, semua tugas yang telah diberikan, sesuai dengan apa yang terjadi
secara fakta, dan hukum itu berlaku sesuai kejadian yang ada.

Sumber :

https://jutaajrullah.wordpress.com/tag/pelayanan-publik/page/2/

http://jelekoke.blogspot.co.id/2013/04/contoh-kasus-hukum-di-indonesia-beserta.html

http://amarfalsafi.blogspot.co.id/2012/11/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html

Anda mungkin juga menyukai