Anda di halaman 1dari 75

1

PERGESERAN NILAI BUDAYA BAKUTULUNG (GOTONG ROYONG) PADA


MASYARAKAT DI DESA WAEMALA KECAMATAN LEKSULA
KABUPATEN BURU SELATAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Akademik Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

OLEH :

ABDUL HAMIDUN PAPALIA


2013-31-038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
2

PERGESERAN NILAI BUDAYA BAKUTULUNG (GOTONG ROYONG) PADA


MASYARAKAT DI DESA WAEMALA KECAMATAN LEKSULA
KABUPATEN BURU SELATAN

SKRIPSI

OLEH :

ABDUL HAMIDUN PAPALIA


2013-31-038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
3

ABSTRAK

Abdul Hamidun Papalia 2013-31-038. Skripsi. Pergeseran Nilai Budaya Bakutulung


(Gotong royong) Pada Masyarakat di Desa Waemala Kecamatan Leksula
Kabupaten Buru Selatan. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Pattimura Ambon 2020.

Budaya dan agama selalu berjalan bersamaan seiring dengan perkembangan


dalam suatu masyarakat. Begitupun Budaya Bakutulung (Gotong Royong) yang
terdapat di Desa Waemala. permasalahan dari penelitian ini adalah mengapa terjadi
pergeseran nilai budaya Bakutulung (Gotong Royong) dan apa tanggapan masyarakat
Desa Waemala terhadap pergeseran budaya tersebut, dengan demikian tujuan dari
penelitian ini ialah untuk mengetahui penyebab sehingga budaya Bakutulung (Gotong
Royong) mengalami pergeseran. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pergeseran nilai budaya Bakutulung (Gotong Royong) pada
masyarakat Desa Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten Buru Selatan. Untuk
mendapatkan data dari informan yang terkait dengan permasalahan yang terjadi di Desa
Waemala maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan menjaring data
di lokasi penelitian dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara. Hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya pergeseran nilai budaya
Bakutulung (Gotong Royong) disebabkan oleh beberapa faktor terutama pada faktor
globalisasi, serta masyarakat merasa kehilangan budaya tersebut setelah terjadi
pergeseran nilai budaya Bakutulung (Gotong Royong).

Kata Kunci: Bakutulung (Gotong royong)


4

ABSTRACT

Abdul Hamidun Papalia 2013-31-038. Thesis. Shifting the Cultural Value of


Bakutulung (Mutual Cooperation) in the Community in Waemala Village, Leksula
District, South Buru Regency. Faculty of Teacher Training and Education, University
of Pattimura Ambon 2020.

Culture and religion always go hand in hand with developments in a society.


Likewise Bakutulung Culture (Gotong Royong) found in the Village Waemala. the
problem of this research is why there is a shift in the cultural value of Bakutulung
(Gotong Royong) and what is the response of the people of Waemala Village to the
cultural shift, thus the purpose of this study is to find out the cause so that the culture of
Bakutulung (Gotong Royong) experiences a shift. Therefore, the authors are interested
in conducting research on the shifting cultural values of Bakutulung (Gotong Royong)
in the Waemala Village community, Leksula District, South Buru Regency. To get data
from informants related to problems that occur in Waemala Village, the writer uses
qualitative research methods and captures data at the research location using
observation and interview techniques. The results obtained in this study indicate that
the shift in the cultural value of Bakutulung (Gotong Royong) is caused by several
factors, especially on the globalization factor, as well as the community feels that they
lost the culture after a shift in the cultural value of Bakutulung (Gotong Royong).

Keywords: Bakutulung (mutual cooperation)


5

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Perjuangan serta do’a, adalah kunci di setiap perjuangannya untuk meraih kesuksesan

(Abdul H. Papalia)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini sebagai ucapan terima kasih dari lubuk hati yang

paling dalam kepada:

1. Allah SWT Tuhan yang Maha Kuasa, atas Nikmat kesehatan, kesempatan,

Reziki yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat bertahan

hidup hingga sampai saat ini dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

2. Ayahanda tercinta Syukur Papalia dan Ibunda tercinta Saoda Waekero

3. Taher Papalia, Abas Buton, Sartika, Munira, Mina, Jumali, Amat, serta adik-

adik tercinta dan tersayang, Maryam Papalia, Sumirna Kaysio, Inda Sari, abdul,

yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis sehingga

penulisan Skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Almamater tercinta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Pattimura Ambon.

KATA PENGANTAR
6

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa. Karena atas

Rahmat serta karunia-Nya, nikmat kesehatan yang telah diberikan sehingga penulis

dapat menjenjang pendidikan mulai dari awal hingga saat ini. Penulis dapat

menyelesaikan Skripsi ini sebagai salah satu syarat akademik untuk memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan, Pada Fakultas Keguruan dan ILmu Pendidikan Universitas

Pattimura Ambon.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Skripsi ini banyak hambatan

serta tantangan dan keterbatasan, namun akhirnya dapat diselesaikan atas bantuan dan

bimbingan serta kerja sama dan motivasi dari semua pihak. Atas saran, masukan yang

bersifat membangun, penulis menerima semuanya dengan senang hati pula demi

perbaikan Skripsi ini.

Oleh karena itu, lewat kesempatan ini, izinkan penulis dengan kerendahan hati

untuk menyampaikan rasa syukur terima kasih yang sedalam-dalamnya dan

penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Dra. E. Binnendyk, M. Pd, selaku Pembimbing I yang selalu dan senantiasa

memberikan arahan, nasihat dan lebih-lebihnya selalu meluangkan waktunya

untuk membimbing penulis dalam penulisan ini, tetapi semangatnya tak ada

henti-hentinya dalam membimbing penulis.

2. Wa Ima, S.Pd, M. Pd, Selaku Pembimbing II yang juga meluangkan waktunya

bersama penulis dengan berbagai masukan, arahan, motivasi yang membangun

sehingga terselesainya penulisan ini.


7

3. Johan Pattiasina S.Pd, MA, Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah

sekaligus penasehat akademik yang memberikan motivasi kepada penulis

selama mengikuti proses perkuliahan sampai dengan penulisan Skripsi ini.

4. Drs. W. S Pinoa, M. Si, Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial yang telah memberikan kelancaran Skripsi ini, serta masalah administrasi

di tingkat jurusan.

5. Prof. Dr. Theresia Laurens, M. Pd, Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Pattimura Ambon atas semua bantuan dan tersedianya

sarana prasarana di lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

6. Rektor Universitas Pattimura Prof. Dr. M. J. Saptenno, SH. M.Hum, beserta

civitas akademika yang telah menerima penulis di Universitas Pattimura Ambon

untuk perkuliahan di Program Studi Pendidikan Sejarah.

7. Bapak/ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan lebih khususnya

pada Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, yang memberikan ilmu

pengetahuan selama penulis berada di Program Studi Pendidikan Sejarah.

8. Seluruh pegawai Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, atas pelayanannya

selama penulis melakukan pengurusan.

9. Kepala Desa Waemala dan Seluruh staf dan Perangkat Pemerintah Desa

Waemala yang telah meluangkan waktu dan tempat bagi penulis selama

melakukan penelitian sampai selesainya penulisan ini.


8

10. Seluruh informan baik tokoh pemuda, tokoh masyarakat yang telah memberikan

waktu kepada penulis selama melakukan penelitian guna mendapatkan data-data

sesuai dengan permasalahan penelitian.

11. Kedua orang tuaku tercinta (Ayahanda syukur Papalia dan Ibunda tercinta

Saoda Waekero) yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan susah

payah namun cinta kasih mereka tiada henti-hentinya, serta kakak Taher

Papalia, Abas Buton, Sartika, Munira, Mina, Jumali, Amat, serta adik-adik

tercinta dan tersayang, Maryam Papalia, Sumirna Kaysio, Rusli, Diman, Inda

Sari, abdul, dengan sabar dan selalu memberikan dorongan, kepercayaan, kasih

sayang dan perhatian serta pengorbanan kepada penulis dari awal hingga

penulisan Skripsi ini.

12. Teman-Teman seperjuangan “Angkatan 2013”. Amin Wael, S.Pd, Abubakar

Souwakil, S.Pd, Sukriawan, S.Pd, Joe, SPd, Dian Ode, S.Pd, Rani, S.Pd,

Fatmawati, S.Pd, Wan Tamalene, S.Pd, Parman S.Pd, Harti, S.Pd. Serta Teman-

teman yang lain yang tidak sempat penulis sebutkan satu demi satu yang selama

ini telah berjuang bersama-sama di bangku perkuliahan Program Studi

Pendidikan Sejarah, dalam susah maupun senang, canda, tawa selalu ada.

Teman-teman PPK/KKN SMP Negeri Tial yang telah bersama dengan penulis,

serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu demi satu yang

selama ini membantu penulis demi mencapai cita-cita yang selama ini

diimpikan akhirnya terjawab.


9

13. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah,

Majelis Ta’lim Syajaratun dan PMK Program Studi Pendidikan Sejarah yang

telah memberikan semangat kepada penulis dari selama di bangku perkuliahan

hingga Skripsi ini.

Ambon, 2020

Penulis

A.H.P

DAFTAR ISI
10

Halaman :

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii
ABSTRAK....................................................................................................... iii
ABSTRACT..................................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN........................................... v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... x
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian.......................................................................... 3
E. Penjelasan Istilah............................................................................ 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Pengertian Masyarakat.................................................................... 5
B. Pergeseran Nilai Budaya................................................................. 7
C. Pengertian Interaksi Sosial............................................................. 8
D. Pengertian Budaya.......................................................................... 12
E. Pengertian Nilai Budaya................................................................. 16
F. Gotong Royong............................................................................... 19

BAB III METODOLOGI


A. Tipe Penelitian................................................................................ 23
B. Lokasi Penelitian............................................................................ 23
11

C. Sumber Data................................................................................... 23
D. Teknik Pengambilan Sampel.......................................................... 24
E. Teknik Pengumpulan Data............................................................. 24
F. Validitas Data................................................................................. 25
G. Teknik Analisis Data...................................................................... 26

BAB IV TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN

A. GambaranUmum Lokasi Penelitian................................................ 29


1. Letak Geografis........................................................................ 29
2. Keadaan Iklim........................................................................... 29
3. Keadaan Penduduk................................................................... 30
4. Keadaan Ekonomi..................................................................... 30
5. Sistim Kepercayaan.................................................................. 32
6. Keadaan Pendidikan................................................................. 32
7. Keadaan Kesehatan................................................................... 33
8. Sejarah Singkat Desa Waemala................................................ 34
9. Sruktur dan Sistim Pemerintahan Desa.................................... 35
B. Sajian Data Wawancara................................................................... 37
C. Pembahasan...................................................................................... 41
1. Mengapa Terjadi Pergeseran Nilai Budaya Bakutulung
(Gotong Royong)...................................................................... 41
2. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pergeseran Nilai Budaya
Bakutulung (Gotong Royong)................................................... 48

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................... 50
12

B. Saran……………………............................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Halaman
13

1.1.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur………………………… 30

1.2............................................................................. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

..................................................................................................................31

1.3...................................................................................................... Sarana Pendidikan

..................................................................................................................33

1.4.......................................................................................... Sajian Data Dalam Bentuk Mat

..................................................................................................................38
14

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Program Studi Pendidikan Sejarah

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian Ketua Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian Gubernur Maluku

Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Kesbangpol Kabupaten Buru Selatan

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian Kecamatan Leksula

Lampiran 7. Surat Keterangan Selesai Penelitian Kesbangpol Kabupaten Buru Selatan

Lampiran 8. Surat Keterangan Selesai Penelitian Desa Waemala

Lampiran 9. Pedoman Wawancara

Lampiran 10. Daftar Informan

Lampiran 11. Gambar/foto Wawancara

Lampiran 12. Gambar Pekerjaan Bakutulung (Gotong Royong)

Lampiran 13. Peta Kabupaten Buru dan Pembagiannya

Lampiran 14. Peta Kecamatan Leksula

Lampiran 15. Surat Keterangan Bebas Pustaka


15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukan

masyarakat Indonesia ditandai oleh perbedaan-perbedaan yang baik horizontal maupun

vertikal ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku bangsa,

bahasa, adat istiadat, dan agama. Sedangkan perbedaan yang bersifat vertikal anrata

lain ditandai oleh adanya pengelompokan masyarakat antara lapisan bawah, baik

dibidang Agama, sosial, ekonomi maupun politik.

Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup yaitu sebagai

makhluk pribadi dan sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia mempunyai beberapa

tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai, sedangkan sebagai makhluk sosial, individu

selalu berinteraksi dan hidup dinamis bersama orang lain. Dalam masyarakat Agama

dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem symbol yang menetapkan peranan

dan motivasi, yang kemudian dari padanya akan menciptakan budaya yang ada.

Dari aspek budaya, masyarakat Maluku merupakan daerah yang memiliki

kurang lebih seribu tiga ratus empat puluh pulau. Yang di dalamnya terdapat berbagai

macam ragam suku, bahasa, agama, seni, pakaian, adat istiadat, dan lain sebagainya.

Dan kemudian memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Budaya

adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
16

orang/masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Karena

kebudayaan merupakan pikiran, atau hasil tenaga manusia, sehingga menghasilkan

sesuatu yang baru dalam kalangan masyarakat.

Hal ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Agus Salim, dalam Arnold

Batkunde (2010: 02) bahwa “ Kebudayaan adalah persatuan antara budi dan daya,

menjadi makna yang sejiwa dan tidak lagi terpisah. Budi mengandung makna akal,

pikiran, pengertian, faham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Sedangkan daya mengandung

makna : tenaga kekuatan, kesanggupan. Dengan demikian berarti : kebudayaan

merupakan himpunan segala daya upaya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil

pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan”.

Dengan demikian budaya yang diberlakukan sampai saat ini di Maluku pada

umumnya, dan lebih khususnya, di desa Waemala kecamatan Leksula Kabupaten Buru

Selatan yaitu Nilai Budaya Bakutulung (Gotong royong). Budaya Bakutulung (Gotong

royong), merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di desa Waemala untuk

mempermudah proses pelaksanaan suatu pekerjaan tertentu maka budaya Bakutulung

(Gotong royong) ini akan dikerjakan. Namun pada dewasa ini pewaris budaya

Bakutulung tidak lagi dikerjakan oleh kalangan pemuda saat ini dan bahkan generasi

yang akan datang, mengapa hal ini terjadi. Padahal budaya Bakutulung (Gotong

royong) ini merupakan salah satu tradisi turun temurun yang sering dilakukan oleh

generasi-kegenerasi sebelumnya. Oleh karena itu, budaya Bakutulung (Gotong royong)

tersebut mengalami pergeseran di dalam kehidupan masyarakat di Desa Waemala

disebabkan oleh beberapa faktor terutama faktor globalisasi.


17

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pergeseran Nilai Budaya Bakutulung (Gotong Royong)

Pada Masyarakat di Desa Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten Buru

Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah :

1. Jelaskan pengertiannya mengapa terjadi Pergeseran Nilai Budaya

Bakutulung (Gotong royong)?

2. Bagaimana tanggapan Masyarakat terhadap pergeseran nilai budaya

Bakutulung (Gotong royong)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui terjadi pergeseran nilai budaya Bakutulung (Gotong royong)

2. Mengetahui tanggapan Masyarakat terhadap pergeseran nilai budaya

Bakutulung (Gotong royong)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara akademik maupun secara

praktis :

1. Secara Tujuan Teoritis, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan

manfaat bagi Program Studi Pendidikan Sejarah. Dan dapat dijadikan sebagai

referensi oleh para peneliti-peneliti selanjutnya.


18

2. Secara Praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat

dan pemerintah Desa Waemala agar mempertahankan budaya ini.

E. Penjelasan Istilah

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang beragam dari para pembaca mengenai

judul penelitian diatas maka penulis memandang perlu untuk menjelaskan beberapa

istilah yang berkaitan dengan judul tersebut, antara lain:

1. Budaya Bakutulung (Gotong royong), merupakan tradisi yang dilakukan oleh

masyarakat di Desa Waemala untuk mempermudah proses pelaksanaan suatu

pekerjaan tertentu.

2. Gotong royong adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama

dan bersifat suka rela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan

lancer, mudah dan ringan.


19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Masyarakat

Masyarakat sendiri bersal dari akan kata Arab syaraka yang berarti ikut serta

atau berpartisipasi. Adapun kata Arab untuk masyarakat adalah mujtama. Sebelum

menguraikan arti tentang masyarakat, akan dikemukakan beberapa defenisi mengenai

masyarakat. Ralp Linton (1936: 91), mengemukakan, masyarakat adalah setiap

kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama sehingga mereka

dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan

sosial dengan batas-batas tertentu.

Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan

kehidupan, norma-norma, adat istiadat, yang sama-sama ditaati dalam lingkunganya.

Tatanan kehidupan, norma-norma yang mereka miliki itulah yang menjadi dasar

kehidupan sosial dalam lingkungan mereka, sehingga dapat membentuk suatu

kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri kehidupan yang khas. Dalam lingkngan itu,

antara orang tua dan anak, antara ibu dan ayah, antara kakek dan cucu, antara sesama

kaum laki-laki dan kaum wanita, larut dalam suatu kehidupan yang teratur dan terpadu

dalam suatu kelompok masyarakat Abu Ahmadi (1997: 97).

Adapun pengertian masyarakat menurut Mac Iver (1955: 5), masyarakat adalah

satu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas dan saling membantu yang

meliputi kelompok-kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan


20

tingkah laku manusia dan kebebasan, sistem yang kompleks yang selalu berubah, atau

jaringan dari relasi sosial itulah yang dinamai masyarakat. Perkembangannya David

Berry (2003: 5-6) menurut pandangan-pandangan yang popular ini masyarakat dilihat

sebagai kekuatan impersonal, yang mempengaruhi, mengekang, dan juga menentukan

tingkah laku anggota-anggotanya. Kemudian Soerjono Soekanto (2001: 187) tentang

masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan.

Menurut Nursid Sumaatmadja (1986: 6), masyarakat sebagai pergaulan hidup,

meliputi komponen-komponen laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Jalinan pergaulan

ini, dikembangkan atau berkembang karena adanya sifat-sifat yang sama dan berbeda

di antara manusia-manusia yang menjadi komponennya.

Dalam kaitannya itu citra dasar masyarakat dari Margaret M. Poloma (2010:

141). yang melihat bahwa masyarakat merupakan suatu realitas yang sesungguhnya

juga sesuai dengan fungsionalisme struktural. Poloma menjelaskan bahwa baginya

masyarakat adalah lebih daripada “semua orang yang berada di dalam suatu masyarakat

tertentu”. Akan tetapi, berbeda dengan sebagian besar kaum fungsionalis struktural,

Poloma melihat paksaan dan konflik sebagai inti bagi pemahaman struktur masyarakat.

Selanjutnya Poloma menyatakan bahwa sebagian besar orang yang berbeda dalam

suatu masyarakat tertentu tidak ikut ambil bagian, langsung atau tidak, dalam

merumuskan harapan-harapan peranan mereka.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis mengambil kesimpulan

bahwa masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan

kehidupan, norma-norma, adat istiadat, yang sama-sama ditaati dalam lingkunganya.


21

Sehingga dapat membentuk suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri kehidupan

yang khas.

B. Pergeseran Nilai Budaya

Pergeseran merupakan suatu perubahan secara sedikit demi sedikit atau berkala

kepada seorang yang dipengaruhi oeh perkara lain yang mengakibatkan perubahan

pandangan hidup. Pendapat tersebut menegaskan bahwa, perubaan dari setiap diri

seseorang tidak datang dengan begitu saja melainkan harus diusahakan dan diupayakan.

Makna dari pergeseran tersebut merupakan peningkatan kemampuan sistem sosial,

kemampuan sistem sosial memproses informasi-informasi, baik yang lansung maupun

tidak lansung dan proses modernisasi ini sesuai dengan pilihan dan kebutuhan

masyarakat. Proses pergeseran nilai-nilai ini tidak terjadi secara spontan melaikan

dilandasi oleh kesadaran dan waktu yang cukup lama menuju kearah suasana kehidupan

yang lebih baik. Secara idak lansung pergeseran atau perubahan akan terjadi secara

perlahan-lahan dan tanpa disadari, Nursid Sumaatmadja (2000: 68-69).

Pergeseran nilai budaya adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga

lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem

sosialnya. Unsur-unsur yang termasuk ke dalam sistem sosial adalah nilai-nilai, sikap-

sikap dan pola perilakunya diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Selain itu

perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi

masyarakat, Srirahayu 2014:13.


22

Nilai-nilai budaya adalah acuan bagi pemenuhan kebutuhan adab, yaitu

kebutuhan-kebutuhan untuk mengetahui yang benar sebagai lawan dari yang salah,

yang suci dari yang kotor, yang indah dari yang buruk, dan sebagainya. Pergeseran nilai

budaya merupakan perubahan Nilai-nilai dalam suatu budaya yang nampak dari

perilaku para anggota budaya yang dianut oleh kebudayaan tertentu. Pergeseran nilai

budaya yang secara umum merupakan pengertian dari perubahan sosial yang tidak

dapat dilepaskan dari perubahan kebudayaan, saat budaya suatu masyarakat berubah,

secara tidak lansung akan memberikan dampak bagi perubahan sosial masyarakat.

Pergeseran dan perubahan nilai-niai ini sebagaimana terungkap dalam fenomena di atas

disebut sebagai perubahan sosial, yaitu “perubahan-perubahan yang terjadi dalam

struktur dan fungsi masyarakat, Suparlan P. ( 2003: 29 ).

Perubahan budaya adalah perubahan unsur-unsur kebudayaan karena perubahan

pola pikir masyarakat sebagai pendukung kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan yang

berubah adalah sistem kepercayaan/religi, system mata pencaharian hidup, sistem

kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan tehnologi, bahasa, kesenian, serta ilmu

pengetahuan, Soekanto ( 2004 : 5 ).

Segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam

suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-

nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Perubahan sosial tidak terjadi dengan sendirinya melainkan disebabkan oleh banyak

faktor selain itu, perubahan sosial tidak berdiri sendiri melaikan memiliki kaitan dengan
23

aspek kehidupan, baik pada individu maupun masyarakat, baik pada skala terbatas

maupun luas, dan berlangsung cepat atau lambat, Selo Soemardjan (1990: 336-337).

C. Pengertian Interaksi Sosial

Manusia hidup bermasyarakat, dan akan saling berhubungan dan saling

membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses

interaksu sosial. Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial

yang dinamis, hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antar individu

yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok

lainnya, namun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat

simbol, di mana simbol diartikan sebagai suatu yang nilai atau maknanya diberikan

kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Proses interaksi sosial pada saat

manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut

bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu bersal dari interaksi antara

seseorang dengan sesamanya. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau

kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap

pertama dari terjadinya hubungan sosial komunikasi merupakan penyampaian suatu

informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan.

Menurut Johan J. Macionis (2008: 144), Interaksi sosial merupakan suatu

proses dimana individu bertingkah laku dan bereaksi dalam hubungan dengan individu

lain. Interaksi sosial adalah hubungan timbal-balik antara dua atau lebih individu

manusia, di mana ide, pandangan dan tingkah laku individu yang satu saling

mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki individu yang lain, atau setidaknya.


24

Interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses

pengaruh mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya

memungkinkan pembentukan struktur sosial, Murdiyatmoko dan Handayani (2004:50).

Interaksi sosial hubungan antara individu satu individu yang lain, individu satu

dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan yang

saling timbal balik, Walgito ( 2003: 23 ). Pendapat lain diungkapkan oleh H. Bonner

dalam ( Gerungan, 2004: 57 ) Interaksi sosial adalah suatu hubungan atau dua lebih

individu manusia. Dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau

memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.

Menurut Maryati dan Suryawati, ( 2003: 23 ) Interaksi sosial adalah kontak atau

hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antara individu, atau kelompok

atau antara individu dan kelompok. Interaksi sosial dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Interaksi antara individu dan individu

b. Interaksi antara individu dan kelompok

c. Interaksi sosial antara kelompok dan kelompok

Rumusan ini dengan tepat menggambarkan kelansungan timbal-baliknya

interaksi sosial antara dua manusia atau lebih. Hubungan timbal-balik tersebut dapat

berlansung antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, dan

antara kelompok dengan kelompok untuk mencapai tujuan.

Interaksi sosial adalah dasar proses sosial, pengertian tersebut menunjuk pada

hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Atau dengan perkataan lain, proses sosial

merupakan cara-cara berhubungan dalam kehidupan masyarakat yang dapat dilihat


25

apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan

menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut (Soejono Soekanto, 2001:

67). Maka apabila ada dua orang bertemu, interaksi sosial pun dimulai ketika mereka

saling mengucapkan salam, berjabat tangan, saling berbicara, atau mungkin terjadi

pertengkaran satu sama lain. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan contoh dari

bentuk-bentuk interaksi sosial.

Soleman B. Taneko ( 1984: 10 ), menambahkan ciri-ciri interaksi sosial antara

lain:

1. Adanya dua orang pelaku atau lebih

2. Adanya hubungan timbal balik antar pelaku

3. Proses diawali dengan adanya kontak sosial, baik secara lansung (kontak

sosial primer), maupun secara tidak lansung (kontak sosial sekunder)

4. Adanya dimensi waktu (lampau, sekarang dan akan datang) yang menentukan

sifat hubungan timbal balik yang sedang berlansung, dan

5. Adanya tujuan dari masing-masing

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa

interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-perorang

secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu

kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang

perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan

seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian,

dan lain sebagainya. Maka, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan dasar
26

proses sosial, yang menunjukan pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,

maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia. Apabila dua

orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat

tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam

itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial, ( Soejono Soekanto 2007:54-55 ).

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara sesama manusia yang saling

mempengaruhi satu sama lain, baik dalam hubungan antara individu dengan individu,

individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.

D. Pengertian Budaya

Menurut Elly Setiadi ( 2012: 27 ), Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi

dan daya yang berarti cinta karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari

bahasa Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau

akal. Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Latin

berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan,

mengembangkan tanah ( bertani ). Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti

culture, yaitu segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Menurut Sole Soemardjan dan Soleman Sumardi, dalam (Syahrial Syarbaini

Rusdiyanta 2009:100) bahwa kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cipta

masyarakat. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau material


27

culture untuk menguasai alam sekitar, untuk abdikan masyarakat. Rasa meliputi jiwa,

mewujudkan segala kaidah dan nilai sosial yang diperlukan untuk mengatur masalah

kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan

berpikir orang yang hidup bermasyarakat yang menhasilkan filsafat dan ilmu

pengetahuan. Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan rohaniah atau spritual/immaterial

culture. Segi materiil mengandung karya adalah kemampuan manusia untuk

menghasilkan benda-benda maupun lainya yang berwujud benda. Segi spritual manusia

menghasilkan kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum, serta rasa yang

menghasilkan keindahan.

Menurut E. B. Tylor dalam Elly Setiadi ( 2012: 27 ), Kebudayaan adalah suatu

keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat

oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari penjelasan di atas kemudian R. Linton

dalam Joko Tri Prasetya ( 2011:29 ) juga mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah

konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingka laku yang unsur-unsur

pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota oleh masyarakat tertentu.

Kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah dalam sejarah yang

explisit, implisit, rasional, irasional dan non rasional yang terdapat pada setiap waktu

sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia. Mengacu pada pendapat

tersebut, segala aktivitas kebudayaan bermaksud memenuhi sejumlah kebutuhan

masyarakat yang berhubungan dengan kebutuhan hidup. Dengan kata lain, budaya
28

tidak bisa dipisahkan dari seluruh pola aktivitas masyarakat dan budaya pula memiliki

peran yang sangat vital dalam proses pembangunan karakter bangsa Geertz ( 1992: 5 ).

Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan, rasa dan tindakan serta karya yang

dihasilkan manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan miliknya dengan

belajar. Manusia tidak dapat dilepaskan dengan kebudayaan, dimana ada manusia di

situ ada kebudayaan. Kapankah kebudayaan mulai ada di muka bumi? Kebudayaan

lahir bersamaan dengan mulai adanya umat manusia.

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

merasa, mencapai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya seperti

bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial,

kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola

budaya, ( Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakmhat 2010: 18 ).

Menurut Koentjaraningrat ( 2004: 1) mendefenisikan kebudayaan yaitu “seluruh

total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya,

dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar”.

Kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dilakukan dalam kehidupan, hampir

seluruh kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan. Selain itu

Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakmhat, ( 2010: 18 ) budaya adalah suatu konsep yang

membangkitkan minat, secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan , nilai, sikap, makna hirarki, agama, waktu,

peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang

diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan
29

kelompok. Dari penjelasan di atas kemudian M.M. Djojodiguno dalam P. Hariyono,

(1996: 45 ) dikatakan bahwa budaya adalah “daya dari budi yang berupa cipta, karsa

dan rasa”.

Menurut Koentjaraningrat ( 2002: 3 ) menetapkan tiga perwujudan budaya dan 7

unsur kebudayaan dalam kehidupan sosial, antara lain:

1. Melalui sistem gagasan, yaitu suatu karya manusia berbentuk nilai-nilai, cara

berpikir dan pola tingkahlaku.

2. Sistem tindakan, yaitu sifat kongkrit yang dilakukan oleh manusia dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti petani menggunakan peralatan untuk

mengerjakan sawahnya.

3. Hasil karya manusia, yaitu perwujudan budaya sebagai hasil berpikir yang

melahirkan karya nyata yang berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Seperti listrik, computer, dan lain-lain.

Koentjaraningrat, mengemukakan 7 unsur kebudayaan yang bersifat

universal, yaitu:

1. Bahasa

2. Sistem pengetahuan

3. Organisasi sosial

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi

5. Sistem mata pencaharian hidup

6. Sistem religi

7. Kesenian
30

Dari tujuh unsur kebudayaan Kewang termasuk dalam organisasi sosial karena

kewang merupakan lembaga adat yang di bentuk oleh masyarakat untuk menjaga hasil

hutan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

Dengan demikian penulis mengambil kesimpulan bahwa, masyarakat dan

kebudayaan merupakan suatu kebiasaan yang keduanya tidak dapa dilepas pisahkan

dan dilakukan oleh masyarakat setiap harinya. Budaya ada karena suatu hasil karya dari

olah pikiran dan ide-ide manusia. Budaya dapat berupa adat, kebiasaan, pakaian,

makanan, bahasa dan sebagainya. Setiap wilayah ataupun daerah memiliki budaya yang

berbeda-beda. Budaya memiliki berbagai karakteristik dan juga nilai-nilai.

E. Pengertian Nilai Budaya

Menurut kamus sosiologi nilai diartikan sebagai suatu perasaan hati nurani yang

dimiliki oleh para anggota masyarakat tentang baik dan buruk ( Hartini dkk, 1992:

438). Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam

segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan

dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Batasan nilai bisa mengacu pada

berbagai hal, seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan,

keamanan, hasrat, keegganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan

perasaan dari orientasi seleksinya Sulaeman dalam ( Basrowi, 2005: 82 ).

Nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan

manusia dalam hidupnya. Sebagai suatu sistem nilai budaya merupakan sistem tata

tindakan yang lain, seperti sistem norma, hokum-hukum adat, aturan etika, aturan

norma , aturan sopan santun, dan sebagainya.


31

Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam

suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada

suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol dengan karakteristik tertentu

yang dapat dibedakan satu dan lainya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa

yangg akan terjadi atau sedang terjadi.

Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbo-simbol, slogan, moto, visi misi,

atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi.

Ada tiga hal terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu:

1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)

2. Sikap, tidak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut

3. Kepercayaan yang tertanam (believe sistem) yang mengakar dan menjadi

kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).

Menurut Koentjaraningrat ( 1974 ), dalam, (Ali Jacub H, dan Siradz Umar.

1998:104-105 ), bahwa “Sistem nilai budaya itu adalah merupakan tingkat yang paling

abstrak dari adat.

Suatu sistem nilai budaya terjadi dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam

pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka

anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya

berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia lain yang tingkkatnya lebih

konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum norma-norma semuanya juga berpedoman

kepada sistem nilai budaya itu. Sistem nilai budaya itu sendiri mengacu kepada hakekat

hidup manusia yang secara universal dapat dipolakan.


32

Menurut Koentjaraningrat, ( 2002: 194 ). Sistem Nilai Budaya dalam

masyarakat di manapun di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok

kehidupan manusiia, yaitu:

1. Hakikat hidup manusia (HM) Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda

secara ekstrem, ada yang berusaha untuk memadamkan hidup (nirvana=

meniup habis), ada pula yang dengan pola-pola kelakuan tertentu

menganggap hidup sebagai suatu hal yang baik, “mengisi hidup”.

2. Hakikat karya manusia (MK). Setiap kebudayaan hakikatnya berbeda-beda di

antaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk hidup, karya

memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan gerak hidup

untuk menambah karya lagi.

3. Hakikat waktu manusia (MW). Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan

berbeda, ada yang berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada

pula yang berpandangan untuk masa kini dan masa yang akan datang.

4. Hakikat alam manusia (MA). Ada kebudayaan yang menganggap manusia

harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal mungkin,

ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus harmonis

dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.

5. Hakikat hubungan manusia (MM). Dalam haal ini ada yang mementingkan

hubungan manusia dengan manusia, baik secara horizontal (sesamanya)

maupun secara vertikal (orientasi kepada tokoh-tokoh). Ada pula yang


33

berpandangan individualistis (menilai tinggi kekuatan sendiri) untuk

memudahkan memahami sistem nilai budaya ini.

Dengan demukian penulis berkesimpulan baha, nilai budaya merupakan sesuatu

yang berharga pada masyarakat. Sebab kehidupan masyarakat tentunya di dalamnya

terdapat akan nilai kebudayaan tersebut baik buruknya ada pada masyarakat itu sendiri.

Budaya merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setiap harinya.

Budaya ada karena suatu hasil karya dari oleh pikiran dan ide-ide manusia.

Budaya dapat berupa adat, kebiasaan, pakaian, makanan, bahasa, dan sebagainya.

Setiap wilayah ataupun daerah memiliki budaya yang berbeda-beda, budaya memiliki

berbagai karakteristik dan juga nilai-nilai.

F. Pengertian Gotong Royong

Setiap bangsa dalam sebuah Negara pasti memiliki kebudayaan yang khas yang

membedakan dari bangsa lainnya. Seperti bangsa Indonesia yang dikenal ramah dan

menjunjung tinggi nilai luhur kebudayaan yang diwariskan oleh generasi terdahulu.

Salah satu budaya yang masih dipegang oleh masyarakat Indonesia yaitu budaya

gotong royong. Budaya yang mengedepankan kepentingan umum dibandingkan

kepentingan pribadi. Dimana setiap orang bahu membahu membantu meringankan

beban orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan.

Menurut Abdillah ( 2011: 7 ) “gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa

Jawa, atau setidaknya mempunyai nuansa Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan

dengan kata pikul atau angkat. Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama.
34

Dalam bahasa Jawa kata saiyeg saeko proyo atau gerak satu kesatuan usaha memiliki

makna yang amat dekat untuk melukiskan kata royong ini”.

Adapun pengertian gotong royong menurut Sudraja ( 2014: 14 ) mengatakan

bahwa “Gotong royong adalah sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena

adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan

kelompok sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu

kesatuan”. Kemudian menurut Sajogyo dan Pudjiwati ( 2005: 28 ) mengungkapkan

“gotong royong adalah aktifitas bekerja samaantara sejumlah besar warga desa untuk

menyelesaikan suatua proyek tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan

umum”.

Selain itu pendapat lain diungkapkan oleh Pasya dalam ( Sudrajat, 014: 16 )

bahwa “gotong royong sebagai bentuk integrasi banyak dipengaruhi oleh rasa

kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya

jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya”.

Beberapa daerah di Indonesia diantaranya masih ada yang mempertahankan

budaya gotong royong. Karena selain menguntungkan bagi warga sendiri, gotong

royong juga dapat menumbuhkan rasa persaudaraan sebagai rasa senasib

sepenanggungan sesama warga. Gotong royong juga lahir dari kesadaran diri sendiri

tanpa adanya unsur paksaan atau perintah dari orang lain. Menurut sudrajat ( 2014: 16 )

dengan adanya gotong royong masyarakat dapat memperoleh beberapa keuntungan,

diantaranya:
35

1. Pekerjaan menjadi lebih mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan

secara perorangan.

2. Memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas dimana

mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di

tempat lai.

3. Menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya.

Walaupun kegiatan gotong royong merupakan sebuah tradisi dalam masyarakat,

tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara memaksa, seperti yang

diungkapkan oleh Marzali ( 2015: 161 ).

Koentjaraningrat ( 1990: 59 ) mengemukakan bahwa aktivitas tolong menolong

juga tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat lain, yaitu:

a. Aktivitas tolong menolong antara tentangga yang tinggal berdekatan, untuk

pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya:

menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah, membersihkan

rumah dan atap rumah dari hama tikus dan sebagainya. adat untuk meminta

bantuan tetangga guna pekerjaan-pekerjaan seperti itu dikonsepsikan

sebagai suatu hal yang berbeda sambatan, dan disebut dengan istilah lain,

yaitu guyuban.

b. Aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang

beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat,

perkawinan atau upacara-upacara adat lain sekitar titik-titik perlaihan pada

lingkaran hidup individu.


36

c. Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrihuntuk membantu

secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian

atau bencana.

Menurut Soejono Soekanto ( 2013: 75 ) gotong royong adalah kerjasama

tradisional (traditional cooperation) dengan seperasaan, sepenanggungan dan saling

memerlukan sebagai sentiment komunitasnya. Bila ikut serta aktif dalam kegiatan

gotong royong, warga desa merasa sebagian dari komunitas atau mengidentifikasi diri

sebgai warga desa. Upaya yang sering dilontarkan, “bubuhan kita jauh” (kerjasama

untuk kita). Keterlibatan dalam kerja gotong royong merupakan sarana bagi desa

menjalankan peranan dalam kelompok. Warga desa menyadari ketergantungan pada

komunitasnya dalam memenuhi kebutuhan fisik dan psikis. Secara psikis bila individu

dihinggapi rasa ketakutan maka komunitasnya mampu memberi rasa aman dan

perlindungan. Kebutuhan manusia terdiri atas kebutuhan dasar fisiologis, kebutuhan

rasa aman, kebutuhan cinta dan rasa memiliki, kebutuhan harga diri dan kebutuhan

aktualisasi diri.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka penulis dapat ditarik kesimpulan

mengenai pengertian dari gotong royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara

bersama-sama dengan tujuan menolong secara sukarela. Melalui kegiatan gotong

royong masyarakat bisa bersatu dalam sebuah kesatuan.


37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif,

penelitian kualitatif yaitu, penelitian yang tidak menggunakan perhitungan atau

diistiahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber

data, sedangkan penelitian kualitatif menurut Sukmadinata ( 20007: 60 ) yaitu, suatu

penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,

peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persesi, pemikiran orang secara individu

maupun kelompok.

Jenis penelitian ini adalah studi kasus, karena penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif maka penelitian ini bersifat analisis deskriptif yaitu barupa kata-

kata tertulis atau lisan dari pelaku yang diamati terutama terkait dengan maslah

tersebut.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten Buru

Selatan.

C. Sumber Data

Dalam pencapaian maksimal penelitian ini, Sumber data yang penulis peroleh

terdiri dari :
38

1. Para informan / nara sumber yang terdiri dari: para tokoh masyarakat, dan

tokoh pemuda, yang mengetahui tentang nilai budaya Bakutulung (Gotong

royong) di Desa Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten Buru Selatan.

2. Arsip, dokumen, hasil penulisan buku, naskah, ataupun dokumen-dokumen

yang menunjang dan relevan dengan permasalahan dan judul penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam penelitian,

karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik

pengumpulan data maka peneliti tidak akan menemukan data yang memenuhi standar

data yang ditetapkan, Sugiyono (2011: 224) Oleh karena itu teknik yang digunakan

peneliti dalam pengumpulan data adalah :

1. Observasi

Observasi sebagaimana yang diungkapkan Hadari Nawawi dan Martini Hadari

(1995: 74) dapat diartikan sebagai “pengamatan dan pencatatan secara sistematik

terhadap unsur-unsur yang tampak pada suatu gejala pada objek penelitian”. Unsur-

unsur yang tampak itu disebut data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara

lengkap.

2. Wawancara

Dalam hal ini wawancara yang dilakukan dengan informan ataupun narasumber,

berkaitan dengan masalah yang ingin dicapai, dan dalam wawancara harus

berkonsentrasi penuh agar hasilnya memuaskan. Selain itu wawancara dimaksudkan

untuk memperoleh keterangan, pendirian, pendapat secara lisan dari informan.Yang


39

menjadi objek wawancara merupakan para tokoh masyarakat, tokoh pemuda yang

mengetahui budaya Bakutulung (Gotong royong). Wawancara adalah dengan maksud

tertentu percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)

yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan itu, Lexy J. Moleong (2004: 186).

3. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dipakai untuk membandingkan apa yang ditemukan dari data

dengan apa yang di katakan dalam kepustakaan. Sehingga, model dan paradigma

orang lain dapat pula dimanfaatkan untuk membandingkan hasil penemuan dari

data.

E. Validitas Data

Untuk mengetahui keabsahan data, maka penulis mengumpulkan data dengan

cara sebagai berikut:

1. Triangulasi Sumber

Menurut Lexy Moleong (2010 : 330) trigulasi sumber berarti membandingkan

dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda. Dengan demikian jika dikaitkan dengan sumber yang

di gunakan penulis, dalam skripsi iniuntuk mendapatkan informasi yakni hasil

wawancara dengan para informan, foto dan studi pustaka.


40

2. Triangulasi Teori

Menurut Lincoln dan Guba dalam Lexy Moleong (2010 : 331). Berdasarkan

tanggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau

lebih teori.

3. Triangulasi Peneliti

Dimana penulis membaca dan menelusuri karya-karya tulis dari beberapa

peneliti, yang dianggap mirip dengan tema yang penulis teliti guna melengkapi dan

memperkuat data peneliti dengan waancara, observasi atau teknik lain dalam situasi

yang berbeda. ( Sugiono 2011: 274).

Triangulasi juga sering mempengaruhi kredibelitas data. Data yang dikumpulkan

memakai teknik wawancara di pagi hari pada saat nara sumber masih segar. Sehingga

banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga kredibel.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif yang penulis gunakan adalah teknik

analisis data interaktif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah

selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Bila jawaban yang diwawancarai

setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan

lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibe, Milles and

Huberman dalam (Sugiono 2011: 246), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis

data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai

tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Diantaranya dapat digambarkan sebagai berikut :
41

(2)
Pengumpulan
Display
Data
Data/ Sajian
(1)

(3)
Reduksi Data

Kesimpulan
dan Verifikasi

( Gambar komponen dalam analisis data interaktif model) Milles & Huberman
dalam Sugiyono ).

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data dikemukakan oleh (Sugiyono 2011: 247) yaitu merangkum,

memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan

polanya dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih

jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan

mencarai bila diperlukan.

2. Data Display (Sajian Data)

Agar peneliti tidak terbenam dalam tumpukan data, maka langkah selanjutnya

adalah display data, seperti dikemukakan oleh Husaini Usman dan Setiadi Akbar

(2003: 87) Display data ialah menyajikan data dalam bentuk matriks, network, chart,

atau grafik dan sebagainya.


42

3. Kesimpulan dan Verifikasi

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif seperti dijelaskan oleh Milles dan

Hubermen dalam Sugiyono (2011: 252) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah jika

tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data

berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung

oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan

mengumpulkan data maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang

kredibel.
43

BAB IV

TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis

Secara astronomis, desa Waemala terletak pada posis 3°450 Lintang Selatan dan

4°00 Lintang Selatan, serta 126°00 Bujur Timur dan 128°150 Bujur Timur. Desa

Waemala merupakan salah satu desa dari 12 (Dua belas) desa yang ada di Kecamatan

Leksula, Kabupaten Buru Selatan, yang treletak di pulau Buru dengan batas-batas

wilayah atau letak geografis sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbetasan dengan desa Sialale

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut banda

c. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Ewiri

d. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Wawali

Luas Kecamatan Leksula 1900 km² dan desa Waemala adalah 367M. lahan

dijadikan wilayah hunian penduduk setempat yang berlokasi di sepanjang permukaan

pantai desa dan menyebar ke arah belakang.

2. Keadaan Iklim

Desa Waemala memiliki iklim tropis seperti desa-desa lainnya yang ada di

Maluku. Sehingga terjadi dua pergantian musim yaitu musim Barat dan musim Timur.

Musim Barat berlangsung pada bulan Desember Sampai bulan Mei, Sedangkan Musim

Timur berlansung dari bulan Juni Sampai September.


44

3. Keadaan Penduduk

Penduduk merupakan sejumlah manusia yang menempati suatu tempat atau

desa yang senantiasa selalu dipengaruhi oleh kelahiran. Jika berbicara mengenai

penduduk atau manusia, maka akan dikemukakan keadaan penduduk yang akan

diperoleh dari kantor desa Waemala Kecamatan Leksula, dengan jumlah 702 jiwa. Dan

akan lebih jelas lagi akan digambarkan pada table di bawah ini dengan keadaan

penduduk di Desa Waemala menurut tingkat umumnya.

Tabel 1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur

Tingkat Umur Pria Wanita Jumlah


0-9 Tahun 64 72 136
10-19 Tahun 82 76 158
20-34 Tahun 101 90 191
35-49 Tahun 51 60 111
50-Keatas 59 47 106
Jumlah 702
Sumber Data: Kantor Desa Waemala Tahun 2018

4. Keadaan Ekonomi

Desa Waemala merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Leksula

Kabupaten Buru Selatan. Yang memiliki potensi Ekonomi yang bersumber dari laut

dan darat. Mengingat desa waemala adalah desa yang berada di pesisir pantai, namun

hampir sebagian besar masyarakat setempat yang memiliki mata pencahariannya

sebagai petani.

Di samping mengandalkan hasil darat sebagai sumber penghidupan mereka

dalam kebutuhan sehari-hari, masyarakat Desa Waemala juga mencari penghasilan


45

tambahan sebagai nelayan yang juga memanfaatkan laut sebagai kehidupan yang ada di

Desa Waemala dan laut yang berada di pesisir tempat lainnya. Disamping itu juga

masih ada lagi profesi-profesi lain dari masyarakat Desa Waemala seperti Wiraswasta,

PNS, TNI/POLRI, dan lain-lain. Berikut adalah gambaran mengenai keadaan sosial

ekonomi. Dapat digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan Banyak
1 Nelayan 30
2 Petani 285
3 PNS 20
4 Tenaga Honorer 40
5 TNI/POLRI 9
6 Pedagang 10
5 Belum/Tidak bekerja 308
Jumlah 702
Sumber Data : Kantor Desa Waemala Tahun 2018

5. Sistim Kepercayaan

Agama sangatlah penting bagi pembangunan mental, spiritual dengan

didasarkan kepercayaan yang dianut oleh semua penduduk yang ada di desa Waemala.

Agama dalam apikasinya, dijadikan sebagai penutan dalam mengatur manusia dengan

sang pencipta. Selain itu juga agama menjadi pedoman bagi manusia dalam mengatur

pelaksanaan hidupnya. Penduduk desa Waemala pada umumnya menganut Agama


46

Islam. Oleh karena itu, untuk menjalankan ajaran Agama tersebut, maka masyarakat

membutuhkan tempat peribadatan. Desa Waemala terdapat satu buah Masjid dan satu

buah Mushollah, yang dimana memisahkan antara laki-laki dan wanita saat

melaksanakan Sholat.

6. Keadaan Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha sadar manusia yang dimana merupakan salah satu

faktor utama yang dapat menjamin kemajuan manusia yang ada pada suatu tempat,

salah satunya di desa Waemala. Ketika kebutuhan akan pendidikan terpenuhi maka

suatu desa dapat dikategorikan sebagai sebuah desa yang maju. Pendidikan di desa

Waemala cukup maju, hal ini dapat dilihat pada able dengan dengan adanya sarana-

prasarana penunjang pendidikan yang cukup lengkap mulai dari Taman Kanak-kanak,

SD, dan SMA.

Tabel 3

Sarana Pendidikan di Desa Waemala

No Jenis Sarana Keterangan


Pendidikan Jumlah
1 TK 1 TK Negeri Ceria
2 SD 1 SD Al-hilaal Waemala
3 SMA 1 SMA Negeri Waemala
Jumlah 3
47

Sumber Data : Kantor Desa Waemala Tahun 2018

Dari table di atas maka dapat dijabarkan masing-masing sekolah berdasarkan

tingkatannya dengan jumlah tenaga kerja dan jumlah siswanya sebagai berikut:

a. 1 buah Tk dengan 3 tenaga pengajar dan 35 siswa

b. 1 buah SD dengan 10 tenaga pengajar dan 120 siswa

c. 1 buah SMA dengan 13 tenaga pengajar dan 86 siswa

7. Keadaan Kesehatan

Kesehatan merupakan faktor utama dalam menjamin kehidupan masyarakat

baik dari lingkungan keluarga dan hubungan masyarakat sehari-hari untuk menjalankan

aktifitasnya masing-masing. Selain itu kesehatan selalu diarahkan pada upaya

peningkatan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri melalui pemerataan pada

pelayanan kesehatan.

Dengan demikian, mempertimbangkan kondisi kesehatan masyarakat di desa

Waemala, sehingga dari Dinas Kesehatan Kabupaten Buru Selatan memberikan

bantuan berupa satu gedung Puskut dan memiliki beberapa tenaga medis untuk

melakukan sosialisasi kesehatan berupa imunisasi dan kesehatan lainnya kepada

masyarakat di Desa Waemala.

8. Sejarah Singkat Desa Waemala

Suatu Desa terbentuk tentunya memiliki sejarahnya mengenai asal usul desa itu

sendiri. Ada beberapa hal yang dijadikan sumber untuk mengetahui asal usul Desa

Waemala. Kata Waemala berasal dari bahasa Buru yaitu “Wae” yang artinya Air dan

“Mala” yang artinya Manis, maka secara umum kata Waemala artinya air manis. Nama
48

Desa Waemala di ambil dari sebuah nama air kali yang berada di samping sebelah kiri

kampung tersebut.

Menurut Bapak Dula: 17 Ferbuari 2019, penduduk desa Waemala awal mulanya

mereka mendiami salah satu tempat yang tidak terlalu jauh dari Desa Waemala yaitu

Ewiri. Di tempat inilah dulunya penduduk atau masyarakat dahulu yang menempatinya.

Kemudian adanya inisiatif dari para leluhur untuk membentuk dan mendiami desa atau

dusun yang baru dalam hal ini Desa Waemala yang sampai sekarang menjadi tempat

tinggal mereka.

Dahulu masyarakat desa Waemala menempati salah satu tempat yang berada di

samping kali kecil yang dalam bahasa Buru adalah Waemite artinya mata air, berada

jauh di dekat bukit. Dan bukan saja di tempat-tempat ini lah penduduk atau masyarakat

dahulu menjadi tempat tinggal, bahkan ada tempat-tempat lain yang menjadi tempat

tinggal mereka. Seperti di samping sungai, ada juga yang tinggal berada padapesisir

pantai bahkan di hutan-hutan juga menjadi tempat tinggal. Kemudian adanya pemikiran

dari mereka sendiri untuk mencari tempat yang layak untuk dijadikan tempat tinggal

masyarakat, kemudian mereka menemukan tempat yang sekarang yaitu desa Waemala

dan menjadi tempat tinggal sekarang.

9. Struktur dan Sistem Pemerintahan Desa Waemala

Sesuatu Desa atau Dusun yang ada di Maluku pada umumnya memiliki Struktur

dan Sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Desa Waemala dulunya dalam

pengangkatan pemimpin yang dikenal dengan kepala Desa masih menggunakan sistem

musyawarah mufakat. Artinya adanya musyawarah dari para tua adat yang ada di Desa
49

itu sendiri. Mereka berkumpul untuk mengangkat pemimpin atau kepala Desa. Setelah

musyawarah itu dilakukan maka disitulah pemimpin tersebut ditunjuk secara aklamasi

atau dipercayakan untuk memimpin Desa tersebut. Setelah pemimpin tersebut diangkat

dan menjadi keputusan bersama maka setelah kembali dari lokasi musyawarah maka

pemimpin tersebut siap untuk menjalankan masa baktinya. Setelah seiring berjalannya

waktu maka pengangkatan pemimpin dilakukan dengan adanya demokrasi untuk

seluruh masyarakat berhak untuk memilih pemimpin baru sampai sekarang aturan itu

dijalankan.

FARIDU OLORES

KEPALA DESA MASITA UMAR

BPD

RUDI JOHAR LAHAJI DEFRETES

SEKERTARIS DESA BENDAHARA


SARDI PAPALIA

KESRA

HAYUM ADUN ARWIN KAHAR. K HENDRA MARUA


KAUR KAUR KAUR KAUR
PEMERINTAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN UMUM
50

Sumber Data : Kantor Desa Waemala Tahun 2018

Berdasarkan gambar di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

10. Kepala desa, merupakan pimpinan tertinggi di desa Waemala yang

memiliki fungsi untuk mengontrol, melihat kekurangan baik dari sisi

pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat di desa Waemala.

11. Sekretaris desa, memiliki fungsi untuk membantu kepala desa agar segala

apa yang berkaitan dengan desa maka sekretaris yang menyusunnya baik

dari rancangan mengenai anggaran desa maupun administrasi dalam desa.

12. Badan Perencanaan desa, bertugas untuk membuat rancangan yang ada

pada desa Waemala, mulai dari pembukaan lahan untuk tempat tinggal

penduduk maupun ruas jalan.

13. Bendahara, tentunya memiliki kewenangan untuk segala administrasi dan

kas desa Waemala maka dialah mempunyai tugas.

14. Kaur Pemerintahan, berfungsi untuk bersama-sama dengan kaur yang lain

untuk membantu pimpinan desa agar apa yang berurusan dengan pemerintah

baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten yang berkaitan dengan file

atau berkas desaWaemala.

15. Kaur Hubmas, bertugas untuk menghubungi masyarakat ketika ada perintah

dari pimpinan desa mengenai kegiatan desa.


51

16. Kaur Pembangunan, fungsinya adalah ketika adanya bantuan mengenai

pembangunan desa Waemala maka, inilah yang bertugas untuk menjalankan

sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh pimpinan desa.

17. Kaur Umum, memiliki tugas untuk bersama membantu pimpinan sekertaris

desa untuk melaksanakan administrasi umum, tata usaha dan kearsipan,

pengelola inventasi kekayaan desa, maupun menyiapkan bahan rapat dan

laporan desa.

B. Sajian Data Wawancara

Sajian data wawancara ini dimaksudkan guna memperoleh pengalaman serta

gambaran yang menyeluruh terhadap masalah yang diteliti. Oleh karena itu deskripsi

data merupakan salah satu langkah paling pokok yang harus dilakukan oleh seorang

peneliti dalam rangka mendapatkan gambaran dan keterangan yang jelas terhadap

masalah yang diteliti tetap mengacu pada model analisis interaktif yang telah ditetapkan

dalam penelitian. Maka keseluruhan data direduksi dan diberikan pengkodean

kemudian diarahkan pada fokus masalah sehingga hasil reduksi dapat disajikan dalam

bentuk matriks kolom dan baris seperti tabel berikut ini:

Sajian Data Wawancara Dalam Matrix

No Kode Kode Jawaban Ket


Data Informan
1 01-Laliu Salah satu penyebab terjadinya Semua

01-D 02-Dula pergeseran nilai budaya Bakutulung informan

03-Arman (gotong royong) dari masyarakat desa memberikan


52

04-Laaja Waemala itu dikarenakan pola pandang keterangan

05-Hayum masyarakat yang berubah disebabkan yang sama

06-Laade faktor globalisasi, yang dulunya saling

07- membantu satu sama lain tanpa

Lahami memandang suku namun kenyataannya

08-Jumali sekarang semua telah berubah menjadi

pola pikir yang penuh perhitungan

untung rugi. Karena itu masyarakat desa

Waemala sekarang kalau ada

pemberitahuan misalnya akan

dilaksanakan kegiatan budaya

Bakutulung (gotong royong) dalam

membangun rumah warga atau kerja

kelapa kopra mereka berfikir dari pada

ikut keja, mendingan mereka pergi

mencari ikan misalnya kalau nelayan,

karena kalau mereka melaut dari sana

mereka bisa dapat uang.

2 01-Laliu Adapun faktor-faktor penyebab Semua

02-D 02-Dula terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya informan

03-Arman Bakutulung (gotong royong) di desa memberikan


53

04-Laaja Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten keterangan

05-Hayum Buru Selatan dapat di identifikasikan yang sama

06-Laade sebagai berikut:

07- a. Faktor globalisasi

Lahami b. Faktor berkurangnya penduduk

08-Jumali c. Faktor gengsi

d. Faktor malu

e. Faktor politik
3 01-Laliu Tanggapan masyarakat desa Waemala

03-D 02-Dula adalah “masyarakat merasa kehilangan

03-Arman sesuatu yang sangat berharga yang telah

04-Laaja di berikan warisan dari para leluhur

05-Hayum untuk menjaga serta menjalankan budaya

06-Laade tersebut, namun mereka tidak bisa

07- menjaga dan melestarikan budaya

Lahami tersebut dengan baik.

08-Jumali
4 01-Laliu Setelah terjadi pergeseran budaya Semua

04-D 02-Dula Bakutulung (gotong royong) hubungan informan

03-Arman sosial pada masyarakat desa Waemala memberikan

04-Laaja ikatannya persaudaraan sangat melemah keterangan

05-Hayum dan bahkan kehidupan masyarakatnya yang sama

06-Laade tidak terlihat rukun antara individu satu


54

07- dengan individu lainnya, hal tersebut

Lahami terlihat ketika ada acara-acara kampung

08-Jumali dimana masyarakat mengadakan

musyawara, dan kegiatan-kegiatan sosial,

baik itu untuk pembangunan rumah

warga maupun acara-acara kampung

lainnya.
5 01-Laliu Dampak perubahan yang terjadi pada Semua

05-D 02-Dula masyarakat desa Waemala yaitu informan

03-Arman menimbulkan dampak negatif dan dampak memberikan

04-Laaja positif. Dampak negatif yang terjadi pada keterangan

05-Hayum masyarakat yaitu rusaknya hubungan yang sama

06-Laade bertetangga, rusaknya tali persaudaraan,

07- dan perubahan kepribadian pada

Lahami masyarakat. sedangkan dampak positif

08-Jumali yang terjadi pada masyarakat adalah

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan tingkat hidup yang lebih

baik pada masyarakat desa Waemala.

C. Pembahasan

1. Pergeseran Nilai Budaya Bakutulung (Gotong royong).


55

Kata pergeseran dapat diartikan sebagai suatu peralihan atau berubanya suatu

kondisi tertentu yang berbeda dengan kondisi semula. Bisa pepindahan naik dalam

artian adanya sebuah peningkatan perpindahan turun dalam arti adanya penurunan.

Dalam penelitian ini kata pergeseran digunakan untuk menunjukkan adanya perubahan

pada nilai-nilai budaya gotong royong masyaraka. Seberapa besar perubahan yang telah

terjadi dan apa saja yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini.

Menurut Bpk. Saban Rifai tanggal 17 Ferbuari 2019, mengatakan bahwa salah

satu penyebab terjadinya pergeseran nilai budaya Bakutulung (gotong royong) dari

masyarakat desa Waemala itu dikarenakan pola pandang masyarakat yang berubah

disebabkan faktor globalisasi, yang dulunya saling membantu satu sama lain tanpa

memandang suku namun kenyataannya sekarang semua telah berubah menjadi pola

pikir yang penuh perhitungan untung rugi. Karena itu masyarakat desa Waemala

sekarang jika ada pemberitahuan misalnya akan dilaksanakan kegiatan budaya

Bakutulung ( gotong royong ) dalam membangun rumah warga atau kerja kelapa kopra

mereka berfikir dari pada ikut keja, mendingan mereka pergi mencari ikan misalnya

kalau nelayan, karena kalau mereka melaut dari sana mereka bisa dapat uang.

Sedangkan kalau mereka ikut kerja dengan masyarakat yang lain tidak mendapat apa-

apa yang sifatnya materi. Begitupun sebaliknya dengan mereka yang bekerja di kebun,

mereka lebih mementingkan kebunnya dari pada mereka saling kerja bersama bahkan

mereka berfikir seandainya hari ini mereka membantu masyarakat yang lagi

memerlukan bantuan belum tentu orang tersebut mambantu atau membalas budinya

kembali.
56

Kegiatan budaya Bakutulung ( gotong royong ) tersebut meskipun masih

disadari oleh semua anggota masyarakat di desa Waemala untuk dipertahankan, akan

tetapi karena adanya materialisme dan individualisme yang berkembang dalam

masyarakat, maka bentuk-bentuk budaya Bakutulung ( gotong royong ) sedikit demi

sedikit mengalami pergeseran sehingga yang terlibat hanya sebagian anggota

masyarakat saja. Keadaan tersebut tentunya memerlukan perhatian dari semua pihak

agar nilai-nilai budaya Bakutulung ( gotong royong ) yang merupakan budaya dari

peninggalan Nenek moyang dapat dipertahankan. Apalagi melihat kenyataan yang ada

dalam masyarakat di desa Waemala, budaya Bakutulung ( gotong royong ) dalam

masyarakat seperti kegiatan membersihkan pemukiman warga, membangun rumah

penduduk dan berbagai bentuk Bakutulung ( gotong royong ) lainnya cenderung hanya

diikuti oleh orang tua sedangkan kalangan anak muda kurang terlibat. Hal itu

merupakan suatu indikasi bahwa pergeseran tersebut telah terjadi sedikit demi sedikit.

Terjadi pergeseran Bakutulung ( gotong royong ) masyarakat di desa Waemala

ini pertama disebabkan karena faktor kesibukan sehari-hari bekerja dalam mencari

nafkah dalam memenuhi kebutuhan keluarga. mayoritas masyarakat desa Waemala

yaitu nelayan dan petani yang dari pagi sudah sibuk berangkat kelaut dan ke kebun

sedangkan pulangnya bisa siang atau sore hari, dan waktu malamnya digunakan untuk

beristirahat. Nah itulah sebabnya sudah sulit untuk meluangkan waktu mereka untuk

melakukan kegiatan budaya Bakutulung ( gotong royong ). Sebenarnya masyarakat

bukan tidak ingin ikut serta jika ada kegiatan Bakutulung (gotong royong), sebenarnya

mereka juga ingin melaksanakannya akan tetapi karena kesibukan itu yang
57

menyebabkan tidak bisa melaksanakan Bakutulung ( gotong royong ). Dan juga karena

faktor perkembangan ilmu pengetahuan, sekarang kalau kita lihat sudah banyak

pemuda-pemuda di desa Waemala ini yang tidak lagi meluangkan waktunya di

kampung artinya mereka sibuk melanjtkan pendidikan di kota sehingga sudah tidak

bisa lagi ikut melaksanakan budaya Bakutulung ( gotong royong ) juka ada

pembangunan rumah warga atau hal lainya, ( Wawancara dengan bapak JP tanggal 17

Ferbuari 2019 ).

Untuk mempelajari pergeseran budaya maka perlu diketahui sebab-sebab yang

melatarbelakangi terjadinya proses pergeseran itu, apabila diteliti lebih mendalam

mengenai sebab terjadinya suatu pergeseran kebudayaan dikarenakan adanya

pertentangan-pertentangan tersebut mungkin terjadi antar individu dengan kelompok

atau perantara kelompok dengan kelompok.

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya

Bakutulung ( gotong royong ) di desa Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten Buru

Selatan dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

a. Faktor gobalisasi

Globalisasi sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Pengaruh yang

berhubungan dengan kehidupan, baik dari segi ilmu pengetahuan teknologi, sosia dan

budaya. Seiring berjalannya waktu, pengaruh-pengaruh tersebut tentu membawa nilai

positif maupun negatif. Eratnya hubungan tersebut memungkinkan untuk saling

mendukung kea rah yang positif atau justru ke arah yang negatif. Maka, yang perlu di

perhatikan saat ini yaitu dampak negatif dari globalisasi, terutama pengaruh terhadap
58

bidang sosial dan kebudayaan seperti rendahnya apresiasi masyarakat terhadap nilai-

nilai di bidang tersebut ( terutama generasi muda ).

Dalam perkembangan globalisasi dapat menimbulkan berbagai masalah dalam

bidang sosial dan kebudayaan misalnya hilangnya budaya asli suatu daerah terutama di

Desa Waemala, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong, hilangnya nilai-nilai

budaya, kehilangan kepercayaan diri, dan banyak generasi-generasi muda yang

terpengaruh dengan dampak globalisasi tersebut, ( Wawancara dengan bapak JP tanggal

17 Ferbuari 2019 ).

b. Berkurangnya Penduduk

Berkurangnya penduduk mungkin disebabkan berpindahnya penduduk dari

desa ke kota atau perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah yang lain (misalnya

transmigrasi ). Perpindahan penduduk mengakibatkan kekosongan misalnya, dalam

bidang pembagian kerja dan stratifikasi sosial, yang mempengaruhi lembaga-lembaga

kemasyarakatan.

Berkurangnya penduduk atau berpindahnya penduduk itu adalah suatu hal yang

sering terjadi disetiap wilayah, dan lebih khususnya di desa Waemala. Sebab sudah

sering terjadi karena beberapa tahun sebelumnya ±29 kepala keluarga sudah berpindah

ke desa lain yaitu desa batu layar ( Waebo ). Mereka bertujuan untuk mencari tempat

yang dimana untuk hidup yang lebih baik, karna prososes pertania yang berada di desa

Waemala sudah semakin sulit bukan hanya proses pertania tetapi juga proses
59

pembagunan tempat tinggal semakin kecil didapatkan oleh karena itu masyarakat

mengembil kesimpulan itu sendiri, ( Wawancara dengan bapak JP tanggal 17 Ferbuari

2019 ).

Dengan demikian berkurangnya atau berpindahnya penduduk dalam suatu

wilayah. Sangat berpengaruh terhadap masyarakat dan budaya sehingga keadaan

demikian menimbulkan dampak perubahan tertentu dalam masyarakat itu sendiri.

c. Faktor gengsi

Sebagai makhluk sosial yang selalu berkelompok, manusia memang selalu

mendorong untuk membandingkan diri antara satu dengan yang lain. Dari perbandingan

itulah sering kali muncul kepentingan untuk menjaga gengsi di depan orang lain, karena

mungkin tak ingin tampak inferior atau lebih lemah. Budaya gengsi di Indonesia lebih

khususnya di desa Waemala memang tidak dapat dipungkiri, semakin berkembangnya

zaman maka semakin meningkat pula budaya gengsi dikalangan masyarakat. Misalnya,

pembuatan pembangunan rumah warga masyarakat setempat tidak lagi menggunakan

budaya Bakutulung (gotong royong), bahkan yang telah terjadi di lapangan masyarakat

sudah beralih menggunakan jasa Tukang atau sewa tukang, mengapa hal itu bisa terjadi

karena masyarakat setempat merasa iri atau gengsi antara satu sama yang lain, dan

bahkan mereka tidak mau terlihat rendah di mata masyarakat setempat, ( Wawancara

dengan bapak JP tanggal 17 Ferbuari 2019 ).

d. Faktor malu hati

Menurut Bpk. Saban Rifai tanggal 17 Ferbuari 2019, mengatakan bahwa

manusia pada umumnya terdapat rasa malu di dalam diri masing-masing begitupun
60

yang dialami oleh masyarakat desa Waemala, mereka cenderung malu dengan keadaan

mereka yang selalu meminta bantuan dari masyarakat setempat untuk sama-sama

Bakutulung ( gotong royong) dalam membangun rumah warga yang selalu memerlukan

bantuan tenaga secara suka rela. Dengan adanya rasa malu hati tersebut masyarakat

setempat tidak lagi meminta bantuan dari masyarakat untuk saling Bakutulung ( gotong

royong ), maka demikian budaya Bakutulung ( gotong royong ) mengalami pergeseran.

e. Faktor politik

Politik adalah suatu hal yang wajar dan dapat mempengaruhi masyarakat di

setiap daerah, terutama di desa Waemala, dalam kebudayaan politik pada hakekatnya

dipahami sebagai suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan

ketrampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola

kecenderungan-kecenderungan khusus serta perbedaan pendapat, kepentingan, atau

pertentangan di antara pihak-pihak yang terlibat salah satunya adalah dalam rana

politik, ( Wawancara dengan bapak SR tanggal 17 Ferbuari 2019 ).

Adapun beberapa dampak negatif yang terjadi di masyarakat desa Waemala sebagai

berikut:

Dampak Positif

 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

 Tingkat hidup yang lebih baik

Dampak Negatif

 Menimbulkan kerusakan integrasi social masyarakat


61

 Menimbulkan rasa dendam pada setiap pihak sehingga kehidupan

masyarakat menjadi tidak harmonis

 Menimbulkan kerusakan hubungan silahtirahmi antar sesama

masyarakat

Dengan demikian, berawal dari urusan politik dapat merambat keurusan

kebudayaan sehingga kontestasi politik dapat dengan serius mengancam eksistensi

kebudayaan. Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis

disebutkan proses Bakutulung ( gotong royong ) pada pembangunan rumah telah

mengalami perubahan terutama setelah adanya konflik politik.

2. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pergeseran Nilai Budaya Bakutulung

(Gotong Royong )

Pergeseran merupakan proses terjadinya pergantian ataupun perpindahan suatu

kondisi menjadi bentuk lainnya yang menimbulkan adanya perbedaan dari kondisi

sebelumnya. Pada penilitian ini pergeseran yang dimaksud merujuk pada bergesernya

nilai budaya Bakutulung ( gotong royong ) khususnya yang dialami oleh masyarakat

desa Waemala.

Tanggapan masyarakat desa Waemala adalah “masyarakat merasa kehilangan

sesuatu yang sangat berharga yang telah diberikan warisan dari para leluhur untuk

menjaga serta menjalankan budaya tersebut, namun mereka tidak bisa menjaga dan

melestarikan budaya tersebut dengan baik. Serta seakan-akan masyarakat merasa


62

terasing dengan sesama masyarakat yang ada karena berkurangnya hubugan

silahturahmi, sosialisasi, rela berkorban serta rasa kebersamaan pun mulai menghilang

sedikit demi sedikit dari dalam diri masyarakat itu sendiri, tentu sangat disayangkan

bila kebudayaan luhur warisan nenek moyang kita itu kikis ditelan zaman”,

(Wawancara dengan bapak LT tanggal 17 Ferbuari 2019 ).

Masyarakat berharap budaya Bakutulung ( gotong royong ) akan terulang

kembali seperti dulu kala yang dimana masyarakat masi merasakan rasa kebersmaan,

silahturahmi sesama masyarakat, sosialisasi dan rela berkorban. Karena budaya

Bakutulung (Gotong royong) sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat di desa

Waemala Kecamatan Leksula Kabupaten Buru Selatan, ( Wawancara dengan bapak LT

tanggal 17 Ferbuari 2019 ). Selain itu manfaat dari budaya Bakutulung ( gotong

royong) itu sebagai berikut:

1. Meringankan beban pekerjaan yang harus ditanggung

2. Menumbuhkan sikap sukarela, tolong-menolong, kebersamaan, dan

kekeluargaan antar sesama anggota masyarakat

3. Menjalin dan membina hubungan sosial yang baik dan harmonis antar warga

masyarakat

4. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional

Dengan demikian, masyarakat dengan perubahan merupakan sesuatu yang

tidak bisa dipisahkan. Sama halnya seperti yang terjadi pada masyarakat desa Waemala,

bahwa sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis
63

mengungkapkan perubahan yang terjadi pada tradisi dapat dilihat dari beberapa hal

seperti perubahan niat dan rasa kebersamaan.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil Penelitian dari budaya Bakutulung ( Gotong

royong ) di desa Waemala Kecamatan Leksula, Kabupaten Buru Selatan maka dapat

dikemukakan hasil kesimpulan sebagai berikut:

1. Salah satu penyebab terjadinya pergeseran nilai budaya Bakutulung ( gotong

royong ) dari masyarakat Desa Waemala itu dikarenakan pola pandang

masyarakat yang berubah disebabkan faktor globalisasi, yang dulunya saling

membantu satu sama lain tanpa memandang suku namun kenyataannya

sekarang semua telah berubah menjadi pola pikir yang penuh perhitungan
64

untung rugi. Adapun penyebab sehingga terjadinya pergeseran budaya sebagai

berikut:

a. Faktor globalisasi

b. Berkurangnya penduduk

c. Faktor gengsi

d. Faktor malu hati

e. Faktor politik

2. Tanggapanya masyarakat desa Waemala merasa kehilangan sesuatu yang sangat

berharga yang telah diberikan warisan dari para leluhur untuk menjaga serta

menjalankan budaya tersebut, namun mereka tidak bisa menjaga dan

melestarikan budaya tersebut dengan baik. Serta seakan-akan masyarakat

merasa terasing dengan sesama masyarakat yang ada karena berkurangnya

hubugan silahturahmi serta rasa kebersamaan pun mulai menghilang dari dalam

diri masyarakat itu sendiri.

B. Saran

Dengan memperhatikan hasi kesimpulan ini, maka penulis mengemukakan

saran sebagai berikut:

1. Diharapkan agar para sejarawan atau peneliti lainnya dapat mengembangkan

tulisan ini yang lebih mendalam, dengan semua aspek yang belum sempat

terurai dalam penulisan ini.

2. Penulisan ini akan memberikan wawasan kepada generasi muda saat ini maupun

selanjutnya tentang budaya Bakutulung ( gotong royong ) mulai dari sisi


65

pandangan masyarakat, bahkan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan

bahkan serta tanggapan masyarakat dari budaya tersebut.

3. Ada tiga pihak yang penulis soroti yang berperan aktif dalam upaya lebih dalam

mempertahankan eksistensi nilai budaya Bakutulung ( gotong royong ) dalam

masyarakat desa Waemala. Pihak- pihak tersebut diantaranya kelompok

pemuda, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat. Pihak pemerintah desa senantiasa

memberikan himbauan dan mengajak agar masyarakat desa Waemala terutama

generasi muda yang merupakan generasi penerus, agar tetap menjaga nilai

Bakutulung ( gotong royong ) yang masih ada disekitar mereka. Pihak pemuda

melalui berperan aktif dalam setiap kegiatan yang bersifat monumental.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Abu, dkk 1997 Ilmu Sosial Budaya Dasar.Jakarta : PT RINEKA Anggota
IKAPI.
Akbar Setiady Purnomo dan Usman Husaini. 2003.Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Abdillah. 2011. Gotong Royong Cermin Budaya Bangsa Dalam Arus Globalisasi.
Yogyakarta: Kanisius.
Berry David 2013 Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Bintarto. (1980). Gotong Royong; Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia, Surabaya: PT.
Bina Ilmu.

Basworo. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.


Geertz. C. 1997. Tafsir Kebudayaan (Reflesi Budaya). Yogyakarta: Kanisius

Gerugan. W. A. 2004. Psikologi soaial. Bandung: Refika Adimata.


66

Hadari Martini dan Nawawi Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gadjah Mada.
Hartini dan G. Kartasapoetra. 2004. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Hadjar, Ibnu. (1996). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: CV
Lantabora.

Handayani, dan Murdiyatmoko. 2004. Hubungan Interaksi Sosial. Jakarta: Bumi


Aksara.

HM. Jogiyanto. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. Yogyakarta : CV Andi


Offset.

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan dan Mantalitas Pembagunan. Jakarta: Gramedia.

2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Moleong J. Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
Maryati, Suryawati. (2003). Interaksi Sosial. Yogyakarta: Ar_Ruzz Media.
Poloma Margaret M 2010. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Prasetya Tria Joko. 2011. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.

2008. Perubahan Sosial Teori-teori dan Proses Perubahan Sosial


Serta Teori Pembangunan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sayogyo, Pudjiwati. 2011. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Soemardjan, Selo. (1990). Perubahan Sosial. Bandung: Alfabeta.

Persada.

Soekanto Soejono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaWali Press.

2001. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.


Stiadi Elly. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Keacana Prenada Grup.

Sukmadinata Syaodih Nana. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya
67

Sumaatmadja, Nursid. (2000). Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya dan Lingkungan
Hidup. Bandung: Alfabeta.

Soelaeman, Muhammad M. (1995). Ilmu Sosial Dasar dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: PT Eresco.

Sri Rahayu. (2014). Perubahan Sosial Masyarakat Lokal. Yogyakarta: Ar_Ruzz Media.

Sudrajad. 2004. Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber
Pelajaran IPS. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.

Subagyo 2008. Seni Budaya. INDOCAMPRIMA Jakarta-Indonesia.


Sugioyono 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suparlan, P. (2003). Bhinneka tunggal ika: keanekaragaman sukubangsa atau


kebudayaan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sztompka Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada.

PEDOMAN WAWANCARA

A. Identitas Informan

1. Nama : ……………………

2. Usia : …………………….

3. Kedudukan Dalam Masyarakat : ………………

4. Pendidikan Terakhir : ……………………….

B. Petunjuk
68

Untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pergeseran Nilai

Budaya Bakutulung (Gotong royong) Pada Masyarakat di Desa Waemala

Kecamatan Leksula Kabupaten Buru Selatan. Maka dengan ini, Bapak/Ibu,

Saudara/I diminta untuk memberikan informasi dengan sejujur-jujurnya,

benar, sesuai dengan pengetahuan yang anda sekalian miliki/tahu, yang

berkaitan dengan fakta-fakta dilapangan dan sesuai dengan pertanyaan

berikut ini :

C. Pertanyaan

1. Bagaimana hubungan masyarakat sebelum terjadi pergeseran nilai

budaya Bakutulung (gotong royong)?

2. Mengapa terjadi pergeseran Nilai Budaya Bakutulung (Gotong royong)?

3. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi sehingga budaya Bakutulung

(Gotong royong)?

4. Bagaimana hubungan masyarakat setelah terjadi pergeseran nilai budaya

Bakutulung (Gotong royong)?

5. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pergeseran nilai budaya

Bakutulung (Gotong royong)?

6. Apa dampak positif dan negatif setelah terjadi pergeseran nilai budaya

Bakutulung (Gotong royong)?


69

DAFTAR INFORMAN

JENIS
NO NAMA UMUR KELAMIN JABATAN

1 Bbk. Laliu Tomia 62 Tahun L Tokoh Agama

2 Bbk. Abdulah 91 Tahun L Tokoh Masyarakat

3 Bbk. Arman Buton 60 Tahun L Tokoh Masyarakat

4 Bbk. Laaja 51 Tahun L Tokoh Masyarakat


70

5 Bbk. Hayum Adu 54 Tahun L Tokoh pemuda

6 Bbk. Saban Rifai 32 Tahun L Tokoh Pemuda

7 Bbk. Lahami Tomia 56 Tahun L Masyarakat

8 Bbk. Jumali Papalia 34 Tahun L Masyarakat

DOKUMENTASI INFORMAN SAAT DIADAKAN PENELITIAN


71

Bapak. Laliu Tomia, 17/02/2019 Bapak. Abdulah, 17/03/2019

Bapak. Arman Buton, 17/02/2019

Bapak. Laaja, 17/02/2019 Bapak. Lahami Tomia, 17/02/2019

Bapak. Hayum Adu, 17/02/2019 Bapak. Jumali Papalia, 17/04/2019


72

Bapak. Saban Rifai, 17/03/2019

DOKUMENTASI BUDAYA BAKUTULUNG ( GOTONG ROYONG )


73

Budaya Bakutulung (gotong royong) ini menggambarkan saat pelaksanaan


pembangunan Rumah Warga

PETA PULAU BURU DAN PEMBAGIANNYA


74

PETA LOKASI PENELITIAN


75

Anda mungkin juga menyukai