Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PERIODE JUNI˗˗JULI 2016


PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG

Gastrointestinal Helminths Dairy Cattle Prevalence in Period of June˗˗July 2016


on Public Farm at Lampung Province

Hindun Larasati¹, Madi Hartono², dan Siswanto2


a
Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, Lampung University
Soemantri Brojonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145
e-mail : hindunlarasati@gmail.com

ABSTRACT

Research held in dairy cattle public farm at Lampung Province on June˗˗July 2016. It is purpose to
know gastrointestinal helminths dairy cattle prevalence in public farm at Lampung Province. The research
method used was census. Data collection was done by taking all of faecal samples from 125 dairy cattles in
public farm at Lampung Province. Data were analyzed descriptively. Faecal samples examination checked
with Mc. Master and Sedimentation test. The result indicated that gastrointestinal helminths dairy cattle
prevalence at Lampung Province about 21,60%. There are 27 dairy cattles positively infested
gastrointestinal helminths. The highest prevalence found in dairy cattle in Bandar Lampung City about
40,00%, while the lowest prevalence found in dairy cattle in Tanggamus Regency about 13,16%. Helminth
species that found at Lampung Province are from nematode class (Haemonchus sp., Mecistocirrus sp.,
Oesophagostomum sp., Cooperia sp., Bunostomum sp.) and trematode class (Paramphistomum sp.).

Keywords: Prevalence, Gastrointestinal Helminths, Dairy Cattle, Public Farm

PENDAHULUAN pakan, temperatur, manajemen reproduksi, dan


kesehatan. Salah satu usaha untuk meningkatkan
Sapi perah merupakan salah satu komoditi produktivitas sapi perah ialah melalui
dalam bidang peternakan yang memiliki produk pengendalian penyakit. Salah satu penyakit yang
akhir berupa susu. Kesadaran masyarakat akan menimbulkan penurunan produksi susu adalah
pentingnya protein hewani menjadikan susu cacingan. Parasit cacing merupakan organisme
sebagai salah satu produk hasil peternakan yang yang dapat merugikan ternak (Suwandi, 2001).
makin diminati. Peningkatan jumlah populasi Penyakit yang disebabkan parasit
sapi perah di Indonesia tidak disertai dengan terutama cacing pada hewan di peternakan
kenaikan produksi susu, sehingga kebutuhan merupakan salah satu permasalahan yang sering
susu sapi nasional belum dapat terpenuhi. dihadapi peternak. Pola pemberian pakan,
Bangsa sapi perah yang memiliki faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembapan, dan
produksi susu paling tinggi diantara bangsa sapi curah hujan), serta sanitasi kandang yang kurang
lain adalah sapi Fries Holland (FH). Produksi baik dapat mempengaruhi berkembangnya
susu sapi perah FH di negara asalnya berkisar parasit khususnya cacing saluran pencernaan
6.000˗˗7.000 liter dalam satu masa laktasi pada hewan ternak (Dwinata, 2004). Kehadiran
(Blakely dan Bade, 1994). Produktivitas sapi FH cacing dalam saluran pencernaan dapat
di Indonesia masih rendah dengan produksi susu menyebabkan kerusakan mukosa usus yang
rata-rata 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih dapat menurunkan efisiensi penyerapan
3.050 kg/laktasi (Sudono dkk., 2003). makanan.
Kemampuan sapi perah untuk Informasi prevalensi cacing saluran
memproduksi susu baik kualitas maupun pencernaan sapi perah pada peternakan rakyat di
kuantitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan Provinsi Lampung belum diketahui. Penelitian
lingkungan. Faktor lingkungan yang ini dilakukan untuk mendapatkan data dasar
berpengaruh yaitu manajemen pemeliharaan, mengenai jenis cacing dan prevalensi cacing

8
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

saluran pencernaan pada sapi perah di Provinsi HASIL DAN PEMBAHASAN


Lampung. Data dasar tersebut dapat digunakan
sebagai informasi untuk menyusun program Kondisi Peternak dan Sapi Perah di Provinsi
pengendalian penyakit cacingan. Lampung
Berdasarkan hasil penelitian yang
MATERI DAN METODE dilakukan di 4 kabupaten/kota yang ada di
wilayah Provinsi Lampung, diperoleh 17
Materi peternak dengan jumlah sapi perah sebanyak 125
Peralatan yang digunakan dalam ekor. Jumlah sapi perah betina di Provinsi
penelitian ini adalah kotak pendingin, Lampung adalah 112 ekor (10,40%) dan jantan
penampung feses, kuisioner, alat tulis, sarung sebanyak 13 ekor (89,60%). Sapi perah di
tangan, timbangan analitik, beaker glass, Provinsi Lampung yang masih berumur muda
saringan 100 mesh, tabung kerucut, cawan petri, sebanyak 27 ekor (21,60%) dan sapi dewasa
slide glass, mikroskop, pipet, Mc. Master Plate, sebanyak 98 ekor (78,40%).
dan stopwatch. Bahan-bahan yang digunakan Sebagian besar peternak rakyat sapi perah
adalah sampel feses sapi perah segar (baru tidak terlalu memperhatikan riwayat kesehatan
didefekasikan), NaCl jenuh, dan methylene blue ternak, terutama pada ternak yang terkena
1%. cacingan. Pemberian obat cacing yang pernah
dilakukan pada ternak sapi perah yaitu sebanyak
Metode 57 ekor (45,60%) dan terdapat 68 ekor yang
Metode penelitian yang digunakan adalah tidak pernah diberikan obat cacing (54,40%).
metode sensus. Pengambilan data dilakukan Sampel feses sapi perah yang terinfestasi cacing
dengan cara mengambil semua sampel feses sapi saluran pencernaan di Provinsi Lampung
perah di peternakan rakyat Provinsi Lampung. berjumlah 27 sampel feses yang berasal dari 10
Jumlah sampel feses yang diambil yaitu peternak.
sebanyak 125 ekor sapi perah yang berasal dari
17 peternak. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan pada
Sampel feses yang diambil adalah yang Sapi Perah di Provinsi Lampung
baru didefekasikan. Pengambilan feses dengan
cara manual atau menggunakan tangan yang Hasil pengujian sampel feses sapi perah
dilapisi sarung tangan kemudian memasukkan ke terhadap cacing saluran pencernaan di Provinsi
dalam penampung feses, apabila pengambilan Lampung dapat dilihat pada Tabel 1.
secara manual tidak memungkinkan, maka
diambil dengan palpasi rektal. Penampung feses Tabel 1. Prevalensi cacing saluran pencernaan
diberi label yang berisi nomor sapi dan kode pada sapi perah di Provinsi Lampung
peternak, kemudian memasukkannya ke dalam
kotak pendingin yang sudah diisi es batu. Feses Posit
Nama Jumlah
yang telah diperoleh dikirim ke Laboratorium if Prevalen
Kabupaten/K sampel
Balai Veteriner Lampung untuk dilakukan (ekor si (%)
ota (ekor)
pemeriksaan dengan Uji Mc. Master dan )
Sedimentasi Feses Mamalia. Bandar
Uji Mc. Master adalah uji kuantitatif 20 8 40,00
Lampung
untuk menghitung banyaknya telur cacing Metro 28 5 17,86
nematoda. Uji Sedimentasi feses mamalia
Tanggamus 38 5 13,16
adalah uji kualitatif untuk mendiagnosa adanya
cacing trematoda pada hewan mamalia dengan Lampung
39 9 23,08
menemukan telur cacing pada pemeriksaan Barat
mikroskopik sampel feses. Analisis data yang Provinsi
125 27 21,60
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Lampung

Berdasarkan data hasil penelitian pada


Tabel 1 diketahui bahwa prevalensi cacing
saluran pencernaan pada sapi perah di Provinsi
Lampung sebesar 21,60%. Prevalensi tertinggi

9
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

terdapat di Kota Bandar Lampung yaitu sebesar karena sapi dewasa tidak pernah diberikan obat
40,00%, sedangkan terendah terdapat di cacing untuk memberantas infestasi yang lebih
Kabupaten Tanggamus. Perbedaan tinggi dan serius. Manajemen pengobatan ternak harus
rendahnya prevalensi tersebut disebabkan oleh diperhatikan untuk mencegah infestasi cacing
manajemen pemeliharaan sapi perah di Provinsi saluran pencernaan yang dapat merugikan
Lampung, yaitu sanitasi dan lingkungan peternak dari segi ekonomi. Menurut Rofiq dkk.
kandang, pengobatan, serta umur sapi perah. (2014), pengobatan dan antisipasi yang harus
Tingginya prevalensi cacing saluran dilakukan dengan cara memberikan antelmintik
pencernaan di Kota Bandar Lampung disebabkan secara berkala setiap 3 bulan sekali untuk
oleh banyaknya sapi perah yang berumur dewasa mengurangi perkembangbiakan cacing.
yaitu 16 ekor. Sapi perah dewasa mengalami Prevalensi terendah cacing saluran
reinfestasi cacing karena frekuensi pemberian pencernaan yang terjadi di Kabupaten
pakan hijauan yang lebih tinggi dibandingkan Tanggamus disebabkan oleh lingkungan kandang
sapi perah muda. Darmin (2014) menjelaskan yang tidak terdapat genangan air dan kandang
bahwa prevalensi paramphistomiasis lebih tidak terlalu kotor karena feses dikumpulkan di
rendah pada ternak muda karena disebabkan oleh tempat pembuangan limbah. Feses tersebut
frekuensi pemberian pakan rumput pada ternak diolah menjadi biogas yang dapat menekan
muda lebih rendah dibandingkan ternak dewasa pertumbuhan cacing. Menurut Abbasi dkk.
sehingga kemungkinan terinfestasi metaserkaria (2012), umumnya digester anaerob bekerja pada
akan lebih kecil. suhu bakteri mesofilik dengan suhu antara
20˗˗45ºC sedangkan cacing endoparasit tidak
dapat bertahan hidup pada kondisi suhu melebihi
37ºC sehingga cacing tidak dapat bertahan hidup
dan akhirnya mati.
Penyebab lain rendahnya prevalensi
cacing saluran pencernaan di Kabupaten
Tanggamus karena sapi perah diberikan obat
cacing setelah melahirkan untuk mencegah
penyakit cacingan pada sapi dewasa. Program
pencegahan dan pengendalian nematodiasis pada
sapi perlu dilakukan demi meningkatkan
kesehatan dan produktivitas ternak, salah satu
cara dengan pemberian obat cacing/antelmintika
(Larsen, 2000).
Gambar 1. Prevalensi cacing saluran pencernaan Kejadian ditemukannya cacing saluran
pada sapi perah di Provinsi Lampung pencernaan di Kota Metro disebabkan oleh
sanitasi dan lingkungan kandang yang tidak baik.
Sapi perah yang terinfestasi cacing di Sanitasi yang dilakukan di Kota Metro sebanyak
Kota Bandar Lampung disebabkan karena 2 kali sehari dan kotoran hanya dibersihkan
lingkungan kandang yang kotor, lembap, dan dengan cara membersihkan kotoran atau feses
adanya genangan air pada selokan di sekitar menggunakan sekop kemudian membuangnya ke
kandang. Hal ini menyebabkan larva cacing penampungan feses dan letaknya tidak jauh dari
infektif berkembang menjadi metaserkaria kandang. Pembersihan dengan sikat yang keras
kemudian mengontaminasi pakan dan air minum dan dibantu dengan air panas atau deterjen
yang dikonsumsi oleh sapi perah. Waktu yang sangat dianjurkan untuk dekontaminasi kandang
dibutuhkan untuk perkembangan telur menjadi dan peralatannya (Wafiatiningsih dan Bariroh,
larva infektif tergantung kondisi lingkungan, 2008).
apabila kondisi kelembaban tinggi dan Sapi perah di Kota Metro yang terinfestasi
temperatur hangat maka perkembangannya cacing saluran pencernaan ditemukan pada sapi
membutuhkan sekitar 7˗˗10 hari (Putratama, berumur muda dan dewasa. Hal ini dapat terjadi
2009). karena ketahanan tubuh pada sapi muda yang
Penyebab lain tingginya prevalensi cacing belum terbentuk. Zulfikar dkk. (2012)
saluran pencernaan di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa infestasi cacing pada
kelompok umur muda lebih tinggi dari kelompok

10
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

umur tua. Pedet akan lebih rentan terhadap Tabel 2. Data hasil pemeriksaan sapi perah yang
infestasi cacing dibanding dengan sapi dewasa terinfestasi cacing tunggal dan
hal ini berkaitan dengan belum meningkatnya campuran
sel-sel goblet dalam usus yang menghambat
pertumbuhan larva infektif parasit nematodaKode Kabupaten/
PRMP HAE MECS OSPG COO BUNO
(Soulsby, 1986). Sapi Kota
Bandar
Infestasi cacing saluran pencernaan yangKD3 Lampung
1
terjadi pada sapi perah dewasa di Kota Metro Bandar
KD10 1
disebabkan oleh pemberian obat cacing secara Lampung
tidak berkala. Hal ini dapat menyebabkanKD12 Bandar
1
Lampung
reinfestasi pada sapi perah yang pernah Bandar
terinfestasi cacing saluran pencernaan. MenurutKD16 Lampung
1
Anonim (2004) dalam Handayani (2015),KD18 Bandar
1
program pemberian antelmintika sebaiknya Lampung
Bandar
dilakukan sejak sapi baru berumur 7 hari danKD19 Lampung
1
diulang secara berkala setiap 3˗˗4 bulan sekali Bandar
KD20 1
untuk membasmi cacing secara tuntas. Lampung
Prevalensi cacing saluran pencernaan jugaSU5 Metro 1
terjadi di Kabupaten Lampung Barat karenaSU8 Metro 1
sanitasi dan lingkungan kandang yang tidak baik.
Kotoran sapi perah dibersihkan dengan caraSU9 Metro 1

mengumpulkan feses ke tempat pembuanganTG24 Tanggamus 1


limbah yang letaknya tidak jauh dari kandang.TG33 Tanggamus 1
Hal ini yang menyebabkan sapi mudah
TG36 Tanggamus 1
terinfestasi cacing parasit. Nugraheni dkk.
(2015) menyatakan bahwa telur nematoda keluarTG37 Tanggamus 1
bersama feses, mengontaminasi hijauan pakan,TG38 Tanggamus 1
air minum, serta lantai kandang yang tidak Lampung
SKC5 1
bersih. Barat
Lingkungan kandang sapi perah diSKC6 Lampung
1
Barat
Kabupaten Lampung Barat terletak di sekitar Lampung
kebun yang memiliki tumbuh-tumbuhan denganSKC8 Barat
1
daun yang lebat serta terdiri dari berbagai macamSKC9 Lampung
1
tumbuhan. Hal ini menyebabkan terjadinya Barat
Lampung
infestasi cacing pada sapi perah. MenurutSKC11 Barat
1
Nugraheni dkk. (2015), lingkungan juga Lampung
mendukung ditemukannya cacing, salah satunyaSKC14 Barat
1

adalah terdapatnya tumbuhan semak yang lebatSKC31 Lampung


1
Barat
dan saluran air yang ada di sekitar kandang Lampung
sehingga mendukung berkembangnya vektor-SKC34 Barat
1
vektor parasit. KD15
Bandar
1 1
Lampung
Infestasi Cacing Tunggal dan Campuran padaSJ1 Metro 1 1
Sapi Perah Lampung
SKC7 1 1
Ternak sapi dapat terinfestasi cacing Barat
secara tunggal maupun campuran. Jumlah sapiGA1 Metro 1 1 1
perah yang terinfestasi cacing tunggal yaitu Keterangan:
sebanyak 23 ekor dan 4 ekor terinfestasi cacing PRMP : Paramphistomum sp.
campuran Hasil penelitian tersebut dapat diamati OSPG : Oesophagostomum sp.
pada Tabel 2. HAE : Haemonchus sp.
COO : Cooperia sp.
MECS : Mecistocirrus sp.
BUNO : Bunostomum sp.

11
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui sejumlah L3 tertelan ketika inang merumput,
bahwa infestasi cacing dapat dibedakan menurut selanjutnya mengalami pelepasan kutikula di
infestasi tunggal dan campuran. Infestasi cacing dalam abomasum atau usus halus.
saluran pencernaan tertinggi adalah infestasi Infestasi cacing tunggal Cooperia sp.
tunggal cacing Haemonchus sp. dan terendah ditemukan pada 1 ekor sapi perah umur 8 bulan
adalah infestasi campuran cacing di Kabupaten Tanggamus. Hal ini disebabkan
Paramphistomum sp., Haemonchus sp., dan karena umur sapi yang masih terbilang muda
Mecistocirrus sp.. Adanya infestasi cacing sehingga mudah terinfestasi telur Cooperia sp..
tunggal dan campuran disebabkan oleh Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) menyatakan
manajemen pemeliharaan (sanitasi kandang, bahwa penyakit endoparasit terutama cacing
lingkungan kandang, pengobatan, umur, dan menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1
sistem pemeliharaan) pada peternakan sapi perah tahun). Infestasi cacing tunggal Cooperia sp.
rakyat di Provinsi Lampung. juga disebabkan karena kandang terletak di
Infestasi tunggal cacing Paramphistomum sekitar kebun dengan berbagai macam tumbuhan.
sp. banyak ditemukan terutama pada sapi perah Menurut Nugraheni dkk. (2015), lingkungan
yang berada di Kota Bandar Lampung. Hal ini yang terdapat semak yang lebat mendukung
disebabkan karena di sekitar kandang terdapat ditemukan dan berkembangnya vektor-vektor
genangan air yang kotor. Genangan air tersebut parasit.
menyebabkan berkembangnya cacing Infestasi cacing tunggal banyak
Paramphistomum sp. yang membutuhkan inang ditemukan pada sapi perah dewasa umur 4˗˗6,5
perantara berupa siput yang banyak terdapat di tahun. Hal ini disebabkan oleh sapi perah
genangan-genangan air. dewasa memiliki riwayat penyakit cacingan
Infestasi cacing tunggal Paramphistomum sehingga memungkinkan terjadinya infestasi
sp. juga ditemukan pada 1 ekor sapi perah milik kembali atau reinfestasi. Sapi perah yang
Supriyono di Kota Metro dan 1 ekor milik terinfestasi cacing campuran juga merupakan
Sucipto di Kabupaten Lampung Barat. Menurut sapi dewasa yang berumur antara 2˗˗6,5 tahun.
Nugraheni dkk. (2015), cacing Paramphistomum Reinfestasi dapat terjadi karena lingkungan
sp. dari kelas trematoda memerlukan siput kandang yang kotor atau dengan kata lain, siklus
sebagai hospes perantara, kemudian infestasi hidup cacing tergantung pada adanya inang
pada hospes definitif terjadi pada saat ternak perantara serta kelembapan lingkungan yang
memakan rumput atau meminum air yang sesuai. Menurut Putratama (2009), kelembapan
mengandung metaserkaria cacing tersebut. lingkungan tinggi dan temperatur hangat cacing
Infestasi tunggal cacing Haemonchus sp. akan berkembang membutuhkan sekitar 7˗˗10
yang terjadi di Provinsi Lampung disebabkan hari, sedangkan jika temperatur lebih rendah
oleh siklus hidupnya bersifat langsung, tidak proses perkembangan tersebut memerlukan
membutuhkan inang perantara. Telur waktu yang lebih lama.
dikeluarkan oleh sapi bersama-sama pengeluaran Infestasi cacing terendah adalah
feses kemudian pada kondisi yang sesuai di luar kombinasi cacing Paramphistomum sp.,
tubuh hospes atau inang, telur menetas dan Haemonchus sp., dengan Mecistocirrus sp..
menjadi larva. Larva infektif menempel pada Cacing-cacing campuran tersebut menginfestasi
rumput-rumputan dan teringesti oleh ternak, 1 ekor sapi perah milik Giman di Kota Metro.
selanjutnya larva akan dewasa di abomasum Hal ini terjadi karena sapi perah digembalakan
(Whittier dkk., 2003). pada pagi hari hingga sore hari sehingga hal ini
Infestasi cacing tunggal ditemukan pada memungkinkan sapi lebih mudah terinfestasi
sapi perah di Kabupaten Lampung Barat secara cacing campuran. Menurut Putratama (2009),
berturut-turut yaitu Mecistocirrus sp. sebanyak 2 penyebaran kontaminan stadium infektif cacing
ekor, serta Oesophagostomum sp. dan saluran pencernaan berasal dari kotoran ternak
Bunostomum sp. sebanyak 1 ekor. Hal ini terinfestasi yang merumput.
disebabkan karena sanitasi dilakukan 2 kali Infestasi cacing campuran lain yaitu
sehari dan kotoran ternak hanya dibuang di kombinasi cacing Paramphistomum sp. dengan
pinggir kandang sehingga menyebabkan sapi Mecistocirrus sp. dan cacing Paramphistomum
perah mudah terinfestasi cacing. Putratama sp. dengan Haemonchus sp.. Menurut Levine
(2009) menyatakan bahwa ruminansia (1994), infestasi campuran atau tunggal sering
terinfestasi nematoda setelah menelan L3, terjadi pada sapi sehingga sulit untuk mengetahui

12
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

pengaruh khusus yang ditimbulkan. Tantri dkk. Perkembangan telur ini dapat dikatakan cukup
(2013) menambahkan bahwa infestasi yang banyak pada setiap harinya sehingga
terjadi biasanya dilakukan oleh bermacam- menyebabkan cacing Haemonchus sp. paling
macam jenis cacing yang terjadi baik pada banyak ditemukan di Provinsi Lampung.
abomasum, usus dan organ lain, sehingga Abomasum termasuk bagian perut besar,
pengaruhnya berupa kombinasi atau campuran sehingga memungkinkan telur cacing
dari parasit yang ada. Haemonchus sp. untuk berkembang lebih
Jenis cacing saluran pencernaan pada sapi banyak. Abomasum merupakan organ dalam
perah yang ditemukan di Provinsi Lampung sistem pencernaan yang mencerna makanan
terdapat 6 jenis cacing. Cacing-cacing tersebut secara kimiawi dengan bantuan enzim-enzim
berasal dari kelas nematoda sebanyak 5 cacing pencernaan.
dan trematoda sebanyak 1 cacing. Berdasarkan Cacing Paramphistomum sp. merupakan
Gambar 2 dapat diketahui bahwa cacing cacing yang berasal dari kelas trematoda dengan
Haemonchus sp. merupakan jenis cacing yang persentase tertinggi kedua yang ditemukan pada
paling banyak ditemukan di Provinsi Lampung sapi perah di Provinsi Lampung. Cacing ini
dengan persentase sebesar 40,625%. Jenis memiliki siklus hidup membutuhkan inang
cacing yang paling sedikit ditemukan di Provinsi perantara untuk dapat berkembang. Penyebab
Lampung ialah cacing Oesophagostomum sp., tingginya persentase cacing Paramphistomum sp.
Cooperia sp., dan Bunostomum sp. dengan adalah cacing berkembang di dalam rumen
persentase sebesar 3,125%. kemudian menjadi dewasa dan menggigit
mukosa rumen dan dapat bertahan hidup lama.
Horak (1967) menambahkan bahwa cacing
dewasa Paramphistomum sp. bertelur kira-kira
75 butir telur/ekor/hari.
Persentase cacing Mecistocirrus sp.
merupakan tertinggi ketiga yang ditemukan pada
sapi perah di Provinsi Lampung sebesar 12,5%.
Mecistocirrus sp. adalah cacing nematoda yang
menginfestasi abomasum sapi. Menurut Sugama
dan Suyasa (2011), spesies Mecistocirrus sp.
yang sering menginfestasi sapi adalah
Mecistocirrus digitatus, Mecistocirrus sp. jarang
ditemukan pada ruminansia kecil tetapi yang
lebih sering ditemukan adalah Haemonchus sp..
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
infestasi cacing Haemonchus sp. lebih banyak
ditemukan pada sapi perah di Provinsi Lampung
dibandingkan dengan cacing Mecistocirrus sp..
Cacing Oesophagostomum sp., Cooperia
sp., dan Bunostomum sp. memiliki persentase
terendah dari jenis cacing yang ditemukan pada
Gambar 2. Persentase masing-masing jenis sapi perah di Provinsi Lampung yaitu sebesar
cacing saluran pencernaan pada 3,13%. Ketiga cacing tersebut merupakan cacing
sapi perah yang ditemukan di yang berasal dari kelas nematoda dan memiliki
Provinsi Lampung siklus hidup yang sama, yaitu secara langsung.
Rahayu (2015) menyatakan bahwa cacing
Cacing Haemonchus sp. merupakan Oesophagostomum sp., Cooperia sp., dan
cacing dengan persentase tertinggi pertama di Bunostomum sp. berkembang di usus halus dan
Provinsi Lampung dan berasal dari kelas menginfestasi sapi secara peroral atau melalui
nematoda. Cacing ini memiliki siklus hidup mulut. Persentase rendah pada ketiga jenis
secara langsung, tidak membutuhkan inang cacing ini disebabkan karena telur cacing yang
perantara. Menurut Inanusantri (1988), cacing berkembang di usus halus sehingga
dewasa bertelur 5.000˗˗10.000 butir setiap hari di memungkinkan telur-telur tersebut mudah keluar
dalam abomasum ternak ruminansia.

13
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

bersama feses setelah dicerna di dalam Dwinata, M. I. 2004. Prevalensi Cacing


abomasum dan sedikit menginfestasi sapi perah. Nematoda pada Rusa yang Ditangkarkan.
Jurnal Veteriner. 6 (4): 151˗˗155
SIMPULAN DAN SARAN Handayani, P. 2015. Tingkat Infestasi Cacing
Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di
Simpulan Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat Pringsewu Provinsi Lampung. Skripsi.
disimpulkan bahwa Universitas Lampung. Bandar Lampung
1. Prevalensi cacing saluran pencernaan pada Horak, I.G. 1967. Host parasite relationships of
sapi perah di Provinsi Lampung adalah Paramphistomum microbothrium in
sebesar 21,60%, prevalensi tertinggi di experimentally infested ruminants with
Kota Bandar Lampung 40,00% dan particular reference to sheep.
terendah di Kabupaten Tanggamus sebesar Onderstepoort J. Vet. Res. 34: 451˗˗540
13,16%; Inanusantri. 1988. Parasit Cacing Haemonchus
2. Jenis cacing yang ditemukan pada sapi contortus (Rudolphi, 1803) pada Domba
perah di Provinsi Lampung berasal dari dan Akibat Infestasinya. Skripsi. Fakultas
kelas nematoda (Haemonchus sp. 40,625%, Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Paramphistomum sp. 37,50%, Bogor. Bogor
Mecistocirrus sp. 12,5%, serta Larsen, M. 2000. Prospect for controlling animal
Oesophagostomum sp., Cooperia sp., dan parasitic nematodes by predacious micro
Bunostomum sp. sebesar 3,125%. fungi. Parasitology. 120:121—131
Levine. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi
Saran Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof. Dr.
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil Gatut Ashadi. Gadjah Mada University
penelitian ini adalah Press. Yogyakarta
1. Peternak disarankan untuk memperbaiki Nugraheni, N., M. T. Eulis, dan H. A. Yuli.
pengolahan limbah sapi perah agar 2015. Identifikasi cacing endoparasit pada
mengurangi infestasi cacing saluran feses sapi potong sebelum dan sesudah
pencernaan serta memberikan obat cacing proses pembentukan biogas digester fixed-
secara rutin pada ternak agar dapat dome. Student e-Journals. 4 (3) : 1˗˗8
mengurangi dan memberantas infestasi Putratama, R. 2009. Hubungan Kecacingan pada
cacing; Ternak Sapi di Sekitar Taman Way
2. Pihak berwenang (Dinas Peternakan Kambas dengan Kemungkinan Kejadian
Kabupaten/Kota serta Dinas Peternakan dan Kecacingan pada Badak Sumatera
Kesehatan Hewan Provinsi Lampung) (Dicerorhinus sumatrensis) Di Suaka
diharapkan dapat memberikan penyuluhan Rhino Sumatera. Skripsi. Institut
serta pendampingan tentang cara Pertanian Bogor. Bogor
pemeliharaan sapi perah yang baik dan Rahayu, Sri. 2015. Prevalensi Nematodiasis
benar. Saluran Pencernaan pada Sapi Bali (Bos
Sondaicus) di Kecamatan Maiwa
DAFTAR PUSTAKA Kabupaten Enrekang. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Makassar
Abbasi, T., S.M. Tauseef, dan S. A. Abbasi. Rofiq, M. N., R. Susanti, dan Ning Setiati. 2014.
2012. Biogas Energy. Springer New York Jenis cacing pada feses sapi di TPA
Dordrecht Heidelberg. London Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa
Blakely, J. and D. H. Bade. 1994. The Science of Nongkosawit Semarang. Unnes J. Life
Animal Husbandry. Diterjemahkan oleh Sci. 3 (2) : 93˗˗102
Srigandono, B. Ilmu Peternakan. Edisi ke Soulsby, E. J. L. 1986. Helminths, Arthopods
4. Gadjah Mada University Press. and Protozoa of Domesticated Animal.
Yogyakarta Bailliere Tidall. London
Darmin, Suharmita. 2014. Prevalensi Sudono, A., F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan.
Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta
Universitas Hasanuddin. Makassar

14
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.

Sugama, I. N. dan I. N. Suyasa. 2011. Keragaan


infeksi parasit gastrointestinal pada Sapi
Bali model kandang simantri. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Denpasar
Suwandi. 2001. Mengenal berbagai penyakit
parasitik pada ternak. Balai Penelitian
Ternak. Bogor
Tantri, N., T. R. Setyawati, dan S. Khotimah.
2013. Prevalensi dan intensitas telur
cacing parasit pada feses sapi (Bos Sp.)
Rumah Potong Hewan (RPH) Kota
Pontianak Kalimantan Barat. Protobiont.
2 (2): 102-˗106
Wafiatiningsih dan N.R. Bariroh. 2008.
Optimalisasi penggunaan pakan berbasis
limbah sawit melalui manajemen
pengendalian nematodiasis di Kalimantan
Timur. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Kalimantan Timur. Samarinda
Whittier, W. D., A. M. Zajac, and S. M.
Umberger. 2003. Control of Internal
Parasites in Sheep. Virginia Cooperative
Extension. Blacksburg
Wiryosuhanto, S. D. dan T. N. Jacoeb. 1994.
Prospek Budidaya Ternak Sapi. Kanisius.
Yogyakarta
Zulfikar, Hambal, dan Razali. 2012. Derajat
infestasi parasit nematoda gastrointestinal
pada sapi di Aceh Bagian Tengah.
Lentera. 12 (3): 1˗˗7

15

Anda mungkin juga menyukai