ABSTRACT
Research held in dairy cattle public farm at Lampung Province on June˗˗July 2016. It is purpose to
know gastrointestinal helminths dairy cattle prevalence in public farm at Lampung Province. The research
method used was census. Data collection was done by taking all of faecal samples from 125 dairy cattles in
public farm at Lampung Province. Data were analyzed descriptively. Faecal samples examination checked
with Mc. Master and Sedimentation test. The result indicated that gastrointestinal helminths dairy cattle
prevalence at Lampung Province about 21,60%. There are 27 dairy cattles positively infested
gastrointestinal helminths. The highest prevalence found in dairy cattle in Bandar Lampung City about
40,00%, while the lowest prevalence found in dairy cattle in Tanggamus Regency about 13,16%. Helminth
species that found at Lampung Province are from nematode class (Haemonchus sp., Mecistocirrus sp.,
Oesophagostomum sp., Cooperia sp., Bunostomum sp.) and trematode class (Paramphistomum sp.).
8
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
9
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
terdapat di Kota Bandar Lampung yaitu sebesar karena sapi dewasa tidak pernah diberikan obat
40,00%, sedangkan terendah terdapat di cacing untuk memberantas infestasi yang lebih
Kabupaten Tanggamus. Perbedaan tinggi dan serius. Manajemen pengobatan ternak harus
rendahnya prevalensi tersebut disebabkan oleh diperhatikan untuk mencegah infestasi cacing
manajemen pemeliharaan sapi perah di Provinsi saluran pencernaan yang dapat merugikan
Lampung, yaitu sanitasi dan lingkungan peternak dari segi ekonomi. Menurut Rofiq dkk.
kandang, pengobatan, serta umur sapi perah. (2014), pengobatan dan antisipasi yang harus
Tingginya prevalensi cacing saluran dilakukan dengan cara memberikan antelmintik
pencernaan di Kota Bandar Lampung disebabkan secara berkala setiap 3 bulan sekali untuk
oleh banyaknya sapi perah yang berumur dewasa mengurangi perkembangbiakan cacing.
yaitu 16 ekor. Sapi perah dewasa mengalami Prevalensi terendah cacing saluran
reinfestasi cacing karena frekuensi pemberian pencernaan yang terjadi di Kabupaten
pakan hijauan yang lebih tinggi dibandingkan Tanggamus disebabkan oleh lingkungan kandang
sapi perah muda. Darmin (2014) menjelaskan yang tidak terdapat genangan air dan kandang
bahwa prevalensi paramphistomiasis lebih tidak terlalu kotor karena feses dikumpulkan di
rendah pada ternak muda karena disebabkan oleh tempat pembuangan limbah. Feses tersebut
frekuensi pemberian pakan rumput pada ternak diolah menjadi biogas yang dapat menekan
muda lebih rendah dibandingkan ternak dewasa pertumbuhan cacing. Menurut Abbasi dkk.
sehingga kemungkinan terinfestasi metaserkaria (2012), umumnya digester anaerob bekerja pada
akan lebih kecil. suhu bakteri mesofilik dengan suhu antara
20˗˗45ºC sedangkan cacing endoparasit tidak
dapat bertahan hidup pada kondisi suhu melebihi
37ºC sehingga cacing tidak dapat bertahan hidup
dan akhirnya mati.
Penyebab lain rendahnya prevalensi
cacing saluran pencernaan di Kabupaten
Tanggamus karena sapi perah diberikan obat
cacing setelah melahirkan untuk mencegah
penyakit cacingan pada sapi dewasa. Program
pencegahan dan pengendalian nematodiasis pada
sapi perlu dilakukan demi meningkatkan
kesehatan dan produktivitas ternak, salah satu
cara dengan pemberian obat cacing/antelmintika
(Larsen, 2000).
Gambar 1. Prevalensi cacing saluran pencernaan Kejadian ditemukannya cacing saluran
pada sapi perah di Provinsi Lampung pencernaan di Kota Metro disebabkan oleh
sanitasi dan lingkungan kandang yang tidak baik.
Sapi perah yang terinfestasi cacing di Sanitasi yang dilakukan di Kota Metro sebanyak
Kota Bandar Lampung disebabkan karena 2 kali sehari dan kotoran hanya dibersihkan
lingkungan kandang yang kotor, lembap, dan dengan cara membersihkan kotoran atau feses
adanya genangan air pada selokan di sekitar menggunakan sekop kemudian membuangnya ke
kandang. Hal ini menyebabkan larva cacing penampungan feses dan letaknya tidak jauh dari
infektif berkembang menjadi metaserkaria kandang. Pembersihan dengan sikat yang keras
kemudian mengontaminasi pakan dan air minum dan dibantu dengan air panas atau deterjen
yang dikonsumsi oleh sapi perah. Waktu yang sangat dianjurkan untuk dekontaminasi kandang
dibutuhkan untuk perkembangan telur menjadi dan peralatannya (Wafiatiningsih dan Bariroh,
larva infektif tergantung kondisi lingkungan, 2008).
apabila kondisi kelembaban tinggi dan Sapi perah di Kota Metro yang terinfestasi
temperatur hangat maka perkembangannya cacing saluran pencernaan ditemukan pada sapi
membutuhkan sekitar 7˗˗10 hari (Putratama, berumur muda dan dewasa. Hal ini dapat terjadi
2009). karena ketahanan tubuh pada sapi muda yang
Penyebab lain tingginya prevalensi cacing belum terbentuk. Zulfikar dkk. (2012)
saluran pencernaan di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa infestasi cacing pada
kelompok umur muda lebih tinggi dari kelompok
10
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
umur tua. Pedet akan lebih rentan terhadap Tabel 2. Data hasil pemeriksaan sapi perah yang
infestasi cacing dibanding dengan sapi dewasa terinfestasi cacing tunggal dan
hal ini berkaitan dengan belum meningkatnya campuran
sel-sel goblet dalam usus yang menghambat
pertumbuhan larva infektif parasit nematodaKode Kabupaten/
PRMP HAE MECS OSPG COO BUNO
(Soulsby, 1986). Sapi Kota
Bandar
Infestasi cacing saluran pencernaan yangKD3 Lampung
1
terjadi pada sapi perah dewasa di Kota Metro Bandar
KD10 1
disebabkan oleh pemberian obat cacing secara Lampung
tidak berkala. Hal ini dapat menyebabkanKD12 Bandar
1
Lampung
reinfestasi pada sapi perah yang pernah Bandar
terinfestasi cacing saluran pencernaan. MenurutKD16 Lampung
1
Anonim (2004) dalam Handayani (2015),KD18 Bandar
1
program pemberian antelmintika sebaiknya Lampung
Bandar
dilakukan sejak sapi baru berumur 7 hari danKD19 Lampung
1
diulang secara berkala setiap 3˗˗4 bulan sekali Bandar
KD20 1
untuk membasmi cacing secara tuntas. Lampung
Prevalensi cacing saluran pencernaan jugaSU5 Metro 1
terjadi di Kabupaten Lampung Barat karenaSU8 Metro 1
sanitasi dan lingkungan kandang yang tidak baik.
Kotoran sapi perah dibersihkan dengan caraSU9 Metro 1
11
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui sejumlah L3 tertelan ketika inang merumput,
bahwa infestasi cacing dapat dibedakan menurut selanjutnya mengalami pelepasan kutikula di
infestasi tunggal dan campuran. Infestasi cacing dalam abomasum atau usus halus.
saluran pencernaan tertinggi adalah infestasi Infestasi cacing tunggal Cooperia sp.
tunggal cacing Haemonchus sp. dan terendah ditemukan pada 1 ekor sapi perah umur 8 bulan
adalah infestasi campuran cacing di Kabupaten Tanggamus. Hal ini disebabkan
Paramphistomum sp., Haemonchus sp., dan karena umur sapi yang masih terbilang muda
Mecistocirrus sp.. Adanya infestasi cacing sehingga mudah terinfestasi telur Cooperia sp..
tunggal dan campuran disebabkan oleh Wiryosuhanto dan Jacoeb (1994) menyatakan
manajemen pemeliharaan (sanitasi kandang, bahwa penyakit endoparasit terutama cacing
lingkungan kandang, pengobatan, umur, dan menyerang hewan pada usia muda (kurang dari 1
sistem pemeliharaan) pada peternakan sapi perah tahun). Infestasi cacing tunggal Cooperia sp.
rakyat di Provinsi Lampung. juga disebabkan karena kandang terletak di
Infestasi tunggal cacing Paramphistomum sekitar kebun dengan berbagai macam tumbuhan.
sp. banyak ditemukan terutama pada sapi perah Menurut Nugraheni dkk. (2015), lingkungan
yang berada di Kota Bandar Lampung. Hal ini yang terdapat semak yang lebat mendukung
disebabkan karena di sekitar kandang terdapat ditemukan dan berkembangnya vektor-vektor
genangan air yang kotor. Genangan air tersebut parasit.
menyebabkan berkembangnya cacing Infestasi cacing tunggal banyak
Paramphistomum sp. yang membutuhkan inang ditemukan pada sapi perah dewasa umur 4˗˗6,5
perantara berupa siput yang banyak terdapat di tahun. Hal ini disebabkan oleh sapi perah
genangan-genangan air. dewasa memiliki riwayat penyakit cacingan
Infestasi cacing tunggal Paramphistomum sehingga memungkinkan terjadinya infestasi
sp. juga ditemukan pada 1 ekor sapi perah milik kembali atau reinfestasi. Sapi perah yang
Supriyono di Kota Metro dan 1 ekor milik terinfestasi cacing campuran juga merupakan
Sucipto di Kabupaten Lampung Barat. Menurut sapi dewasa yang berumur antara 2˗˗6,5 tahun.
Nugraheni dkk. (2015), cacing Paramphistomum Reinfestasi dapat terjadi karena lingkungan
sp. dari kelas trematoda memerlukan siput kandang yang kotor atau dengan kata lain, siklus
sebagai hospes perantara, kemudian infestasi hidup cacing tergantung pada adanya inang
pada hospes definitif terjadi pada saat ternak perantara serta kelembapan lingkungan yang
memakan rumput atau meminum air yang sesuai. Menurut Putratama (2009), kelembapan
mengandung metaserkaria cacing tersebut. lingkungan tinggi dan temperatur hangat cacing
Infestasi tunggal cacing Haemonchus sp. akan berkembang membutuhkan sekitar 7˗˗10
yang terjadi di Provinsi Lampung disebabkan hari, sedangkan jika temperatur lebih rendah
oleh siklus hidupnya bersifat langsung, tidak proses perkembangan tersebut memerlukan
membutuhkan inang perantara. Telur waktu yang lebih lama.
dikeluarkan oleh sapi bersama-sama pengeluaran Infestasi cacing terendah adalah
feses kemudian pada kondisi yang sesuai di luar kombinasi cacing Paramphistomum sp.,
tubuh hospes atau inang, telur menetas dan Haemonchus sp., dengan Mecistocirrus sp..
menjadi larva. Larva infektif menempel pada Cacing-cacing campuran tersebut menginfestasi
rumput-rumputan dan teringesti oleh ternak, 1 ekor sapi perah milik Giman di Kota Metro.
selanjutnya larva akan dewasa di abomasum Hal ini terjadi karena sapi perah digembalakan
(Whittier dkk., 2003). pada pagi hari hingga sore hari sehingga hal ini
Infestasi cacing tunggal ditemukan pada memungkinkan sapi lebih mudah terinfestasi
sapi perah di Kabupaten Lampung Barat secara cacing campuran. Menurut Putratama (2009),
berturut-turut yaitu Mecistocirrus sp. sebanyak 2 penyebaran kontaminan stadium infektif cacing
ekor, serta Oesophagostomum sp. dan saluran pencernaan berasal dari kotoran ternak
Bunostomum sp. sebanyak 1 ekor. Hal ini terinfestasi yang merumput.
disebabkan karena sanitasi dilakukan 2 kali Infestasi cacing campuran lain yaitu
sehari dan kotoran ternak hanya dibuang di kombinasi cacing Paramphistomum sp. dengan
pinggir kandang sehingga menyebabkan sapi Mecistocirrus sp. dan cacing Paramphistomum
perah mudah terinfestasi cacing. Putratama sp. dengan Haemonchus sp.. Menurut Levine
(2009) menyatakan bahwa ruminansia (1994), infestasi campuran atau tunggal sering
terinfestasi nematoda setelah menelan L3, terjadi pada sapi sehingga sulit untuk mengetahui
12
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
pengaruh khusus yang ditimbulkan. Tantri dkk. Perkembangan telur ini dapat dikatakan cukup
(2013) menambahkan bahwa infestasi yang banyak pada setiap harinya sehingga
terjadi biasanya dilakukan oleh bermacam- menyebabkan cacing Haemonchus sp. paling
macam jenis cacing yang terjadi baik pada banyak ditemukan di Provinsi Lampung.
abomasum, usus dan organ lain, sehingga Abomasum termasuk bagian perut besar,
pengaruhnya berupa kombinasi atau campuran sehingga memungkinkan telur cacing
dari parasit yang ada. Haemonchus sp. untuk berkembang lebih
Jenis cacing saluran pencernaan pada sapi banyak. Abomasum merupakan organ dalam
perah yang ditemukan di Provinsi Lampung sistem pencernaan yang mencerna makanan
terdapat 6 jenis cacing. Cacing-cacing tersebut secara kimiawi dengan bantuan enzim-enzim
berasal dari kelas nematoda sebanyak 5 cacing pencernaan.
dan trematoda sebanyak 1 cacing. Berdasarkan Cacing Paramphistomum sp. merupakan
Gambar 2 dapat diketahui bahwa cacing cacing yang berasal dari kelas trematoda dengan
Haemonchus sp. merupakan jenis cacing yang persentase tertinggi kedua yang ditemukan pada
paling banyak ditemukan di Provinsi Lampung sapi perah di Provinsi Lampung. Cacing ini
dengan persentase sebesar 40,625%. Jenis memiliki siklus hidup membutuhkan inang
cacing yang paling sedikit ditemukan di Provinsi perantara untuk dapat berkembang. Penyebab
Lampung ialah cacing Oesophagostomum sp., tingginya persentase cacing Paramphistomum sp.
Cooperia sp., dan Bunostomum sp. dengan adalah cacing berkembang di dalam rumen
persentase sebesar 3,125%. kemudian menjadi dewasa dan menggigit
mukosa rumen dan dapat bertahan hidup lama.
Horak (1967) menambahkan bahwa cacing
dewasa Paramphistomum sp. bertelur kira-kira
75 butir telur/ekor/hari.
Persentase cacing Mecistocirrus sp.
merupakan tertinggi ketiga yang ditemukan pada
sapi perah di Provinsi Lampung sebesar 12,5%.
Mecistocirrus sp. adalah cacing nematoda yang
menginfestasi abomasum sapi. Menurut Sugama
dan Suyasa (2011), spesies Mecistocirrus sp.
yang sering menginfestasi sapi adalah
Mecistocirrus digitatus, Mecistocirrus sp. jarang
ditemukan pada ruminansia kecil tetapi yang
lebih sering ditemukan adalah Haemonchus sp..
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
infestasi cacing Haemonchus sp. lebih banyak
ditemukan pada sapi perah di Provinsi Lampung
dibandingkan dengan cacing Mecistocirrus sp..
Cacing Oesophagostomum sp., Cooperia
sp., dan Bunostomum sp. memiliki persentase
terendah dari jenis cacing yang ditemukan pada
Gambar 2. Persentase masing-masing jenis sapi perah di Provinsi Lampung yaitu sebesar
cacing saluran pencernaan pada 3,13%. Ketiga cacing tersebut merupakan cacing
sapi perah yang ditemukan di yang berasal dari kelas nematoda dan memiliki
Provinsi Lampung siklus hidup yang sama, yaitu secara langsung.
Rahayu (2015) menyatakan bahwa cacing
Cacing Haemonchus sp. merupakan Oesophagostomum sp., Cooperia sp., dan
cacing dengan persentase tertinggi pertama di Bunostomum sp. berkembang di usus halus dan
Provinsi Lampung dan berasal dari kelas menginfestasi sapi secara peroral atau melalui
nematoda. Cacing ini memiliki siklus hidup mulut. Persentase rendah pada ketiga jenis
secara langsung, tidak membutuhkan inang cacing ini disebabkan karena telur cacing yang
perantara. Menurut Inanusantri (1988), cacing berkembang di usus halus sehingga
dewasa bertelur 5.000˗˗10.000 butir setiap hari di memungkinkan telur-telur tersebut mudah keluar
dalam abomasum ternak ruminansia.
13
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
14
Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8 - 15, April 2017 Hindun Larasati et. al.
15