Anda di halaman 1dari 43

1

SEMINAR KASUS KEPERAWATAN STASE KRITIS


ASUHAN KEPERAWATAN PADA “Sdr. Nn”  DENGAN
DIAGNOSA
MEDIS CIDERA OTAK BERAT (COB) DI RUANG ROI IGD LT. 3
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

Disusun Oleh:

Zulfa Suhailah 131823143004

Mohammad Dheni Ardhiyanto 131823143008

 Nurul Yuniarsih 131823143016

 Nova anika 131823143017

Melan Apriyaty Simbolan 131823143070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Seminar kasus Keperawatan Kritis Progam Studi Pendidikan


Profesi (P3N) Angkatan B20 Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya di Ruang Roi lantai 3 rsud dr.soetomo telah dilaksanakan sebagai laporan
seminar kasus atas nama :

1.  Zulfa Suhailah 131823143004


2.  Mohammad Dheni Ardhiyanto 131823143008
3.   Nurul Yuniarsih 131823143016
4.   Nova anika 131823143017
5.  Melan Apriyaty Simbolan 131823143070

Surabaya, September 2019


Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Harmayetti, S.Kp.,M.Kep Diah Retno Ambarwati. S.Kep.Ns


197004102000122001 197310201997932002

Mengetahui,
Kepala Ruangan Roi

 Nurul Hidayati. S.Kep.Ns


196910301993032006
3

DAFTAR ISI

Cover ..................................................................................................................................

Lembar Pengesahan .............................................................................................................

Daftar Isi ..............................................................................................................................

BAB 1 : PENDAHULUAN...................................................................................................4

1.1 Latar Belakang....................................................................................................4

1.2 Rumusan masalah...............................................................................................6

1.3 Tujuan................................................................................................................. 6

1.4 Manfaat`.............................................................................................................. 6

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................8

2.1 Definisi................................................................................................................8

2.2 Anatomi Fisiologi Sistem...................................................................................8

2.3 Etiologi................................................................................................................9

2.4 Patofisiologi........................................................................................................ 10
2.5 Manifestasi Klini.................................................................................................11

2.6 Mekanisme Cedera.............................................................................................11

2.7 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................12

2.8 Komplikasi.......................................................................................................... 13

2.9 Penatalaksanaan.................................................................................................. 14

2.10 WOC................................................................................................................ 15

BAB III : TINJAUAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS..............................19

BAB IV : PEMBAHASAN....................................................................................................43

BAB V : PENUTUP

5.1 Kesumpulan........................................................................................................51

5.2 Saran...................................................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 53
4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Transportasi di Indonesia terus mengalami perkembangan, Masyarakat

moderen menempatkan trasportasi sebagai kebutuhan sekunder yang utama.

Meningkatnya jumlah serta jenis kendaraan bermotor, dalam hal ini berdampak

 pada meningkatnya kecelakaan kendaraan bermotor, yang menimbulkan

kecacatan, dan kematian pada usia kelompok produktif (Domili, 2015). Salah

satu akibat dari kecelakaan, yaitu terjadinya cidera kepala. Menurut Batticaca

(2008), Cidera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik,

trauma tumpul maupun tajam. Cidera kepala adalah satu diantara kebanyakan

 bahaya yang dapat menimbulkan kematian dan kecacatan pada manusia. Cedera

otak merupakan penyebab hampir setengah dari seluruh kematian akibat

trauma di Indonesia (Satyanegara, 2014).

Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO), Korban

meninggal akibat kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 1,2 juta jiwa dan

korban luka-luka atau cacat lebih dari 30 juta per tahun, 50% dengan cidera

kepala di Amerika kurang lebih 348,934 orang yang menderita. Tahun 2013

sampai 2014 sebanyak 566 penderita setiap 100.000 populasi (Headway,2016).

Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas tahun 2012 sampai 2013 terjadi 9.884

kasus kecelakaan lalu lintas dengam prosentase korban cidera kepala 14%

(Wahyudi et al, 2014). Di Provinsi jawa timur pada tahun 2012 jumlah

kecelakaan 29.730 kasus dari jumlah tersebut tercatat secara nasional korban
dengan cidera kepala sebanyak 6% di RSUD Dr Soetomo (Unairnews, 2016).

Di ruang IRD-ROI di dapat Penyebab cedera otak berat ini adalah kecelakaan

lalu lintas sebesar 100% (Riskha, 2015).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan


utama. Pertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah

otak telah atau tidak mengalami cedera. Kejadian cedera minor dapat

menyebabkan kerusakan otak bermakna. Cedera kepala akan memberikan

gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada

organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur anatomic dan fisiologik

dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan padat

yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan syaraf, pembuluh darah dan tulang

(Domili, 2015).

Pengendalian tekanan intrakranial dan evakuasi perdarahan dalam empat

 jam pertama pasca trauma memiliki peran penting dalam penurunan angka

kesakitan dan kematian pada pasien cedera kepala dengan perdarahan

intracranial (Christanto dkk, 2015). Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan

glukosa sampai derajat tertentu. Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah

terus-menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak dan sel-sel mati

tidak dapat pulih diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya

 beberapa menit saja, Kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Kecepatan waktu tanggap penanganan awal pasien dengan cedera kepala sangat

mempengaruhi tingkat kerusakan otak (Domili, 2015). Asuhan keperawatan

yang cermat dan sistematis dibutuhkan dalam menolong pasien dengan cedera

otak berat (COB), berdasarkan hal tersebut makalah ini disusun untuk
mengetahui asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien cedera otak berat

di ruang IRD-ROI lt 3 RSUD DR Soetomo.

1.2 Rumusan masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien COB di Ruang IRD-ROI lt 3


RSUD DR Soetomo?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Setelahrosespembelajarandiharapkanmahasiswamampu

melakukan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien dengan Cedera

otak berat (COB).

Tujuan Khusus

  Menjelaskan konsep Cedera Otak Berat

  Menguraikan asuhan keperawatan pada pasien COB di ruang IRD-

ROI lt 3 RSUD DR Soetomo

3)  Mejelaskan pembahasan mengenai asuhan keperawatan pada pasien

dengan COB

 Manfaat

 Manfaat Teoritis

Hasil makalah ini dapat dijadikan bahan pengembangan ilmu

keperawatan khususnya keperawatan kritis pada pasien dengan COB

1.4.2 Manfaat Praktis

Menambah wawasan bagi profesi keperawatan dalam memberikan

asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan COB.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Cidera Otak Berat

2.1.1 Definisi

Trauma kepala berat adalah trauma kepala yang mengakibatkan

 penurunan kesadaran dengan skor GCS 3-8, mengalami amnesia > 24 jam

(Haddad, 2012) Menurut Brain Injury Association Of America (2009), trauma

kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital atau

degenerative, tetapi disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang dapat

mengakibatkan kerusakan kemampuan kognitif maupun fisik.

Trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik
trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena

robekanya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik,

serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).

2.1.2 Anatomi Fisiologi Sistem

1.   Anatomi

Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang, masing-masing tulang

kecuali mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh selapis tipis

 jaringan fibrosa yang mengunci piringan tulang yang bergerigi. Sutura

mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap tengkorak,

 permukaan luar dan dalam dibentuk oleh tulang padat dengan lapisan

spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya. Terdapat variasi yang

cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak antar individu. Tengkorak


 paling tebal dilindungi oleh otot. (Westmoreland, 1994). Jenis-jenis Tulang

tengkorak: Os Frontale, Os Parietal dextra dan sinistra, Os Occipital, Os

Temporal dextra dan sinistra, Os Ethmoidale, Os spenoidale, Maxila,

Mandibula, Os Zigomatikum dextra dan sinistra, Os Platinum dextra dan

sinistra, Os Nasal dextra dan sinistra, Os Lacrimale dextra dan sinistra,

Vomer, Concha dextra dan sinistra.

2.   Fisiologi

Fungsi tengkorak (Westmoreland, 1994) adalah:

a.  Melindungi otak, indra penglihatan dan indra pendengaran

 b.  Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala

c.  Sebagai tempat penyangga gigi

2.1.3   Etiologi

Trauma kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa, diantaranya:

a.  Kecelakaan lalu lintas.

 b.  Benturan pada kepala.

c.   Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.

d.   Menyelam di tempat yang dalam.

e.   Olahraga yang keras.

Cedera pada trauma capitis dapat terjadi akibat tenaga dari luar

(Arif Musttaqin, 2008) berupa:

a.  Benturan/jatuh karena kecelakaan


 b.  Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan

ledakan panas. Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera

muskuloskeletal dan kerusakan organ.

2.1.4   Patofisiologi

Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala

ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan

regulasi peredaran darah serta metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini

menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis

anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah

diikuti dengan pembentukan edema. Akibat berlangsungnya metabolism

anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energy yang turut menyebabkan

kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat energy-dependent

(Werner dan Engelhard, 2007). Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi

membrane terminal yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter

eksitatori (glutamate dan asparat) yang berlebihan (Werner dan Engelhard,

2007).

Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu

cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer

merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat

kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada

cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya

akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.


Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada

epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan

durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang

antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah

 berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita

cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika

terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir

 pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007).

2.1.5   Manifestasi Klinik

Tanda gejala pada Cidera Otak Berat adalah:

1.   Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

2.  Kebingungan

3.  Iritabel

4.  Pucat

5.  Mual dan muntah

6.  Pusing kepala

7.  Terdapat hematoma

8.  Kecemasan

9.   Sukar untuk dibangunkan

10.  Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung

(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

2.1.6   Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera /trauma kepala, meliputi:


1.   Akselerasi

Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya

 pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.

2.   Deselerasi

Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya pada

kepala yang menabrak dinding.

3.   Deformitas

Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,

contoh adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi, ketegangan atau

 pemotongan pada jaringan otak

2.1.7   Pemeriksaan penunjang

1.   Foto polos kepala

Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm,

luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi),

nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.

2.   CT-Scan

Indikasi CT-Scan adalah:

a.   Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat-obatan analgesia.

 b.  Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada

lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.


c.   Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena syok, febris,

dll).

d.   Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

e.   Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

f.   Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS

(Sthavira, 2012).

3.   Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental

yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih sensitive

daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non

hemoragig cedera aksonal.

4.   X-Ray

X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),

 perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad,

2011).

5.   BGA ( Blood Gas Analyze)

Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan

tekanan intra kranial (TIK).

6.   Kadar elektrolit

Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan tekanan

intra kranial (Musliha, 2010).


2.1.8   Komplikasi

Komplikasi trauma kepala berat dapat meliputi :

1.  Perdarahan intra cranial

2.   Kejang

3.   Parese saraf cranial

4.   Meningitis atau abses otak

5.  Infeksi

6.   Edema cerebri

7.   Kebocoran cairan serobospinal

2.1.9 Penatalaksanaan

1.   Resusitasi jantung paru (circulation, airway, breathing = CAB) Pasien dengan

trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat

gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu urutan tindakan yang benar adalah:

a.  Sirkulasi (circulation)

Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan

sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat perdarahan luar,

ruptur organ dalam, trauma dada disertai temponade jantung atau

 pneumotoraks dan syok septic. Tindakan adalah menghentikan perdarahan,

 perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma

atau darah.

 b.  Jalan nafas (airway)

Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala

ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway (OPA) atau pipa

endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindarkan

aspirasi muntahan

c.  Pernafasan (breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan perifer.

Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata,

 pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenic hyperventilation.

Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,

infeksi. Gangguan pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.

Tindakan dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan

kalau perlu memakai ventilator.

2.   Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan atas


 patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”(Arif Muttaqin 2008),

yakni:

a.  Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya

obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan :

suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila

 perlu, merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema

cerebri.

 b.  Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,

leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun

mencirikan adanya suatu peningkatan tekanan intracranial, sebaliknya tekanan

darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok
hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi.

c.  Brain

Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan

verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan

kiranya perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran,

 bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.

d.  Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat

 bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk

mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.

e.  Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila produksi urine

tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan tekanan intra cranial

(TIK).

f.  Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.

2.2   Konsep Ventilasi Mekanik

2.2.3  Definisi

Ventilasi merupakan proses perpindahan udara dari lingkungan luar

tubuh ke dalam paru-paru. Respirasi merupakan proses pertukaran gas O2

dan CO2 yang terjadi di alveolus dalam paru-paru. Alveolus merupakan

kantong udara di ujung percabangan bronkus dalam paru-paru. O2 berdifusi

melalui dinding alveolus menembus pembuluh darah dan CO2 berdifusi ke

luar pembuluh darah..


Diafragma adalah otot utama untuk inspirasi, bersama dengan otot

interkosta. Ketika otot-otot pernapasan mengalami paralisis, bernapas

menjadi sulit bahkan tidak mungkin. Ventilasi mekanik mengambil alih

 proses ventilasi dan memudahkan pernapasan dengan membantu otot

 pernapasan yang mengalami paralisis. Otot abdomen juga penting dalam

 proses ekspirasi dan batuk. Otot ekspirasi pernapasan yang lemah

menghasilkan batuk yang lemah juga ketidakmampuan pengeluaran sekret

yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan penumonia

(International Ventilator Users Network, 2014).

Ventilator, dikenal juga dengan istilah respirator, merupakan alat

 bantu mekanik yang mempertahankan udara dapat mengalir ke dalam paru-

 paru. Banyak orang mengenal penggunaaan ventilator pada rumah sakit,

sepeti di ICU, dimana penggunaan ventilator akut dan kompleks banyak

dijumpai.

Ventilasi mekanik rutin diperlukan pada pasien dewasa kritis di unit

 perawatan intensif. Tujuan utama penggunaan ventilator mekanik adalah

untuk menormalkan kadar gas darah arteri dan keseimbangan asam basa

dengan memberi ventilasi adekuat dan oksigenasi. (Grossbach, 2011).

Ventilasi mekanik memiliki prinsip yang berlawanan dengan

fisiologi ventilasi, yaitu dengan menghasilkan tekanan positif sebagai

 pengganti tekanan negatif untuk mengembangkan paru-paru.

2.2.4   Tipe Ventilator

Menurut West (2003), ventilator dibagi atas tiga jenis:


1)   Ventilator Volume-Konstan

Ventilator ini memberikan gas dalam volume yang diatur sebelumnya

kepada pasien, biasanya melalui piston pengatur bermotor dalam sebuah

silinder atau peniup bermotor. Curah dan frekuensi pompa dapat disesuaikan

untuk memberi ventilasi yang diperlukan. Rasio inspirasi terhadap waktu

ekspirasi dapat dikendalikan oleh mekanisme kenop khusus. Oksigen dapat

ditambahkan ke udara inspirasi sesuai keperluan, dan sebuah pelembab

dimasukkan dalam sirkuit.

Ventilator volume-konstan adalah mesin kuat dan dapat diandalkan

yang cocok untuk ventilasi jangka lama. Alat ini banyak digunakan dalam

anestesia. Alat ini memiliki keuntungan dapat mengetahui volume yang


diberikan ke pasien walaupun terjadi perubahan sifat elastik paru atau dinding

dada maupun peningkatan resistensi jalan napas. Kekurangannya adalah dapat

terjadi tekanan tinggi. Akan tetapi, dalam praktik sebuah katup pengaman

aliran mencegah tekanan mencapai tingkat berbahaya. Memperkirakan

ventilasi pasien dari volume stroke dan frekuensi pompa dapat menyebabkan

kesalahan penting karena kompresibilitas gas dan kebocoran, dan lebih baik

mengukur ventilasi ekspirasi dengan spirometer.

2)   Ventilator Tekanan-Konstan

Ventilator ini memberi gas pada tekanan yang diatur sebelumnya dan

merupakan mesin yang kecil dan relatif tidak mahal. Alat ini tidak memerlukan

tenaga listrik, tetapi bekerja dari sumber gas terkompresi bertekanan minimal

50 pon/inci persegi. Kekurangan utamanya, yaitu jika digunakan sebagai

metode tunggal ventilasi, volume gas yang diberikan dipengaruhi perubahan


komplians paru atau dinding dada. Peningkatan resistensi jalan napas juga

dapat mengurangi ventilasi karena mungkin tidak cukup waktu untuk

menyeimbangkan tekanan yang terjadi antara mesin dan alveoli. Oleh karena

itu, volume ekspirasi harus dipantau. Ini sulit pada beberapa ventilator.

Kekurangan lain ventilator tekanan-konstan adalah konsentrasi oksigen

inspirasinya bervariasi sesuai kecepatan aliran inspirasi.

Ventilator tekanan-konstan kini terutama digunakan untuk “ventilasi

 bantuan-tekanan”, yaitu membantu pasien yang diintubasi mengatasi

 peningkatan kerja napas yang terjadi karena slang endotrakeal yang relatif

sempit. Pemakaian dengan cara ini berguna untuk melepaskan pasien dari

ventilator, yaitu peralihan dari ventilasi mekanik ke ventilasi spontan.


3)   Ventilator Tangki

Ventilator tipe 1 dan 2 adalah ventilator tekanan-positif karena

memberi tekanan positif ke jalan napas. Sebaliknya, respirator tangki memberi

tekanan negatif (kurang dari atmosferik) ke luar dada dan tubuh lain, kecuali

kepala. Ventilator tangki terdiri dari sebuah kotak kaku (“paru besi”) yang

dihubungkan dengan pompa bervolume besar, bertekanan rendah yang

mengendalikan siklus

 pernapasan.

Ventilator tangki tidak lagi digunakan dalam penanganan gagal napas

akut karena membatasi akses ke pasien, ukuran besar, dan tidak nyaman. Alat

ini dipergunakan secara luas untuk ventilasi pasien dengan penyakit

neuromuskular kronik yang perlu diventilasi selama berbulanbulan atau

 bertahun-tahun. Sebuah modifikasi ventilator tangki adalah perisai yang pas di

atas toraks dan abdomen serta menghasilkan tekanan negatif. Ini biasanya
dicadangkan bagi pasien yang sudah sembuh parsial dari gagal napas

neuromuskular.

4)    Patient-Cycled Ventilators 

Pada ventilator ini, fase inspirasi dapat dipicu oleh pasien ketika ia

melakukan upaya inspirasi. Istilah “ventilasi bantuan” terkadang diberikan

untuk cara kerja ini. Banyak ventilasi tekanan-konstan memiliki kemampuan

ini. Ventilator ini berguna pada terapi pasien yang sembuh dari gagal napas

dan

sedang dilepas dari penggunaan ventilasi terkendali.

2.2.5   Pola Ventilasi

Menurut West (2003), pola ventilasi dibagi menjadi:

1)    Intermittent Posiive Pressure Ventilation (IPPV) 


 Intermittent Positive Pressure Ventilation (IPPV)  terkadang disebut

 pernapasan tekanan positif intermiten (Intermitten Positive Pressure

Breathing/IPPB) dan merupakan pola umum berupa pengembangan paru oleh

 penerapan tekanan positif ke jalan napas dan dapat mengempis secara pasif

 pada FRC. Dengan ventilator modern, variabel utama yang dapat dikendalikan

meliputi volume tidal, frekuensi napas, durasi inspirasi versus ekspirasi,

kecepatan aliran inspirasi, dan konsentrasi oksigen inspirasi.

Pada pasien dengan obstruksi jalan napas, perpanjangan waktu

ekspirasi memiliki keuntungan karena daerah paru dengan konstan waktu yang

lama akan memiliki waktu untuk mengosongkan diri. Di sisi lain, tekanan jalan

napas positif yang lama dapat mengganggu aliran balik vena ke toraks.

Umumnya, dipilih frekuensi yang relatif rendah dan waktu ekspirasi yang lebih
 besar dari inspirasi, tetapi setiap pasien memerlukan perhatian yang berbeda-

 beda.

2)    Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) 

Pada pasien ARDS, perbaikan PO2 arterial yang besar sering kali dapat

dicapai dengan mempertahankan tekanan jalan napas positif yang kecil pada

akhir ekspirasi. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat. Akan tetapi,

tekanan setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala digunakan. Katup khusus

tersedia untuk memberi tekanan. Keuntungan PEEP adalah alat ini

memungkinkan konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi

risiko toksisitas oksigen.

Beberapa mekanisme mungkin berperan pada peningkatan PO2 arterial


yang dihasilkan dari PEEP. Tekanan positif meningkatkan FRC, yang

tipikalnya kecil pada pasien ini karena pengingkatan rekoil elastik paru.

Volume paru yang kecil menyebaban penutupan jalan napas dan ventilasi

intermiten (atau tidak ada ventilasi sama sekali) di beberapa daerah, terutama

di daerah dependen, dan absorpsi atelektasis. PEEP cenderung membalikkan

 perubahan ini. Pasien dengan edema jalan napasnya juga mendapat

keuntungan, mungkin karena cairan bregeser ke dalam jalan napas perifer kecil

atau alveoli, memungkinkan beberapa daerah paru diventilasi ulang.

Tabel 2.1 Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)

  Sering berguna untuk meningkatkan PO2 arterial pada pasien dengan

gagal napas

   Nilai 5-20 cm H2 lazim dipakai


 Memungkinkan konsentrasi O2 inspirasi menurun



  Dapat menurunkan curah jantung dengan menghambat aliran balik vena

  PEEP tingkat tinggi dapat merusak kapiler paru 

(Sumber: Patofisiologi Paru Esensial Edisi 6, 2003)

Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO2

arteri, bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin meliputi: 1) curah

 jantung sangat menurun, yang menurunkan PO2 dalam darah vena campuran

dan PO2; 2) penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena peningkatan

ruang mati dan ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3) peningkatan aliran

darah dari daerah berventilasi ke tidak berventilasi oleh peningkatan tekanan

 jalan napas. Akan tetapi, efek PEEP membahayakan ini pada PO2 ini jarang

terjadi.

PEEP cenderung menurunkan curah jantung dengan menghambat

aliran balik vena ke toraks, terutama jika volume darah yang bersirkulasi

menurun karena perdarahan atau syok. Oleh karena itu, nilainya tidak boleh

diukur dari efeknya pada PO2 arteri saja, tetapi bersamaan dengan jumlah total

oksigen yang dikirim ke jaringan. Hasil dari konsentrasi oksigen arterial dan

curah jantung merupakan indeks yang berguna karena perubahan padanya akan
mengubah PO2 darah vena campuran dan kemudian PO2 banyak jaringan.

Beberapa dokter menggunakan kadar PO2 dalam darah vena campuran sebagai

 panduan untuk tingkat optimal PEEP.

Dalam keadaan tertentu, pemasangan PEEP menyebabkan penurunan

seluruh konsumsi oksigen pasien. Konsumsi oksigen menurun karena perfusi


di beberapa jaringan sangat marginal sehingga jika aliran darahnya menurun

lagi, jaringan tidak dapat mengambil oksigen dan mungkin mati perlahan.

Bahaya PEEP tingkat tinggi yang lain adalah kerusakan pada kapiler

 paru akibat regangan tinggi pada dinding alveolar. Dinding alveolar dapat

dianggap sebagai benang kapiler. Tegangan tingkat tinggi meningkatkan stres

 pada dinding kapiler yang menyebabkan robekan pada epitel alveolar, endotel

kapiler, atau semua lapisan dinding.

3)   Continious Positive Airway Pressure (CPAP)

Beberapa pasien yang sedang disapih dari ventilator bernapas spontan,

tetapi masih diintubasi. Pasien demikian mendapat keuntungan dari tekanan

 positif yang diberikan kontinu ke jalan napas melalui sistem katup pada

ventilator. Perbaikan oksigenasi dihasilkan dari mekanisme yang sama seperti

PEEP. Suatu bentuk CPAP telah digunakan secara sukses dalam ARDS.

CPAP

 bentuk lain berguna untuk menangani gangguan pernapasan saat tidur yang

disebabkan oleh obstruksi jalan napas atas. Di sini, peningkatan tekanan

diberikan melalui masker wajah yang dipakai sepanjang malam.

4)    Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)

Ini merupakan modifikasi IPPV, yaitu pemberian volume tidal besar

 pada interval yang relatif jarang kepada pasien diintubasi yang bernapas

spontan. IMV sering dikombinasi dengan PEEP atau CPAP. Pola ini berguna

untuk menyapih ventilator dari pasien, dan mencegah oklusi jalan napas atas

 pada apnea tidur obstruktif dengan menggunakan CPAP nasal pada malam

hari.
5)   Ventilasi Frekuensi Tinggi

Gas darah dapat dipertahankan normal dengan ventilasi tekanan positif

 berfrekuensi tinggi (sekitar 20 siklus/detik) dengan volume sekuncup yang

rendah (50-100 ml). Paru digetarkan bukan dikembangkan seperti cara

konvensional, dan transpor gas terjadi melalui kombinasi difusi dan konveksi.

Salah satu pemakaiannya adalah pada pasien yang mengalami kebocoran gas

dari paru melalui fistula bronkopleura.

2.2.6   Efek Fisiologik pada Ventilasi Mekanik

1)   Penurunan PCO2 Arteri

Hubungan antara PCO2 arterial dan ventilasi alveolar pada paru normal

dinyatalkan dalam persamaan berikut:

PCO2 = VCO2 K  


V A 
dengan K sebagai konstanta. Pada paru berpenyakit, penyebut VA dalam

 persamaan ini kurang dari ventilasi yang masuk ke alveoli karena adanya

ruang mati alveolar, yaitu alveoli tidak berperfusi atau alveoli dengan rasio

ventilasi-perfusi tinggi.

Ada beberapa alasan mengapa ventilasi tekanan-positif meningkatkan

ruang mati. Pertama, volume paru biasanya meningkat, terutama jika

ditambah dengan PEEP, dan traksi radial pada jalan napas yang dihasilkan

meningkatkan ruang mati anatomik. Kemudian, tekanan jalan napas yang

meningkat itu cenderung mengalihkan aliran darah dari daerah yang

 berventilasi sehingga menyebabkan daerah dengan rasio ventilasi-perfusi

tinggi atau bahkan daerah tidak berperfusi. Ini khususnya terjadi di daerah
 paru paling atas yang memiliki tekanan arteri pulmonal yang relatif rendah

karena efek hidrostatik. Tentu, jika tekanan dalam kapiler turun di bawah

tekanan jalan napas, kapiler dapat kolaps seluruhnya, menyebabkan paru

tidak berperfusi. Kolaps ini didukung oleh dua faktor: 1) tekanan jalan

napas yang abnormal tinggi dan 2) penurunan aliran balik vena dan diikuti

oleh hipoperfusi paru. Faktor yang terakhir lebih mungkin jika terjadi

penurunan volume darah yang bersirkulasi.

Kecenderungan PCO2 arterial meningkat akibat peningkatan ruang

mati dapat diatasi dengan mengatur ulang ventilator untuk meningkatkan

ventilasi total. Dalam praktik, banyak pasien yang diventilasi secara

mekanik mengalami PCO2 arteri abnormal rendah karena diventilasi

 berlebihan. PCO2 arteri yang terlalu rendah perlu dihindari karena hal ini

mengurangi aliran darah serebral sehingga menyebabkan hipoksia serebral.

Bahaya lain ventilasi berlebihan pada pasien dengan retensi CO2 adalah

kalium serum yang rendah, yang mencetuskan irama jantung abnormal.

Ketika CO2 ditahan, kalium bergerak keluar sel ke dalam plasma dan

diekskresi oleh ginjal. Jika PCO2 berkurang dengan cepat, kalium kembali

masuk ke dalam sel sehingga mengurangi plasma.

2)   Peningkatan PO2 Arteri

Pada beberapa pasien gagal napas, PCO2 arterinya sering tidak

meningkat dan tujuan ventilasi mekanik adalah meningkatkan PO2. Dalam

 praktik, pasien seperti ini selalu diventilasi dengan yang diperkaya oksigen,

dan kombinasi ini biasanya efektif untuk mengurangi hipoksemia.

Konsentrasi oksigen inspirasi idealnya harus cukup untuk meningkatkan


PO2 arteri paling tidak menjadi 60 mmHg, tetapi konsenrasi inspirasi yang

terlalu tinggi perlu dihindari karena bahaya toksisitas oksigen dan

atelektasis.

3)   Efek pada Aliran Balik Vena

Ventilasi mekanik cenderung mengganggu kembalinya darah ke dalam

toraks sehingga mengurangi curah jatung. Pada pasien yang terlentang

relaks, kembalinya darah ke toraks bergantung pada perbedaan antara

tekanan vena perifer dan tekanan intratoraks rata-rata. Jika tekanan jalan

napas ditingkatkan oleh ventilator, tekanan intratoraks rata-rata meningkat

dan menghambat aliran balik vena. Bahkan, jika tekanan jalan napas tetap

sesuai atmosfer, aliran balik vena cenderung turun karena tekanan vena

 prifer dikurangi oleh tekanan negatid. Aliran balik vena hampir tidak

terpengaruh hanya pada respirator perisai (cuirass).

Efek ventilasi tekanan-positif pada aliran balik vena bergantung pada

 besar dan durasi tekanan inspirasi dan khususnya, penambahan PEEP. Pola

ideal dari titik tolak ini adalah fase inspirasi pendek dengan tekanan yang

relatif rendah diikuti oleh fase ekspirasi yang panjang serta tekanan

ekspirasi akhir menjadi nol. Namun, pola seperti itu mendukung volume

 paru yang rendah dan mengakibatkan hipoksemia sehingga umumnya perlu

dipertimbangkan.

Determinan penting pada aliran balik vena adalah besarnya volume

darah yang bersirkulasi. Jika hal ini berkurang, misalnya karena perdarahan

atau syok, ventilasi tekanan-positif sering menyebabkan curah jantung

sangat menurun dan terjadi hipotensi sistemik. Oleh karena itu, deplesi
volume harus dikoreksi dengan penggantian cairan yang sesuai. Tekanan

vena sentral sering dipantau sebagai panduan, tetapi sebaiknya berdasarkan

dengan tekanan jalan napas. Tekanan jalan napas positif sendiri

meningkatkan tekanan vena sentral. Faktor lain yang sering menyebabkan

turunnya curah jantung selama ventilasi mekanik adalah hipokapnia yang

disebabkan ventilasi berlebihan.

2.2.7   Indikasi Pemasangan Ventilasi Mekanik

Adapun indikasi pemasangan ventilasi mekanik dibagi atas:

Tabel 2.2 Indikasi untuk ventilasi atau bantuan mekanis pada orangdewasa

 Pembedahan   Kerusakan pada spinalis servikal

   Anestesi umum dengan blokade di atas C4 

neuromuscular   Fraktur leher

 Penatalaksanaan pascaoperasi bedah


mayor

 Depresi pusat respirasi  Gangguan neuromuskular  –  bila

 PaCO2 >7-8 kPa (50-60 mmHg) vc <20-30 ml/kg

  Cedera kepala   Guillain-Barré

  Overdosis obat (opiat, barbiturat)   Miastenia gravis

  Peningkatan tekanan intrakranial:   Poliomielitis

 perdarahan   Polineuritis

serebral/tumor/meningitis/ensefalitis

  Status epilepticus

 Penyakit paru  Gangguan dinding dada 

 Pneumonia
  Kifoskoliosis

 Sindrom gawat napas akut (ARDS)  Trauma: terutama flail

  Serangan asma berat segment (fraktur banyak iga

 

Eksaserbasi akut PPOK, fibrosis → potongan dinding dada

yang tidak menempel)


kistik
 

Trauma-kontusio paru  Lain-lain 

 Edema paru

  Henti jantung

  Syok sirkulasi berat

  Hipoksia resisten pada

gagal napas tipe 1

(berkurangnya oksigen)

(Sumber: At a Glance Sistem Respirasi, 2008)

2.2.8   Komplikasi

Tabel 2.3 Komplikasi Pemasangan Ventilasi Mekanis 

 Risiko selama intubasi endotrakeal  Risiko yang dihubungkan dengan


atau trakeostomi   sendi dan paralisis 
Depresi miokardial akibat anestetik Depresi jantung
Aspirasi isi lambung Penurunan PaO2 Depresi dorongan respirasi (menunda
selama apnea Bronkokonstriksi refleks  pelepasan) Meningkatkan bahaya

dan laringospasme kegagalan diskoneksi/ventilator  


 Risiko intubasi endotrakeal dan  Risiko yang dihubungkan dengan
trakeostomi  ventilasi mekanis 
Intubasi esofagus Tekanan jalan napas tinggi →
Intubasi bronkus Blokade/ekstubasi  barotrauma
yang tidak disengaja Overdistensi alveolar → volutrauma:
Kerusaka/stenosis trakea/laring    Pneumotoraks,
Infeksi  pneumomediastinum
 Risiko yang dihubungkan dengan
 
 Emfisema subkutan (= udara
oksigen inspirasi yang tinggi di kulit)

   Kerusakan struktural pada paru,


 jalan napas, dan kapiler

  
(Sumber: At a Glance Sistem Respirasi, 2008) Displasia bronkopulmonal 
29

Kecelakaan, terjatuh, trauma


Terkena peluru
Trauma tajam Trauma Kepala Trauma tumpul  persalinan, penyalahgunaan obat/alkohol
Benda tajam

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial


/ kulit kepala / Jaringan otak

Breath Blood Brain Bowel Bladder Bone

P Perdarahan
Perdarahan, P Perdarahan Robeknya Penumpukan Gg. Saraf Fraktur
kesadaran & P TIK
hematoma, kesadaran darah di otak motorik tulang tengkorak
kerusakan arteri meningen
Kompensasi P Sirkulasi
 jaringan
tubuh
Bed rest yaitu: vasodilatasi & bradikardi P volume darah ke ginjal
lama Hematoma kesadaran sensori P P GangguanTerputusnya
epidural nafsu makan, mual, muntah, disfagia kesadaran koordinasikontinuitas geraktulang
Penekanan Anemia ekstremitas
saraf system P
kemampuan Aliran darah Perubahan P
 pernapasan P Gangguan
Hipoksia  batukke otak sirkulasi CSS  produksi urine
kemampuan mengenali stimulus keseimbangan
P Hemiparase Nyeri
intake makanan dan cairan / hemiplegi akut
Gangguan Akumulasi Hipoksia
Perubahan Resiko
pertukaran gas mukus  jaringan Oligouria
 pola nafas PK: P TIK cedera
Kesalahan Gangguan Resiko
RR , Batuk tdk interpretasi mobilitas fisik infeksi
Gg. perfusi Perubahan
erpneu, hiperventil- asi efektif, ronchi, RR jaringan serebral pola eliminasi urine
Resiko
Gangguan defisit volume cairan
persepsi sensori

Ptdokla e fneakftaisf B ejrasliahnan


nafas tdk efektif Resiko nutrisi kurang
dari kebutuhan

30

BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

Tanggal MRS : 08 September 2019 Jam Masuk : 20:26 WIB


Tanggal Pengkajian : 11 September 2019 No. RM : 1277 –  7X –  XX
Jam Pengkajian : 16.30 WIB Diagnosa Medis: COB+ICH
Hari rawat ke : 2 (ROI)

IDENTITAS

1. 
 Nama Pasien : Sdr. Nn
2.  Umur : 18 Th

3.  Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia


4.  Agama : Islam
5.  Pendidikan : SLTA
6.  Pekerjaan : Pelajar
7.  Alamat : Bungurasih, Sidoarjo
8.  Sumber Biaya :
KELUHAN UTAMA

Keluhan utama: Tidak terkaji (px tidak sadar)

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat berkendara dengan menggunakan


motor bersama temannya. Tidak terkaji px yang mengendarai atau yang di
 bonceng saat berkendara motor. Kejadian pada tanggal 08 September 2019 sekitar
 pukul 05.00 WIB. Px dibawa ke RS Bhayangkara, kemudian px sempat kejang 2x
 pada pukul 11.00 dan 13.00 WIB di RS Bhayangkara. Kemudian px dirujuk ke
RSUD Dr. Soetomo karena mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 2-2-3,
dirujuk pada pukul 17.30 WIB.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


1.   kapan: diagnosa: 
Pernah dirawat: ya tidak √ 
2.   Riwayat penyakit kronik dan menular: ya
tidak   √ 
3.   Riwayat alergi: 
Obat ya tidak √  jenis:
Makanan ya tidak √  jenis:

31

Lain-lain ya tidak √  jenis:

4.   Riwayat operasi: ya tidak   √ 

5.   Data tambahan: - 

RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

ya tidak √ 

PERILAKU YANG MEMPEGARUHI KESEHATAN

Perilaku sebelum sakit yang mempengaruhi kesehatan:


Alkohol ya tidak

√ Merokok ya tidak

√ Obat ya tidak √ 

Olahraga ya tidak √ 
OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
1.   Tanda-tanda vital
S: 390 C N: 99x/mnt TD: 131/57 mmHg RR: 25x/mnt
Kesadaran:
Compos mentis Apatis Somnolen Sopor Semi √ 
Koma Koma
a.   Keluhan nyeri: ya tidak  
  
P:
Q:
R:

32

S: Skala Nyeri menggnakan CPOT:


T: 
2.   Sistem Pernapasan (B1)
Jalan napas, bebas √  ya tidak
√  tidak
Obstruksi sebagian total
√  tidak

Benda asing padat cair


Berupa:

33

a.   RR: 23x/mnt
 b.  Keluhan: sesak √  tidak ya nyeri waktu napas
orthopnea
Batuk: produktif √  tidak produktif
Sekret: ada
Warna: agak kekuningan
Konsistensi: agak kental
c.   Pergerakan dada: √  simetris asimetris
d.  
√  tidak
Penggunaan otot bantu napas: ya

e.   Irama napas: √  teratur tidak teratur


f.   Pleural Friction Rub:

g.   Pola napas: dispnea kusmaul cheyne stoke

 biots
h.   Suara napas: √ 
vesikuler bronko vesikuler cracles
ronkhi √  wheezing

i. Suara perkusi paru: sonor hipersonor redup
 j.  Alat bantu napas:
√  ya tidak
Ventilator: √  ya tidak

Mode: BiLevel
FiO2: 30%
PEEP: 4
SaO2: 98%
Vol. Tidal: 647
I:E Ratio:
Data Tambahan: -
k.  Penggunaan WSD: tidak

l.  Tracheostomy: √  ya tidak


Data tambahan:
Post pemasangan repair trakheostomi ulang dan eksplorasi
 perdarahan reintubasi tanggal 10 September 2019.

34

3.   Sistem Kardio vaskuler (B2)


 Nadi karotis: √  teraba tidak
 Nadi perifer: kuat lemah
√  tidak teraba
Perdarahan: tidak ada
Keluhan nyeri dada: ya √  tidak
Irama jantung: √  reguler irreguler
Sara jantung: √  normal (S1/S2 tunggal) mur mur

gallop Lain-
lain Ictus cordis:

CRT: <2 detik


Turgor: √  normal turun
Akral: √  hangat √  kering √  merah basah
 pucat Dingin

Sirkulasi perifer: normal menurun


CVP:
CTR:
ECG & Interpretasinya:

Sinus Rhytm
Data tambahan: -
4.   Sistem Persyarafan (B3)
a.  GCS: 1X4
 b.  Reflek fisiologis patella triceps biceps
c.  Reflek patologis babinsky oppenheim schaefer
Meningeal sign kaku kuduk brudzinsky kernig
d.  Keluhan pusing ya tidak
e.  Pemeriksaan saraf kranial:

 N1 : normal tidak. Ket: tidak terkaji


 N2: normal tidak. Ket: tidak terkaji
 N3: normal √  tidak. Ket: refleks pupil melambat
 N4: normal tidak. Ket: tidak terkaji
 N5: normal tidak. Ket: tidak terkaji

35

 N6: normal tidak. Ket: tidak terkaji


 N7: normal tidak. Ket: tidak terkaji
 N8: normal tidak. Ket: tidak terkaji
 N9: normal tidak. Ket: tidak terkaji
 N10: normal tidak. Ket: px terpasang trakheostomy
dengan ventilator
 N11: normal tidak. Ket: tidak terkaji
 N12: normal tidak. Ket: tidak terkaji
f.   Pupil anisokor
√  isokor diameter: 3mm/ 3mm

g.   Tanda PTIK muntah proyektil nyeri kepala hebat √  lain-


lain: tidak ada
h.   Curiga Fraktur Servikal jejas diatas klavikula
multiple trauma.

√ 
Lain-lain: tidak ada
i.   Tanda Fraktur Basis Cranii: tidak ada
 j.  Istirahat/ Tidur: tidak terkaji, px tidak sadar
k.  Data Tambahan:
Post op pemasangan ICP monitor tanggal 09 September 2019

5.   Sistem Perkemihan (B4)


a.   Kebersihan genetalia: bersih
 b.  Sekret: tidak ada
c.  Ulkus: tidak ada
d.   Kebersihan meatus urethra: bersih
e.   Keluhan kencing: tidak ada
f.   Kemampuan berkemih : dengan alat bantu katheter
Jenis: Dower katheter

Ukuran: 16
Hari ke: 3
g.   Produksi urin: 50mL/ jam
Warna: kuning jernih Bau: khas urine
h.   Kandung kemih: tidak membesar, tidak ada nyeri tekan

36

i.   Intake cairan: enteral 6x100-150cc/ hari

6.   Sistem Pencernaan (B5)


a.  TB: 168 cm BB: 64kg
 b.  IMT: 22,8 kg/m2 Interpretasi: normal
c.  LILA: 25cm
d.   Mulut: bersih
e.   Membran mukosa: kering
f.   Tenggorakan: tidak terkaji adanya nyeri telan, kesusahan menelan,

 pembesaran tonsil
g.   Abdomen: tidak kembung, tidak ascites, tidak ada nyeri tekan, tidak
ada luka bekas operasi
h.   Peristaltik usus 10x/ mnt
i.  Belum BAB sejak MRS
 j.  Diet: cair, TKTP 6x100-150cc/ hari dengan NGT
7.   Sistem Muskuloskeletas (B6)
a.   Pergerakan sendi: lemah
 b.  Kekuatan otot: 1 1

1 1
c.   Kelainan ekstremitas: tidak ada
d.   Kelainan tulang belakang: tidak ada
e.   Fraktur: tidak ada
f.   Traksi: tidak ada
g.   Penggunaan spalk/ gips: tidak ada
h.   Sirkulasi perifer: baik
i.   Kompartment syndrome: tidak ada
 j.  Turgor kulit: baik, tidak sianosis

k.  Luka operasi: tidak ada


l.   ROM: pasif
m.   Data tambahan: -
n.   Pitting edema: -
o.   Ekskoriasis: tidak

37

 p.  Urtikaria: tidak


q.  Data tambahan: -
PEMERIKSAAN RISIKO JATUH
Morse Fall Scale (MSF)
Faktor Risiko Skala Poin Skor Kesimpulan/
Pasien Masalah
Riwayat Jatuh Ya (3bln terakhir) 25
Tidak Ya √  Px tidak sadar
Diagnosis Tidak 15
Sekunder (≥ diagnosis medis) Alat Bantu 0 √  Px tidak sadar
Perabot
TPeonogpkant/g Alat
Tidak Ada/ kursi roda/ perawat/ tirah baring
Ya √  Px tidak sadar

Terpasang Infus √ 
20 Px tidak sadar
Tidak 0
Gaya Berjalan Terganggu Lemah 20
Normal/ tirah baring/ 10
imobilisasi 0 Px tidak sadar
Status Mental Sering lupa akan keterbatasan yang dimiliki
Oterhieandtapsi baik kemampuan diri sendiri
15

CatatanTota 20

8.   Sistem Endokrin
a.   Pembesaran tyroid: tidak ada
 b.  Pembesaran kelenjar getah bening: tidak ada

PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL

Persepsi klien terhadap penyakitnya: tidak terkaji


Ekspresi klien terhadap penyakitnya: gelisah
Reaksi saat interaksi: diam
Gangguan konsep diri: tidak terkaji
Data tambahan: -

38

PERSONAL HYGIENE & KEBIASAAN


Tidak terkaji
Saat MRS di ROI di seka 3x/ hari, oral hygiene 2x/hari

PENGKAJIAN SPIRITUAL
Sebelm sakit: tidak terkaji
Selama sakit: tidak beribadah, klien tidak sadar

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 07 September 2019:
USG Abdomen Fast: tampak intensitas echo cairan bebas di perivesica
Tanggal 08 September 2019:
Cervikal: DBR
Thorax: Contusio Pulmonal
CT Scan Kepala: Scalp Hematoma FP (S) dan PO (D) Multiple Kontsional
L F, tampak lesi di corpus callorum adanya IVH
Tanggal 09 September 2019/ 17:42 WIB
 No. Parameter Hasil Nilai Normal
1. Ph 7,380 7,35-7,45
2. pCO2 34,0 mmHg 35-45
3. pO2 194,0 mmHg 80-100
4. HCO3 20,1 mmol/ L 22,0-26,0
5. TCO2 21,1 mmol/ L 23-30
6. BE ecf -5,0 mmol/ L -3,50-2,00
7. SO2 100,0 % 94-98
8. AaDO2 0.000 mmHg 0,00-0,000

Tanggal 11 September 2019/ 08:34 WIB


 No. Parameter Hasil Nilai Normal
1. WBC 9,76 103/ uL 3,37-10,0
2. RBC 3,00 106/ uL 3,69-5,46
3. HGB 8,3 gr/ dL 13,3-16,6

39

4. HCT 23,8 % 41,3-52,1


5. MCV 79,3 fL 86,7-102,3
6. MCH 27,7 pg 27,1-32,4
7. MCHC 39,9 g/ dL 29,7-33,1
8. PDW 14,4 % 12,2-14,8
9. PLT 10,0 103/ Ul 150-450
10. MPV 9,9 fL 9,2-12,0
11. NEUT% 82,4% 39,8-70,5
12. LYMPH% 9,4% 23,1-49,9
13. MONO% 7,3 % 4,30-10,10
14. EOS% 0,7 % 0,6-5,4
15. BASO% 0,2 % 0,3-1,4

TERAPI:
Injeksi:
  Phenytoin 100mg/ 8jam
  Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
  Ranitidine 50mg/ 12 jam
  Metoclopramide 2mg/ 8 jam
  Metamizole 2mg/ 8 jam
Infus:
-  D5 ½ NS 1500 mL/ 24 jam

40

ANALISIA DATA

TANGGAL DATA ETIOLOGI MASALAH


11 September 2019 Ds: - Trauma kepala Bersihan jalan napas
Do: tidak efektif
Terpasang Penurunan kesadaran
trakheostomy
dengan ventilator, Bed rest
tidak dapat batuk
dengan spontan, Jalan napas buatan:
tidak dapat batuk trakheostomy
efektif, sputum
 berlebih, terdapat Akumlasi mukus
ronkhi, px gelisah
Batuk tidak efektif,
ronkhi, RR
meningkat

Do:

11 September 2019 Ds: -


Bersihan
jalan
napas
tidak
efektif
Trauma kepala Penurunan
Kapasitas
Adaptif
Intrakraial
TD: 131/57 mmHg Perdarahan
 N: 99x/ mnt RR: 25x/ mnt GCS 1X4
Respon pupil melambat, px Robeknya arteri
gelisah meningen hematoma epidural
Edema serebral

Perubahan sirkulasi
CSS

Penurunan Kapasitas
Adaptif Intrakraial

41

11 September 2019 Ds: - Trauma kepala Risiko perfusi


Do: serebral tidak efektif
Kesadaran: semi koma, GCS 1X4, kesadaran Penurunan kesadaran
menurun
Kompensasi tubuh:
vasodilatasi

Aliran darah ke otak


menurun

Hipoksia jaringan

Risiko perfusi
serebral tidak efektif
11 September 2019 Ds: - Trauma kepala Risiko Infeksi
Do:
Kesadaran: semi Penurunan kesadaran
koma, GCS 1X4, kesadaran menuru
Bed rest

Jalan napas buatan:


trakheostomy,

Anda mungkin juga menyukai