Anda di halaman 1dari 26

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 1

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus berasal dari bahasa Yunani, yaitu diabetes yang berarti

"sypon" atau pembentukan urine yang berlebihan, serta melitus yang berasal

dari kata "meli" yang artinya madu. Diabetes melitus merupakan gangguan

metabolisme yang disebabkan beberapa faktor. Diabetes melitus ditandai

dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin, gangguan

kerja insulin, ataupun keduanya. Diabetes melitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh

karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel beta pankreas yang

didasari oleh proses autoimun (Rustama dkk., 2010).

2.1.2 Epidemiologi

Insiden DM tipe 1 bervariasi di setiap negara. Insiden tertinggi DM tipe

1 terdapat di Finlandia yaitu 43 dari 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun.

Di Amerika Serikat, didapatkan 215.000 anak dibawah usia 20 tahun

mengalami DM tipe 1 pada tahun 2010, atau sekitar 1 dari 400 anak di

Amerika Serikat mengalami DM tipe 1 (Menke dkk., 2013). Insiden DM tipe 1

di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, juga diperkirakan akan

terus meningkat. Insiden DM tipe 1 ini diperkirakan akan terus meningkat

sebanyak 3% setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya data Ikatan

7
8

Dokter Anak Indonesia, dimana pada tahun 2007 jumlah anak usia 0-10 tahun

yang menderita DM tipe 1 kurang dari 100 anak, sedangkan data pada akhir

tahun 2009 menunjukkan peningkatan jumlah anak yang menderita DM tipe 1

menjadi 674 anak (Indonesian Pediatric Society, 2009, Rustama dkk., 2010).

Data terakhir dari Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi Ikatan Dokter Anak

Indonesia pada bulan Juni 2012 menunjukkan 803 anak di Indonesia menderita

diabetes melitus tipe 1 (UKK Endokrinologi IDAI, 2012).

2.1.3 Etiologi

Diabetes melitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas

yang diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh faktor

lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun yang

menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset diabetes melitus tipe 1

biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor lingkungan yang

diduga memicu terjadinya diabetes melitus tipe 1 antara lain infeksi virus

(rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus), radiasi, ataupun makanan

(Rustama dkk., 2010).

2.1.4 Patogenesis

Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun kronis yang

berhubungan dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi

insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel

beta yang mengarah ke DM tipe 1. Faktor genetik dan lingkungan sangat


9

berperan pada terjadinya DM tipe 1. Walaupun hampir 80% penderita DM tipe

1 baru tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit serupa, faktor genetik

diakui berperan dalam patogenesis DM tipe 1 (Rustama dkk., 2010). Beberapa

lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan faktor genetik dengan

DM tipe 1. Pada awalnya, antigen B8 dan B15 HLA kelas I diduga sebagai

penyebab diabetes karena tingginya ekspresi antigen ini pada penderita DM

tipe 1 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, saat ini fokus genetik

bergeser ke lokus HLA-DR kelas II, serta ditemukan bahwa DR3 dan DR4

lebih menonjol daripada HLA-13 pada DM tipe 1. Selain itu, lokus alel HLA-

DQ juga berperan sebagai faktor premorbid DM tipe 1. Keterlibatan HLA-DQ

ini dibuktikan melalui analisis dengan metode Restriction Fragment Length

Polymorphism (RFLP) dan disekuensi langsung dengan menggunakan

Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik.

Bukti lain menunjukkan bahwa faktor genetik yang berperan sebagai salah satu

faktor risiko DM tipe 1 berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-

HLA-DQ. Penggunaan lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki

derivat rantai b-HLA-DQ semakin memperjelas hubungan antara subtipe DR4

dan DM tipe 1 terkait alel DQ. Ditemukan bahwa hanya mereka yang memiliki

haplotipe DR4 positif yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA-DQ terkait

dengan DM tipe 1 (Nam dkk., 2013).

Proses terjadinya DM tipe 1 telah dipelajari dan dianalisis dengan

menggunakan tikus non-obese diabetic (NOD). Aktivasi sel T CD4+ spesifik

oleh antigen sel pulau langerhans pankreas memegang peranan penting dalam
10

perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+

spesifik untuk sel-sel pulau langerhans yang berasal dari tikus NOD terbukti

menginduksi insulitis dan diabetes saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau

nondiabetes. Walaupun diketahui bahwa sel T CD4+ cukup untuk

menimbulkan insulitis, sel T CD8+ juga berkontribusi pada kerusakan sel beta

pankreas yang lebih luas. Temuan ini menunjukkan bahwa sel T CD4+

mungkin hanya sel imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit.

Hanya sebagian sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit.

Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa yang berasal

dari hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel

T CD4+ saling mempengaruhi (Danescu dkk., 2009, Homenta, 2012).

Penelitian awal menunjukkan bahwa pemberian terapi adjuvan tidak akan

menghalangi proses autoimun yang terjadi, melainkan menyebabkan

diferensiasi sel T dari Th-1 dominant dan memicu terdiferensiasinya sel T

kearah Th-2 pathway. Sitokin yang diproduksi oleh Th-1, yaitu interleukin

(IL)-2 dan interferon gamma (IFN-γ) diketahui memiliki korelasi dan

meningkatkan induksi diabetes autoimun model eksperimental. Sel Th-I

menghasilkan IFN-γ yang akan mengaktifkan makrofag. Penelitian dengan

menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas pada model

hewan DM tipe 1 menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang

menyerang sel-sel pulau langerhans (Busta dkk., 2011, Li dkk., 2014).

Interferon gamma berfungsi untuk mengaktivasi makrofag dan memicu

mensintesis nitric oxide (NO). Beberapa bukti menunjukkan bahwa aktivitas


11

sintesis NO terlibat dalam perkembangan DM tipe 1. Bukti-bukti ini

menunjukkan bahwa NO merupakan salah satu faktor patogen dalam proses

autoimunitas DM tipe 1 dan adanya kemungkinan adanya golongan

imunomodulator baru yang mampu memodulasi sekresi NO (Chakhtoura dan

Azar, 2013).

Dalam penelitian in vitro, didapatkan bahwa IL-1 dan tumor necrosis

factor (TNF-α), dua sitokin utama yang diproduksi oleh makrofag,

menyebabkan terjadinya perubahan struktural sel beta pankreas serta menekan

kemampuan sel beta pankreas untuk memproduksi dan mensekresikan insulin

(Chakhtoura dan Azar, 2013).

Gambar 2.1 Patogenesis diabetes melitus tipe I (Chakhtoura dan Azar, 2013)

Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan

antara faktor genetik dan DM tipe 1, beberapa penelitian yang dilakukan pada
12

anak kembar identik menunjukkan hasil yang berbeda. Adanya kesamaan

dalam aspek genetika tidak menjadi penentu terjadinya diabetes melitus pada

anak kembar identik. Tingkat kesesuaiannya pada kembar identik untuk

menderita DM tipe I yang kurang dari 100% menunjukkan adanya kontribusi

faktor lingkungan sebagai pencetus terjadinya proses autoimun. Infeksi rubella

kongenital merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiko

terjadinya DM tipe 1. Pada infeksi rubella kongenital, 20% dari anak yang

terinfeksi kemudian berkembang menjadi diabetes. Hasil studi ini menunjukan

bahwa selain urutan asam amino dari rantai DQ-b yang berperan sebagai faktor

premorbid, protein envelope virus rubella yang serupa dengan antigen pada

permukaan sel beta pankreas mendukung proses mimikri antigen virus sebagai

faktor etiologi dalam DM tipe 1 (Nam dkk., 2013). Infeksi virus lainnya yang

juga diperkirakan sebagai etiologi DM tipe 1 antara lain enterovirus melalui

mekanisme induksi autoantibodi dan mimikri antigen virus sehingga

menyebabkan sel beta pankreas, dan infeksi virus mumps/parotitis melalui

mekanisme infeksi pada sel beta pankreas dan meningkatkan ekspresi HLA

kelas I dan II pada sel beta pankreas (Tavares dkk., 2012).

Pada saat terjadi defisiensi insulin akibat kerusakan dari sel beta

pankreas, maka hiperglikemia terjadi akibat dari tiga proses, yaitu

peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan

gliserol), percepatan glikogenolisis (pemecahan glukosa disimpan) dan

penurunan pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer (Homenta, 2012).


13

2.1.5 Patofisiologi

Pada DM tipe 1 terjadi penurunan produksi dan sekresi insulin akibat

destruksi sel-sel beta pankreas oleh proses autoimun. Insulin memegang

peranan penting dalam proses sintesis cadangan energi sel. Pada keadaan

normal, insulin disekresikan sebagai respon terhadap adanya peningkatan

glukosa darah yang diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang melibatkan

sistem neural, hormonal, dan substrat. Hal ini memungkinkan pengaturan

disposisi energi yang berasal dari makanan menjadi energi yang akan dipakai

ataupun disimpan dalam bentuk lain. Dengan menurunnya produksi insulin

pada DM tipe 1, cadangan glukosa tidak dapat masuk kedalam hepar ataupun

sel otot untuk disimpan (glikogenesis) dan menimbulkan keadaan

hiperglikemia post prandial (sesudah makan) di dalam darah (Danescu dkk.,

2009).

Menurunnya insulin post prandial pada DM tipe 1 akan mempercepat

proses katabolisme. Akibat glukosa yang tidak dapat memasuki hepar ataupun

sel otot, maka akan dikirimkan sinyal bahwa tubuh kekurangan cadangan

glukosa. Hal ini mengakibatkan tubuh memproduksi glukosa dengan berbagai

cara, yaitu glikogenolisis (pemecahan glikogen dalam hepar untuk diubah

menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (proses pembentukan glukosa dari

bahan selain karbohidrat). Kedua proses tersebut memperparah kondisi

hiperglikemia yang sebelumnya telah terjadi. Akan tetapi karena glukosa

dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel hepar ataupun sel otot, maka

hepar akan berusaha lebih keras lagi untuk memproduksi glukosa. Selain itu
14

juga akan terjadi proteolisis (proses pemecahan cadangan protein dalam sel

otot menjadi asam amino) dan lipolisis (proses pemecahan lipid dalam

jaringan adipose menjadi gliserol dan asam lemak bebas). Keseluruhan proses

tersebut akhirnya menimbulkan kondisi hiperglikemia puasa (Rustama dkk.,

2010).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180 mg/dL), ginjal

tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar. Hal ini

mengakibatkan lolosnya glukosa tersebut dari proses rearbsorpsi ginjal dan

glukosa akan muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan

diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan

elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik yang

menyebabkan pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria).

Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan

mengalami dehidrasi dan rasa haus (polidipsia) (Homenta, 2012).

Gambar 2.2 Patofisiologi diabetes melitus tipe 1 (Homenta, 2012)

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang


15

menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan

selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Di dalam hepar

juga terjadi proses ketogenesis yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi

keton di dalam darah, menyebabkan terjadinya kondisi asidosis metabolik yang

disebut ketoasidosis diabetikum pada pasien dengan DM tipe I (Luong dkk.,

2005).

2.1.6. Manifestasi klinis

Perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 1 melalui 4 tahapan sebelum

akhirnya menetap seumur hidup. Keempat tahapan tersebut adalah:

(1). Tahap pre-diabetes

Fase pre-diabetes diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri dengan

kerusakan total sel beta pankreas. Kerusakan sel beta pankreas ditandai oleh

menurunnya sekresi C-peptide. Periode ini ditandai dengan ditemukannya Islet

cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylas (GAD) autoantibodies,

Insulin autoantibodies (IA), dan IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine

posphatase autoantibodies) yang merupakan prediktor terhadap timbulnya

diabetes klinis. Ditemukannya lebih dari satu autoantibodi akan meningkatkan

kemungkinan timbulnya diabetes. Sebagai salah satu contoh, jika terdapat IA2

dan GAD, maka risiko untuk menjadi DM tipe 1 dalam kurun waktu lima

tahun adalah sebesar 70% (Nam dkk., 2013).

(2). Tahap manifestasi klinis diabetes

Studi observasional jangka panjang menunjukkan bahwa gejala klinis DM tipe

1 sangat bervariasi, mulai dari gejala klasik DM yang muncul dalam beberapa
16

minggu atau muncul sebagai ketoasidosis diabetikum yang terjadi secara akut.

Selain itu, penelitian Diabetes Prevention Trial menunjukkan bahwa 73%

pasien yang didiagnosis DM tipe 1 tidak menunjukkan gejala klinis (Rustama

dkk., 2010).

(3). Tahap "honeymoon"

Periode "honeymoon" ini merupakan periode "remisi parsial" akibat

berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas

mensekresikan kembali sisa insulin. Periode ini berakhir apabila pankreas

sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis, periode ini dicurigai

bila seorang penderita baru DM tipe 1 sering mengalami serangan

hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus dikurangi untuk menghindari

hipoglikemia. Periode ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu

atau bulan setelah terapi insulin. Kriteria periode "honeymoon" yaitu bila

kebutuhan insulin kurang dari 0,5 U/kgBB/hari dengan HbAlc <7%. Hal ini

perlu dijelaskan kepada keluarga yang biasanya menganggap fenomena ini

sebagai tanda-tanda kesembuhan serta perlu dijelaskan kepada keluarga bahwa

pada saat cadangan insulin sudah habis, penderita akan kembali membutuhkan

insulin dan mulai memasuki periode ketergantungan total terhadap insulin

(Rustama dkk., 2010).

(4). Tahap ketergantungan terhadap insulin

Perjalanan penyakit dari periode "honeymoon" ke periode ketergantungan

insulin seumur hidup biasanya cukup lama, tetapi bisa dipercepat dengan

adanya penyakit lain. Terapi sulih insulin merupakan satu-satunya pengobatan


17

untuk DM tipe 1. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai riwayat

perjalanan klinis yang akut. Biasanya gejala poliuria, polidipsi, polifagia, dan

berat badan yang cepat menurun terjadi antara satu sampai dua minggu

sebelum diagnosis ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan

hiperglikemia maka diagnosis DM tipe 1 tidak diragukan lagi. Insiden DM tipe

I di Indonesia belum diketahui secara pasti, sehingga sering terjadi kesalahan

diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Akibatnya pasien

sering datang dengan ketoasidosis diabetikum pada saat awitan diagnosis.

Kesalahan diagnosis yang sering terjadi adalah pola napas kusmaul disangka

sebagai bronkopneumonia atau dehidrasi disangka disebabkan oleh

gastroenteritis (Ghosh dkk., 2009).

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus tipe 1 dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala klasik DM tipe 1 antara lain poliuria,

polidipsi, polifagia, dan berat badan yang cepat menurun. Walupun demikian,

beberapa penderita bahkan tidak menampakkan satupun gejala seperti yang

telah dipaparkan sebelumnya. Dalam mendiagnosis DM tipe 1, klinisi sangat

dibantu dengan adanya pemeriksaan penunjang, terutama untuk mengetahui

kondisi hiperglikemia pada pasien. Hal yang ditemukan pada pemeriksaan

penunjang penderita dengan DM tipe 1 antara lain (Rustama, 2010):

1. Kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL dan 2 jam setelah makan > 200

mg/dL.
18

2. Ketonemia dan/atau ketonuria.

3. Glukosuria

4. Bila hasil kadar glukosa darah puasa meragukan atau asimptomatis, perlu

dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral glucosa tolerance test).

5. Kadar C-peptide.

6. Marker imunologis antara lain ICA, IA, GAD dan IA2.

2.1.8 Penatalaksanaan

Hal pertama yang harus dipahami bahwa DM tipe 1 tidak dapat

disembuhkan tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal

mungkin dengan mengusahakan kontrol metabolik yang baik. Kontrol

metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam

batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia.

Walaupun masih ada kelemahan, parameter HbAlc merupakan parameter

kontrol metabolik standar pada diabetes melitus tipe 1. Nilai HbAlc < 6,5%

berarti kontrol metabolik baik, HbAlc < 8% cukup, dan HbA1c > 8% dianggap

buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia anak mengingat

semakin rendah HbA1c semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia (Ghosh

dkk., 2009).

Komponen pengelolaan DM tipe 1 meliputi pemberian insulin,

pengaturan makan, olahraga, edukasi yang didukung oleh pemantauan mandiri.

Keseluruhan komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol

metabolik yang baik (Rustama dkk., 2010).


19

(1) Insulin

Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penyandang DM

tipe 1. Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang memungkinkan

pemberian insulin dalam berbagai macam regimen. Dosis pemberian insulin

tergantung pada banyak faktor antara lain usia, berat badan, status pubertas,

hasil pemantauan kadar glukosa darah dan HbA1c, lama dan fase diabetes,

asupan makanan, pola olahraga, dan rutinitas sehari-hari (Homenta, 2012).

Tabel 2.1 Jenis insulin berdasarkan profil kerjanya (Homenta, 2012)

Jenis Insulin Awitan Puncak Lama

Kerja Kerja

Meal Time Insulin

Insulin Lispro (Rapid acting) 5-15 mnt 1 jam 4 jam

Regular (Short acting) 30-60 mnt 2-4 jam 5-8 jam

Background Insulin

NPH dan lente (Intermediate acing) 1-2 jam 4-12 jam 8-24 jam

Ultra Lente (Long acting) 2 jam 6-20 jam 18-36 jam

Insulin Glargine (Peakless Long 2-4 jam 4 jam 24-30 jam

acting)

(2) Diet

Pengaturan makanan segera dilakukan setelah diagnosis. Ada beberapa

cara untuk menghitung kebutuhan kalori, antara lain berdasarkan berat badan

ideal dan berdasarkan umur. Jumlah kalori yang dibutuhkan jika dihitung
20

berdasarkann berat badan ideal memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi

badan dan berat badan saat penghitungan serta data kecukupan kalori yang

dianjurkan. Dapat pula menggunakan penghitungan berdasarkan umur yaitu

bila anak berusia 0-12 tahun menggunakan rumus 1000 + (usia dalam tahun x

100) kalori/hari, sedangkan bila anak berusia lebih dari 12 tahun menggunakan

rumus 2000 kal/m2. Komposisi sumber kalori per hari yang disarankan

sebaiknya terdiri atas: 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun

dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak. Pembagian kalori per 24 jam

diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil dengan rincian 20%

berupa makan pagi, 10% berupa makanan kecil, 25% berupa makan siang,

10% berupa makanan kecil, 25% berupa makan malam, dan 10% berupa

makanan kecil (Harris dkk., 2005).

(3) Olahraga

Pada penderita DM tipe 1 olahraga dapat membantu menurunkan kadar

glukosa darah, menimbulkan perasaan sehat dan meningkatkan sensitivitas

terhadap insulin, sehingga dapat mengurangi kebutuhan terhadap insulin. Perlu

diwaspadai bahwa o1ahraga pada penderita DM tipe 1 dapat menyebabkan

keadaan hipoglikemia. Oleh karena itu, penderita DM tipe 1 sebaiknya

berolahraga teratur, dengan menentukan waktu, lama, jenis, dan intensitas

olahraga sebelumnya. Pemberian asupan karbohidrat 1-3 jam sebelum

berolahraga dan pemantauan terhadap gula darah selama berolahraga wajib

dilakukan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia (Ghosh dkk., 2009).


21

(4) Edukasi dengan pemantauan mandiri

Salah satu tujuan dalam pengelolaaan pasien DM tipe 1 adalah

kemampuan mengelola penyakitnya secara mandiri. Pasien sendiri dan

keluarganya mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara cepat dan tepat.

Pengukuran kadar glukosa darah beberapa kali dalam sehari harus dilakukan

untuk menghindari terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia, yang sangat

penting untuk dapat menyesuaikan dosis insulin (Rustama dkk., 2010).

2.1.9 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi adalah

hipoglikemia dan ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi

setelah tahun kelima, berupa nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati

diabetik dijumpai pada satu diantara tiga penderita DM tipe 1. Diagnosis dan

pengobatan dini penting untuk mengurangi terjadinya end stage renal disease

yang memerlukan dialisis, sehingga mampu memperpanjang umur penderita.

Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk

identifikasi penderita risiko tinggi untuk nefropati diabetik. Pada anak dengan

DM tipe 1 selama >5 tahun, dianjurkan untuk melakukan skrining

mikroalbuminuria setiap tahunnya. Apabila tes menunjukkan hasil positif,

maka pemeriksaan dianjurkan untuk lebih sering dilakukan (Homenta, 2012).

2.1.10 Pemantauan

Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun

kronis, baik dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara


22

mandiri di rumah, meliputi (Homenta, 2012):

1. Keadaan umum dan tanda vital.

2. Kemungkian infeksi.

3. Kadar gula darah (juga dapat dilakukan dirumah dengan menggunakan

glukometer) setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.

4. Kadar HbAIC (setiap 3 bulan).

5. Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dL).

6. Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun)

7. Fungsi ginjal

8. Fundus untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5

tahun menderita DM tipe 1, atau setelah pubertas)

9. Tumbuh kembang

2.2 Vitamin D

2.2.1 Metabolisme vitamin D

Vitamin D dapat diperoleh melalui makanan misalnya lemak ikan dan

derivatnya, namun sebagian besar vitamin D di dalam tubuh diperoleh dengan

sintesis vitamin D di kulit yang dimediasi paparan langsung sinar ultraviolet B

(UVB). Diperlukan dua tahap hidroksilasi untuk mengaktifkan vitamin D.

Radiasi sinar UVB dengan panjang gelombang 290-315 nm mempenetrasi kulit

dan mengubah 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3, yang secara cepat

diubah lagi menjadi vitamin D3. Selanjutnya, vitamin D3 dibawa dalam

sirkulasi menuju hepar, dimana oleh enzim 25-hydroxylase, vitamin D3 diubah


23

menjadi 25-hydroxyvitamin D3 (25-OHD3) atau calcidiol. Bentuk vitamin D

inaktif ini merupakan bentuk yang terbanyak beredar di sirkulasi sebingga

digunakan oleh para klinisi untuk dapat menentukan status vitamin D pasien.

Tahap hidroksilasi kedua berlangsung di ginjal melalui

enzim 1-α hydroxylase yang mengubah 25-hydroxyvitamin D3 menjadi lα,25-

dihydroxyvitamin D3 (1α,25(OH)2 D3) atau calcitriol, bentuk aktif dari vitamin

D (Mathieu dan Badenhoop, 2005).

Gambar 2.3 Metabolisme vitamin D di dalam tubuh


(Mathieu dan Badenhoop, 2005)

Vitamin D yang aktif kemudian memasuki sirkulasi dengan berikatan

dengan protein-pengikat vitamin D, sehingga kompleks tersebut dapat masuk

ke dalam sel. Agar dapat menghasilkan efek pada sel targetnya, vitamin D
24

berikatan dengan reseptor vitamin D (VDR) yang terdapat pada berbagai tipe

sel, antara lain pada sistem skeletal, ginjal, kulit, hepar dan sel pulau

langerhans pankreas. Ditemukannya reseptor vitamin D pada sel imun

mendukung hipotesis dimana vitamin D dapat mempengaruhi proses autoimun

(Busta dkk., 2011).

2.2.2 Asupan vitamin D

Vitamin D yang berasal dari makanan hanya menyumbang 20% dari

seluruh vitamin D yang diperlukan oleh tubuh. Sebagian besar vitamin D

dalam tubuh berasal dari konversi 7-dehydrocholesterol menjadi vitamin D3 di

kulit. Pada daerah dengan sedikit paparan sinar matahari, asupan vitamin D

dari makanan sangat bermanfaat. Terkadang vitamin D yang berasal dari

makanan saja tidak dapat mencukupi kebutuhan vitamin D tubuh, sehingga

pada daerah tertentu diperlukan pemberian suplemen vitamin D untuk

mencukupi kebutuhan vitamin D dalam tubuh (Holick, 2007).

Berdasarkan rekomendasi dari Institute of Medicine, asupan harian

vitamin D yang adekuat adalah 400 IU untuk anak-anak dan dewasa usia 50

tahun, sedangkan mereka yang berusia 51 hingga 70 tahun memerlukan 600

IU, dan 800 IU bagi mereka yang berusia 71 tahun ke atas. Namun, dengan

rendahnya paparan sinar matahari, baik anak-anak dan dewasa memerlukan

800 hingga 1000 IU vitamin D setiap harinya (Mathieu dan Badenhoop, 2005;

Holick, 2007). Berikut adalah tabel kandungan vitamin D pada berbagai jenis

makanan (Holick, 2007).


25

Tabel 2.2 Kandungan Vitamin D dalam Makanan (Holick, 2007)


Sumber Makanan Kandungan Vitamin D

Ikan salmon

Segar, dari alam bebas (3,5 ons) 600 – 1000 IU

Kalengan (3,5 ons) 300 – 600 IU

Ikan sarden kalengan (3,5 ons) 300 IU

Ikan makarel kalengan (3,5 ons) 250 IU

Ikan tuna kalengan (3,6 ons) 230 IU

Minyak hati ikan cod (1 sendok teh) 400-1000 IU

Jamur shitake

Segar (3,5 ons) 100 IU

Dikeringkan (3,5 ons) 1600 IU

Kuning telur 20 IU

Susu fortifikasi (8 ons) 100 IU

Jus jeruk fortifikasi (8 ons) 100 IU

Yogurt fortifikasi (8 ons) 100 IU

Margarin fortifikasi (3,5 ons) 430 IU

Keju fortifikasi (3 ons) 100 IU

Sereal sarapan fortifikasi (per sajian) 100 IU

2.2.3 Peranan vitamin D dalam tubuh

Vitamin D selama ini dikenal perannya dalam menjaga homeostasis

kalsium di dalam tubuh serta aktif berperan dalam meningkatkan absorpsi


26

kalsium di usus melalui interaksi dengan reseptor vitamin D di usus. Kalsium

dibutuhkan untuk membuat maturasi osteoclast yang berperan dalam

mempertahankan kadar kalsium dan fosfor dalam sirkulasi darah dan memberi

kalsium beserta fosfor untuk mineralisasi pembentukan tulang. Dalam

menjalankan perannya, vitamin D diatur oleh hormon paratiroid, dimana bila

tubuh kekurangan kalsium maka hormon paratiroid, akan menstimulasi ginjal

untuk memproduksi lα,25-dihydroxyvitamin D3 untuk meningkatkan absorpsi

kalsium di usus. Oleh karena itu, secara tidak langsung vitamin D berperan

dalam mempertahankan kepadatan mineral tulang (Holick, 2007).

Saat ini peran non-skeletal vitamin D diteliti lebih dalam. Reseptor

vitamin D yang ditemukan pada berbagai sel tubuh, seperti sel hepar, lambung,

prostat, pankreas, dan pada sebagian usus besar mengarahkan fungsi vitamin D

tidak hanya sebatas pada mempertahankan homeostasis kalsium, namun

memiliki implikasi yang lebih luas. Vitamin D secara langsung dan tidak

langsung, dapat mengontrol lebih dari 200 gen-gen tubuh, termasuk gen yang

mengatur proliferasi sel, diferensiasi sel, apoptosis dan angiogenesis

(pembentukan pembuluh darah). Vitamin D juga mampu menurunkan

proliferasi sel pada sel normal maupun sel abnormal. Bila kadar vitamin D

berkurang akan berakibat proliferasi sel terganggu sehingga tubuh akan

merespon dengan pertumbuhan sel yang abnormal (Mathieu dan Badenhoop,

2005, Gordon dkk., 2008).

Dengan ditemukannya reseptor vitamin D pada sel imun, peran vitamin

D sebagai imunomodulator juga terus dikembangkan. Vitamin D mampu


27

menghambat maturasi monosit, makrofag dan sel dendritik yang memiliki

peranan utama dalam proses autoimun, seperti pada multiple sclerosis,

rheumatoid arthritis, dan juga diabetes melitus tipe 1. Saat ini, vitamin D telah

digunakan sebagai standar terapi psoriasis, penyakit autoimun yang menyerang

kulit (Luong dkk., 2005; Busta dkk., 2011).

2.2.4 Defisiensi vitamin D

Status vitamin D diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi American

Academy of Pediatrics menjadi normal dengan kadar vitamin D 30-100 ng/mL,

insufisiensi dengan kadar vitamin D 20 sampai kurang dari 30 ng/mL, dan

defisiensi dengan kadar vitamin D dibawah 20 ng/mL (Wagner dkk., 2008).

Dengan menggunakan definisi diatas, diperkirakan satu miliar penduduk

dunia mengalami insufisiensi dan defisiensi vitamin D. Anak-anak dan remaja

memiliki risiko tinggi untuk mengalami kekurangan vitamin D karena sedang

dalam masa pertumbuhan (Gordon dkk.,2008). Di Indonesia sendiri, belum

terdapat data akurat mengenai prevalensi defisiensi vitamin D. Suatu studi

cross-sectional yang dilakukan pada 91 anak sekolah dasar menunjukkan

tingginya insiden hipovitaminosis vitamin D, dengan 75,8% anak mengalami

insufisiensi ataupun defisiensi vitamin D (Pulungan dkk., 2011). Defisiensi

vitamin D pada masa anak-anak dapat menyebabkan keterlambatan

pertumbuhan dan deformitas tulang, rickets, dan meningkatkan risiko fraktur.

Pada usia dewasa, defisiensi vitamin D menyebabkan osteopenia dan

osteoporosis, osteomalasia dan kelemahan otot (Holick, 2007; Goswami dkk.,

2008).
28

2.3 Vitamin D Pada Diabetes Melitus Tipe 1

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa rendahnya kadar vitamin

D dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit autoimun, termasuk DM tipe

1. Hal ini dibuktikan dengan didapatkan tingginya angka kejadian defisiensi

vitamin D pada anak dengan DM tipe 1 pada berbagai penelitian, yaitu antara

38% hingga 76% (Bin-Abbas dkk., 2011, Aljabri dkk.,2013). Suatu studi

kasus-kontrol pada anak yang baru terdiagnosis DM tipe 1 di India Utara

menemukan bahwa kadar rata-rata vitamin D pada kelompok kasus lebih

rendah dibandingkan kelompok kontrol secara signifikan (Littorin dkk., 2006,

Borkar dkk., 2010). Penelitian lain juga dilakukan untuk membandingkan

kadar vitamin D pada anak diabetik dan anak non-diabetik, dimana didapatkan

perbedaan jumlah anak dengan defisiensi vitamin D yang signifikan antara

anak diabetik sebanyak 90,6 % dibandingkan anak non-diabetik sebanyak

85,3% (Bener dkk., 2009). Pemberian suplemen vitamin D pada ibu hamil

dikatakan mampu mengurangi risiko terjadinva DM tipe 1 pada keturunannya

(Hypponen dkk., 2001). Studi EURODIAB, suatu studi kohort juga

menemukan bahwa pemberian suplemen vitamin DM tipe 1 sebanyak 33%

(Dahlquist, 1999; Danescu dkk., 2009; Miettinen dkk., 2012). Penelitian meta-

analisis terakhir juga menunjukkan bahwa risiko terjadinya DM tipe 1

menurun secara signifikan pada anak yang mendapat suplemen vitamin D

(Zipitis dan Akobeng, 2008).

Dalam metabolismenya, vitamin D dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti paparan matahari, asupan vitamin D, dan kadar kalsium dalam plasma
29

darah. Paparan sinar matahari dipengaruhi musim, letak geografis, dan cara

berpakaian. Pada penelitian yang dilakukan Mutlu yang membandingkan kadar

vitamin D pada anak usia 3-20 tahun berdasarkan empat musim, didapatkan

bahwa kadar vitamin D tertinggi terjadi saat musim panas dan kadar vitamin D

tersebut berbeda secara signifikan dibandingkan ketiga musim lainnya (Mutlu

dkk., 2011). Studi cross-sectional juga menemukan bahwa anak dengan DM

tipe 1 lebih sering ditemukan pada musim dingin dibandingkan ketiga musim

lainnya (Svoren dkk, 2009; Janner dkk., 2010). Bukti juga menunjukkan

bahwa insiden diabetes melitus tipe 1 lebih tinggi pada daerah yang terletak

jauh dari garis khatulistiwa (Busta dkk., 2011). Hal ini sehubungan dengan

menurunnya paparan sinar matahari pada daerah yang jauh dari garis

khatulistiwa sehingga mengurangi produksi vitamin D dalam kulit.

Indonesia sebagai negara tropis yang kaya akan paparan sinar matahari

seharusnya tidak memiliki masalah dengan kadar vitamin D. Namun, beberapa

penelitian yang dilakukan pada negara kaya akan paparan sinar matahari

menunjukkan angka hipovitamin D yang tinggi pula (Gannage-Yared dkk.,

2000). Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta pada anak sekolah dasar usia

7-12 tahun melaporkan bahwa 75% anak mengalami kekurangan kadar vitamin

D. Hal ini berkaitan dengan perubahan gaya hidup saat ini dimana anak

menjadi lebih jarang terpapar sinar matahari sehingga menghambat

pembentukan vitamin D. Dengan pigmen kulit yang dimiliki masyarakat

Indonesia, idealnya durasi paparan sinar matahari yang dibutuhkan adalah 5 x

90 menit atau 450 menit per minggu. Namun gaya hidup sekarang, dimana
30

anak lebih banyak bermain di dalam rumah, pergi dengan menggunakan

kendaraan, dan cenderung menghindari sinar matahari, paparan sinar matahari

ideal yang seharusnya diperoleh sulit tercapai (Pulungan dkk., 2011).

Vitamin D memiliki efek protektif untuk mencegah terjadinya DM tipe 1

dengan menghambat proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel beta

pankreas (Luong dkk., 2005; Thraikil dkk., 2011). Hal pertama yang tetjadi

pada proses autoimun adalah infiltrasi sel dendritik dan makrofag ke daerah

sekitar sel-sel pulau langerhans pankreas, yang kemudian diikuti oleh sel

limfosit T (CD4+ dan CD8+). Proses ini biasanya berlangsung selama 3-4

minggu, yang kemudian diikuti dengan proses destruksi sel beta pankreas oleh

sel T secara progresif. Sel dendritik merupakan sel yang mempresentasikan

antigen APQ yang aktif dan matur setelah menangkap dan memproses antigen.

Setelah aktif, sel dendritik mensekresi interleukin-12 (IL-12) dan

mempresentasikan antigen kepada sel limfosit T. Pada keadaan normal, sel

limfosit T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan sel Th-2. Pada proses

autoimun keseimbangan ini bergeser, dimana sel Th-1 diproduksi lebih banyak

dibandingkan sel Th-2. Sel Th-1 mengaktifkan imunitas selular dengan

rnemproduksi sitokin tipe 1, yaitu IL-2, IFN γ, dan TNF β. Interleukin-2

selanjutnya mengaktifkan sel T sitotoksik dan IFN γ, mengaktifasi sel

makrofag, dimana keduanya merupakan sel yang mendestruksi sel beta

pankreas. Sel Th-2 bersifat protektif terhadap sel beta pankreas dengan

menghambat efek sel Th-1, namun jumlah sel Th-2 ini berkurang pada proses

autoimun. Keseluruhan proses tersebut berujung pada destruksi sel beta


31

pankreas yang menyebabkan terjadinya DM tipe 1 (Harris, 2005, Luong dkk.,

2005).

Vitamin D mampu menghambat proses autoimun tersebut diatas pada

berbagai fase. Pada tahap awal, vitamin D mampu menghambat maturasi sel

dendritik, sehingga sel dendritik tidak akan mampu mempresentasikan antigen

kepada sel limfosit T dan juga tidak mampu mensekresikan IL-12. Bila sel

dendritik terpapar oleh lα,25(OH)2D3, bentuk aktif vitamin D, sel dendritik

mengalami transformasi menjadi sel dendritik yang tolerogenik terhadap

antigen. Dengan dihambatnya IL-12, maka sel limfosit T tidak akan dapat

berdiferensiasi lebih lanjut menjadi sel Th-1. Selanjutnya, vitamin D juga

mampu menghambat efek sitokin IL-2 dan IFN γ yang dihasilkan sel Th-1

sehingga sel T sitotoksik dan makrofag yang mendestruksi sel beta pankreas

dapat dihambat. Selain menghambat diferensiasi limfosit T menjadi sel Th-1,

vitamin D juga memiliki efek meningkatkan pembentukan sel Th-2 dan sel T

regulator, dimana kedua sel tersebut dapat menghambat sel Th-1. Keseluruhan

kerja vitamin D tersebut menghasilkan efek proteksi terhadap sel beta pankreas

dan mencegah terjadinya DM tipe 1 (Busta dkk., 2011).


32

Gambar 2.4 Peran vitamin D dalam menghambat proses autoimun pada


diabetes melitus tipe 1 (Busta dkk, 2011)

Selain memiliki efek pada pencegahan diabetes melitus tipe 1,

penelitian lain juga mendapatkan efek positif vitamin D pada perjalanan

penyakit ini. Pemberian suplemen vitamin D sebanyak 4000 IU setiap hari

untuk menjaga kadar vitamin D normal (>30 ng/mL) pada anak dengan

diabetes melitus tipe 1 memperbaiki kontrol glikemik, baik terhadap kadar

gula darah puasa dan kadar HbA1c, setelah pemantauan selama 12 minggu

(Aljabri dkk., 2010; Al Agha dkk., 2015). Penelitian oleh Gorham

menunjukkan defisiensi vitamin D berhubungan dengan kebutuhan insulin

harian yang lebih tinggi dibandingkan vitamin D normal (Gorham dkk., 2012).

Vitamin D juga mampu menurunkan risiko komplikasi jangka panjang

termasuk komplikasi kardiovaskular pada anak dengan DM tipe 1

(Chakhtoura dan Azar, 2013).

Anda mungkin juga menyukai