AUHADILLAH AZIZY
Auhadillah Azizy
NRP : C251040231
ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM
TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN
NELAYAN TRADISIONAL
(Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)
AUHADILLAH AZIZY
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan
NIM : C251040231
Disetujui
Komisi pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S, DEA
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Ir. Mennoftaria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya tulis atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 PENDAHULUAN
kedua setelah Kanada; (b) sekitar 75% wilayahnya merupakan wilayah perairan;
(c) Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dan (d) memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi (Kusumastanto, 2000).
Sedangkan keberadaan PPK sendiri sebagai bagian dari sumberdaya
pesisir dan laut tentunya juga mempunyai nilai strategis bagi bangsa Indonesia.
Nilai arti penting dari PPK setidaknya dapat dilihat dari 3 aspek yaitu ; pertama,
fungsi pertahanan dan keamanan. Keberadaan PPK terutama di perbatasan
merupakan pintu gerbang masuknya aliran orang dan barang. Sebanyak 92 buah
PPK terletak di perbatasan dengan negara lain yang memiliki arti penting sebagai
garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan NKRI.
Kedua, fungsi ekonomi. Wilayah PPK memiliki peluang yang besar untuk
dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial berbasis pada sumberdaya
(resources based industries). PPK dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai
pendukung pertumbuhan wilayah. Ketiga, Fungsi ekologis. Ekosistem pesisir
dan laut PPK berfungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-
geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif dan
sistem penunjang kehidupan lainnya. Arti penting dari PPK tersebut semakin
diperkuat dengan keberadaan aneka ragam sumberdaya baik hayati dengan
berbagai ekosistem penyusunnya yang mempunyai nilai ekonomis penting.
Potensi lainnya adalah sumberdaya non hayati yang belum banyak di gali seperti
pertambangan, energi kelautan serta yang tak kalah pentingnya adalah jasa-jasa
lingkungan seperti pariwisata (DKP, 2003).
Potensi sumberdaya hayati PPK yang paling utama biasanya terdiri dari
terumbu karang, mangrove, lamun dan sumberdaya ikan. Keempat ekosistem ini
merupakan penyusun utama ekosistem PPK yang banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat PPK sebagai sumber utama penghidupannya. Ketergantungan
masyarakat PPK terhadap sumberdaya hayati PPK merupakan bentuk strategi
masyarakat pesisir untuk mempertahankan hidupnya. Dengan begitu,
keberlangsungan hidup masyarakat PPK sangat ditentukan oleh kualitas ekosistem
tersebut baik secara fisik maupun ekologis. Semakin buruk kualitas ekosistem
dapat dimungkinkan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup
masyarakat PPK tersebut, begitu juga sebaliknya. Meskipun, di banyak tempat
3
hayati seperti terumbu karang, mangrove dan sumberdaya ikan tentunya tidak
tetap (fixed), statis atau hubungannya sederhana. Namun keberadaanya sangat
ditentukan oleh teknologi pemanfaatan, kecenderungan kepentingan, dan struktur
produksi dan konsumsi yang berlaku sehingga bersifat dinamis. Daya dukung
ekosistem tersebut juga sangat bergantung dari tingkat perubahan yang
disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisik dan biotik dari lingkungan. Tingkat
inovasi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut PPK dan
evolusi biologi yang terjadi di PPK merupakan faktor lain yang tidak dapat
diprediksi keberadaannya dan mempengauhi daya dukung PPK. Kerusakan
terhadap sumberdaya alam PPK akan menyebabkan menurunnya daya dukung
lingkungan dan ekologis PPK dan pada gilirannya akan berakibat pada
berkurangnya fungsi dan nilai ekonomi dari sumberdaya tersebut. Penurunan nilai
ekologis dan fisik sumberdaya alam PPK menyebabkan penurunan produksi dan
tingkat kesejahteraan masyarakat di PPK tersebut. Kerusakan lingkungan
sumberdaya alam PPK, termasuk menurunnya daya dukung dan daya pulih PPK
membutuhkan kebijakan lingkungan yang berpihak baik perbaikan lingkungan
dan kesejahteraan masyarakat.
Potensi sumberdaya hayati PPK yang cukup besar dengan tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem PPK seperti terjadi di Kelurahan
Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kelurahan Pulau Panggang
terdiri dari 12 Pulau dengan jenis pemanfaatan yang berbeda-beda. Nama pulau
beserta jenis pemanfaatannya antara lain : Pulau Panggang (Pemukiman), Pulau
Karya (TPU/Perumahan Dinas), Pulau Pramuka (Pemukiman/Pemerintahan),
Pulau Kotok besar (Rekreasi/Pariwisata), Pulau Kotok Kecil (Penghijauan), Pulau
Opak kecil (Penghijauan), Pulau Karang bengkok (Penghijauan), Pulau Karang
Congkak (Penghijauan), Pulau Gosong sekati (Penghijauan), Pulau Air
(Penghijauan), Pulau Paniki (Rambu laut) dan Pulau Semak daun (Cagar alam).
Pulau Panggang dan Pulau Pramuka merupakan dua pulau yang berpenghuni dan
cukup padat yang terdapat di wilayah Kepulauan Seribu. Posisinya yang berada di
wilayah DKI Jakarta, menjadikan adanya mobilitas dan dinamika sosial
masyarakat yang tinggi di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Fisik
Bahan organik terlarut
Bahan organik partikel
Migrasi fauna
Dampak manusia
Formulasi Mekanisme
rencana umpan balik
Pembangunan
PPK
berkelanjutan
Kondisi awal
Kelayakan
Tata ruang
Keterbatasan sumberdaya alam yang makin menipis pada satu sisi dan
kebutuhan manusia yang makin meningkat pada sisi lainnya, melahirkan suatu
kesadaran kritis yang mengarahkan pendekatan pengelolaan kearah pemanfaatan
yang efisien. Namun lebih dari itu, pemanfaatan sumberdaya tidak boleh
mnegorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.
Dibutuhkan konsep keberimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya sekaligus
keadilan antar generasi yang selanjutnya disebut konsep pembangunan
18
1) Daya dukung fisik, yaitu luas total berbagai kegiatan pembangunan yang
dapat didukung (accommodated) oleh suatu kawasan/lahan yang tersedia,
2) Daya dukung produksi, yaitu jumlah total sumberdaya daya alam (stok)
yang dapat dimanfaatkan secara maksimal secara berkelanjutan
3) Daya dukung ekologi, adalah kuantitas atau kualitas kegiatan yang dapat
dikembangkan dalam batas yang tidak menimbulkan dampak yang
merugikan ekosistem
4) Daya dukung sosial, yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada
suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik
dengan kegiatan lainnya.
Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2001). Terdapat beberapa
metode/teknik untuk menentukan daya dukung wilayah pesisir :
1) Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horisontal
terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit
pengelolaan (a management unit)
2) Menghitung luasan pesisir yang dikelola
3) Mengalokasi atau melakukan pemintakan (zonation) wilayah pesisir
tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : (a) preservasi, (b) konservasi, (c)
pemanfaatan
A. Teori Liberal
Dalam berbagai khasanah literatur ekonomi pembangunan, banyak
disebutkan bahwa teori-teori pembangunan ekonomi bertujuan untuk melakukan
modernisasi di negara-negara yang sedang berkembang. Semangat pembangunan
dengan latar belakang teori modernisasi adalah keinginan untuk memodernisasi
negara-negara berkembang dengan cara meniru negara maju dalam segala aspek,
khususnya dalam mode of production kapitalisnya. Teori-teori pembangunan
ekonomi pada generasi ini berfokus pada beberapa isu sentral seperti
pertumbuhan ekonomi, akumulasi modal, transformasi struktural dan peran
pemerintah. Sistem kapitalisme yang negara-negara maju terapkan selama ini
dianggap sebagai jalan bagi negara yang sedang berkembang untuk bangkit dari
keterbelakangan dan mengejar kemajuan (Sanderson, 1993).
Teori yang cukup meyakinkan bagi keberlangsungan modernisasi adalah
teori Rostow tentang tahapan pertumbuhan ekonomi. Rostow (1960) dalam
Jhingan (1975), memandang bahwa proses pembangunan bergerak dalam sebuah
garis lurus, yakni masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang maju.
Rostow memperkenalkan teori pertumbuhan yang dikenal dengan The Stages of
Economic Growth meliputi (i) masyarakat tradisional; (ii) prakondisi untuk lepas
landas; (iii) lepas landas; (iv) menuju kedewasaan; dan (v) tahap konsumsi massa
tinggi. Bagi Rostow Investasi adalah suatu kemutlakan yang dapat diperoleh dari
luar maupun dalam. Teori Rostow ini semakin meneguhkan pemikir modernis
lainnya seperti Rosenstein-Rodan (1943) dalam Arif (1998) dengan
27
B. Teori Radikal
Pandangan-pandangan penganut teori liberal baik yang neo klasik maupun
keynesian telah mendominasi arus besar pemikiran pembangunan di dunia selama
beberapa dekade sampai saat ini. Pola ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan
dari penganut teori liberal menimbulkan banyak kritik dari kaum Marxis.
Setidaknya terdapat beberapa teori yang banyak mengkritisi teori-teori liberal ini
yaitu teori strukturalis, teori ketergantungan dan keterbelakangan serta teori
sistem dunia.
Teori ketergantungan mengkritik teori modernisasi didasari atas fakta
keterlambatan pembangunan di dunia ketiga, khususnya dalam kasus Amerika
latin. Teori ini sepenuhnya menggunakan paradigma neo-Marxis sehingga terlihat
sangat radikal dengan menganalogkan pada perkiraan marxis tentang adanya
pemberontakan kaum buruh terhadap majikan dalam industri kapitalis. Corak
analisis Marxis tampak ketika teori ketergantungan mengangkat analisanya dari
permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Dalam
perspektif ini -meminjam istilah Gunder Frank- negara pusat (metropolis)
dianggap sebagai kelas majikan dan negara dunia ketiga (satellit) sebagai
buruhnya.
Bagi teori modern atau liberal, untuk tumbuhnya perkembangan ekonomi
di negara ketiga maka perlu adanya indutrialisasi (Rosenstein-Rodan, 1943),
29
perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Indonesia sampai
saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju. Dalam
bidang perikanan misalnya, Indonesia masih lemah misalnya dalam teknologi
pengolahan hasil perikanan dan pembenihan ikan.
Perdagangan internasional yang menjadi ciri utama dari teori modern
ternyata menyisakan permasalahan bagi negara berkembang karena adanya
pertukaran yang tidak adil. Amin (1978) menunjukkan ketergantungan negara
berkembang kepada negara maju dengan konsep pertukaran yang tidak adil.
Amin (1978) menunjukkan terjadinya pengalihan surplus dari negara miskin yang
disebutnya peri-pheri ke negara-negara maju (yang disebutnya centre) sebagai
akibat proses perdagangan internasional antara kedua kelompok negara ini.
Rintangan-rintangan akibat proses pertukaran yang tidak adil ini menyebabkan
proses transisi dari situasi ekonomi pra-kapitalis ke situasi ekonomi kapitalis di
negara-negara terbelakang, mengambil bentuk yang sangat berlainan dari yang
pernah dialami oleh negara-negara maju pada waktu negara-negara ini mengalami
proses transisi. Sehingga negara-negara terbelakang tetap terus terbelakang.
Proses perdagangan internasional dengan mekanisme pola ekonomi
kapitalis seperti ini, bagi pemikir ketergantungan seperti Roxborough, merupakan
dampak lanjutan dari imprealisme yang pernah dialami dulu yang hidup bersama-
sama dengan kapitalisme. Menurut Roxborough (1986), teori imprealisme
memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imprealis.
Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi
pra kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Ekspansi kapitalis ini berupa cara-
cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi.
Menurut Roxborough (1986), pengaruh kapitalisme terhadap perubahan
struktur sosial masyarakat khususnya yang berada di wilayah pedesaan akan lebih
baik menggunakan analisa kelas. Analisis Lenin dalam Roxborough (1986),
tentang dua jalur penetrasi kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama,
yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi.
Jejak pemikiran teori ketergantungan di Indonesia dapat dilihat dalam
sosok pemikiran Sritua Arif dan Adi Sasono. Arif dan Sasono (1981) menilai
bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang
32
C. Teori Heterodox
Peralihan kapitalisme dari negara pusat kepada negara pinggiran
dintodusir melalui investasi asing, mengandaikan terciptanya industrialisasi di
negara pinggiran. Ketergantunganpun muncul bagi negara pinggiran kepada
negara pusat. Setidaknya demikian kritik yang banyak dilontarkan oleh penganut
teori dependensia dalam menyikapi proses modernisasi dan liberalisasi ekonomi.
Namun, muncul keraguan dalil bahwa peralihan ke arah kapitalisme di pinggiran,
tertahan. Begitu halnya, dengan kemunculan keajaiban-keajaiban ekonomi di
Asia seperti yang terjadi di Korea Selatan dan munculnya negara-negara industri
maju di Asia dan Amerika Latin (Higgot, 1984) dalam Forbes (1983). Menurut
Forbes (1983) industrialisasi di pinggiran merupakan proses yang paling mutakhir
dan tidak berarti membuktikan argumen bahwa peralihan ke arah kapitalisme
masih terus berlangsung dalam cara seperti yang terjadi di Barat. Bentuk
industrialisasi yang terjadi di pinggiran menunjukkan sejumlah perubahan yang
bergerak jauh dalam sifat kapitalisme itu sendiri dan hanya dapat dipahami dalam
konteks yang lebih luas. Fenomena keajaiban ekonomi Asia menjadikan
Damanhuri (1996) berpendapat, apakah model manajemen Asia yang menjadikan
negara-negara –yang dicap sebagai negara pinggiran- ini dapat berkembang begitu
pesat . Nilai-nilai tradisional dan kebudayaan lokal yang selama ini dianut dengan
kuat oleh bangsa-bangsa seperti Jepang, Korea dan Indonesia sendiri, diyakini
berpengaruh terhadap pola ekonomi yang berkembang di negara-negara Asia
tersebut. Untuk menjelaskan fenomena ini, pisau analisis lain perlu digunakan
dengan berpijak kepada realitas sosial ekonomi dan budaya politik masyarakat
bangsa tersebut.
35
Selain pandangan dari kelompok modernis dan strukturalis atau yang oleh
Damanhuri (1997) dikategorikan sebagai teori liberal dan radikal tersebut,
terdapat pandangan lain yang menyempal dari keduanya, yaitu apa yang disebut
dengan teori heterodox. Pendukung teori ini seperti Gunnar Myrdal (Swedia), F.
Perroux (Perancis) dan A. Hirchman (USA). Menurut Damanhuri (1997)
kelompok ini mengajukan negasi bahwa pembangunan (development) lebih luas
dari pertumbuhan (growth), yang tidak cukup hanya disimpulkan melalui
indikator-indikator pertumbuhan. Tetapi, pembangunan mencakup sejumlah
transformasi dalam struktur ekonomi, sosial, dan kultural yang menyertai dan
mendasari terjadinya pertumbuhan. Pembangunan harus melingkupi perubahan
mental dan sosial yang membawa kemampuan mereka untuk tumbuh (F. Perroux
dalam Damanhuri, 1997) dan perbaikan gizi (Myrdal, 1957) dalam Arif (1998).
Menurut Myrdal (1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi antara
negara-negara maju dengan negara-negara yang belum maju telah menimbulkan
ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan di negara-
negara belum maju. Myrdal menambahkan bahwa penyebab utama terjadinya
keterbelakangan di negara berkembang adalah kemajuan ilmu dan teknologi,
kehadiran pasaran yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara-negara
maju. Sebaliknya di negara-negara yang belum maju selain rakyat mempunyai
pendapatan per kapita yang rendah terdapat juga tingkat hubungan yang rendah,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan
penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan penduduk
yang buruk dan tidak berkembangnya industri-industri rakyat akibat rendahnya
harga barang-barang manufaktor impor. Solusi memberantas kemiskinan tersebut
menurut Myrdal harus dilakukan dengan campur tangan pemerintah terutama
dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Namun, bagi Ul Haq (1983)
mekanisme pasar seringkali senjang akibat pembagian pendapatan dan kekayaan
yang berlaku sehingga pasar bukan petunjuk yang dapat diandalkan untuk
menentukan tujuan-tujuan nasional. Menurut Mahbub Ul Haq, kemiskinan –
seperti kaum liberal menganjurkan- tidak dapat diperangi secara tidak langsung
melalui laju pertumbuhan yang merembes ke rakyat banyak. Namun, kemiskinan
harus diserang langsung.
36
B. Mengukur Kesejahteraan
49
zaman Yunani kuno, ekonomi merupakan bagian dari studi politik, yang pada
gilirannya menjadi bagian dari penelaahan etika dan filosofi (Myrdal, 1954). Pada
awalnya ekonomi politik dianggap sebagai seni manajemen domestik, di mana
lewat perluasannya berkembanglah makna paling awal ekonomi politik, merujuk
pada seni mengelola ekonomi sebuah negara (Staniland, 1985). Sebagaimana
merkantilis James Steuart (1767) dalam bukunya yang terkenal An inquiry into the
principle of political economy menyebut ekonomi adalah ”seni menyediakan
seluruh keinginan keluarga, secara bijaksana dan cermat, sementara ekonomi ada
di dalam keluarga, ekonomi politik ada dalam negara”.
Adam Smith dan para penerusnya menentang doktrin ini sebagai
paternalistik karena mengandaikan seorang kepala negara seperti seorang ayah
yang baik dalam sebuah keluarga. Menurut Smith (1776) ekonomi politik sebagai
sebuah cabang ilmu tentang negarawan atau pembuat perundangan. Tujuan-tujuan
ekonomi politik menurut Smith seperti tertuang dalam ”of system of political
oeconomy”, The wealth of nations, buku IV, menyebutkan pertama, menyediakan
pendapatan yang cukup banyak atau kebutuhan minimum diri mereka sendiri. Dan
kedua, mensuplai negara atau persemakmuran dengan pendapatan yang memadai
bagi pelayanan publik. Penekanan Smith pada ”masyarakat” dan pada kegiatan
ekonomi mereka sebagai sumber kesejahteraan sangat berlawanan dengan
penekanan merkantilis pada negara sebagai sumber sekaligus penerima manfaat
pertumbuhan ekonomi.
Pandangan Smith tersebut merupakan arus utama pemikiran ekonomi yang
berkembang saat itu. Ekonomi telah berkonsentrasi pada konsep-konsep manusia
dengan alam dan manusia dengan dirinya secara dingin, berasumsi bahwa suatu
kesetimbangan penuh harmoni akan tercapai melalui pengejaran kepentingan diri
individu (Elliot dalam Staniland, 1985). Daya tarik intelektual dan estetika
pengembangan kerangka kerja yang dibangun Smith dan Ricardo dan rekan-rekan
mereka sedemikian besarnya sehingga mendesakkan munculnya faktor-faktor
kekuasaan, motif-motif non keuangan, prilaku kelompok, dan sebagainya
(Rothchild dalam Staniland, 1985). Kebangkitan monopoli-monopoli menganggu
asumsi neoklasik dan mengangkat ekonomi institusional yang memahami
keberadaan organisasi-organisasi dan kepentingan-kepentingan kolektif serta
58
kekuasaan dan konflik di antara mereka. Monopoli dalam arus utama ekonomi
klasik, diinterpretasikan sebagai tiadanya persaingan ketimbang sebagai peristiwa
akibat dominansi kekuasaan. Pertanyaan tentang kekuasaan dengan demikian
dapat diabaikan.
Kritik ini telah mengangkat tuntutan adanya analisis yang mengakui
keberadaan kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi serta mencakup
pelaksanaan kekuasaan. Kelompok radikal dari tahun 1960-an meletakkan
tuntutan ini ke bentuk yang lebih spesifik, menyerukan bagi adanya analisis yang
menggunakan bahasa konflik kelas dan mendesak para ekonom agar komitmen
membantu mereka yang menjadi subyek kekuasaan. John Gurley, seorang
ekonom politik radikal membandingkan pendekatan-pendekatan radikal dan
konvensional sebagai berikut (Staniland, 1985) :
Seorang ekonom politik melihat struktur-struktur kekuasaan dan
meletakkan mereka pada sisi depan analisisnya, seorang ekonom
konvensional – yang hanya melihat masyarakat terdiri dari manusia-
manusia ekonomi bebas dengan kepentingan diri sendiri dan berinteraksi
sebagaimana pasar – tidak melakukannya. Ekonom konvensional tidak
hanya gagal untuk memperhitungkan hubungan-hubungan kekuasaan dan
kewenangan, namun juga gagal menangkap aspek-aspek sosial yang
paling relevan dari masalahnya, namun dengan membuatkan diri atas
kepentingan-kepentingan kelas serta terikat dengan data dan teknik-teknik
yang dimilikinya, ia sebagai akibatnya mendukung sistem yang
memperlakukan sejumlah besar orang demikian buruknya .... Ekonom
politik bersikap radikal, di satu sisi, dengan tidak hanya mempelajari
masalah-masalah ekonomi dalam konteks sejarah hubungan penguasa-
subyek, namun secara aktif juga bersisian dengan kalangan miskin dan
tanpa daya, serta umumnya memandang sistem kapitalisme sebagai
penindas” (Gurley, 1971).
Kritik terhadap pandangan Smith ini dengan buku Wealth of nation yang
dianggap sebagai tonggak sejarah dari lahirnya ilmu ekonomi terus mengalir.
Dalam Wealth of nation, Smith membahas berbagai segi persoalan, kalau dilihat
dengan kerangka ilmu-ilmu sosial sekarang, tidak semuanya dikategorikan
59
sebagai aspek dari atau termasuk dalam bidang ekonomi. Menurut Rahardjo
(1988) buku Adam Smith ini kalau digolong-golongkan, akan lebih tepat kalau
dimasukkan dalam ilmu-ilmu pendidikan, sosiologi, politik, dan ilmu-ilmu sosial
non ekonomi bahkan juga pembahasan yang bersifat filsafati. Dawam Rahardjo
menyebut buku Adam Smith ini sebagai ilmu ekonomi politik. Menurut Rahardjo
(1988) ekonomi politik adalah suatu cabang ilmu tentang teori evolusi
kemasyarakatan di mana inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara
sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik, dan selanjutnya itu
semua mengembalikan pengaruhnya kepada proses ekonomi. Smith menurut
Dawam rahardjo melihat perkembangan ekonomi secara optimis dan masa depan
yang cerah. Tidak demikian dengan Thomas Maltus dan David Ricardo.
Keduanya melihat gambaran kemacetan perkembangan ekonomi di masa depan.
Malthus (1798) dalam An Essay on the Principle of Population banyak berbicara
tentang pertumbuhan penduduk yang menghantui cita-cita mencapai kemakmuran
dan Ricardo (1817) dengan On the Principle of Political Economy Taxation
berbicara menengok pada perkembangan pertanian yang bertendensi menurun
produktivitasnya. Ketiga ekonom di atas merupakan peletak dasar perkembangan
ilmu ekonomi politik klasik dan peletak dasar sistem ekonomi kapitalis.
Smith dan Ricardo telah mengembangkan analisa sistem kapitalis yang
sedang berkembang ketika itu. Ciri utama sistem ekonomi kapitalis ketika itu
ialah pengeluaran barang secara umum. Untuk memahami hubungan sosial
ekonomi masyarakat waktu itu, Smith dan Ricardo telah mengembangkan teori
nilai kerja. Teori ini menghubungkan nilai semua barang yang dikeluarkan
dengan biaya tenaga kerja manusia yang terlibat. Teori ini dikembangkan lebih
lanjut oleh Marx dengan kritikan bahwa kemiskinan bersumber pada sistem
hubungan produksi yang ekploitatif. Marx mengajukan kritik frontal dan radikal
terhadap pandangan ekonomi-politik para ekonom klasik yang optimis. Teori
akumulasi kapital yang tadinya disarankan sebagai cara untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, oleh Marx dibalik untuk menjelaskan mekanisme
ekploitasi yang akan membawa sistem kapitalisme yang berlaku dan berkembang
ketika itu kepada proses keruntuhan (Rahardjo, 1988). Teori ekonomi politik
klasik yang dibangun oleh Smith dan Ricardo ini kemudian digunakan oleh marx,
60
Sweezy, Bukharin, Fine dan Horrison yang kemudian melahirkan teori ekonomi
politik baru. Teori ekonomi politik baru lebih dikenal menggunakan pendekatan
materialisme sejarah.
Pendekatan atas studi interaksi antara ekonomi dan politik seperti yang
dikembangkan oleh Marx dapat disebut juga sebagai ekonomi politik modern
(Frey, 1978) dalam Deliarnov (2006). Pendekatan-pendekatan yang berkembang
selain Marxis terdapat juga Neo-Marxis, pendekatan teori sistem, pendekatan
institusional atau tradisional, hingga pendekatan pilihan publik (public choice
approach). Ada yang berpendapat bahwa ekonomi politik modern itu pada
dasarnya adalah penerapan satu metode pokok – yakni model ekonomi mengenai
preferensi, pilihan dan kendala- terhadap prilaku-prilaku non-pasar (Schneider,
1989) dalam Ersson dan Lane (1990). Pendekatan-pendekatan ekonomi politik
modern ini mempunyai banyak kesamaan pada fokusnya yang diletakkan pada
hubungan timbal balik atau resiprositas antara politik dan ekonomi dalam
pengertian yang seluas-luasnya.
pengembangan apa yang oleh Rostow disebut sebagai tahapan tinggal landas
(take-off). Hipotesis Olson mengatakan apa yang disebut sebagai sklerosa
institusional (institutional sclerosis) dalam kepolitikan di suatu negara
mengakibatkan merosotnya tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu
(Olson, 1982). Sedangkan hipotesis Weede menyatakan bahwa demokrasi
sebagai sebuah jenis rezim memberi pengaruh negatif terhadap (menurunkan)
tingkat pertumbuhan ekonomi (Weede, 1984b) dalam Lane dan Ersson (1990).
ekonomi. Menurut Lane dan Ersson (1990) salah satu model yang banyak
dikembangkan adalah model institusionalisasi. Model ini mencoba menguraikan
sebab-sebab bervariasinya tingkat pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara
OECD. Konsep ini diduga menyajikan uraian yang lebih tajam dan jernih
sehingga dianggap sebagai kemajuan dari rangkaian analisis terhadap konsep
pembangunan politik.
2.5.2 Kelembagaan
A. Definisi dan Batasan Kelembagaan
Salah satu faktor penting dalam aspek pengelolaan ekosistem pesisir
adalah perhatian terhadap kelembagaan yang terjadi di lingkungan masyarakat
pesisir. Pada prinsipnya, terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu
kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai
organisasi (Pakpahan, 1989). Menurut Brinkerkoff dan Goldsmitth (1990)
kelembagaan atau institusi merupakan aturan atau prosedur yang mengarah pada
bagaimana masyarakat bertindak dan peranan organisasi yang telah mendapatkan
status tertentu atau legitimasi. Kelembagaan sebagai aturan main menurut
Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990) adalah suatu himpunan hubungan yang
tertata di antara orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya
terhadap hak orang lain, privilage, dan tanggung jawab.
Kelembagaan senantiasa berbarengan dengan kebijakan. Kebijakan yang
bagus tanpa didukung kelembagaan yang baik akan membawa proses
pembangunan ke arah yang baik. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan
pembangunan bersumber dari kegagalan pemerintah dalam menerapkan kebijakan
serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang harusnya menjadi dasar dari
seluruh proses pembangunan baik ekonomi, sosial, politik maupun pengelolaan
sumber daya alam. Kelembagaan dengan demikian sangat erat kaitannya dengan
kebijakan. Sebagian pakar spesialis kelembagaan hanya memusatkan perhatian
pada kode etik, aturan main, sedangkan sebagian hanya melihat pada organisasi
dengan struktur, fungsi dan manajemennya. Kebanyakan analisis kelembagaan
saat ini memadukan organisasi dan aturan main.
63
B. Analisis Kelembagaan
Dalam menganalisis aspek kelembagaan yang terbentuk, dibutuhkan
kerangka analisis (framework) yang tepat sehingga bermanfaat bagi keberlanjutan
sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil. Ostrom (1986, 1990) dan Blamquist,
(1992), Kiser dan Ostrom, (1982) dalam Imperial (1999) telah mengembangkan
suatu “framework” yang membantu untuk menganalisis kelembagaan. Framework
tersebut dinamakan Institutional Analysis and Development (IAD). Kerangka
analisis ini telah digunakan dalam menganalisis penataan dan pengaturan
kelembagaan dalam pengelolaan air tanah, common pool resources, (misalnya,
sistem irigasi, kehutanan, dan perikanan), organisasi metropolitan dan
66
Evaluasi
° Biaya informasi
° Biaya koordinasi
° Biaya strategis
Performa kelembagaan secara
keseluruhan
° Efisiensi
° Keseimbangan fiskal
° Redistribusi keadilan
° Akuntabilitas
3 METODOLOGI PENELITIAN
Sebagai contoh daerah Kalimantan Timur dan Papua yang kaya sumberdaya
minyak, namun angka kemiskinannya tinggi.
Permasalahan pengelolaan
I sumberdaya pesisir dan Pemanfaatan SD pesisir
N laut dan laut
P
U
T
Sumberdaya TK dan
Mangrove
O
U Daya Dukung lingkungan Tingkat Perekonomian
T PPK dan degradasi SDA kesejahteraan wilayah
P masyarakat PPK
U
T
O
U
T
Keberlanjutan sumberdaya
C alam dan kesejahteraan
O masyarakat PPK
M
E
Gambar 5 Kerangka Pemikiran Penelitian
dan sosial politik serta kebijakan yang ada akan dianalisis lebih mendalam dengan
metode analisis ekonomi politik. Analisis ekonomi politik dibutuhkan untuk
menjelaskan permasalahan struktural yang terjadi di lapangan. Kedua analisis
terakhir ini yang akan mengulas lebih detail tentang temuan lapang (menjawab
pertanyaan what) dan penyebabnya (menjawab pertanyaan how). Dari analisis ini,
akan ditentukan implementasi kebijakan terbaik yang mungkin dapat dilakukan
dengan kondisi yang ada. Kerangka kerja operasional dapat dilihat pada Gambar
6. Hasil dari analisis daya dukung dan analisis kesejahteraan akan menghasilkan
salah satu dari 4 (empat) kemungkinan berikut.
Tingkat Daya
Dukung PPK
Evaluasi Implementasi
Kebijakan
Keberlanjutan PPK
susenas DKI Jakarta, data podes, Kabupaten dalam angka serta data kondisi
terumbu karang yang diperoleh dari Yayasan Terumbu karang Indonesia (Terangi)
dan instansi lainnya.
Dalam penentuan tingkat kesejahteraan dan tingkat konsumsi
menggunakan tehnik survey rumah tangga di mana unit sampel adalah rumah
tangga nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan. Metode pengambilan
data tingkat kesejahteraan dilakukan berdasarkan teknik purposive sampling
melalui wawancara dan kuisioner kepada masyarakat dan nelayan terpilih. Dalam
tehnik Purposive sampling pengambilan contohnya ada unsur kesengajaan di
dalamnya dan pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tertentu dalam hal ini berdasarkan jenis usaha perikanan yang ada
di lokasi dan dominan dikerjakan. Jenis usaha masyarakat pesisir meliputi usaha
penangkapan, budidaya, pengolahan dan perdagangan. Pada usaha penangkapan
lebih difokuskan pada nelayan ikan karang yang menggunakan motor tempel
selanjutnya disebut nelayan tradisional.
Jumlah responden masing-masing lokasi (P. Panggang dan P. Pramuka)
sebanyak 30 orang. Sehingga total jumlah responden sebanyak 60 orang.
Populasi nelayan terdiri dari 15 orang, pembudidaya 5 orang, pengolah ikan 5
orang dan pedagang 5 orang. Jumlah nelayan porsinya jumlahnya lebih banyak
karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pesisir di
kedua pulau tersebut berprofesi sebagai nelayan. Jumlah ini dianggap mewakili
populasi nelayan dan masyarakat pesisir lainnya karena anggota populasi relatif
bersifat homogen.
yang ditimbulkan) dan lahan untuk infrastuktur (buit-up land). Sementara itu
jumlah lahan untuk mengabsorpsi jumlah CO2 (atau untuk susbtitusi bahan bakar
bio, biofuels, terhadap bahan bakar fosil) didasarkan pada rata-rata produktivitas
hutan dunia dan diasumsikan konstan. Memang di dalam menghitung ecological
footprint dengan periode jangka panjang ini (time series) pertanyaan yang muncul
adalah data produktivitas lahan yang mana yang akan digunakan untuk
menkonversi aliran biomas ke dalam luas lahan footprint (PKSPL, 2005).
Di dalam penelitiannya, Haberl et al. (2001) menggunakan 3 metode yang
berbeda. Metode yang pertama menggunakan data produktivitas rata-rata dunia
tahun 1995 sebagai acuan tetap. Metode yang kedua menggunakan data
produktivitas rata-rata dunia pada tahun yang bersangkutan (bervariasi). Metode
yang ketiga menggunakan data produktivitas lokal pada tahun yang bersangkutan.
Di dalam kajian ini akan digunakan data produktivitas global pada tahun
yang tetap. Dengan menggunakan metode ini maka footprint yang diperoleh
adalah dalam satuan global. Sementara itu biocapacity berdasarkan data lokal.
Oleh karena itu harus dilakukan koreksi (adjustment) dengan menggunakan ”yield
factor” (Ferguson, 2002). Yield faktor (YF) adalah perbandingan antara
produktifitas lokal terhadap produktifitas global.
Dengan menggunakan data produktivitas global (rata-rata dunia) maka
ecological footprint dihitung dengan rumus :
EFi = (DEi / Ygbl i)
EF = ∑ EFi
EFi : Ecological Footprint produk ke-i
EF : Total Ecological Footprint (dalam satuan global)
DEi : Domestic Extraction produk ke-i
Ygbl I : Yield (produktivitas global) produk ke-i
BC = ∑ Ak YFk
Ak : luas land cover kategori ke-k
YFk : Yield factor land cover kategori ke-k
Nilai kondisi ideal dan terburuk dari IPM disajikan seperti Tabel 6.
3) Analisis Ketimpangan
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
Indeks Gini Rasio Pendapatan Rumah Tangga Nelayan. Persamaan Indek Gini ini
disusun oleh Lorentz dengan bantuan kurva yang disusun dalam suatu skala absis
dan ordinat yang sama. Absis menggambarkan presentase (persentil) populasi dan
ordinat menggambarkan persentase atau persentil pendapatan. Selanjutnya
ditarik diagonal bersudut 45 derajat sebagai batas. Besarnya tingkat kemerataan
dan ketidakmerataan dihitung dari luasan wilayah yang dibentuk oleh fungsi yang
menggambarkan tingkat pendapatan nelayan dan garis diagonal 45%.
Gini koefisien adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar
antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
Koefisien yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50-0,70, sedangkan
distribusi pendapatan yang relatif merata angkanya berkisar antara 0,20-0,38
(Todaro dan Smith, 2004). Bank dunia mengukur ketidakmerataan distribusi
pendapatan berdasarkan besarnya persentase 40% penduduk yang berpenghasilan
rendah dengan kriteria, yaitu :
• Jika persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok tersebut lebih
kecil dari 12 % dari seluruh pendapatan menunjukkan ketimpangan yang
tinggi
• Jika kelompok tersebut lebih menerima 12 sampai 17 % dari seluruh
pendapatan menunjukkan ketimpangan yang sedang
• Jika kelompok tersebut lebih menerima lebih dari 17 % dari seluruh
pendapatan menunjukkan ketimpangan yang rendah
Data yang digunakan dalam perhitungan ini adalah data pendapatan setiap
anggota keluarga yang didapat dari hasil wawancara langsung. Data pendapatan
yang digunakan merupakan pendatan riil dari setiap anggota keluarga. Persamaan
untuk menghitung indeks gini, adalah :
IG = 1 / 2 n =1 ∫ X − f ( x)
100
Dimana :
IG = indeks gini
F (x) = fungsi yang menggambarkan persentase pendapatan nelayan
berdasarkan persentase penduduk yang ada
83
Dimana :
IG = Indeks gini
P = Peluang
Φ = Persen kumulatif pendapatan rumah tangga nelayan
P = n/k
n = Frekuensi pendapatan yang sama dari rumah tangga nelayan
k = Total kumulatif frekuensi pendapatan yang sama
j = Pendapatan rumah tangga nelayan
kesehatan, pendapatan, pekerjaan, kepemilikan aset dan pola pakaian. Selain itu
analisis juga dilakukan pada lingkungan kontekstual yang merupakan jalan keluar
bagi masyarakat dari kemiskinan. Lingkungan kontekstual terdiri dari lingkungan
alam, lingkungan ekonomi, lingkungan sosial dan politik serta ketersediaan sarana
dan pelayanan. Data diolah dengan menggunakan software SPSS .
Pendekatan Kritis
Pendekatan dilakukan dengan paradigma kritis yang ditujukan untuk
melihat apakah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan terdapat mekanisme
ekploitatif sehingga masyarakat pesisir menjadi miskin –sebagaimana marx
mengkritik pandangan ekonom klasik- atau adanya policy bias dan proses-proses
terjadinya kemiskinan masyarakat pesisir lainnya. Paradigma kritis secara
ontologis merupakan cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi
ideologis terhadap faham tertentu. Paradigma kritis menilai realitas secara kritis
dan tidak dapat dilihat secara kasat mata dalam pengamatan manusia, karena
merupakan realitas sejarah yang harus dipahami secara mendalam.
Metodologi yang digunakan dalam paradigma kritis adalah dialektika.
Menekankan empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan responden untuk
merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif. Teori kritis
melihat sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang dihayati
oleh para pelaku. Metode penggalian data dalam pendekatan ini dilakukan
dengan tehnik dialogis dan wawancara mendalam untuk menemukan kebenaran
realitas yang hakiki (Salim, 2001) dalam Wulan (2006). Menurut Fernandes dan
Tandon (1993) metodologi kritis berusaha memahami situasi sosial dan
memahami kecenderungan mengenai : 1) profesionalisasi dan sentralisasi
pengetahuan, hasil dan terapannya; 2) pelaku tidak hanya dianggap sebagai
sumberpemilik pengatahuan. Proses keterlibatan subyek penelitian mempunyai
arti cukup penting dalam proses pertumbuhan kesadaran mereka. Masyarakat
harus mampu melihat masalah mereka sendiri sebagai orang yang terlibat.
Metode Analisis
Pendekatan ekonomi politik dibutuhkan untuk melihat relasi antara daya
dukung ekosistem pulau-pulau kecil dengan tingkat kesejahteraan nelayan
tradisional. Relasi yang terjadi di lapangan akan dijelaskan secara deskriptif
dengan menggunakan data-data primer dan sekunder yang relevan serta
88
Tabel 10 Persoalan yang Dikaji, Jenis Analisis, Sumber Data dan Output
No Uraian Kajian Analisis Sumber Data Hasil
1 Analisis Daya Dukung PPK
a Mengetahui daya dukung Persentase tutupan karang, Data sekunder penelitian sejenis Menunjukkan kualitas terumbu karang
ekologi terumbu karang indek mortalitas dan
kelimpahan ikan karang
b Daya Dukung Lingkungan Ecological footprint Data primer hasil survey lapang Menggambarkan produktivitas lokal dan
PPK Data sekunder penelitian global
2 Analisis Kemiskinan Masyarakat Pesisir
a Mengetahui tingkat Model Kesejahteraan Keluarga Data sekunder (BPS) Mengetahui tingkat kesejahteraan keluarga
kesejahteraan keluarga nelayan nelayan
b Mendeskripsikan tingkat Indek Pembangunan Manusia Data sekunder dari BPS Menggambarkan tingkat pembangunan
pembangunan manusia (IPM) manusia di tingkat Kabupaten, meliputi
Pendidikan, kesehatan dan
konsumsi/pendapatan
c Mengetahui tingkat Analisis gini rasio Data primer hasil kuisioner Menggambarkan distribusi ketimpangan
ketimpangan keluarga nelayan pendapatan rumah tangga nelayan
3 Analisis Ekonomi Politik
a Mengukur relasi antara Analisis Deskriptif • Data primer dari hasil wawancara, Mengetahui kemungkinan adanya faktor bias
kesejahteraan masyarakat observasi lapangan dan kuisioner pembangunan, relasi antara kebijakan dan
dengan kebijakan politik dan • Data sekunder dari hasil kondisi lingkungan, fenomena kemiskinan
lingkungan penelitian yang relevan dan yang muncul dikaitkan dengan teori
kebijakan yang digunakan pembangunan yang berkembang
4 Analisis Kelembagaan
a Melihat efektifitas Analisis Deskriptif • Data primer dari hasil wawancara, Mengetahui tipe profil nelayan, kelembagaan,
Kelembagaan masyarakat observasi lapangan dan kuisioner aktor yang terlibat, tatanan dan aturan main
dalam pengelolaan PPK • Data sekunder dari hasil yang berlaku, daya jangkau dan mata
penelitian yang relevan, statistik pencaharian penduduk serta implikasi
potensi desa 2007 kebijakan
92
peralihan di antara dua musim tersebut biasanya ditandai oleh perairan yang relatif
tenang dan jernih. Musim hujan berlangsung pada November-April dengan hari
hujan 10-20 hari per bulan. Sedangkan musim kemarau berlangsung pada Mei
hingga Oktober dengan hari hujan antara 4-10 hari per bulan. Curah hujan di
Kelurahan Panggang hampir sama dengan rerata curah hujan di Kepulauan Seribu
yaitu 142,54 mm dengan curah hujan terendah pada Juni (0 mm) dan tertinggi
pada September (307 mm).
Kondisi pasang surut di Kelurahan Pulau Panggang dapat dikategorikan
sebagai harian tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 m dan
0,5 m di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani adalah
0,9 m dan rata-rata tunggang air pada pasang mati adalah 0,2 m. Tunggang air
tahunan terbesar mencapai 1,10 m.
Berdasarkan data dari berbagai penelitian, kecepatan arus di Kelurahan
Pulau Panggang berkisar antara 0,6 cm/dt hingga 77,3 cm/dt. Kecepatan arus
dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Semakin menjauhi Laut
Jawa, arus akan semakin melemah. Tinggi gelombang tercatat berkisar 0,5-1,5 m
pada musim barat dan 0,5-1,0 m pada musim timur. Tinggi gelombang sangat
dipengaruhi oleh variasi kecepatan angin dan adanya penjalaran gelombang dari
perairan sekitarnya.
Suhu air dan salinitas laut tidak memiliki fluktuasi yang nyata antar
musim. Suhu air tercatat sebesar 28,5°C-30,0°C pada musim barat dan 28,5°C-
31,0°C pada musim timur. Beberapa parameter kualitas air laut di Kelurahan
Pulau Panggang dan beberapa pulau yang berhuni lainnya seperti P. Pramuka dan
P. Kelapa, telah melampaui baku mutu pada lokasi tertentu, seperti Cu, Cd dan Hg
(LAPI ITB, 2001). Hasil pengukuran suhu pada bulan Juli 2003 oleh Dinas
perikanan DKI (2001) menunjukkan bahwa di Pulau Pramuka berkisar antara 29-
31°C.
Pengukuran salinitas juga dilakukan oleh Dinas Perikanan DKI (2001) di
Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, masing-masing menunjukkan angka 32,0‰
dan 31,5‰. Demikian juga dgn pengukuran PKSPL IPB (2001) bekerjasama
dengan Dinas Perikanan DKI, pengukuran salinitas di timur Pulau Pramuka
94
adalah 32‰, sebelah barat Pramuka adalah 32‰. Sedangkan salinitas di tenggara
Pulau Panggang adalah 32‰ dan di Panggang tengah Pulau Karya adalah 32‰.
Luas areal Kelurahan Pulau Panggang mencapai 62,1 Ha. Pemanfaatan
lahan dari luas total area tersebut antara lain untuk perumahan (41,96%), industri
(8%), kantor dan gudang (22,54%), pertanian (6,57%) dan lainnya (20,93)
(Kecamatan dalam angka, 2007). Alokasi untuk perumahan menempati porsi
tertinggi dan hanya dua pulau yang dijadikan sebagai area pemukiman penduduk
yaitu Pulau Panggang sendiri dan Pulau Pramuka. Pemanfaatan lahan lainnya
digunakan untuk pariwisata bahari, penghijauan, cagar alam, rambu laut dan
pemanfaatan lain.
4.3.2 Perikanan
Sektor usaha yang paling dirugikan akibat kerusakan terumbu adalah
perikanan. Padahal sektor ini merupakan mata pencaharian utama masyarakat
100
Kelurahan Pulau Panggang. Hal ini terbukti dengan proporsi ± 77% penduduk
Kelurahan Pulau Panggang berprofesi sebagai nelayan maupun pembudidaya
ikan. Menurut data bulanan Kelurahan Pulau Panggang tahun 2008, jumlah
nelayan tangkap mencapai 1.536 orang dan pembudidaya ikan sebanyak 186
orang. Hal ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006 dimana jumlah
nelayan tangkap mencapai 2.502 orang, pembudidaya ikan sebanyak 98 orang
(Kecamatan Seribu Utara dalam angka, 2007).
Kondisi ini menggambarkan penurunan usaha perikanan tangkap, akan
tetapi meningkatkan usaha budidaya laut. Peralihan profesi ini disebabkan :
pertama, usaha perikanan dihadapkan pada musim tangkap yang berubah-ubah
dan tidak menentu. Setidaknya ada dua musim utama yaitu musim banyak ikan
(biasanya musim timur) dan musim paceklik/sepi ikan (musim barat).
Ketidakmerataan ini nelayan membutuhkan usaha alternatif, khususnya saat
musim paceklik. Nelayan Kel. P. Panggang mengusahakan budidaya laut seperti
rumput laut dan kerapu sebagai alternatif. Kedua, nelayan/masyarakat pesisir
mencari usaha lain untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Usaha perikanan tangkap di Kelurahan Pulau Panggang didominasi oleh
jenis armada kecil dengan ukuran rata-rata antara 1 – 20 GT. Namun masih
banyak juga nelayan yang menggunakan motor tempel, perahu layar maupun
sampan/jukung. Nelayan menggunakan alat tangkap yang cenderung bervariasi,
yaitu pancing, jaring payang, jaring gebur, jaring rampus, jaring rajungan, muro
ami, bubu, bagan tancap, bagan apung dan jaring ikan hias. Pancing merupakan
alat tangkap yang banyak digunakan nelayan Pulau Panggang maupun Pulau
Pramuka. Tabel 14 berikut menunjukkan penggunaan armada dan alat tangkap di
Kelurahan Pulau Panggang.
101
Akibat adanya pengalihan jenis armada dari kapal motor menjadi perahu
motor/motor tempel. Akibatnya merubah penggunaan jenis alat tangkap. Kedua
jenis alat tangkap tersebut biasa dioperasikan oleh armada kapal motor dengan
kekuatan 5-20 GT. Sedangkan penggunaan bubu cenderung naik pada bubu kecil
dan mengalami kenaikan pada bubu kecil. Bubu merupakan alat tangkap dasar
yang bersifat menjebak. Penggunaannya tidak membutuhkan biaya operasional
tinggi. Penggunaan BBM hanya digunakan bagi perahu motor untuk memeriksa
keadaan bubu sekaligus pada saat memanen ikan. Peralihan penggunaan alat
tangkap dari kapal motor mungkin juga beralih kepada bubu atau jenis usaha
perikanan lainnya seperti budidaya rumput laut maupun budidaya kerapu.
Perkembangan usaha budidaya laut di Kelurahan Pulau Panggang dapat dilihat
pada Tabel 16.
103
untuk pariwisata komersial maupun kepentingan riset dan pribadi. Terangi (2008)
sampai tahun 1998, menyebutkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke
Kepulauan Seribu meningkat. Setelah krisis ekonomi 1998, jumlah wisatawan
mancanegara menurun dan minus 27,5% (Terangi, 2005). Wisatawan yang
mengunjungi 11 pulau wisata periode januari-mei 2001 mencapai 22.868 orang
dan sebesar 87% berasal dari domestik (Adriani, 2000). Kondisi menunjukkan
faktor politik dan keamanan yang kondusif sangat menentukan.
Daya tarik wisata di Kepulauan Seribu mengandalkan eksotisme terumbu
karang beserta panorama laut dan pantainya. Namun, terjadi penurunan daya tarik
wisatawan karena kerusakan terumbu karang. Selain itu, P. Panggang menjadi
lokasi riset bagi mahasiswa, institusi perguruan tinggi, instansi pemerintah
maupun lembaga swadaya masyarakat maupun untuk keperluan memancing. Hal
ini mendorong tumbuhnya berbagai hunian dan hotel yang diperuntukkan bagi
penginapan para pengunjung. Terdapat ± 6 penginapan yang terdapat di Pulau
Pramuka dengan kondisi penginapan yang cukup representatif.
105
34.22
35
30 24.92
23.7
25 19.86 2004
20 2005
15
10
0
KK KM
Rerata Penutupan Karang (%)
0.42
0.42
0.41
0.4
0.39
0.38 0.37
0.37
0.36
0.35
0.34
2004 2005
sabuk. P. Genteng Besar dan P. Bira merupakan lokasi terkaya dengan 39 marga
dan Gosong P. Rengat merupakan yang termiskin dengan 20 marga karang keras.
Sedangkan di wilayah Kelurahan P. Panggang, lokasi terkaya adalah P.
Gosong Pandan/Karang, P. Congkak dan P. Sekati dengan 37 marga. Pulau
Panggang dan P. Pramuka sendiri memiliki 36 dan 32 marga. Montopora,
Acropora, Goniopora, dan Galaxe mendominasi wilayah Kelurahan P. Panggang.
Indeks keanekaragaman (H’) marga di Kepulauan Seribu berkisar 2,14-
3,20. Di utara seperti P. Pari, Gosong Pramuka dan Gosong P. Rengat memiliki
nilai indeks keanekaragaman yang rendah. Sedangkan di Kelurahan P. Panggang
indeks keanekaragaman berkisar 1,98-3,01 dengan H’ tertinggi di P. Panggang
dan terendah di Gosong Pramuka. Lokasi Gosong Pramuka cukup mencolok
karena termasuk dalam 3 lokasi yang paling rendah di Kepulauan Seribu.
Komunitas karang keras yang terdapat di Gosong Pramuka sangat tidak beragam
dan jumlah jenis spesiesnya sedikit. Sedangkan di P. Panggang, keanekaragaman
komunitas karang keras dan jumlah jenis spesiesnya cukup tinggi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan/pemanfaatan komunitas
terumbu karang di P. Panggang mengalami perbaikan dibandingkan di Gosong
Pramuka dan lokasi lainnya di Kelurahan P. Panggang. Berkurangnya
penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang menunjukkan
tingginya kesadaran nelayan dalam memelihara ekosistem terumbu karang.
Bahkan di P. Panggang mulai berkembang upaya pemulihan terumbu karang
dengan membudidayakannya melalui metode transplantasi. Tabel 19
menunjukkan perbandingan kakayaan marga, kelimpahan, indek keanekaragaman
(H’) serta marga dominan di Kelurahan P. Panggang.
110
Semak Daun) dengan rerata 1,5. Nilai rerata indeks keanekaragaman mengalami
penurunan selama periode 2004-2005. Status komunitas karang berdasarkan
indeks keanekaragaman rata-rata dalam kondisi keragaman rendah (tahun 2004
dan 2005). Penurunan keanekaragaman disebabkan karena berkurangnya kualitas
ekosistem terumbu karang akibat kerusakan alamiah maupun karena aktivitas
manusia. Penangkapan ikan karang dengan menggunakan alat tangkap terlarang
dan tidak adanya upaya rehabilitasi serta penyadaran menyebabkan penurunan
kualitas terumbu karang.
35 31.9
30 27.5
25
2004
20
2005
15
10
0
Jumlah jenis H' E D
yang lain (10 terbanyak), total kelimpahan 10 jenis ikan karang ini mencapai
lebih dari 77% dari kelimpahan total. Sedangkan pada tahun 2005, jenis ikan
yang paling tinggi nilai kelimpahannya adalah Chrysiptera bleekeri dan
Pomachantus sextriatus (kambing-kambing). Jumlah kelimpahan ikan jenis ini
bersama dengan sembilan jenis ikan lainnya mempunyai jumlah kelimpahan
mencapai 83% dari seluruh kelimpahan jenis yang teramati. Jumlah jenis ikan
karang, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi, dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Untuk itu analisis daya dukung tetap perlu dilengkapi dengan analisis kesesuaian
lahan.
1
Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)
2
Ferguson (1999)
3
Asumsi 50% dari luas lahan P. Panggang yaitu sebesar 9 Ha
4
Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)
5
Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)
6
Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)
7
Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998)
8
Produktivitas global (Wackernagel dan Yount, 1998 ; Warren-Rhode dan Koeing, 2001)
9
Produktivitas laut sekitar P. Seribu
10
Luas ekosistem TK P. Panggang berdasarkan hasil analisis citra Alos, 2008
118
jenis lahan mana yang relatif lebih tersedia dibandingkan jenis lainnya. Lahan
perikanan (sumber ekosistem terumbu karang dan perairan P. Panggang)
mempunyai daya dukung sebesar 3.991 orang. Hal ini bukan berarti bahwa 3.991
orang dapat tinggal di P. Panggang untuk memanfaatkan ekosistem terumbu
karang dan lahan perairan di wilayah tersebut. Lahan perikanan khususnya yang
bersumber dari ekosistem terumbu karang mampu mensuplai kebutuhan pangan
dari bahan ikan sebanyak 3.991 orang. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
ketersediaan lahan perairan yang masih memungkinkan bisa memproduksi hasil
perikanan tanpa harus merusak lingkungan. Maka ekosistem pesisir dan laut
masih mampu mensubsidi sebanyak 3.991 orang dengan ikan sebagai bahan
pangan utamanya.
Melalui metode footprint menunjukkan bahwa masyarakat Pulau
Panggang saat ini masih bisa mensuplai bahan pangan khususnya dari sumber
hasil perikanan kepada penduduk dunia lainnya yaitu sebanyak 893 orang.
Jumlah penduduk saat ini mencapai 3.380 orang, maka dimungkinkan terjadi
ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang menghuni dengan kemampuan
P. Panggang mensuplai kebutuhan pangan penduduk dunia. Artinya jika dihitung
dari jumlah total ecological footprint, P. Panggang menghasilkan nilai 4,46
ha/kapita. Sedangkan biocapacity nya hanya tersedia sebesar 1,03 ha/kapita.
Dengan membandingkan antara EF dan Biocapacitynya (BC) terlihat bahwa BC <
EF. Hasil ini menunjukkan telah terjadi defisit sumberdaya alam di P. Panggang.
Kondisi yang tidak seimbang antara ketersediaan lahan dengan jumlah
penduduk yang ada saat ini menyebabkan daya dukung lingkungan P. Panggang
sudah melampaui kapasitasnya. Kelebihan daya dukung ini terlihat dari
kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan yang hanya bisa mensuplai
kebutuhan pangan sebanyak 893 orang. Padahal jumlah penduduk P. Panggang
saat ini saja berjumlah 3.380 orang. Artinya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di P. Panggang saja, sumberdaya alam dan lingkungan laut P.
Panggang sudah tidak mampu. Perebutan akses terhadap sumberdaya
memungkinkan terjadi ditandai dengan adanya konflik antar nelayan di wilayah
perairan Kepulauan Seribu meskipun sangat sedikit. Keberadaan alat tangkap
arad (modifikasi trawl) serta alat tangkap lain sejenis seperti mouroami, dogol
119
dan jaring lampara dasar, terbukti telah meresahkan nelayan tradisional dan dapat
memicu konflik sosial. Akibat beroperasinya alat tangkap terlarang tersebut,
jumlah hasil tangkapan nelayan tradisional makin berkurang.
Kondisi P. Panggang yang defisit sumberdaya alam dan lingkungan ini
bisa berakibat kepada kekurangan bahan pangan atau kebutuhan pokok lainnya.
Hal itu dalam jangka panjang bisa mengakibatkan terjadinya penurunan
kesejahteraan masyarakat atau meningkatnya kemiskinan di wilayah P. Panggang.
Analisis itu didasarkan pada perhitungan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan
sudah tidak mampu menyediakan kebutuhan pokok manusia di wilayah tersebut
dan sekitarnya.
terdiri dari karang hidup sebesar 4,73 ha, karang mati 0,99 ha, lamun 9,54 ha dan
pasir seluas 7,42 ha.
PDRB Perkapita
PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang dapat diciptakan
oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Angka
PDRB per kapita dapat dijadikan sebagai satu indikator kesejahteraan rakyat
walaupun tidak dapat langsung menggambarkan kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat atau penduduk.
Tabel 24 menunjukkan bahwa PDRB per kapita tanpa migas meningkat
dari Rp 8.864.340 tahun 2004 menjadi Rp 9.756.071 tahun 2005 atau mengalami
127
peningkatan sebesar 10,06 %. Namun, secara ril PDRB per kapita tersebut hanya
sebesar Rp 6.695.287 tahun 2004 kemudian meningkat menjadi Rp 6.811.994
tahun 2005.
Hasil pendataan responden miskin Tahap I dan II tahun 2005 oleh BPS,
menunjukkan bahwa terdapat 150.492 responden miskin di DKI Jakarta. Hasil ini
lebih banyak dibandingkan temuan pada tahun 2004 sebanyak 91.468 responden.
Apabila diamati jumlah anggota respondennya, maka terjadi peningkatan jumlah
penduduk miskin dari tahun 2004 ke tahun 2005, yakni dari 370.898 penduduk
miskin menjadi 633.212 (4,25 % dari penduduk DKI Jakarta).
sebesar 98,2%. Krisis ekonomi yang dipicu oleh kenaikan BBM di tahun 2005
tidak bisa diantisipasi dengan baik oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta.
Tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu sebagai akibat pukulan keras
kenaikan BBM mengakibatkan semakin tingginya angka putus sekolah.
Fasilitas Pendidikan
Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidak terlepas dari
ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Fasilitas pendidikan ditunjukkan
dengan ketersediaan bangunan pendidikan baik formal maupun non formal. Tabel
30 menyajikan fasilitas pendidikan yang ada di DKI Jakarta termasuk Kepulauan
Seribu di dalamnya menurut jenjang pendidikan dan status pengelolanya.
Kepulauan Seribu masih terlihat cukup seimbang jika dibandingkan dengan rata-
rata rasio murid-guru Jakarta.
belanja non makanan dibandingkan makanan. Hal itu sesuai dengan kondisi
warga Kepulauan Seribu yang masih disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan basic
need, maka alokasi pengeluaran lebih banyak digunakan untuk makanan.
Sedangkan masyarakat Jakarta kebanyakan, rata-rata kemampuan ekonominya
sudah maju, didukung oleh fasilitas perbelanjaan dan ketersediaan barang dan jasa
serta kompleksitas kebutuhan masyarakat, membuat pengeluaran perkapita lebih
banyak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non makanan. Tabel 35
menjelaskan tentang rata-rata pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan dan
jenis pengeluaran di Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta.
pengeluaran ril per kapita sebagai komponen dasar IPM, semuanya mengalami
peningkatan.
Nilai IPM Kepulauan Seribu masih jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan IPM DKI Jakarta dan sedikit di bawah IPM nasional (Indonesia). Dari sisi
peringkat tahun 2005 sempat mengalami penurunan dari 261 ke 267 dan
kemudian naik kembali menjadi peringkat 233 dari 456 Kabupaten/Kota yang ada.
Penurunan peringkat pada tahun 2005 disebabkan karena krisis ekonomi yang
ditandai oleh kenaikan BBM yang berlangsung hampir 2 kali selama tahun 2005.
Perbedaan nilai IPM Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Nasional dapat dilihat
pada Gambar 10.
Keberhasilan pembangunan manusia, tidak mutlak diukur dari urutan
posisi (ranking), akan tetapi dapat dilihat juga reduksi shortfall nya. Berdasarkan
ukuran itu terlihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia.
Reduksi shortfall Kepulauan Seribu selama periode 2004-2005 adalah 1,21,
kemudian dengan cepat naik nilainya pada periode 2005-2006 menjadi 5,17. Hal
itu memberi indikasi bahwa peningkatan kualitas hidup penduduk menunjukkan
percepatan dari tahun ke tahun. Percepatan tersebut terasa setelah Kepulauan
Seribu resmi menjadi Kabupaten baru di wilayah Propinsi DKI Jakarta sejak tahun
2002 yang diikuti dengan berbagai program pembangunan. Jika dibandingkan
dengan Kab/Kota lainnya di DKI Jakarta, masih sangat jelas terjadi
ketimpangan/ketidakmerataan dalam pembangunan manusia.
142
78
76.1 76.3
75.8
76
74
72
Kep. Seribu
Nilai IPM 69.6
70.1
70 69.3 DKI Jakarta
68.7
Indonesia
67.6
68 67.2
66
64
62
2004 2005 2006
80
77.9 78.3
77.4 77.377.1 77.477.4
78 76.7 76.3
76.2 76.4 76.1 76.1
75.775.8 75.8
76 74.975.1 Kepulauan Seribu
74 Jakarta Selatan
72 Jakarta Timur
Nilai IPM
64 Indonesia
62
60
2004 2005 2006
sekolah yang baru mencapai nilai 7,8 pada tahun 2006. Nilai ideal rata-rata lama
sekolah adalah 15. Daya beli masyarakat dari tahun 2004-2006 juga menunjukkan
peningkatan meskipun masih jauh di bawah standar ideal yaitu Rp 732.720,-.
Sedangkan Kepulauan Seribu daya beli masyarakatnya pada tahun 2006 baru
mencapai Rp 578.800,-. Adanya peningkatan pada semua komponen IPM di
Kepulauan Seribu ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat semakin membaik.
Nilai IPM DKI Jakarta yang tertinggi tidak serta merta merubah status
pembangunannya. Secara total, seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia status
pembangunannya belum ada yang masuk dalam kategori tinggi. Status
pembangunan Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta beserta semua Kota-kota
lainnya di DKI Jakarta status pembangunannya masuk dalam kategori menengah
atas.
Jumlah Keluarga
(keluarga)
(orang)
(%)
PULAU
PANGGANG 2273 2152 1240 85 573 1240
Sumber : Podes, 2006 BPS Jakarta
keluarga. Dari total penduduk, 2.273 diantaranya adalah laki-laki dan 2.152
adalah perempuan. Persentase jumlah keluarga pertanian (perikanan) mencapai
85%. Artinya mayoritas penduduk Kelurahan P. Panggang berprofesi di bidang
perikanan atau yang terkait dengan usaha perikanan lainnya. Data ini menjadi
gambaran betapa tingginya ketergantungan penduduk terhadap sumber daya
pesisir dan laut.
Jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera 1 (KS 1) sekitar 573
keluarga atau sekitar 46.21% dari total jumlah keluarga yang ada. Jumlah keluarga
miskin di Kelurahan P. Panggang hanya terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka.
Karena di antara 12 pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan
P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang peruntukannya untuk
pemukiman penduduk. Angka tersebut dapat juga menunjukkan bahwa hampir
separuh dari jumlah keluarga yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan tersebut
merupakan keluarga miskin.
Data ini juga semakin memperkuat analisis bahwa kemiskinan selalu
diidentikkan dengan nelayan dan masyarakat pesisir. Masyarakat Kepulauan
Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnya mayoritas penduduknya
bermata pencaharian sebagai nelayan atau usaha perikanan lainnya seperti
budidaya laut, pengolahan hasil perikanan dan perdagangan.
Setidaknya tercatat beberapa potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang agar kesejahteraannya meningkat.
Beberapa potensi tersebut antara lain ekosistem terumbu karang, lamun, ekosistem
pantai, pulau-pulau yang difungsikan sebagai pariwisata dan cagar alam serta
status P. Pramuka sebagai pusat ibu kota Kabupaten Kepualaun Seribu. Potensi
SDPL tersebut belum dan atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh
masyarakat guna meningkatkan kesejahteraannya. Inilah yang menjadi pertanyaan
besar kenapa masyarakat yang dikelilingi oleh sumber daya melimpah namun
angka kemiskinannnya masih tinggi.
Keluarga pra sejahtera (sangat miskin) ditandai oleh adanya beberapa
indikator ekonomi dan non ekonomi yang belum dapat dipenuhi oleh keluarga
tersebut. Indikator ekonomi yang dimaksud adalah : makan dua kali atau lebih
sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah,
146
bekerja/ sekolah dan bepergian), dan bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
Sedangkan indikator non-ekonomi ditandai oleh indikator antara lain pelaksanaan
ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. Tabel 39 merupakan hasil
survey yang dapat digunakan untuk mempertegas kategorisasi keluarga miskin
yang terdata dalam Podes 2006.
Hasil wawancara dengan 30 KK di P. Panggang dan 27 KK di P. Pramuka
menunjukkan masih adanya keluarga sangat miskin meskipun jumlahnya sudah
berkurang. Sebagai contoh, masih ada 5 responden (8,77%) di P. Panggang dan
P. Pramuka yang bahan lantainya masih berupa tanah. Untuk pola berpakaian,
sekitar 36 keluarga (65,45%) mengatakan bahwa setahun sekali ganti pakaian dan
sebanyak 12 keluarga (21,82%) mengaku tidak mempunyai pakaian khusus untuk
acara/kegiatan tertentu. Demikian jika anggota keluarga ada yang sakit, sekitar 19
keluarga (26%) mengobatinya dengan membawa ke dukun atau mengkonsumsi
obat-obatan yang dijual bebas di warung. Hasil survey mempertegas adanya
masyarakat yang berada dalam status sangat miskin, namun jumlahnya sedikit.
Kategori Jumlah KK %
Luas lantai : < 8 m2 7 12.28
Bahan lantai : tanah 5 8.77
Pola pakaian : setahun membeli satu kali 36 65.45
Tidak punya pakaian khusus 12 21.82
Bila sakit berobat ke dukun 1 1.75
Bila sakit menggunakan obat warung 18 31.58
Pendapatan tidak tetap, musiman 28 50.00
Pendapatan harian 26 46.43
KK yang tidak sekolah 6 10.71
Dari yg tidak sekolah, yg tdk bs baca tulis 1 16.67
KK yang mengikuti program KB 42 73.68
Sumber : Data primer
anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dan luas lantai
rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni. Sedangkan indikator non
ekonomi meliputi : Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan
tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah dan
anak lebih dari 2 orang, ber-KB.
Data ini dapat diperkuat dengan melihat hasil wawancara langsung kepada
30 keluarga di P. Panggang dan 27 keluarga di P. Pramuka. Sebagai contoh,
terdapat 7 responden (12,28%) yang luas lantainya < 8 m2. Dari sisi pendapatan
sebanyak 54 kepala keluarga (96%) menyatakan bahwa pendapatan yang mereka
terima bersifat tidak tetap, musiman dan harian. Jika dilihat dari jumlah anggota
keluarga yang tidak sekolah, hanya tercatat sekitar 6 kepala keluarga (11%) yang
tidak bersekolah. Dari 6 orang tersebut 5 orang diantaranya dapat membaca tulis
huruf latin dengan cara otodidak dan hanya 1 orang yang betul-betul tidak bisa
baca tulis. Dalam hal menyekolahkan anak, hampir semua keluarga mampu
menyekolahkan anaknya. Hanya sekitar 9 kepala keluarga (10%) yang
menyatakan tidak mampu menyekolahkan anaknya. Sedangkan dari keikutsertaan
program KB, 15 kepala keluarga menyatakan tidak ikut program KB.
Tabel 39 juga menggambarkan bahwa 53,79% merupakan keluarga
sejahtera I-III plus. Survey lapang memperkuat data ini dengan melihat beberapa
indikator keluarga sejahtera sebagian besar keluarga mampu memenuhinya.
Sebanyak 57 responden mengatakan bahwa 30 kepala keluarga (52,63%)
menyatakan telah mempunyai tabungan meskipun masih banyak disimpan di
celengan atau dititipkan ke perorangan. Sekitar 55 orang (96%) menyatakan
jarang dan atau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dan sebanyak 39 orang
(68%) aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Kategori keluarga sejahtera I-III
tersebut lebih banyak masuk pada kategori KS I-II. Karena jika dilihat jumlah
kepala keluarga yang aktif memberikan sumbangan hanya sekitar 35 orang dan
yang betul-betul aktif dalam kepengurusan organisasi hanya sekitar 15 orang
kepala keluarga. Tabel 40 hasil survey mempertegas kategorisasi Keluarga
Sejahtera II-III plus.
148
Kategori Jumlah KK %
Memilik tabungan 30 52.63
Aktif dalam kegiatan sosial keagamaan 30 52.63
Jarang aktif dalam kegiatan sosial keagamaan 25 43.86
Rekreasi setahun 1 kali sampai 2 kali 7 12.28
Sesekali melakukan rekreasi keluarga 33 57.89
Bisa mendapatkan akses informasi 45 80.36
Bisa mengakses informasi lebih dari satu sumber 9 16.07
Sering memberikan sumbangan 21 37.50
Jarang memberikan sumbangan 35 62.50
Aktif dalam organisasi kemasyarakatan 15 26.32
Jarang aktif dalam organisasi kemasyarakatan 24 42.11
Sumber : Data primer
tinggi kualitas bahan bangunan dan semakin baik fasilitas yang dimiki,
mencerminkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penghuninya. Karena kualitas
dan fasilitas memberikan sumbangan bagi kenyamanan hidup sehari-hari.
Tabel 42 menunjukkan bahwa rata-rata rumah penduduk di P. Panggang
dan P. Pramuka menggunakan atap dari bahan seng/asbes (92.86%), bahan
bangunan rumah berupa tembok (78.95%), bahan lantai dasar berupa keramik
(57.89%). Tabel 42 juga menunjukkan bahwa responden di P. Panggang rata-rata
menempati luas lantai 80 m2 sebanyak 46.67% dan 33.33% berada di P. Pramuka.
Responden P. Pramuka yang menempati luas lantai di atas 100 m2 lebih besar
dibandingkan P. Panggang masing-masing 14.81% dan 13.33%. Angka ini lebih
tinggi dari rata-rata luas lantai rumah tangga di Kepulauan Seribu. Sebanyak
6,88% (2006) dan 6.25% (2007) rumah tangga menempati luas lantai di atas 100
m2 dan paling banyak menempati luas lantai antara 50-99 m2 sebesar 71,25%
(2006) dan 52.2% (2007). Dilihat dari luas lantai, tingkat kesejahteraan
responden P. Panggang dan Pramuka masih di atas rata-rata rumah tangga di
Kepulauan Seribu.
Selain luas lantai, fasilitas rumah lainnya yang menjamin kesejahteraan
anggota keluarga yang berada di dalamnya adalah ketersediaan ruang seperti
tempat buang air besar, kamar mandi, kamar tidur sendiri, ruang tamu dan dapur.
Hasil survey menunjukkan bahwa 51,72% responden P. Panggang menggunakan
WC sendiri/umum dan responden P. Pramuka hanya sekitar 38,46%. Data ini
menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki
kakus sendiri terus meningkat karena data tahun 2006 menunjukkan bahwa
pemakaian WC sendiri di Kepulauan Seribu hanya 27,19% dan 35,63% tahun
2007. Hasil ini menggambarkan tingkat kesadaran masyarakat P. Panggang untuk
menggunakan WC sendiri lebih baik dibandingkan masyarakat P. Pramuka.
Namun bisa juga disebabkan karena jumlah responden di P. Panggang lebih
banyak dibandingkan dengan responden di P. Pramuka, sehingga angka
pemakaian WC sendiri di P. Panggang lebih tinggi.
151
Pendidikan
Pendidikan yang ditamatkan merupakan indikator pokok kualitas
pendidikan formal. Tingginya tingkat pendidikan yang dicapai oleh rata-rata
penduduk suatu negara mencerminkan taraf intelektualitas suatu bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu indikator pokok kesejahteraan masyarakat
karena adanya jaminan ketersediaan sumberdaya manusia yang unggul.
Jika melihat komposisi penduduk berdasarkan pendidikan tertingginya,
terlihat bahwa 65% responden Kelurahan P. Panggang berpendidikan rendah yaitu
tamat SD ke bawah. Proporsi penduduk yang lulus SLTP sebesar 23% dan SMA
hanya 13%.
Tabel 44 menunjukkan bahwa penduduk 10 tahun ke atas yang tidak
sekolah/tidak punya ijazah di P. Panggang lebih banyak dibandingkan di P.
Pramuka. Angka yang tidak lulus sekolah sebesar 17,24%, sebesar 55,17% tamat
SD/Ibtidaiyah, tamat SMP/MTs sebesar 20,69% dan tamat SMA/MAN sebesar
6,90%. Sedangkan penduduk di P. Pramuka relatif lebih baik dari tingkat
153
Data BPS tahun 2007 juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan paling
tinggi masyarakat Kepulauan Seribu adalah sampai SD dengan jumlah sekitar
36,78%, tidak sekolah/tidak punya ijazah sekitar 24,96%, tamat SMP sekitar
19,15%, tamat SMA sekitar 13,55%, tamat SMK sekitar 1,99%, dan yang sampai
pada jenjang universitas mulai strata D3 sampai S2/S3 hanya mencapai sekitar
3,51%.
Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan rata-rata masyarakat
Kepulauan Seribu, ada peningkatan kesadaran penduduk P. Panggang dan P.
Pramuka untuk meningkatkan kualitas SDM nya.
Hasil survey menunjukkan kemampuan menyekolahkan anak di P.
Panggang sampai pada level perguruan tinggi sekitar 13,33% dan 3,70% di P.
Pramuka. Umumnya kemampuan orang tua di P. Panggang menyekolahkan anak-
anaknya sampai pada jenjang SMA/MAN (60%) dan proporsi ini lebih baik jika
dibandingkan dengan P. Pramuka pada level yang sama yaitu sebesar 44,44%.
Pada tingkat SMP, kemampuan menyekolahkan anak bagi orang tua di P.
Panggang sekitar 36,67% dan 36,67% pada level SD. Sedangkan untuk orang tua
di P. Pramuka kemampuan menyekolahkan anak pada level SMP sekitar 25,93%
dan pada level SD sekitar 62,96%. Data ini menunjukkan bahwa tingkat
kesadaran orang tua di P. Panggang lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas
SDM anak-anaknya dibandingkan di P. Pramuka. Hal itu terlihat jelas dari
persentase kemampuan menyekolahkan anak pada level perguruan tinggi. Secara
154
Kesehatan
Salah satu indikator pokok kesejahteraan adalah kesehatan. Tingkat
kesehatan seseorang dapat diukur dari seberapa besar jumlah penderita sakit dan
kemana biasanya pengobatan dilakukan pada saat sakit. Kepulauan Seribu sebagai
Kabupaten yang baru berdiri pada tahun 2002 sampai saat ini masih jauh
tertinggal dari segi ketersediaan sarana kesehatan jika dibandingkan Kab/Kota
lainnya di DKI Jakarta. Miskinnya fasilitas kesehatan menjadikan masyarakat
mengalami kesulitan pada saat sakit. Meskipun tersedia rumah sakit di P.
Pramuka yang dibangun pada tahun 2006/2007, namun tidak dilengkapi dengan
fasilitas pengobatan yang memadai. Sehingga masyarakat Pulau Seribu dan
Kelurahan P. Panggang khususnya tetap memilih ke Jakarta untuk berobat.
Tabel 46 menunjukkan bahwa jika responden di Kelurahan P. Panggang
mengalami sakit maka mereka lebih banyak berobat ke puskesmas/bidan.
Sebanyak 80% responden di P. Panggang memilih berobat ke
Puskesmas/bidan/puskesmas pembantu jika sakit, 10% berobat ke RS/Dokter
praktek, 3,33% berobat ke dukun dan 30% menggunakan obat-obatan warung jika
155
sakit. Data yang tidak jauh berbeda ditunjukkan responden di P. Pramuka ketika
sakit. Sebanyak 66,67% responden di P. Pramuka lebih memilih berobat ke
puskesmas/pustu ketika sakit, 22,22% memilih berobat ke RS dan 33,33%
membeli obat warung jika sakit.
5
Jumlah Posyandu(Unit)
1
Jumlah Puskesmas
Pembantu (Unit)
1
Jumlah Puskesmas (Unit)
0
Jumlah Rumah Sakit
Bersalin (Unit)
1
Jumlah Rumah Sakit
(Unit)
0 1 2 3 4 5 6
terakhir (keluarga)
ini (Orang)
(surat)
PULAU PANGGANG 0 1 2 1 1 573 171
Sumber : Podes, 2006 BPS Jakarta
KB sebagai alat ber KB, 19,2% dengan PIL KB, 7,1% dengan susuk KB, 1,1%
dengan spiral dan sekitar 0,5% secara tradisional.
Tabel 48 juga menunjukkan indikator kesehatan lainnya yaitu tingkat
kegagalan kelahiran yang menyebabkan bayi atau ibunya meninggal. Angka
kematian bayi/ibu saat melahirkan ini menjadi salah satu parameter pengukuran
IPM. Data survey menunjukkan bahwa selama 1 tahun terakhir di P. Panggang
sebanyak 92.86% responden menjawab tidak mengalami kegagalan dalam
melahirkan dan ibu serta bayi yang dilahirkan juga selamat. Hanya terdapat
sekitar 3,57% bayi/ibunya meninggal saat melahirkan dan 3,57% responden
menjawab bahwa selama 1 tahun terahir isteri mereka tiak melahirkan.
Data serupa juga terlihat di P. Pramuka, sebanyak 87,50% responden
selama 1 tahun terakhir tidak mengalami kasus gagal dalam melahirkan dan hanya
12,50% pernah terjadi kegagalan. Data di kedua pulau ini menunjukkan bahwa
persalinan yang selama ini berlangsung di kedua pulau tersebut berjalan dengan
baik. Bisa jadi hal itu disebabkan karena ketersediaan tenaga medis dan didukung
oleh fasilitas yang ada. Namun menurut data Podes 2006 ketersediaan tenaga
medis untuk melahirkan sangat terbatas di Kelurahan Panggang. Di Kelurahan P.
Panggang hanya terdapat 1 bidan dan 2 dukun melahirkan yang berpengalaman.
Keterjaminan kesehatan seseorang juga ditentukan seberapa besar jaminan
kesehatan tersedia khususnya bagi masyarakat miskin. Survey menunjukkan
bahwa sebanyak 46,67% keluarga di P. Panggang tidak memiliki askeskin dan
53,33% mengaku memiliki askeskin. Sedangkan di P. Pramuka menurut hasil
survey menunjukkan sebanyak 48,15% keluarga memiliki askeskin dan 51,85%
mengaku tidak memiliki askeskin. Data ini menunjukkan masih sedikitnya
masyarakat yang memiliki askeskin.
Sedikitnya penduduk yang memiliki asekeskin disebabkan karena
pemerintah daerah dan pemerintah desa khususnya kurang intensif
mensosialisasikan butuhnya askeskin dan membuka akses bagi masyarakat miskin
untuk menerima askeskin. Disamping itu, bisa jadi masyarakat belum merasa
membutuhkan askeskin tersebut. Birokrasi yang rumit dalam pengurusan askes,
sosialisasi yang kurang serta kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan
menjadi penyebab lain dari rendahnya penerima/pengguna askeskin.
160
Pendapatan
Tingkat kesejahteraan responden salah satunya ditentukan oleh tingkat
pendapatan yang dihasilkannya. Perbedaan pendapatan ditentukan oleh
kepemilikan sumberdaya dan faktor produksi yang berbeda satu orang dengan
lainnya, terutama kepemilikan modal. Biasanya pihak yang mempunyai barang
modal yang lebih banyak didukung oleh faktor produksi yang lebih besar, akan
memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan pihak yang memiliki
161
Jumlah Pendapatan
> 2.000.000 0.00 3.70 1.79
1.000.000-2.000.000 48.28 29.63 39.29
500.000 - 1.000.000 34.48 55.56 44.64
<500.000 17.24 11.11 14.29
Total 100.00 100.00 100.00
Sifat Pendapatan
tetap, setiap bulan 6.90 0.00 3.57
tidak tetap, setiap musim 62.07 37.04 50.00
harian 31.03 62.96 46.43
Total 100.00 100.00 100.00
Sumber : Data Primer
Kepemilikan Aset
Kesejahteraan seseorang juga ditentukan oleh tingkat kepemilikan aset
yang dimiliki. Semakin banyak aset yang dimiliki menunjukkan kemampuan
membeli barang juga tinggi, berarti juga pendapatannya juga tinggi. Semakin
banyak aset yang dimiliki seseorang semakin menunjukkan tingkat kesejahteraan
dari sisi materiil seseorang. Kepemilikan aset dalam survey dibedakan menjadi
aset responden dan aset perikanan. Aset perikanan berupa alat produksi untuk
melakukan usaha perikanan.
sebanyak 96,55%. Aset terbanyak kedua adalah tape/radio (58,62%), kursi tamu
(48,28%), kulkas (44,83%), dan selanjutnya berturut-turut HP (37,93%), sepeda
pancal, alat elektronik lain, tanah, mesin jahir, sepeda motor dan mesin cuci. Bagi
masyarakat P. Panggang TV dan DVD bukan merupakan barang mewah lagi dan
bahkan bisa jadi sudah menjadi barang pokok.
Demikian halnya dengan responden di P. Pramuka, aset terbanyak yang
dimiliki masyarakat adalah TV/DVD sebanyak 85,19%. Aset kedua terbanyak
yaitu tape/radio dan HP masing-masing (70,37%), alat elektronik lain (62,96%),
sepeda pancal (48,15%), kulkas (37,04%) dan kursi tamu (33,33%). Aset lainnya
seperti tanah, mesin cuci dan sepeda motor juga banyak dimiliki oleh responden di
P. Pramuka.
Dari sisi kepemilikan aset, khususnya jika dilihat aset-aset yang bernilai
tinggi seperti tanah, sepeda motor, mesin cuci dan mesin jahit, menunjukkan
bahwa responden di P. Pramuka lebih sejahtera dibandingkan di P. Panggang.
Setidaknya untuk memiliki aset yang bernilai mahal/tinggi tentunya dibutuhkan
uang yang cukup besar. Ketersediaan modal/uang yang besar bisa disebabkan
karena adanya pendapatan yang besar.
Lingkungan Alam
Kajian terhadap lingkungan alam meliputi tingkat kerusakan ekosistem
pesisir dan lingkungannya serta penyebab kerusakan. Kategori lingkungan alam
meliputi porsi kerusakan ekosistem, intensitas kerusakan dan ekosistem yang
dirusak. Sedangkan kerusakan lingkungan pesisir dan laut meliputi penggunaan
potasium yang menyebabkan terjadinya kerusakan, kualitas perairan dan aktivitas
perikanan yang menyebabkan habisnya sumberdaya ikan.
Tabel 57 menyatakan bahwa 50.91% kerusakan ekosistem mencapai
setengah dari total luas ekosistem yang ada dan 21.82% lebih dari setengah
169
kerusakan yang diderita oleh ekosistem pesisir. Kenyataan ini sejalan dengan
pernyataan responden P. Panggang dan P. Pramuka.
Alasan rendahnya kualitas sumber daya dan lingkungan pesisir dan laut
Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan pesisir dan laut
antara lain seperti penggunaan potasium, penangkapan ikan berlebih dan
memburuknya kualitas perairan. Tabel 58 menunjukkan bahwa 48,15%
responden di P. Panggang dan P. Pramuka tidak pernah melihat ataupun
menggunakan potasium dalam kegiatan penangkapan. Minimnya penggunaan
potasium tersebut diakui oleh 42,86 % responden di P. Panggang dan 53,85% P.
Pramuka. Namun sebanyak 17,86% responden P. Panggang menyatakan bahwa
nelayan menggunakan potasium dalam melakukan usaha penangkapan.
Penurunan penggunaan potasium dalam penangkapan ikan khususnya ikan
hias menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
kelestarian ekosistem dan lingkungan laut. Penurunan penggunaan potasium bisa
juga disebabkan karena ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan
sangat tinggi sehingga ketersediaan sumberdaya ikan juga makin turun dan
menipis. Akibatnya nelayan tidak lagi menggunakan potasium dalam menangkap.
sebanyak 25% SDA berada dalam kondisi cukup dan 75% menurut persepsi
masyarakat masih baik. Sedangkan persepsi terhadap kualitas perairan menurut
masyarakat lebih dominan berada dalam kualitas sedang (46,43%).
Lingkungan ekonomi
Masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka menjalankan beragam
usaha di bidang perikanan sebagai sumber pengahasilan. Kondisi geografis pulau
kecil membuat ketergantungan yang tinggi dari masyarakat pesisir di P. Panggang
dan P. Pramuka terhadap sumberdaya laut. Tidak mengherankan jika mayoritas
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan profesi bidang
perikanan lainnya seperti pembudidaya ikan, pedagang dan pengolah hasil
perikanan serta pembuat perahu.
Tabel 60 menggambarkan bahwa sumber penghasilan utama masyarakat di
P. Panggang dan Pramuka berkaitan dari usaha perikanan. Sebanyak 60%
responden P. Panggang menyatakan bahwa sumber penghasilan utama mereka
adalah menangkap ikan karang, 30% sebagai pengolah hasil perikanan, 23,33%
sebagai pembudidaya ikan (kerapu dan ikan karang), 23,33% sebagai pedagang
ikan.
Tabel 60 Persentase Responden Menurut Sumber Pendapatan yang Paling
Penting (%)
Lingkungan Sosial
Pengamatan terhadap lingkungan sosial meliputi hubungan antar
penduduk, keaktifannya dalam organisasi dan aktivitas sosial, serta hubungannya
dengan tengkulak.
rendah dan potensi konflik cukup besar. Hal ini cukup wajar, mengingat
banyak konflik yang dipicu sumber daya alam terjadi di kawasan dengan
lingkungan alam yang kritis.
• Gotong royong untuk kepentingan umum mulai menurun; Meskipun dalam
hasil survey menunjukkan bahwa tingkat tolong menolong dan saling
percaya masih tinggi di P. Panggang dan Pramuka, tetapi masyarakat
merasa sulit menggalang tindakan bersama tanpa imbal-imbal materi/upah.
Kondisi ini bisa jadi dipicu oleh semakin tinggi tingkat kebutuhan
masyarakat dan pola hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh kondisi di ibu
kota Jakarta.
Lingkungan Psikologis
Lingkungan psikologis menunjukkan tingkat kebahagiaan keluarga dari
sisi psikologis. Kesejahteraan selain ditentukan oleh kondisi materi dan
186
lingkungan fisik lain ditentukan juga kondisi batiniah dari keluarga tersebut.
Lingkungan psikologis mengamati intensitas rekreasi dan perasaan bahagia
anggota responden.
Tabel 69 menunjukkan bahwa tingkat rekreasi responden di P. Panggang
maupun P. Pramuka masih sangat rendah. Sekitar 43,33% responden di P.
Panggang menyatakan tidak pernah rekreasi, 40% menyatakan sesekali rekreasi
dan hanya 16,67% yang meyatakan pernah rekreasi setahun 1-2 kali. Kondisi
yang tidak jauh berbeda dengan responden di P. Pramuka. Sebanyak 77,78%
responden menyatakan sesekali rekreasi ke luar pulau, 14,81% tidak pernah
rekreasi dan hanya 7,41% menyatakan biasa mengagendakan rekreasi setahun 1-2
kali.
tingkat kesejahteraan sebelumnya yaitu sangat miskin, miskin, cukup dan kaya.
Kriteria sangat miskin dan miskin disepakati untuk digabung mengingat sulitnya
menentukan jumlah responden yang termasuk di dalamnya. Sehingga tingkat
kesejahteraan menjadi tiga yaitu miskin, cukup dan kaya. Sedangkan indikator
pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga di P. Panggang menggunakan 7
indikator antara lain kondisi rumah, kepemilikan aset, penghasilan, pendidikan,
kesehatan, pola makan dan pekerjaan. Penyusunan indikator dilakukan bersama-
sama dengan masyarakat, tokoh kunci dan aparat desa dalam forum FGD.
Pelaksanaan FGD dilakukan di Balai Kelurahan P. Panggang. Klasifikasi tingkat
kesejahteraan keluarga di P. Panggang dapat dilihat pada Tabel 70.
Ketika masyarakat diminta untuk membandingkan kondisi kesejahteraan
penduduk desa pada saat dilakukan diskusi (2008) dengan kondisi sekitar lima
tahun sebelumnya, peserta FGD di P. Panggang mengemukakan bahwa tingkat
kesejahteraan di P. Panggang cenderung naik. Proporsi rumah tangga kaya dan
sedang mengalami kenaikan, sedangkan proporsi rumah tangga miskin dan sangat
miskin menurun. Kenaikan kesejahteraan mulai terasa sejak perubahan status
Kepulauan Seribu menjadi Kabupaten. Berdasarkan analisis kecenderungan yang
dikemukakan masyarakat, terlihat adanya perubahan pada pola kehidupan yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dalam lima tahun terakhir.
Perubahan yang terjadi yaitu adanya peningkatan sarana transportasi dan
komunikasi, penyediaan sarana dan pelayanan kesehatan. Peningkatan sarana
informasi terlihat pada jumlah responden yang mempunyai televisi. Sebanyak
96% responden di P. Panggang dapat menikmati siaran televisi dari berbagai
saluran. Disamping itu meningkatnya jumlah pemakaian HP dan tersedianya
pemancar beberapa operator mengakibatkan arus informasi dari P. Panggang ke
luar menjadi lancar.
Sarana kesehatan terlihat lebih lengkap seperti tersedianya rumah sakit di
P. Pramuka. Namun masyarakat mengeluhkan ketidaklengkapan fasilitas
kesehatan di RS tersebut sehingga terkesan percuma karena tidak banyak bisa
difungsikan. Peningkatan kesejahteraan di bidang kesehatan juga terlihat pada
kesadaran yang makin tinggi dari masyarakat untuk membawa anggota keluarga
yang sakit ke puskesmas dan makin sedikit yang membawa ke dukun atau
189
meminum obat-obatan yang dijual bebas di warung. Disamping itu jumlah bayi
yang meninggal makin sedikit saat ibu melahirkan, ditambah semakin
meningkatnya pengguna askeskin dan program KB.
Peningkatan juga terjadi pada akses pendidikan. Hal itu terlihat dari
semakin tingginya kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Terlihat hanya sekitar 6% responden yang tidak mampu menyekolahkan anak-
anaknya. Selain itu ketersediaan sarana pendidikan sudah tersedia mulai dari
tingkat TK sampai SMA. Bahkan kesadaran untuk menyekolahkan anak-anaknya
sampai ke jenjang pergurun tinggi juga makin tinggi.
Namun sebagian masyarakat khususnya masyarakat nelayan justru
menyatakan terjadi penurunan kesejahteraan. Kerusakan ekosistem terumbu
karang di Kepulauan Seribu menjadi penyebab berkurangnya ketersediaan sumber
daya ikan. Ketersediaan ikan menurun mengakibatkan produktifitas perikanan di
191
% Komulatif
rata-rata per
x1+x(i-1) (b)
pendapatan
pendapatan
pendapatan
Peluang (a)
Komulatif
frekuensi
(a*b)/100
bulan
(10%) dan yang memiliki tempat buang air besar sendiri juga makin tinggi
(51,72%). Ketimpangan yang cukup tinggi terlihat pada jumlah kepala responden
yang tidak sekolah (17,24%). Namun tingkat kesadaran orang tua untuk
menyekolahkan anak-anaknya makin tinggi, terbukti hanya 10% responden yang
tidak mampu menyekolahkan anaknya. Kesadaran akan kesehatan juga makin
tinggi, terlihat tidak ikut serta program KB sekitar 26,67% dan sebagian besar
dapat mengakses air bersih. Meskipun kebutuhan akan air minum masih sangat
terbatas. Kebanyakan penduduk memanfaatkan air hujan untuk dimasak menjadi
air minum, sebagian lainnya membeli ke Jakarta dan menyimpannya. Demikian
halnya dari sisi pendapatan, masih terdapat sekitar 17,24% responden yang
mempunyai pendapatan < Rp 500.000,- dan mayoritas pendapatannya masih
bersifat tidak tetap (musiman). Tingkat kepemilikan sarana produksi (perahu)
juga cukup tinggi (68%), demikian halnya aset lainnya seperti TV (97%).
Pendapatan per kapita rata-rata responden masyarakat pesisir P. Panggang sebesar
Rp 213.750,-. Apabila dibandingkan dengan pengeluaran per kapita sebulan
untuk konsumsi makanan tahun 2006 di DKI Jakarta dari hasil Susenas
menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pengeluaran per
kapita di DKI Jakarta yang tercatat sebesar Rp 248.270. Pendapatan per kapita
masyarakat pesisir P. Panggang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Melihat nilai indeks gini yang rendah, menunjukkan bahwa distribusi
pendapatan antara satu responden dengan responden lainnya tiak terjadi
kesenjangan yang berarti. Hal itu dapat dimengerti mengingat mayoritas
penduduk P. Panggang (75%) berprofesi sebagai nelayan dan menggantungkan
hidupnya dari kegiatan perikanan. Kelompok nelayan/masyarakat pesisir yang
mempunyai pendapatan tinggi jumlahnya sedikit, terlihat dari tidak adanya rumah
mewah di lingkungan P. Panggang. Kelompok yang mempunyai pendapatan
tinggi rata-rata adalah para pemilik perahu, pemilik budidaya kerapu, pedagang
besar dan pemodal.
% Komulatif
rata-rata per
x1+x(i-1) (b)
pendapatan
pendapatan
pendapatan
Peluang (a)
Komulatif
(a*b)/100
frekuensi
bulan
Nilai koefisien gini (gini ratio) digunakan sebagai ukuran untuk melihat
ketimpangan di suatu wilayah. Tabel 73 di atas menunjukkan bahwa indekss gini
agregat masyarakat pesisir P. Pramuka sebesar 0.25. Nilai indeks Gini ratio ini
197
unit dan jumlah guru sebanyak 22 unit. Selanjutnya sarana pendidikan informal
berupa pondok pesantren hanya ada sebanyak 1 unit.
mencapai 741 orang. Sedangkan untuk Madrasah tersedia 3 unit dengan jumlah
siswa sebanyak 108 orang. Sarana SLTP hanya 1 unit dan jumlah siswanya
sebanyak 336 orang, sedangkan sarana SMU hanya ada 1 unit padahal jumlah
siswanya sebanyak 437 orang. Dari data ini terlihat bahwa rasio guru dan murid
di Kelurahan P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya jauh tidak
seimbang jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. Kekurangan sarana pendidikan
di Kelurahan P. Panggang terasa pada hampir semua tingkatan mulai SD, SLTP
dan SMU.
Fasilitas kesehatan merupakan salah satu ukuran bagi terciptnaya kualitas
hidup sebuah masyarakat. Tingkat ketimpangan dari sisi fasilitas kesehatan dapat
diukur dari ketersediaan sarana kesehatan, tenaga medis dan keberadaan
apotik/toko obat. Tabel 76 menunjukkan bahwa sarana kesehatan tersedia cukup
lengkap di Kelurahan P. Panggang meskipun jumlahnya masih sedikit. Sarana
Rumah sakit berjumlah 1 unit yang melayani masyarakat Kepulauan Seribu.
Keberadaan RS ini belum dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat
Kelurahan P. Panggang khususnya dan Kepulauan Seribu umumnya karena
keterbatasan peralatan dan tenaga medis. Sehingga masyarakat hanya
memanfaatkan untuk pertolongan pertama saja. Untuk berobat masyarakat
Kelurahan P. Panggang lebih memilih ke puskesmas, namun jumlah sarana
tersedia hanya 1 unit. Jumlah puskesmas pembantu 1 unit dan posyandu sebanyak
5 unit.
Jumlah tenaga medis yang tinggal di Kelurahan antara lain 1 orang dokter,
2 orang mantri kesehatan dan 1 orang bidan. Untuk membantu kelahiran selain
bidan terdapat juga 2 orang dukun bayi terlatih. Selain itu terdapat juga 4 orang
para medis dan 1 orang ahli gizi. Ketersediaan sarana ini sayangnya tidak
didukung dengan keberadaan apotik atau toko obat. Jumlah penerima kartu sehat
dan surat miskin juga lumayan tinggi, masing-masing berjumlah 573 dan 171
orang.
Sejatinya dari sisi sarana kesehatan tersedia cukup lengkap, namun
masyarakat melihat karena tidak diukung oleh prasarana dan peralatan yang
cukup, masyarakat tetap memilih berobat ke Jakarta untuk penyakit-penyakit yang
kronis. Disamping itu tenaga medis yang tersedia terbatas menjadikan masyarakat
cukup sulit mendapatkan akses kesehatan dengan baik.
Keberadaan fasilitas ibadah dan sosial merupakan ukuran kesehatan rohani
masyarakat serta media bagi antar masyarakat dalam menjalin keakraban dan
persaudaraan. Kohesi sosial menjadi salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat
dan indikator ketimpangan dari sisi sosial. Karena seringkali konflik antar warga
dipicu oleh isu-isu agama yang berujung pada keretakan sosial dan kerentanan
ekonomi.
Kel. P.
Uraian
Panggang
primer yang dilakukan pada bulan Juni 2008, bahwa jumlah rumah permanen di P.
Panggang dan P. Pramuka mencapai 54%, semi permanen sekitar 34% dan rumah
papan/bilik sekitar 12%. Jika melihat kriteria rumah tangga miskin BPS, maka
dapat dikatakan bahwa mayoritas rumah tangga di Kelurahan P. Panggang tidak
termasuk dalam kategori miskin. Hanya 14% rumah tangga yang bisa
dimasukkan dalam kategori miskin. Namun, kriteria kondisi rumah ini tidak bisa
dijadikan sebagai satu-satunya ukuran tersebut. Karena faktanya meskipun
kondisi rumah permanen, namun luas lantai rata-rata masih banyak yang < 8 m2,
bahan lantai dari tanah, rumah tanpa atap, banyak yang tidak mempunyai WC
sendiri. Namun secara umum masyarakat kelurahan P. Panggang mungkin lebih
tepat dimasukkan dalam kategori tingkat kesejahteraan cukup.
Sarana perikanan juga dapat dijadikan sebagai alat ukur ketimpangan dari
sisi tingkat penggunaan teknologi armadanya. Tabel 79 memperlihatkan bahwa
mayoritas nelayan menggunakan armada perahu motor/motor tempel dalam
melaksanakan operasi penangkapan. Bahkan masih ada sekitar 12 orang nelayan
yang menggunakan perahu layar. Hanya sekitar 84 orang yang menggunakan
kapal motor dengan kekuatan mulai dari 5-20 GT. Nelayan-nelayan yang
menggunakan kapal motor ini biasanya menggunakan alat tangkap yang lebih
modern seperti kapal muroami, jaring payang, jaring dasar dan jaring gebur.
Sedangkan nelayan yang menggunakan perahu motor tempel merupakan nelayan
tradisional dengan alat tangkap yang biasa digunakan seperti pancing dan
sebagian menggunakan bubu.
Selain nelayan, profesi perikanan lain yang cukup banyak dikerjakan oleh
masyarakat kelurahan P. Panggang adalah budidaya laut, pengolahan hasil ikan
dan pedagang ikan. Budidaya laut yang banyak dikembangkan antara lain rumput
laut dan budidaya kerapu dengan kerapu jaring apung dan sea farming.
Masyarakat yang berprofesi sebagai pengolah rata-rata merupakan pengusaha
kecil dengan modal yang kecil. Usaha olahan ikan yang biasa dilakukan antara
lain pengasinan, pembuat kerupuk ikan, pembuatan manisan/dodol rumput laut.
Skala usaha masih bersifat mikro-kecil dengan daya jangkau pemasaran hanya
melingkupi Kepulauan Seribu dan Jakarta. Teknologi pengolahan yang lebih
205
modern seperti pengemasan dan pengawetan masih menjadi kendala bagi para
pengolah, termasuk juga pemasaran dan permodalannya.
Bagi mayarakat Kelurahan P. Panggang, usaha pengolahan hasil ikan biasa
dilakukan oleh para isteri dan anak-anak. Begitu halnya dengan pedagang ikan
biasanya didominasi oleh para ibu dan isteri-isteri nelayan. Strategi
memberdayakan kaum ibu dan isteri ini merupakan salah satu strategi nelayan
untuk bertahan hidup dengan memaksimalkan seluruh anggota keluarga dalam
meningkatkan ekonomi keluarga. Meskipun dengan memobilisasi seluruh
anggota keluarga, nelayan masih sering terjebak pada kekurangan dan kesulitan
dalam mencukupi kebutuhannya khususnya saat musim paceklik datang.
Tingkat kesejahteraan juga ditentukan oleh adanya keterbukaan terhadap
dunia luar yang ditandai oleh mudahnya akses informasi bagi masyarakat. Hasil
survey menunjukkan bahwa 95% responden dapat mengakses informasi. Sumber
informasi yang dimaksud adalah saluran televisi dan komunikasi via HP. Dari sisi
kemudahan akses informasi, kelihatannya responden di Kelurahan P. Panggang
tidak mengalami permasalahan berarti mengingat hampir semua penduduk
memiliki HP dan bisa berkomunikasi dengan mudah dengan warga lain di luar
pulau.
asal didukung dengan sarana dan peralatan serta tenaga polisi yang berdomisili di
wilayah ini. Faktanya pos pilisi ini tidak dilengkapi dengan sarana yang memadai
dan petgasnya sangat terbatas. Sehingga seringkali ketika terjadi pelanggaran di
laut atau perselisihan, masyarakat memainkan hukumnya sendiri karena ketiadaan
aparat hukum (pilisi).
Sarana olah raga juga tersedia cukup banyak yaitu 3 buah antara lain 2
buah lapangan sepak bola, 5 buah lapangan bola voli dan 3 buah lapangan bulu
tangkis, 2 buah lapangan bola basket. Keberadaan lapangan ini juga didukung
oleh club yang cukup banyak dan cukup aktif dalam kegiatan/perlombaan.
Panggang dan P. Pramuka- pada tahun 2006 jumlah penduduk sebanyak 4490 dan
tahun 2008 sebanyak 5481 maka pertambahan penduduk selama 2 tahun
mencapai 1351 jiwa.
Tingginya pertumbuhan penduduk yang selama ini terjadi disebabkan
karena tidak efektif program KB, kurangnya sosialisasi dan penyadaran, serta
pandangan tradisional masyarakat tentang banyak anak. Pada aras yang lebih
tinggi, kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam pengendalian pertumbuhan
penduduk menyebabkan padatnya jumlah penduduk dunia.
Sedangkan keterbatasan lahan PPK disebabkan oleh beberapa faktor
seperti faktor alamiah pulau, massifnya pembukaan lahan untuk sarana umum,
alokasi pemanfaatan ruang yang tidak jelas dan keterdesakan masyarakat oleh
intensifnya kegiatan industri. Pada aras yang lebih tinggi, keterbatasan lahan
semakin mempersempit ruang gerak dan akses masyarakat terhadap sumber daya
pesisir dan laut. Pemberian hak akses secara ekslusif kepada kelompok tertentu
memicu terjadinya privatisasi lahan, akibatnya tidak lagi tersedia sumber daya
alam yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat dengan mudah. Keterbatasan akses
dan keterdesakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup memunculkan
pola pemanfaatan SDPL yang destruktif dan memicu kerusakan ekologi.
Industrialisasi dan perdagangan bebas juga memunculkan pola pemanfaatan lahan
untuk memenuhi kebutuhannya. Lahan semakin terbatas akibat maraknya
pengkaplingan-pengkaplingan tanah, air dan sumber daya alam yang berada di
dalamnya atas nama kemajuan industri dan pertumbuhan ekonomi.
Kedekatan wilayah antara Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata tidak
berdampak kemajuan bagi Kepulauan Seribu. Konsentrasi modal keuangan di
Jakarta, kahadiran pasar yang luas dan permintaan terhadap barang dan jasa yang
diikuti oleh gaya hidup ekslusif, pola konsumsi khusus bagi golongan kaya,
menjadikan pola hubungan yang tidak seimbang antara Jakarta dan Kepulauan
Seribu. Investasi yang masuk ke Kepulauan Seribu dalam bentuk pariwisata
bahari, industri perkapalan dan perniagaan di wilayah Teluk Jakarta dan
Kepulauan Seribu, serta industri jasa dan konsumsi yang padat di pesisir Jakarta,
ternyata tidak melahirkan kemajuan bagi Kepulauan Seribu.
210
akses inilah yang seringkali memicu terjadinya aksi pengrusakan ekosistem oleh
masyarakat karena sumber daya tidak lagi tersedia secara cukup dan tidak
terdistribusi secara adil.
Pada aras yang lebih tinggi, industrialisasi dan kemajuan teknologi serta
gaya hidup negara-negara maju dan masyarakat perkotaan telah mendorong
akselerasi degradasi sumber daya alam. Perkembangan kapitalisme bertumpu
kepada proses pergantian para pekerja oleh mesin-mesin, buruh-buruh digantikan
dengan mesin/buruh yang tidak bernyawa. Mesin-mesin tersebut tentunya
membutuhkan biaya yang tinggi untuk memproduksi. Investasi modal yang
digulirkan haruslah menghasilkan keuntungan. Artinya para investor
mengharapkan pemasukan yang lebh besar daripada biaya yang mereka keluarkan
untuk memasang mesin-mesin tersebut. Dalam perhitungan biaya produksi,
ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil, sementara biaya
kapitalisasi meningkat (jumlah keuntungan yang harus diperoleh untuk dapat
melunasi dan memperharui mesin-mesin menjai semakin meningkat). Dalam
termonilogi Marxis, ”komposisi organik modal” akan semakin meningkat (Gorz,
2003). Industri semakin bersifat modal intensif dengan memakai jumlah kapital
yang lebih besar untuk memproduksi volume komoditi yang sama.
Selain itu, dampak negatif industrialisasi lainnya adalah limbah yang
dihasilkannya. Perairan Teluk Jakarta terindikasi mengalami pencemaran yang
tinggi/buruk. Industri penghasil limbah terdapat di daratan Jakarta maupun
berasal dari aktivitas pengeboran minyak lepas pantai yang ada di Kepulauan
Seribu. Sampah-sampah responden dan sampah industri juga berperan dalam
merusak kualitas perairan.
Gaya hidup mewah, modern dan padatnya aktivitas masyarakat di Jakarta
telah membawa dampak negatif bagi kerusakan ekosistem pesisir di perairan
Kepulauan Seribu dan Kelurahan P. Panggang khususnya. Tingkat konsumsi dan
pola pemborosan produksi masyarakat Jakarta dan pinggiran Jakarta, setidaknya
berkontribusi dalam merusak lingkungan pesisir dan laut. Gaya hidup mewah
negara berkembang seperti Indonesia ini adalah pengaruh dari gaya hidup negara-
negara maju yang bersumsi kemajuan dan modernisasi yang telah mereka alami
dapat ditiru oleh negara-negara berkembang untuk bisa merasakan kemajuan yang
217
sama. Untuk itu negara-negara majulah tersebut atau masyarakat kota yang
bergaya hidup mewahlah yang bertanggungjawab terhadap sebagian besar
kerusakan yang terjadi. Sebuah badan organisasi PBB United Nation Fund for
Population Action (UNFPA) dalam laporannya menyatakan bahwa ”dengan
semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam dan sampah yang
dihasilkannya, maka sebenarnya yang bertanggungjawab adalah mereka yang
menjadi penduduk ”negara-negara terkaya”, yaitu mereka yang tinggal di
negara-negara maju”. Pengakuan UNFPA ini semakin mempertegas keyakinan
kelompok ecofeminism yang merupakan varian dari marxis untuk mengatakan
bahwa populasi penduduk bukan merupakan penyebab utama kerusakan SDA
sebagaimana yang banyak dituduhkan, tapi proses industrialisasi, kemajuan
teknologi dan gaya hidup masyarakat negara maju/kota besar yang menjadi
penyebabnya.
Di bawah sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan
dalam situasi harga yang membubung tinggi sebelum tampak terjadinya
kelangkaan secara fisik (Gorz, 2003). Menurut dogma liberal, naiknya harga-
harga barang yang langka di pasaran akan otomatis meningkatkan produksi
barang-barang yang harganya naik tersebut, karena dipandang sebagai sesuatu
yang menguntungkan. Kenaikan harga produksi memicu kenaikan investasi,
belum lagi dampak produksi yang dihasilkan oleh industri dan teknologi modern
seperti polusi dan limbah, menuntut biaya pemulihan yang tinggi pula. Modal,
dalam situasi seperti ini menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak mungkin
dihindari dalam membiaya investasi-investasi lebih lanjut. Penggantian modal
industrial tak lagi dapat dilakukan dengan melakukan transfer dari surplus yang
dipungut dari konsumsi-reproduksi sistem yang membutuhkan biaya yang lebih
besar daripada yang dihasilkan. Industri mengkonsumsi lebih banyak untuk
kebutuhannya sendiri dan mengirimkan lebih sedikit produk-produk kepada
konsumen daripada biasanya. Efisiensi menjadi musnah dan biaya-biaya fisik
meningkat.
Menurut Gorz (2003) peristiwa seperti ini yang sedang terjadi sekarang
dan terjadi dalam dua fase :
218
ini bisa saja mengurangi perilaku rent seeking, namun liberalisasi ekonomi justru
melahirkan efek lain seperti kemiskinan dan kerusakan sumber daya alam. Rent
seeking akan selalu ada selama tingkat kebutuhan akan barang dan jasa selalu
naik, penegakan hukum tidak berjalan efektif dan persoalan pemenuhan basic
need belum tuntas. Setidaknya solusi tersebut akan mengalami hambatan yang
berarti untuk diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.
Perilaku rent-seeker sangat sulit diberantas di Indonesia karena gejalanya sudah
masuk di hampir semua lini ekonomi. Untuk memberantas gejala rent seeking
activity dibutuhkan perubahan yang progresif dalam kebijakan pemerintah
khususnya kebijakan ekonomi, penegakan hukum, pemberian reward and
punisment dijalankan dengan baik dan penguatan kelembagaan di tingkat elit
birokrasi sampai masyarakat berjalan maksimal. Bahkan bagi sebagian ekonom
rent seeking activity hampir tidak bisa diputus karena birokrasi Inonesia masih
identik dengan perilaku korup. Pemberantasan rent seeking activity harus diawali
dengan penegakan good governance. Bagi Gorz (2003) selama ketidakadilan
akibat kekuasaan dan hak-hak istimewa tidak dihapuskan maka kemiskinan tidak
akan pernah hilang. Dibutuhkan sebuah revolusi kultural untuk secara progresif,
masyarakat negara-negara maju dan perkotaan merubah cara menkonsumsi
terhadap barang dan jasa.
ketergantungan yang ekploitatif dan tidak adil bagi nelayan kecil. Sedangkan
pemerintah tidak mampu melakukan intervensi terhadap harga, menfasilitasi
modal dan pasar serta membuat program pemberdayaan masyarakat miskin.
Kebijakan modernisasi perikanan merupakan bentuk ketidaktepatan kebijakan
yang dijalankan pemerintah. Kebijakan modernisasi sejak tahun 1969-1990
memang telah berhasil meningkatkan produksi perikanan tapi menurut Mubyarto
(1984) seperti hasil kajiannya di Jepara menemukan bahwa modernisasi perikanan
bukan hanya melahirkan konflik sosial antara nelayan modern pengguna teknologi
canggih dengan nelayan traisional tetapi juga melahirkan kemiskinan bagi nelayan
tradisional yang sudah miskin. Fakta tersebut terlihat juga dari kondisi nelayan-
nelayan ikan karang yang kebanyakan menggunakan perahu motor tempel, tidak
banyak mengalami perbaikan dalam ekonominya bahkan produktifitas perikanan
diakui semakin menurun. Hal itu terjadi mulai tahun 2000an yang ditandai oleh
maraknya kapal-kapal bermotor dengan alat tangkap purse seine, arad, dogol,
payang dan muoroami. Parahnya kapal-kapal tersebut kebanyakan tidak dimiliki
oleh nelayan Kepulauan Seribu dan hasil tangkapannya didaratkan di Jakarta.
Kebijakan yang tidak tepat juga terlihat dari kurangnya pelayanan
pemerintah dalam menfasilitasi kebutuhan masyarakat serta banyak pemborosan
biaya proyek sebagai akibat tidak berfungsinya sarana yang telah dibangun.
Menurut Baihaqie tingkat permasalahan tertinggi di P. Panggang berasarkan hasil
FGD dengan masyarakat menyatakan bahwa 15,69% pemerintah tidak melayani
dan 15,69% pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua
permasalahan ini menempati urutan kedua dan ketiga dari delapan permasalahan
utama yang ada di P. Panggang.
Kondisi keterbatasan aspek teknis-teknologis ini semakin diperparah
dengan adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali dan tahun
2008 ini. Proporsi BBM mengambil sekitar 40% dari total biaya operasional
nelayan. Meskipun terjadi penurunan BBM saat ini, namun harga di eceran sudah
terpatok tinggi yang disertai dengan masih mahalnya harga-harga bahan pokok.
Akibatnya, biaya operasional nelayan alam melaut semakin tinggi dan parahnya
tidak berimbang dengan hasil tangkapan yang semakin berkurang serta harga ikan
yang stagnan. Jika musim barat datang seperti saat ini (Desember-Januari) yang
222
ditandai oleh cuaca buruk, banyak nelayan yang tidak melaut dan akibatnya
produksi berhenti. Ketergantungan yang tinggi hanya pada usaha melaut, pada
sebagian masyarakat pesisir, merupakan saat paceklik dan menjebak nelayan
dalam pola patron-klien.
Bias kebijakan terlihat juga dalam pola hubungan ekonomi dan
pembangunan yang berorientasi kepada daerah perkotaan. Bias perkotaan ini
terlihat dari padatnya sarana pembangunan di wilayah kota dan minimnya
aksesibilitas di wilayah pheri-pheri (seperti Kepulauan Seribu). Pembagian
Gunder Frank dengan apa yang disebut ”negara metropolis maju” dan ”satelit
terbelakang” menjadi benar adanya ketika melihat terbatasnya sarana transportasi
antar pulau, adanya sarana kesehatan seperti RS yang tidak dilengkapi dengan
fasilitas dan peralatan kesehatan serta tiadanya fasilitasi terhadap permodalan,
pasar dan teknologi. Sedangkan di Jakarta, kemajuan sangat pesat, aktivitas
industri berkembang cepat dan sarana terpenuhi dengan lengkap. Kondisi ini
melahirkan pola hubungan dominasi-exploitatif antara Jakarta dan Kepulauan
Seribu yang mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Jakarta
dan tergerusnya sumber daya laut dan pesisir Kepulauan Seribu untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat Jakarta.
Dalam aras makro, policy bias ini lahir dalam bentuk ketiadaan kebijakan
yang tepat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut sehingga seringkali
melahirkan degradasi sumber daya dan tidak optimalnya pemanfaatan terhadap
sumber daya. Policy bias juga ditandai oleh strategi pertumbuhan ekonomi yang
diprediksi dapat meneteskan efek pembangunan ke daerah pedesaan dengan
menjadikan kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan mendorong investasi dan
arus modal ke daerah pedesaan. Asumsi neoklasik ini terbukti gagal dan justru
melahirkan jurang kemiskinan yang makin tinggi di daerah pinggiran (pheri-
pheri) seperti Kepulauan Seribu. Permintaan ekspor yang tinggi terhadap ikan
tertentu mendorong maraknya aktivitas penangkapan dengan menggunakan
teknologi canggih (modernisasi perikanan) yang menggeser nelayan tradisional
semakin ke pinggir dan terdesak. Permintaan ekspor tersebut juga terjadi pada
pola perdagangan karang hidup dan ikan hias yang marak di Kepulauan Seribu.
Masyarakat didorong untuk berkompetisi memenuhi kebutuhan pasar dunia ikan
223
hias. Penangkapan ikan hias dapat diakses oleh nelayan dan pedagang besar
pemilik modal dan teknologi. Nelayan tradisional dan penangkap ikan hias tetap
terbelit dalam kemiskinan karena terjadinya surplus produksi yang tinggi dari
nelayan ke pedagang kecil-pedagang besar-eksportir. Pola pembagian kerja yang
tidak adil ini menghasilkan keuntungan yang hanya dinikmati oleh pemilik
modal/bakul yang punya akses pasar.
Demikian halnya dengan perdagangan karang hidup. Upaya rehabilitasi
terumbu karang memang dilakukan di P. Panggang dan P. Pramuka. Namun
kegiatan tersebut ternyata hanya tameng bagi berlakunya perdagangan karang.
Terumbu karang pada usia F2 yang seharusnya layak tumbuh, bukan
dikembalikan kepada alam untuk meregenerasi, namun diambil dan
diperdagangkan. Perdagangan karang ini menjadi usaha tersendiri yang
menguntungkan dan hanya dilakukan oleh kelompok kecil dari
nelayan/masyarakat pesisir P. Panggang. Pemerintah sejatinya mengetahui kedua
aktivitas ini, tapi karena ketiadaan kebijakan yang tegas dan menguatnya perilaku
rent-seeking oleh pedagang, mengakibatkan aktivitas ini terus berjalan tanpa
reserve.
Gerak pemerintah juga terkesan lambat dan kurang serius dalam mencari
jalan keluar bagi meningkatnya jumlah penduduk di Kelurahan P. Panggang.
Kalaupun terdapat upaya program KB tetapi masyarakat juga tidak diberikan
alternatif lain bagi terbukanya diversifikasi usaha sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Keterbatasan lahan di P. Panggang dan Pramuka ditambah
tidak adanya alternatif usaha bagi masyarakat untuk meningkatkan
produktifitasnya membuat masyarakat tidak ada alternatif untuk melangsungkan
hidupnya di tempat lain. Sedangkan kebutuhan akan barang dan jasa semakin
meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk. Di sisi lain kegiatan
pariwisata bahari dan banyaknya pulau-pulau wisata, tidak banyak melibatkan
masyarakat dalam pengelolaannya. Tekanan hidup seperti itu mendorong
masyarakat untuk menempuh jalur cepat dan berpikir jangka pendek untuk
memenuhi kebutuhannya. Karena ketergantungannya yang tinggi terhadap
ekosistem laut, maka sumber daya yang berada di dalamnya menjadi sasaran
ekploitasi yang kadang dilakukan dengan cara destruktif.
224
baik yang muncul saat survey dilakukan maupun sebelumnya. Penelitian atas
permasalahan ini bersifat saling mempengaruhi dan terkait satu dengan lainnya.
Gambar 13 menjelaskan adanya beberapa permasalahan yang
mengakibatkan rendahnya daya dukung lingkungan dan ekologis P. Panggang dan
P. Pramuka. Permasalahan tersebut ada yang berpengaruh secara langsung seperti
Degradasi ekosistem pesisir dan laut, lemahnya penegakan hukum, keterbatasan
lahan pulau dan kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sedangkan perilaku
negatif masyarakat yang selam ini dituding sebagai penyebab utamanya lebih
disebabkan karena tata kelola pemerintah tidak berjalan dengan baik. Demikian
halnya dengan tingginya jumlah penduduk merupakan bentuk pengalihan masalah
oleh negara-negara dan daerah-daerah maju untuk mengalihkan
tanggungjawabnya kepada korban yaitu negara-negara berkembang dan
msayarakat pedesaan/PPK sebagai akibat dari industrialisasi, ekploitasi berlebih
SDA serta gaya hidup konsumtif dan mewah yang telah menimbulkan bencana
sosial dan kerusakan lingkungan. Kepadatan penduduk merupakan penyebab
tidak langsung dan memperburuk kondisi lingkungan yang telah rusak akibat pola
investasi kapitalistik, industrialisasi dan gaya hidup negara-negara maju dan kota-
kota besar.
Pada aras menengah muncul permasalahan-permasalahan pendukung yang
lebih bersifat internal dan memperkuat permasalahan pokok. Pada aras yang
paling tinggi dan bersifat eksternal terlihat beberapa permasalahan yang
membutuhkan intervensi pemerintah dalam membuat kebijakan terkait dengan
pengelolaan SDPL dan pengentasan kemiskinan.
227
KAPITALISME
NEGARA Mode produksi
BERKEMBANG kapitalistik
Komprador
Rent seeking
birokrat
Konsentrasi
Krisis
modal di
reproduksi
perkotaan
Pembangunan
tdk berdasar
kebutuhan masy
Kenaikan
Ekonomi BBM Dukungan
Masyrakat Ketidaktegasan lemah masy
terdesak oleh aparat hukum kurang
Modernisasi
kegiatan perikanan
Pandangan industri Beroperasinya
tradisional tentang Miskinnya kapal-kapal Dukungan
banyak anak faktor Perencanaan pemerintah
Alokasi ruang arad
banyak rejeki keteladanan pengelolaan daerah
pemanfaatan SDPL tdk jelas kurang
ruang tdk jelas Pariwisata
Sarana bahari yg tdk
Minimnya pembangunan Terbtasnya Budaya
penyuluhan Pembukaan terkelola dgn
yg tdk baik sarana dan konkaliko
dan sosialisasi lahan unt pelayanan ng
terpakai
sarana umum
Tidak Pelayanan Pengeboman Pelayanan Keterbatasa
efektifnya Faktor pemerintah dgn potasium pemerintah n sarana
program KB alamiah pulau kurang kurang keamanan
DAYA DUKUNG
PULAU RENDAH
kemiskinan juga termasuk dalam kategori paling parah dengan tingkat kedalaman
paling tinggi di antara Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta.
Data di atas secara singkat memberi gambaran bahwa terjadi kesenjangan
yang cukup tinggi antara Kepulauan Seribu dengan Kabupaten/Kota lain di DKI
Jakarta. Lokasi Kepulauan Seribu yang cukup jauh untuk dijangkau, akses
terbatas dan terdiri dari pulau-pulau, dianggap sebagai salah satu kendala
terbatasnya program-program pembangunan masuk ke Kepulauan Seribu. Di
samping itu status Kepulauan Seribu yang baru menjadi Kabupaten baru sejak
tahun 2002, merupakan kendala ketertinggalan pembangunan antara Kepulauan
Seribu dengan Kabupaten/Kota lain di DKI Jakarta. Namun sebagai wilayah yang
sangat dekat dengan kekuasaan dan pusat ibu kota, setidaknya pembangunannya
tidak jauh tertinggal jika pemerintah Propinsi dan Pusat betul-betul
memperhatikan Kepulauan Seribu. Karena faktanya, pulau seribu dijadikan
sebagai salah satu andalan wisata bahari oleh Propinsi DKI Jakarta dan
mempunyai sumber minyak yang memberikan kontribusi cukup besar bagi DKI
Jakarta. Namun, potensi dan investasi tersebut faktanya tidak berkontribusi apa-
apa terhadap kemajuan pembangunan di Kepulauan Seribu. Penyedotan dan
kapitalisasi sumber daya alam dengan nilai investasi yang tinggi diperkirakan
hanya masuk kepada DKI Jakarta tanpa menetes ke masyarakat Kepulauan Seribu.
Banyak pulau-pulau kecil yang dimiliki perorangan, swasta dan kelompok
tertentu, pariwisata bahari yang menawarkan investasi mahal untuk sebuah
panorama pantai, padatnya aktivitas ekonomi, jasa di pesisir Jakarta serta kegiatan
perkapalan, pelayaran di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu ternyata
tidak berdampak penting bagi Kepulauan Seribu. Terjadi surplus produksi yang
tidak ketahuan alirannya dan seharusnya dinikmati oleh masyarakat Kepulauan
Seribu. Pesatnya pembangunan di DKI Jakarta ternyata tidak diikuti oleh
pembangunan di Kepulauan Seribu.
Kemiskinan di tingkat regional tersebut semakin mendapatkan justifikasi
dengan memperhatikan data kemiskinan responden yang terdapat di salah satu
Kelurahan Kepualaun Seribu yaitu di Kelurahan P. Panggang yang diwakili oleh
P. Panggang dan P. Pramuka. Tabel 82 menunjukkan betapa kemiskinan pada
tingkat regional memberikan imbas kepada responden-responden yang ada di P.
230
Berangkat dari fakta di atas dapat dilihat persoalan mendasar apa saja yang
melatar belakangi sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat tergolong rendah
meskipun tingkat kesenjangannya juga rendah. Menurut hasil wawancara dengan
penduduk, tokoh masyarakat dan aparat desa melalui hasil kuisioner maupun
FGD, didukung juga dengan penelitian lain, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dan isu yang berkembang terkait tingkat kesejahteraan di P.
Panggang dan P. Pramuka antara lain : 1) rendahnya lingkungan alam; 2)
rendahnya lingkungan ekonomi; 3) rendahnya lingkungan sosial ; 4) Rendahnya
lingkungan politik; 5) rendahnya sarana dan pelayanan;
232
penduduk yang tinggi pada sisi lain, menjadikan daya tampung P. Panggang
sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Harusnya
pemerintah peka terhadap masalah ini dengan mengoptimalkan padatnya
penduduk dengan program-program pemberdayaan masyarakat, pelibatan
masyarakat dalam pembangunan sarana (padat karya), fasilitasi pengembangan
usaha, pelatihan bagi generasi mudanya dan mengupayakan relokasi penduduk ke
pulau lain yang sejenis. Namun pemerintah terlihat kurang berupaya maksimal
dalam menyikapi permasalahan kepadatan penduduk di P. Panggang.
Modernisasi perikanan
Modernisasi perikanan tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi alat
tangkap dan armada tangkap yang dimiliki oleh nelayan. Merebaknya operasi
armada arat adalah salah satu contoh nyata modernisasi perikanan yang
berdampak kepada semakin turunnya hasil tangkapan ikan nelayan-nelayan kecil.
Begitupun antara nelayan-nelayan armada besar seperti muoroami, payang, purse
seine, lampara dasar dengan nelayan pancing, bubu dan pengguna armada motor
tempel, telah mengakibatkan kesenjangan dalam produktifitas perikanan.
Modernisasi perikanan yang tidak diikuti oleh kebijakan pengelolaan perikanan
250
yang tegas seperti zonasi penangkapan, pemberlakuan kuota hasil tangkap dan
perlindungan akses bagi nelayan kecil, berpotensi menimbulkan konflik sosial
dalam pemanfaatan sumber daya.
• Jumlah guru dan murid meningkat, tapi tidak dibarengi dengan sarana
memadai
Kenaikan jumlah guru dan murid makin meningkat, tercatat jumlah murid
SD mencapai sekitar 741 orang, SMP sebanyak 336 orang, SMU sebanyak 437
orang. Jumlah guru juga lumayan banyak, SD/MI sebanyak 61 orang, SMP
sebanyak 27 orang, SMU sebanyak 22 orang. Namun, gedung SD hanya ada 3
unit dan 1 unit MI, SMP 1 unit dan SMU juga 1 unit. Kenaikan jumlah anak yang
sekolah makin tinggi setiap tahunnya.
Perundang-
Prilaku korup
undangan yg Pola investasi
birokrasi &
bias kapitalistik Perdagangan pemborosan
Konsentrasi
bebas modal di biaya
Ketergantunga
Privatisasi perkotaan
n thd pasar
lahan Policy bias Keterpencilan
Kompradorisa Pembangunan & faktor
si Kekurangan bias perkotaan geografis lain
gizi Menguatnya
budaya negative Tata kelola
Strategi & pola hidup Pola
pengelolaan Keterbatasan pemerintahan
individualis pembangunan yg jelek
SDPL tidak tepat akses top-down
TINGKAT
KESEJAHTERAAN
RENDAH
interaksi antar daerah maju dan daerah berkembang. Larrain, 1989 dalam
Dharmawan (2004) menyebutkan dua faktor utama yang mendorong negara maju
perlu melakukan eksploitasi sumber daya alam via kolonialisme yaitu :
• Underconsumptionism ; disebabkan prinsip akumulasi yang dianutnya
sehingga masyarakat akan terus terpenjara oleh perasaan kekurangan.
• Search for super-profits; disebabkan oleh utopia tentang the glory of
economic and political power yang selalu diidamkan. Dua dampak
penting dalam penyedotan surplus-ekonomi dari Negara/daerah pinggiran
oleh Negara penjajah adalah rusaknya sendi-sendi struktur sosial
masyarakat terjajah dan hancurnya lingkungan (natural capital).
Tesis Larrian ini mendapatkan pembenaran jika melihat tingkat kerusakan
sumber daya pesisir dan laut di kepulauan Seribu. Persentase penutupan di
Kepulauan Seribu yang mencapai < 5 % adalah bukti kerusakan lingkungan
tersebut. Demikian juga jika diperhatikan dari persentase penutupan karang keras
di wilayah pengamatan Kelurahan P. Panggang yang mencapai 14,81-71,83%
(2004) dan 10,84-67,56% (2005). Nilai ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu
karang Kelurahan P. Panggang berada dalam kategori buruk-sedang. Persentase
penutupan karang keras di P. Pramuka sendiri pada tahun 2005 hanya mencapai
16% (buruk). Data ini meneguhkan analisis Larrain (1989) tentang konsekwansi
bagi berlangsungnya pola hubungan produksi kapitalistik ini yaitu munculnya
natural resources are let underdeveloped, akibat pemanfaatan tanpa konservasi.
Akibat lainnya menurut Larrain (1989) dapat mengakibatkan keterbelakangan
komunitas dan bahkan dalam kondisi tertentu bisa memicu munculnya revolusi.
Pengalaman perebutan kemerdekaan Indonesia merupakan contoh yang paling
baik untuk menggambarkan semangat melawan kolonialisme tersebut.
Moda produksi kapitalistik yang bergerak mengikuti arus jalan neo-
liberalisme ini juga ditandai oleh munculnya praktek privatisasi, deregulasi dan
liberalisasi pasar. Fenomena berkembangnya wisata bahari dan kepemilikan
pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu oleh swasta maupun per orangan adalah
contoh nyata adanya praktek privatisasi sumber daya alam tersebut. Dari sekian
banyak pulau kecil yang digunakan untuk pariwisata bahari, masyarakat di sekitar
pulau tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Nelayan di sekitar tempat
262
kalangan para pihak yang terlibat. Para pengusaha, pemilik modal pada satu sisi
dan masyarakat pesisir, nelayan, pembudidaya, pedagang kecil dan pengolah kecil
pada sisi lainnya. Pengelolaan SDPL dengan demikian tidak lebih merupakan
ajang pertarungan kepentingan berbagai pihak untuk mendapatkan akses dan
kontrol terhadap SDPL. Perdagangan bebas, mode produksi kapitalis yang
diusung melalui strategi pertumbuhan ekonomi dengan neo-liberalisme sebagai
payung ideologi terbukti banyak menyisakan kehancuran bagi lingkungan dan
SDPL khususnya. Lemahnya tata kelola pemeritah (weak governance), tidak
jelasnya rezim penguasaan sumber daya alam publik (unclear common property
regimes), ketidakpastian hak-hak property (insecure property right), policy bias
yang melahirkan lemahnya penegakan hukum, merupakan beberapa penyebab
yang melanggengkan ketidakadilan ekologi yang berujung pada kemiskinan
masyarakat pesisir. Paradigma pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
masih bias pada otoritas kelembagaan pemerintah ketimbang pada kemampuan
rakyat, bias pada otoritas ilmu pengetahuan modern ketimbang pada ilmu
pengetahuan lokal, bias kepada kepentingan pemodal ketimbang kepentingan
rakyat miskin, bias kepada perkotaan ketimbang pedesaan dan bias kepada daratan
ketimbang lautan.
Daya dukung lingkungan menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir menurun. Penurunan daya dukung berakibat pada ketersediaan rumah
yang layak terbatas serta sarana umum tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.
Keterbatasan akses sarana umum mengakibatkan kepentingan publik tidak
terpenuhi dengan baik dan itu artinya tingkat kesejahteraan masyarakat berkurang.
Daya dukung lingkungan PPK juga mengakibatkan produktifitas masyarakat
menurun. Penurunan kualitas SDPL akan mengganggu produksi sumber daya
ikan di ekosistem laut tersebut. Penurunan produksi berpotensi menurunkan
pendapatan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir umumnya yang sangat
menggantungkan hidupnya dari keberadaan ekosistem SDPL. Pendapatan rendah
merupakan ciri utama dari rendahnya kesejahteraan.
Rendahnya daya dukung lingkungan mengakibatkan kenyamanan hidup
berkurang dan kualitas hidup berkurang. Selain itu rendahnya daya dukung
lingkungan PPK mengakibatkan keterbatasan PPK dalam memenuhi kebutuhan
266
GAMBAR 15
268
yang tidak melaut karena merugi. Jika musim sedang tidak bersahabat, contohnya
ketika masuk musim Barat seperti kenaikan BBM tahun 2008 kemaren bersamaan
dengan musim Barat yang biasanya karean angin besar, banyak nelayan yang
tidak melaut. Maka kenaikan BBM diiringi oleh kondisi alam yang tidak
bersahabat tersebut menambah panjang penderitaan nelayan. Belum lagi kenaikan
harga pokok akibat kenaikan BBM, semakin memperburuk kualitas hidup nelayan
dan masyarakat pesisir umumnya. Parahnya, pemerintah seringkali tidak
mengimbanginya dengan kebijakan lain yang meringankan beban hidup
masyarakat pesisir.
Beberapa program pernah digulirkan dalam rangka mengatasi kenaikan
BBM antara lain pemberian subsidi bagi harga solar sekitar Rp 100.000,- per liter,
program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan terakhir
pemberian BLT. Pemberian subsidi BBM ternyata tidak sampai di harga eceran
yang berlaku di P. Panggang dan P. Pramuka. Pedagang pengecer tetap saja
menaikkan harga solar di atas harga sebelum kenaikan BBM karena bagi
pedagang, biaya transportasi dan biaya lainnya mengalami kenaikan. Tetap saja
nelayan yang sudah miskin tidak bisa mendapatkan harga solar yang rendah.
Program PEMP yang dijalankan DKP sejak tahun 1999 ternyata sampai tahun
2008 ini belum menyentuh masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka.
Faktanya ketika ditanyakan tentang program PEMP, hampir semuah responden
menyatakan tidak mengetahui program tersebut, apalagi mendapatkannya.
Sedangkan program terbaru yang digulirkan pemerintah dalam rangka
menanggulangi kenaikan BBM adalah pemberian BLT. BLT ternyata banyak
mengalami bias sasaran karena yang dipergunakan adalah data tahun 2005,
sehingga banyak masyarakat yang sebetulnya tidak berhak karena kehidupannya
sudah membaik, masih mendapatkannya. Sebaliknya masyarakat yang seharusnya
berhak, ternyata tidak bisa mendapatkannya.
Sedangkan kebijakan lain yang memberatkan rata-rata berupa pelarangan
melakukan aktivitas destruktif yang dapat merusak lingkungan laut. Peraturan
seperti penangkapan ikan dengan potasium, alat tangkap terlarang dan
pemasangan alat tangkap, memang terpampang jelas di pintu masuk P. Panggang
dan P. Pramuka. Masyarakat merasa bahwa peraturan yang memberikan sanksi
277
berat terhadap pelanggarnya tersebut tidak efektif dan tidak ditegakkan dengan
baik oleh pemerintah dan aparat hukum. Jika aturan tersebt ditegakkan dengan
baik, harusnya tidak ada lagi aksi-aksi kerusakan sumber daya laut dan pesisir.
Tapi faktanya, masih sering ditemukan aksi-aksi pengrusakan tersebut.
Masyarakat mengakui bahwa pemerintah pernah menjatuhkan sanksi penjara bagi
nelayan pengguna potasium, namun hal itu tidak berjalan lama. Masyarakat
kemudian menjadi apatis terhadap aturan pelarangan tersebut dan menganggap
bahwa peraturan tersebut hanya sebatas papan nama dan tidak lebih. Bahkan
masyarakat melihat bahwa aparat hukum dan pemerintah sepertinya melakukan
pembiaran terhadap praktek negatif di laut. Sebagian masyarakat lainnya justru
melihat pemerintah kadangkala menggunakan terumbu karang untuk pondasi bagi
sarana umum yang dibangun di Pulau Seribu. Padahal dalam aturan sangat jelas
bahwa dilarang menggunakan pasir dan terumbu karang tanpa ijin, bagi pelanggar
akan dikenakan sanksi 500 juta atau kurungan penjara 10 tahun. Kekosongan
penegakan hukum, perilaku pemerintah yang ikut merusak sumber daya alam,
mengakibatkan masyarakat merasa keberatan dengan pemberlakuan larangan
tersebut.
Keberatan masyarakat juga didasari oleh kondisi keterdesakan akibat
menurunnya produktifitas perikanan. Sebagian masyarakat menggunakan
potasium, selain karena faktor kebiasaan, mereka juga terdesak oleh kondisi alam
yang fluktuatif sehingga produktifitasnya juga tidak menentu. Beroperasinya
kapal-kapal arad (trawl) menyebabkan kerusakan lingkungan laut dan penurunan
produksi ikan Kepulauan Seribu. Kebutuhan hidup yang makin tinggi dan
banyak, barang-barang konsumsi mahal, kenaikan BBM, kenaikan harga pokok
dan pola hidup yang berubah, menyebabkan responden nelayan untuk menempuh
jalan singkat agar mendapatkan ikan tangkapan. Menangkap dengan
menggunakan alat tangkap terlarang seperti potasium dan aksi-aksi pengrusakan
ekosistem lain, adalah pilihan terakhir bagi masyarakat pesisir. Kebijakan yang
berupa larangan tersebut terbukti tidak efektif menjerat pelaku pengrusakan
SDPL. Karena faktornya bukan semata culture atau karena pendidikan rendah
tetapi lebih bersifat struktural dan keterbatasan akses pemanfaatan terhadap
SDPL.
278
kebutuhan masyarakat. Hal itu terbukti dari banyaknya sarana pembangunan yang
kemudian tidak terawat setelah terbangun dan mengalami kerusakan. Mekanisme
konsultasi publik dan musyawarah sebelum pelaksanaan kegiatan atau
perencanaan pembangunan semestinya dilakukan terlebih dahulu dengan
melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan sampai pengawasan. Keterlibatan
masyarakat akan mendorong pertanggungjawaban oleh masyarakat yang
berdampak kepada keberlanjutan program atau proyek. Contoh seperti adanya
banyak sarana umum rusak seperti WC umum, dermaga, TPI dan sarana lainnya
merupakan bukti dari kurang pekanya pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat.
Pemerintah seringkali menjadi pihak yang selalu mengambil inisiatif dan
cenderung menegasikan masyarakat serta selalu menganggap masyarakat bodoh,
tidak berpendidikan, tidak informatif dan perilaku negatif lain. Fakta bahwa
banyak responden dengan pendidikan tertinggi SD dan SMP bukan berarti mereka
bodoh karena pada setiap masyarakat mempunyai pengalaman hidup sendiri-
sendiri dan masyarakat biasanya mempunyai tingkat kearifan tertentu yang
dimiliki oleh setiap orang dan setiap komunitas.
Untuk perwujudan visi, misi dan tujuan dibuat skenario rencana strategi
pencapaian selama periode 2008-2012. Skenario rencana strategi ini diturunkan
lagi menjadi program-program kerja yang diselenggarakan oleh dinas-dinas
terkait. Point dari rencana strategi tersebut antara lain :
1) Menjadikan Kepulauan Seribu Sebagai Destinasi wisata bahari yang
berskala nasional/internasional.
2) Pemanfaatan dan Pengelolaan Perairan guna pengembangan ekonomi
berbasis masyarakat melalui budidaya perikanan.
3) Meningkatkan nilai tambah ekonomi yang berdaya saing (Competitive)
dan berkelanjutan dengan membangun sektor unggulan di masing-masing
wilayah (One Product One Village).
4) Penegakan supremasi hukum yang terkait dengan pelestarian lingkungan
dan segala aspek kehidupan.
5) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur melalui
penguasaan IPTEK.
6) Pengembangan sistem manajemen kepegawaian, struktur organisasi dan
administrasi publik yang efisien, efektif, transparan, akuntabel dan
profesional.
7) Mencegah dan meminimalisir dampak negatif pembangunan infrastruktur
terhadap daya dukung lingkungan dan Sumber Daya Alam.
8) Meningkatkan pembangunan sarana / prasarana fisik guna mengatasi
masalah-masalah antara lain : Pemukiman kumuh, abrasi, air bersih,
pencemaran laut, mitigasi bencana, transportasi, sampah, pengambilan
karang, dsb.
281
sumber daya laut antara lain melalui perbaikan ekosistem laut/Pembuatan Fish
Shelter di Kepulauan Seribu; 2) Perlindungan dan pelestarian sumber daya alam
hayati antara lain melalui rehabilitasi hutan mangrove di Kepulauan Seribu.
Dari kedua program tersebut, yang berkaitan secara langsung dengan
masyarakat pesisir di P. Panggang dan P. Pramuka hanya program rehabilitasi
mangrove yang ada di P. Pramuka. Melihat tingkat kerusakan SDPL yang
diderita oleh Kepulauan Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnyanya
maka antara upaya untuk memulihkan dengan tingkat kerusakan sangat tidak
sebanding. Dari proporsi jumlah program yang dijalankan saja, sangat jelas
bahwa pemerintahan daerah Kepulauan Seribu sepertinya tidak mengetahui
karekteristik wilayahnya yang terdiri dari laut dengan ekosistem yang berada di
dalamnya. Kondisi fisik berupa pulau menjadikan masyarakat Kepulauan Seribu
sangat tergantung dari kualitas lingkungan dan ekologi pesisir dan laut beserta
SDPL yang berada di dalamnya. Namun, rupanya pemerintah daerah tidak peka
terhadap hal itu dan justru banyak mengalokasikan program untuk kegiatan wisata
dan pemenuhan kebutuhan sekunder lainnya.
Dari tingkat proporsi program yang dialokasikan terlihat bahwa kebijakan
yang dijalankan mengalami bias dan tidak mengatasi permasalahan utama.
Pemerintah daerah sepertinya belum melihat bahwa pemulihan SDPL merupakan
program yang penting dan tingkat kerusakan SDPL masih dianggap berada di
ambang yang masih bisa ditolerir. Permasalahan kerusakan SDPL di Kepulauan
Seribu sudah sangat parah khususnya terumbu karang dan mangrove. Program
rehabilitasi mangrove yang dijalankan, termasuk yang berada di P. Pramuka,
jumlahnya tidak terlalu besar. Masyarakat menilai, bahwa perhatian pemerintah
dalam mengalokasikan program untuk pemulihan ekosistem pesisir dan laut
sangat kurang.
Biasnya kebijakan dan sedikitnya program pengelolaan SDPL oleh
pemerintah daerah Kepulauan Seribu dapat disebabkan oleh banyak faktor :
• Pemerintah belum menyadari dengan baik bahwa kondisi geografis berupa
pulau dan laut, menuntut adanya kelestarian SDPL dimana masyarakat
sangat tergantung di dalamnya. Ketika SDPL rusak maka akan berdampak
kepada penurunan kesejahteraan masyarakat
284
Tinjauan Kebijakan
Tinjauan kebijakan ini akan mengacu pada kategorisasi dari Damanhuri
(1997) yang membagi teori pembangunan ke dalam tiga besar teori yaitu teori
liberal, teori kritis (radikal) dan teori heterodox. Kebijakan pemerintah daerah
Kepulauan Seribu akan coba ditelusuri dengan mencari basis pijakan teori yang
melatarbelakangi. Dari pijakan ini setidaknya setiap proses akan diketahui latar
belakang dan tujuan akhirnya. Identifikasi program didasarkan atas kriteria-
kriteria yang mencirikan teori ekonomi tertentu. Matrik penciri utama dari setiap
program ekonomi dan kesejahteraan dijelaskan dalam Tabel 90.
Kebijakan yang akan ditinjau lebih kepada beberapa bidang yang dianggap
penting dan berkenaan secara langsung dengan pengembangan ekonomi wilayah
dan kesejahteraan masyarakat. Bidang-bidang antara lain bidang ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat serta program prioritas wilayah di tahun 2008 ini
ditinjau dari tiga teori ekonomi. Setiap program dicari relevansinya dengan ciri-
ciri yang dimiliki oleh tiga teori ekonomi (liberal-kapitalis, struktural-kritis dan
heterodox). Chek list dilakukan pada setiap nomor yang menunjukkan ciri khusus
dari masing-masing teori. Program yang mendapatkan chek list terbanyak
menunjukkan platform ideologi dari masing-masing program.
Program Ekonomi
Tabel 91 menunjukkan beberapa program ekonomi yang dijalankan oleh
pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Seribu memiliki enam program utama di bidang ekonomi yang berkaitan langsung
dengan masyarakat pesisir.
seperti ini lebih dekat kepada pendekatan liberal yang lebih menekan pada
pertumbuhan ekonomi dan kekuatan individu.
Beberapa ciri dari pendekatan liberal dalam program bidang ekonomi
tersebut adalah : 1) Tujuan program berorientasi PAD, pertumbuhan, distribusi
dan nilai kompetitif barang; 2) pasar mempunyai peranan besar dalam kesuksesan
program yang diindikasikan dengan promosi; 3) investor dalam hal ini pemilik
kapital mempunyai peranan dominan; 4) menguatnya nilai-nilai kemodernan
karena adanya banyak atraksi wisata.
Hanya terdapat satu program yang berhalauan struktural yaitu
Pendampingan UKM di Kepulauan Seribu. Dalam proses pendampingan tujuan
akhirnya adalah membangun kemandirian usaha bagi UKM. Pemerintah dalam
hal ini mempunyai peranan dominan khususnya dalam menfasilitasi UKM baik
dalam bidang permodalan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan usaha.
Pendampingan UKM mendorong agar UKM tidak terjebak pada pola patronase
akibat ketiadaan akses terhadap sumber-sumber permodalan maupun pemasaran.
Kondisi ini seringkali membawa UKM kepada ketergantungan yang tinggi kepada
pemilik modal dan pengusaha besar.
mengenal nilai-nilai modern agar bisa maju dan terampil dalam mengoperasikan
tehnologi tertentu. Ciri pendekatan liberal lainnya adalah terserapnya tenaga kerja
dan mengurangi pengangguran.
Program ini mempunyai kemiripan dengan program pendataan
ketenagakerjaan Kepulauan Seribu. Tujuan dari program ini diduga adalah untuk
mengurangi pengangguran dengan melakukan pendataan awal ketenagakerjaan.
Basis analisa dari program ini adalah lebih menekankan pada perubahan perilaku
individu dan mental yang siap kerja.
Satu-satunya program yang bercirikan pendekatan non liberal adalah
program peningkatan kualitas SDM Kepulauan Seribu melalui penguatan
kelembagaan. Program ini lebih dekat kepada pendekatan heterodox karena
beberapa ciri antara lain : pertama, pengembangan kualitas SDM didasarkan atas
faktor kelembagaan. Penguatan faktor kelembagaan merupakan upaya untuk
membangkitkan kekuatan lokal seperti jaringan sosial, organisasi masyarakat dan
aturan yang berkembang di masyarakat. Ciri kedua, penekanan pada aspek
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. Jenis-jenis kegiatan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Program bidang kesejahteraan
masyarakat dan platform ideologinya dapat dilihat pada tabel 93 dan 94 di bawah
ini.
Selain dua bidang penting di atas, yang perlu mendapatkan perhatian juga
adalah program kerja yang menjadi prioritas pengembangan wilayah Kepulauan
Seribu di Tahun 2008. Prioritas program lagi-lagi lebih banyak didominasi oleh
program yang berbasiskan kepada pendekatan liberal. Investasi pariwisata bahari
menjadi pilihan utama bagi pemerintah Kepulauan Seribu guna meningkatkan
pembangunnya. Kebijakan pembangunan pariwisata bahari tidak memiliki nilai
adaptabilitas dan keadilan karena kurangnya memberikan manfaat bagi nelayan
dan masyarakat pulau. Kawasan pariwisata bahari akan menjadi kawasan khusus
dan ekslusif dengan kepemilikan usaha dan pengelolaan biasanya diserahkan
kepada investor/swasta. Pola seperti ini jelas dilakukan dengan tujuan untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi, PAD dan PDRB.
Banyaknya pulau-pulau kecil yang disulap menjadi pulau wisata tanpa
pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan hanya akan menyingkirkan
masyarakat ke jurang kemiskinan dan ketiadaan aset. Nelayan akan semakin
kehilangan akses terhadap sumber daya pesisir dan laut, apalgi undang-undang
No.27 Th 2007 tentang pengelolaan pesisir dan laut tentang HP3 semakin
membuka ruang lebar bagi masuknya para investor dalam menguasai pulau-pulau
kecil. Kepadatan penduduk semakin tinggi, sedangkan lahan untuk tinggal seperti
di P. Panggang dan Pramuka semakin terbatas. Sedangkan pulau-pulau lain yang
seharusnya bisa menjadi lokasi baru pemukiman, justru disewakan kepada
investor untuk kegiatan wisata bahari.
Keterdesakan masyarakat sebagai akibat melonjaknya populasi dan tidak
adanya ruang untuk tinggal akan berdampak kepada munculnya perilaku-perilaku
295
negatif masyarakat seperti merusak sumber daya alam yang ada. Degradasi
sumber daya pesisir dan laut khususnya ekosistem terumbu karang bukan semata
karena permasalahan teknis semata akibat pengeboman atau ketidaktahuan
masyarakat, tapi lebih karena terbatasnya akses masyarakat terhadap SDPL akibat
pola kepemilikan lahan yang sudah berubah dari bersifat common menjadi
komoditas. Pola investasi seperti ini terjadi karena adanya perselingkuhan antara
kaum pengusaha yang merepresentasikan kelompok kapitalis/borjuis dengan elit
birokrat yang memberikan ijin usaha. Elit penguasa dan yang menopang elit
pengusaha sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab terhadap proses
ekploitasi yang luas dan dalam di negara miskin. Dalam definisi penganut
marxian, kelompok ini biasa disebut sebagai kelas ”komprador” (compradore
class). Klas otoriter birokratis inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis
dengan kekuatan modalnya, mengekploitasi rakyat miskin. Kolaborasi pemilik
modal dalam program-program pembangunan melahirkan inefisiensi dalam
pembangunan. Akibatnya banyak program yang tidak bisa berjalan efektif.
Pola investasi pariwisata bahari merupakan bentuk lain dari kebijakan
yang pro pasar. Memang hal itu menjadi salah satu strategi dari pemerintah
daerah Kabupaten Kepulauan Seribu seperti tertera dengan jelas paa butir 13 dari
skenario rencana strategis Kepulauan Seribu yang berbunyi ” Meningkatkan dan
membangun infrastruktur ekonomi yang baik (termasuk pelayanan investasi guna
menarik investor yang simple, kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia
usaha / Public Private Partnership)”. Kebijakan sangat jelas menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah daerah Kepulauan Seribu didominasi oleh haluan
liberal.
Namun masih ada program yang sebetulnya dapat menjadi penyemangat
hidup masyarakat P. Panggang dan P. Kelapa yaitu penyediaan pemukiman.
Program ini terkesan aneh dan susah untuk dicapai maksimal mengingat luas
lahan kosong di P. Panggang dan P. Kelapa sudah sangat terbatas. Luas P.
Panggang saja hanya 9 Ha dan saat ini jumlah penduduk mencapai 5.481 jiwa.
Kondisi perumahan yang ada di P. Panggang sangat padat dan berdempetan.
Bahkan dalam sebuah sumber, tingkat kepadatan P. Panggang lebih tinggi
dibandingkan Jakarta. Kondisi rumah berdempetan menyebabkan kualitas
296
Melihat kebijakan yang ada melalui program kerja di bidang ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat serta program-program prioritas terlihat bahwa
kebijakan yang dijalankan pemerintah Kepulauan Seribu lebih berhalauan liberal.
Strategi pengembangan ekonomi ditekankan kepada pertumbuhan ekonomi
dengan tujuan pembangunan ditekankan pada tingginya PAD dan PDRB. Pola
298
• Zona Inti Taman Nasional (4.449 Hektar) adalah bagian kawasan taman
nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya
perubahan apapun oleh aktivitas manusia
• Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284, 50 Hektar) adalah bagian
kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti
taman nasional.
• Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 Hektar) adalah
bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan
kunjungan wisata.
• Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Hektar) adalah bagian kawasan
taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan
penduduk masyarakat.
• Zona Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang
Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage
Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang Bongkok, Karang
Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang,
dan Pramuka, pada posisi geografis 5°38'00"-5°45'00" LS dan 106°33'00"-
106°40'00" BT
Kelurahan P. Panggang termasuk dalam wilayah TNKS, sehingga setiap
aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di wilayah ini senantiasa
bersinggungan dengan pihak TNKS. Keberadaan TNKS bagi sebagian
masyarakat telah banyak membantu khususnya dalam upaya pemulihan terumbu
karang, mangrove dan ekosistem pesisir lainnya. Beberapa program yang pernah
dijalankan dengan mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya, antara lain :
dinikmati oleh pengusaha sebagai bapak angkat. Nelayan ikan hias hanya
diposisikan sebagai buruh dan akses terhadap pasar tetap dipegang oleh
pengusaha sebagai Bapak angkat. Pola hubungan seperti ini merupakan bentuk
ketergantungan ekonomi yang lazim terjadi di lingkungan masyarakat pesisir,
seperti dalam pola hubungan antara nelayan buruh dengan pemilik kapal atau
nelayan kecil dengan bakul ikan. Keterbatasan akses modal dan pasar seringkali
menjadi hambatan meskipun pelaksanaan program ini dalam bentuk kelompok.
Hambatan yang sering terjadi adalah konflik internal dalam kelompok akibat
sikap-sikap individu dan pragmatisme masing-masing anggota. Hal itu yang
dapat dilihat dalam Kelmpok Pernitas yang saat ini mulai kurang aktif dan
nelayan mendirikan organisasi baru yaitu Klompis.
Sedangkan saat paceklik kondisinya tentu lebih buruk lagi. Sekitar 53%
responden menyatakan bahwa hasil tangkapan saat musim paceklik (sepi ikan) di
bawah 10 kg, sekitar 29% hasil tangkapan sebanyak 10-50 kg, sekitar 12% hasil
tangkapan sebanyak 50-100 kg dan hanya sekitar 6% yang menyatakan bahwa
hasil tangkapannya lumayan besar yaitu 100-500 kg. Mayoritas responden
mengeluh dan merasa tidak mampu lagi untuk melaut khususnya saat musim
paceklik datang, apalagi ketika kenaikan BBM terjadi pada tahun 2005 dan 2008
ini. Nelayan menyatakan bahwa saat kenaikan BBM operasi penangkapan
cenderung mengalami kerugian dan banyak nelayan yang tidak melaut. Dari 30
hari penangkapan (1 bulan) hanya 15 hari efektif melakukan penangkapan.
Kondisi nelayan semakin tragis ketika hasil tangkapan saat kenaikan BBM tidak
diikuti oleh kenaikan harga ikan. Distribusi harga ikan tetap berada di tangan
pedagang/bakul, sedangkan TPI praktis tidak banyak berperan dalam
mempengaruhi harga pasar.
Penurunan produksi hasil perikanan menurut para nelayan terjadi sejak
tahun 2000 sampai sekarang. Penyebab penurunannya adalah beroperasinya
kapal-kapal dengan teknologi yang lebih modern seperti armada purse seine dan
gardan yang biasanya beroperasi di musim barat. Kapal-kapal ini jumlahnya
ratusan dan biasnya berasal dari Jakarta, Jepara dan Selat Sunda. Kapal-kapal ini
biasanya mendaratkan ikannya di Muara Angke Jakarta. Selain kapal purse seine,
nelayan-nelayan Kelurahan P. Panggang banyak terdesak oleh nelayan-nelayan
306
arad yang merupakan alat tangkap terlarang karena merupakan bagian dari trawl.
Alat tangkap arad banyak beroperasi di sekitar perairan Teluk Jakarta sampai
Kepulauan Seribu biasanya banyak pada musim timur. Beroperasinya alat
tangkap arad ini bukanya tidak diketahu oleh aparat hukum, tetapi seperti terjadi
pembiaran karena faktanya keberadaannya semakin banyak dan mengancam
eksistensi nelayan-nelayan tradisional.
Daerah penangkapan nelayan-nelayan Kelurahan P. Panggang rata-rata
berajarak sekitar 3-4 mil yaitu di wilayah perairan P. Peniki sampai P. Kelapa.
Saat musim timur biasanya nelayan banyak beroperasi di P. Peniki, sedangkan
saat musim barat P. Tidung dan P. Kotok biasanya menjadi pilihan nelayan-
nelayan Kel. P. Panggang. Jenis-jenis ikan yang banyak ditangkap rata-rata
adalah ikan-ikan karang, ikan pelagic, demersal dan lainnya termasuk rajungan,
udang dan cumi-cumi. Jenis ikan karang yang banyak ditangkap seperti ikan
baronang, kakap, kerapu dan ikan ekonomis penting lainnya. Ikan-ikan pelagic
yang banyak ditangkap seperti ikan laying, kembung, lemuru, layer, tongkol dan
tengkek. Sedangkan ikan demersal seperti ikan bawal, bambangan dan udang
putih.
Hasil tangkapan nelayan biasanya hanya dipasarkan di Kelurahan P.
Panggang kepada para pedagang/bakul ikan. Sekitar 63% responden menyatakan
bahwa lokasi pemasaran di wilayah lokal, 44% dijual ke Jakarta dan sekitarnya
dan hanya 3% yang dijual antar pulau. Nelayan biasanya menjual hasil
tangkapannya langsung ke pedagang/bakul yang sudah menjadi langganannya.
Pada sebagian kasus, bakul langganan ini juga berberan dalam memberikan
permodalan dan biaya operasional lain. Selain karena faktor ketergantungan,
hubungan perdangan ikan ini biasanya juga karena adanya faktor kekerabatan
antara nelayan dan pedagang. Lokasi pasar Jakarta biasanya di PPS Muara Angke
dan kadang-kadang ke Muara Baru. Sedangkan lokasi pasar antar pulau biasanya
dibawa langsung oleh pedagang besar yang berkolaborasi dengan pedagang yang
ada di Kel. P. Panggang. Tujuan pemasarannya di luar Jakarta antara lain Banten,
Tangerang, Sumatera, Sulawesi dan eksport. Pola pemasaran di lingkungan
nelayan Kel. Panggang ada yang melalui TPI tetapi lebih banyak yang langsung
dengan bakul ikan. Pemasaran melalui TPI biasanya dilakukan oleh nelayan-
307
nelayan di P. Pramuka karena lokasi TPI yang berada di P. Pramuka. Namun, TPI
yang ada belum optimal fungsinya dan sepi pembeli. Dua pola pemasaran hasil
perikanan di Kel. P. Panggang dijelaskan dalam Gambar 16 dan 17.
Exportir
Konsumen
Nelayan
Pembudidaya
Mata pencaharian budidaya menempati urutan profesi terbesar kedua
setelah nelayan. Jenis budidaya yang terdapat di Kelurahan P. Panggang adalah
budidaya ikan kerapu dan rumput laut.
18.000.000,- tergantung dari jumlah ikan yang dipelihara dan kotak keramba yang
dimiliki.
Pemasaran hasil budidaya ikan kerapu dan rumput laut biasanya berkisar
di pasar lokal, Jakarta dan sekitarnya. Setiap pembudidaya biasanya sudah
memiliki pembeli tetap baik itu yang berasal dari dalam Kelurahan P. Panggang
(pedagang) maupun langsung dari Jakarta. Pedagang di Kel. P. Panggang
nantinya menjual kembali ke Jakarta. Model lainnya adalah pembeli dari Jakarta
langsung datang ke lokasi budidaya dengan membawa kapal sendiri untuk alat
angkutnya. Pembeli rata-rata digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah
makan di wilayah Jabodetabek atau eksport. Pola pemasaran budidaya rumput
laut dan budidaya kerapu (umum/non sea farming) dijelaskan dalam Gambar 19
dan 20.
312
Exportir Pengumpul
besar di Jakarta
Exportir Pengumpul
besar di Jakarta
Pembudidaya
Pengumpul/ LKM/
Pedagang Jkt Sea Farming
Permodalan Sendiri/Saudara
Pembudidaya
Pembudidaya
Lain
Pengumpul/
Ket : Permodalan pedagang lain
Pemasaran (jual-beli)
Permodalan dan benih
Pengembalian modal
Pedagang
Usaha pedagang (bakul ikan) sangat tergantung dari hasil tangakapan
nelayan. Jika musim panen yang ditandai dengan besarnya hasil tangkapan tiba,
biasanya jumlah ikan yang perdagangkan juga besar, begitu sebaliknya.
Jika musim panen datang, jumlah ikan yang dijual bisa mencapai 1 ton.
Mayoritas pedagang ikan (50%) mengalami peningkatan hasil saat musim panen
dimana nelayan biasa menghasilkan sekitar 100-500 kg. Sedangkan saat musim
paceklik, pedagang biasa menjual ikan saat nelayan mendapatkan hasil rata-rata
sekitar 10-50 kg. Jenis ikan yang banyak/sering diperdagangkan adalah jenis-jenis
ikan karang (kerapu, baronang, kakap). Karena memang mayoritas nelayan di
Kel. P. Panggang adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing dengan
ikan karang sebagai sasaran tangkapan.
Ikan lainnya yang biasanya juga dijual yaitu dari jenis ikan pelagic seperti
Ikan Tongkol, Tenggiri, Layar, Kembung dan ikan Tekek. Pedagang ikan di
selurah Kelurahan P. Panggang berjumlah sekitar 15 orang dengan tingkat skala
usaha yang bervariasi mulai pedagang kecil, menengah dan besar. Pedagang-
pedagang ini biasanya sudah mempunyai ikatan jual beli dengan nelayan yang
menjadi langganan atau mendapatkan permodalan (pola patronase). Pedagang
bisa juga berasal dari anggota keluarga atau sanak famili yang memiliki ikatan
kekerabatan dengan nelayan. Untuk menjual ikan ke pasar yang lebih besar,
pedagang lokal biasanya sudah mempunyai pasar di Jakarta dan berhubungan
dengan pedagang yang lebih besar atau ikan langsung dijual di Muara Angke.
315
Tabel 102 menjelaskan tujuan pemasaran hasil perikanan. Sekitar 50% ikan dijual
ke Jakarta dan sekitarnya meliputi Banten, Tangerang dan Jabodetabek.
Sedangkan lainnya dijual ke daerah/pulau lain seperti Sumatera, Sulawesi atau
daerah lain di Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat).
tidak ada tamu, maka seringkali hasil olahan hanya dijual di pasar lokal
(responden).
Sedangkan bagi pengolah rumput laut bahan yang digunakan untuk
membuat manisan/dodol rumput laut biasanya terdiri dari 1 kg rumput laut (Rp
30.000) dan 10 kg gula. Komposisi ini biasanya menghasilkan 40-50 bungkus,
dimana 1 bungkus biasa dijual seharga Rp 5000-Rp 6000,-. Dalam 1 bulan hanya
membuat 1 kali olahan maka rupiah yang bisa dikumpulkan sekitar Rp 225.000,-
sedangkan jika diasumsikan dalam 1 bulan membuat 2 kali olahan maka rupiah
yang bisa dikumpulkan sebesar Rp 450.000,- (asumsi sekali buat menghasilkan 40
bungkus manisan/dodol). Jika modal yang dikeluarkan untuk membuat 1 kali
olahan sekitar Rp 100.000,- maka dengan asumsi 1 kali buat dalam 1 bulan,
keuntungan yang didapatkan mencapai Rp 150.000,-. Pendapatan seorang
pengolah hasil perikanan sungguh sangat kecil dan jauh di bawah UMR Jakarta
maupun Kepulauan Seribu. Sangat ironis jika dalam satu responden hanya
mengandalkan usaha pengolahan sebagaimana yang terdapat pada beberapa
responden janda (suami meninggal). Oleh karena itu, menurut masyarakat P.
Panggang dan P. Pramuka, responden Janda (kepala responden) langsung
dimasukkan dalam kategori miskin. Hal itu jika keluarganya tidak ada yang
menanggung. Responden seperti itu masih banyak terdapat baik di P. Panggang
maupun P. Pramuka.
kategori lapisan tengah ini adalah pembudidaya rumput laut dan ikan
kerapu yang mempunyai KJA tidak lebih dari 1-5 unit serta pengolah hasil
perikanan kelas besar.
3) Lapisan yang terbawah ; merupakan orang-orang yang tidak memiliki alat
tangkap terutama buruh nelayan. Namun buruh nelayan dalam lingkungan
masyarakat P. Panggang dan P. Pramuka yang masuk dalam kategori
lapisan bawah ini adalah buruh perahu pancing, jaring gebur dan bubu.
Sedangkan bagi buruh jaring mouroami dan jaring payang masuk dalam
kategori lapisan menengah. Profesi lainnya adalah buruh yang bekerja
pada budidaya kerapu dan pengolah hasil perikanan skala kecil/responden.
Ya Tdak
1 Institusi √ Institusi ekonomi seperti koperasi
dan TPI kurang efektif
2 Norma/tingkah laku √ Cukup efektif
3 Peraturan pemerintah √ Kurang efektif
4 Aturan dalam √ Kurang efektif
masyarakat
5 Kode etik √
6 Kontrak √
7 Pasar √ TPI kurang efektif
8 Hak milik √ Cukup efektif
9 Organisasi √ Efektif
10 Insentif √
11 Sangsi √ Kurang efektif
12 Pengawasan √ Cukup efektif
Organisasi Formal
Salah satu unsur penting dari kelembagaan adalah keberadaan organisasi
secara formal menghimpun masyarakat dalam suatu aktivitas tertentu. Organisasi
selama ini banyak berkenaan dengan kegiatan sosial keagamaan. Namun sebagian
322
Aturan Main
Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan
harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan
yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami,
1984).
Sangsi
Pemberian sangsi merupakan mekanisme untuk menjaga agar aturan main
dapat ditegakkan. Pemberian reward and punisment menjadi jalan bagi
pembentukan perilaku dan karakter sesuai dengan yang diinginkan.
Pengawasan
Mekanisme untuk mengawal agar aturan main dan sangsi dapat ditegakkan
adalah melalui pengawasan. Pengawasan terhadap aturan formal dapat langsung
dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap kesepaatan
masyarakat diwasi langsung oleh masyarakat.
Kelembagaan pancing
Tipe kelembagaan. Kelembagaan perikanan pancing termasuk dalam
aktivitas produksi dan proses produksi. Perikanan dengan menggunakan pancing
merupakan perikana yang paling banyak dan dominan di P. Panggang dan P.
Pramuka. Jumlah pemilik alat tangkap pancing yang tersebar di dua pulau
tersebut adalah 444 orang dengan alat tangkap sebanyak 532 unit. Operasi
perikanan pancing cenderung sederhana karena alat tangkap yang digunakan
tergolong tidak canggih dan untuk membelinya tidak membutuhkan biaya mahal.
Perikanan pancing sangat mengandalkan kelestarian ekosistem terumbu karang
karena target sasaran ikannya adalah ikan-ikan karang seperti ikan ekor kuning,
ikan kakatua dan ikan karang lainnya. Perikanan pancing di Kel. Panggang ini
cenderung mandiri dan berisfat privat karena rata-rata nelayan pancing
mengoperasikan armadanya sendiri (dimiliki). Dalam perikanan pancing ini
pemilik armada juga berperan sebagai pengemudi atau pandeganya.
Kelembagaan pancing ini biasa dioperasikan oleh 2-3 orang yang biasanya masih
terdapat pola kekerabatan yang dekat seperti anak, saudara dan bahkan di P.
Pramuka, terdapat anggota responden nelayan pancing yang dioperasikan
sepasang suami isteri. Mereka melaut bersama sejak 15 tahun yang lalu atau
mulai tahun 1993.
Modal yang dihabiskan untuk sekali melaut dalam perikanan pancing rata-
rata antara Rp 100.000 – Rp 200.000 meliputi biaya BBM rata-rata 5 lt perhari
dan biaya pokok lain seperti makan, minum dan rokok. Pada saat musim panen,
nelayan pancing biasa mendapatkan hasil berkisar antara 30-70 kg atau bahkan
bisa mencapai 1 kuintal, namun saat musim paceklik yang biasanya ditandai
dengan kerugian, nelayan hanya mendapatkan hasil sekitar 3-5 kg.
Pola bagi hasil dalam perikanan pancing adalah 30 : 70, dimana 30%
dikeluarkan untuk keperluan BBM dan 70% nya dibagi menjadi 3 bagian lagi.
Tiga bagian yang dimaksud meliputi 1 bagian untuk kerusakan mesin, 1 bagian
untuk anak/isteri yang bertugas sebagai buruh dan 1 bagian lagi untuk isteri untuk
kebutuhan belanja. Karena kebanyakan anggota nelayan yang ikut serta adalah
kerabat keluarga maka pola bagi hasil cenderung berlaku ekslusif tergantung dari
tingkat kebutuhan masing-masing keluarga. Namun jika ada buruh nelayan dari
333
luar anggota keluarga, maka bagiannya tetap berasal dari 70% yang dipotong
menjadi 3 bagian.
Perhitungan ekonomi sederhanan dalam perikanan pancing dapat dihitung
sebagai berikut:
• Jika diasumsikan modal rata-rata per hari Rp 150.000,- (sudah termasuk
biaya BBM sekitar 5 lt/hr = Rp 7000 x 5 = Rp 35.000,-)
• Jika asumsi hasil tangkapan musim panen rata-rata 50 kg dimana harga
ikan = Rp 6000,-/kg. Maka hasil yang didapatkan sebesar Rp 300.000,-
• Keuntungan kotor yang didapat saat musim panen adalah Rp 150.000,-
/hari. Nilai ini dibagi lagi menjadi 30% (BBM) dan 70% (untuk dibagi).
30% dari keuntungan kotor = Rp 45.000,- (dialokasikan untuk BBM).
Sedangkan 70% = Rp 105.000,-. Nilai ini dibagi lagi menjadi 3 bagian,
masing-masing mendapatkan Rp 35.000,-
• Jika anggota perikanan pancing bukan dari keluarga (buruh nelayan),
maka penghasilan buruh nelayan saat musim panen = Rp 35.000,-/hr atau
Rp 1.050.000,-/bln. Sedangkan bagi pemilik kapal bisa mendapatkan hasil
sebanyak Rp 70.000,- /hr atau setara Rp 2.100.000,-/bulan (asumsi 1 bulan
30 trip).
• Namun jika saat musim paceklik, maka nelayan pancing biasanya
menderita kerugian yang besar, rata-rata Rp 120.000,-/sekali trip.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan pancing dalam satu bulan
mereka bisa menyimpan hasil tangkapan sebanyak Rp 1.500.000,-, itupun saat
musim panen. Jika musim paceklik maka alih-alih mendapatkan untung, yang
didapat seringkali kerugian. Hari melaut nelayan pancing rata-rata 26 hari,
biasnya setiap hari Jum’at tidak melaut. Satu kali trip biasanya berangkat
sore/malam, pulang pagi. Sedangkan jika saat musim paceklik, dalam 1 minggu
hanya 2 hari melaut dan 5 hari menganggur.
Tatanan kelembagaan. Nelayan pancing termasuk dalam kategori nelayan
tradisional karena armada yang digunakan biasanya perahu tempel dan alat yang
digunakannya juga sederhana yaitu berupa pancing. Perikanan pancing dalam
tatanan kelembagaan perikanan berdasarkan alat tangkap di P. Panggang dan P.
Pramuka mendominasi dan terbanyak jumlahnya yaitu sebanyak 444 nelayan dari
334
507 orang nelayan pemilik atau sekitar 88% dari total pemilik armada perikanan,
sedangkan sisanya sebanyak 12% merupakan pemilik kapal jaring payang, jaring
dasar, jaring gebur, jaring muoroami dan bubu. Selebihnya adalah buruh nelayan
yaitu sekitar 1029 orang dari total keseluruhan nelayan perikanan tangkap
sebanyak 1.536 orang.
Meskipun jumlahnya dominan, namun dari tingkat kesejahteraannya
perikanan pancing masih tergolong miskin sampai cukup. Jika dihitung
berdasarkan kategori bank dunia (miskin = $1 / hari) maka penghasilan rata-rata
nelayan pancing masih di atas rata-rata warga miskin. Begitupun jika
dibandingkan dengan UMR rata-rata DKI Jakarta yaitu ± 800.000/bulan, maka
nelayan pancing masih di atas rata-rata UMR. Pola penangkapan yang bersifat
musiman, mengharuskan nelayan pancing dan nelayan lainnya untuk istirahan dan
tidak melaut. Musim paceklik biasanya berlangsung selama 3-5 bulan, tergantung
dari kondisi perairan. Namun menurut pengakuan masyarakat, musim paceklik
tahun 2008 ini berlangsung lebih lama dan hasil tangkapan pada musim yang
seharunya musim panen juga tidak meningkat sebagaimana mestinya. Penurunan
hasil tangkapan ini diyakini karena degradasi ekosistem terumbu karang semakin
tinggi di wilayah perairan Kepulauan Seribu, beroperasinya alat tangkap arad
yang terlarang dan menghabiskan sumber daya ikan serta beroperasinya alat
tangkap purse seine oleh nelayan Muara Angke dan Selat Sunda.
Daya jangkau. Wilayah operasi perikanan pancing antara lain masih di
wilayah perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Tidung, P. Pari, P. Ayer, P. Kotok,
P. Panjang, dan P.Paniki. Wilayah operasi lebih banyak di P. Paniki. Beberapa
jenis ikan yang menjadi sasaran nelayan pancing antara lain seperti Ikan Tengkek,
Tongkol, Tenggiri, Kakap merah dan Ekor kuning. Penyebaran distribusi
perikanan pancing adalah wilayah-wilayah yang mempunyai ekosistem terumbu
karang yang masih bagus.
Kelembagaan bakul
Tipe kelembagaan. Kelembagaan bakul merupakan kelembagaan dalam
proses produksi, distribusi barang dan jasa yang terdapat di tingkat komunitas dan
secara sektoral merupakan lembaga privat (swasta) (Karim, 2005). Kelembagaan
335
ini terbentuk setelah proses penangkapan ikan dari laut yang dilakukan oleh
nelayan. Dalam lingkungan masyarakat pesisir Kepulauan Seribu khususnya di P.
Panggang dan P. Pramuka, bakul ikan mempunyai banyak peranan yaitu
pemasaran hasil ikan maupun rumput laut serta permodalan.
Kelembagaan bakul di Kelurahan P. Panggang berjumlah 15 orang
masing-masing terdapat di P. Panggang sebanyak 7 orang dan 8 orang terdapat di
P. Pramuka. Kelembagaan bakul di P. Panggang maupun di P. Pramuka
mempunyai peran ganda yaitu sebagai pembeli ikan nelayan dan menjualnya
kembali ke Jakarta, eksportir dan pengusaha dari daerah lain, pemberi modal
usaha sekaligus juga pemilik kapal dan sarana alat tangkap. Tipe kelembagaan
bakul seperti ini biasanya disebut sebagai bakul ikan besar. Sedangkan bakul
pada kelas menengah biasanya membeli dan menjual ikan serta memberikan
modal dan bakul kelas kecil biasanya hanya membeli dan menjual ikan tidak
memberikan modal.
Kelembagaan bakul khususnya yang berperan sebagai pemberi modal dan
pemilik sarana perikanan inilah yang biasanya melahirkan pola hubungan
ekploitatif. Nelayan buruh yang tidak mempunyai sarana dan modal sangat
tergantung dari bakul dan pola bagi hasil terjadi ketidakseimbangan. Nelayan
yang sudah mendapatkan modal harus menjual ikannya pada bakul yang juga
menjadi pemilik sarana. Hasilnya laut biasanya dibagi 40 : 60 (40% untuk
buruh/pandega dan 60% untuk juragan/pemilik kapal) atau 30 : 70 tergantung dari
kesepakatan. Pola seperti ini biasanya terjadi pada kelembagaan perikanan
pancing atau jaring dasar. Bakul mendapatkan nilai lebih dari pola bagi hasil
ditambah dengan kepastian hasil perikanan untuk dijual kembali. Parahnya harga
ikan sepenuhnya berada di tangan bakul. Sehingga besar kecilnya pendapatan
yang diterima oleh buruh nelayan sangat tergantung dari nilai kebaikan dan
perilaku bakul ikan. Bakul ikan karena mempunyai aset, akses pasar dan modal,
dapat bertindak sesuai kemauannya dengan berprinsip pada perolehan keuntungan
sebesar-besarnya. Pola hubungan seperti ini biasanya terjadi pada bakul yang
sekaligus berprofesi sebagai tengkulak. Pola hubungan seperti ini akan
membangun ketergantungan akut dari nelayan kepada pemilik kapal atau bakul
ikan. Ketiadaan aset dan akses baik pasar dan modal seperti inilah yang
336
seperti yang terjadi di Karawang dan Pelabuhan ratu Sukabumi. Pada dasarnya
tatanan kelembagaan bakul yang terjadi di P. Panggang dan P. Pramuka
merupakan kelembagaan pemasaran, pemilik modal maupun pemilik armada dan
alat tangkap.
Daya jangkau. Kehadiran bakul di P. Pramuka dan P. Panggang telah
menggantikan peran dan fungsi yang semestinya dilakukan oleh TPI dan koperasi.
Bakul sangat berperan khususnya dalam pemasaran hasil perikanan baik berupa
ikan segar maupun kering. Bakul yang bergerak pada skala besar biasanya
menjual ikan langsung ke Jakarta (Muara Angke, Muara Baru) ataupun ke
wilayah Banten, Tangerang dan sekitarnya. Bahkan bakul besar ini biasanya juga
menjual ke pengusaha besar yang ada di Jakarta untuk diekspor. Bagi bakul
menengah dan kecil biasanya banyak menjual ikan untuk memenuhi kebutuhan
pasar lokal dan sebagian dijual ke Jakarta.
Kelembagaan koperasi
Perekonomian idealnya dijalankan atas dasar demokrasi ekonomi. Pasal
33 UUD secara jelas menyatakan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat haruslah diutamakan dan bukan kemakmuran
perorangan atau kelompok. Perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan dan kelembagaan yang paling sesuai untuk itu adalah
koperasi.
Koperasi seharusnya bisa mendorong partisipasi masyarakat bukan hanya
melakukan proses produksi dan menikmati hasilnya, tetapi harus meliputi juga
kemampuan untuk mengawasi berlangsungnya proses produksi dan distribusinya.
Koperasi dibangun atas asas usaha kekeluargaan idealnya dapat difungsikan
sebagai instrumen pengatur harga, pemasaran, permodalan usaha dan
pengembangan nilai lebih produk perikanan. Fungsi tersebut menjadikan koperasi
sebagai pengontrol persaingan usaha yang berjalan tidak sehat. Sehingga perilaku
ekonomi yang saling mematikan ala ekonomi kapitalistik, bisa dicegah.
Kesenjangan dapat teratasi dan pemerataan dalam kesejahteraan ekonomi bisa
terwujud.
338
juga tidak banyak berperan dalam hal penentuan harga ikan, karena secara tradisi
sudah dikuasai oleh bakul TPI hanya dijadikan tempat untuk menimbang dan
mencatat hasil produksi, selebihnya urusan harga dikuasai sepenuhnya oleh bakul.
Kondisi seperti ini tidak terlepas dari pola hubungan patron-klien yang terbangun
lama di kalangan masyarakat pesisir.
Daya jangkau. Apabila dilihat dari nama dan fungsinya, koperasi
SPPMKL yang terdapat di P. Panggang hanya berperan dalam simpan pinjam.
Sedangkan fungsi lainnya seperti pemasaran, penentuan harga ikan, pengelolaan
TPI dan pemenuhan kebutuhan pokok nelayan tidak bisa dipenuhi oleh koperasi.
Koperasi serba usaha Citra Bahari yang diharapkan dapat menjadi alternatif
ternyata tidak aktif tanpa keterangan yang jelas. Pemerintah pun tidak melakukan
intervensi dalam memperkuat kelembagaan koperasi sebagai satu-satu unit usaha
yang dibangun atas asas kekeluargaan dan berjalan dengan prinsip ekonomi
kerakyatan.
Terbatasnya daya jangkau koperasi dapat disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal seperti kurang inovatifnya pengurus koperasi dalam
mencari sumber-sumber pendanaan, kurangnya upaya dalam mempengaruhi
kebijakan pemerintah dalam pengelolaan TPI atau peran lainnya, kurangnya
dukungan dari tokoh masyarakat, hubungan ekploitatif antara tengkulak dan
nelayan kecil, antara juragan dan nelayan buruh yang masih terbangun sangat kuat
dan potensi munculnya gejala koruptif bisa mengurangi kepercayaan masyarakat.
Sedangkan faktor eksternal antara lain seperti tidak adanya program pemerintah
dalam memperkuat kelembagaan koperasi, terbatasnya akses koperasi dalam
mengelola aset pemerintah yang berhubungan dengan masyarakat dan tidak
adanya lembaga perbankan yang memberikan suntikan modal.
Kelembagaan keuangan/perbankan
Tipe kelembagaan. Kelembagaan perbankan merupakan tipe kelembagaan
yang mendistribusikan modal (Karim, 2005). Kelembagaan perbankan berfungsi
untuk menabung sekaligus meminjam. Satu-satunya lembaga yang terdapat di
Kepulauan Seribu adalah Bank DKI yang berlokasi di Ibu Kota Kepulauan Seribu
yaitu P. Pramuka. Lembaga perbankan ini tidak banyak memberikan pelayanan
340
• Pola pendapatan ; pola penerimaan musiman dan tidak teratur tidak sesuai
engan pola pinjaman perbankan yang mensyaratkan angsuran teratur
secara bulanan
• Kepemilikan jaminan ; status kepemilikan tanah dan rumah di kalangan
masyarakat desa/pesisir masih berupa ”akta jual beli”. Status ini belum
dapat dianggap sah dan tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah
jaminan untuk mengajuan pinjaman
• Administrasi ; pemberlakukan asas prudential banking lebih ditafsirkan
kelangan perbankan sebagai keharusan berbagai administrasi formal, tetapi
menurut masyarakat desa prosedur yang komplek dan berbelit-belit.
Kondisi ini mengakibatkan banyak masyarakat desa terpaksa meminjam
kepada bakul, tengkulak dan lembaga-lembaga non formal seperti pelepas
uang yang tidak memberlakukan berbagai persyaratan sekalipun biaya
pinjamannya sangat mahal
• Takut menghadapi tunggakan ; pengalaman tunggakan pengembalian
program kredit nelayan di masa lalu telah ”menghantui” kalangan
perbankan (termasuk BRI) untuk memberi pinjaman baru kepada
komunitas nelayan
• Rentabilitas dan kebijakan pengembalian pinjaman yang tinggi ;
pelaksanaan profesional banking system sering diukur antara lain oleh
tingkat pengembalian pinjaman yang tinggi dan menjamin rentabilitas
yang tinggi pula. Kebijakan collection rate selalu di atas 95% telah
menimbulkan kecenderungan di kalangan perbankan untuk lebih
memberikan pinjaman kepada kalangan perdagangan dan kelompok
berpenghasilan tetap (fixed income group).
Faktor-faktor di atas juga dihadapi oleh masyarakat pesisir di P. Panggang
dan P. Pramuka. Kebanyakan yang mendapatkan pinjaman adalah para pedagang
besar dan pengusaha lokal yang mempunyai aset tanah, kendaraan bermotor dan
penghasilannya cenderung stabil. Sedangkan para nelayan ikan karang, bakul
kecil, pengolah dan pembudidaya ikan tidak bisa mengakses pinjaman di lembaga
perbankan (Bank DKI).
342
Dimensi Kekuasaan
Dimensi kekuasaan merujuk kepada pelaku yang terlibat dalam aktivitas
perikanan di P. Panggang dan P. Pramuka. Dalam lingkungan nelayan terlibat
didalamnya yaitu nelayan pemilik (juragan), bakul ikan (pedagang) dan nelayan
kecil (perikanan pancing yang menggunakan motor tempel) dan buruh nelayan
atau ABK. Nelayan buruh biasanya bekerja kepada nelayan pemilik (juragan),
sedangkan nelayan kecil biasanya menjual ikannya kepada bakul ikan. Pola
hubungan kedua kelompok ini bersifat ekploitatif yaitu antara juragan yang
mengekploitasi buruh kapal dengan pola bagi hasil yang tidak seimbang dan bakul
ikan mengekploitasi nelayan kecil.
Nelayan buruh tidak mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi harga
ikan karena ketergantungannya yang tinggi kepada juragan kapal dalam hal
sarana, biaya operasional dan kebutuhan lainnya. Nelayan buruh juga tidak
memiliki kekuasaan ekonomi untuk melepaskan diri dari juragan kapal. Demikian
halnya dengan nelayan kecil, tidak memiliki kekuasaan dalam mempengaruhi
harga ikan karena ketergantungannya yang tinggi pada bakul dalam hal pemasaran
dan permodalan. Pola hubungan seperti ini juga sudah menjadi semacam budaya
dimana satu dengan lainnya merasa saling membutuhkan dan saling
ketergantungan. Bahkan pada sebagian kasus ditemukan, keterikatan terhadap
bakul ikan bukan semata karena ketergantungan modal namun karena adanya
faktor kekerabatan dan prinsip saling membantu.
Pada masyarakat pembudidaya baik itu budidaya rumput laut maupun
kerapu juga ditemukan hubungan seperti ini namun sifatnya tidak terlalu
ekploitatif seperti dalam kehidupan nelayan. Pola hubungan di kalangan
pembudidaya rumput laut terjadi antara pembudidaya dengan pengumpul.
345
Dimensi Kelembagaan
Kelembagaan yang ditemukan dalam lingkungan masyartakat pesisir P.
Panggang dan P. Pramuka khususnya masyarakat nelayan adalah kelembagaan
formal dan informal. Kelembagaan formal seperti lembaga permodalan/perbankan
(Bank DKI), Koperasi simpan pinjam, TPI, organisasi nelayan penyelamat
terumbu karang dan LSM pengelola terumbu karang. Sedangkan kelembagaan
informal seperti juragan dan bakul, DKM dan majlis taklim
Kelembagaan perbankan tidak terlalu banyak memberikan manfaat bagi
masyarakat pesisir khususnya nelayan. Permasalahan-permasalahan teknis
perbankan, prosedur yang rumit, pola pendapatan nelayan, keharusan adanya
jaminan dan prosedur teknis lainnya menyebabkan nelayan kecil maupun
masyarakat lainnya mengalami keseulitan mengaksesnya. Aktivitas yang biasa
dilakukan dalam hubungannya dengan perbankan hanyalah menabung.
Sedangkan peminjaman biasanya dapat diakses oleh para juragan pemilik kapal
dan aset tanah, bakul ikan dan kelompok masyarakat pesisir yang mempunayi aset
tanah lainnya. Kelembagaan perbankan (Bank DKI) lebih banyak berfungsi untuk
mengurusi kebutuhan para pegawai Dinas Kabupaten Kepulauan Seribu
khususnya sebagai media transaksi dan penyaluran dana-dana proyek.
Koperasi simpan pinjam fungsinya sama dengan perbankan yaitu sebagai
media simpan pinjam. Dari 2 unit koperasi yang ada, hanya 1 unit yang aktif,
itupun tidak banyak membantu usaha nelayan karena keterbatasan modal
likuiditas yang dimilikinya. Sedangkan TPI praktis tidak banyak berfungsi, selain
347
Tema-tema ini bisa jadi tidak sampai kepada anggota pengajian karena
keterbatasan referensi yang dimiliki oleh ulama atau tokoh masyarakat.
Dimensi Kebijakan
Untuk melihat kebijakan secara umum baik yang terkait dengan
pengelolaan SDPL maupun peningkatan ekonomi dan kesejahteraan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kepulauan Seribu di P. Panggang dan P.
Pramuka khususnya dan di Kepulauan Seribu umumnya, menggunakan kerangka
pemikiran neo-liberal dan sosial demokrat. Tabel 110 menyajikan pandangan
neo-liberal dan sosial demokrat terhadap kemiskinan.
Melihat kebijakan peningkatan kesejahteraan atau pengentasan kemiskinan
yang dijalankan pemerintah Kepulauan Seribu maupun pemerintah pusat yang
sasarannya kepuluan Seribu, maka terlihat bahwa secara umum program-program
tersebut berhalaun Neo-liberal. Program seperti P2KP dan PPK dan penyaluran
kredit/permodalan kepada perorangan dan kelompok yang dilaksanakan di
Kelurahan P. Panggang lebih bersifat residual dan jangka pendek. Pembangunan
sarana dengan orientasi ini lebih berorientasi jangka pendek. Menurut kalangan
sosial demokrat, hal ini dianggap sebagai tindakan yang menghabiskan dana,
memberikan dampak yang singkat, jangkauannya terbatas dan tidak berorinetasi
pada pemberdayaan serta tidak ada jaminan kelanjutan.
Bias kebijakan ini juga nampak dari jenis sarana yang dibangun yang lebih
berorientasi pada pembangunan fisik dan sedikit alokasi untuk pembangunan
SDM, mental dan rehabilitasi SDPL. Karekteristik Kepulauan Seribu sebagai
daerah yang terdiri dari pulau-pulau dan ketergantungan masyarakat tinggi
terhadap SDPL, idealnya dalam setiap pembangunan harus berorientasi pada
keseimbangan ekologis dan kesehatan lingkungan.
349
sebagai kawasan wisata bahari yang lestari” sangat jelas bahwa orientasi
pemerintah daerah adalah mewujudkan Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten
wisata bahari. Misi tersebut dijewantahkan lebih lanjut dalam strategi
pembangunan yang ke-13 yang berbunyi “Meningkatkan dan membangun
infrastruktur ekonomi yang baik (termasuk pelayanan investasi guna menarik
investor yang simple, kebijakan pro pasar dan bermitra dengan dunia usaha /
Public Private Partnership)”. Orientasi pasar sangat jelas secara eksplisit
tercermin dalam strategi pembangunan daerahnya. Mengacu kepada pemikiran
imperial (1999) bahwa kebijakan pembangunan pariwisata bahari tidak memiliki
nilai adaptabilitas (adaptability) dan keadilan (equity) karena kurang memberikan
manfaat bagi kehidupan nelayan. Program investasi melalui pariwisata sangat
jarang melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaannya. Bahkan pulau yang
sudah menjadi tempat wisata, menutup akses terhadap pemanfaatan sumber daya
pesisir dan laut oleh nelayan tradisional. Padahal lokasi-lokasi tersebut
merupakan zona pemanfaatan tradisional yang harusnya kegiatan nelayan
tradisional boleh didalamnya. Akibatnya, pemanfaatan SDPL di wilayah tersebut
seringkali berujung pada pengrusakan ekosistem lingkungan dan ekologi karena
masyarakat merasa aksesnya ditutup.
Perhatian pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan sebetulnya cukup
terlihat pada pengembangan kualitas SDM. Terbukti adanya program yang
mengarahkan kepada peningkatan kualitas SDM, peningkatan kualitas hidup guru
melalui rehab rumah dinas guru, pelatihan dan permagangan. Pelaksanaan
program peningkatan SDM tersebut setidaknya membawa hasil cukup baik
terbukti tingkat buta huruf di P. Panggang dan P. Pramuka sangat rendah.
Kecenderungan orang tua mempunyai kesadaran untuk menyekolahkan anaknya
sampai perguruan tinggi (8%) dan rata-rata mencapai tingkat SMU (53%). Akses
terhadap informasi juga cepat dan tersedia cukup lengkap sehingga daya kritis
masyarakat juga semakin meningkat.
Dimensi Budaya
Dimensi budaya yang ditemukan dalam komunitas masyarakat pesisir di P.
Panggang dan P. Pramuka yang menyebabkan kemiskinan struktural adalah ciri-
353
ciri yang melahirkan budaya kemiskinan. Ciri-ciri tersebut bersifat fisik dan
perilaku masyarakat. Ciri-ciri fisik nampak seperti masih adanya rumah yang
berdempetan dengan luas lantai rata-rata 8x10 m2 dan perilaku negatif masyarakat
seperti apatis, konsumerisme, kurang percaya diri, kurang kompak, kurang kreatif,
pragmatis dan tidak berani bertindak. Kondisi perumahan sebetulnya hampir 88%
merupakan rumah sendiri, rata-rata berkeramik dan dinding dari tembok. Tapi
mereka tidak mau disebut kaya ataupun miskin. Mereka lebih suka dikategorikan
sebagai masyarakat dalam kelas ”cukup” atau ”sedang”. Namun jika melihat data
pendidikan tertinggi mayoritas responden banyak yang tidak tamat sekolah atau
hanya lulus SD.
Perilaku negatif yang muncul di kalangan masyarakat tidak serta berasal
dari masyarakat semata, tetapi lebih karena pelayanan masyarakat yang kurang
memadai dan kebijakan yang kurang tepat. Pemerintah tidak melaksanakan
program pembangunan dengan baik, akibatnya banyak sarana tidak berfungsi.
Disamping itu pemerintah juga seringkali melanggar peraturan yang telah
dibuatnya sendiri, aparat hukum juga tidak tegas terhadap aksi-aksi kerusakan
SDPL dan bahkan terlihat membiarkan. Kondisi kekosongan hukum dan
keteladanan itu menyebabkan masyarakat apatis dan cuek terhadap SDPL yang
berada di sekelilingnya.
Perilaku lain yang paling menonjol dalam masyarakat pesisir di manapun
termasuk di P. Panggang dan P. Pramuka adalah pola hubungan sosial antara
juragan dengan buruh kapal atau nelayan kecil dengan bakul ikan, antara
pembudidaya dengan pengumpul/pedagang. Pola ini terjadi dalam hubungan
yang ekploitatif dan patronase atau saling ketergantungan. Nelayan buruh sering
menjadi korban ekploitasi juragan, begitu juga nelayan kecil menjadi korban
bakul ikan. Namun, dalam lingkungan masyarakat pesisir P. Panggang dan
Pramuka khususnya dalam komunitas nelayan, pola hubungan antara nelayan
kecil dan bakul banyak terjadi dalam hal pemasaran. Hubungan ekploitasi
terparah diderita oleh buruh nelayan yang mengalami ketergantungan teknologi,
modal dan pemasaran kepada juragan (yang biasanya sebagai pemilik kapal
bahkan juga menjadi bakul).
354
pemanfaatan > 100% dan deplesi sumberdaya alam. Modernisasi perikanan telah
melahirkan kemiskinan dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di sepanjang
pantai utara Jawa. Perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan
disebabkan oleh faktor-faktor yang komplek. Faktor-faktor tersebut tidak hanya
berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan SDM, modal, akses
dan jaringan perdagangan ikan yang ekploitatif terhadap nelayan sebagai
produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang
mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan (Kusnadi,
1997).
Dampak moda produksi kapitalisme telah memunculkan semangat untuk
mengoreksinya dan menghasilkan beragam tipe alternatif ideologi tandingan.
Mereka yang memilih jalan konservatif dalam membela lingkungan memilik
ecototaliter sebagai jalan. Dalam gerakan ini kelestarian lingkungan adalah yang
paling utama dan unsur manusia dengan segala kegiatannya harus ditiadakan.
Gerakan ini tidak jarang menghalalkan penggusuran dan pengusiran masyarakat
demi menjaga sumber daya alam. Gerakan yang lebih moderat memilih
ecopopolisme baik yang beraliran keras (strong ecopopulism) maupun yang lunak
(weak ecopopulisme) (Dietz, 2005). Dalam gerakan ini pengelolaan lingkungan
dilakukan dengan bersinergi dengan pengetahuan lokal, kelembagaan lokal dan
interaksi posisitf dengan pengetahuan ilmiah bagi ecopopulism garis lunak.
Mereka yang lebih moderat dalam membela lingkungan mengambil jalan
perjuangan melalui gerakan berpaham environmentalism (cinta lingkungan).
Woodhouse (1972) dan Stevies (2000) dalam Dharmawan (2004)
mengemukakan empat alasan politikal-ekologis mengapa sebuah ideologi-politik
pembangunan tandingan harus muncul, yaitu :
1) Sistem sosial kemasyarakatan negara sedang berkembang pada saat ini
bukanlah sebuah sistem yang imun (kebal) terhadap pengaruh luar bahkan
telah berada di bawah pengaruh kekuasaan ekonomi negara maju. Negara
sedang berkembang sesungguhnya hampir tak memiliki legitimasi untuk
berkuasa dan melancarkan pengaruhnya, sementara lembaga-lembaga
politik tak berjalan efektif (tak berdaya). Ketidakberdayaan
(disempowered) tersebut termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
357
produksi yang dilakukan oleh penduduk lokal P. Panggang dan P. Pramuka ada
kecenderungan menuju pola konservatif dan sifat sumber daya manusianya mulai
menunjukkan perhatian serius bagi pengelolaan ekosistem pesisir dan laut.
Parahnya ekosistem terumbu karang yang berdampak kepada menurunnya hasil
ikan dan pendapatan masyarakat nelayan menyebabkan munculnya kesadaran
untuk melestarikan dan merehabilitasi kembali ekosistem terumbu karang.
Dengan didampingi oleh lembaga swadaya masyarakat, masyarakat mulai
menyusun kembali agenda-agenda pengelolaan SDPL. Agenda tersebut secara
sadar dilakukan karena ketergantungan mereka yang sangat tinggi terhadap
keberlanjutan SDPL. Namun, faktor kesadaran internal ini akan menemui
hambatan jika tidak didukung oleh faktor eksternal yang berubah ke arah
perbaikan pula.
regional disebabkan karena banyaknya kebijakan yang kurang tepat (policy bias).
Kebijakan pembangunan di Kepulauan Seribu dapat dilakukan dengan menata
kembali orientasi pengembangan kelembagaan yang ada melalui beberapa
langkah :
• Revitalisasi kelembagaan yang relevan ; langkah ini dilakukan dengan i)
mempertegas kembali komitmen dan fungsi serta peran Departemen
Kelautan dan Perikanan serta Dinas/sub Dinas perikanan dan Kelautan
Kepulauan Seribu untuk menjalankannya dengan mekanisme kontrol
terhadap kebijakan yang ada oleh masyarakat ; ii) mengevaluasi instrumen
kebijakan meliputi visi, misi, strategi dan program kerja yang ada untuk
lebih disesuaikan dengan kondisi alam, sosial dan budaya Kepulauan
Seribu ; iii) mengoptimalkan peran pemerintah sebagai pelayan
masyarakat.
Untuk menuju langkah yang lebih konkrit bagi turunan kebijakan di atas,
diperlukan beberapa program kerja yang dianggap penting dan prioritas dalam
rangka menjamin keberlanjutan lingkungan pulau dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir, yaitu :
1) Reorientasi Kebijakan pengelolaan SDPL
• Pengelolaan PPK secara kolaboratif ; Pengelolaan PPK yang berjalan
selama ini cenderung meminggirkan peran masyarakat. Pelaksanaan
proyek pembangunan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Akhirnya masyarakat apatis, tidak peduli dan tidak
bertanggungjawab terhadap pembangunan, ditambah adanya kekosongan
hukum dan kurangnya keteladanan pemerintah. Sikap seperti ini bisa
melahirkan aksi-aksi destruktif dalam pemanfaatan SDPL. Dibutuhkan
sebuah upaya kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat dalam
pengelolaan PPK. Potensi dan peran masyarakat dapat digali untuk
dioptimalkan menjadi kekuatan pembangunan. Kepadatan penduduk tidak
hanya diiringi dengan kebijakan pembatasan –stigma ini yang sering
dijadikan alasan kemiskinan penduduk- tetapi dioptimalkan menjadi
368
9.1 Kesimpulan.
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik beberapa
kesimpulan :
1) Daya dukung ekologis terumbu karang di Kelurahan Pulau Panggang rendah
karena persentase penutupan karang dalam kategori buruk-bagus dengan nilai
rata-rata 34,22% (2004) dan 24,92% (2005). Rendahnya daya dukung tersebut
berasosiasi dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir karena
ketergantungan masyarakat pada sumberdaya perairan.
2) Sedangkan daya dukung lingkungan P. Panggang dan P. Pramuka melalui
metode ecological footprint (EF) menunjukkan bahwa masing-masing sudah
melebihi kapasitasnya. Daya dukung lingkungan P. Panggang sebesar 893
orang, nilai EF sebesar 4,46 ha/kapita dan biocapacity (BC) hanya tersedia
sebesar 1,03 ha/kapita. Hasil ini memperlihatkan bahwa BC < EF (defisit
sumberdaya alam) di P. Panggang. Demikian halnya dengan kondisi daya
dukung lingkungan di P. Pramuka. Total daya dukung lingkungan sebesar 734
orang. Jumlah total EF menghasilkan 3,97 dan BC sebesar 1,82 (BC < EF)
(defisit sumber daya alam). Kondisi daya dukung ekologis dan lingkungan
kedua pulau tersebut dapat diartikan dalam status rendah (daya dukung
rendah).
3) Indikasi penurunan kesejahteraan terlihat pada tingkat kesejahteraan rumah
tangga P. Panggang dan P. Pramuka menunjukkan sebanyak 46,6% berada
dalam kondisi sangat miskin-miskin, 35,6% miskin-cukup dan hanya 17,8%
dalam kondisi cukup-kaya. Data ini menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan
rumah tangga mayoritas berada dalam status miskin. Demikian halnya dengan
lingkungan kontekstual yang meliputi lingkungan alam, ekonomi, sosial dan
politik, maka 29,7% dalam kondisi buruk/kritis, 45% sedang dan 25,4% baik.
Indeks gini agregat masyarakat pesisir P. Panggang dan P. Pramuka masing-
masing sebesar 0.28 dan 0.25. Angka ini menunjukkan bahwa di P. Panggang
penyebaran pendapatan rata-rata masyarakat relatif merata atau tingkat
ketidakmerataan rendah.
4) Fakta di atas menunjukkan bahwa daya dukung ekologis dan lingkungan P.
Panggang dan P. Pramuka berstatus rendah disertai tingkat kesejahteraan yang
372
9.2 Saran
1) Penanggulangan kemiskinan masyarakat lebih ditekankan kepada upaya
penanggulangan kemiskinan struktural dan penguatan kelembagaan usaha
masyarakat pesisir
2) Melakukan rehabilitasi ekosistem yang rusak khususnya terumbu karang
dengan pola kemitraan bersama masyarakat
3) Peningkatan kesejahteraan masyarakat pulau kecil memerlukan kebijakan
yang progresif seperti pemberian wewenang pengelolaan pulau wisata oleh
masyarakat dan pengembangan ekonomi kerakyatan
4) Penghitungan daya dukung ekologi terumbu karang dapat menggunakan
pendekatan produktifitas primer sehingga lebih terukur. Sedangkan
penghitungan daya dukung lingkungan pulau dengan ecological footprint
disarankan untuk menggunakan metode yang dinamik.
5) Penelitian lanjutan agar keterkaitan antara daya dukung lingkungan pulau dan
tingkat kesejahteraan lebih jelas terlihat, dapat dilakukan melalui uji statistik
dengan menggunakan data dalam rentang waktu yang cukup lama.
374
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi. 2001. Konflik Sosial Nelayan : Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Alam.
Yogyakarta. LKIS.
Kusumastanto, T. 2000. Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil. Makalah
pada Lokakarya Pendekatan Penataan Ruan dalam Menunjang Pengembangan
Wilayah Pulau-Pulau Kecil. DKP. Jakarta
Kusumastanto, T. 2004. Laut Masa depan Bangsa; Bunga rampai pemikiran dalam forum
nasional dan internasional. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB.
Kusumastanto, T. 2004. Valuasi Ekonomi dan Analisis Manfaat Biaya Pemanfaatan
Sumberdaya Pulau-pulau Kecil. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
IPB.
Laporan bulanan Kelurahan P. Panggang, 2008. Kelurahan P. Panggang. Kep. Seribu.
Jakarta.
Lubis, R. H. 2005. Kemiskinan dan Lingkungan : Kasus Komunitas lahan basah kota di
depok dan Jakarta. FISIP UI. Jakarta
Malthus, T. 1798. An Essay on the Principle of Population. Rod Hay's Archive for the
History of Economic Thought, McMaster University, Canada
Manik, Karden E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yakarta. Penerbit
Djambatan.
Mas’oed, M. 1994. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Jakarta. Pustaka Pelajar
Masyhuri dan M. Nadjib. 1999. Pemberdayaan Nelayan Tertinggal: Sebuah Uji Model
Penanganan Kemiskinan. LIPI. Jakarta
Mascarenhas. 1994. The Environment under Structural Adjustem in Tanzania with
Spesific Reference to the Semi-Arid Areas” in (eds) Bacaghwa and Limbu Policy
Reform and the Environment in Tanzania. Dar Es Salam. DUP
Mc Clelland, DC. 1961. The Achieving Society New Cork : Van Nostranh. Reinhald
Company
Mc Call, M.K. 1995. Penaksiran Sumber Daya dalam Perencanaan Wilayah. Dalam
Perencanaan sebagai suatu dialog, LAN-DSE, Jakarta
Moosa, M.K. (Ed) 1994. Laporan ekspedisi Pulau Rinca 1994 (3 September-7 Oktober
1994). Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta : 106 p.
Mubyarto, dkk. 1984. Nelayan dan Kemiskinan : Studi Ekonomi Antropologi di Dua
Desa Pantai. CV. Rajawali. Jakarta.
Nasikun. 2001. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan.
Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Olson, M. 1982. The Rise and Decline of Nations : Economic Growth, Stagflation and
Social Rigidities. New Haven. Yale University Press.
Ongkosongo, O.S.R. 1998. Permasalahan dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia.
Jakarta.
379
Wibowo, P., Nirarita, C. E., Susanti, S., Padmawinata, D., Kusmarini, Syarif, M.,
Hendriani, Y., Kusniangsih and Sinulingga, L. b. (1996) Ekosistem Lahan Basah
Indonesia: Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan, Wetlands
International Indonesia Programme, Bogor.
Wackernagel, M. Rees, W.E. 1996. Our Ecological Footprint; Reducing Human Impact
on The Earth. New Society Publishers.
Wildlife Conservation Society (WCS) Marine Program Indonesia, 2004. Studi Kegiatan
Perikanan Muro-ami Di Kepulauan Karimunjawa. Bogor. Indonesia.
Williamson, JG. 1965. Regional inequality and the process National Development : A
Description of the Pattern. The University of Chicago.
Williamson OE. 1985. Economic Institutions of Capitalism: Firms, markets, relational
contracting. The Free Press. Macmillan, New York, London
Wulan, R.T. 2006. Teori Kritis dan Perkembangan Sosiologi Pedesaan di Indonesia.
Program Studi Sosiologi Pedesaan. Sekolah pasca Sarjana. IPB
382
p
Lampiran 1. Lokasi Penelitian
P. SEMPIT
P. SEMAK DAUN
P. GOSONG
P. KARYA PRAMUKA
P. GOSONG LAYAR
P. PANGGANG
P PRAMUKA
P.
P. SEKATI
P. AYER
19.89
P. Karang Bongkok 71.83
11.34
P. Kotok Besar 14.81
3.25
P. Sempit/Karang lebar 32.88
KM
13.15 KK
P. Semak Daun 54.25
67.1
P. Gosong layar 0
34.15
P. Pramuka 34.71
17.01
P. Sekati 31.06
0 10 20 30 40 50 60 70 80
11.53
P. Karang Bongkok 67.56
18.93
P. Kotok Besar 36.85
21.65
P. Sempit/Karang lebar 17.35
KM
6.13
P. Semak Daun 0 KK
49.15
P. Gosong layar 25.8
10.85
P. Pramuka 16.01
20.78
P. Sekati 10.84
0 10 20 30 40 50 60 70
Go so ng karang ela 38
P . Opak kecil 34
P . A yer 32
P . Sekati 33
P . Karang B o ngko k 38
P . Ko to k kecil 52
P . Ko to k B esar 50
P . Go so ng P endan/Karang Co ngkak
Go so ng P . Sempit/Karang lebar 27
P . Sempit/Karang lebar 28
P . Semak Daun 28
P . Go so ng layar 35
Go so ng P ramuka
P . P ramuka 43
P . P anggang 41
0 10 20 30 40 50 60
P. Sekat i 28
P. Karang Bongkok 49
P. Kotok kecil
P. Kot ok Besar 50
P. Semak Daun 49
P. Gosong layar 31
Gosong Pramuka 24
P. Pramuka 30
P. Panggang 32
0 5 10 15 2 25 3 35 4 45 50
0 0 0
P. Ayer 1.46
2.09
P. Karang Bongkok 1.92
P. Ayer 0.46
0.63
P. Karang Bongkok 0.49
P. Ayer 0.32
0.19
P. Karang Bongkok 0.27
Pendapatan per
Pendapatan rata-rata rumah Jumlah AK
No kapita per bulan
tangga nelayan per bulan (Rp) (Jiwa)
(Rp)
1 300,000 5 60,000
2 350,000 5 70,000
3 400,000 5 80,000
4 400,000 7 57,143
5 450,000 7 64,286
6 600,000 7 85,714
7 600,000 5 120,000
8 600,000 4 150,000
9 600,000 6 100,000
10 650,000 5 130,000
11 750,000 6 125,000
12 750,000 5 150,000
13 950,000 4 237,500
14 1,000,000 6 166,667
15 1,350,000 4 337,500
16 1,500,000 4 375,000
17 1,500,000 5 300,000
18 1,500,000 4 375,000
19 1,500,000 5 300,000
20 1,500,000 4 375,000
21 1,500,000 6 250,000
22 1,500,000 5 300,000
23 1,700,000 8 212,500
24 1,700,000 7 242,857
25 1,750,000 9 194,444
26 1,750,000 5 350,000
27 1,750,000 5 350,000
28 1,750,000 4 437,500
29 1,750,000 4 437,500
30 1,800,000 4 450,000
34,200,000 160 6,883,611
1 210,000 8 26,250
2 300,000 8 37,500
3 420,000 8 52,500
4 600,000 5 120,000
5 650,000 3 216,667
6 700,000 5 140,000
7 700,000 4 175,000
8 700,000 3 233,333
9 700,000 4 175,000
10 750,000 4 187,500
11 750,000 3 250,000
12 750,000 6 125,000
13 750,000 3 250,000
14 750,000 3 250,000
15 800,000 6 133,333
16 800,000 4 200,000
17 800,000 5 160,000
18 800,000 4 200,000
19 1,500,000 8 187,500
20 1,500,000 2 750,000
21 1,500,000 3 500,000
22 1,500,000 3 500,000
23 1,500,000 6 250,000
24 1,650,000 6 275,000
25 1,700,000 6 283,333
26 1,700,000 5 340,000
27 1,750,000 4 437,500
28 2,500,000 5 500,000
28,730,000 134 6,955,417
pendapatan rata-rata per kapita per bulan (Rp) 214,403
390
Lampiran 5 :
1. Lembar wawancara untuk pemantauan daya dukung lingkungan PPK dan tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir
2. Lembar wawancara untuk pemantauan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan
3. Indikator kesejahteraan keluarga secara partisipatoris