Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Penggunaan Kanamisin Terhadap Gambaran

Audiometri Nada Murni dalam Pengobatan Tuberkulosis


Resisten Obat Ganda

Adi Matra Prawira, Eka Savitri


Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

Abstrak
Latar Belakang : Obat ototoksik adalah obat yang berpotensi menimbulkan
reaksi toksik pada struktur di koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan
otolith. Ototoksik merupakan salah satu efek samping Kanamisin yang sulit
dihindari yang ditandai dengan gangguan pendengaran sensorineural yang
progresif dan sering irreversible dimulai dari frekuensi diatas 8000 Hz. Tujuan :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kanamisin
terhadap gambaran audiometri terhadap pasien dengan pengobatan tuberkulosis
resisten obat ganda. Metode : Penelitian ini berupa kohort prospektif yang
dilakukan di RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Agustus 2019 –
Januari 2020 dengan subjek adalah penderita tuberkulosis resisten obat ganda.
Hasil : Setelah dilakukan injeksi kanamisin bulan pertama didapatkan penurunan
pendengaran yang bermakna saat dilakukan pemeriksaan Audimetri nada murni
terutama pada frekuensi tinggi. Terlihat penurunan ambang dengar pada kedua
telinga terutama di frekuensi 8000 Hz. Kesimpulan : Terdapat hubungan antara
pemberian Kanamisin terhadap efek ototoksik pada penderita TB MDR. Telah terjadi
ototoksisitas sejak injeksi Kanamisin bulan pertama yang dideteksi dengan menggunakan
pemeriksaan audiometri nada murni.

Kata Kunci : Tuberkulosis MDR, Ototoksik, Kanamisin, Audiometri nada murni

Abstract
Background: Ototoxic drugs have the potential to cause toxic reactions in
structures in the cochlea, vestibulum, semicircular canal, and otolith. Ototoxicity
is one of the difficult side effects of Kanamycin which is characterized by
progressive and often irreversible sensorineural hearing loss starting at
frequencies above 8000 Hz. Objective: This study aims to determine the effect of
administration of kanamycin on audiometric images of patients with multiple drug
resistant tuberculosis treatment. Methods: This was a prospective cohort study
conducted at the Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar August 2019 -
January 2020 period with the subject are patients with multiple drug resistant
tuberculosis. Results: After the first month kanamycin injection was obtained, a
signification alteration had found after pure tone audimoteri was performend
especially in high frequency. Visible decrease in the hearing threshold in both
ears, especially at a frequency of 8000 Hz. Conclusion: There is a relationship
between administration of Kanamycin to ototoxic effects in patients with MDR
TB. Ototoxicity has occurred since the first month Kanamycin injection was
detected using pure tone audiometry.

Keywords : MDR Tuberculosis, Ototoxicity, Kanamycin, Pure Tone Audiometry


PENDAHULUAN

Obat ototoksik didefinisikan sebagai obat yang memiliki potensi


menimbulkan reaksi toksik pada struktur di telinga dalam seperti koklea,
vestibulum, kanalis semisirkularis dan otolit. Di beberapa negara yang
berkembang, obat seperti aminoglikosida sering dipergunakan untuk pengobatan
pneumonia, diare, dan tuberkulosis (TB) paru serta diperoleh ototoksisitas yang
tinggi. Kasus ototoksisitas menjadi perhatian utama dengan penemuan
streptomisin di tahun 1944. Streptomisin bermanfaat dalam terapi tuberculosis,
namun ebebrapa pasien kemudian ditemukan mengalami disfungsi kokhlear dan
vestibular yang irreversible. 1

Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian dengan prevalensi


yang cukup tinggi. World Health Organization (WHO) pada tahun 2011
prevalensi tuberkulosis adalah sebesar 8,7 juta kasus dan TB MDR sebanyak 0,5
juta kasus dengan kasus baru 60.000 kasus. Prevalensi TB di Indonesia tahun
2011 adalah 281/100.000 penduduk dengan angka kematian 27/100.000
penduduk. Kasus baru TB MDR sebanyak 1,9% dan TB MDR yang berasal pada
kasus TB yang telah diobati didapatkan 12%. 2

Pengobatan pasien tuberkulosis multi drug resistance (TB MDR)


menggunakan panduan obat anti tuberkulosis multi drug resistance (OAT MDR)
yang terdiri dari OAT lini pertama dan kedua, serta dibagi dalam 5 kelompok
berdasar potensi dan efikasinya. Panduan standar OAT MDR yang diberikan
adalah Kanamisin, Etionamid, Levofloxacin, Sikloserin, Pirazinamid, Etambutol,
atau dengan Etionamid, Levofloxacin, Sikloserin, Pirazinamid, dan Etambutol. 3

Pengobatan TB MDR lebih kompleks terdiri atas 2 (dua) tahap, yaitu


tahap awal dan tahap lanjutan, serta mempergunakan OAT yang efek sampingnya
lebih banyak. Pengobatan TB MDR memerlukan waktu yang lebih lama daripada
pengobatan pasien TB bukan MDR, yaitu sekitar 19–24 bulan. Pada tahap awal
pasien akan mendapat OAT lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif,
salah satunya adalah OAT injeksi, yaitu kanamisin. Pada tahap lanjutan semua
OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal dilanjutkan kecuali OAT injeksi. 3

Kanamisin adalah aminoglikosida generasi kedua yang biasanya diberikan


dalam bentuk injeksi dan bersifat bakterisidal, dipakai sebagai anti tuberkular
dengan cara menghambat sintesis protein dengan mengikat subunit ribosom 30s.
Kanamisin dapat mensupresi koklea.Kanamisin tidak dimetabolisme di hepar dan
diekskresikan di urin. Dosis optimal dari Kanamisin adalah 15 mg/kg BB,
diberikan dengan cara suntikan intramuskular. 4

Hal penting dari pemberian aminoglikosida jangka panjang adalah efek


toksisitasnya. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas telah diketahui berhubungan
dengan pemberian aminoglikosida, dimana ototoksik merupakan efek toksisitas
utama dan biasanya bersifat permanen. Efek ototoksik dari obat golongan
aminoglikosida diperkirakan terjadi pada 3-13% dari pasien. Gejala ototoksik
pada koklea yang muncul bisa berupa gangguan/ penurunan pendengaran dan
tinitus. 1

Konsentrasi aminoglikosa dalam perilimfe dan endolimfe dapat merusak


sel rambut sensoris. Mekanisme ototoksitas aminoglikosida dimediasi oleh
gangguan sintesis protein mitokondria dan pembentukan oksigen radikal bebas.
Dasar selular bentuk kehilangan pendengaran akibat aminoglikosida adalah
penghancuran sel-sel rambut kokhlea, khususnya sel rambut luar. Agen
aminoglikosida harus masuk ke dalam sel rambut untukmenginduksi kematian
selular. Setelah masuk ke dalam sel rambut maka mekanisme selular akan dimulai
yaitu disrupsi sintesis protein mitokondria, pembentukan radikal bebas, aktivasi c-
Jun Nterminal kinase (JNK), dan aktivasi caspase dan nuclease. 5

Kanamisin mempunyai efek samping utama pada koklea, dapat


menghasilkan karakteristik gangguan dengar sensorineural, jarang terjadi cedera
pada vestibular. Gangguan dengar oleh karena pemberian kanamisin dapat terjadi
setelah 3–4 hari pemberian ataupun tertunda dalam hitungan hari, minggu,
ataupun bulan sesudah dilakukan terapi. Paparan awal obat ototoksik biasanya
dapat memengaruhi daerah basal koklea. Paparan lanjutan menyebabkan terjadi
penyebaran kerusakan ke arah apeks. Meskipun penggunaan dari aminoglikosida
tidak dapat dihentikan pada individu dengan TB MDR, terdapat strategi yang
dapat dilakukan untuk dapat mengurangi gangguan dengar pada pasien tersebut,
yaitu dengan melakukan monitoring audiologi. 1,5

Pemeriksaan audiometri nada murni adalah pemeriksaan fungsi


pendengaran yang dapat mendeteksi , mengetahui lokasi, jenis dan derajat
gangguan pendengaran. Pemeriksaan audiometri dapat merupakan suatu alat
skrining atau diagnostik. Gambaran audiogram nada murni suatu ototoksik
menunjukkan ciri khas dimana terjadi penurunan tajam pendengaran pada
frekuensi tinggi , bersifat sensorineural, bilateral dan simetris, terjadi relative
cepat, ireversibel dan progresif, namun dapat juga meluas ke frekuensi menengah
dan akhirnya dapat mengenai seluruh frekuensi. Tanda dan gejala ototoksik dapat
berupa tinnitus dan pengalaman pendengaran subjektif. 6,7

Ototoksisitas didefinisikan oleh American Speech-Language-Hearing


Association (ASHA) dan The National Cancer Institute Common Terminology
Criteria for Adverse Events (CTCAE) sebagai berikut : 8
1. Penurunan sebesar 20 dB atau lebih pada audiometri nada murni pada satu
frekuensi
2. Penurunan sebesar 10 dB atau lebih pada dua frekuensi yang berdekatan
3. Tidak ada respon pada pemeriksaan OAE atau BERA pada 3 kali peemriksaan
berulang dimana sebelumnya ada respon.

METODE
Rancangan penelitian yang digunakan adalah kohort prospektif untuk
menilai efek ototoksik pada penderita tuberkulosis resisten ganda yang
mendapatkan terapi kanamisin secara injeksi muskular yang diberikan 5 hari
dalam seminggu dalam 6 bulan.

Subjek Penelitian adalah penderita tuberkulosis resisten ganda yang


menjalani pemeriksaan audiometri pada saat sebelum mulai terapi pemberian
kanamisin dan setelah pemberian selama 1 bulan pertama.

HASIL
Dari data yang berhasil dikumpulkan berdasarkan hasil pemeriksaan
audiometri nada murni penderita Tuberkulosis resisten obat ganda sebelum dan
setelah menjalani pengobatan satu bulan injeksi kanamisin secara intramuskuluar
didapatkan 20 orang dengan karakteristik umum sebagai berikut :

Tabel 1. Distribusi Sampel berdasarkan karakteristik umum, jenis kelamin


Sampel (n = 20)
Variabel
N %
Umur :
a. 11-20 tahun 1 5,0
b. 21-30 tahun 2 10,0
c. 31-40 tahun 5 25,0
d. 41-50 tahun 8 35,0
e. 51-60 tahun 4 25,0
Jenis kelamin :
a. Laki-Laki 13 65,0
b. Perempuan 7 35,0

Karakteristik sampel berdasarkan kelompok umur terbanyak pada usia 41-


50 tahun yaitu 7 sampel (35,0%) , diikuti kelompok umur 31-40 tahun dan 51-60
tahun yaitu 5 sampel ( 25,0%), umur 21-30 tahun yaitu 2 sampel (8,3%), dan
umur 11-20 tahun sebanyak 1 sampel (5,0%). Berdasarkan jenis kelamin terlihat
penderita Tuberkulosis resisten obat ganda terbanyak laki-laki yaitu 13 sampel
(65,0%) dan perempuan 7 sampel ( 25,0%).

Tabel 2. Distribusi rerata nilai intensitas pendengaran setiap frekuensi pada


pemeriksaan PTA sebelum dan setelah kemoterapi kombinasi Cisplatin-
Paclitaxel

Ambang Pendengaran Telinga Kanan Ambang Pendengaran Telinga Kiri


Frekuensi Sebelum Setelah 1 Sebelum Setelah 1
(Hz) Terapi bulan terapi P terapi bulan terapi P
Mean SD Mean SD Mean SD Mean SD
500 22,32 25,62 21,34 24,96
1000 22,16 26,40 21,20 26,06
2000 21,79 25,12 22,16 26,27
4000 22,75 27,03 21,82 26,89
6000 23,16 29,57 22,88 29,08
8000 24,70 35,26 23,41 35,37
Uji Paired t-test
Tabel 2 memperlihatkan rerata ambang pendengaran pada setiap frekuensi
kedua telinga memiliki kecenderungan yang sama dimana semakin tinggi
frekuensi maka ambang dengar akan semakin menurun. Setelah injeksi kanamisin,
penurunan ambang dengar pada kedua telinga terutama di frekuensi 8000hz
terlihat, dengan uji statistik paired t-test didapatkan hasil signifikan (p<0,05)

Tabel. 3 Distribusi Jenis dan derajat gangguan pendengaran pada pemeriksaan


Audiometri nada murni
Sebelum injeksi Setelah injeksi
Diagnosa
N % N %
PTA Dextra :
Normal Hearing 14 70,0 4 20,0
CHL Ringan 3 15,0 2 10,0
CHL Sedang 1 5,0 2 5,0
SNHL Ringan 2 10,0 7 35,0
SNHL Sedang 0 0 2 10,0
MHL Ringan 0 0 1 5,0
MHL Sedang 0 0 2 10,0
Total 20 100 20 100
PTA Sinistra :
Normal Hearing 13 65,0 4 20,0
CHL Ringan 4 20,0 1 5,0
CHL Sedang 1 5,0 0 0
SNHL Ringan 2 10,0 9 45,0
SNHL Sedang 0 0 2 10,0
MHL Ringan 0 0 1 5,0
MHL Sedang 0 0 3 15,0
Total 20 100 20 100

Pada tabel 3 memperlihatkan gambaran pendengaran normal pada yang


ditemukan pada pasien sebelum terapi sebanyak 14 sampel (70,0%) pada telinga
kanan dan 13 sampel ((65,0%) pada telinga kiri, dan setelah menjalani terapi di
dapatkan pada telinga kanan Sensorineural Hearing Loss ringan sebanyak 7
sampel ( 35,0%) sedangkan pada telinga kiri yaitu Sensorineural Hearing Loss
ringan sebanyak 9 sampel ( 45,0%).

Tabel 4. Distribusi penderita Tuberkulosis resisten obat ganda yang mengalami


ototosik dan tidak ototoksik setelah pemberian injeksi kanamisin
Variabel Sample (n = 20)
N %
Ototoksik 13 65,0
Tidak Ototoksik 7 35,0
Total 20 100
Tabel 4 menunjukkan pasien TB MDR yang mengalami ototoksik setelah
terapi injeksi kanamisin yang mengalami ototoksik sebanyak 13 sampel (65,0%)
dan yang tidak mengalami ototoksik sebanyak 7 sampel ( 35,0%).

Tabel 5. Distribusi penderita KNF yang mengalami ototoksik dan tidak ototoksik
berdasarkan umur dan stadium

Variabel Ototoksik Tidak Ototoksik


N % n %
Umur
11-20 tahun 1 7,69 0 0
21-30 tahun 1 7,69 1 14,29
31-40 tahun 3 23,08 2 28,57
41-50 tahun 5 38,46 3 42,85
51-60 tahun 3 23,08 1 14,29
Total 13 100 7 100

Tabel 5 diatas menunjukkan penderita TB MDR yang mengalami


ototoksik terbanyak pada usia 41-50 sebanyak 5 sampel ( 38,46%)

DISKUSI

Dua belas subjek penelitian, 5 diantaranya berjenis kelamin laki-laki.


Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2016 rasio laki-laki :
perempuan secara global adalah 1:7 meski bervariasi sesuai lokasinya mulai dari 1
: 1 hingga 3:1. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilaporkan peneliti-
peneliti seperti Reviono dan Ramma. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
jumlah antara laki-laki dan perempuan pada penelitian yang satu dan yang lainnya
tidak signifikan.

Faktor risiko lain yang juga dapat memengaruhi fungsi pendengaran


adalah usia. Berdasarkan usia, bahwa hasil penelitian menunjukkan penderita
paling banyak pada usia 41 – 50 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Reviono dkk dan beberapa peneliti lain. Sebagian besar subjek penelitian
merupakan usia produktif karena aktivitasnya yang lebih tinggi dibanding dengan
kelompok usia yang lain sehingga kontak dengan lingkungan juga lebih tinggi. 9

Faktor-faktor yang menyebabkan age related hearing loss terbagi menjadi


faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Subjek dengan usia <45 tahun sebanyak 11
orang (55%). Subjek dengan penurunan pendengaran pada hasil pemeriksaan berasal
dari kelompok usia di atas 40 tahun, sedangkan 5 sampel yang tidak mengalami
ototoksisitas setelah pemberian Kanamisin berasal dari kelompok usia <45 tahun
(71,43 %).9

Usia merupakan faktor penting, anak usia kurang dari 5 tahun dan orang
lanjut usia cenderung lebih rentan terhadap gangguan pendengaran akibat
pemberian obat-obatan yang bersifat ototoksik. Pada individu diatas usia 50 tahun
telah terjadi degenerasi sel rambut koklea. Sedangkan pada usia muda, sel belum
mengalami maturasi secara sempurna, sedangkan obat-obatan yang bersifat
ototoksik sendiri tidak hanya membunuh sel yang sakit, namun juga sel yang
sehat. Ototoksitas dapat terjadi dalam hitungan jam- hari setelah pemberian
aminoglikosida namun dapat pula muncul setelah beberapa tahun mendapatkan
terapi. 7,10

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sagwa dkk.11 56% pasien yang
mendapatkan terapi Kanamisin sebagai salah satu regimen OAT MDR mengalami
ototoksisitas, seperti halnya pada penelitian yang serupa melaporkan ada 58%
subjek yang mengalami ototoksisitas pada pemberian Kanamisin. Pada penelitian
ini didapati 65% pasien mengalami ototoksisitas. 11

Setelah pemberian injeksi kanamisin didapatkan jenis dan derajat


gangguan pendengaran terbanyak adalah Sensorineural Hearing Loss ringan pada
telinga kanan sebanyak 7 sampel ( 35,0%) dan pada telinga kiri sebanyak 9
sampel ( 45,0%) . Terlihat penurunan ambang dengar pada kedua telinga terutama
di frekuensi 8000 hz, dengan uji statistik paired t-test didapatkan hasil signifikan
(p<0,05). Hasil ini dapat disebabkan karena pengukuran audiometri untuk
hantaran tulang dilakukan baik pada frekuensi rendah dan tinggi (500, 1000,
2000, dan 4000), sehingga meski terjadi peningkatan lebih banyak pada frekuensi
tinggi (4000 Hz – 8000 Hz), namun rerata tetap rendah. Penurunan ambang
dengar pada frekuensi rendah terjadi pada stadium lanjut setelah terjadi penurunan
pada frekuensi tinggi. 12

Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak pendengaran adalah


penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut luar.
Aminoglikosida muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam telinga
bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oxide sintetase (NOS) yang dapat
meningkatkan konsentrasi oksida nitrat. Radikal oksigen bebas (ROS) kemudian
bereaksi dengan oksida nitrat membentuk radikal peroxynitrite destruktif, yang
dapat secara langsung merangsang kematian sel. Fenomena ini menyebabkan
kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan
kehilangan pendengaran yang bersifat irreversible. 5,6

Gerak gelombang yang dihasilkan oleh bunyi frekuensi tinggi mempunyai


pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan bunyi frekuensi
rendah mempunyai pergeseran maksimal lebih ke arah apeks koklea, Faktor yang
memberi kontribusi pada cochlear amplifier adalah gerakan sel rambut luar, sifat
mekanik stereosilia, dan membran tektorial. 13

Paparan awal obat ototoksik biasanya dapat memengaruhi daerah basal


koklea. Paparan lanjutan menyebabkan penyebaran kerusakan ke arah apeks. Oleh
karena itu, toksisitas koklea pada awalnya memengaruhi frekuensi tinggi dan
kemudian meluas ke frekuensi yang lebih rendah. Kerusakan pada koklea yang
terjadi pada sel rambut luar menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi
serta memengaruhi proses emisi otoakustik. 5,14
Berdasarkan pengamatan sampel dalam penelitian ini didapatkan
gangguan pada koklea akibat pemberian kanamisin mulai timbul pada bulan
pertama hinggal bulan kedua setelah terapi. Hal ini sesuai dengan panduan
monitoring audiologi berdasarkan American Academy of Audiology, yaitu
pemeriksaan lanjutan sebagai evaluasi atau monitoring audiologi pada
penggunaan aminoglikosida sebaiknya dilakukan sebulan sekali atau bahkan dua
kali dalam sebulan. 8

Keterbatasan penelitian ini yaitu pemeriksaan fungsi pendengaran pada


penelitian ini menggunakan audiometri nada murni konvensional, dimana
audiometer ini hanya menggunakan frekuensi 250 hingga 8000. Seperti kita
ketahui, ototoksisitas lebih cepat ditemukan pada frekuensi tinggi, sehingga
dibutuhkan alat untuk memeriksa frekuensi tinggi seperti OAE. Pemeriksaan
OAE juga bersifat objektif sehingga dapat meminimalkan subjektifitas pasien
yang diperiksa fungsi pendengarannya.

Kesimpulan penelitian ini yaitu telah terjadi ototoksisitas Kanamisin sejak


bulan pertama pemberian injeksi Kanamisin, yang ditandai dengan penurunan
ambang dengar pada nada tinggi menggunakan pemeriksaan audiometri. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya preventif ototoksisitas dengan
pemberian bahan protektif sel rambut luar atau antiinflamasi untuk pemeliharaan
pendengaran pada penderita TB MDR yang mendapat injeksi Kanamisin
DAFTAR PUSTAKA

1. Chang KW. Ototoxicity. In: Johnson JT, Rosen CA, editors. Baileys Head and
Neck Surgery Otolaryngology. 2. 5th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2014. p. 2542-55.
2. World Health Organization. Key point. WHO Report 2012: Global
Tuberculosis Control 2012 surveillance, planning, financing. Geneva,
Switzerland: WHO; 2012.
3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pengendalian TB Resisten Obat. Sub Direktorat Tuberkulosis. Jakarta:
DepKes RI; 2011.
4. Shehzad A, Rehman G, Ul-Islam M, Khattak WA, Lee YS. Challenges in the
development of drugs for the treatment of tuberculosis. Brazilian Journal of
Infectious Diseases. 2013 Feb; 17(1):74-81.
5. Huth ME, Ricci AJ, Cheng AG. Mechanisms of aminoglycoside ototoxicity
and targets of hair cell protection. Int J Otolaryngol. 2011;19:1–9.
6. Tuper G. Ahmad N, seidman M. 2005. Mechanism of Ototoxicity. In Hearing
and Hearing Disorders : Research and Diagnostic. Department of
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Henry Ford Health System.
Vol.9.N0.1.p.2-10.
7. Schellack N, Naude A. An Overview of Pharmacotheraphy- Induced
Ototoxicity. In : S Afr Fam Pract. 2012 : 55(4) p.357-365.
8. Sharma V, Bhagat S, Verma B, Singh R, Singh S. Audiological Evaluation of
Patients Taking Kanamycin for Multidrug Resistant Tuberculosis. Iranian
Journal of Otorhinolaryngology. 2016;28(86):203.
9. Rybak LP, Whitworth CA. Ototoxicity: therapeutic opportunities. Drug
Discov Today. 2005;10(19):1313–21.
10. Chirtes F, Albu S.Prevention and Restoration of Hearing Loss Associated with
the Use of Cisplatin. In : Biomed Research International. Hindawi Publishing
Corporation. 2014.p.1-9.
11. Sagwa EL, Ruswa N, Mavhunga F, Rennie T, Leufkens HG, Mantel-
Teeuwisse AK. Comparing amikacin and kanamycin induced hearing loss in
multidrug-resistant tuberculosis treatment under programmatic conditions in a
Namibian retrospective cohort. BMC Pharmacology and Toxicology. 2015
Dec;16(1):36.
12. Van Altena R, Dijkstra JA, van der Meer ME, Howard JB, Kosterink JG, van
Soolingen D, van der Werf TS, Alffenaar JW. Reduced chance of hearing loss
associated with therapeutic drug monitoring of aminoglycosides in the
treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Antimicrobial agents and
chemotherapy. 2017 Mar 1;61(3): e01400-16
13. Dhingra PL. Diseases of ear, nose and throat. Edisi ke-5. New Delhi: Elsevier;
2010. p.250-253.
14. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic otolaryngology. Germany: Thieme; 2006.
Chapter 7-12. p.153-279

Anda mungkin juga menyukai