Anda di halaman 1dari 3

c 

 
  

Tuesday, 30 November 1999 00:00
Dengan jamu dari sari tanaman, limbah lumpur minyak yang selama ini menjadi masalah di
kilang bisa diolah menjadi aspal hotmix.

LELAKI separuh baya itu berdiri di tengah jalan. Badannya basah penuh peluh ketika siang itu
matahari memanggang kota. Ia banyak memberi instruksi kepada orang-orang yang sedang
bekerja mengaspal jalan. Sepintas, ia seperti mandor pengaspalan jalan. Tapi bukan. Bambang
Prasetya seorang profesor. Lelaki itu terbang jauh dari Jakarta menuju Balikpapan hanya untuk
mengaspal secuil jalan, cuma enam meter.

Tiba-tiba sebuah truk tronton membelah jalan, menyelonong tanpa klakson. Para pekerja di
jalan itu kaget dan sempat menyelamatkan diri ke pinggir jalan. Kejadian itu membuat Kepala
Pusat Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu kesal. Ia khawatir, aspal
panas yang baru terhampar tiga meter itu rusak karena dilindas tronton. Maklum, aspal itu fresh
from the oven dan belum berumur sehari. Apalagi, sebelumnya jalanan tersebut dibanjiri air
yang bocor dari salah satu pipa Pertamina. "Untunglah, semuanya tak apa-apa," kata Bambang
lega.

Hari itu adalah hari istimewa buat Bambang. Pada sepotong jalan di kawasan Unit Pengolahan
V Pertamina Balikpapan, Kalimantan Timur, ia sedang menjajal resep baru adonan aspal.
Ramuan itu berbeda dengan aspal campuran panas atau aspal hotmix yang biasa ada di kota-
kota. Aspal temuan Bambang memiliki keistimewaan, karena terbuat dari lumpur minyak (oil
sludge) yang selama ini selalu menjadi momok di industri perminyakan.

"Jenis lumpur ini masuk dalam kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) karena
banyak mengandung logam berat," katanya. Lumpur minyak itu memiliki sifat asam yang
tinggi. Tapi, berkat kepiawaian Bambang, limbah itu dapat disulap menjadi bahan baku aspal
campuran panas yang ramah lingkungan. Hasilnya, jalan sepanjang 250 meter pun terbentang
pada pertengahan Desember lalu. Lebarnya 5 meter, tebalnya 4 sentimeter.

Lumpur minyak tersebut selama ini selalu merepotkan industri perminyakan. Limbah ini
dihasilkan saat penyulingan berlangsung. Lumpur dengan kandungan aneka logam berat ikut
tersedot saat minyak dipompa ke permukaan bumi. Kejadian ini persis seperti lumpur yang ada
di bak mandi ketika air sumur disedot. Berbentuk seperti pasta berwarna hitam, lumpur minyak
itu biasa ditimbun di dalam kolam-kolam penampungan, bahkan dibiarkan menumpuk
bertahun-tahun. Sedangkan biaya pengolahannya tak murah, bisa mencapai US$ 1 juta (sekitar
Rp 9,3 miliar) per tahun.

Bila dibiarkan, limbah ini berbahaya karena sifat asam lumpur tersebut bisa menyebabkan
korosi pada permukaan tanah dan bisa merembes ke mana-mana. Sayangnya, belum ada satu
pun pengolahan yang bisa memanfaatkan limbah berbahaya itu menjadi produk lain.

Bambang, yang saat itu masih bernaung di Fisika Terapan LIPI, tergerak untuk memecahkan
kebuntuan persoalan limbah itu. Sejak 2002, doktor lulusan Universitas Gottingen, Jerman, ini
melakukan berbagai penelitian. Ia pun memutuskan mengolah lumpur minyak menjadi bahan
baku aspal hotmix.

Kebetulan, saat studi di Jerman, Bambang banyak meneliti bahan-bahan kimia yang diekstraksi
dari berbagai tanaman. Hasil ekstraksi itu digunakannya untuk mengikat logam berat.
Pengalaman itulah yang menjadi inspirasi untuk menaklukkan logam berat yang ada di dalam
lumpur minyak dan membuat lumpur itu punya daya rekat sekuat aspal asli.

Bambang pun membuat bahan pengikat dari beberapa tanaman. Karena masih dalam proses
pengajuan paten, Bambang belum mau menyebutkan jenis tanaman yang dimaksud. Yang
pasti, "jamu" bikinan Bambang ini di laboratorium bisa mengikat logam berat setelah
campuran itu dipanaskan pada suhu 100 sampai 150 derajat Celsius dan reaksinya ditunggu
selama 30 menit hingga satu jam. Untuk uji tersebut, Bambang memboyong lumpur minyak
dari kilang minyak Pertamina di Balongan, Jawa Tengah.

Ramuan itu cukup cespleng. Logam berat yang bisa diikat kadarnya cukup tinggi. Tapi, untuk
meningkatkan daya rekat, Bambang menambahi campuran tersebut dengan bahan lain. "Bisa
dengan plastik bekas," katanya.

Untuk penelitian ini, Bambang mencampur lumpur minyak yang bersih dari logam berat itu
dengan bongkahan tanah dan batu yang berasal dari areal pertambangan di Pulau Buton.
Seluruh bahan itu dicampur dengan pasir. Hasilnya, sampel aspal kecil berukuran 30 x 30 x 5
sentimeter terbentuk.

Untuk menganalisis sampel-sampel tersebut, Bambang bekerja sama dengan Purwadi Kasino
Putro. Peneliti asal Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu bertugas menguji seluruh sampel
aspal yang dibuat Bambang. Pengujian dilakukan di Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Gunanya untuk melihat apakah aspal ini ramah
lingkungan saat terguyur hujan atau air asam.

Hasilnya? Ternyata, "Kadar racun logam berat melorot drastis, jauh dari ambang batas yang
ditetapkan," kata Purwadi. Hasil ini membuat duet Bambang dan Purwadi yakin akan
penemuan mereka. Tapi mereka sadar, aspal dengan bumbu "jamu" tumbuh-tumbuhan itu
harus dibuktikan di lapangan. Presentasi pun dilakukan ke kalangan industri perminyakan.

Gayung bersambut. November 2005, mereka diminta menguji aspal baru ini di kawasan kilang
minyak Pertamina di Balikpapan. Duet peneliti itu diminta mengatasi lumpur minyak sebanyak
5.100 ton yang ada di sana. Sebagai tahap awal, Bambang dan Purwadi memboyong bahan
kimia hasil ekstraksi sebanyak 3 ton. Bongkahan tanah dari Pulau Buton sebanyak 25 ton juga
dikirim. Dua komponen tersebut, yang dicampur dengan pasir dan batu kerikil, dipakai untuk
mengolah 60 ton lumpur minyak. Hasilnya, ya, jalan sepanjang 250 meter tadi.

Untuk membuktikan bahwa aspal itu tak merusak lingkungan, Purwadi membawa secuil aspal
ke Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan KLH. "Hasilnya, logam berat yang ada pada
limbah terserap oleh bahan pengikat hingga 90 persen," ucapnya. Bahkan, pengujian yang
selesai awal Januari itu menunjukkan ada logam berat yang kandungan racunnya hanya satu
per seribu dari batas ambang yang diizinkan. Contohnya merkuri dan perak.

Pengujian di lapangan juga menggembirakan. "Kualitasnya hampir sama dengan jalan


umumnya," kata Nanang Sofal Jamil, Kepala Bagian Lindungan Lingkungan UP V Pertamina
Balikpapan. Bahkan jalan aspal itu tak mengalami masalah, meski dilalui berbagai kendaraan
berat yang bobotnya mencapai 15 hingga 150 ton.

Pertamina Balikpapan tentu saja merasa puas. Apalagi, izin untuk meneruskan pengolahan
lumpur minyak itu sudah dikantongi dari Kementerian Lingkungan Hidup. "Izin itu keluar dua
pekan lalu," kata Nanang. Dari sisi biaya, teknologi pengolahan ini jauh lebih irit ketimbang
metode pengolahan lumpur minyak lainnya.

Karena itu, mulai Februari nanti Pertamina Balikpapan akan meningkatkan kapasitas
pengolahan lumpur minyak, dari lima ton per hari menjadi 20 hingga 25 ton per hari. Semua itu
untuk mengubah wajah lumpur minyak menjadi aspal campuran panas. Tak aneh bila
Pertamina Balongan dan Cilacap mulai melirik teknologi ini.

Ketertarikan serupa, menurut Nanang, diperlihatkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Balikpapan.
"Mereka siap memakai lumpur minyak dalam proyek-proyeknya," katanya. Bahkan, pihak
Kementerian Lingkungan Hidup mengusulkan agar Pertamina Balikpapan membuat jalan dari
lumpur minyak sepanjang enam kilometer. Jalan yang akan dibangun di luar kawasan kilang
itu nantinya diperuntukkan bagi pemerintah daerah setempat. Pembangunannya direncanakan
tahun ini.

Wahyu Marjaka, Kepala Bidang Pertambangan Batu Bara dan Mineral KLH, membenarkan
rencana itu. "Penelitian ini prospektif," katanya. Karena itu, menurut dia, KLH mendukung
penelitian ini agar limbah berbahaya tersebut dapat diolah seaman mungkin, dan dapat menjadi
sumber baru yang bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai