Anda di halaman 1dari 38

PROPOSAL RISET

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEJADIAN KEKAMBUHAN TB PARU DI POLI DOTS DAN
RUANG RAWAT INAP ISOLASI RSUD MAMPANG

Proposal Riset Ini Sebagai Prasyarat Kelulusan Mata Ajar Riset Keperawatan

OLEH:

Sucipto Abadi

NPM : 08180100076

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat kasih dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi ini dengan

judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan TB Paru

Pada Pasien TB paru Di RSUD MAMPANG JAKARTA SELATAN”.

Adapun maksud dari penulisan proposal skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat

untuk melanjutkan ke tahap penelitian dalam menyelesaikan Program Pendidikan

Sarjana Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

(STIKIM).

Dalam penyusunan Proposal Skripsi ini Penulis masih banyak kekurangan,

namun berkat bimbingan yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan Proposal

Skripsi ini. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak Dr. Dr. dr. Hafizurrachman, MPH, selaku Rektor Sekolah Tinggi

Ilmu Kesehatan Maju (STIKIM)

2. Ibu Ns. Yeni Koto, S.Kep, M.Kes, selaku Dekan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Maju (STIKIM)

3. Ibu Ns. Yeni Koto, S.Kep, M.Kes, selaku Ketua Program Studi

Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Maju (STIKIM)


4. Bapak Ns. Bambang Suryadi, S.Kep, M.Kes, selaku pembimbing yang

telah memberikan bimbingan dan masukan hingga terselesainya Proposal

Skripsi ini.

5. Seluruh Staf Dosen Program Studi Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Maju (STIKIM)

6. Teman-teman mahasiswa program Studi S1 Keperawatan satu angkatan

yang selalu memberikan semangat satu sama lain.

Penulis menyadari bahwa Proposal Skripsi ini masih banyak kekurangan. Untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk

kesempurnaan Proposal Skripsi ini untuk ke depannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dan semoga kita selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Jakarta, Agustus 2019

Penulis
OUTLINE PROPOSAL RISET

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR*

DAFTAR SKEMA

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah Penelitian
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikatif
2. Manfaat Teoritis
3. Manfaat Metodologis
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Teori dan Konsep Terkait


B. Penelitian Terkait
C. Kerangka Teori
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI
OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
B. Hipotesis/Pertanyaan Penelitian (pilih salah satu tergantung
desain penelitian yang digunakan)
BAB IV METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

A. Desain Penelitian
B. Populasi dan Sampel
a. Populasi
b. Sampel
a.Penghitungan sampel
b. Teknik pengambilan sampel
C. Tempat dan Waktu Penelitian
D. Etika Penelitian
E. Alat Pengumpul Data
F. Validitas dan Reliabilitas Intrumen
G. Prosedur Pengumpulan Data
H. Pengolahan Data
I. Analisis Data
J. Jadual Kegiatan
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang dapat


menyerang berbagai organ atau jaringan tubuh disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit infeksi
yang menyebabkan kematian terbesar ( Soedarto,2009:170 ). Tuberkulosis
merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikrobakterium
Tuberculosis, organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam.
Mycobacterium Tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar
komponen Mycobacterium Tuberculosis adalah berupa lemak / lipid
sehingga bakteri ini tahan terhadap asam (Wibissono, Handayani dan
Shodikin,2015).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah kasus baru


Tuberkulosis (TBC) pada 2015 mencapai 10,4 juta jiwa meningkat dari
sebelumnya hanya 9,6 juta. Adapun jumlah temuan TBC terbesar adalah di
India sebanyak 2,8 juta kasus,diikuti Indonesia sebanyak 1,02 juta kasus dan
Tiongkok sebanyak 918 ribu kasus. Layaknya fenomena “Gunung Es” , dari
hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) tahun 2015. Dalam laporan yang bertajuk Global tuberkulosis
Report 2016 angka kematian akibat TBC di Indonesia mencapai 100.000
jiwa dalam setahun ditambah 26 ribu pasien Tuberkulosis yang terindikasi
HIV positif.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, DKI


Jakarta memiliki angka prevalen TB Paru sebesar 0,6. Angka tersebut
merupakan angka prevalen tertinggi di Indonesia setelah Jawa Barat (0,7)
dan Papua (0,6). Angka prevalen di DKI Jakarta lebih rendah dibandingkan
dengan tahun 2010, namun masih diatas angka prevalen rata rata di
Indonesia,yaitu sebesar 0,4 (Balitbangkes,2013). Jakarta Timur merupakan
wilayah dengan jumah TB Paru BTA positif terbesar di Propinsi DKI
Jakarta yaitu sebanyak 2.058 pasien ( Propil Kesehatan DKI Jakarta tahun
2015). Pada tahun 2015 setelah dilakukan upaya pengobatan terhadap 5.574
pasien TB paru BTA positif 96 % diantaranya sembuh dan 3,5% mengalami
kekambuhan.

Berdasarkan Survei Pravalensi TB oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI


tahun 2013-2014 angka insidence ( kasus baru ) tuberkulosis (TB) Paru di
Indonesia sebesar 403/100.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi
( kasus baru dan lama ) 660/100.000 penduduk. Hal tersebut menyebabkan
gangguan kesehatan jutaan orang pertahun dan menduduki peringkat ke dua
sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular di dunia setelah
HIV. Pada tahun 2014, diperkirakan 9,6 juta di kalangan perempuan dan 1,0
juta anak-anak. Penyebab kematian akibat TB Paru pada tahun 2014 sangat
tinggi yaitu 1,5 juta kematian (1,1juta di antara orang HIV-negatif dan 0,4
juta di antara HIV- positif), dimana sekitar 890.000 adalah laki-laki,
480.000 adalah perempuan dan 140.000 anak-anak (WHO,2015). Pada
tahun 2015 setelah dilakukan upaya pengobatan terhadap 5.574 pasien TB
Paru BTA positif 96 persen diantaranya sembuh dan 3,5 persen mengalami
kekambuhan.

Pengobatan pada pasien penyakit tuberkulosis akan menjalani proses cukup


lama, yaitu berkisar 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih
tergantung daya tahan tubuh pasien. Pasien kambuh (relaps) adalah pasien
TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur) (Depkes RI,2009).
Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) adalah salah satu instansi
kesehatan yang menggunakan strategi DOTS dalam menanggulangi TB
paru. Berdasarkan data dari BKPM Semarang didapatkan data pada tahun
2011 jumlah pasien TB BTA positif sebanyak 550 orang, 37 diantaranya
(6,7%) merupakan pasien kambuh, dan tahun 2012 jumlah pasien TB BTA
positif sebanyak 641 orang, 39 diantaranya (6,08%) merupakan pasien
kambuh (Ruslanti Sianturi,2013).

Data yang didapat dari Program TB Dots dan Pasien yang di rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih angka penemuan kasus TB paru
yang diobati 454 pasien : 354 pasien dewasa dan 100 pasien anak-anak. Dari
kasus diatas ditemukan dengan BTA positif baru 174 pasien dan BTA
positif kambuh 98 pasien, Extra paru 62 pasien dan TB-HIV 20 pasien, pada
periode kunjungan 1 Desember 2017 sampai dengan 31 Desember 2017.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya kejadian kekambuhan TB
Paru yaitu menurunya produktifitas, kematian, meningkatnya penularan TB
di masyarakat dan meningkatnya multi drug resisten (MDR).

Penelitian tentang faktor risiko kekambuhan pasien TB Paru telah dilakukan


di berbagai negara tetapi penelitian tersebut menunjukkan hasil yang
berbeda beda. Berdasarkan hasil penelitian Ubon S.Akpabio,dkk (2010)
Rumah Sakit Tuberkulosis, Ermelo Afrika Selatan, menunjukkan adanya
pasien yang mengalami tuberkulosis berulang terdapat pada jenis kelamin
laki-laki 66% rata-rata umur 41 tahun, pendidikan dasar 93%, pengangguran
74,7%, kegagalan pengobatan 72%.

Menurut penelitian Ruslanti Sianturi (2013) yang dilakukan di Balai


Kesehatan Paru masyarakat (BKPM) Semarang, menunjukkan bahwa faktor
yang berhubungan dengan kekambuhan TB Paru yaitu pendidikan,
pengetahuan, status gizi dan riwayat minum obat. Variabel jenis kelamin,
umur, status sosial ekonomi, kepadatan hunian kamar, kebiasaan merokok,
penyakit penyerta, sumber penular dan dukungan keluarga dijumpai tidak
berhubungan dengan kekambuhan TB Paru. Dari hasil penelitiannya
ditemukan seseorang yang mempunyai pengetahuan TB paru yang rendah
atau kurang akan berpeluang 17 kali lebih besar mengalami kekambuhan
TB paru,dibandingkan dengan orang yang berpengetahuan cukup dan baik.
Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
pendidikan, pengalaman dan fasilitas. Seseorang yang berpendidikan
cenderung mendapat informasi, baik dari orang lain maupun media massa.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pengetahuan yang
didapat tentang kesehatan khususnya tentang TB paru. Pengetahuan dan
sikap seseorang menjadi faktor seseorang untuk teratur minum obat
(Budiman,dkk).

Berdasarkan hasil (Studi Kasus di Balai Kesehatan Paru Masyarakat


(BKPM) Semarang,2013) menyatakan bahwa ada karakteristik dari pasien
kambuh TB paru yaitu 60% berjenis kelamin perempuan dimana sebanyak
83% adalah usia produktif dan 17% usia non produktif, 30% pasien tamat
pendidikan dasar (SD/SMP) , 40% bekerja sebagai pegawai swasta.

Kekambuhan TB paru lebih sering terjadi pada laki-laki. Aktivitas kerja dan
interaksi sosial yang tinggi lebih banyak terdapat pada laki-laki, yang
menyebabkan meningkatnya risiko untuk terpapar kembali oleh bakteri TB.
Komsumsi alkohol dan kebiasaan merokok menyebabkan penurunan daya
tahan tubuh juga lebih sering dijumpai pada laki-laki sehingga laki-laki
menjadi lebih mudah terkena infeksi.

Kepatuhan berobat menjadi kendala utama akan berhasilnya seorang pasien


dari penyakit TB. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan obat yang diberikan
dokter juga dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas, dan resistensi
obat baik pada pasien TB maupun pada masyarakat luas. (Dermawanti,
2014).
Tingginya angka putus obat mengakibatkan tingginya kasus resistensi
kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang membutuhkan biaya yang lebih
besar dan bertambahnya lamanya pengobatan. Angka putus obat di rumah
sakit di Jakarta pada tahun 2006 sekitar 7% (Kemenkes,2013). Proporsi
kekambuhan yang dilaporkan pada tahun 2013 sebanyak 47 (4,2%) dari
1106 pasien yang mendapat pengobatan dan tahun 2014 sebanyak 38 (3,5%)
dari 1082 pasien.(Prevalensi TB Paru di kota Denpasar).

Pada tahun 1993, WHO telah menyatakan bahwa TB merupakan keadaan


darurat dan pada tahun 1995 merekomendasikan strategi DOTS sebagai
salah satu langkah yang paling efektif dan efisien dalam penanggulangan
TB. MDG’s menetapkan TB sebagai bagian dari tujuan di bidang kesehatan
yang terdiri dari; 1) menurunkan insidensi TB paru pada tahun 2015; 2)
menurunkan prevalensi TB paru dan angka kematian akibat TB paru
menjadi setengahnya pada tahun 2015 dibandingkan tahun 1990; 3)
sedikitnya 70% kasus TB paru dengan hasil Basil Tahan Asam (BTA)
positif terdeteksi dan diobati melalui program Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS) atau pengobatan TB paru dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO); dan 4) sedikitnya 85%
tercapai Success Rate (SR) (Kemenkes Republik Indonesia, 2013).

B. Perumusan Masalah Penelitian


Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang dapat
menyerang berbagai organ atau jaringan tubuh disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit infeksi
yang menyebabkan kematian terbesar dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Adapun jumlah temuan TBC
terbesar adalah di India sebanyak 2,8 juta kasus, diikuti Indonesia sebanyak
1,02 juta kasus dan Tiongkok sebanyak 918 ribu kasus. Oleh karena itu
TBC adalah penyakit yang sangat perlu mendapat perhatian untuk
ditanggulangi karena sangat mudah menular melalui udara, maka dengan
adanya penerapan strategi DOTS secara baik dan tepat akan menekan
penularan , mencegah terjadinya MDR dan melalui Rencana Aksi Daerah
menuju Jakarta bebas Tuberkulosis tahun 2020. Pengobatan bagi pasien
penyakit tuberkulosis akan menjalani proses yang cukup lama, yaitu
berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih tergantung daya
tahan tubuh pasien. Pada tahun 2015 setelah dilakukan upaya pengobatan
terhadap 5.574 pasien TB Paru BTA positif 96 persen diantaranya sembuh
dan 3,5 persen mengalami kekambuhan. Pada tahun 1993, WHO telah
menyatakan bahwa TB merupakan keadaan darurat dan pada tahun 1995
merekomendasikan strategi DOTS sebagai salah satu langkah yang paling
efektif dan efisien dalam penanggulangan TB. Berdasarkan fenomena
tersebut, peneliti merasa perlu, dilakukannya penelitian terkait Faktor-
Faktor yang berhubungan dengan kekambuhan TB Paru Pada Pasien TB
Paru ( Studi Kasus di Poli Dots dan Ruang Rawat Inap Isolasi di RSUD
Mampang tahun 2019)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan kekambuhan TB
Paru pada pasien TB Paru di RSUD Mampang
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi distribusi frekuensi responden berdasarkan usia,
jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, riwayat minum obat, dan
kekambuhan pada pasien TB paru di RSUD Mampang.
b. Mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dengan
kekambuhan TB paru pada pasien TB Paru di RSUD Mampang.
c. Mengidentifikasi hubungan antara usia dengan kekambuhan TB
paru pada pasien TB paru di RSUD Mampang.
d. Mengidentifikasi hubungan antara pendidikan dengan kekambuhan
TB paru pada pasien TB Paru di RSUD Mampang.
2. Mengidentifikasi hubungan antara pengetahuan dengan kekambuhan
TB paru pada pasien TB Paru di RSUD Mampang.
3. Mengidentifikasi hubungan antara riwayat minum obat dengan
kekambuhan TB paru pada pasien TB Paru di RSUD Mampang.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan
masukan bagi petugas di Poli Dots dan petugas Ruangan Rawat Inap
Isolasi RSUD Mampang dalam upaya pengobatan TB yang optimal
untuk mencegah adanya kekambuhan TB Paru melalui intervensi
perbaikan terhadap faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian
kekambuhan TB Paru di Poli Dots dan Ruang Rawat Inap Isolasi
RSUD Mampang.

2. Manfaat Teoritis
Bagi dunia pendidikan dapat memberikan tambahan khasanah
penelitian dan sebagai bahan kajian di bidang Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan masyarakat.

3. Manfaat Metodologis
Sebagai pertimbangan untuk lebih lanjut meneliti tentang faktor
risiko kekambuhan TB Paru dengan variabel yang baru dan desain
penelitian yang ada kaitannya dengan kekambuhanTB paru misalnya
kelembaban, pencahayaan, dan luas ventilasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan Konsep Terkait


1. Defenisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24
Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi
nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut
sebagai Koch Pulmonum ( Siswanto,2008).
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai
dari paru dan organ di luar paru seperti kulit, tulang, persendian, selaput
otak, usus serta ginjal yang sering disebut dengan ekstrapulmonal TBC
(Chandra,2012).
2. Penyebab Penyakit Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium
yaitu Mycobacterium tuberculosis.Sebagian besar menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ lainnya. Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Tahan terhadap suhu
rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu
4° C sampai minus 70°C. Kuman tuberkulosis ini cepat mati dan sangat
peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ulraviolet. Dalam jaringan
tubuh, kuman ini dapat bersifat dormant ( “ tidur” / tidak berkembang ) .
(Kemenkes.RI,2014).
3. Tanda dan Gejala Tuberkulosis
Gambaran klinik tuberkulosis paru dapat dibagi atas dua golongan, yaitu
gejala sistematik ( demam dan malaise ) dan gejala respiratorik, seperti
batuk, sesak napas, nyeri dada (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di
Indonesia,2011). Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk
berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberkulosis seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan
gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang suspek (tersangka) pasien
TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
( DepKes RI, 2007 ).
4. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru
Sumber penularan penyakit tuberkulosis paru adalah penderita
tuberkulosis BTA positif, yang dapat menularkan kepada orang di
sekelilingnya, terutama kontak erat. Pada waktu berbicara, batuk, bersin,
tertawa atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak), sekali batuk dapat menghasilakn sekitar
3000 percikan dahak. Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang
kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan ( Smeltzer &
Bare, 2000). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajam kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes
RI,2009)
Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke
bagian tubuh lainnya, melalui saluran peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut ( Depkes RI, 2008 ).
Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh tingkat
penularan, lamanya pajanan / kontak dan daya tahan tubuh ( Kemenkes RI,
2013 ).
5. Cara Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu
sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah-langkah pencegahan,
haruslah didasarkan pada data atau keterangan yang bersumber dari hasil
analisis epidemiologi atau hasil pengamatan( Nur Nasry,2008).
Berperilaku hidup bersih dan sehat dapat mengurangi angka kejadian TB
(Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010) yakni:
a) Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh
meningkat untuk membunuh kuman TB, tidur dan istirahat yang
cukup, tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba,
lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan sekitarnya, membuka
jendela agar masuk sinar matahari, imunisasi BCG bagi balita, yang
tujuannya untuk mencegah agar kondisi balita tidak lebih parah bila
terinfeksi TB.
b) Bagi pasien TB, yang harus dilakukan agar tidak menularkan kepada
orang lain yaitu seorang pasien TB sebaiknya sadar dan berupaya
tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, antara lain dengan
tidak meludah di sembarang tempat, menutup mulut saat batuk atau
bersin, berperilaku hidup bersih dan sehat, berobat sesuai aturan
sampai sembuh, memeriksakan balita yang tinggal serumah.
6. Komplikasi Tuberkulosis
Pada pasien TB sering terjadi komplikasi dan resistensi. Komplikasi
berikut sering terjadi pada pasien stadium lanjut :
a) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) mengakibatkna
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
c) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif ) pada paru.
d) Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
e) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak,tulang, persendiaan, ginjal
dan sebagainya.
f) Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penggunaan OAT
yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi karena pasien yang
menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya.
Dapat pula terjadi karena mutu obat yang dibawah standar. Resistensi
ini menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman
pengobatan tidak lagi dapat membunah kuman. Dampaknya, disamping
kemungkinan terjadinya penularan kepada orang disekitar pasien, juga
memerlukan biaya yang lebih mahal dalam pengobatan tahap
berikutnya.
7. Riwayat terjadinya Tuberkulosis Paru
Menurut Dep.Kes (2003) riwayat terjadinya tuberkulosis
terdri dari :
a) Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap. Infeksi dimulai
saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan di paru, yang berakibat peradangan paru. Saluran limfe
akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut sebagai komplek primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6
minggu.Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya reaksi masuk daya tahan tubuh dapat menghentikan
perkembangan kuman tuberkulosis. Akan tetapi ada beberapa kuman
akan menetap sebagai kuman dormant ( tidur ). Apabila daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, dalam
beberapa bulan orang yang terinfeksi akan menjadi penderita
tuberkulosis. Masa inkubasi seseorang terinfeksi menjadi sakit
diperkirakan 6 bulan.
b) Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas
dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tanpa pengobatan setelah 5 tahun,
50% dari penderita TB paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri
dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus kronik yang
tetap menular.
8. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Tuberkulosis
Paru
Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit tuberkulosis
paru pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
a. Status sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi sangat erat kaitannya dengan kepadatan
rumah dengan adanya rumah yang padat sangat sulit untuk
mendapatkan udara yang baik dan ventilasi yang baik serta
pencahayaan yang baik pula, serta sanitasi kerja yang buruk dapat
memudahkan penularan virus yang cepat, pendapatan juga sangat
mempengaruhi dengan tidak layaknya pendapatan jasa kesehatan.
b. Status gizi
Status gizi keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori atau protein,
vitamin, besi, akan mempengaruhi daya tahan tubuh dan jika terjadi
kekurangan nutrisi dan tidak ditanganin dengan baik akan dapat
secara mudah terjangkit virus TBC.
c. Usia
Usia sangat mempengaruhi dan paling sering penyakit TB paru
ditemukan pada usia produktif 15-50 tahun dengan terjadi transisi
demografi saat ini menyebabkan usia lansia lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun system imunulogis seseorang menurun
sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk
penyakit TB paru.
d. Jenis Kelamin
Pasien TB paru cenderung lebih tinggi terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan.
e. Pengetahuan
Pengetahuan pasien yang cukup tentang penyakit TB paru, dan tau
bagaimana cara pengobatannya, cara menjaga kondisi tubuh yang
baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat dan hidup teratur
hindari minum alkohol dan merokok.
Beneston (1990), juga menyebutkan bahwa mordibitas dan mortalitas
penyakit tuberkulosis meningkat di daerah dengan prevalensi HIV
tinggi. Menurut Amin dkk (1989), faktor yang erat hubungannya untuk
terjadi infeksi basil tuberkulosis adalah :
1. Ada Harus sumber penularan, kasus terbuka dengan dahak
menunjukkan adanya basil tuberkulosis.
2. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan untuk terjadinya infeksi
cukup banyak (dosis infeksi) dan terus menerus.
3. Virulensi (keganasan) basil.
4. Daya tahan tubuh yang menurun, memungkinkan basil tuberkulosis
berkembangbiak. Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan
faktor genetik, faktor faal (umur,jenis kelamin), lingkungan (nutrisi,
perumahan, pekerjaan).
9. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil pemerikasaan dahak, tuberkulosis dibagi
dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA negatif
Pemeriksaan spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Tuberkulosis Paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas, dan/atau keadaan umum
penderita buruk. (DepKes RI, 2004).

Tipe Penderita Tuberkulosis Paru


Tipe penderita tuberkulosis ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya.
Berdasarkan buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,2014
ada beberapa tipe penderita tuberkulosis yaitu:
1. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan obat anti
tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (30 dosis harian).
a. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
b. Kasus Pindahan (Transfer in)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
c. Kasus Setelah lalai / putus berobat (Defaulter/drop-out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali beroba.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
d. Kasus Gagal (Failure)
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke -5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Atau penderita dengan
hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.
Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan (Kepmenkes RI No.364/Menkes/SK/V/2009).

10. Pengobatan Tuberkulosis Paru


a) Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan tuberkulosis yang sesungguhnya dapat dipenuhi
yaitu menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, atau timbulnya resistensi terhadap OAT dan
memutuskan rantai penularan (Depkes RI, 2009:19).
b) Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
OAT sesuai Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
(DepKes, 2014) adalah sebagai berikut :
a) Jenis obat
a. aIsoniazid (H)
b. Rifampicine (R)
c. Pirazinamid (Z)
d. Streptomycine (S)
e. Ethambutol (E)
b) Paduan OAT di Indonesia
Paduan OAT standar di Indonesia sesuai rekomendasi WHO
dan IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and
Lung Disease) yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
1) Kategori I ( 2HRZE / 4H3R3 ) , artinya selama 2 bulan
pertama obat yang diberikan adalah INH (H), Rifampisin
(R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) , setiap hari.
Kemudian 4 bulan selanjutnya INH (H) dan Rifampisin
(R) tiga kali dalam seminggu.
Obat diberikan untuk :
1. Penderita baru tuberkulosis paru BTA positif
2. Penderita tuberkulosis paru BTA negatif, rontgen
positif yang sakit berat
3. Penderita tuberkulosis ekstra paru berat.
2) Kategori II (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 ), ada
tambahan Streptomicin (S), artinya selama satu bulan
pertama obat yang diberikan adalah INH (H), Rifampisin
(R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), tiga kali seminggu.
Obat ini diberikan untuk:
1. Penderita kambuh (relaps)
2. Penderita gagal (failure)
3. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after
default)
c) Prinsip Pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis,
dan jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua
kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Apabila
panduan obat yang digunakan tidak cocok (jenis, dosis, dan jangka
waktu pengobatan), bakteri TB akan berubah menjadi bakteri tahan
obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita, pengobatan
perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment)oleh seorang pengawas menelan obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan :
1) Tahap Intensif
Pada tahap awal intensif penderita mendapat obat setiap hari dan
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
terhadap semua obat anti TB (OAT). Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
2) Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh
khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh
danmencegah terjadinya kekambuhan.(Kemenkes RI,2014).

d) Penentuan Penderita Tuberkulosis Kambuh


Relaps ( kambuh ) pada pasien yang telah diobati sebelumnya,
perhatian utama adalah kemungkinan resistensi obat dan sebaiknya
dilakukan uji resistensi organisme pada laboratorium rujukan yang
mampu. Pada sepertiga pasien yang mengalami relaps (kambuh)
setelah terapi obat yang teratur dan adekuat, relaps disebabkan oleh
organisme yang resistensi obat (Thomas M.Daniel,1995).
Penderita kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah
mendapatkan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
(DepKes RI,2014).
Pada pemeriksaan uji kepekaan obat dilakukan bertujuan untuk
menentukan ada tidaknya resistensi M.tb (Mycobacterium
tuberkulosis)terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil
pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh
laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan
mutu / Ouality Assuranse (QA). Hal ini dimaksudkan untuk
memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resitensi OAT dan
pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan
obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB
dengan resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat
yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS)
diseluruh provinsi ( Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis,2014).
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan
membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antara variabel (baik variabel
yang diteliti maupun variabel yang tidak diteliti) (Nursalam,2009).
Dengan keterbatasan kemampuan peneliti serta keterbatasan waktu dalam melakukan
penelitian maka kerangka kerja awal peneliti didefinisikan sebagai variabel yang
dimasukan dalam penelitian harus merupakan pencerminan suatu konsep.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Jenis kelamin

Usia

Pendidikan Kekambuhan TB Paru


Pengetahuan

Riwayat minum obat


B. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya


hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan antara dua variabel, variabel bebas
dan variabel terikat. Hipotesis berfungsi untuk menentukan kearah pembuktian,
artinya hipotesis ini merupakan pertanyaan yang harus dibuktikan
(Notoatmodjo,2010).

Berdasarkan permasalahan diatas maka ditemukan hipotesis yang dapat ditegakkan


adalah :

Hipotesis Alternatif (Ha) Penelitian :

a. Ada hubungan antara Jenis Kelamin terhadap kekambuhan TB paru pada pasien TB
Paru di RSUD Mampang.
b. Ada hubungan antara Usia terhadap kekambuhan TB paru pada pasien TB Paru di
RSUD RSUD Mampang.
c. Ada hubungan antara Pendidikan terhadap kekambuhan TB paru pada pasien TB
Paru di RSUD RSUD Mampang.
d. Ada hubungan antara Pengetahuan terhadap kekambuhan TB paru pada pasien TB
Paru di RSUD RSUD Mampang.
e. Ada hubungan antara Riwayat Minum Obat terhadap kekambuhan TB paru pada
pasien TB Paru di RSUD RSUD Mampang.
C. Definisi Operasional

Untuk membatasi ruang lingkup penelitian ini, maka masing-masing variabel dapat
dijelaskan dalam definisi operasional sebagai berikut:

Tabel 3.1 Defenisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Independen Operasional Ukur

1 Jenis Perbedaan jenis Kuesioner Checklist 1=Perempuan (P) Nominal


Kelamin kelamin antara
2=Laki-laki (L)
laki-laki dan
(Hungu)
perempuan.
2007)

2 Usia Satuan waktu Kuesioner Checklist 1=Remaja akhir (17- Ordinal


responden sejak 25 tahun)
dia lahir hingga
2=Dewasa usia awal-
pada saat terkena
akhir (26-45 tahun)
TB paru BTA
positif / sampai 3=Lansia ≥46
saat di teliti. (Depkes RI,2009

3 Pendidikan Tingkat Kuesioner Checklist 1=Tidak tamat Ordinal


pendidikan Pendidikan Dasar.
formal yang
2=Pendidikan Dasar
berhasil ditempuh
(SD, SMP)
pasien.
3=Pendidikan
Menengah
(SMU/sederajat)

4=Pendidikan Tinggi
(Diploma, Sarjana
dst) (UU Sistem
Pendidikan Nasional
Tahun 2003)

4 Pengetahuan Hasil”tahu” Kuesioner Checklist 1=Pengetahuan baik Ordinal


pasien dengan jika skore ≥ mean .
TBterhadap menggunak
2=Pengetahuan
definisi, an skala
kurang jika skore <
penyebab, tanda likert
mean .
dan gejala, cara
4=Sangat
penularan, cara (Notoatmodjo,2012)
pencegahan,cara Setuju(ST)
pengobatan, dan
3=Setuju
komplikasi TB
paru. (S)

2=Tidak

Setuju(TS)

1=Sangat
Tidak
Setuju

(STS)

5 Riwayat Perilaku pasien Kuesioner Checklist 1=Patuh jika score ≥ Ordinal


Minum Obat TB Paru dalam median .
pengobatan
2=Kurang patuh jika
dilihat dari
score < median.
pernah tidaknya
pasien minum (Pedoman Nasional
obat, sesuai dosis Pengendalian
yang dianjurkan Tuberkulosis,2014)
selama
pengobatan.

Variabel Dependent

1 Kambuh Pasien Kuesioner Checklist 1=Kambuh 1 Ordinal


tuberkulosis kali
yang
2=Kambuh 2
sebelumnya
kali
pernah
mendapat 3=Kambuh lebih
pengobatan dari 2 kali.
tuberkulosi dan (Pedoman
telah dinyatakan Nasional
sembuh, Pengendalian
kemudian Tuberkulosis,
kembali lagi
2014).
berobat dengan
hasil
pemeriksaan
dahak BTA
positif.
BAB IV

METODE DAN PROSEDURPENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan rancangan Cross
Sectional. Rancangan Cross Sectionaladalah rancangan penelitian dengan melakukan
pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau sekali waktu.Tujuannya untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan TB paru pada pasien
TB paru di RSUD Budhi Asih. Penelitian ini variabel bebas (independen variabel)
yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan, riwayat minum obat, pengetahuan, dan variabel
terikat (dependen variabel).yaitu kekambuhan TB paru yang dikumpulkan dalam
waktu yang bersamaan (Notoatmodjo,2012).

B. Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti


(Notoadmodjo,2012). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik
penderita TB Paru Kambuh yang tercatat di TB-01 yang berobat di Poli Dots dan
Ruang Rawat Inap Isolasi lantai 5 RSUD Budhi Asih, Cawang Jakarta timur yang
berjumlah 98 orang.

Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan metode purposive sampling dimana
pengambilan sampel secara sengaja. Peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil
karena ada pertimbangan tertentu dan kriteria sampel.

Adapun kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini adalah :

a. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang mengalami kekambuhan TB paru di Poli Dots dan Rawat Inap di
RSUD Mampang.
2. Pasien yang keadaan umumnya baik dan kesadaran kompos mentis.
3. Pasien yang bersedia dijadikan responden oleh peneliti.
4. Pasien yang dapat membaca dan menulis.
5. Pasien yang dapat diajak berkomunikasi dengan baik.
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien yang menolak menjadi responden.
2. Pasien TB paru.

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke poli Dots
dan pasien yang dirawat inap di ruang isolasi RSUD Mampang yang memenuhi
kriteria inklusi yang telah ditetapkan sebagai subjek penelitian. Besar sampel pada
penelitian ini dihitung dengan menggunakan formula sederhana untuk populasi yang
kecil yaitu lebih kecil dari 10.000 (Notoatmodjo,2012).

Rumus dalam penelitian ini menggunakan formula Slovin (Riduwan,2005) :

Keterangan :

n : jumlah sampel

N : jumlah populasi

d : derajat kesalahan, dalam penelitian ini ditentukan sebesar 5%


(Notoatmodjo,2012).

Dengan demikian, jumlah sampel dapat dihitung sebagai berikut :

n=

n=
n = 78,71

Dibulatkan menjadi 79, jumlah pasien ditambah 10% dengan maksud untuk mengatasi
responden yang mengalami drop out. Sehingga jumlah sampel pada penelitian ini
adalah 87 orang. Sampel pada penelitian ini adalah pasien dengan TB kambuh yang
berkunjung di poli DOTS dan dirawat di Ruang Isolasi lantai 5di RSUD Budhi Asih
sebanyak 87 responden (Hastono & Sabri, 2013).

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Poli Dots dan Ruangan Rawat Inap Isolasi lantai 5
RSUD Mamapng Jakarta Selatan dan Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan
September sampai sekarang..

D. Etika Penelitian

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian,
mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi
etika penelitian harus diperhatikan. Penelitian ini menerapkan prinsip etika dalam
penelitian menurut Milton, 1999 dan Bondan Palestin (Notoatmodjo, 2012) :
a. Menghormati harkat dan martabat manusia (Respect for Human dignity).
Penelitian perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan
informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut. Disamping itu,
peneliti juga memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi
atau tidak memberikan informasi (berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti
menghormati harkat dan martabat subjek penelitian, peneliti mempersiapkan
formulir persetujuan subjek (inform consent). Setelah diberikan penjelasan, lembar
persetujuan / inform consent diberikan kepada pasien subjek penelitian. Jika subjek
penelitian bersedia diteliti maka subjek penelitian akan mendatangani lembar
persetujuan, namun jika subjek penelitian menolak untuk diteliti maka peneliti
tidak akan memaksa dan menghormati haknya.
b. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian
Setiap orang berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang
lain. Oleh sebab itu untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian, peneliti tidak
mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan
memberikan inisial pada masing-masing lembar tersebut. Data yang diperoleh
akan digunakan semata-mata demi perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Justice / keadilan & inklusivitas / keterbukaan
Dalam penelitian ini, peneliti selalu menjelaskan prosedur penelitian dan
menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh perlakukan dan keuntungan
yang sama tanpa membedakan gender, agama, etnis, dan sebagainya.
d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan
Selama penelitian, peneliti berusaha meminimalkan dampak yang merugikan bagi
subjek penelitian dengan menjalin komunikasi yang baik, rasa saling percaya
antara peneliti dan subjek penelitian. Penelitian ini tidak akan merugikan pasien
dan diharapkan menimbulkan manfaat dalam meningkatkan pengetahuan
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan TB.

E. Alat pengumpulan data


Alat pengumpulan data adalah proses pengumpulan data yang digunakan suatu
penelitian ini dilakukan dengan cara mengisi angket, yang digunakan untuk
memperoleh informasi tentang responden. Alat yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah kuesioner. Angket yang di gunakan dalam penelitian ini merupakan
angket langsung dan tertutup, artinya angket tersebut langsung di berikan kepada
responden dan responden dapat memilih salah satu dari alternatif jawaban yang telah
tersedia.
1. Pada variebel jenis kelamin dengan cara menceklis pada kolom perempuan (1)
dan laki laki (2).
2. Pada variabel usia dengan cara menceklis pada kolom remaja akhir (17-25
tahun) (1), Dewasa usia awal-akhir (26-45 tahun) (2) dan Lansia ≥46 (Depkes
RI,2009).
3. Pada variabel pendidikan dengan cara menceklis pada kolom Tidak tamat
Pendidikan Dasar (1), Pendidikan Dasar (SD, SMP) (2), Pendidikan menengah
(SMU/sederajat) (3) dan Pendidikan Tinggi (Diploma, Sarjana dst) (4).
4. Pada variabel pengetahuan menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari
sangat positif sampai sangat negative. Dengan katagori untuk pertanyaan positif
Sangat setuju (4), Setuju (3), Tidak Setuju (2) dan Sangat Tidak Setuju (1).
5. Pada variabel riwayat minum obat menggunakan skala guttmen yaitu kriteria
menggunakan skala guttmen yaitu kriteria Ya (1) dan Tidak (0).
F. Prosedur pengumpulan data

Pengumpulan data yang akan dilakukan di Poli DOTS dan Rawat Inap Isolasi
diRSUD Mampang meliputi prosedur administratif dan teknis.
1. Prosedur Administratif
Penelitian dilakukan setelah mendapatkan surat izin penelitian dari Program
Studi Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Respati Indonesia yang akan
ditunjukkan kepada Direktur RSUD Mampang. Saat surat balasan dari Direktur
RSUD Mampang diterima oleh peneliti, maka pengambilan data dimulai.
2. Prosedur Teknis
Prosedur teknis dalam penelitian ini adalah :
a. Peneliti memperkenalkan diri kepada responden, kemudian peneliti
membina hubungan saling percaya pada responden dan menjelaskan
maksud dan tujuan dari penelitian yang sedang dilakukan, sehingga
responden bersedia mengisi kuesioner yang diberikan.
b. Bila responden bersedia maka peneliti akan memberikan kuesioner dan
menjelaskan tentang cara pengisian kuesioner. Apabila responden kurang
mengerti dipersilahkan untuk bertanya pada pertanyaan yang kurang jelas.
Bila responden menolak untuk tidak mengisi maka peneliti tidak akan
memaksa dan mencari responden lain yang bersedia.
c. Responden akan menyerahkan seluruh kuesioner setelah pengisian
kuesioner dianggap selesai dan peneliti akan mengambilnya.
d. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan bila ada kuesioner yang belum
lengkap, langsung dilengkapi saat itu juga. Bila kuesioner sudah lengkap
maka peneliti mengakhiri pertemuan dan mengucapkan terima kasih atas
kesediaan dalam membantu penelitian.

G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji coba Instrumen Penelitian


Intrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data
(Soekidjo Notoadmodjo,2002:48). Instrumen adalah perangkat yang digunakan untuk
mengungkap data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
kuesioner.Kuesioner merupakan daftar pertanyaan tersusun dengan baik dimana
responden hanya memberikan jawaban saja. Kuesioner ini digunakan untuk
mendapatkan informasi tentang usia, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan,
riwayat minum obat.

Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat itu benar-benar mengukur apa
yang diukur. Untuk mengetahui instrumen yang valid kuesioner diuji validitasnya
menggunakan uji Product Moment. Suatu instrumen dikatakan valid apabila korelasi
tiap butir memiliki nilai positif dan nilai r hitung > t tabel (Soekidjo,2002:129).
Untuk mengetahui validitas suatu instrumen dengan cara melakukan korelasi antar
skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel (pertanyaan)
dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor
totalnya (Agus Riyanto,2011:145).

Tabel 4.1
Validitas Variabel Pengetahuan
Pertanyaan rhitung rtabel Ket.
1 0,197 0,444 Tidak Valid
2 0,480 0,444 Valid
3 0,457 0,444 Valid
4 0,548 0,444 Valid
5 0,579 0,444 Valid
6 0,560 0,444 Valid
7 0,537 0,444 Valid
8 0,574 0,444 Valid
9 -0,291 0,444 Tidak Valid
10 0,456 0,444 Valid
11 0,625 0,444 Valid
12 0,282 0,444 Tidak Valid
13 0,434 0,444 Tidak Valid
14 0,657 0,444 Valid
15 0,657 0,444 Valid
16 0,533 0,444 Valid
17 0,578 0,444 Valid
18 0,478 0,444 Valid
Sumber : Hasil Olahan Data SPSS

Berdasarkan hasil uji validitas pertanyaan variabel Pengetahuan didapatkan


hasil dari 18 pertanyaan pengetahuan diketahui bahwa ada 14 pertanyaan
yang uji validitas dinyatakan valid.
Tabel 4.2
Validitas Variabel Riwayat Minum Obat
Pertanyaan rhitung rtabel Ket.
1 0,000 0,444 Tidak Valid
2 0,000 0,444 Tidak Valid
3 0,630 0,444 Valid
4 0,604 0,444 Valid
5 0,517 0,444 Valid
6 0,630 0,444 Valid
7 0,000 0,444 Tidak Valid
8 0,600 0,444 Valid
9 0,550 0,444 Valid
10 0,000 0,444 Tidak Valid
11 0,000 0,444 Tidak Valid
12 0,456 0,444 Valid
13 0,560 0,444 Valid
Sumber : Hasil Olahan Data SPSS

Berdasarkan hasil uji validitas pertanyaan variabel riwayat minum obat

didapatkan hasil dari 13 pertanyaan pengetahuan diketahui bahwa ada 8

pertanyaan yang uji validitas dinyatakan valid.

Uji reabilitas

Reabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat
dipercaya atau diandalkan (Soekidjo,2002:133). Ini berarti menunjukkan sejauh
mana alat itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap
gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Untuk reliabilitas
instrumen dilakukan setelah uji validasnya. Uji reliabilitas instrumen untuk
pertanyaan yang valid diuji dengan rumus alpha dengan bantuan komputer SPPS
windows 17,00.

Tabel 4.3

Uji Reliabilitas

Variabel Cronbach batasan Ket.


alpha

Pengetahuan 0,843 0,700 Reliabel


Riwayat Minum 0,792 0,700 Reliabel
Obat
Sumber : Hasil Olahan Data SPSS

Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel pengetahuan dan riwayat minum obat
didapatkan hasil pada masing masing variabel dikatakan reliabel karena nilai
Cronbach alpha > 0,700.

H. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan agar data dapat diorganisir, disajikan, dan dianalisa
hingga dapat ditarik kesimpulan. Pengolahan data tersebut dengan menggunakan
perangkat komputer dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Editing data (Memeriksa Data)
Kegiatan untuk mengecek dan perbaikan isian kuesioner dari hasil ceklis
terhadap pengetahuan pasien mengenai kekambuhan TB paru yang dialami
responden,yang dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data
terkumpul (Notoatmodjo,2012).
b. Coding (Pemberian Kode)
Proses ini yaitu memberikan kode atau kategorisasi untuk kemudahan analisis
pada setiap variabel penelitian dan juga agar data dapat mudah diolah dengan
menggunakan komputer.
c. Entry Data (Memasukkan Data)
Merupakan proses memasukkan data ke dalam media komputer yang akan diolah
menggunakan perangkat lunak statistik yaitu SPSS.
d. Cleaning Data (Pembersihan Data)

Pembersihan data dilakukan untuk memeriksa kembali data yang sudah masuk
dalam media dan memperbaikinya apabila data tersebut masih terdapat
kesalahan.

I. Analisa Data

Analisa data dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari penelitian yang
dilakukan dengan melihat hubungan variabel yang tepat dalam kerangka konsep,
tahap-tahap analisis (Notoatmodjo,2010).
Analisa Univariat

Langkah awal dari analisis data setiap penelitian untuk melihat gambaran distribusi,
frekuensi atau besarnya proporsi menurut karakteristik yang diteliti
(Notoatmodjo,2012). Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran
distribusi frekuensi dan proporsi dari masing-masing variabel independen ( jenis
kelamin, usia, pendidikan, pengetahuan, dan riwayat minum obat) dan dependen
( kekambuhan TB paru) Rumus menurut Sugiyono,2010 :

Rumus : P =

Keterangan :
P = besar presentasi (%)
f = jumlah data yang didapat
N = jumlah total data

Analisa Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisa data yang dilakukan terhadap dua variabel secara
silang yang diduga berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo,2012). Analisa
bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
independen (jenis kelamin, usia, pendidikan, pengetahuan, dan riwayat minum obat)
dan variabel dependen (kekambuhan TB paru). Uji yang digunakan pada analisa
bivariat adalah uji Chi Squaredengan menggunakan derajat kepercayaan 95%, dengan
rumus :

X2= ∑

Keterangan :
X2 : Nilai Chai Square

O : frekuensi yang diamati (observed)

E : frekuensi yang diharapkan (expected)


Keputusan untuk menguji kemaknaan, digunakan batas kemaknaan sebesar 5% (α =
0,05) dengan taraf kepercayaan 95% yaitu :

1. Bila P value ≤ 0,05 maka Ha diterima(gagal ditolak), uji statistik menunjukkan


ada hubungan yang signifikan.
2. Bila P value> 0,05, maka Ha ditolak, uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan.(Sugiyono,2010).

Anda mungkin juga menyukai