Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASUHAN KEPERWATAN PADA PASIEN GOUT

DOSEN PENGAMPU :

WARJIMAN, S.Kep. NERS, MSN

OLEH:

1. HELLENA I.F REYAAN 113063C118014


2. JOHANA RISKIA MANDUR 113063C118015
3. JUAN ALFIANSYAH 113063C118016
4. M. FERDIANSYAH SULISTIAWAN 113063C118024
5. RICKY SAPUTRA 113063C118035
6. TIO AINI 113063C118039

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN BANJARMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya, makalah
ini berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien GOUT”,

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada kita
semua. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan didalamnya. Oleh sebab itu kami mengharapkan kritik serta saran
dari pembaca untuk makah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih

Banjarmasin, 14 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I...............................................................................................................................................1

A. Sistem Imun...........................................................................................................................1

B. Sistem Imun non Spesifik.....................................................................................................1

C. Sistem Imun Spesifik............................................................................................................2

D. Sitokin...................................................................................................................................6

BAB II...........................................................................................................................................10

E. Definisi................................................................................................................................10

F. Etiologi................................................................................................................................10

G. Manifestasi Klinis...............................................................................................................11

H. Patofisiologi........................................................................................................................11

I. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................12

J. Penatalaksaan Medis...........................................................................................................12

BAB III..........................................................................................................................................13

A. Pengkajian dan Metode Diagnostik.....................................................................................13

B. Penatalaksanaan Keperawatan............................................................................................13

C. Diagnosa Keperawatan........................................................................................................13

D. Intervensi dan Rasional.......................................................................................................13

E. Implementasi.......................................................................................................................17

F. Evaluasi...............................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21
BAB I
ANATOMI FISIOLOGI

A. Sistem Imun
Tubuh manusia dilengkapi dengan sederetan mekanisme pertahanan yang bekerja untuk
mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi yang disebut sebagai sistem imun. Sistem imun
diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah
atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).

Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi oleh sel-sel
tersebut. Sel-sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel NK),
fagosit (neutrofil,eosinofil, monosit, dan makrofag), sel asesori (basofil,sel mast, dan trombosit),
sel-sel jaringan, dan lain-lain. Bahan larut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen,
mediator radang, dan sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari respon imun, sel-
sel lain dalam jaringan juga dapat berperan serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau
berespons terhadap sitokin yang dilepaskan oleh limfosit dan makrofag.

B. Sistem Imun non Spesifik


Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada
individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya.
Semua mekanisme pertahanan ini merupakan bawaan (innate), artinya pertahanan tersebut secara
alamiah ada dan tidak adanya pengaruh secara intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi
sebelumnya. Mekanisme pertahanan ini berperan sebagai garis pertahanan pertama dan
penghambat kebanyakan patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang tampak.

a) Pertahanan fisik/mekanik

Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan
terdepan terhadap infeksi.

b) Pertahanan biokimia

1
pH asam keringat, sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit, lizosim
dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu, enzim saliva, asam lambung, enzim
proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus, mukosa saluran nafas, gerakan silia.

c) Pertahanan humoral

Pertahanan humoral terdiri dari komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid,
sitokin IL-1, IL-6, TNF-α. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila
diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons
inflamasi. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai
faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit. Protein fase
akut terdiri dari CRP, lektin, dan protein fase akut lain α1- antitripsin, amyloid serum A,
haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen. Mediator asal fosfolipid diperlukan untuk
produksi prostaglandin dan leukotrien. Keduanya meningkatkan respons inflamasi
melalui peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.
d) Pertahanan seluler
Fagosit, sel NK, sel mast, dan eosinofil berperan dalam sistem imun non spesifik seluler.
Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan.Contoh sel yang
dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, sel T, sel B,
sel NK, sel darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel dalam jaringan adalah eosinofil,
sel mast, makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK.

C. Sistem Imun Spesifik


Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi
tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Sistem imun spesifik
terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler.

a) Sistem imun seluler

Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T terdiri atas
beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4+ (Th1, Th2), CD8+ atau CTL
atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler ialah pertahanan
terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Sel CD4 +

2
mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba.
Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.2 Th1 memproduksi IL-2 dan IFN-γ. 7 Th2 memproduksi
IL-4 dan IL-5.7 Treg yang dibentuk dari timosit di timus mengekspresikan dan melepas TGF-β
dan IL-10 yang diduga merupakan petanda supresif.2 IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi
makrofag sedang TGF-β menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.

b) Sistem imun spesifik humoral

Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B
yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan berkembang menjadi
sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi
ekstraseluler, virus, dan bakteri serta menetralkan toksinnya

Sel T

Progenitor asal sumsum tulang yang bermigrasi ke timus berdiferensiasi menjadi sel T.
Sel T merupakan imunitas selular yang berperan pada sistem imun spesifik. Sel T terdiri atas sel
CD4+, CD8+, sel T naif, NKT, dan Tr/Treg/Ts/Th3. Sel T naif yang yang terpajan dengan
kompleks antigen MHC dan dipresentasikan APC atau rangsangan sitokin spesifik, akan
berkembang menjadi subset sel T berupa CD4 + dan CD8+ dengan fungsi efektor yang berlainan.
Dari timus, sel T naif dibawa darah ke organ limfoid perifer. 2 Sel naif yang terpajan dengan
antigen akan bekembang menjadi sel Th0 yang dipengaruhi oleh mekanisme autokrin dari IL-2
untuk berproliferasi yang akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. 8 Sel efektor Th1 yang
berperan pada infeksi dan Th2 yang berperan pada alergi.2

Sel Th1

Diferensiasi Th1 terutama dipacu oleh sitokin IL-12 dan IFN-γ dan terjadi sebagai respon
terhadap mikroba yang mengaktifkan sel dendritik, makrofag, dan sel NK. 9 Proses diferensiasi
Th1 melibatkan reseptor sel T, IL-2 dan T-bet, STAT1, STAT4 sebagai faktor transkripsi. 8 IL-12
yang dilepas makrofag dan sel dendritik menginduksi perkembangan Th1 melalui jalur yang
STAT4 dependen. Faktor transkripsi T-bet yang diproduksi sebagai respons terhadap IFN-γ
meningkatkan respons Th1.2 Sitokin terpenting yang dihasilkan sel Th1 pada fase efektor adalah

3
IFN-γ. IFN-γ akan memacu aktifitas pembunuhan mikroba sel-sel fagosit dengan meningkatkan
destruksi intrasel pada mikroba yang difagositosis. Fungsi pokok efektor Th1 adalah sebagai
pertahanan infeksi dimana proses fagositosis sangat diperlukan. Th1 juga mengeluarkan IL-2
yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan autokrin dan memacu proliferasi dan diferensiasi sel
T CD8+. Jadi Th1 berfungsi sebagai pembantu (helper) untuk pertumbuhan sel limfosit T
sitotoksik yang juga meningkatkan imunitas terhadap mikroba intrasel. Sel-sel Th1 memproduksi
LT yang meningkatkan pengambilan dan aktifasi neutrofil. Fungsi utama Th1 sebagai pertahanan
dalam melawan infeksi terutama oleh mikroba intraseluler, mekanisme efektor ini terjadi melalui
aktivasi makrofag, sel B, dan sel neutrofil.

Gambar 1. Fungsi Sel-sel Th1

Sel Th2

Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas sel mast yang terpajan
dengan antigen, Th0 berkembang menjadi sel Th2 yang merangsang sel B untuk meningkatkan
produksi antibodi.2 Diferensiasi Th2 muncul sebagai respon terhadap alergi dan parasit,
melibatkan reseptor sel T, IL-4, faktor transkripsi GATA-3 dan STAT6. IL-4 menstimulasi
produksi IgE yang berfungsi dalam opsonisasi parasit. 8 Sehingga Th2 adalah mediator untuk
reaksi alergi dan pertahanan infeksi terhadap parasit. Th2 juga memproduksi sitokin seperti IL-4,

4
IL-13, dan IL-10 yang bersifat antagonis terhadap IFN-γ dan menekan aktivasi makrofag. Jadi
Th2 kemungkinan berfungsi sebagai regulator fisiologis pada respon imun dengan menghambat
efek yang mungkin membahayakan dari respon Th1. Pertumbuhan yang berlebihan dan tak
terkontrol dari Th2 berhubungan dengan berkurangnya imunitas seluler terhadap infeksi mikroba
intraseluler.

Pada beberapa kondisi, seperti infeksi cacing, IL-4 yang diproduksi sel mast dibawa ke
organ limfoid dan eosinofil, yang ikut terlibat dalam perkembangan Th2. Kemungkinan lain
adalah antigen yang menstimulasi sel CD4+ mensekresi sejumlah kecil IL-4 dari aktivasi awal sel
tersebut. Jika antigen tetap ada dan dengan konsentrasi yang tinggi, maka konsentrasi lokal IL-4
berangsur-angsur akan meningkat. Jika antigen tidak memicu inflamasi dengan disertai produksi
IL-12, maka akan menghasilkan peningkatan diferensiasi sel ke subset Th2. Apabila sel Th2
telah berkembang, maka IL-4 akan memperkuat reaksi dan menghambat perkembangan sel Th1
dan sel Th17.

Gambar 2. Fungsi Sel-sel Th2

5
D. Sitokin
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respons terhadap mikroba dan antigen
lain yang memperantarai dan mengatur aksi imunologik dan reaksi inflamasi.

Sifat umum sitokin :

a. Langsung
 Lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi)
 Autoregulasi (fungsi autokrin)
 Terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin)
b. Tidak langsung
 Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama dengan sitokin lain
dalam merangsang sel (sinergisme)
 Mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme)

Sitokin yang berperan pada imunitas non spesifik dan spesifik umumnya diproduksi oleh
berbagai sel dan bekerja terhadap sel sasaran yang berbeda, meskipun tidak mutlak. Berbagai
sitokin yang diproduksi dapat menunjukkan reaksi yang tumpang tindih. Sitokin diproduksi
makrofag dan sel NK yang berperan pada inflamasi dini, merangsang proliferasi, diferensiasi,
dan aktivasi sel efektor khusus seperti makrofag. Sedangkan pada imunitas spesifik, sitokin yang
diproduksi sel T mengaktifkan sel-sel imun spesifik. Sitokin pada imunitas non spesifik yaitu :
TNF, IL-1, IL-6, IL-10, IL-12, IFN tipe I, IL-15, IL-18, dan IL-33. Sedangkan sitokin pada
imunitas spesifik yaitu : IL-2, IL-4, IL-5, IFN-γ, TGF-β, Limfotoksin, IL-13, IL-16, IL-17, IL-
23, IL-25, IL-31, IL-9.

Interferon Gamma (IFN-γ)

IFN-γ merupakan sitokin utama MAC dan berperan terutama dalam imunitas non
spesifik dan spesifik selular. IFN-γ disebut interferon tipe II yang diproduksi oleh sel Th1 dan
sel NK. IFN-γ merupakan aktivator utama makrofag. Aktifitas ini mengaktifkan makrofag
untuk melawan patogen intraseluler yang invasif. IFN-γ secara langsung menginduksi sintesis
enzim yang berperan pada respiratory burst, sehingga makrofag dapat membunuh mikroba

6
yang ditelannya. IFN-γ meningkatkan reseptor untuk IgG (FcγRI) pada permukaan makrofag
sehingga disebut MAC. Fungsi IFN-γ yang lain dalam mengatur respons imun yaitu :

+
1. IFN-γ meningkatkan diferensiasi sel CD4 naif ke subset sel Th1 dan mencegah
proliferasi sel Th2 dan merangsang sel B untuk meningkatkan class switching
untuk menghasilkan IgG2a dan IgG3, tetapi menghambat class switching yang
menghasilkan IgG1 dan IgGE.
2. IFN-γ meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I, dan juga ekspresi MHC kelas
II pada beberapa jenis sel. Dengan demikian, IFN-γ berperan penting pada fase
pengenalan respons imun.
3. Mengaktivasi neutrofil.
+
4. Merupakan aktivator sel endotel, meningkatkan adhesi sel T CD4 dan perubahan
morfologik yang memudahkan ekstravasasi limfosit.
5. Bersama dengan IL-2, IFN-γ merupakan aktivator CTL.

Dampak akhir dari semua aktivitas tersebut adalah meningkatnya reaksi inflamasi
yang penuh dengan makrofag, dan menghambat reaksi eosinofil yang bergantung pada IgE.
Dengan demikian IFN-γ mempunyai peran sentral pada pertahanan tubuh terhadap infeksi
kuman dan parasit intrasel, virus serta jamur.

Interleukin-4 (IL-4)

+
Interleukin-4 dahulu disebut BSF-1, diproduksi oleh sel T, mastosit, dan sel B CD5 .
IL-4 merupakan sitokin anti inflamasi yang menstimulasi respon imun humoral untuk
+
melawan patogen ekstraseluler. Sumber utama IL-4 adalah sel T CD4 , khususnya Th2,
bahkan produksi IL-4 dianggap sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan sel T dalam
golongan sel Th2, dan IL-4 berfungsi sebagai faktor pertumbuhan autokrin bagi sel Th2. IL-4
merangsang sel B meningkatkan produksi IgG dan IgE dan meningkatkan ekspresi MHC-II
dan merangsang isotipe sel B dalam pengalihan IgE. IgE sangat berperan pada reaksi alergi,
oleh karena itu reaksi alergi akan timbul apabila IL-4 diproduksi berlebihan.

Aktivitas IL-4 tidak terbatas pada sel B, tetapi juga pada sel T, makrofag, granulosit,
mastosit, prekursor eritrosit dan megakariosit. IL-4 merupakan sitokin petanda sel Th2,

7
+
merupakan stimulus utama perkembangan Th2 dari sel CD4 naif. IL-4 dapat berfungsi
sebagai faktor pertumbuhan sel T dan menginduksi sel T untuk mengekspresikan reseptor IL-
2 dan memproduksi IL-2. Tetapi ia juga dapat merupakan antagonis bagi IL-2 pada beberapa
jenis sel lain. Reseptor IL-4 telah dapat dideteksi pada permukaan sel hemopoetik, fibroblast,
sel epitel, otot, neuroblast, dan sel stroma.

IL-4 mempunyai efek inhibisi terhadap sitokin proinflamasi melalui supresi IL-1,
11
TNF-α, IL-6, IL-8, dan MIP-1α. IL-4 mencegah aktivasi makrofag yang diinduksi oleh IFN-
γ, oleh karena itu IL-4 mempunyai efek yang berlawanan dengan IFN-γ.

Gambar 3. Diferensiasi Sel T dan Peran Sitokin Anti inflamasi

Limpa

Limpa merupakan masa limfoid dan vaskuler berkapsul, berwarna ungu terletak di
hypochondrium sinister, di antara fundus gastricus dan diafragma. Limpa berperan sebagai
organ limfoid sekunder yang merupakan tempat respons imun utama yang merupakan
saringan terhadap antigen asal darah dan presentasi ke sel T dan sel B. Limpa merupakan
tempat utama fagosit memakan mikroba yang diikat antibodi (opsonisasi). Aktivitas fagositik
menghilangkan partikel, sisa sel, dan mendestruksi eritrosit.

Limpa terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa putih membentuk selubung
limfoid periarterial (PALS) dan pusat-pusat germinal. Selubung terutama terdiri atas limfosit
T, sedangkan pusat germinal terdiri atas limfosit B. Selubung limfoid periarterial memiliki

8
celah-celah retikulum yang dihuni limfosit kecil dan sedang, sedangkan sel plasma dan
makrofag hanya kadang dijumpai. Pulpa merah terdiri atas anyaman rumit sinus venosus yang
berkelok-kelok, bercabang, dan saling beranastomosis. Celah-celah pada retikulum dalam
korda pulpa dipenuhi banyak sel bebas, yang mencakup makrofag, beberapa sel plasma, dan
banyak sekali eritrosit dan trombosit.

Pelepasan sel T maupun sel B tergantung dari produksi sitokin dan kemokin dari stroma
di area yang berbeda. Kemokin CXCL13 dan reseptornya CXCR5 dibutuhkan untuk migrasi sel
B ke folikel, sedangkan migrasi sel T naif ke periarteriolar sheath membutuhkan kemokin
CCL19 dan CCL21 dengan reseptornya CCR7. Antigen akan dihantarkan ke sinus marginal oleh
sel dendritik atau oleh makrofag di zona marginal. Arteriol berakhir pada sinusoid vaskular yang
mengandung eritrosit, makrofag, sel dendritik, limfosit, dan sel plasma yaitu pada pulpamerah

9
BAB II
KONSEP PENYAKIT GOUT

E. Definisi
Gout adalah sekelompok kondisi imflamasi kronis yang berhubungan dengan defek
metabolisme purin secara genetik dan menyebabkan hiperurisemia

F. Etiologi
Gangguan metabolic dengan meningkatnya konsentrasi asam urat in ditimbulkan dari
penimbunan kristal di sendi oleh monosodium urat (MSU, gOU dan kalsium pirofosfat dihidrat
(CPPD, pseudogout), dan pada tahap yang lebih lanjut terjadi degenerasi tulang rawan sendi.
Klsifikasi gout dibagi 2 yaitu: (Chairuddin, 2003).

1. Gout Primer : dipengaruhi oleh factor genetic. Terdapat produksi/sekresi B. Etiologi


asam urat yang berlebihan dan tidak diketahui penyebabnya.
2. Gout Sekunder :
a. Pembentukan asam urat yang berlebihan.
1) Kelainan mieloproliferatif (polisitemia, leukemia, mieloma retikularis)
2) Sindroma Lech-Nyhan yaitu suatu kelainan akibat defisiensi hipoxantin guanine
fosforibosil transferase yang terjadi pada anak-anak dan pada sebagian orang
dewasa
3) Gangguan penyimpanan glikogen
4) Pada pengobatan anemia pernisiosa oleh karena maturasi sel megaloblastik
menstimulasi pengeluaran asam urat
b. Sekresi asam urat yang berkurang misalnya pada:
1) Kegagalan ginjal kronik
2) Pemakaian obat salisilat, tiazid, beberapa macam diuretik dan sulfonamide
3) Keadaaan-keadaan alkoholik, asidosis laktik, hiperparatiroidisme dan pada
miksedema

Factor predisposisi terjadinya penyakit gout yaitu, umur, jenis kelamin lebih sering terjadi
pada pria, iklim, herediter dan keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hiperurikemia.

10
G. Manifestasi Klinis
Gout dicirikan oleh deposit asam urat di berbagai sendi. Empat tahap gout dapat di identifikasi:
hiperurisemia asimtomatik, urisemia, artritis gout akut, gout interkritis, dan gout tofaseosa
kronis.

1. Artritis akut akibat gout adalah tanda awal yang paling sering dijumpai.
2. Sendi metatarsofalangeal (MTP) pada ibu jari kaki adalah yang paling sering terkena;
area tarsal, pergelangan kaki, atau lutut dapat juga terkena.
3. Serangan akut dapat dipicu oleh trauma, konsumsi alkohol, diet, medikasi, stress
pembedahan atau penyakit.
4. Awitan mendadak terjadi di malam hari, yang menyebabkan nyeri hebat, kemerahan,
bengkak, dan rasa hangat di atas sendi yang terganggu.
5. Serangan dini cenderung reda secara spontan dalam 3 sampai 10 hari tanpa terapi.
6. Serangan selanjutnya mungkin tidak terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun;
pada waktunya, serangan cenderung terjadi lebih sering, mengenai lebih banyak sendi,
dan berlangsung lebih lama.
7. Tofi biasanya dikaitkan dengan episode inflamasi yang sering dan berat.
8. Konsentrasi asam urat serum yang tinggi dikaitkan dengan pembentukan tofus.
9. Tofi terjadi di sinovium, bursa olekranon, tulang subkondral, infrapatelar, dan tendon
Achilles, jaringan subkutan, serta sendi di atasnya.
10. Tofi juga ditemukan dalam dinding aorta, katup jantung, kartilago nasal dan telinga,
kelopak mata, kornea, dan sklera.
11. Pembesaran sendi dapat menyebabkan kehilangan gerakan sendi.
12. Deposit asam urat dapat menyebabkan batu ginjal dan kerusakan ginjal.

H. Patofisiologi
Pada penyakit gout, terjadi skresi asam urat yang berlebih atau defek renal yang
menyebabkan penurunan ekskresi asam urat, atau kombinasi keduanya. Hiperurisemia (asam
urat) primer mungkin disebabkan oleh diet hebat atau kelaparan, asupan makanan tinggi purin
(kerang, daging organ) secara berlebihan, atau herediter. Pada kasus hiperurisemia sekunder,
gout merupakan manifestasi klinis sekunder dari berbagai proses genetic atau proses dapatan,

11
termasuk kondisi yang disertai dengan peningkatan peremajaan sel (leukemia, mieloma multipel,
psoriasis, beberapa anemia) dan peningkatan penghancuran sel.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar asam urat serum meningkat
2. Laju sedimentasi eritrosit (LSE) meningkat
3. Kadar asam urat urine dapat normal atau meningkat
4. Analisis cairan sinovial dari sendi terinflamasi atau tofi menunjukan kristal urat
monosodium yang membuat diagnosis
5. Sinar X sendi menunjukan massa tofaseus dan destruksi tulang dan igan perubahan sendi

J. Penatalaksaan Medis
1. Kolkisin (oral atau parenteral), NSAID seperti indometasin, atau kortikosteroid
diresepkan untuk meredakan serangan gout akut.
2. Hiperurisemia, tofi, penghancuran sendi, dan masalah ginjal diterapi setelah proses
inflamasi akut reda.
3. Agens urikosurik, seperti probenesid, memperbaiki hiperurisemia dan melarutkan deposit
urat.
4. Allopurinol efektif ketika berisiko terjadi insufisiensi ginjal atau kalkuli/batu ginjal.
5. Kortikosteroid dapat digunakan pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi lain.
6. Terapi profilaksis dipertimbangkan jika pasien mengalami beberapa episode akut atau
terjadi pembentukan tofi.

12
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN GOUT

A. Pengkajian dan Metode Diagnostik


Diagnosis definitif artritis gout ditetapkan dengan pemeriksaan mikroskopi cahaya
terpolarisasi pada cairan sinovial di sendi yang terganggu. Kristal asam urat terlihat di dalam
leukosit polimorfonuklear di dalam cairan.

K. Penatalaksanaan Keperawatan
Dorong pasien untuk membatasi konsumsi makanan tinggi purin, terutama daging organ
(jeroan), dan membatasi asupan alkohol. Dorong pasien untuk mempertahankan berat tubuh
normal. Upaya ini dapat membantu mencegah episode gout yang nyeri.

Pada episode artritis gout akut, penatalaksanaan nyeri sangat penting. Tinjau medikasi
bersama pasien dan keluarga. Tekankan pentingnya melanjutkan medikasi untuk
mempertahankan efektivitas.[ CITATION Sme13 \l 1033 ]

L. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis. pembengkakan sendi, melaporkan nyeri secara verbal
pada area sendi
2. Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri peresendian (kaku sendi)
3. Risiko ketidakseimbangan volume cairan b.d perubahan kadar elektrolit pada ginjal
(difusi ginjal)
4. Hipertermia b.d proses penyakit (peradangan sendi)
5. Gangguan rasa nyaman b.d gejela terkait penyakit (nyeri pada sendi)
6. Gangguan pola tidur b.d nyeri pada pembengkakan
7. Kerusakan integritas jaringan b.d kelebihan cairan (peradangan kronik akibat adanya
kristal urat) [ CITATION Nur151 \l 1033 ]

M. Intervensi dan Rasional


DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

13
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri dengan 1. Pendekatan
cidera biologis. perawatan pendekatan PQRST dapat
pembengkakan sendi, diharapkan : PQRST. secara
melaporkan nyeri 1. Nyeri 2. Berikan posisi komprehensif
secara verbal pada berkurang fowler. menggali kondisi
area sendi 2. Tidak 3. Ajarkan teknik nyeri pasien.
menunjukan relaksasi 2. Posisi fowler
ekspresi pernafasan dalam menurunkan
menahan pada saat nyeri tekanan-tekanan
nyeri muncul. intraabdominal.
3. Skala nyeri 4. Ajarkan teknik 3. Meninkatakan
pada skor 1 distraksi pada saat intake oksigen
atau 2 nyeri. sehingga akan
4. Pasien 5. Lakukan emnurunkan nyeri
terlihat manajemen sekunder dari
nyaman sentuhan iskemia jaringan
6. Kolaborasi local.
pemberian obat 4. Distraksi
(analgesic, (pengalihan
antiimflamasi, perhatian) dapat
antireumatik) SOD menurunkan
stimulus internal.
5. Manajemen
sentuhan pada saat
nyeri berupa
sentuhan dukungan
psikologgis dapat
membantu
menurunkan nyeri.
6. Untuk mengurangi
rasa nyeri

Hambatan mobilitas Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan 1. Mengetahui


fisik b.d nyeri keperawatan pasien dalam seberapa
peresendian (kaku diharapkan pasien mobilisasi kemampuan pasien
sendi : 2. Ajarkan pasien 2. Memberikan
1. Mengerti bagaimana pengetahuan bagi
tujuan dari merubah posisi dan pasien untuk
peningkatan berikan batuan jika memberikan
mobilitas diperlukan perlindungan sendi
3. Latih pasien dalam 3. Untuk
pemenuhan memandirikan
kebutuhan ADL pasien dan
secara mandiri memenuhi
sesuai kemampuan kebutuhan dasar
4. Kaji kebutuhan pasien

14
akan terapi 4. Untuk
okupasional atau meningkatkan
terapi fisik : mobilitas klien
tekankan tentang 5. Untuk
rentang pergerakan memudahkan klien
jelaskan melakukan
pengunaan alas aktivitasnya.
kaki yang aman
terapkan
posisi/postur
individual yang
tepat dan
pengunaan alat
bantu
5. Berikan alat bantu
jika klien
memerlukan.
Hipertermia b.d Setelah dilakukan 1. Kaji TTV 1. Untuk memantau
proses penyakit perawatan 2. Kompres hangat dari proses
(peradangan sendi) diharapkan : pasien pada lipatan peradangan
1. Klien tampak paha dan aksila 2. Untuk mengurangi
baik 3. Anjurkan pasien hipertermia
2. TTV normal mungunakan 3. Untuk memudakan
pakaian yang tipis menyerap keringat
4. Moitor warna dan 4. Untuk melihat
suhu kulit apakah adat tanda
5. Kolaborasi dehidrasi
pemberian cairan 5. Untuk menganti
intravena cairan yang hilang
akibat keringat
Gangguan rasa Setelah dilakukan 1. Gunakan 1. Untuk memberikan
nyaman b.d gejela perawatan pendekatan yang rasa nyaman
terkait penyakit diharapkan klien : menyenangkan kepada klien
(nyeri pada sendi 1. Terlihat baik 2. Jelakan kaitan 2. Memberikan
2. Tidak terlihat antara aktivitas informasi kepada
nyeri penyakit dan klien
3. Kualitas tidur keletihan 3. Untuk mengurangi
baik 3. Ajarkan Teknik rasa nyeri dan
relaksasi dan meningkatkan
distraksi kenyamanan
4. Kaji pola tidur 4. Untuk mengetahui
klien apakah pasien
5. Berikan mengalami
lingkungan yang gangguan pola
nyaman dan aman tidur
6. Berikan obat untuk 5. Memnberikan rasa

15
mengurangi aman dan nyaman,
kecemasan jika serta untuk
perlu. meningkatkan
kualitas tidur klien
6. Untuk mengurangi
kecemasan pada
klien
Gangguan pola tidur Setelah dilakukan 1. Kaji kebiasan 1. Untuk mengetahui
b.d nyeri pada perawatan pasien sebelum apakah pola
pembengkakan diharapkan klien : tidur kebiasan sebelum
1. Klien tampak 2. Observasi apakah tidur dapat
segar klien sering mempengaruhi tidur
2. Tidak terlihat menguap klien
kantung mata 3. Observasi pada 2. Untuk mengetahui
3. Tidak telihat bagian mata kualitas tidur klien
mengantuk 4. Berikan 3. Untuk melihat
lingkungan yang apakah sklera mata
nyaman pasien terlihat
5. Anjurkan untuk merah dan melihat
membatasi apakah klien
pengunjung memiliki kantung
mata
4. Untuk
meningkatkan
kulitas tidur klien
5. Untuk membantu
klien dalam
meningkatkan
kualitas tidurnya

N. Implementasi
DIAGNOSA IMPLEMENTASI
Nyeri akut b.d agen cidera biologis. 1. Mengkaji nyeri dengan pendekatan PQRST.
pembengkakan sendi, melaporkan nyeri 2. Memberikan posisi fowler.
secara verbal pada area sendi 3. Mengajarkan teknik relaksasi pernafasan
dalam pada saat nyeri muncul.
4. Mengajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
5. Melakukan manajemen sentuhan
6. Melakukan Kolaborasi pemberian obat
(analgesic, antiimflamasi, antireumatik) SOD

Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri 1. Mengkaji kemampuan pasien dalam


peresendian (kaku sendi mobilisasi
2. Mengajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan batuan jika diperlukan

16
3. Melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ADL secara mandiri sesuai kemampuan
4. Mengkaji kebutuhan akan terapi okupasional
atau terapi fisik : tekankan tentang rentang
pergerakan jelaskan pengunaan alas kaki
yang aman terapkan posisi/postur individual
yang tepat dan pengunaan alat bantu
5. Memberikan alat bantu jika klien
memerlukan.
Hipertermia b.d proses penyakit 1. Mengkaji TTV
(peradangan sendi) 2. Mengompres hangat pasien pada lipatan paha
dan aksila
3. Menganjurkan pasien mungunakan pakaian
yang tipis
4. Memonitor warna dan suhu kulit
5. Melakukan Kolaborasi pemberian cairan
intravena
Gangguan rasa nyaman b.d gejela terkait 1. Mengunakan pendekatan yang
penyakit (nyeri pada sendi menyenangkan
2. Menjelakan kaitan antara aktivitas penyakit
dan keletihan
3. Mengajarkan Teknik relaksasi dan distraksi
4. Mengaji pola tidur klien
5. Memberikan lingkungan yang nyaman dan
aman
6. Memberikan obat untuk mengurangi
kecemasan jika perlu.
Gangguan pola tidur b.d nyeri pada 1. Mengkaji kebiasan pasien sebelum tidur
pembengkakan 2. Mengobservasi apakah klien sering menguap
3. Mengobservasi pada bagian mata
4. Memberikan lingkungan yang nyaman
5. Menganjurkan untuk membatasi pengunjung

O. Evaluasi
DIAGNOSA EVALUASI
Nyeri akut b.d agen cidera biologis. 1. Mampu mengontrol nyeri
pembengkakan sendi, melaporkan nyeri 2. Melaporkan nyeri berkurang
secara verbal pada area sendi 3. Mampu mngenali nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
berkurang
Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
peresendian (kaku sendi 2. Mengerti tujuan dari peningkata fisik
3. Memperagakan pengunaan alat
Hipertermia b.d proses penyakit 1. Suhu dalam batass norma
(peradangan sendi) 2. Tidak menunjukan tanda infeksi dan tanda
17
komplikasi lainya
Gangguan rasa nyaman b.d gejela terkait 1. Mampu mengontrol kecemasan
penyakit (nyeri pada sendi 2. Status lingkungan yang nyaman
3. Kualitas tidur dan istirahat adekuat
4. Status kenyamanan meningkat
Gangguan pola tidur b.d nyeri pada 1. Jumlah tidur dalam batas normal
pembengkakan 2. Perasaan segar sesudah tidur atau istirahat

18
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction.

Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed. 12. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, G. B. (2002). BUKU AJAR KEPERAWATAN MEDIKAL-BEDAH


BRUNNER & SUDDARTH. VOL. 3. E/8. Jakarta: EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai