Anda di halaman 1dari 1

NALAR SUBJEKTIF DAN NALAR OBJEKTIF

Alfathri Adlin NIM: 02270813

Horkheimer & Adorno mengkritik bagaimana masyarakat dimanipulasi melalui sebentuk administrasi
totalitarian yang mengomando massa (konsumer) dari atas (produser) sehingga mereka menjadi massa
pasif. Adorno menyebutnya sebagai industri kebudayaan yang mengatur selera massa melalui
standarisasi tertentu yang mengukuhkan orde produksi dan ideologi dominan, kebudayaan yang
diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi industri. Di sini kapitalisme tak beda dengan
fasisme yang merayakan insting primitif, penolakan nalar (unreason) serta pemujaan tanda-tanda
kemewahan. Pada masanya, Adorno memandang televisi sebagai media yang disarati berbagai muatan
makna ideologis tersembunyi yang mengundang pemirsa untuk melihat satu karakter dengan cara
yang sama ia melihat dirinya, tanpa menyadari bahwa sebenarnya telah terjadi indoktrinasi.
Kapitalisme keliru menafsirkan semangat Pencerahan dengan menyimpangkannya menjadi
budaya massa serta komoditi menjadi tulang punggungnya. Di dalamnya, nalar instrumentalis berlaku
sebagai Fasis dari Pencerahan semu kapitalisme. Horkheimer & Adorno memandang bahwa
Pencerahan dalam bentuknya yang murni merupakan satu bentuk pembebasan manusia dari rasa takut
dan membangun kekuasaannya. Namun, Pencerahan malah jadi berbuah kekecewaan berupa
penghancuran kebenaran objektif serta penukaran pengetahuan dengan imajinasi ringan.
Salah satu penyebabnya adalah ketika nalar dipahami sebagai nalar subjektif yang mengarah
pada kegunaan sang subjek serta sangat menekankan cara dan tak mempersoalkan tujuan pada dirinya
sendiri. Nalar subjektif ini berkembang subur dalam tradisi empirisisme yang memakai nalar semata-
mata untuk sarana atau alat guna memperhitungkan segala kemungkinan demi tercapainya tujuan
dalam arti subjektif, yaitu tujuan yang berguna bagi sang subjek untuk mempertahankan dirinya.
Karena itulah maka nalar subjektif ini disebut juga sebagai nalar instrumentalis.
Di sisi lain, ada nalar objektif yang tidak hanya ada dalam diri individu (sebagai nalar
subjektif) tapi juga dalam arti objektif, yaitu ada dalam dunia objektif di luar individu, bersifat
universal, dan milik semua golongan dalam hubungannya dengan satu sama lain. Ini bisa dilihat
contohnya pada pemikiran Platon dan Aristoteles yang berusaha membangun sistem komprehensif
berupa tatanan hierarki dari semua yang ada, termasuk manusia dan tujuan-tujuan hidupnya. Struktur
objektif sistem tersebut harus menjadi ukuran pemikiran dan pedoman tindakan individu.
Nalar objektif lebih menekankan tujuan pada dirinya sendiri ketimbang cara—dan bukannya
menemukan sarana-sarana lalu kemudian mengaturnya demi tercapainya suatu tujuan—serta
membangun berbagai konsep tentang apa yang paling baik dan benar serta tujuan hidup manusia.
Dalam hal ini, nalar objektif memiliki kedaulatan terhadap manusia dan tidak netral, sebab isi
objektifnya sendiri sudah mengandaikan tujuan tertentu yang harus dikejar manusia. Sedangkan nalar
subjektif malah tak ubahnya alat saja, sesuatu yang netral, sehingga bisa digunakan, bahkan diperalat,
untuk tujuan apa pun yang tidak berasal dari dirinya.
Pada awalnya dikenal istilah “logos” atau “ratio” yang berarti kemampuan berpikir dari
subjek, yang di antaranya melahirkan konsep-konsep objektif seperti pemikiran Platon yang dipakai
untuk melawan objektivitas palsu kaum Sofis. Namun, seiring waktu, manusia malah tak sanggup lagi
memikirkan konsep-konsep objektif, yang bahkan dianggap hanya khayalan, sehingga nalar pun
kehilangan isi objektifnya. Formalisasi nalar—yang menjadi fondasi logika modern—memandang
bahwa isi pengetahuan manusia harus dijauhi sehingga menghalangi kemungkinan untuk menemukan
struktur pengetahuan manusia sejati. Nalar dilarang mengandaikan maupun berspekulasi, tugasnya
hanyalah menghitung, mengklasifikasi, memverifikasi, sebagaimana yang dilakukan oleh para saintis.
Selain itu, nalar instrumentalis ini pun merebak dikarenakan perpisahan agama dan filsafat
yang dipandang mengandaikan adanya realitas terakhir yang sama dan objektif. Namun, ini pula yang
menjadi akar perselisihan sebab pengandaiannya didasarkan para otoritas berbeda; agama pada wahyu
(lumen supra naturale) sedangkan filsafat pada nalar (lumen naturale). Seiring waktu, agama malah
dihancurkan oleh filsafat, sehingga kebenaran objektif tidak lagi dijamin oleh sesuatu di luar nalar.
Maka, agama pun hanya menjadi salah satu cabang kebudayaan. Kondisi ini melempangkan jalan bagi
penghapusan kebenaran objektif dan memekarkan nalar subjektif yang instrumentalis. Semboyan
sapere aude ala Aufklärung pun sebenarnya merupakan ajakan untuk meninggalkan nalar objektif
yang dianggap takhayul dan mitos, lalu meneguhkan formalisasi nalar sebagai fondasi logika modern.

Anda mungkin juga menyukai